Kitab Amar Ma'ruf Dan Nahi Mungkar




كتاب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر

وهو الكتاب التاسع من ربع العادات الثاني من كتب إحياء علوم الدين

بسم الله الرحمن الرحيم



KITAB AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNKAR



Yaitu Kitab Kesembilan dari Rubu' Adat Kedua dari Kitab Ihya' - Ulumiddin.

(Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih)



Segala pujian bagi Allah, yang tidaklah dimulai kitab-kitab, kecuali dengan memiijikan-Nya. Dan tidaklah dianugerahi ni'mat-ni'mat, kecuali dengan perantaraan kemurahan dan keluasan anugerah-Nya. Dan shalawat kepada penghulu nabi-nabi, yaitu Muhammad, rasul- Nya dan hamba-Nya. Dan kepada keluarganya yang baik dan shahabat-shahabatnya yang suci sesudahnya.



Adapun kemudian, maka sesungguhnya amar-ma’ruf (menyuruh berbuat kebajikan) dan nahi-munkar (melarang berbuat yang munkar), adalah garis lurus yang terbesar dalam Agama. Yaitu hal yang penting, di mana Allah mengutuskan nabi-nabi semuanya untuk itu. Jikalau dilipatkan permadaninya dan disia-siakan ilmu dan amalannya, niscaya kosonglah syi'ar kenabian. Tersapulah keagamaan. Meratalah masa kekosongan. Berkembanglah kesesatan. Terkenallah kebodohan. Menjalarlah kerusakan.Meluaslah kekoyakan. Runtuhlah negeri-negeri. Dan binasalah hamba rakyat. Dan mereka itu tiada merasa kebinasaan, melainkan pada hari qiyamat. Sesungguhnya yang kita takutkan itu, akan ada. Maka sesungguh­nya kita kepunyaan Allah dan kita kembali kepada-Nya (Innaa- lillaahi wa innaa ilaihi raaji-'uun). Karena telah terhapus dari garis lurus (amar-ma'ruf dan nahi-munkar) itu, amalan dan ilmunya. Dan terpupuslah secara keseluruhan, hakikat dan gambarannya. Lalu berkuasalah (pada hati, berminyak-minyakan air dengan makhluq. Dan terhapuslah dari hati muraqabah dengan Khaliq. Terlepaslah manusia kepada mengikuti hawa-nafsu dan syahwat, sebagaimana terlepasnya hewan-hewan. Dan sedikitlah di atas permukaan bumi, orang mu'min yang benar, yang tidak terpengaruh karena Allah oleh cacian orang yang mencacikan.-

Maka orang yang berusaha memperoleh kembali keKosongan ini dan menyumbatkan kerusakan tersebut, adakalanya menanggung mengerjakannya. Atau mengikuti melaksanakannya. Memperba- harui sunnah ini yang telah berhamburan. Bangun menegakkannya dan bersungguh-sungguh menghidupkannya. Maka orang itu adalah orang yang tertentu dari antara makhluq, dengan menghidupkan sunnah, yang telah dibawai "oleh. zaman kepada mematikannya.

692



Bekerja berbuat tha'at yang semakin kecil derajat mendekatkan diri kepada Allah, tanpa sampai kederajatnya yang tertinggi. Marilah kami menguraikan pengetahuan amar-ma'ruf dan nahi-munkar itu dalam empat bahagian :



Bab Pertama tentang : wajib amar-ma'ruf dan nahi-murikar dan keutamaannya.



Bab Kedua tentang : rukun dan syaratnya.



Bab Ketiga tentang : perlakuan dan penjelasan munkar-munkar yang berlaku dalam adat-kebiasaan.



Bab Ke-empat tentang : menyuruh amir-amir dan sultan-sultan mengerjakan ma'ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar.





693



bab pertama Tentang wajib amar-ma'ruf dan nahi- munkar dan keutamaannya. Dan celaan menyia-nyiakan dan mening galkannya.



Dalil kepada yang demikian, sesudah ijma' ummat dan petunjuk akal yang sehat, iaiah ayat Al-Qur-an, hadits Nabi saw. dan atsar (peninggalan shahabat-shahabat ra.). Adapun ayat Al-Qur-an, yaitu firman Allah Ta'ala :

ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون

(Wal-takum minkum ummatun yad-'uuna ilal-khairi waya'-muruuna bil- ma'-ruufi wa yanhauna 'anil-munkari, wa ulaa-ika humul-muflihuun).Artinya : "Hendaklah kamu tergolong ummat yang mengajak kepa­da kebajikan, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah. Mereka itulah orang yang beruntung (menang) (S. 'Ali 'Imran, ayat 104).



Pada ayat tersebut keterangan pengwajiban. Karena firman Allah Ta'ala : "Hendaklah kamu (Waltakun ولتكن) itu amar (menyuruh atau perintah). Secara dzahiriah amar itu pengwajiban. Dan pada ayat tersebut keterangan, bahwa keberuntungan (kemenangan) tergan tung dengan pengwajiban tadi. Karena Allah Ta'ala membatasi dan berfirman : "Mereka itulah orang yang beruntung (menang)". Pada ayat tersebut keterangan, bahwa amar-ma'ruf dan nahi- munkar itu fardlu-kifayah. Tidak fardlu 'ain. Dan apabila telah bangun suatu golongan melaksanakan amar-ma'ruf dan nahi-munkar, niscaya gugurlah fardlu itu dari yang lain. Karena Allah Ta'ala tidak berfirman : "Hendaklah. kamu, tiap-tiap kamu beramar-ma'ruf!".



Tetapi la berfirman : "Hendaklah kamu tergolong ummat''. Jadi, manakala telah bangun seorang atau suatu jama'ah dengan tugas itu, niscaya gugurlah dosa dari orang-orang lain. Dan terten- tulah keberuntungan (kemenangan) bagi orang-orang yang bangun melaksanakannya. Dan jikalau duduklah semua orang, tidak melak­sanakan-amar-ma'ruf dan nahi-munkar, niscaya meratalah dosa kepada keseluruhan — tidak mustahil — orang-orang yang sanggup beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar itu.



Allah Ta'ala berfirman : "Mereka tidak sama. Diantara orang-orang keturunan Kitab itu ada golongan yang lurus dan mereka membaca ayat-ayat (keterangan-keterangan) Allah di tengah malam dan

mereka sujud (kepada Allah). Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah dan menyegerakan mengerjakan perbuatan baik. Mereka itulah yang termasuk orang yang baik-baik'  (S. 'Ali 'Imran, ayat 113 -114).

694



Allah Ta'ala tidak mengakui mereka termasuk orang yang baik- baik, dengan semata-mata beriman kepada Allah dan hari akhirat, sebelum ditambahkan-Nya kepada keimanan itu, amar-ma’ruf dan nahi-munkar. Allah Ta'ala berfirman :

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة

(Wal-mu'-minuuna wal-mu'-minaatu ba'-dluhum au liyaa-u ba'-dlin, ya'-muruuna bil-ma'ruufi wa yanhauna 'anil-munkari wa yuqiimuu- nash-shalaata).Artinya : "Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan orang- orang yang beriman perempuan, mereka satu sama lain pimpin-memimpin. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik, melarang me­ngerjakan yang salah, mereka tetap mengerjakan shalat". (S. At- Taubah, ayat 71).



Allah Ta'ala menyifatkan orang-orang mu'min, bahwa mereka itu menyuruh mengerjakan yang baik (amar-ma'ruf) dan melarang mengerjakan yang salah (nahi-munkar). Maka orang yang mening­galkan amar-ma'ruf dan nahi-munkar itu keluar dari orang-orang mu'min yang disifatkan pada ayat tadi.



Allah Ta'ala berfirman : "Orang-orang yang tidak beriman dari Bani Israil kena kutukan lidah Daud dan Isa Anak Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan melanggar aturan. Mereka satu sama lain tidak melarang dari perbuatan salah yang mereka kerja- kan; sesungguhnya amat buruk yang mereka perbuat(S. Al- Maidah, ayat 78 - 79).



695

Dan yang tersebut pada ayat tadi adalah sangat keras. Karena me­nerangkan sebabnya mereka berhak mendapat kutukan, ialah dise­babkan mereka meninggalkan nahi-munkar. Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر

(Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaasi, ta'-muruuna bil-ma'­ruufi wa tanhauna 'anil-munkari).

Artinya : "Kamu adalah ummat yang paling baik, yang dilahirkan untuk kepentingan manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah ". (S. 'Ali-'Imran, ayat 110).



Ini menunjukkan kepada keutamaan amar-ma'ruf dan nahimunkar. Karena menerangkan bahwa mereka adalah ummat yang paling baik, yang dilahirkan untuk kepentingan manusia. Allah Ta'ala berfirman : "Dan setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari membuat kesalahan dan kami siksa orang-orang yang aniaya itu dengan siksaan yang mengerikan, disebabkan mereka berlaku jahat".' (S. Al-A'raf, ayat 165).



Keterangan di atas ini menerangkan bahwa mereka memperoleh faedah keselamatan (kelepasan) dengan melarang dari membuat 'kejahatan. Yang demikian itu menunjukkan juga kepada wajib. Allah Ta'ala berfirman :

الذين إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر

(Alladziina in makkannaahum fil-ardli, aqaamush-shalaata wa ata- wuz-zakaata wa amaruu bil-ma'-ruufi wa nahau 'anil-munkari), Artinya : "Orang-orang yang jika Kami diamkan (tempatkan). di muka bumi, mereka tetap mengerjakan shalat dan membayarkan zakat dan menyuruh mengerjakan perbuatan baik dan melarang perbuatan yang salah (S. Al-Hajj, ayat 41).



Ayat ini menyertakan amar-ma'ruf dan nahi-munkar itu dengan shalat dan zakat pada menyifatkan orang-orang shalih dan orang- orang mu'min. Allah Ta'ala berfirman :

وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان

(Wa ta-'aawanuu 'alal-birri wat-taqwaa wa laa ta-'aawanuu 'alal- itsmi wal-'udwaani).Artinya : "Hendaklah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan pekerjaan baik dari memelihara diri (dari kejahatan) dan janganlah bantu-membantu dalam mengerjakan dosa dan pelanggaran hu- kum (S. Al-Maidah, ayat 2).

Dan itu adalah perintah yang tegas. Dan pengertian bantu-memban- itu ialah menggerakkan kepadanya. Memudahkan jalan kebajikan. Dan menyumbat jalan kejahatan dan permusuhan, menurut kemungkinan.

696

Allah Ta'ala berfirman : "Mengapa mereka tidak dilarang oleh ahli-ahli ilmu Ketuhanan dan pendeta-pendeta dari mengucapkan perkataan dosa dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan(S. Al-Maidah, ayat 63). Maka diterangkan bahwa mereka itu berdosa dengan meninggalkan nahi-munkar.

Allah Ta'ala berfirman : "Mengapa tidak diperdapat dari angkatan (turunan) yang dahulu dari kamu, orang-orang yang mempunyai sisa-sisa (perasaan kesadaran), yang akan melarang manusia mem­buat bencana di muka bumi, selain sebagian kecil saja dari orang- orangyang telah Kami selamatkan (S. Hud, ayat 116).

Maka diterangkan bahwa Allah Ta'ala membinasakan semua me­reka, selain sedikit yang ada melarang manusia membuat bencana. Allah Ta'ala berfirman :

يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على انفسكم أو الوالدين والاقربين وذلك هو الأمر بالمعروف للوالدين والأقربين

(Yaa-ayyuhalladziina aamanuu kuunuu qawwaamiina bil-qisthi syuhadaa-a lillaahi walau-'alaa anfusikum awil-waalidaini wal-aqrabiin).Artinya : "Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu men­jadi orang-orang yang kuat menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapamu dan kerabatmu(S. An-Nisa', ayat 135).



Yang demikian adalah amar-ma'ruf bagi ibu-bapa dan kerabat. Allah Ta'ala berfirman: "Tiadalah mendatangkan kebaikan banyak nya rapat-rapat rahasia mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan orang-orang yang menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusia. Barangsiapa yang mengerja­kan itu, karena mengharapkan keredaan Allah, akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar(S. An-Nisa', ayat 114).

Allah Ta'ala berfirman

وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما

(Wa in thaa-ifataani minal-mu'-miniinaq-tataluu fa-ash lihuu bat nahumaa).Artinya : "Dan kalau ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang-perangan, hendaklah kamu damaikan antara keduanya/" (S. Al-Hujurat, ayat 9).

697

Mendamaikan ialah melarang dari memberontak dan mengembali- kan kepada kepatuhan (ketha'atan). Kalau tidak berbuat demikian maka Allah Ta'ala memerintahkan memeranginya, dengan firman- Nya :

فقال فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله

(Faqaatilullatii tabghii hattaa tafii-a ilaa amrillaahi). Artinya : ‘Maka perangilah yang melanggar perjanjian sampai surut, kembali kepada-perintah Allah!". (S. Al-Hujurat, ayat 9). Dan itu adalah larangan berbuat yang salah (munkar).



Adapun hadits, diantaranya yang diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., bahwa beliau berkata pada suatu pidato yang dipidatokannya sesudah menjadi khalifah : "Hai manusia!". Se­sungguhnya kamu membaca ayat ini dan menta'wilkannya bersalahan dari ta'wilannya, yaitu ayat:

يا أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم

(Yaa-ayyuhalladziina aamanuu 'alaikum anfusakum laa yadlur- rukum man dlalla idzah-tadaitum).Artinya : "Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu! Tidak­lah akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu kalau kamu ada menurut jalan yang benar". (S. Al-Maidah, ayat 105). Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : "Tiadalah dari suatu kaum yang berbuat perbuatan ma'shiat dan dalam kalangan mereka ada orang yang sanggup menantang mereka itu, lalu tiada berbuat, melainkan hampirlah mereka diratakan oleh Allah dengan azab daripada-Nya ".

698

Diriwayatkan dari Abu Tsa'labah Al-Khasyani, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw. tentang tafsir firman Allah Ta'ala : "Tidak­lah akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu, kalau kamu ada menurut jalan yang benar". (S. Al-Maidah, ayat 105) di atas, lalu Rasulullah saw. menjawab : "Hai Abu Tsa'labah! Suruhlah berbuat perbuatan yang baik dan laranglah berbuat perbuatan yang jahat! Apabila engkau melihat kikir yang dituruti, hawa-nafsu yang diikuti, dunia yang dipilih dan ketakjuban masing- masing orang dengan pendapatnya sendiri, maka haruslah engkau tinggal sendirian dan tinggalkanlah orang-orang awam! Sesungguh­nya, di belakangmu itu banyak fitnah, seperti memutuskan malam yang amat gelap, bagi orang yang berpegang padanya seperti yang kamu padanya, memperoleh lima puluh pahala daripada kamu".

Lalu ada yang bertanya : "Bahkan. dari mereka itu, wahai Rasulullah?'

Rasulullah saw. menjawab: "Tidak! Tetapi daripada kamu. Karena kamu memperoleh pembantu-pembantu untuk menyuruh menger­jakan kebaikan.. Dan mereka itu tiada memperoleh pembantu- pembantu untuk yang demikian". (1)



Ditanyakan Ibnu Masud , ra. tentang penafsiran ayat tadi (ayat 105 S. Al-Maidah), lalu beliau menjawab : "Bahwa ini bukanlah zamannya ayat itu. Bahwa ayat itu pada hari ini diterima. Tetapi hampir'Iah akan datang zamannya, di mana kamu menyuruh me­ngerjakan perbuatan yang baik. Lalu diperbuat kepadamu begini-begitu dari kejahatan. Dan kamu berkata menyuruh berbuat keba­jikan, tetapi tidak diterima daripada kamu itu. Maka ketika itu, haruslah kamu menjaga dirimu sendiri. Tiada akan mendatangkan kemelaratan kepadamu oleh orang yang sesat, apabila kamu telah memperoleh petunjuk".



Rasulullah saw. bersabda : "Hendaklah kamu menyuruh mengerja­kan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan atau dikeraskan oleh Allah kepadampi akan orang-orang jahat kamu. Kemudian orang-orang baik kamu melakukan seruan (daywah), tetapi seruan mereka itu tiada diterima". (2) Artinya : hilang kehebatan mereka pada pandangan orang-orang jahat. Mereka itu tiada takut kepada orang-orang baik itu.

Nabi saw. bersabda: "Hai manusia! Sesungguhnya Allah berfirman: 'Hendaklah kamu menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan, sebelum kamu melakukan da'wah, di mana nanti tiada akan diterima seruanmu".(3)



Nabi saw. bersabda : "Tiadalah amal kebajikan pada sisi jihad fi sabilillah, selain seperti sekali ludah dalam lautan luas. Dan tiadalah semua amal kebajikan dan jihad fi sabilillah pada sisi amar-ma'ruf dan nahi-munkar, melainkan seperti sekali. ludah dalam lautan luas". (4)



1.Dirawikan Abu Dau'Ud dan Al-Tirmidzi dan dipandattgnya, hadits hasan.
2.Dirawikan Al-Bazzar dari 'Uinar bin Al-Khaihthab dan Ath-Thabrani dari Abu Hurairah. Keduanya dla'if.
3.Dirawikan Ahmad dan Al-Baihaqi dari 'A-isyah.
4.Dirawikan Abu Mansliur Ad-Dailami dari Jabir, dengan sanad dia'if.
699

Nabi saw. bersabda : "Sesungguhnya Allah Ta'ala menanyakan hamba-Nya : "Apakah yang mehghalangi engkau ketika engkau melihat perbuatan munkar untuk melarangnya?". Apabila Allah Ta'ala mengajarkan kepada hamba akan alasannya, lalu hamba itu berkata : Wahai Tuhanku! Aku percaya akan Engkau dan aku memisahkan diri dari manusia". (1)



Nabi saw. bersabda : "Jagalah dirimu dari duduk di jalan!".

Para shahabat menjawab : "Tak dapat tidak kami harus duduk di jalan, Sesungguhnya jalan itu adalah tempat duduk-duduk kami, di mana di situ kami bercakap-cakap".

Rasulullah saw. menjawab : "Apabila kamu enggan, kecuali demi­kian, maka berilah kepada jalan itu haknya!".

Mereka itu bertanya : "Apakah hak jalan itu?".

