BAB KETUJUH : Tentang shalat sunat ( Shalat nawaafil ).

 BAB KETUJUH : Tentang shalat sunat ( Shalat nawaafil ).
Ketahuilah, bahwa selain dari shalat-shalat fardlu, terbagi kepada tiga bahagian,

Iaitu : sunat, مستحبات mustahab dan تطو tathawwu.

Yang kami maksudkan dengan sunat, ialah yang dinukilkan daripada Rasulullah صلى الله عليه وسلم ,bahwa beliau rajin mengerjakannya, seperti shalat sunat.rawatib di belakang shalat fardlu, shalat Dluha, witir, tahajjud dan lainnya, karena sunat (sunnah), adalah ibarat jalan yang selalu ditempuh.

Yang kami maksudkan dengan mustahab, ialah yang datang hadits menerangkan keutamaannya dan tidak dinukilkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمrajin mengerjakannya. Seperti apa yang akan kami nukilkan tentang shalat siang dan malam dalam seminggudan seperti shalat ketika keluar dari rumah dan masuk ke dalam rumahdan lain-lain sebagainya.

Yang kami maksudkan dengan tathawwu', ialah yang lain dari itu, yang tak datang pada a tsar. Hanya hamba berbuat tathawwu' (amalan sunat dan bakti), karena ingin bermunajah dengan Allah Ta'ala, dengan shalat yang telah diterangkan Agama keutamaannya secara mutlak. Seolah-olah ia berderma, karena tidak disunatkan shalat itu secara khusus, tetapi disunatkan mengerjakan shalat secara mutlak.
Tathawwu adalah ibarat daripada berderma (ber-tabarru!).

Shalat yang tiga macam tadi dinamakan shalat-nawaafil, dari segi bahwa, kata-kata "an-naflialah : tambah. Karena jumlahnya, menambahkan kepada shalat fardlu.

Kata-kata : nafilah (1); sunat (sunnah), mustahab dan tathawwu kami maksudkan memberikan, istilah kepadanya, ialah untuk memperkenalkan maksud-maksud tersebut tadi dan tak ada salahnya orang yang merobah istilah itu. Maka tak ada artinya perbedaan kata-kata, setelah dipahami maksudnya.

Masing-masing bahagian tadi, berlebih-kurang derajat kelebihannya, sepanjang yang datang dari hadits dan atsar, yang menerang-kan kelebihannya dan menurut tingkat kerajinan Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakannya dan menurut shahnya dan terkenalnya hadits-hadits yang meriwayatkannya.

1) Nafilah-Kata Kata tunggal (mufrad) Dari Nawafil, Dan Nawafil adalah jama', dan kata kata an'nafi adalah Masdarnya (Asal Kata kata tersebut )


Dari itu dikatakan : Shalat sunat yang dikerjakan dengan berjamaah, adalah lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan dengan sendirian. Dan yang lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan dengan berjama'ah, ialah : shalat hari raya, kemudian shalat gerhana bulan atau matahari, kemudian shalat minta hujan (shalat istisqa).

Dan yang lebih utama dari shalat yang dikerjakan sendirian, ialah : shalat witir, kemudian dua raka'at fajar (sebelum shalat Shubuh), kemudian sunat-sunat rawatibsesudah yang dua ini, menurut tingkat kelebih-kurangannya.

Ketahuilah, bahwa shalat nawaafil, mengingat kepada hubungannya, terbagi kepada : yang berhubungan kepada sebab, seperti shalat gerhana dan shalat minta hujan dan yang berhubungan dengan waktu.

Dan yang berhubungan dengan waktu, terbagi kepada : yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam atau dengan berulang-ulangnya minggu atau dengan berulang-ulangnya tahun.

Maka jumlahnya empat bahagian :
Bahagian pertama : Yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam.  iaitu : delapan. Lima, yaitu : shalat sunat rawatib dari lima shalat fardlu.