Rasulullah saw. menjawab : "Memicingkan mata, mencegah menyakitkan orang, menjawab salam. beramar-ma'iuf dan bernahi-munkar". (2)



Nabi saw. bersabda :

كلام ابن آدم كله عليه لا له إلا أمرا بمعروف أو نهيا عن منكر أو ذكرا لله تعالى

(Kalaamub-ni aadama kulluhu 'alaihi, laa lahu, illaa amran bi-ma'- ruufin au nahyan 'an munkarin au dzikrallaahi ta'-aalaa).Artinya : "Perkataan Anak Adam (manusia ) semuanya ke atasnya (memberatkannya), tidak untuknya (menguntungkannya), kecuali amar-ma'ruf atau nahi-munkar atau dzikir kepada Allah Ta'ala". (3)



Nabi saw. bersabda :

إن الله لا يعذب الخاصة بذنوب العامة حتى يرى المنكر بين أظهرهم وهم قادرون على أن ينكروه فلا ينكرونه

(Innallaaha laa yu-‘adz-dzibul-khaash-shata bidzunuubU-'aammati, hattaa yural-munkaru baina adh-hurihim wa hum qaadiruuna 'alaa an yunkiruuhu, fa laa yunkiruunahu).Artinya : "Allah Ta'ala tiada menyiksa oran gpilihan (orang khawwash) disebabkan dosa orang awam, kecuali kejahatan perbuatan munkar di hadapan mereka dan mereka sanggup melarangnya, lalu tidak dilarangnya". (4)



Abu Amamah Al-Bahili meriwayatkan dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. bertanya: "Bagaimanakah sikapmu, apabila isterimu durhaka, pemuda-pemudamu fasiq dan kamu meninggalkan jihad?".



(1)     Dirawikan Ibnu Maj'ah dan hadits ini sudah diterangkan dahulu.
(2)    Dirwikan Al-Sukhari dan Muslim dari Abi Sa-id.
(3)    Hadits ini sudah diterangkan dahulu.
(4)    Dirawikan Ahmad dari 'Uda bin 'Utnairah.
700

Abu Amamah Al-Bahili meriwayatkan dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. bertanya: "Bagaimanakah sikapmu, apabila isterimu durhaka, pemuda-pemudamu fasiq dan kamu meninggalkan jihad?".

Para shahabat itu menjawab : "Apakah yang demikian itu ada, wahai Rasulullah?".

Rasulullah saw. menjawab : "Ada! Demi Allah yang nyawaku ditangan-Nya! Yang lebih berat dari itu akan ada".

Lalu mereka bertanya : "Apakah yang lebih berat daripadanya, wahai Rasulullah?".

Rasulullah saw. menjawab : "Bagaimanakah kamu apabila tidak beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar?".

Mereka itu bertanya lagi : "Adakah yang demikian, wahai Ra­sulullah?".

Rasulullah saw. menjawab : "Ada! Demi Allah yang nyawaku ditangan-Nya. Yang lebih berat dari itu akan ada".

Mereka itu bertanya pula : "Apakah yang lebih berat dari itu?".

Rasulullah saw. menjawab : "Bagaimanakah kamu, apabila kamu melihat yang ma'ruf (baik) menjadi munkar (jahat) dan yang mun­kar menjadi ma'ruf?". ,

Mereka itu bertanya pula : "Adakah yang demikian itu, wahai Ra­sulullah?".

Rasulullah saw. menjawab : "Ada! Demi Allah yang nyawaku ditangan-Nya. Yang lebih berat itu akan ada!".

Mereka itu bertanya : "Apakah yang lebih berat dari itu?".

Rasulullah saw. menjawab : "Bagaimanakah kamu, apabila kamu menyuruh mengerjakan munkar dan melarang mengerjakan ma'­ruf?".

Mereka itu bertanya: "Adakah yang demikian, wahai Rasulullah?".

Nabi saw. menjawab : "Ada! Demi Allah,yang nyawaku ditangan Nya. Yang lebih berat dari itu akan ada. Allah Ta'ala berfirman  'Dengan kebesaran-Ku Aku bersumpah. Sesungguhnya Aku taqdir kan bagi mereka fitnah, di mana orang yang penyantun menjadi heran padanya'".(1)



Dari 'Akramah, dari Ibnu 'Abbas ra., di mana Ibnu 'Abbas itu berkata : "Rasulullah saw. bersabda : 'Jangan kamu berdiri di sisi laki-laki yang membunuh orang teraniaya’ Sesungguhnya kutukan itu akan turun ke atas orang yang hadlir dan tidak menolak kedza- liman itu. Dan jangan engkau berdiri di sisi laki-laki yang memukul orang yang teraniaya! Karena kutukan itu akan turun keatas orang yang hadlir dan tidak menolak kedzaliman itu' " (2)

(1)     Dirawikan Ibnu 'Abid-Dun-ya, dengan isnad dia'if.
(2)     Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, dengan sanad dla'if.
701

Ibnu 'Abbas ra. berkata : "Rasulullah saw. bersabda :

لا ينبغي لامرئ شهد مقاما فيه حق إلا تكلم به فإنه لن يقدم أجله ولن يحرمه رزقا هو له

(Laa yanbaghii limri=in syahida muqaaman fiihi haqqun illaa takal- lama bihi fa-innahu lan yuqaddima ajalahu wa lan yuhrimahu rizqan huwa lahu).Artinya : "Tiada seyogialah bagi manusia yang menyaksikan suatu tempat, yang padanya ada kebenaran, melainkan mengatakan kebe­naran itu. Karena sesungguhnya yang demikian tiada akan mendahulukan ajalnya dan tidak akan menghalangi rezeki yang teruntuk baginya(1)



Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh masuk ke rumah orang- orang dzalim, orang-orang fasiq. Dan tidak boleh menghadliri tempat-tempat yang akan dipersaksikan perbuatan munkar pada­nya. Dan ia tidak sanggup merobahnya. Karena Nabi saw. bersab­da : "Kutukan itu akan turun kepada orang yang menghadlirinya". Dan tidak boleh menyaksikan perbuatan munkar, tanpa ada keper- luan, dengan beralasan lemah dari mencegahnya. Karena inilah segolongan dari ulama terdahulu (ulama salaf ) memilih 'uzlah. Karena dilihat mereka perbuatan munkar di pasar-pasar, hari-hari Raya dan tempat-tempat perkumpulan. Dan mereka itu lemah daripada merobahnya. Dan ini menghendaki harusnya meninggal­kan bergaul dengan orang banyak.



Karena inilah 'Umar bin 'Abdul-'aziz ra. berkata : "Tiada mengembara para pengembara dan meninggalkan kampung dan anak-anak mereka, kecuali disebabkan seperti apa yang terjadi pada kita, ketika melihat kejahatan telah timbul dan kebajikan telah terbenam. Dan mereka melihat bahwa tidak diterima perkataan dari orang yang berkata benar. Dan melihat bermacam-macam fitnah dan tidak merasa aman dari teriibat mereka padanya. Dan azab (bencana) akan turun kepada kaum itu, lalu tidak akan selamat dari bencanaitu".



Maka mereka melihat bahwa bercampur-baur dengan binatang buas dan memakan sayur-sayuran adalah lebih baik dari bercampur-baur dengan mereka itu di dalam keni'matan".



(1) Dirawikan Al-Baihaqi dari Ibnu AbbasaDan dirawikan At-Tiirnidzi dan dipandangnya hadits hasan.
702

Kemudian, 'Umar bin 'Abdul-'aziz membaca ayat:

ففروا إلى الله إني لكم منه نذير مبين

(Fa firruu ilallaahi innii lakum minhu nadziirun mubiin). Artinya : "Sebab itu, segeralah pergi kepada Allah; sesungguhnya aku pemberi peringatan yang terang dari Allah kepada kamu!". (S. Adz-Dzariyat, ayat 50).



'Umar bin 'Abdul-'aziz menyambung : "Lalu suatu kaum itu pergi. Jikalau tidaklah Allah Ta'ala maha besar pujian kepada-Nya — menjadikan rahasia pada kenabian, sesungguhnya kami akan me­ngatakan, bahwa tidaklah para nabi itu lebih utama daripada kaum itu, tentang apa yang sampai kepada kami, bahwa para malaikat as. berjumpa dan berjabatan tangan dengan mereka. Awan dan bina- tang buas lalu pada salah seorang dari mereka. Maka orang itu memanggilnya. Maka awan dan binatang buas itu menyahud akan panggilannya. Dan orang itu bertanya kepadanya : "Di manakah engkau suruh?". Awan dan binatang buas itu menerangkan kepa­danya, sedang orang itu bukan nabi.



Abu Hurairah ra. berkata : "Rasulullah saw. bersabda : Barang siapa hadlir pada perbuatan ma'shiat, tetapi tiada menyukainya, maka seakan-akan ia tidak datang pada perbuatan ma'shiat itu. Dart barangsiapa tiada, datang pada perbuatan ma'shiat, tetapi menyu­kainya, maka seakan-akan ia hadlir pada perbuatan ma'shiat itu" (1) Arti hadits tadi, ialah ia hadlir karena ada keperluan. Atau kebetulan terjadinya perbuatan munkar itu di hadapannya. Adapun hadlir dengan disengaja itu terlarang, berdalilkan hadits pertama di atas.



 (1) Dirawikan Ibnu 'Uda dari Abu Hurairah.
703



Ibnu Mas-ud ra. berkata : "Rasulullah saw. bersabda : Allah 'Azza wajalla tiada mengutuskan seorang nabi, melainkan nabi itu mem­punyai pembantu-pembantu (hawary). Maka Nabi itupun berdiri di tengah-tengah mereka  ma sya'allaah— berbuat pada mereka menurut Kitab Allah dan perintah-Nya. Sehingga apabila Allah mengambil (mewafatkan) nabi-Nya, niscaya para pembantu itu bangun bekerja menurut kitab Allah dan perintah-Nya dan sunnah nabi mereka. Apabila mereka telah habis binasa maka sesudah mereka, ada suatu kaum yang naik di atas mimbar, mengatakan apa yang mereka pandang baik (berkata yang ma'ruf) dan berbuat apa yang mereka pandang buruk (berbuat yang munkar). Apabila kamu melihat yang demikian, maka berhaklah di atas tiap-tiap orang mu’min berjihad menantang mereka dengan tangannya. Jika­lau tidak sanggup, maka dengan lidahnya. Dan jikalau tidak sang­gup maka dengan hatinya. Dan tidaklah lagi dibalik itu Islam ". (1)



Ibnu Mas'ud ra. berkata : "Adalah penduduk suatu kampung ber­buat perbuatan ma'shiat. Dan ada pada mereka empat orang yang menantang apa yang diperbuat mereka itu. Salah seorang dari yang empat itu bangun dan berkata :''Bahwasanya kamu berbuat begini begitu dari perbuatan jahat'". Lalu orang tersebut melarang mere­ka dan menerangkan kejinya apa yang diperbuat mereka. Lalu mereka itu menolak dan tidak berhenti dari perbuatan mereka yang jahat itu. Maka orang itu memaki mereka lalu merekapun memaki orang itu, Orang itu memerangi mereka, lalu mereka mengalahkan orang itu.



Maka orang itupun mengasingkah diri (ber-'uzlah). Kemudian berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Bahwasanya aku telah melarang mereka. Tetapi mereka tiada mematuhi akan aku. Aku memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Aku memerangi mereka, lalu mereka mengalahkan aku". Kemudian orang itupun pergi Kemudian bangun yang lain. Lalu melarang mereka. Tetapi mereka itu tiada mematuhinya. Maka ia memaki mereka itu, lalu mereka itu memakinya. Orang itupun lalu mengasingkan diri. Kemudian berdo'a, : Wahai Allah Tuhanku! Bahwasanya aku telah melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhi akan aku. Aku memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya mereka mengalahkan aku". Kemudian orang itu­pun pergi......................................            

Kemudian bangun orang ketiga. Lalu. melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhinya. Maka orang itupun mengasiiigkan diri. Kemudian berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Bahwasanya aku telah melarang mereka, .tetapi mereka tiada mematuhi akan aku. Jikalau aku memaki mereka, niscaya mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya mereka mengalahkan aku". Kemu­dian orang itupun pergi.

Kemudian, bangun orang ke-empat, lalu berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Bahwasanya jikalau aku melarang mereka, niscaya me­reka mendurhakai aku. Jikalau aku memaki mereka, niscaya mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya merka mengalahkan aku " Kemudian, orang itupun pergi.........,



(1) Dirawikan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
704

Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Orang ke-empat itu adalah yang paling rendah derajatnya. Dan sedikitlah dalam kalangan kamu orang yang seperti itu".



Ibnu 'Abbas ra. berkata : "Ada orang yang bertanya kepada Nabi saw. : 'Wahai Rasulullah! Adakah dibinasakan kampung dan pada kampung itu, ada orang-orang shalih?' ". Rasulullah saw. menjawab : "Ada!".

Yang bertanya itu bertanya lagi : "Disebabkan apa, wahai Ra­sulullah?".

Rasulullah saw. menjawab :"Disebabkan mereka memandang mudah dan berdiam diri daripada melarang perbuatan yang mendurhakai Allah Ta'ala". (1)



Jabir bin Abdullah berkata : "Rasulullah saw. bersabda : 'Allah Ta'ala mewahyukan kepada malaikat: 'Bahwa balik kanlah kota anu dan kota anu ke atas penduduknya' Lalu malaikat itu menjawab : "Wahai Tuhanku! Sesungguhnya dalam kalangan mereka itu ada hamba Engkau si Polan, yang tidak mendurhakai akan Engkau sekejap matapun".

Allah Ta'ala berfirman : "Balikkanlah kota itu ke atas hamba itu dan ke atas mereka! Sesungguhnya mukanya tiada berobah sekali- kali se-sa'at-pun". (2)

'A-isyah ra. berkata : "Rasulullah saw. bersabda: 'Disiksakan penduduk suatu kampung, di mana padanya delapan belas ribu orang, yang perbuatan mereka itu perbuatan nabi-nabi ". Lalu para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah! Bagaimanakah maka demikian?".

Rasulullah saw. menjawab : "Tiadalah mereka itu marah karena Allah. Tiada menyuruh mengerjakan yang baik dan tiada melarang dari perbuatan jahat". (3)

Dari 'Urwah, dari bapaknya, yang mengatakan : "Nabi Musa as. bertanya kepada Tuhan : 'Wahai Tuhanku! Manakah hamba-Mu yang lebih Engkau cintai?' ".

Allah Ta'ala berfirman : "Yang bersegera kepada keinginan-Ku, sebagaimana bersegeranya elang kepada keinginannya. Yang mem beratkan dirinya disebabkan hamba-Ku yang shalih-shalih, sebagai-

1.Dirawikan Al-Bazzar dan Ath-Thabrani, dengan sanad dla'if.
2.Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dan dipandangnya dla'if.
3.Menurut Al-Iraqi, beliau tidak menjumpai sebagai hadits marfu'.
705

mana anak kecil memberatkan dirinya dengan tetek ibunya. Dan yarig marah apabila dikerjakan orang perbuatan-perbuatan yang Aku haramkan, sebagaimana marahnya harimau kepada-dirinya sendiri. Bahwa harimau itu apabila marah kepada dirinya sendiri, niscaya ia tiada perduli, sedikitkah manusia itu atau banyak ". Ini menunjukkan kepada keutamaan mawas diri serta sangatnya ketakutan.



Abu Dzar Al-Ghaffari berkata : "Abu Bakar Shiddiq ra. bertanya : 'Wahai Rasulullah! Adakah jihad selain dari memerangi orang musyrikin (orang-orang yang mempersekutukan Allah)?'

Rasulullah saw. menjawab : "Ada! Wahai Abu Bakar! Bahwasanya Allah Ta'ala mempunyai pejuang-pejuang (mujahidin) di bumi, yang lebih utama dari orang-orang syahid (syuhada"). Mereka itu hidup, yang memperoleh rezeki, berjalan di atas bumi. Allah ber- bangga dengan mereka pada malaikat-malaikat langit. Dan dihias sorga bagi mereka, sebagaimana 'Ummu Salmah berhias untuk Rasulullah saw.".

Abu Bakar ra. lalu bertanya: "Wahai Rasulullah! Siapakah mereka itu?".

Rasulullah saw. menjawab : "Orang-orang yang beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, berkasih-kasihan pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah".

Kemudian, Rasulullah saw. menyambung : "Demi Allah yang nya- waku ditangan-Nya! Sesungguhnya seorang hamba dari mereka itu berada dalam kamar di atas segala kamar, di atas kamar orang-orang syahid. Masing-masing kamar daripadanya mempunyai tiga ratus ribu pintu. Diantaranya dari yaqut (permata merah) dan zamrud yang hijau. Diatas masing-masing pintu itu nur. Dan bahwa seorang' laki-laki dari mereka itu dikawinkan dengan tiga ratus ribu bidadari yang amat elok rupanya. Setiap kali orang itu berpaling kepada salah seorang dari bidadari-bidadari itu, lalu memandang kepada­nya, maka bidadari itu berkata : 'Adakah engkau teringat akan hari itu dan hari itu, di mana engkau beramar-ma'ruf dan bernahi-mun­kar?'. Setiap kali ia memandang kepada salah seorang dari bidadari- bidadari itu, lalu ia memperingatkan laki-laki tersebut akan tempat di mana ia melakukan amar-ma'ruf dan nahi-munkar". (1)

(1) Tersebut dalam "Ittihaf As-Sad at il-Muttaqin" syarah Ihya hal. 12 juz Vii, bahwa menurut Al-Iraqi, hadits ini beliau tiada memperoleh sumbernya. Jadi, beliau menganggap hadits yang tidak dapat diperpegangi.
706

Abu 'Ubadaidah.bin Al-Jarrah berkata : "Aku bertanya : 'Wahai Rasulullah! Orang syahid manakah yang lebih mulia pada Allah 'Azza wa Jalla?'".

Rasulullah saw. menjawab : "Yaitu laki-laki yang bangun berdiri kepada raja (penguasa) yang dzalim. Lalu ia beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar. Maka raja itu membunuhnya. Jikalau tidak dibunuhnya, maka pena malaikat penulis amalan manusia (malaikat kiraminkatibin) tiada berlaku di atasnya lagi sesudah itu (amalan- nya tidak ditulis lagi). Walaupun ia hidup selama hidupnya". (1) Al-



Hasan Al-Bashri ra. berkata : "Rasulullah saw. bersabda: 'Yang paling utama orang syahid dari ummatku, ialah laki-laki yang ber­diri kepada imam (kepala) yang dzalim. Lalu menyuruh mengerja­kan kebaikkan dan melarang mengerjakan kejahatan. Lalu imam itu membunuhnya di atas yang demikian. Maka orang syahid ter­sebut, tempatnya dalam sorga antara Hamzah dan Ja'far". (2) '



Umar bin Al-Khaththab ra. berkata : "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : Seburuk-buruk kaum ialah kaum yang tidak me­nyuruh dengan keadilan. Dan seburuk-buruk kaum ialah kaum yang tidak menyuruh dengan kebaikan dan tidak melarang dari kejahatan'(3)



Adapun Atsar maka Abud-Darda' ra. berkata : "Hendaklah kamu beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar. Atau akan dilcuasakan oleh Allah ke atasmu seorang sultan (penguasa) yang dzalim, yang tidak dimuliakannya yang tua dari kamu dan tidak dikasihinya yang kecil dari kamu. Dan berdo'a ke atas penguasa itu orang-orang pilihan dari kamu. Tetapi do'a itu tiada diterima. Dan kamu me­minta pertolongan, tetapi kamu tidak akan ditolong. Dan kamu meminta ampun, tetapi tidak akan diberi ampunan bagimu". Hudzaifah ra. ditanyakan tentang orang yang mati dari orang-orang hidup. Maka beliau menjawab : "Ialah orang yang tidak menantang perbuatan jahat dengan tangannya, dengan lisannya dan hatinya". Malik bin Dinar berkata : "Adalah salah seorang dari pendeta Bani Israil mendatangkan laki-laki dan wanita ke tempatnya. Ia memberi pengajaran kepada mereka dan mengingatkan mereka akan hari- hari Allah 'Azza wa Jalla".