Dan tiga, yang lain, yaitu : shalat Dhuha, shalat yang dikerjakan diantara Maghrib dan 'isya' dan shalat Tahajjud.
Pertama : sunat rawatib Shubuh,yaitu dua raka'at. Bersabda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
ركعتا الفجر خير من الدنيا وما فيها
(Rak'atal-fajri khairun minad-dunya wa maa fiihaa). Artinya : "Dua raka'at fajar adalah lebih baik daripada dunia dan isinya ( 1)

1.Dirawikan Muslim dari Aisyah


Masuk waktunya dengan terbit fajar shadiq. Yaitu yang melayang tidak memanjang. Mengetahuinya dengan memandangnya, adalah sukar pada mulanya. Kecuali orang yang mempelajari tempat kedudukan bulan atau mengetahui persamaan terbitnya dengan bintang-bintang yang kelihatan dengan mata. Lalu diambil dalil. dengan bintang-bintang itu, atas terbitnya fajar. Dapat dikenal fajar itu dengan bulan, pada dua malam dari tiap-tiap bulan. Karena bulan terbit bersama fajar pada malam dua puluh enam dan terbit cahaya fajar serta terbenam bulan pada malam dua belas dari tiap-tiap bulan.
Ini adalah menurut kebiasaan dan terjadi padanya berlebih-kurang pada sebahagian buruj.Untuk menerangkannya memerlukan kepada waktu panjang.
Mempelajari tempat kedUdukan (munazil) bulan, adalah termasuk yang penting bagi murid, sehingga ia mengetahui batasan waktu pada malam hari dan Shubuh.
Dan hilanglah waktu dua raka'at fajar. dengan hilangnya waktu fardlu Shubuh. Yaitu terbitnya matahari. Tetapi sunat mengerjakannya, adalah sebelum mengerjakan fardlu.
Kalau masuk ke masjid dan telah diqamatkan, maka hendaklah dikerjakan shalat fardlu, karena sabda Nabi  صلى الله عليه وسلم :
قال إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة
(Idzaa uqiimatish-shalaatu falaa shalaata illal-muktuubah). Artinya : "Apabila telah ditegakkan shalat (diqamatkan), maka tak ada shalat selain dari fardlu (1)

Kemudian, apabila telah selesai dari shalat fardlu, maka bangunlah mengerjakan dua raka'at fajar itu. Dan yang shahih (pendapat yang lebih benar) keduanya masih di dalam waktunya (adaa), selama dikerjakan sebelum terbit matahari. Karena keduanya, mengikuti fardlu tentang waktunya. Dan tertib diantara keduanya yaitu mendahulukan yang sunat dan mengemudiankan yang fardlu, adalah sunat apabila tidak menjumpai shalat jama'ah.

Apabila menjumpai shalat jama'ah, maka terbaliklah tertib dan tinggallah dua raka'at fajar itu masih di dalam waktu (dengan mengerjakannya sesudah berjama'ah itu).

1.Dirawikan Muslim Dari Abu Hurairah.


Disunatkan dua raka'at fajar dikerjakan di. rumah dengan diringankan. Kemudian masuk ke masjid dan mengerjakan dua raka'at tahiyat masjid Kemudian duduk dan tidak mengerjakan shalat, sampai kepada mengerjakan shalat fardlu. Diantara waktu shalat Shubuh sampai terbit matahari, disunatkan berdzikir, berfikir dan menyingkatkan dengan mengerjakan saja dua raka'at fajar dan fardlu Shubuh.

Kedua : sunat rawatib Dhuhur,yaitu enam raka'at. Dua raka'at sesudah Dhuhur, dan dia juga sunat muakkadah (sunat dikuatkan) dan empat raka'at sebelumnya, yaitu sunat juga, walaupun yang empat raka'at ini, kurang derajatnya dari dua raka'at yang kemudian shalat Dhuhur.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. daripada Nabi صلى الله عليه وسلم .bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم .bersabda : "Siapa yang mengerjakan shalat empat raka'at sesudah tergelincir matahari, dengan membaguskan bacaan, ruku' dan sujudnya,. niscaya bershalatlah sertanya rujuh puluh ribu malaikat, yang meminta ampun kepadanya malam".

Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم . tidak meninggalkan shalat empat raka'at sesudah tergelincir matahari, yang dipanjangkannya, seraya bersabda : "Bahwa segala pintu langit terbuka pada sa'at itu, maka aku menyukai bahwa diangkatkan amalanku padanya".
Hadits ini diriwayatkan Abu Ayyub Al-Anshari dan dia sendiri saja yang meriwayatkannya.

Dan juga ditunjukkan kepada yang tersebut tadi, oleh apa yang diriwayatkan Ummu Habibah —isteri Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda : "Siapa yang mengerjakan shalat tiap-tiap hari dua belas raka'at, di luar shalat fardlu, niscaya dibangun baginya sebuah rumah dalam sorga, yaitu : dua raka'at sebelum fajar, empat raka'at sebelum Dhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at sebelum 'Ashar dan dua raka'at sesudah Maghrib ".

Berkata Ibnu Umar ra. : "Saya hapal dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada tiap-tiap hari sepuluh raka'at", lalu disebutkannya apa yang disebutkan Ummu Habibah ra., kecuali dua raka'at fajar. Maka mengenai ini, berkata Ibnu Umar ra. : "Itulah sa'at yang tidak dikerjakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم .di muka saja. Tetapi diceriterakan kepada saya oleh saudara perempuan saya Hafshah ra. bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم .mengerjakan shalat dua raka'at di rumahnya, kemudian beliau keluar. Dan beliau bersabda dalam haditsnya : dua raka'at sebelum Dhuhur dan dua raka'at sesudah 'Isya'. Maka jadilah dua raka'at sebelum Dhuhur, lebih muakkadah dari yang empat raka'at itu. Dan masuk waktunya, dengan tergelincir matahari. Tergelincir matahari (zawal), dapat dikenal dengan bertambahnya bayang-bayang sesuatu yang ditegakkan, condong arah ke Timur, karena bayang-bayang sesuatu ketika terbit matahari menuju arah ke Barat dengan memanjang. Kian matahari meninggi, kian bayang-bayang itu berkurang panjangnya dan beralih dari pihak Barat, sampai matahari itu meninggi ke puncaknya, yaitu lingkaran setengah hari.

Maka yang demikian itu penghabisan kurangnya bayang-bayang.

Apabila matahari sudah gelincir dsri penghabisan ketinggiannya, lalu bayang-bayang kian bertambah. Tatkala bertambahnya bayang-bayang tengah hari sudah kelihatan. maka masuklah waktu Dhuhur.

Dan diketahui dengan sebenarnya, bahwa zawal pada ilmu Allah Ta'ala telah terjadi sebelumnya. tetapi kewajiban hukum tidaklah terikat selain dengan yang tampak pada pancaindra.

Kadarnya sisa dari bayang-bayang tengah hari, yang akan bertambah itu, adalah panjangpada musim dingin dan pendek pada musim panas (1). Dan sepanjang-panjangnya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran bintang al-jad-yi (anak kambing) dan sependek-pendeknya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran bintang assarthan (ketam). Dan itu dapat diketahui dengan tapak kaki dan timbangan.

Jalan yang dekat untuk membuktikannya bagi orang yang mau menjaganya baik-baik, ialah memperhatikan kutub Utara di malam hari dan meletakkan papan empat persegi dengan meratakan di atas tanah, di mana salah satu pinggirnya dari pihak kutub,sehingga kalau diumpamakan jatuh sebutir batu dari kutub ke bumi, kemudian diumpamakan suatu garis dari tempat jatuh batuitu ke pinggir seterusnya dari papan, niscaya tegaklah suatu garis atas pinggir itu, di atas dua sudut yang lurus. Artinya : garis itu tiada miring ke salah satu dari dua pinggir tadi. Kemudian, ditegakkan suatu tiang ke atas papan dengan lurus, pada tempat yang bertanda X, yaitu : yang setentang dengan kutub. Maka terjadilah bayang-bayang di atas papan pada awal siang, miring ke arah Barat, jurusan garis A. Kemudian bayang-bayang itu terus miring, sampai melimpit ke atas garis B, di mana kalau ujung dari tiang itu di pegang, maka sampailah ia lurus ke tempat jatuh batu itu. Dan setentang dengan pinggir bahagian Timur dan bahagian Barat, tanpa miring kepada salah satu daripada keduanya.