Maka pada suatu hari, pendeta itu,melihat sebahagian anaknya mengedip-ngedipkan matanya kepada sebahagian wanita. Lalu pende iaitu menegur : "Pelan-pelan, wahai anakku, pelan-pelan!". Dan pendeta itu jatuh dari tempat tidurnya. Lalu putus urat lehernya. Dan ia menjatuhkan perempuannya. Dan anak-anaknya dibunuh dalam ketenteraan.

1.Dirawikan Al-Bazzar dengan diringkaskan.
2. Menurut Al-lraqi, beliau tiada menjumpai hadits ini dari Al-Hasan Al- bashri.
4.Dirawikan Abusy-Syaikh Ibnu Hibban dari Jabir, dengan sanad dla'f.
707

Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Nabi zaman pendeta itu, yang maksudnya : "Terangkanlah kepada Pendeta Anu : bah­wa Aku tidak akan mengeluarkan dari tulang sulbimu seorang yang benar untuk selama-lamanya. Apakah tidak dari kemarahanmu kepada.-Ku, bahwa engkau hanya mengatakan : 'Pelan-pelan, wahai anakku, pelan-pelan!'".



Hudzaifah berkata : "Akan datang kepada manusia suatu masa, di mana pada mereka itu, bangkai keledai lebih mereka cintai, dari orang mu'min yang menyuruh mereka mengerjakan yang baik dan melarang mereka berbuat yang jahat".



Allah 'Azza wa Jalla mewahyukan kepada nabi Yusya' bin Nun as.: "Bahwasanya Aku membinasakan dari kaummu empat puluh ribu orang dari orang-orang baik dan enam puluh ribu dari orang-orang jahat". Maka Nabi Yusya' berdo'a : "Wahai Tuhanku! Mereka itu orang-orang jahat. Maka bagaimanakah orang-orang baik Allah Ta'ala berfirman : "Bahwasanya mereka itu tiada marah karena kemarahan-Ku. Mereka wakil-mewakilkan dan minum- minum sesama mereka".



Bilal bin Sa'ad berkata : "Bahwasanya perbuatan ma'shiat, apabila disembunyikan, niscaya tiada mendatangkan kemelaratan, kecuali kepada yang mengerjakannya. Maka apabila dilahirkan dan tidak dihilangkan, niscaya mendatangkan kemelaratan kepada umum". Ka'bul-Ahbar bertanya kepada Abi Muslim Al-Khaulani : "Bagai­manakah kedudukan engkau pada kaum engkau?". Abi Muslim menjawab : "Baik!".



Ka'bul-Ahbar menyambung : "Sesungguhnya Taurat mengatakan bukan demikian".

Abi Muslim bertanya : "Apakah kata Taurat?.". Ka'bul-Ahbar menjawab : "Taurat mengatakan, bahwa orang, apa­bila beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, niscaya buruklah kedudukannya pada kaumnya".



708

Lalu Abi Muslim berkata: "Benar Taurat dan bohong Abi Muslim". Abdullah bin 'Umar ra. mendatangi orang-orang yang bertanggung- jawab dalam pemerintahan. Kemudian tidak lagi mendatangi mereka itu. Lalu orang berkata kepadanya : 'Jikalau engkau datangi mereka, maka mudah-mudahan mereka memperoleh kesan dari perkataanmu pada diri mereka' ".



Abdullah bin 'Umar menjawab : "Aku takut, jikalau aku berkata- kata, akan mereka melihat, bahwa yang padaku bukan yang pada- ku. Dan jikalau aku berdiam diri, aku takut aku berdosa". Ini menunjukkan bahwa orang yang lemah dari amar-ma'ruf, maka haruslah menjauhkan diri dari tempat itu. Dan menutupkan diri daripadanya. Sehingga ia tidak melalui tempat, yang ia dapat dilihat dari tempat itu.



Ali bin Abi Thalib ra. berkata : "Yang pertama-tama yang engkau menangi dari perjuangan (jihad) itu, ialah perjuangan dengan ta nganmu. Kemudian perjuangan dengan lidahmu. Kemudian per­juangan dengan hatimu. Apabila hati tidak mengenai yang baik (ma'ruf) dan tidak menantang yang jahat (munkar), niscaya hati itu terbalik. Lalu yang di atas, menjadi di bawah", Sahal bin Abdullah ra, berkata : "Yang manapun hamba yang ber­buat pada sesuatu dari Agamanya, dengan apa yang disuruh atau dilarang oleh Agamanya dan ia bergantung pada yang demikian ketika rusaknya dan buruknya keadaan serta kacau-balaunya zaman, maka hamba tersebut termasuk orang yang bangun karena Allah pada zamannya, dengan amar-ma'ruf dan nahi-munkar". Artinya, apabila tiada sanggup beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, selain di atas dirinya sendiri, lalu ia bangun dengan dirinya sendiri dan menantang hal-ihwal orang lain dengan hatinya, maka sesung­guhnya orang itu telah mengerjakan apa yang menjadi tujuan pada haknya.



Orang bertanya kepada Al-Fudlail : "Apa tidakkah engkau ber­amar-ma'ruf dan bernahi-munkar?".

Al-Fudlail menjawab : "Bahwa suatu kaum beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, lalu menjadi kufur (tertutup hatinya). Dan yang demikian itu, karena mereka tidak sabar di atas bencana yang me- nimpa diri mereka".



Orang bertanya kepada Ats-Tsuri: "Apa tidakkah engkau beramar- ma'ruf dan bernahi-munkar?".

Ats-Tsuri menjawab : Apabila laut itu bergoncang, maka siapakah yang sanggup menenangkannya?".



Maka jelaslah dengan dalil-dalil ini, bahwa amar-ma'ruf dan nahi- munkar itu wajib. Dan fardlunya itu tidak gugur serta ada kesanggupan, kecuali bangun orang yang bangun melaksanakannya. Maka marilah sekarang kami sebutkan syarat-syaratnya dan syarat- syarat wajibnya :



709



Bab kedua Tentang rukun amar-ma'ruf dan syarat-syaratnya.



Ketahuilah, bahwa rukun (sendi) pada bagusnya pengaturah dan persiapan (hisbah) yaitu kata-kata yang melengkapi bagi amar-ma'ruf dan nahi-munkar, ialah empat: muhtasib, muhtasab’alaih, muhtasab fih dan nafsul-ihtisab. (1)



Itulah empat rukun. Dan masing-masing daripadanya mempunyai syarat-syarat.



rukun pertama : Muhtasib (pengatur dan petaksana).

Muhtasib itu mempunyai syarat-syarat. Yaitu : bahwa si muhtasib iuu orang mukallaf (2) muslim dan mempunyai kesanggupan. Maka tidak termasuk orang gila, anak-anak, orang-kafir, dan orang yang tidak mempunyai kesanggupan (orang lemah). Dan termasuk dalam kewajiban ini masing-masing rakyat. Walaupun mereka tidak memperoleh keizinan dari yang berwenang. Dan masuk pula orang fasiq, budak dan wanita.



Maka marilah kami sebutkan segi persyaratan dari apa yang kami syaratkan dan segi pembuangan syarat dari apa yang kami buang- kan syaratnya.



Syarat Pertama : yaitu mukallaf Maka tidak tersembunyi segi per- syaratannya Karena orang yang tidak mukallaf, tidaklah wajib atasnya sesuatu. Dan apa yang kami sebutkan, kami maksudkan syarat wajibnya.

Adapun mungkinnya berbuat dan pembolehannya, maka tidak ada yang memanggilnya, selain akal Sehingga anak kecil, yang hampir dewasa, yang telah dapat membedakan diantara yang buruk dan yang baik, walaupun ia belum mukallaf, maka baginya dapat me­nantang perbuatan-perbuatan munkar. Ia dapat menuangkan kha- mar dan menghancurkan alat permainan.



(1)     Kata-kata ini, kami artikan maksudnya seperti berikut :
1. muhtasib : orang yang melaksanakan, amar-ma'ruf dan nahi-munkar..
2. muhtasab 'alaih : orang yang disuruh mengerjakan yang baik dan dilarang mengerjakan yang jahat. 3. muhtasab fiih : perbuatan yang disuruh atau dilarang.
4. ihtisab atau hisbah : perbuatan dari si muhtasib. (Pent.).
(2)  Mukallaf, ialah : orang yang telah diberatkan dengan kewajiban agama, karena
telah dewasa dan berpikiran sehat.
710



Apabila ia berbuat demikian, niscaya ia memperoleh pahala. Dan tiadalah bagi seseorang melarangnya, dari segi dia itu belum mukallaf. Sesungguhnya perbuatan tersebut itu mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala (qurbah). Dan dia termasuk diantara orang yang berhak padanya, seperti : shalat, menjadi imam dan qurbah - qurbah lainnya.



Dan tidaklah hukum amar-ma'ruf dan nahi-munkar itu sama dengan hukum memegang pemerintahan. Sehingga perlu disyaratkan pada­nya mukallaf. Dan karena itulah, kami tetapkan wajibnya amar-ma'ruf dan nahi-munkar atas budak dan masing-masing rakyat. Benar, pada mencegah kemungkaran dengan perbuatan dan mem- batalkan perbuatan munkar itu semacam pemerintahan dan keku- aSaan. Tetapi hal itu dapat diperoleh faedahnya dengan semata- mata iman, seperti membunuh orang musyrik, membatalkan sebab- sebab kemusyrikan dan mencabut senjata-senjatanya. Sesungguhnya anak kecil boleh memperbuat demikian, di mana tidak mendatangkan kemelaratan kepadanya. Mencegah dari per­buatan fasiq adalah seperti mencegah dari kufur. Syarat Kedua : yaitu iman. Maka tidak tersembunyi segi persya- ratannya. Karena ini pertolongan bagi Agama. Bagaimana ada dari ahli Agama, orang yang memungkiri pokok Agama dan menjadi musuh Agama?.



Syarat Ketiga : yaitu adil. Sebahagian ulama memandang adil itu syarat. Dan mengatakan, bahwa : orang fasiq tidak menjadi muh- tasib. Mungkin mereka mengambil dalil dengan tantangan yang datang kepada orang yang menyuruh sesuatu, yang tidak dikerjakannya. Seumpama firman Allah Ta'ala :

                                                                                                    

(A-ta'-muruunan-nasa bil-birri wa tansauna anfusakum).Artinya : "Mengapa kamu suruh orang  lain  mengerjakan kebaikan dan kamu lupakan dirimu sendiri (S. Al-Baqarah, ayat 44).



Dan firman Allah Ta'ala :

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ

(Kabura maqtan Mndallaahi an taquuluu maa laa taf-'aluun). Artinya : "Besarlah kutukan dari Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan" (S. Ash-Shaff, ayat 3).

711



Dan berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa Rasulullah saw. bersabda : "Aku. melalui pada malam aku di-isra'-kan kepada suatu kaum, di mana bibir mereka itu dipotong dengan alat-alat pemotong dari apt Maka aku bertanya : 'Siapa kamu



Kaum itu menjawab : "Adalah kami menyuruh berbuat kebai kan dan kami tidak mengerj akannya. Kami melarang berbuat kejahatan dan kami mengerjakannya". (1)



Dan berdalil dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala mewahyukan kepada Nabi Isa as. : Ajarilah dirimu sendiri!!! Jika­lau kamu telah memperoleh pengajaran, maka ajarilah manusia! Jikalau tidak, maka malulah kepada-Ku!". Kadang-kadang mereka itu mengambil dalil dengan jalan qias (analogi), bahwa memberi petunjuk kepada orang lain, adalah cabang dari petunjuk diri sendiri. Dan begitu pula meluruskan orang lain adalah cabang dari kelurusan diri sendiri. Dan memperbaiki orang lain adalah merupakan zakat dari nishab perbaikan diri sendiri.



Orang yang dirinya sendiri tidak baik, bagaimanakah memperbaiki, orang lain? Kapankah bayang-bayang itu lurus, sedang kayunya bengkok? …Dan semua yang disebutkan mereka, adalah khayalan.

Yang benar, orang fasiq berhak menjadi muhtasib. Dalilnya, ialah apa yang kami katakan : adakah disyaratkan pada ihtisab (persiapan dan pelaksanaan amar-ma yruf dan nahi-munkar), pelaksana- nya itu terpelihara dari segala perbuatan ma'shiat? Sesungguhnya syarat demikian, adalah merobekkan ijma (kesepakatan para ulama). Kemudian menutupkan pintu ihtisab. Karena tiadalah ter­pelihara dari dosa bagi para shahabat, apalagi orang lain. Dan nabi-nabi, terdapat perselisihan pendapat tentang terpeliharanya dari kesalahan Al-Qur-an.Mulia menunjukkan kepada penyandaran Adam as. kepada perbuatan ma'shiat. Dan demikian juga segolongan dari nabi-nabi.



Dan karena inilah, Sa'id bin Jubair berkata : "Jikalau tidak ber amar-ma'ruf dan bernahi-munkar, kecuali orang yang tak ada pada­nya sesuatu kesalahan, niscaya tidaklah seseorang menyuruh me­ngerjakan sesuatu".

Maka amat mena'jubkan Imam Malik ra. oleh perkataan yang demikian dari Sa'id bin Jubair.

(1) Hadits ini telah diterarigkan dahulu pada "Bab Ilmu".
712

Jikalau mereka menda'wakan, bahwa yang demikian tidak disyaratkan terpelihara dari dosa-dosa kecil, sehingga boleh bagi pemakai sutera, melarang dari perbuatan zina dan minum khamar. Maka kami memajukan pertanyaan : Bolehkah peminum khamar memerangi orang-orang kafir dan ditugaskan kepada mereka, melarang kekufuran?.



Jikalau mereka itu menjawab : tidak, maka mereka telah mengoyak-ngoyakkan ijma’’ Karena tentara muslimin senantiasa terdiri dari orang baik dan orang dzalim, peminum khamar dan penganiaya anak-anak yatim. Dan mereka tidak dilarang berperang. Tidak dilarang pada masa Rasulullah saw. dan tidak pada masa sesudah­nya.



Jikalau mereka itu menjawab : ya, maka kami menjawab : pemi­num khamar, adakah dilarang berperang atau tidak? Jikalau mere­ka itu menjawab : tidak, maka kami bertanya : "Apakah perbeda- annya antara peminum khaniar dan pemakai sutera? Karena boleh baginya melarang meminum khamar. Dan membunuh adalah lebih besar dosanya, dibandingkan dengan meminum khamar. Seperti meminum khamar, dibandingkan kepada memakai sutera. Jadi,

tiada beda.....................................................................................



Jikalau mereka itu mengatakan : ya, ada perbedaannya dan mereka menguraikan persoalannya, bahwa tiap-tiap yang didahulukan atas sesuatu, maka tidaklah dilarang yang seumpama dengan dia dan yang lebih kurang daripadanya. Yang dilarang, ialah yang di atas daripadanya.



Ini adalah hukum dibuat-buat. Sesungguhnya, sebagaimana tiada jauh dari pemahaman, bahwa peminum khamar itu melarang orang lain dari perbuatan zina dan membunuh orang. Maka dari manakah jauhnya pemahaman, bahwa penzina itu melarang orang lain dari meminum khamar? Bahkan, dari manakah jauhnya pemahaman, bahwa dia meminum khamar dan melarang budak-budaknya dan pelayan-pelayannya dari meminum khamar? .

 Dan ia berkata : "Wajib atasku melarang bagiku sendiri (intiha') dan bagi orang lain (nahyu)". Maka dari manakah harus bagiku dengan berbuat ma'­shiat salah satu dari dua perbuatan, untuk berbuat ma'shiat kepada Allah Ta'ala dengan perbuatan yang satu lagi? Apabila melarang itu wajib atasku, maka dari manakah sebabnya kewajiban melarang itu gugur, disebabkan aku mengerjakan perbuatan ma'shiat itu?". Karena mustahil bahwa dikatakah : wajib atasnya melarang orang meminum khamar, selama ia sendiri tidak meminum khamar. Apa bila ia meminum, niscaya gugurlah daripadanya kewajiban melarang orang lain.

713



Kalau ada orang berkata : bahwa berdasarkan ini haruslah orang mengatakan : "Yang wajib atasku, wudlu dan shalat. Maka aku berwudlu, walaupun aku tidak mengerjakan shalat. Aku makan sahur, walaupun aku tidak mengerjakan puasa. Karena yang di- sunatkan kepadaku makan sahur dan bersama puasanya". Tetapi dalam hal ini dikatakan, bahwa salah satu dari keduanya tersusun di atas yang satu lagi, Maka seperti itu pula, membetulkan orang lain, tersusun secara tertib di atas membetulkan diri sendiri. Maka hendaklah memulai dengan diri sendiri lebih dahulu. Kemu­dian baru dengan orang yang menjadi tanggungannya.



Jawabannya, ialah : bahwa memakan sahur dimaksudkan untuk puasa. Jikalau tidak puasa, niscaya makan sahur itu tidak disunatkan. Dan apa yang dimaksudkan untuk yang lain, maka tidaklah terlepas dari yang lain itu. Dan memperbaiki orang lain, tidaklah dimaksudkan untuk memperbaiki diri sendiri. Dan tidaklah mem­perbaiki diri sendiri, untuk memperbaiki orang lain. Maka perka­taan : dengan penyusunan salah satu daripada keduanya di atas yang lain, adalah hukum dibuat-buat (tahakkum). Adapun wudhi dan shalat itu lazim (harus). Maka tidak dapat dibantah, bahwa orang yang berwudlu dan tidak melakukan shalat, adalah menunaikan pekerjaan wudlu saja. Siksaannya adalah lebih kurang dari siksaan orang yang meninggalkan shalat dan wudlu. Maka adalah orang yang meninggalkan melarang orang lain dan dirinya sendiri dari perbuatan ma'shiat, mendapat lebih banyak siksaan, dibandingkan dengan orang yang melarang orang lain dari perbuatan ma'shiat dan tidak melarang terhadap dirinya sendiri. Betapa pula! Wudlu itu suatu syarat yang tidak dimaksudkan bagi wudlu itu sendiri. Tetapi bagi shalat; Maka tidak ada hukum bagi wudlu, tanpa shalat.



Adapun hisbah (persediaan dan persiapan untuk amar-ma'ruf dan nahi-munkar), tidaklah menjadi syarat pada bernahi-munkar (intiha ') dan beramar-ma'ruf (Vtimar). Maka tidaklah penyerupaan (mUsyabahah) diantara keduanya (diantara wudlu dan shalat pada satu pihak dan hisbah dan amar-ma'ruf serta nahi-munkar pada lain pihak).



Kalau ada yang mengatakan : bahwa berdasarkan kepada yang tersebut, maka haruslah dikatakan : apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan perempuan itu dipaksakan, lagi ditutupkan mukanya. Lalu ia membuka mukanya dengan kemauannya sendiri. Maka laki-laki itu beramar-ma'ruf sedmg ber zina dan berkata : "Engkau dipaksakan pada berzina dan engkau atas kemauan sendiri membuka muka bagi bukan mahram engkau, Dan aku ini bukan mahram engkau. Maka tutuplah muka engkau!". Maka ini pelaksanaan amar-ma'ruf yang keji, yang ditantang oleh hari tiap-tiap orang yang berakal. Dan dipandang keji oleh tiap-tiap tabi'at yang sejahtera.

714



Jawabannya ialah : bahwa yang benar itu, kadang-kadang keji. Dan yang batil itu, kadang-kadang bagus menurut tabi'at. Dan yang diikuti ialah dalil, bukan sangka waham dan khayalan yang lari tabi'at daripadanya.



Kami mengatakan, bahwa kata laki-laki itu kepada perempuan ter­sebut, dalam keadaan demikian : "Jangan engkau buka muka engkau!", adalah wajib atau mubah atau haram. Kalau anda mengatakan wajib, maka itulah yang dimaksud. Karena membuka muka itu perbuatan ma'shiat. Dan melarang ma'shiat itu perbuatan yang benar. ,



Kalau anda mengatakan mubah, jadi, laki-laki itu berhak menga­takan apa yang mubah. Maka apakah artinya kata anda : tiada ada bagi orang fasiq itu, hisbah ?.



Dan kalau anda mengatakan haram, maka kami mengatakan : adalah ini wajib. Maka dari manakah datangnya haram, disebabkan ia mengerjakan zina? Dan termasuk hal yang ganjil, bahwa yang wajib itu menjadi haram, dengan sebab mengerjakan haram yang lain.   "



Adapun larinya tabi'at dan tabi'at menantangnya, adaiah karena dua perkara :

Pertama : bahwa ia meninggalkan yang lebih penting dan berbuat yang penting. Sebagaimana tabi'at lari daripada meninggalkan yang penting kepada yang tiada penting, maka tabi'at itu lari daripada meninggalkan yang lebih penting dan berbuat yang penting. Seba­gaimana tabi'at itu lari dari orang yang berbuat dosa dengan rne- makan m akan an yang dirampas, sedang dia sendiri selalu berbuat riba. Dan sebagaimana tabi'at itu lari dari orang yang memelihara diri dari perbuatan mengumpat orang dan melakukan kesaksian dusta. Karena kesaksian dusta adalah lebih keji dan lebih berat dari perbuatan mengumpat, di mana mengumpat itu, ialah : menceri- terakan barang yang ada, yang benar padanya, orang yang menceri- terakanitu.

Kejauhan ini dari jiwa, tidaklah menunjukkan, bahwa meninggal­kan mengumpat itu tidak wajib. Dan bahwa, jikalau mengumpat

715

atau memakan sesuap dari yang haram, niscaya tidak bertambah siksaan dengan demikian. Maka seperti itu pula kemelaratannya di akhirat dari kema'shiatannya itu adalah lebih banyak daripada kemelaratannya dari perbuatan ma'shiat lainnya. Maka mengerjakan yang lebih banyak dengan meninggalkan yang lebih sedikit, adalah ditantang oleh tabi'at, dari segi bahwa tabi'at itu meninggalkan yang lebih banyak. Tidak dari segi dia mengerja­kan yang lebih sedikit. Orang yang dirampas kudanya dan kekang kudanya, lalu bekerja mencari kekang dan meninggalkan mencari kuda, niscaya tabi'at yang sehat lari dari orang itu. Dan orang itu dipandang orang yang berbuat tidak baik. Karena yang timbul daripadanya mencari kekang. Sedang mencari kekang itu bukan perbuatan munkar. Tetapi yang munkar (perbuatan yang salah), ialah : meninggalkan mencari kuda, dengan mencari kekang- nya. Maka sangatlah ditantang orang tersebut. Karena meninggal­kan yang lebih penting, dengan mengerjakan.yang kurang penting. Maka seperti itu pula hisbah orang fasiq, yang dipandang jauh dari baik, dilihat dari segi ini.Ini tidak menunjukkan bahwa hisbahnya dari segi hisbahnya itu, perbuatan yang ditantang.



Kedua : hisbah itu, sekali adalah dengan melarang perbuatan jahat, dengan pengajaran dan sekali dengan paksaan. Dan tidaklah pengajaran orang yang tidak menggunakan pengajaran itu untuk diri­nya sendiri,^yang pertama-tama menyembuhkan. Dan kami mengatakan, bahwa orang yang mengetahui perkataan- nya tidak diterima pada hisbah, karena diketahui manusia fasiqnya, maka tiadalah hisbah kepadanya dengan pengajaran itu. Karena tiada faedah pada pengajarannya.



Maka fasiq itu ?membekas gugurnya faedah perkataan dari orang yang fasiq. Kemudian, apabila faedah perkataannya telah gugur (telah hilang), niscaya gugurlah wajibnya perkataan. Adapun, apabila hisbah itu dengan melarang perbuatan jahat, maka yang dimaksudkan ialah paksaan. Dan sempurnanya paksaan, ialah dengan perbuatan bersama dengan hujjah (dalil). Apabila pelaksana amar-maruf (mustasib) itu orang fasiq, maka jikalau ia memaksakan dengan perbuatan, sesungguhnya ia telah memaksakan dengan hujjah. Karena dihadapkan kepadanya pertanyaan : "Engkau sendiri mengapakah memperbuatnya?". Maka larilah tabi'at dari paksaannya, disebabkan perbuatannya itu. Serta dia sendiri dipaksakan untuk mengemukakan hujjah.



716

Perbuatan orang fasiq tadi, tidaklah keluar dari keadaannya itu benar. Sebagaimana orang yang menolak orang dzalim dari perseorangan orang muslimin dan mengabaikan bapaknya sendiri, sedang bapaknya itu teraniaya bersama orang-orang muslimin itu, adalah lari tabi'at yang baik dari orang itu. Dan penolakan orang itu akan orang dzalim dari orang-orang musiimin tersebut, tidaklah keluar dari keadaannya yang benar.



Maka keluarlah dari ini, bahwa orang fasiq itu, tidak wajib atasnya hisbah dengan pengajaran, kepada orang yang mengetahui kefasiq-. annya. Karena orang itu tiada akan menerima pengajarannya. Dan apabila tiada wajib yang demikian ke atas orang fasiq itu dan ia tahu akan membawa kepada pemanjangan lisan pada mendatang­kan penantangan itu, maka kami berkata : "Tidaklah pula yang demikian itu baginya.Maka kembalilah perkataan, bahwa salah satu dari kedua macarn ihtisab, yaitu : pengajaran, telah batal dengan sebab fasiq. Dan jadilah adil (adalah, tidak berbuat ma'shiat) itu syarat pada ihtisab.



Adapun hisbah paksaan (hisbah-qahriah), maka tidak disyaratkan yang demikian padanya. M^ka tak ada salahnya atas orang fasiq, menuangkan khamar, memecahkan alat-alat permainan dan lainnya, apabila ia sanggup. Dan ini adalah kesudahan keinsafan dan pembu- kaan persoalan.

Adapun ayat-ayat yang diambil mereka menjadi dalil, maka adalah merupakan tantangan kepada mereka, dari segijoiereka itu mening­galkan yang baik. Tidak dari segi mereka itu menyuruh. Tetapi suruhan mereka itu, menunjukkan kepada teguhnya pengetahuan mereka. Dan siksaan terhadap orang yang berilmu adalah lebih berat. Karena tak ada kema'afan baginya serta keteguhan penge- tahuannya.                                                                          

Firman Allah Ta'ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ

(Lima taquuluuna maa laa taf-'aluun).

Artinya : "Mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakah (S. Ash-Shaff, ayat 2), adalah dimaksudkan : janji dusta (dia berjanji dengan lidahnya berbuat sesuatu tetapi tiada diper- buatnya).

                                                              

717

Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :

وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ

(Watansaunaanfusakum) =

Artinya : "Dan kamu lupakan dirimu sendiri". (S. Al-Baqarah, ayat 44), adalah tantangan, dari segi mereka itu melupakan dirinya sendiri. Tidak dari segi mereka itu menyuruh orang lain. Tetapi menyebut : menyuruh orang lain, menjadi dalil atas ilmu-pengeta- huan mereka dan menguatkan hujjah ke atas diri mereka. Dan firman-Nya : "Hai Putera Mary am! Ajarilah dirimu!", — sam­pai akhir hadits (karena ini dipetik dari hadits) — adalah mengenai hisbah dengan pengajaran. Dan kita telah menerima, bahwa penga­jaran orang fasiq itu gugur faedahnya, pada orang yang mengetahui kefasiqannya.



Kemudian firman-Nya : "Maka malulah kepada-Ku!", — tidaklah menunjukkan kepada mengharamkan pengajaran kepada orang lain. Tetapi maksudnya : "Malulah kepada-Ku!", maka janganlah engkau meninggalkan yang lebih penting dan mengerjakan yang penting. Sebagaimana dikatakan : "Peliharalah bapakmu, kemudian tetanggamu! Jikalau tidak, maka malulah!". Kalau ada yang berkata : maka bolehlah bagi kafir dzimmi (1), berihtisab kepada orang Islam, apabila dilihatnya orang Islam itu berzina. Karena kata dzimmi itu : "Jangan engkau berzina", adalah perkataan yang benar. Maka mustahillah perkataan itu haram kepadanya. Bahkan seyogialah mubah atau wajib. Kami menjawab, bahwa orang kafir, kalau melarang orang Islam dengan perbuatan, maka adalah penguasaan atas orang Islam. Maka orang kafir itu, dilarang dari segi ia menguasai. Allah Ta'ala tiada menjadikan jalan bagi orang-orang kafir ke atas orang-orang mu'min. Adapun semata-mata kata orang kafir : "Jangan engkau berzina!", maka tiada diharamkan kepada orang kafir itu, dari segi bahwa dia melarang dari zina. Akan tetapi dari segi melahirkan penunjuk penerimaan hukum atas orang Islam. Dan padanya penghinaan bagi orang yang dijatuhkan hukuman. Dan orang fasiq itu berhak men­dapat penghinaan. Akan tetapi tidak dari orang kafir,yang lebih utama dengan penghinaan itu, dari orang muslim.



Maka inilah segi yang kami larang orang kafir itu dari hisbah. Kalau tidak demikian, maka tidaklah kami mengatakan, bahwa orang kafir itu disiksakan disebabkan perkataannya : "Jangan engkau berzina!" dari segi ia melarang. Tetapi kami berkata, bahwa apa­bila orang kafir itu tidak mengatakan : "Jangan engkau berzina!", niscaya ia akan disiksa, kalau kita berpendapat, ditujukan kepa­da orang kafir itu cabang-cabang Agama (furu'uddin). Dan pada persoalan ini ada penelitian yang telah kami sempumakan pada "pengetahuan fiqh Dan tiada layak dengan maksud kita sekarang.



(1) Kafir dzimmi : yaitu : kafir yang dijamin keamanannya oleh pemerintah Islam (Pent..).
718

Syarat keempat : muhtasib itu memperoleh keizinan dari pihak imam (kepala pemerintahan) dan wali negeri. Suatu golongan mensyaratkan syarat ini. Dan mereka tidak menetapkan hisbah bagi perseorangan dari rakyat.



Persyaratan ini adalah batal. Karena ayat dan hadits yang telah kami sebutkan itu, menunjukkan, bahwa tiap-tiap orang yang melihat perbuatan munkar, lalu berdiam diri, niscaya ia durhaka. Karena wajib melarangnya, di mana saja dilihatnya dan bagaimana saja dilihatnya pada umumnya. Maka penentuan dengan syarat penyerahan dari imam, adalah hukum dibuat-buat (tahakkum), tak ada asalnya.



Yang mengherankan, bahwa kaum Rawafidl (suatu golongan yang meninggalkan pemimpinnya dalam peperangan atau lainnya) me- nambahkan dari yang tadi. Lalu berkata : "Tidak boleh beramar- ma'ruf selama belum keluar imam yang ma'shum (imam yang terpelihara dari segala kesalahan). Yaitu : imam yang benar pada mereka.



Mereka itu adalah seburuk-buruk derajat dari yang dikatakan me­reka. Bahkan jawaban mereka, bahwa dikatakan kepada mereka, apabila mereka datang kepada kehakiman, menuntut hak mereka mengenai darah(pembunuhan) dan harta mereka : "Bahwa perto- longan kamu itu suatu amar-ma'ruf. Dan mengeluarkan hak-hak kamu dari tangan orang-orang yang berbuat dzalim kepadamu itu, suatu nahi-munkar. Dan tuntutanmu terhadap hakmu, termasuk dalam jumlah amar-ma'ruf. Dan tidaklah sekarang zaman melarang kedzaliman dan menuntut hak. Karena imam yang benar belum lagi keluar.



Kalau ada yang mengatakan tentang amar-ma *ruf itu mengadakan penguasaan, wilayah dan penegasan hukum ke atas orang yang ter- hukum dan karena itulah tidak ada amar-ma'ruf bagi orang kafir atas orang muslim serta keadaannya itu benar. Maka seyogialah tidak ada amar-ma'ruf bagi masing-masing persegrangan rakyat. Kecuali dengan penyerahan dari wali (penguasa pemerintahan) dan yang punya urusan.



Maka kami berkata : adapun orang kafir itu, maka dilarang ber­amar-ma'ruf. Karena ada padanya kekuasaan dan kemuliaan pene-



719

Maka kami berkata : adapun orang kafir itu, maka dilarang ber­amar-ma'ruf. Karena ada padanya kekuasaan dan kemuliaan penerimaan, hukum. Dan orang kafir itu orang hina. Maka ia tidak ber- hak memperoleh kemuliaan penghukuman ke atas muslim. Adapun perseorangan kaum muslimin, maka mereka berhak akan kemuliaan itu dengan Agama dan pengetahuan. Dan apa yang ada padanya, tentang kemuliaan kekuasaan dan penerimaan hukum itu, tidak memerlukan kepada penyerahan dari penguasa. Seperti kemuliaan mengajar dan memperkenalkan yang tidak diketahui. Karena tiada terdapat perselisihan paham, bahwa memperkenalkan yang haram dan yang wajib kepada orang bodoh dan orang yang mengerjakan perbuatan munkar, disebabkan kebodohan itu, tidak­lah memerlukan kepada keizinan wali (penguasa). Dan pada peker- jaah tersebut itu, kemuliaan memberi petunjuk. Dan di atas orang yang memperkenalkan itu kehinaan pembodohan. Dan pada yang demikian cukuplah semata-mata Agama. Begitu pula larangan dari perbuatan munkar!. Uraian perkataan tentang ini, ialah : bahwa hisbah itu mempunyai lima tingkat, sebagaimana akan datang penjelasannya:



Pertama : memperkenalkan.



Kedua : pengajaran dengan perkataan yang lemah-lembut.



Ketiga : memaki dan menggertak.Dan tidaklah aku maksudkan dengan makian itu, akan yang keji.



Akan tetapi, bahwa ia mengatakan : "Hai Jahil! Hai dungu! Tidakkah engkau takut kepada Allah?". Dan yang seirama dengan perkataan ini.



Ke-empat : melarang perbuatan munkar dengan paksaan, secara langsung, seperti memecahkan alat-alat permainan, menuangkan khamar, menyambar kain sutera dari pemakainya, membuka kain rampokan dari pemakainya dan mengembalikan kepada pemiliknya.



Kelima : menakutkan dan menggertak dengan pukulan dan lang­sung memukul. Sehingga tercegah dari apa yang sedang dilakukan. Seperti orang yang senantiasa mengumpat dan menuduh orang berzina. Maka menarik lidahnya itu tidak mungkin. Akan tetapi, dibawa kepada memilih diam, dengan pukulan. Hal ini kadang-kadang memerlukan kepada meminta pertolongan dan mengumpulkan teman-teman dari kedua belah pihak. Dan membawa yang demikian kepada perang-tanding. Dan tingkat-tingkat yang lain, tidaklah tersembunyi segi tidak perlunya keizinan imam (penguasa), kecuali tingkat kelima. Pada pada tingkat kelima ini, suatu penelitian yang akan datang uraian- nya.



720

Adapun memperkenalkan dan memberi pengajaran, maka bagaima­nakah memerlukan kepada keizinan imam?.

Adapun pembodohan, pendunguan, penyebutan fasiq dan kurang takut kepada Allah dan yang serupa dengan itu, adalah perkataan benar. Dan perkataan benar itu berhak dikatakan. Bahkan derajat yang paling utama, ialah kata kebenaran pada imam yang dzalim, seperti yang tersebut pada hadits. (1)



Apabila telah boleh menghukum imam di luar persetujuannya, maka bagaimanakah pula memerlukan kepada keizinanhya? Dan seperti itu pula, memecahkan alat-alat permainan dan menuangkan khamar. Sesungguhnya ia telah memperbuat sesuatu, yang diketa­hui dianya benar, tanpa ijtihad (pemikiran yang mendalam). Maka tidaklah menghendaki kepada keizinan imam. Adapun mengumpulkan teman-teman dan mencabut senjata, maka y^ng demikian itu kadang-kadang membawa kepada fitnah umum. Maka padanya penelitian yang akan datang penjelasannya. Terus-menerusnya kebiasaan ulama salaf (ulama terdahuilu) mela­kukan hisbah (amar-ma'ruf dan nahi-munkar) kepada penguasa- penguasa itu, adalah dalil yang tidak bisa dibantah,kesepakatan mereka tentang tidak memerlukan kepada penyerahan dari pengu- asa-penguasa.. Akan tetapi tiap-tiap orang yang beramar-ma'ruf, maka jikalau penguasa menyetujuinya, maka yang demikian sudah jelas. Jikalau penguasa itu marah, maka kemarahanaya itu suatu kemunkaran, yang wajib ditantang. Maka bagaimanakah memerlu­kan keizinannya pada menantangnya itu?.