1.Ini Adalah menurut letak tempat Dari imam Alghazali sendiri iaitu utara dari khatulistiwa Maka sebaliknya padawaktu yang bersamaan itu pada tempatyang terletak di bahagian selatan dari khatulistiwa seperti australia


Apabila tiada miring lagi ke pihak Barat, maka adalah matahari pada keadaan yang tertinggi sekali. Dan apabila bayang-bayang miring dari garis yang di atas papan itu ke arah Timur, maka nyata-lah telah gelincir matahari. Dan ini dapat diketahui kebenarannya dengan pancaindra, pada waktu yang dekat dari permulaan gelincir pada ilmu Allah Ta'ala. Kemudian diketahui atas ujung bayang-bayang ketika berpalingnya dari tanda. Apabila bayang-bayang dari tanda itu telah menjadi sepanjang tiang, maka masuklah waktu 'Ashar.

Sekedar ini, tak mengapalah mengetahuinya mengenai pengetahuan tentang bayang-bayang.

Inilah gambarnya!,




Gambarnya Akan Di sempurnakan Kemudian







Ketiga : sunat rawatib 'Ashar,yaitu empat raka'at sebelum 'Ashar. Diriwayatkan Abu Hurairah ra. daripada Nabiصلى الله عليه وسلم .bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda : “Dirahmati Allah akan hamba yang mengerjakan shalat empat raka'at sebelum 'Ashar". (1)
1) Dirawikan Abu Dawud, ibnu Hibban dan lain-lain, dari ibnu Umar.


Mengerjakan yang demikian, dengan mengharap agar termasuk dalam do'a Nabi صلى الله عليه وسلم .,adalah disunatkan sebagai sunat muakkadah. Dan do'a Nabi صلى الله عليه وسلم tidak meragukan lagi — adalah diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Dan kerajinan Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakan sunat sebelum 'Ashar, tidaklah seperti kerajinannya mengerjakan dua raka'at sebelum Dhuhur.

Keempat : sunat rawatib Maghrib, yaitu dua raka'at sesudah fardlu Maghrib, yang tak ada perselisihan riwayat tentang dua raka'at itu.

Mengenai dua raka'at sebelum fardlu Maghrib, antara adzan dan qamat, secara cepat saja, maka telah dinukilkan dari segolongan shahabat seperti Ubai bin Ka'b, Ubbadah bin Ash-Shamit, Abi Dzar, Zaid bin Tsabit dan lain-lain.

Berkata Ubbadah atau orang lain : "Adalah muadzin apabila telah mengerjakan adzan untuk shalat Maghrib, lalu bersegeralah para shahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم .ke dekat tiang, untuk mengerjakan dua raka'at shalat".

Berkata setengah mereka : "Adalah kami mengerjakan dua raka'at shalat sebelum Maghrib, sehingga masuklah orang yang masuk ke dalam masjid, lalu menyangka kami telah mengerjakan shalat. Lalu orang yang masuk itu bertanya: "Sudahkah tuan-tuan mengerjakan shalat fardlu Maghrib?".

Hal itu termasuk dalam umumnya sabda Nabiصلى الله عليه وسلم: "Diantara tiap-tiap dua adzan, ada shalat bagi siapa yang mau mengerjakannya".
Imam Ahmad bin Hanbal mengerjakan shalat dua raka'at itu, lalu beliau dilecehkan oleh orang banyak, maka beliau tinggalkan.

Beliau ditanyakan tentang itu, lalu menjawab : "Aku tiada melihat orang banyak mengerjakannya, dari itu aku tinggalkan". Kemudian beliau menyambung : "Kalau seseorang mengerjakan kedua raka'at itu di rumahnya atau di tempat yang tidak dilihat orang banyak, maka adalah baik".

Waktu Maghrib itu masuk dengan terbenam matahari dari pandangan mata, pada daerah yang rata tanahnya, yang tidak dikelilingi oleh bukit-bukit. Kalau dikelilingi oleh bukit-bukit pada arah matahari terbenam, maka terletaklah waktu Maghrib itu, kepada tampaknya kedatangan hitam di sebelah Timur.
إذا أقبل الليل من ههنا وأدبر النهار من ههنا فقد أفطر الصائم
(Idzaa aqbalal-lailu min haa hunaa wa adbaran-nahaaru min haa hunaa faqad aftharash-shaaimu).Artinya : "Apabila datanglah malam dari sini dan pergilah siang dari sini, maka berbuka puasalah orang yang berpuasa". (1)

Lebih disunatkan, menyegerakan shalat Maghrib khususnya. Kalau dilambatkari dan dikerjakan sebelum terbenam Syafaq-merah, maka Maghrib itu jatuh dalam waktunya (adaa'), akan tetapi makruh. Pada suatu malam, Umar ra. terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit sebuah bintang, lalu beliau memerdekakan seorang budak. Dan Ibnu Umar terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit dua bintang, lalu ia memerdekakan dua orang budak,

Kelima : sunat rawatib 'Isya',empat raka'at sesudah shalat fardlu 'Isya.
Berkata 'Aisyah ra. : "Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat empat raka'at sesudah 'Isya', kemudian ia tidur".

Dipilih oleh setengah ulama dari kumpulan hadits-hadits, bahwa bilangan shalat rawatib, ialah tujuh belas raka'at, seperti bilangan raka'at shalat fardlu. Yaitu : dua raka'at sebelum Shubuh, empat raka'at sebelum Dhuhur dan dua raka'at sesudahnya, empat raka'at sebelum 'Ashar, dua raka'at sesudah Maghrib dan tiga raka'at sesudah 'Isya'. Yaitu shalat Witir.

Manakala telah dikenal hadits-hadits yang menerangkan apa yang tersebut tadi, maka tak adalah artinya untuk diterkakan. Nabi صلى الله عليه وسلم .telah bersabda : "Shalat adalah sebaik-baik tempat. Siapa yang mau,perbanyakkanlah dan siapa yang mau, sedikitkanlahl". (2)

Jadi, pilihan tiap-tiap murid, dari shalat-shalat ini adalah menurut kegemarannya pada kebajikan. Dan telah terang pada apa yang telah kami sebutkan, bahwa setengahnya adalah lebih kuat sunatnya daripada yang lain. Meninggalkan yang lebih muakkad itu adalah lebih jauh daripada kebaikan. Apalagi, yang fardlu itu disempurnakan dengan yang sunat. Siapa yang tidak memperbanyakkan sunat, mungkin fardlunya itu tidak selamat, tanpa ada yang menempelkan dari kekurangan.

1.Dirawikan Bukhari dan Muslim dari ibnu umar r.a


Keenam : Sunat Witir.Berkata Anas bin Malik : "Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم . mengerjakan shalat Witir sesudah 'Isya' tiga raka'at. Beliau baca pada raka'at pertama "Sabbihisma rabbikal-'alaa", pada raka'at kedua "Qulyaa ayyuhal kaafiruun",dan pada raka'at ketiga "Qulhuwallaahu ahad". (1)

Tersebut pada hadits bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . mengerjakan shalat dua raka'at sesudah Witir dengan duduk dan "pada sebahagiannya dengan duduk tarabbu' (duduk dengan melipatkan kedua tapak kaki ke bawah dua paha).

Pada setengah hadits tersebut : "Apabila Nabi صلى الله عليه وسلم .bermaksud masuk ke tempat tidur, maka beliau merangkak kepadanya dan mengerjakan shalat di atas tempat tidur itu dua raka'at, sebelum tidur, di mana beliau membaca pada kedua raka'at tadi "Idzaa zulziiatil-ardlu" dan surat"At-Takaatsur", Pada riwayat lain "Qul yaa ayyuhal kaafiruun".

Dibolehkan Witir itu bercerai dan bersambung dengan sekali salam atau dua kali salam. Rasulullah صلى الله عليه وسلم . mengerjakan shalat Witir dengan se raka'at, dengan tiga, lima dan begitulah seterusnya dengan ganjil sampai kepada sebelas raka'at.