Ditunjukkan kepada yang demikian oleh kebiasaan ulama salaf, menantang imam-imam (kepala-kepala pemerintahan). Sebagai­mana diriwayatkan bahwa Marwan bin Al-Hakam berkhuthbah sebelum shalat Hari Raya. Lalu seorang laki-laki berkata : "Sesung­guhnya khuthbah Hari Raya itu, sesudah shalat". Maka Marwan menjawab : "Biarkan demikian, hai Anu.r". Lalu Sa'id AI-Khudri yang hadlir ketika itu menjawab : "Adapun orang ini telah menunaikan kewajibannya. Rasulullah saw. ber­sabda kepada kita :

من رأى منكم منكرا فلينكره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان  

(1) Hadits itu ialah : "Jihad yang paling utama, ialah kata kebenaran pada imam yang dzalim —diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi.
721

(Man ra-aa minkum munkaran fal-yunkirhu biyadihi, fa in lam yastathi* fa-bilisaanihi, fa in lam yastathi' fa biqalbihi wadzaalika adl-'aful-imaan).Artinya: "Barangsiapa dari kamu melihat munkar, maka hendaklah ditantang dengan tangan. Jikalau tidak sanggup, maka dengan lidah. Dan jikalau tidak sanggup, maka dengan hati. Dan itulah selemah- lemah iman ". — diriwayatkan oleh Muslim.



Sesungguhnya mereka memahami dari segala yang bersifat umum ini, akan masuknya sultan-sultan di dalamnya. Maka bagaimanakah memerlukan kepada keizinannya?.



Diriwayatkan, bahwa Khalifah Al-Mahdi tatkala datang di Makkah, ia tinggal disitu masya Allah. Tatkala ia mengerjakan thawaf, lalu mengusir manusia dari Baitullah (Ka'bah). Maka melompat^ah Abdullah bin Marzuq, lalu meletakkan selendangnya pada leher Al-Mahdi. Kemudian menggerak-gerakkannya, seraya berkata : "Lihatlah apa yang engkau perbuat!. Menjadikan engkau lebih berhak dengan Baitullah ini dari orang yang datang ke Baitullah dari tempat yang jauh. Sehingga apabila orang yang jauh itu di sisi Baitullah, engkau dindingi antara dia dan Baitullah".

Allah Ta'ala berfirman :

سواء العاكف فيه والباد

(Sawaa-anil-'aakifu fiihi wal baad).

Artinya : "Sama-sama, baik orang yang menetap ataupun orang yang datang berkunjung". (S. Al-Hajj, ayat 25). Siapakah yang membuat ini bagi engkau?.

Maka Al-Mahdi melihat ke muka Abdullah bin Marzuq dan dikenalnya. Karena Abdullah bin Marzuq itu, termasuk maulanya (bekas biidaknya yang telah dimerdekakan).

Lalu Al-Mahdi menegur : "Abdullah bin Marzuq?". "Ya!" jawab Abdullah bin Marzuq.

Lalu Al-Mahdi mengambil Abdullah bin Marzuq dan membawanya ke Bagdad. Ia tiada suka menyiksakan Abdullah bin Marzuq de­ngan siksaan yang memburukkan namanya pada umum. Maka diletakkannya Abdullah bin Marzuq itu dalam kandang he wan. Supaya ia menjaga hewan. Dan dimasukkannya ke dalam kandang itu se ekor kuda yang suka menggigit, yang jahat perangainya. Supaya Abdullah bin Marzuq digigit oleh kuda itu. Maka Allah Ta'ala melembutkan kuda itu untuk keselamatan Abdullah bin Marzuq.

722

Berkata yang empunya riwayat : "Kemudian mereka membawa Abdullah bin Marzuq itu ke suatu rumah dan menguncikannya. Dan kuncinya dipegang oleh Al-Mahdi sendiri. Tiba-tiba Abdullah bin Marzuq keluar dari rumah itu sesudah tiga hari ke kebun dan memakan tanamannya. Maka diberitahukan kepada Al-Mahdi. Lalu Al-Mahdi bertanya kepada Abdullah bin Marzuq : 'Siapakab yang mengeluarkan engkau?'".

Abdullah bin Marzuq menjawab : "Yang menahan aku".

Maka terkejutlah Al-Mahdi dan memekik, seraya berkata : "Tidak­kah engkau takut aku akan membunuh engkau?".

Lalu Abdullah mengangkatkan kepalanya kepada Al-Mahdi, seraya tertawa dan berkata : "Jikalau engkau memiliki hidup atau mati. Maka senantiasalah Abdullah ini ditahan, sehingga Al-Mahdi itu mati".

Kemudian, mereka itu melepaskan Abdullah bin Marzuq. Lalu ia kembaii ke Makkah.

Berkata yang empunya riwayat, bahwa Abdullah bin Marzuq telah bernadzar atas dirinya, bahwa jikalau ia dilepaskan oleh Allah dari tangan mereka itu, akan menyembelih qurban seratus ekor unta. Maka ia memperbuat demikian, sehingga ia menyembelih qurban tersebut.



Diriwayatkan dari Hibban bin Abdullah, yang menceriterakan : "Khalifah Harunur-rasyid berlibur di Dawin. Dan bersama dia, se­orang laki-laki dari suku Bani Hasyim, yaitu : Sulaiman bin Abi Ja'far. Maka berkata Harunur-rasyid kepadanya : "Sesungguhnya engkau mempunyai seorang budak wanita yang pandai menyanyi dengan bagus. Kita datangkan dia ke mari".

Berkata Hibban bin Abdullah : "Lalu'budak wanita itu datang dan

menyanyi. Harunur-rasyid tiada memuji nyanyinya. Lalu berkata

kepadanya ; "Bagaimana keadaan engkau?".

Budak wanita itu menjawab "Ini bukan gitar saya".

Lalu Harunur-rasyid berkata kepada pelayan : "Kita datangkan gitarnya!".

Berceritera Hibban bin Abdullah seterusnya : "Maka datanglah pelayan itu membawa gitar. Tiba-tiba bertemu dengan seorang syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu pelayan itu berseru : "Jalan, ya Syaikh!".

Syaikh itu lalu mengangkatkan kepalanya. Ketika melihat gitar itu, lalu diambilnya„dari pelayan tersebut. Dan dipukulkannya ke bumi.

723

Kemudian pelayan itu mengambil syaikh tadi dan pergi bersama kepada yang empunya tempat itu, seraya berkata : "Jaga orang ini! Karena dia orang yang dicari oleh Amirul-mu'minin". Maka menjawab yang empunya tempat itu : "Tidak ada di Bagdad orang yang lebih banyak beribadah dari orang ini. Maka bagaimana- kah dia menjadi orang yang dicari oleh Amirul-mu'minin?". Pelayan itu menjawab : "Dengarlah apa yang akan aku katakan kepadamu!".

Kemudian, pelayan itu masuk ke tempat Harunur-rasyid, seraya berkata : "Sesungguhnya aku melalui tempat seorang syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu aku berseru kepada Syaikh itu : 'Jalan!'. Syaikh itu mengangkatkan kepalanya dan melihat gitar itu. Lalu diambilnya dan dipukulkannya ke bumi dan gitar itu pecah".

Maka Harunur-rasyid meluap-luap kemarahannya, marah benar dan merah kedua matanya. Lalu Sulaiman bin Abi Ja'far berkata kepa­danya : "Apakah kemarahan ini, wahai Amirul-mu'minin? Utuslah orang kepada yang empunya tempat itu, yang akan memotong lehernya. Dan melemparkannya ke sungai Tigris (Ad-Dajlah)!". Harunur-rasyid menjawab : "Tidak! Akan tetapi akan kami utus kepadanya dan akan kami bertukar-pikiran dengan syaikh itu lebih dahulu".

Maka utusanpun datang mengambil syaikh itu, seraya mengatakan : "Perkenankaniah permintaan Amirul-mu'minin untuk datang ke tempatnya!".

Syaikh itu menjawab : "Ya!.".

Utusan itu berkata : "Naiklah kendaraan ini!".

Syaikh itu menjawab : "Tidak!".

Lalu syaikh itu berjalan kaki, sehingga sampailah dan berhenti di pintu istana. Maka, disampaikan kepada Jhfarunur-rasyid, bahwa syaikh itu sudah datang. Lalu Harunur-rasyid berkata kepada sha- habat-shahabatnya : "Apakah yang: kamu lihat? Kita angkat lebih dahulu perbuatan munkar yang ada di hadapan kita. Sehingga syaikh itu masuk. Atau kita bangun ke tempat lain, yang tidak ada padanya munkar".

Mereka itu menjawab : "Kita bangun ke tempat lain, yang tak ada padanya munkar adalah lebih baik".

Lalu mereka itu bangun ke suatu tempat yang tak ada padanya munkar. Kemudian Harunur-rasyid menyuruh syaikh itu masuk.

724

Lalu beliau dibawa masuk. Dan dalam lengan bajunya bungkusan kecil, yang di dalamnya biji-bijian.

Lalu pelayan itu berkata kepadanya: " Keluarkanlah itu dari lengan bajumu! Dan masuklah ke tempat Amirul-mu'minin!". Syaikh itu menjawab: "Dari bungkusan ini makananku malam ini". Pelayan itu menjawab : "Kami akan menyediakan makanan malam untukmu".

Syaikh itu menjawab : "Aku tidak berhajat pada makanan malam- mu".

Lalu Harunur-rasyid bertanya kepada pelayan itu : "Apakah yang kamu kehendaki daripadanya?".

Pelayan itu menjawab : "Dalam lengan bajunya ada biji-bijian. Aku katakan kepadanya : 'Buanglah biji-bijian itu dan masuklah ke tempat Amirul-mu'minin!'".

Maka Harunur-rasyid berkata : "Biarkanlah dia tidak membuang- kannya".

Hibban bin Abdullah meneruskan ceriteranya : "Maka syaikh itu pun masuk. Memberi salam dan duduk. Lalu Harunur-rasyid ber­kata kepadanya : 'Hai Syaikh! Apakah yang mendorong kamu kepada berbuat yang demikian?' ". Syaikh itu menjawab : "Apakah yang aku perbuat?". , Harunur-rasyid malu mengatakan : "Engkau telah pecahkan gitar- ku".

Tatkaia telah banyak pertanyaan ditujukan kepadanya, lalu syaikh itu menjawab : Bahwasanya aku mendengar bapakmu dan nenek- nenekmu. membaca ayat ini di atas mimbar :

pi 'jfiiffiy&tfMb^^i^^&h

(Innallaaha ya'-muru bil-'adli wal-ihsaaili wa iitaa-i dzil-qurbaa wa yanhaa 'anil-fahsyaa-i wal-munkari wal-baghyi).Artinya : "Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan kea dilan, berbuat kebaikkan dan memberi kepada kerabat-kerabat dan la melarang perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan". (S. An-Nahl, ayat 90).

Aku melihat munkar itu, lalu aku menghilangkannya!'

Lalu Kha'lifah Harunur-rasyid menjawab : "Hilangkanlah perbuatan

munkar itu!".

Demi Allah, Syaikh itu tidak berkata, kecuali itu saja. Tatkaia ia keluar, lalu Khalifah menganugerahkan sebuah bungkusan yang

725

penuh dengan uang dirham, kepada seorang laki-laki, seraya ber­kata : "Ikutilah Syaikh itu! Jikalau engkau melihat ia mengatakan : 'Aku telah berkata kepada Amirul-mu'minin dan Amirul-mu'minin telah berkata kepadaku', maka janganlah engkau berikan kepada­nya sesuatu. Dan jikalau engkau melihat dia tidak bercakap-cakap dengan seorangpun, maka berikanlah kepadanya bungkusan ini!". Tatkala ia keluar dari istana, tiba-tiba ia melihat sebutir biji-bijian itu telah terbenam dalam tanah, lalu ia besuSaha mengeluarkannya. Dan ia tidak berkata-kata dengan seorangpun. Lalu laki-laki itu berkata : "Amirul-mu'minin mengatakan kepada engkau : 'Ambil- lah bungkusan ini!'".

Maka syaikh itu menjawab: "Katakanlah kepada Amirul-mu'minin, agar ia menge'mbalikan bungkusan ini dari mana ia mengambilnya". Diriwayatkan, bahwa Syaikh itu sesudah selesai dari perkataannya tadi, lalu menuju kepada biji-bijian yang diusahakannya mencabut- nya dari tanah dan bermadah :

Aku melihat dunia,

bagi orang yang mempunyainya,

merupakan duka-cita,

setiap kali bertambah banyak padanya.

Dan itu menghinakan orang, yang memuliakannya dengan yang kecil saja..

Dan memuliakan tiap-tiap orang, yang menghinakan kepadanya.

Apabila engkau tidak memerlukan, akan sesuatu,

maka tinggalkanlah.

Dan apa yang engkau perlukan,

maka ambilkanlah!.



Dari Sufyan Ats-Tsuri ra., yang menerangkan : "Bahwa Khalifah Al-Mahdi menunaikan ibadah hajji pada tahun seratus enam puluh enam (Hijriyah). Aku melihat ia melempar Jamrah Al-'Aqabah. Dan orang banyak dipukul kanan kiri dengan cambuk. Lalu aku berhenti dan berkata : "Wahai yang cantik muka! Telah disampaikan hadits kepada kami oleh Aiman dari Wa-il, dari Quddamah bin Abdillah Al-Kilabi, yang mengatakan : 'Aku melihat Rasulullah saw. melempar jamrah pada Hari Raya hajji di atas unta. Tak ada pukulan, usiran dan siksaan. Dan tak ada, jauhlah engkau! jauhlah engkau!'. Dan engkau ini, manusia dipukul di hadapan engkau, kanan dan kiri".



726

Lalu Al-Mahdi bertanya kepada seorang laki-laki : "Siapakah orang itu?".

Laki-laki itu menjawab :''Sufyan Ats-Tsuri", Al-Mahdi lalu berkata : "Hai Sufyan! Jikalau Al-Manshur (maksud­nya, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur ayahnya), niscaya tidak akan menanggung engkau di atas yang begini".

Maka menjawab Sufyan Ats-Tsuri: "Jikalau Al-Manshur menerang­kan kepadamu, apa yang telah dijumpainya, niscaya engkau henti kan dari apa yang engkau kerjakan itu".

Sufyan Ats-Tsuri menyambung ceriteranya : "Lalu ada orang me­ngatakan kepada Al-Mahdi". Bahwa Sufyan itu mengatakan kepa­da engkau : "Wahai yang cantik muka!". Dia tidak mengatakan kepada engkau : "Wahai Amirul-mu'minin!". Lalu Al-Mahdi berkata : "Carilah Sufyan itu".

Maka Sufyan Ats-Tsuri dicari dan beliau menyembunyikan diri... Diriwayatkan dari Khalifah Al-Ma'mun, bahwa sampai berita kepa­danya, seorang laki-laki menjadi muhtasib, berjalan kaki pada manusia ramai. Menyuruh mereka berbuat perbuatan kebaikan dan melarang mereka berbuat perbuatan kejahatan. Dan orang itu tidak menerima perintah dari Al-Ma'mun dengan yang demikian. Lalu Al-Ma'muri menyuruh laki-laki itu supaya datang kepadanya. Tatkaia sudah berada di hadapannya, maka Al-Ma'mun berkata kepada orang itu : "Bahwa telah sampai kepadaku, bahwa engkau melihat diri engkau, ahli untuk amar-ma'ruf dan nahi-munkar, tan­pa kami menyuruh engkau".



Al-Ma'mun ketika itu duduk di atas kursi, melihat pada Kitab atau kissah. Lalu ia lengah dari Kitab yang ditangannya, maka jatuh dan berada di bawah tapak kakinya dengan tiada disadarinya. Lalu Muhtasib tadi berkata kepada Al-Ma'mun : "Angkatlah ta­pak kakimu dari nama Allah Ta'ala! Kemudian, katakan apa yang engkau kehendaki!".



Al-Ma'mun tiada mengerti apa yang dikehendaki oleh muhtasib itu.

Lalu bertanya : "Apa katamu?". Sehingga diulanginya oleh muhtasib itu tiga kali, tidak juga ia mengerti.

Lalu Muhtasib berkata : "Apakah tidak engkau angkat sendiri atau engkau izinkan, aku mengangkatnya?".

Maka Al-Ma'mun memandang ke bawah tapak kakinya. Lalu meli­hat Kitab. Maka diambil dan diciumnya. Ia malu, kemudian kem­baii berkata: "Mengapa'kamu beramar-ma'ruf, padahal Allah Ta'ala

727

telah menjadikan yang demikian kepada kami keluarga Rasul (Ahlul-bait)?". Dan kamilah yang difirmankan oleh Allah Ta'ala :

الذين إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر

(Alladziina in mak-kannaahum fil-ardli, aqaamush-shalaata wa-ata- wuz-zakaata wa amaruu bil-ma'-ruufi wa nahau 'anil-munkar).Artinya : "Orang-orang yangjika Kami diamkan (tempatkan) di muka bumi, mereka tetap mengerjakan shalat dan membayarkan zakat dan menyuruh mengerjakan perbuatan baik dan melarang perbuatan yang salah ". (S. Al-Hajj, ayat 41).

Muhtasib tadi menjawab: "Benar engkau, wahai Amirul-mu'minin, sebagaimana engkau menyifatkan diri engkau dengan kekuasaan dan ketetapan. Kecuali, kami ini penolong dan pembantu engkau pada amar-ma'ruf itu. Dan tidak ada yang membantah demikian, selain orang yang bodoh tentang Kitab Allah Ta'ala dan Sunnah Rasulullah saw. Allah Ta'ala berfirman :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

(Wal-mu'-minuuna wal-mu'-minaatu ba'-dluhum auliyaa-u ba'-dlin ya'-muruuna bil-ma'-ruufi wa yanhauna 'anil-munkar).Artinya : "Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan orang-orang yang beriman perempuan, mereka satu sama lain pimpin-meminpin. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan melarang mengerja­kan yang salah". (S. A t-Taubah, ay at 71).



Rasulullah saw. bersabda : "Orang mu'min bagi orang mu'min adalah seperti gedung yang mengkokohkan sebagian akan bagian yang lain". (1)

Engkau telah mendapat tempat di bumi dan ini Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Jikalau engkau tunduk kepada keduanya, nis­caya engkau bersyukur (berterima kasih) kepada orang yang me- nolong engkau, untuk penghormatan keduanya (Al-Qur-an dan Sunnah). Dan jikalau engkau menyombong dari keduanya dan tidak engkau tunduk, niscaya tidak adalah yang mengharuskan bagi engkau dari keduanya. Sesungguhnya Dia, yang kepada-Nya urusan engkau. Dan di tangan kekuasaan-Nya kemuliaan engkau dan kehinaan engkau. Dia (Allah Ta'ala) telah mensyaratkan bahwa Dia tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan. Maka katakanlah sekarang apa yang engkau kehendaki.

(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Musa dan sudah diterangkan dulu pada "Bab Adab Berteman".
728

Maka amat heranlah Al-Ma'mun dengan perkataan orang itu. Dan ' ia amat bergembira. Dan berkata : "Orang yang seperti engkau boleh beramar-ma'ruf. Maka teruskanlah apa yang telah engkau kerjakan itu dengan perintah kami dan dari pendapat kami!". Maka terus-meneruslah orang itu melakukan amar-ma'ruf. dan nahi-munkar.

Dari alunan hikayat (ceritera) ini, adalah penjelasan dalil atas tiada perlunya izin.

Jikalau ada yang bertanya : "Apakah ada kekuasaan hisbah (pelak- sanaan) amar-ma'ruf bagi anak atas orang tuanya, bagi budak atas tuannya, bagi isteri atas suaminya, bagi murid atas gurunya dan bagi rakyat atas penguasa (wali)nya secara mutlak, sebagaimana ada kekuasaan hisbah itu bagi orang tua atas anaknya, bagi tuan atas budaknya, bagi suami atas isterinya, bagi guru atas muridnya dan bagi sultan atas rakyatnya atau diantara keduanya terdapat perbedaan?".

Ketahuilah kiranya bahwa yang kami lihat, ialah adanya pokok kekuasaan itu. Tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan pada penguraian. Dan marilah kami umpamakan yang demikian menge­nai anak serta orang tuanya. Maka kami berkata, bahwa telah kami terbitkan bagi hisbah lima tingkat.



Anak mempunyai hisbah dengan dua tingkat yang pertama. Yaitu : memperkenalkan, kemudian memberi pengajaran dan nasehat de­ngan lemah-lembut. Dan anak itu tidak mempunyai hisbah dengan memaki, menggertak dan menakut-nakuti dan tidak dengan lang sung pemukulan.



Keduanya itu dua tingkat yang akhir. Dan adakah anak itu mempu­nyai hisbah dengan tingkat ketiga, di mana tingkat ini membawa kepada menyakiti dan memarahi orang tuanya?. Padanya penelitian. Yaitu, dengan : memecahkan gitarnya umpa- manya. Menuangkan khamarnya. Membuka benang dari kainnya yang ditenun dari sutera. Mengembalikan kepada pemilik, barang yang didapati di rumahnya dari harta haram yang dirampasnya atau dicurinya atau diambilnya dari banyaknya rezeki dari pajak kaum musiimin, apabila pemiliknya tertentu orangnya. Dan mpru-, sakkan gambar-gambar yang diukir pada dinding temboknya dan yang dikorek pada kayu rumahnya. Dan menghancurkan bejana (tempat air) emas dan perak.                                  - :

Jikalau anak itu berbuat pada hal-hal tadi, tiadalah menyangkut dengan diri bapaknya. Kecuali memukul dan memaki. Tetapi bapak itu merasa disakiti dengan demikian dan marah karenanya.

729

Akan tetapi perbuatan anak itu benar. Dan marahnya bapak itu terjadi karena sukanya kepada yang batii dan haram. Yang lebih kuat menurut qias (analogi), bahwa boleh yang demi­kian bagi anak. Bahkan harus anak itu berbuat demikian. Dan tiada jauh dari kebenaran bahwa pada yang demikian itu dilihat kepada kejinya perbuatan munkar dan kepada kadar kesakitan dan kema­rahan.



Jikalau munkar itu amat keji dan kemarahannya kepada anaknya itu dekat, seperti penuangan khamar orang yang tiada bersangatan kemarahannya, maka yang demikian itu jelas. Dan jikalau munkar itu dekat dan kemarahan itu keras, seperti : jikalau ia mempunyai bejana dari mutiara putih bersih atau dari kaca dengan bentuk hewan dan pada memecahkannya itu memper­oleh kerugian banyak harta, maka ini, termasuk yang bersangatan kemarahan. Dan tidaklah ma'shiat ini berlaku, menurut berlakunya khamar dan lainnya. Ini semuanya tempat penelitian. Jikalau ada yang bertanya : "Dari manakah dalilnya, maka kamu mengatakan, tidak ada bagi anak itu hisbah dengan gertakan dan pukulan dan paksaan kepada meninggalkan yang batil? Dan amar- ma'ruf pada Kitab dan Sunnah datangnya secara umum, tanpa pengkhususan. Adapun larangan dari penghardikan dan yang me- nyakitkan, maka telah datang pada Al-Qur-an. Dan itu khusus pada yang tiada bersangkutan dengan mengerjakan yang munkar-munkar" Kami menjawab, bahwa sesungguhnya telah datang mengenai hak bapak secara khusus, apa yang mewajibkan pengecuahan dari umum. Karena tiada terdapat perbedaan pendapat, bahwa pelaksa- na hukuman tidak boleh membunuh bapaknya pada hukuman zina dan tidak boleh sec&ra langsung melaksanakan hukuman itu kepada bapaknya. Bahkan, ia tidak melaksanakan membunuh bapaknya yang kafir, Bahkan jikalau bapaknya memotong tangan- nya, maka tiada wajib atas bapaknya q is hash. Dan tiada boleh anaknya menyakiti bapaknya sebagai timbalan perbuatan bapaknya. Pada yang demikian itu telah datang hadits-hadits. Dan sebahagian- nya telah tetap dengan ijma'.



Maka apabila tiada boleh bagi anak, menyakiti bapaknya dengan siksaan, yang berhak dijatuhkan atas perbuatan tindakan pidana yang lalu, maka tiada boleh bagi anak itu menyakiti bapaknya dengan siksaan. Yaitu : larangan — dari tindakan pidana yang akan datang yang mungkin akan terjadi. Bahkan lebih utama lagi: tidak  boleh.

730

Tertib ini juga seyogialah berlaku pada budak dan isteri serta tuannya dan suaminya. Keduanya itu lebih dekat dari anak tentang wajibnya hak. Walaupun milik dengan perbudakan itu lebih kuat daripada milik dengan perkawinan. Tetapi pada hadits, tersebut : "Bahwa jikalau boleh sujud kepada makhluq, niscaya aku suruh perempuan sujud kepada suaminya". (1) Hadits ini menunjukkan pula kepada kuatnya hak perkawinan. Adapun rakyat serta sultan (penguasa), maka keadaannya lebih berat dari anak Tiadalah bagi rakyat serta sultan, kecuali memper kenalkan dan merjasehatkan.



Adapun tingkat ketiga, maka padanya penelitian, dari segi bahwa serangan mengambil harta dari tempat simpanannya dan mengem balikannya kepada pemilik, mencabut benang dari kain suteranya dan memecahkan bejana khamar dalam rumahnya, hampirlah perbuatan itu membawa kepada mengoyak-ngoyakkan kehebatan dan menjatuhkan kehormatannya.



Yang demikian itu dilarang, yang telah datang larangannya, sebagai­mana telah datang larangan berdiam diri di atas perbuatan munkar. ( Maka telah bertentangan pula padanya dua hal yang ditakuti. Urusannya diserahkan kepada ijtihad, yang sumbernya memperha- tikan tentang kejinya munkar. Dan kadar yang jatuh dari kehor­matannya dengan sebab serangan itu. Dan yang demikian tidak mungkin ditentukan dengan pasti.



Adapun murid dan guru, maka urusan diantara keduanya adalah lebih ringan. Karena yang dihormati ialah guru yang memfaedah- kan pengetahuan dari segi Agama. Dan tak ada kehormatan bagi orang yang berpengetahuan yang tidak berbuat dengan pengeta- huannya. Maka murid itu bergaul. dengan gurunya, sepanjang yang diharuskan oleh pengetahuan yang dipelajarinya dari guru itu. Diriwayatkan, bahwa ditanyakan kepada Al-Hasan tentang anak, bagaimanakah ia berihtisab kepada bapaknya? Maka Al-Hasan menjawab : "Memberi pengajaran kepada bapaknya, selama bapak­nya tidak marah. Jikalau mar ah, niscaya iadiam".



Syarat Kelima : muhtasib itu mampu. Dan tidaklah tersembunyi, bahwa orang yang lemah, tidak ada atasnya hisbah, kecuali dengan hatinya. Karena tiap-tiap orang yang mencintai Allah, niscaya benci kepada segala perbuatan ma'shiat dan menantangnya.



(1)      Hadits ini telah diterangkan pada "Bab Nikah".
(2)     Dirawikan A!-Hakim dari 'lyadl bin Ghanani AI-Asy'ari. Katanya shahih isnad.
731

Ibnu Mas'ud ra. berkata : "Beijihadlah terhadap orang-orang kafir itu dengan tanganmu! Jikalau tiada sanggup, selain engkau ber- masam muka di hadapannya, maka perbuatlah yang demikian!". Ketahuilah, bahwa tiada berhenti gugurnya kewajiban di atas kele- mahan yang tampak kelihatan. Akan tetapi diperhubungkan dengan yang demikian, apa yang ditakutinya, sebagai keadaan yang tiada disukai, yang akan diperolehnya. Maka yang demikian itu adalah dalam arti kelemahan.



Dan seperti yang demikian juga, apabila tiada ditakutinya sebagai keadaan yang tiada disukai. Akan tetapi diketahuinya bahwa pe- nantangannya tiada bermanfa'at. Maka hendaklah ia menoleh kepada dua pengertian : Salah satu dari keduanya : tiada raem- faedahkan penantangan, sebagai mematuhi larangan. Yang satu lagi : takut keadaan yang tiada disukai. Dari memperhatikan dua pengertian tersebut, berhasillah empat keadaan :



Keadaan Pertama : bahwa berkumpul dua pengertian itu, dengan diketahuinya bahwa tiada bermanfa'at perkataanttya. Dan ia akan dipukul, kalau ia berkata-kata. Maka tiadalah wajib atasnya hisbah. Bahkan kadang-kadang haram pada sebagian tempat. Ya, haruslah ia tidak menghadliri tempat-tempat munkar dan memencilkan diri (ber-'uzlah) di rumahnya. Sehingga ia tiada meli­hat dan tidak keluar, selain karena keperluan yang penting atau yang wajib. Dan tidak wajib ia berpisah dengan negeri itu dan berhijrah, Kecuali, apabila ia diajak kepada kerusakan. Atau diba- wa kepada menolong sultan-sultan (penguasa-penguasa) pada ke- dzaliman dan kemunkaran. Maka wajiblah ia berhijrah jika sanggup; SesUngguhnya paksaan itu, tidaklah dima'afkan terhadap orang yang sanggup lari dari paksaan.



Keadaan Kedua : bahwa tidak ada kedua pengertian itu, dengan sebab diketahuinya bahwa perbuatan munkar akan hilang dengan perkataan dan perbuatannya. Dan tidak mampu orang membawa- nya kepada perbuatan yang tiada disukai. Maka wajiblah ia menan­tang. Dan inilah yang dinamakan : kesanggupan mutlak.



Keadaan Ketiga: bahwa ia mengetahui tantangannya tiada membe­ri faedah. Akan tetapi ia tiada takut akan keadaan yang tiada disukai. Maka tiada "wajib atasnya hisbah, karena tiada faedahnya. Tetapi disunatkan untuk melahirkan syi'ar Islam dan memperi- ngatkan manusia dengan urusan Agama.



732



Keadaan Ke-empat : kebalikan dari ini. Yaitu : ia mengetahui bah­wa akan menimpa dirinya dengan keadaan yang tiada disukai. Akan tetapi perbuatan munkar itu akan hancur dengan perbuatan- nya. Seperti ia sanggup melemparkan kaca kepunyaan orang fasiq dengan batu. Lalu batu itu memecahkan kaca tersebut dan menu- angkan khamar. Atau memukulkan gitar yang di tangannya dengan pukulan yang menyambarkan. Lalu gitar itu pecah di waktu itu juga. Dan hilanglah perbuatan munkar itu. Akan tetapi ia menge­tahui, bahwa akan dikembalikan kepadanya, lalu dipukul kepa­lanya.



Maka ini tidaklah wajib dan tidaklah haram. Akan tetapi disunat- kan (mustahab). Hal ini berdalilkan hadits yang telah kami datang­kan dahulu, tentang keutamaan kata kebenaran pada iman yang dzalim. Dan tidaklah ragu, bahwa yang demikian itu tempat sang- kutan ketakutan.



Dibuktikan pula oleh apa yang diriwayatkan dari Abi Sulaiman Ad-Darani ra. bahwa beliau berkata : "Aku mendengar perkataan sebahagian khalifah, lalu aku bermaksud menantangnya. Dan aku tahu, bahwa aku akan dibunuh. Dan tiada yang menghalangi aku oleh pembunuhan itu. Tetapi khalifah itu berada di hadapan manu­sia ramai. Maka aku takut bahwa aku itu ditimpa oleh penghiasan diri bagi makhluq ramai. Lalu aku dibunuh, tanpa keikhlasan pada perbuatan.



Jikalau ada orang bertanya : Apakah artinya firman Allah Ta'ala :Artinya : "Dan janganlah kamu jatuhkan dirimu sendiri dengan tanganmu kepada kebinasaan". (S. Al-Baqarah, ayat 195). Kami menjawab : tiada perbedaan pendapat, bahwa muslim seo­rang diri boleh menyerang kebarisan orang-orang kafir dan berpe­rang. Walaupun ia tahu bahwa ia akan terbunuh. Dan ini kadang- kadang disangka menyalahi bagi yang diwajibkan oleh ayat di atas. Dan bukanlah demikian. Sesungguhnya Ibnu 'Abbas ra. telah ber­kata : "Tidaklah kebinasaan itu demikian. Akan tetapi, meninggal­kan perbelanjaan pada mentha'ati Allah Ta'ala. Artinya : orang yang tidak berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah mem binasakan dirinya".



733

Al-Barra' bin 'Azib berkata : "Kebinasaan, ialah berbuat dosa. Kemudian ia mengatakan : "Tidak akan diterima taubatku". Abu 'Ubaidah berkata: "Kebinasaan, ialah berbuat dosa. Kemudian tidak berbuat kebajikan sesudahnya, sehingga ia binasa". Apabila boleh memerangi kafir, sehingga ia terbunuh, niscaya boleh pula baginya yang demikian pada hisbah. Akan tetapi, kalau ia tahu bahwa tak ada kegagahan untuk serangannya ke atas kafir, seperti orang buta yang mencampakkan dirinya kepada barisan atau orang lemah, maka yang demikian itu haram. Dan masuk dalam umum ayat kebinasaan itu.,



Sesungguhnya boleh baginya maju apabila ia tahu bahwa ia berperang sampai terbunuh. Atau ia tahu bahwa ia menghancurkan hati orang-orang kafir, dengan dilihat mereka akan keberaniannya. Dan diyaqini mereka pada orang-orang Islam yang lain, kurang memper- hatikan akan kepentingan sendiri. Dan kecintaan mereka (kaum muslimin) untuk syahid pada jalan Allah (sabilullah). Maka dengan demikian, hancurlah kekuatan orang-orang kaQr itu. Maka seperti itu pula, boleh bagi muhtasib, bahkan disunatkan baginya, mendatangkan dirinya bagi pemukulan dan pembunuhan, apabila hisbahnya itu membekas pada menghilangkan kemunkaran. Atau pada menghancurkan kemegahan orang fasiq. Atau pada menguatkan hati orang-orang Agama.



Adapun kalau muhtasib itu melihat seorang fasiq yang keras dan padanya ada pedang dan di tangannya gelas berisi khamar dan muhtasib itu tahu bahwa jikalau ia menantang, niscaya orang fasiq itu akan meminum khamar tersebut dan akan memotong lehemya dengan pedang.



Maka ini termasuk diantara yang aku lihat, tak ada cara untuk hisbah padanya. Dan itu adalah kebinasaan benar-benar. Maka sesungguhnya yang dicari, ialah yang memberi bekas dengan sesuatu bekas pada Agama. Dan ia dapat menebuskannya dengan dirinya sendiri.



Adapun mendatangkan diri bagi kebinasaan, tanpa memberi bekas, maka tiada cara bagi yang demikian. Bahkan seyogialah haram ada- nya. Dan sesungguhnya disunatkan menantang, apabila sanggup membatalkan kemunkaran itu. Atau nyata perbuatannya itu mem­beri faedah. Dan yang demikian, dengan syarat bahwa hai yang tiada disukai itu terbatas ke atas dirinya saja. Jikalau diketahuinya, bahwa orang fasiq itu akan memukul orang lain juga, dari para shahabat atau kerabat atau teman-temannya,

734

maka tidak boleh muhtasib itu berhisbah. Bahkan haram. Karena ia lemah daripada menolak kemunkaran. Kecuali yang demikian itu membawa kepada kemunkaran yang lain. Dan tidaklah yang demikian itu termasuk dalam kemampuan sedikitpun. Bahkan, jikalau diketahuinya, bahwa jikalau ia berihtisab, niscaya kemun­karan itu hilang. Akan tetapi yang demikian itu menjadi sebab bagi kemunkaran yang lain, yang akan diperoleh oleh yang lain dari muhtasib itu. Maka yang lebih kuat hukumnya, tiada halal menantangnya. Karena yang dimaksud, ialah tiada terdapat ke­munkaran-kemunkaran Agama mutlak. Tidak dari si Zaid atau dari si 'Umar.



Yang demikian itu, umpamanya : ada pada seseorang, minuman halal yang bernajis, disebabkan jatuh najis ke dalamnya. Dan orang itu tahu, bahwa jikalau dibuangkannya minuman itu, niscaya yang puny a minuman itu, akan meminum khamar. Atau anak-anaknya akan meminum khamar, karena mereka itu berhajat kepada minuman halal. Maka tak ada artinya menuangkan yang demikian. Dan mungkin juga dikatakan, bahwa orang itu menuangkan yang demikian. Maka dia, membatalkan suatu kemunkaran. Adapun meminum khamar, maka adalah perbuatan yang tercela. Dan muhtasib itu tiada sanggup mencegahnya dari kemunkaran itu. Telah berjalan kepada pendapat tadi orang-orang yang beraliran demikian. Dan tidaklah jauh dari dapat dipahami. Karena ini adalah masalah-masalah fiqh, tidak mungkin menetapkan hukumnya, selain dengan berat dugaan (dhan). Dan tiadalah jauh untuk dibe- dakan, antara derajat-derajat kemunkaran yang dihilangkan dan kemunkaran yang membawa kepadanya hisbah dan penghilangan. Sesungguhnya apabila muhtasib itu menyembelih kambing untuk orang lain, supaya dimakannya dan ia tahu jikalau dilarangnya dari yang demikian, niscaya orang itu akan menyembelih manusia dan memakannya, maka tak adalah arti bagi hisbah ini. Ya, jikalau dilarangnya daripada menyembelih manusia atau me- motong anggotanya, yang akan membawa kepada pengambilan hartanya, maka yang demikian itu mempunyai segi yang jelas. Maka inilah titik-titik halus yang terjadi pada tempat ijtihad. Dan atas muhtasib mengikuti ijtihadnya pada yang demikian semuanya. Dan bagi titik-titik halus ini kami berkata : "Seyogialah bagi orang aw am tidak melakukan ihtisab. Kecuali pada hal-hal yang terang, yang diketahui. Seperti: minum khamar, zina dan meninggalkan shalat".