Riwayat mengenai tiga belas raka'at diragukan. Dan pada suatu hadits syadz (sangat tipis untuk dipercayai), tujuh belas raka'at. Segala raka'at ini, yakni: apa yang telah kami sebutkan jumlahnya ganjil, adalah shalat malam.Yaitu shalat Tahajjud. Shalat Tahajjud di malam hari, adalah sunat muakkadah. Dan akan datang penjelasan kelebihannya pada "Kitab Wirid". Dan tentang keutamaannya, terdapat khilaf, (perbedaan pendapat). Ada yang mengatakan, bahwa berwirid dengan seraka'at saja, adalah lebih utama. Karena shahlah hadits bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم .membiasakan berwitir dengan se raka'at. Ada yang mengatakan, disambung adalah lebih utama, untuk menghindarkan dari khilaf yang meragukan. Lebih-lebih bagi imam. Karena mungkin ia diikuti orang, yang berpendapat, se raka'at itu bukan shalat.

Kalau ia mengerjakan shalat dengan disambung (disambung lebih dari se raka'at, kepada tiga raka'at umpamanya). maka semuanyaitu diniatkan Witir. Dan kalau disingkatkan se raka'at saja sesudah dua raka'at sunat 'Isya' atau sesudah fardlu 'Isya', niscaya diniatkan Witir dan shah. Karena syarat Witir ialah ganjil pada dirinya sendiri dan mengganjilkan bagi shalat lain yang terdahulu sebelumnya. Dan itu telah mengganjilkan shalat fardlu.

1.Dirawikan An-nasai Attirmidzi dan lain lain dari ibnu Abbas dengan sanad sahih


Kalau dikerjakan Witir sebelum shalat 'Isya', maka tidak shah. Artinya : tidak memperoleh kelebihan Witir, yang "lebih baik baginya, daripada unta merah ", sebagaimana tersebut pada hadits. Kalau tidak demikian, maka saraka'at tunggal, adalah shah untuk Witir, pada sembarang waktu.
Witir itu tidak shah sebelum shalat 'Isya', karena bertentangan dengan ijama' semua orang tentang pelaksanaan Witir. Dan karena tidak didahului oleh suatu shalat yang membuatkan dia menjadi ganjil raka'atnya (witir).

Apabila bermaksud mengerjakan shalat Witir dengan tiga raka'at terpisah, maka mengenai niatnya pada dua raka'at, ada penilikari. Yaitu kalau diniatkan dengan dua raka'at itu tahajjud atau sunat 'Isya'maka tidaklah itu menjadi Witir. Kalau diniatkan Witir, maka tidaklah itu sendiri menjadi witir, tetapi yang menjadi witir, ialah yang sesudahnya.

Tetapi yang lebih kuat, bahwa diniatkan witir, sebagaimana diniatkan witir pada tiga raka'at yang bersambung. Tetapi witir itu, mempunyai dua pengertian. Pertama, adalah dia itu witir pada dirinya sendiri. Dan kedua, bahwa ia ada, untuk menjadikan witir dengan apa yang sesudahnya. Sehingga jumlah yang tiga itu adalah witir (ganjil) dan dua raka'at itu adalah dalam jumlah yang tiga tadi. Hanya ke-witiran-nya itu, terletak atas raka'at yang tiga.

Apabila bermaksud membuat yang dua raka'at itu witir (ganjil) dengan raka'at yang ketiga, maka hendaklah diniatkan yang dua raka'at itu witir dan raka'at ketiga adalah witir dengan sendirinya dan mewitirkan pula lainnya. Sedang yang dua raka'at, tidaklah mewitirkan yang lain dan tidaklah ia menjadi witir dengan sendirinya. Tetapi kedua raka'at itu menjadi witir, disebabkan oleh yang lain.

Selayaknyalah witir itu menjadi penghabisan shalat malam, sehingga dia itu dikerjakan sesudah shalat tahajjud. Dan akan diterangkan kelebihan Witir dan Tahajjud serta cara tartib diantara keduanya dalam Kitab Wirid nanti.