735

Adapun sesuatu yang diketahui itu ma'shiat, dengan disandarkan kepada perbuatan-perbuatan yang datang dan memerlukan kepada ijtihad, maka orang awam jikalau texjun ke dalamnya, niscaya merusak lebih banyak daripada memperbaiki. Dari inilah menguatnya sangkaan orang yang tidak menetapkan pengurusan hisbah,, kecuali dengan penentuan wali (penguasa). Karena kadang-kadang terpanggil kepada hisbah itu, orang yang tidak ahli, karena kesingkatan pengetahuannya atau kekurangan keagamaannya. Maka yang demikian itu membawa kepada segi- segi kecederaan. Dan akan datang pembukaan tutup dari yang demikian, Insya Allah.



Kalau ada orang bertanya : "Dari segi anda mengatakan secara mutlak bahwa muhtasib itu tahu akan mengenai dirinya hai yang tiada diingini atau tiada mendatangkan faedah hisbahnya itu. Maka jikalau "tahu" itu diganci dengan "sangka", bagaimana hukum- nya?".



Kami menjawab : bahwa persangkaan yang keras pada bab ini, adalah dalam arti : tahu. Hanya perbedaan itu jelas, ketika ber- tentangan sangka dan tahu. Karena kuat tahu dengan keyaqinan dari sangka. Dan diperbedakan antara tahu dan sangka pada tem­pat-tempat lain. Yaitu : bahwa gugur kewajiban hisbah, di mana muhtasib itu tahu dengan pasti, bahwa perbuatannya tidak akan berfaedah. Kalau keras persangkaannya, bahwa "tidak berfaedah tetapi 14mungkin akan berfaedah" dan bersamaan dengan itu tidak akan terjadi hai yang tiada diingini, maka berselisih para ulama tentang wajibnya.



Yang lebih kuat (al-adhar) wajib. Karena tak ada kemelaratan padanya. Dan manfa'atnya diharapkan. Dan umumnya amar- ma'ruf dan nahi-munkar, menghendaki akan wajib itu dalam segala hai. Dan hanya kami kecualikan secara khusus, apabila muhtasib itu tahu, bahwa tidak berfaedah. Adakalanya dengan ijma' atau dengan qias nyata. Yaitu : bahwa suatu perintah tidaklah dimak­sudkan perintah itu sendiri. Akan tetapi, bagi yang diperintah. Maka apabila yang diperintah itu tahu tidak akan berhasil (ia putus- asa), maka tak ada faedah dilaksanakan. Apabila ia tidak putus-asa, maka seyogialah kewajiban itu tidak gugur.

Kalau orang bertanya : bahwa yang tiada diingini yang mungkin akan terjadi, jikalau kemungkinan itu tidak diyaqini dan tidak diketahui dengan keras sangka, akan tetapi diragukan atau keras sangkanya bahwa tiada akan menimpa dengan yang tiada diingini,

736

akan tetapi mungkin akan menimpa dengan yang tiada diingiriihya itu, maka kemungkinan ini, gugurkah wajibnya?. Sehingga tiada wajib, kecuali ketika yaqiri, bahwa tiada akan menimpa diri muh­tasib dengan yang tiada diingini. Ataukah wajib dalam tiap-tiap hal, kecuali apabila keras sangkaannya, akan menimpa dengan yang tiada diingini.



Kami jawab, jikalau keras sangkaannya bahwa ia akan tertimpa dengan yang tiada diingini, niscaya tiada wajib. Jikalau keras sang­kaannya, bahwa ia tiada akan tertimpa dengan yang tidak diingini, niscaya wajib. Dan semata-mata kemungkinan, tidak menggugur- kan wajib. Karena yang demikian adalah mungkin pada semua hisbah.



Jikalau ia ragu padanya, tanpa kekuatan dalil, maka inilah tempat penelitian. Mungkin dikatakan, pada pokoknya (asalnya) wajib dengan umumnya hukum. Dan wajib itu gugur dengan hal yang tiada diingini.

Dan yang tiada diingini itu ialah yang disangka atau diketahui, sehingga adanya akan terjadi. Inilah pendapat yang'lebih kuat!.



Dan mungkin dikatakan, bahwa wajib melaksanakan hisbah itu, apabila diketahui tak ada kemelaratan padanya. Atau disangka tak ada kemelaratan.



Yang pertama lebih syah (lebih kuat), karena memandang kepada yang dikehendaki umum, yang mewajibkan amar-ma'ruf. Kalau ada yang bertanya : dugaan akan terjadi yang tiada diingini itu, berlainan disebabkan pengecut dan berani. Maka orailg penge- cut yang lemah hati, melihat yang jauh itu dekat. Sehingga seakan- akan ia melihatnya dan ia takut. Dan orang yang sangat berani, merasa jauh akan terjadi hal yang tiada diingini, menurut hukum tabi'atnya, dari baiknya angan-angan. Sehingga ia tidak membenar- kan, kecuali sesudah terjadi. Jadi, maka apakah yang menjadi pegangan?.



Kami menjawab, pegangan itu adalah di atas tabi'at yang sedang, akal yang sejahtera dan kondisi badan (mizaj). Sesungguhnya sifat pengecut itu penyakit. Yaitu : kelemahan hati (jiwa). Sebabnya-kurang dan merendahnya kekuatan. Dan sifat tahawwur (keberanian yang berlebih-lebihan) adalah bersangatan kekuatan, keluar dari pertengahan dengan berlebih-lebihan. Keduanya itu sifat kekurangan\Yang sempurna ialah pada perte­ngahan yang disebut: syaja 'ah (berani).



737

Masing-masing : pengecut dan tahawwur itu, terjadi, sekali dari kekurangan akal dan sekali dari kecederaan kondisi badan dengan merendahnya atau meningginya. Sesungguhnya orang yang sedang mizajnya mengenai sifat pengecut dan berani, kadang-kadang ia tidak meneliti tempat-tempat kejahatan. Maka adalah sebab kebe- raniannya itu kebodohannya. Kadang-kadang ia tidak meneliti cara-cara menolak kejahatan itu, maka sebab- pengecutnya ialah kebodohannya. Kadang-kadang ia tahu, disebabkan pengalaman dan kebiasaan dengan tempat-tempat datangnya kejahatan dan dan cara-cara menolaknya. Akan tetapi kejahatan yang jauh itu berbuat pada melemahkan dan menghancurkan kekuatannya untuk tampil. Disebabkan kelemahan hati (jiwa)nya, akan apa yang diper­buat oleh kejahatan yang dekat pada orang yang berani, yang ber- fcabi'at sedang (normal).

Maka tidaklah penolehan pada kedua segi itu .

Dan atas orang pengecut harus berusaha meskipun berat, menghi- langkan kepengecutannya dengan menghilangkan penyakitnya. Penyakitnya ialah : kebodohan atau kelemahan. Kebodohan itu hilang dengan pengalaman. Dan kelemahan itu hilang dengan membiasakan perbuatan yang ditakuti, dengan memaksakan diri (takalluf). Sehingga menjadi kebiasaan. Karena orang yang baru tampil (mubtadi') pada bertukar-pikiran dan memberi pengajaran- umpamanya, kadang-kadang tabi'atnya pengecut, karena kelemahannya.Maka apabila ia selalu dan membiasakan, niscaya kele­mahan itu berpisah daripadanya.



Maka jikalau yang demikian telah menjadi mudah (dlaruri), tidak hilang lagi, dengan dikuasai oleh kelemahan ke atas hati (jiwa), maka hukum orang yang lemah itu, mengikuti halnya. Maka ia dima'afkan, sebagaimana dima'afkan orang sakit, tidak melakukan sebahagian kewajibannya.

Karena itulah, kadang-kadang kami berkata di atas pendapat : bahwa tiada wajib melakukan pelajaran karena menunaikan hajji yang menjadi hukum Islam, atas orang yang sangat pengecut ber- layar di lautan. Dan wajib atas orang yang tiada sangat ketakutan- nya. Maka seperti itu pula urusan tentang wajibnya hisbah. Kalau ada yang bertanya : keadaan yang tiada diingini yang akan terjadi itu, manakah. batasnya? Karena manusia itu, kadang- kadang tiada menyukai suatu perkataan. Kadang-kadang tiada me- nyukai pukulan. Dan kadang-kadang tiada menyukai panjangnya lidah muhtasib terhadap dirinya dengan umpatan. Tiada seorang-

738

pun yang diajak kepada perbuatan kebaikan, melainkan mungkin akan terjadi daripadanya semacam kesakitan. Kadang-kadang tim- bul dari orang itu, menyeret muhtasib itu kepada sultan (penguasa). Atau mengancamnya pada majelis yang akan membawa kemela­ratan kepada muhtasib dengan ancaman tersebut. Maka apakah batas hal yang tiada diingini itu yang menggugurkan kewajiban?.

Kami menjawab : Ini juga,padanya penelitian yang kabur. Bentuk persoalannya bertebaran dan tempat lalunya banyak. Akan tetapi, kami bersungguh-sungguh mengumpulkan yang bertebaran itu dan menghinggakan bahagian-bahagiannya.

Kami terangkan, bahwa : yang tiada diingini itu (al-mahruh) ialah lawan dari yang dicari (al-mathlub). Yang dicari oleh manusia di dunia ini, kembaii kepada empat perkara : adapun pada jiwa, maka pengetahuan. Adapun pada badan, maka kesehatan dan kesejahte- raan. Adapun pada harta, maka kekayaan. Dan adapun pada hati manusia, maka tegaknya kemegahan.

Jadi, yang dicari itu : pengetahuan, kesehatan, kekayaan dan kemegahan.



Arti kemegahan, ialah : memiliki hati manusia, sebagaimana arti kekayaan, ialah : memiliki dirham (uang). Karena hati manusia itu jalan (wasilah). kepada maksud-maksud. Sebagaimana memiliki dirham itu,jalan kepada sampainya maksud. Dan akan datang pene- gasan arti kemegahan dan sebab kecondongan tabi'at manusia kepadanya, pada "Rubu' Yang Membinasakan". Masing-masing dari empat ini, dicari oleh manusia untuk dirinya sendiri, untuk kerabatnya dan orang-orang yang tertentu dengan dia. Dan yang tidak diingini pada empat ini; dua perkara : Pertama : hilang apa yang telah berhasil, yang telah berada di tangannya.



Kedua : tercegah tidak berhasilnya apa yang ditunggu, yang belum ada. Ya'ni : tertolak apa yang diharapkan adanya. Maka tak ada yang memelaratkan, kecuali lenyapnya apa yang telah berhasil dan hilangnya atau pencegahan yang ditunggu. Karena yang ditunggu. adalah ibarat dari sesuatu yang mungkin diperoleh. Dan kemung­kinan diperoleh itu, seakan-akan barang yang berhasil. Dan lenyap kemungkinannya, seakan-akan lenyap berhasilnya. Maka kembalilah yang tiada diingini itu kepada dua bahagian :

Bahagian Pertama : takut tercegahnya yang dinantikan. Dan ini tiada seyogialah sekali-kali memberi kelapangan untuk mehinggal-

739

kan amar-ma'ruf. Dan marilah kami sebutkan contohnya pada empat macam yang dicari itu.

Adapun pengetahuan : contohnya ialah, meninggalkan hisbah atas orang yang tertentu dengan gurunya. Karena takut buruk keadaan- nya pada gurunya itu. Lalu beliau tiada mau mengajarnya lagi. Adapun kesehatan : maka meninggalkannya itu, penantangan kepa­da tabib (dokter) yang ia masuk kepadanya-umpamanya-dengan memakai sutera. Karena takut ia terlambat daripadanya. Maka ter- cegahlah disebabkan demikian, kesehatannya yang dinantikan. Adapun harta: maka meninggalkannya itu, hisbah terhadap sultan, shahabat-shahabatnya dan orang yang menolongnya dari hartanya. Karena takut dipotongnya bantuan pada masa yang akan datang dan ditinggalkannya pertolongan itu.



Adapun kemegahan, maka meninggalkannya itu, hisbah terhadap orang yang diharapkannya daripadanya pertolongan dan kemegah­an pada masa yang akan datang. Karena takut akan tidak berhasil baginya kemegahan. Atau takut akan buruk keadaannya pada sultan (penguasa) yang diharapkannya daripadanya memperoleh kedudukan dalam pemerintahan (wilayah).



Ini semuanya tidak menggugurkan kewajiban hisbah. Karena ini adalah tambahan-tambahan yang tercegah berhasilnya. Dan mena- makan tercegahnya berhasil tambahan-tambahan itu karena keme­laratan, adalah majaz (1). Dan bahwasanya kemelaratan hakiki, ialah : lenyapnya kehasilan.



Tiada dikecualikan dari ini suatupun, selain apa yang diminta oleh keperluan. Dan pada lenyapnya itu ada hai yang ditakuti, yang melebihi dari ketakutan diam atas perbuatan munkar. Sebagaimana apabila ia memerlukan kepada tabib, karena penyakit yang seka- rang. Dan kesehatan itu adalah yang ditunggu dari pengobatan tabib tersebut. Dan diketahuinya bahwa pada terlambatnya tabib itu, akan sangatnya sakit dan lamanya penyakit itu. Kadang-kadang membawa kepada mati.



Dan aku maksudkan dengan tahu, ialah : berat sangkaan, yang membolehkan dengan hai yang seperti itu, meninggalkan pemakai- an air dan berpaling kepada tayammum.

Maka apabila sampai kepada batas ini, niscaya tidak jauh, untuk diberi keluangan meninggalkan hisbah.

(1) Majaz, ialah : pemakaian kata tidak menurut arti hakiki.
740

Adapun mengenai pengetahuan, maka umpamanya, bahwa ia bodoh dengan semua yang penting pada Agamanya. Dan ia tiada memperoleh, selain seorang guru. Dan ia tidak sanggup berangkat kepa­da guru lain. Dan diketahuinya bahwa orang yang diamar-ma'ruf- kan (muhtasab "alaih) itu, sanggup menutupkan jalan sampai kepadanya. Karena orang yang berilmu (orang 'alim) itu, patuh kepadanya atau mendengar perkataannya.



Jadi, menahan diri (bersabar) di atas kebodohan, dengan hal-hal - yang penting bagi agama itu dijaga. Dan diam atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan tidak jauhlah untuk dikuatkan salah satu dari keduanya. Dan yang demikian itu, berlainan dengan kejinya kemunkaran dan sangatnya keperluan kepada pengetahuan. Karena hubungannya dengan kepentingan Agama.



Adapun mengenai harta, maka seperti orang yang lemah dari berusaha dan meminta-minta. Dan ia tidak kuat jiwanya pada tawakkal. Dan tidak ada yang memberi perbelanjaan (nafkah) kepadanya, selain orang seorang. Jikalau ia berihtisab kepada orang itu, niscaya orang_ itu memutuskan perongkosan hidupnya (reze- kinya). Dan berhajatlah ia pada menghasilkan rezeki itu, kepada mencari rezeki yang haram atau mati kelaparan. Ini juga, apabila bersangatan keadaannya niscaya tiada jauh, untuk diberi kelapangan kepadanya berdiam diri.



Adapun kemegahan, yaitu : ia disakiti oleh orang jahat. Dan tidak memperoleh jalan untuk menolak kejahatan itu, selain dengan kemegahan, yang diusahakannya dari sultan (penguasa). Dan ia tiada sanggup mencapainya, selain dengan perantaraan orang yang memakai sutera atau meminum khamar. Dan jikalau ia berihtisab kepada orang itu, niscaya dia tidak mempunyai perantaraan dan jalan baginya lagi. Maka tercegahlah ia memperoleh kemegahan, Dan dengan sebab yang demikian, berkekalanlah kesakitan dari orang jahat tersebut.



Semua keadaan ini apabila telah lahir dan kuat, niscaya tiada jauh­lah pengecualiannya. Akan tetapi urusannya tersangkut dengan ijtihadnya si muhtasib. Sehingga ia meminta fatwa pada hatinya. Dan menimbang salah satu dari dua yang dijaga itu dengan yang lain. Dan dikuatkan dengan memperhatikan Agama. Tidak dengan yang diharuskan hawa-nafsu dan tabi'at sendiri. Jikalau dikuatkan dengan yang diwajibkan oleh Agama, niscaya diamnya itu dinama- kan : berlemah-lembut. Dan jikalau dikuatkan dengan yang diwa­jibkan oleh hawa-hafsu, niscaya diamnya dinamakan : berminyak- minyak air.



741

Dan ini adalah urusan bathin, yang tidak terlihat, selain dengan penelitian yang halus. Tetapi pengecam itu melihat. Maka berhak- lah atas tiap-tiap orang beragama mengintip hatinya. Dan ia tahu, bahwa Allah melihat kepada yang membangkitkan dan yang me- malingkan hati itu, bahwa itu Agama atau hawa-nafsu. Dan tiap- tiap jiwa akan mendapati apa yang dikeijakannya, jahat atau baik, berada disisi Allah .-Walaupun pada sekejap yang terguris atau pada sekejap yang memperhatikan, tanpa kedzaliman dan penganiayaan. Tidaklah Allah berlaku dzalim kepada hamba-Nya. Bahagian Kedua : ialah : lenyapnya hasil. Maka itu tiada diingini. Dan dipandang boleh berdiam diri pada hal-hal empat perkara itu, selain pengetahuan. Maka lenyapnya pengetahuan itu tiada ditakuti, selain dengan keteledoran daripadanya. Jikalau tidak, maka tiada seorangpun sanggup mencabut ilmu dari orang lain. Walaupun ia sanggup mencabut kesehatan, keselamatan, kekayaan dan harta. Inilah salah satu sebab kemuliaan ilmu. Ilmu itu kekal di dunia dan pahalanya kekal di akhirat. Ia tiada terputus untuk selama-lamanya: Adapun kesehatan dan kesejahteraan, maka keduanya hilang de­ngan pukulan. Tiap-tiap orang yang mengetahui bahwa ia akan dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, yang diperolehnya kesakitan itu pada hisbah, maka tiada wajib hisbah atasnya. Walau­pun disunatkan yang demikian baginya, sebagaimana telah dite- rangkan dahulu.