Ketujuh : shalat Dluha.Membiasakan shalat Dluha, adalah termasuk amal perbuatan yang penting dan utama. Bilamana raka'at, yang terbanyak menurut riwayat yang dinukilkan, adalahdelapan raka'at,

Diriwayatkan oleh Ummu Hani — saudara perempuan dari Saidina Ali bin Abi Thalib ra. -bahwa Nabiصلى الله عليه وسلمmengerjakan shalat Dluha delapan raka'at, di mana Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakannya dengan berlama-lama dan dengan sebaik-baiknya. Dan tidaklah dinukilkan yang demikian lamanya itu pada shalat yang lain, (1)

Dan 'Aisyah ra. menyebutkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . mengerjakan shalat Dluha empat raka'at dan menam bah kannya sebanyak-banyaknya, sehingga tambahan itu tidak terbatas. (2) Artinya : adalah Nabi صلى الله عليه وسلم membiasakan empat. raka'at dan tidak kurang daripadanya. Kadang-kadang ditambahkannya dengan bebarapa tambahan. Dan diriwayatkan pada hadits yang tunggal perawinya (hadits mufrad), bahwa Nabiصلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat Dluha enam raka'at.

Waktu shalat Dluha,menurut riwayat yang diriwayatkan Ali ra. bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakan shalat Dluha enam raka'at pada dua waktu. Yaitu apabila telah terbit matahari dan sudah meninggi, lalu beliau bangun dan bershalat dua raka'at. Yaitu : yang pertama bagi wirid kedua, dari wirid-wirid siang, sebagaimana akan diterangkan.

Dan apabila matahari telah membentang dan berada pada seperempat langit dari sebelah Timur, lalu beliau mengerjakan shalat empat raka'at.

Yang pertama tadi adalah ketika matahari telah meninggi kira-kira setengah anak panah. Dan yang kedua, apabila telah berlalu seper-empat siang, sebanding dengan shalat 'Ashar (waktu sorenya). Maka waktunya, bahwa masih tinggal dari siang, kira-kira seperempatnya. Dan Dhuhur adalah pada pertengahan hari dan Dluha adalah pada pertengahan diantara terbit matahari, sampai kepada gelincimya, sebagaimana 'Ashar adalah pada pertengahan diantara gelincir matahari, sampai kepada terbenamnya.

Inilah waktu-waktu yang paling utama. Dan dari waktu meninggi matahari, sampai kepada sebelum gelincirnya, adalah waktu bagi shalat Dluha umumnya.

Kedelapan : menghidupkan shalat diantara Maghrib dan 'Isya'. Yaitu sunat muakkadah. Diantara yang dinukilkan bilangan raka'atnya daripada perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم . diantara Maghrib dan 'Isya' itu, ialah enam raka'at.
(1)Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ummu Hani'.
(2)Dirawikan Muslim dari 'Aisyah.


Shalat ini mempunyai kelebihan besar Dan ada yang mengatakan bahwa shalat itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah 'Azza wa Jalla:
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ
(Tatajaafaa junuubuhum 'anil madlaaji-'i). Artinya : "Mereka meninggalkan tempat tidurnya, menyeru Tuhannya (S.As-Sajadah, ayat 16).

Diriwayatkan daripada Nabi صلى الله عليه وسلم . bahwa beliau bersabda : "Siapa yang bershalat antara Maghrib dan 'Isya', maka sesungguhnya shalat itu sebahagian dari shalat orang-orang yang bertobat",(1)

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم: "Siapa yang beri'tikaf antara Maghrib dan 'isya, dalam masjid Lempat ber jama 'ah, di mana ia tidak berkata-kata, selain daripada bershalat atau membaca Al-Quran, niscaya ia berhak pada Allah Ta'ala, untuk dibangun baginya dua istana di dalam sorga. Masing-masing istana itu sejauh perjalanan seratus tahun dan ditanamkan baginya diantara kedua istana tadi tanam-ianaman. Kalau dikelilingi oleh penduduk bumi, maka termuatlah mereka semuanya". (2)

Dan akan datang penjelasan segala kelebihannya yang lain dalam Kitab Wiridnanti, Insya Allah Ta'ala!-
1.Dirawikan Ibnul mubarak dari ibnul munzir,Hadith Mursal
2.Dirawikan Abul walid AshShafar Dari Abdul Malik Bin Habib Dari Abdullah Bin Umar

 

Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...