Apabila telah dipahami ini tentang menyakitkan dengan pukulan, maka tentang melukakan, memotong dan membunuh itu lebih jelas lagi.



Adapun kekayaan, ialah diketahuinya bahwa akan dirampok kampungnya, dirobohkan rumahnya dan dirampas kain-kainnya. Maka ini juga, gugur kewajiban daripadanya. Dan tinggallah- sunat. Karena tiada mengapa ia menebus agamanya dengan dunianya. Dan masing-masing dari pukulan dan rampokan itu mempunyai batas tentang sedikitnya yang tidak masuk kiraan, seperti sebutir biji-bijian pada harta, dan tamparan yang ringan sakitnya pada pukulan. Dan batas pada banyaknya itu, tertentu perkiraannya. Dan pertengahan itu terjadi pada tempat kesangsian dan ijtihad. Dan atas orang yang beragama, bahwa ia berijtihad pada yang demi­kian. Dan menguatkan segi keagamaan sedapat mungkin. Adapun kemegahan, maka hilangnya, ialah : dengan memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Atau memaki di hadapan orang banyak. Atau meletakkan sapu-tangan pada lehernya dan

742

membawa dia keliling negeri. Atau menghitamkan mukanya dan dibawa berkeliling.

Semuanya itu tanpa pukulan yang menyakitkan badan. Dan itu adalah merusakkan kemegahan dan menyakitkan hati. Dan ini mempunyai tingkat-tingkat.



Maka yang betul, ialah dibagi kepada : apa yang dipandang menggugurkan kehormatan diri (muru-ah), seperti dibawa keliling dalam negeri, terbuka kepala dan tiada beralas kaki. Maka ini diberi kelapangan kepadanya berdiam diri. Karena kehor­matan diri itu disuruh menjaganya pada Agama. Dan ini menyakit­kan hati dengan kesakitan yang bertambah di atas sakitnya pukulan yang berulang-ulang dan di atas hilangnya sedikit dirham. Ini suatu tingkat!



Tingkat Kedua, ialah yang dikatakan kemegahan semata-mata dan ketinggian pangkat. Maka sesungguhnya keluar dengan pakaian kebanggaan itu, berbuat-buat kecantikan. Dan demikian pula me- ngendarai kuda.



Jikalau diketahuinya, bahwa kalau ia berihtisab, niscaya memberat- kan ia berjalan kaki di pasar dengan pakaian yang tiada pernah dipakainya seperti itu atau memberatkan ia berjalan kaki, sedang kebiasaannya berkendaraan. Maka ini termasuk dalam jumlah kele­bihan. Dan tidaklah kerajinan menjaganya itu terpuji. Dan menjaga harga-diri itu terpuji. Malta tiada seyogialah gugur kewajiban hisbah dengan contoh yang sekedar ini.



Termasuk dalam pengertian ini, jikalau ditakutinya akan datang serangan dengan lisan. Adakalanya di hadapannya, dengan kata- kata pembodohan dan pendunguan dan penyebutan ria dan palsu. Dan adakalanya di belakangnya (tidak di mukanya), dengan ber­macam-macam umpatan.

Maka ini tidak menggugurkan wajib. Karena tak ada padanya, selain hilangnya kelebihan kemegahan yang tidak besar keperluannya.



Jikalau ditinggalkan hisbah, disebabkan cacian orang yang mencaci atau disebabkan umpatan orang fasiq atau makiannya dan gertakan- nya atau hilangnya kedudukan dari hatinya dan hati tejnan-teman- nya, niscaya tiadalah sekali-kali wajib hisbah itu. Karena tiadalah terlepas hisbah daripadanya, kecuali apabila munkar itu umpatan. Dan diketahuinya bahwa jikalau ditantangnya, niscaya orang itu tidak berdiam diri dari orang yang diumpatinya. Tetapi ditambah- kannya dan dimasukkannya orang yang diumpatinya itu bersama dia dalam mengumpat.



743

Maka haramlah hisbah ini, karena menjadi sebab bertambahnya kema'shiatan.

Jikalau diketahuinya bahwa orang itu akan meninggalkan peng- umpatan itu dan menyingkatkan kepada mengumpatnya saja, maka tiada wajib juga hisbah. Karena umpatannya itu ma'shiat juga terhadap'orang yang diumpatinya. Tetapi disunatkan yang demikian kepadanya. Supaya ia menebus kehormatan orang terse­but dengan kehormatan dirinya di atas jalan mengutamakan ke pentingan orang lain.



Sesungguhnya umumnya ayat-ayat dan hadits-hadits, menunjukkan kuat wajibnya hisbah dan besarlah bahaya berdiam diri daripada­nya. Maka tiadalah menandinginya, selain oleh apa yang besar bahayanya pada Agama. Harta, nyawa dan harga-diri telah jelas pada Agama bahayanya.

Adapun kelebihan kemegahan, kemarahan, derajat berbuat-buat kecantikan dan mencari pujian makhluq, maka semuanya itu tiada berbahaya.



Meninggalkan ihtisab karena takut kepada sesuatu dari hal-hal yang tiada diingini, yang akan menimpa anaknya dan familinya, maka itu adalah termasuk haknya pada orang yang di bawahnya. Karena merasa sakit disebabkan oleh urusannya sendiri adalah lebih berat daripada dirasa sakit oleh urusan orang lain. Dan dari segi Agama, yaitu yang di atasnya. Karena ia dapat mema'afkan mengenai hak- haknya sendiri. Dan tidak dapat mema'afkan mengenai hak orang lain.



Jadi, seyogialah ia tidak melakukan ihtisab. Maka sesungguhnya, jikalau ada yang hilang dari hak-hak mereka (anak dan famili) itu, hilang atas jalan ma'shiat, seperti:- pukulan dan rampokan, maka tiadalah baginya hisbah ini. Karena dia menolak munkar, yang membawa kepada munkar.



Jikalau yang hilang itu tidak dengan jalan ma'shiat, maka itu juga menyakiti orang Islam. Dan tiada boleh baginya yang demikian, kecuali dengan persetujuan mereka (anak dan famili) itu. Maka apabila ada yang demikian itu, membawa kepada menyakitkan kaumnya, maka hendaklah ditinggalkan ihtisab itu. Yang demikian itu seperti orang dzahid yang mempunyai famili orang-orang kaya. Maka dia tidak takut kepada hartanya, jikalau ia melakukan ihtisab kepada sultan (penguasa). Tetapi sultan itu akan menuju familinya, karena menuntut balas dari orang dzahid tadi dengan perantaraan familinya.



744

Apabila kesakitan itumenjalar dari sebab hisbahnya, kepada famili dan tetangganya, maka hendaklah ia meninggalkan hisbah itu. Maka sesungguhnya menyakiti kaum musiimin itu harus dijaga. Sebagaimana diam atas munkar itu, harus dijaga. Ya, jikalau tiada menimpa mereka oleh kesakitan itu pada harta atau jiwa, tetapi akan menimpa mereka oleh kesakitan dengan cacian dan makian, maka mengenai ini ada penelitian. Dan berlaip- an urusannya menurut derajat kemunkaran tentang kekejiannya dan tingkat perkataan yang dijaga mengenai tusukannya pada hati dan memalukan pada kehormatan.



Jikalau ada yang bertanya : "Kalau orang mau memotong anggota tubuhnya sendiri dan ia tiada akan mencegah dirinya dari maksud­nya itu, kecuali dengan pertempuran, yang kadang-kadang akan membawa kepada terbunuhnya, maka apakah ia akan diperangi? Jikalau anda mengatakan : akan diperangi, maka itu mustahil (tidak masuk akal). Karena itu adalah membinasakan jiwa karena takut dari kebinasaan anggota tubuh. Dan pada membinasakan jiwa itu, membinasakan anggota tubuh pula".

                                                                                        ,

Kami menjawab : dilarang dari memotong anggota tubuhnya itu dan ia diperangi. Karena bukanlah maksud kita menjaga nyawanya dan anggota tubuhnya. Akan tetapi yang menjadi maksud, ialah : menutup jalan munkar dan ma'shiat. Dan membunuhnya pada hisbah itu tidak ma'shiat. Memotong anggota tubuhnya sendiri itu ma'shiat.



Yang demikian itu seperti menolak orang yang memaksa harta orang Islam,, dengan apa yang mendatangkan kepada terbunuhnya. Yang demikian itu dibolehkan. Bukan berarti kita menebus sedir- ham harta orang Islam, dengan nyawa orang Islam. Yang demikian itu mustahil (tidak masuk akal). Tetapi maksudnya, untuk meng­ambil harta orang Islam itu, ma'shiat. Dan terbunuhnya pada menolak perbuatan ma'shiat itu tidak ma'shiat. Dan yang dimaksud ialah menolak perbuatan-perbuatan ma'shiat. Kalau ada yang berkata : "Jikalau kita ketahui, bahwa orang itu jikalau duduk sendirian untuk memotong anggota tubuhnya sendiri, maka seyogialah kita menyerangnya sekarang juga, untuk menutup pintu kema'shiatan".



Kami menjawab : Yang demikian itu tidaklah diketahui dengan yaqin. Dan tidak boleh menumpahkan darahnya dengan persangkaan ma'shiat. Tetapi apabila kita melihatnya dalam keadaan se­dang memotong anggota tubuhnya, niscaya kita halangi perbuatan tersebut. Kalau ia menyerang kita, niscaya kita serang dia. Dantidak kita hiraukan dengan apa yang akan terjadi atas jiwanya.

745

Jadi, perbuatan ma'shiat itu mempunyai tiga hal.

Hal Pertama : bahwa ma'shiat itu sudah berlalu. Maka siksaan atas ma'shiat yang berlalu itu, ialah hukuman atau didera (ta'zir). Danitu terserah kepada wali (penguasa), tidak kepada seseorang peri-

badi.



Hal Kedua : bahwa ma'shiat itu sedang berlangsung dan pelakunya sedang melakukannya. Seperti : dipakainya kain sutera, dipegang- nya gitar dan khamar. Maka menghilangkan ma'shiat ini wajib, dengan segala jalan yang mungkin ditempuh. Selama tidak memba­wa kepada kema'shiatan yang lebih buruk lagi atau yang sama. Dan ini berlaku bagi masing-masing orang peribadi dan rakyat. Hal Ketiga : bahwa perbuatan munkar itu mungkin akan terjadi. Seperti orang yang menyiapkan menyapu tempat dan menghiasinya. Dan mengumpulkan bunga-bungaan untuk minum khamar. Dan khamar itu, belum didatangkan sesudahnya. Maka ini diragukan. Karena kadang-kadang datang sesuatu hai yang dapat mencegah. Maka tiada hak bagi seseorang peribadi menggunakan kekerasan terhadap orang yang bercita-cita meminum khamar. Kecuali dengan jalafi pengajaran dan nasehat.

Adapun dengan kekerasan dan pukulan, maka tiada boleh bagi seseorang peribadi dan bagi sultan (penguasa). Kecuali, apabila ma'shiat itu diketahui dengan kebiasaan yang berkali-kali. Dan ia telah tampil kepada sebab, yang membawa kepada kema'shiatan itu. Dan tiada tinggal untuk terjadinya maksud itu, kecuali apa yang tidak ada padanya, selain penungguan waktu saja. Yang demikian itu, adalah seperti berhentinya anak-anak muda pada pintu kamar mandi kaum wanita, untuk melihatnya ketika m^suk dan keluar. Maka anak-anak muda itu, walaupun mereka tidak meriyempitkan jalan karena jalan itu luas, maka bolehlah dilakukan hisbah kepada mereka, dengan menyuruh mereka ber­diri dan melarang berhenti di tempat tersebut, dengan kekerasan dan pukulan.



746

Dan adalah pentahkikan ini, apabila dibahas secara mendalam, niscaya kembalf kepada berhenti di pintu itu sendiri adalah perbu­atan ma'shiat. Walaupun maksud dari si pelaku kema'shiatan itu di belakangnya. Sebagaimana duduk berdua-duaan (khilwah) de­ngan wanita ajnabiah (wanita yang bukan mahram) itu sendiri, adalah perbuatan ma'shiat. Karena menjadi dugaan terjadinya kema'shiatan. Dan mendatangkan sesuatu yang menimbulkan sang- kaan ma'shiat itu ma'shiat.



Kami maksudkan dengan sangkaan, ialah : sesuatu yang diperbuat orang biasanya untuk terjadinya sesuatu perbuatan ma'shiat, di mana tiada sanggup dicegah daripadanya.

Jadi, menurut pentahkikan, hisbah itu adalah atas ma'shiat yang sedang berlangsung, tidak atas ma'shiat yang akan terjadi.



rukun kedua : Hisbah mempunyai sesuatu yang padanya hisbah.

Yaitu : Tiap-tiap munkar yang ada sekarang, yang terang bagi si Muhtasib, tanpa diintip, diketahui adanya kemunkaran itu tanpa ijtihad.



Maka ini empat syarat! Marilah kiua membahasnya!. Syarat Pertama : adanya kemunkaran itu. Kami maksudkan : bah­wa ditakuti terjadinya pada Agama. Kami tukar dari perkataan ma'shiat kepada ini (perkataan munkar). Karena munkar, lebih umum dari ma'shiat. Karena barangsiapa melihat anak'kecil atau orang giia meminum khamar, maka haruslah ia menuangkan kha- marnya dan melarang meminumnya.



Demikian juga, jikalau dilihatnya orang gila laki-laki berzina dengan orang gila perempuan atau dengan binatang betina, maka haruslah melarangnya dari yang demikian. Dan tidaklah pelarangan itu karena kejinya bentuk perbuatan dan terjadinya di hadapan manu­sia. Bahkan jikalau dijumpainya kemunkaran ini pada tempat sunyi, niscaya wajiblah melarangnya.



Perbuatan tersebut tidak dinamakan ma'shiat pada orang gila. Karena ma'shiat yang tidak ada orang ma'shiat dengan ma'shiat itu, mustahil. Maka perkataan "munkar" adalah lebih menunjukkan dan lebih umum dari perkataan "ma'shiat" kepadanya. Dan telah kami masukkan pada keumuman ini, akan dosa kecil dan dosa besar. Maka tidaklah ditentukan hisbah itu dengan dosa-dosa besar saja. Bahkan membuka aurat dalam kamar mandi, duduk pada tem­pat suriyi dengan wanita ajnabiah dan mengikuti memandang wanita ajnabiah, semuanya itu termasuk dosa kecil dan wajib dilarang daripadanya.



Mengenai perbedaan antara dosa kecil dan dosa besar, ada peneli- tian, yang akan datang penjelasannya pada "Kitab Taubat".



Syarat Kedua : bahwa munkar itu ada pada waktu sekarang. Yaitu menjaga juga dari hisbah atas orang yang telah selesai meminum

747

khamar. Maka yang demikian, tiadalah atas seseorang peribadi dan munkar -itu telah berlalu. Dan menjaga juga dari apa yang akan terjadi pada keadaan yang berikutnya. Seperti orang yang diketa­hui dengan tanda-tanda keadaannya, bahwa orang itu bercita-cita akan meminum khamar pada malamnya. Maka tiadalah hisbah terhadap orang itu, selain dengan pengajaran. Dan jikalau ia mun- kir bercita-cita meminumnya, maka tiada boleh pula memberi pengajaran itu. Maka sesungguhnya pada yang demikian itu, jahat sangka kepada orang Islam. Kadang-kadang benar perkataannya itu. Dan kadang-kadang ia tidak akan melangsungkan terhadap apa yang dicita-citakannya tadi, karena ada penghaiang. Dan hendaklah diperhatikan akan titik halus yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu : bahwa duduk pada tempat sunyi dengan wanita ajnabiah, adalah ma'shiat yang sedang berlaku. Dan demikian juga berhenti pada pintu kamar mandi kaum wanita. Dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.



Syarat Ketiga.: bahwa perbuatan munkar itu jelas bagi si muhtasib, tanpa diintip. Maka tiap-tiap orang yang menutup perbuatan ma'­shiat di rumahnya dan menguncikan pintunya, niscaya tiada boleh dilakukan pengintipan. Allah Ta'ala melarang daripadanya. Kissah 'Umar dan Abdur Rahman bin 'Auf tentang itu sudah dikenal. Dan telah kami sebutkan dahulu pada "Kitab Adab Berteman". Dan seperti itu pula, apa yang diriwayatkan bahwa 'Umar ra. me- manjat dinding tembok seorang laki-laki. Lalu beliau melihat laki- laki itu dalam keadaan yang tiada diingini. Lalu beliau menantang­nya.

Maka laki-laki itu menjawab : "Wahai Amirul-mu'minin! Jikalau kiranya aku telah melakukan perbuatan ma'shiat kepada Allah dari satu segi, maka engkau telah melakukannya dari tiga segi". 'Umar ra. bertanya : "Manakah yang tiga segi itu?". Laki-laki itu menjawab : Allah Ta'ala berfirman :

وَلا تَجَسَّسُوا

(Wa laa tajas-sasuu) =

Artinya : "Dan janganlah mencari-cari keburukan orang". (S, Al- Hujurat, ayat 12). Dan engkau mencari-cari keburukan itu. Allah Ta'ala berfirman :

وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا

(Wa'-tul-buyuuta min abwaabihaa)

Artinya : "Dan masukilah rumah itu dari pintunya". (S. Al-Baqarah, ayat 189).



748

Dan engkau telah memanjat dinding tembok dan masuk dari atap. Allah Ta'ala berfirman :

لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا

(Laa tadkhuluu buyuutan ghaira buyuutikum hattaa tasta'-nisuu wa tusallimuu 'alaa ahlihaa).

Artinya : "Janganlah kamu masuk ke dalam rumah yang bukan rumah kamu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada orang yang didalamnya!". (S. An-Nur, ayat 27).

Dan engkau tiada memberi salam.

Lalu 'Umar ra. meninggalkan laki-laki itu. Dan mensyaratkan ke­padanya bertaubat.

Karena itulah, 'Umar ra. bermusyawarah dengan para shahabat ra. dan beliau atas mimbar. Beliau bertanya kepada mereka dari hal imam (penguasa), apabila melihat sendiri perbuatan munkar, apakah boleh ia menjatuhkan hukuman pada perbuatan munkar tersebut? 'Ali ra. menjawab, bahwa yang demikian, bergantung kepada dua orang saksi yang adil. Tidak memadai seorang saksi. Kami telah sebutkan segala perkhabaran ini pada penjelasan "Hak Muslim" dari "Kitab Adab Berteman" dahulu. Tidak kami ulangi lagi. Kalau anda bertanya : "Manakah batas terang dan tertutup?".



Maka ketahuilah, bahwa orang yang menguncikan pintu rumahnya dan menutupkan dirinya dengaii dinding-dinding temboknya, maka tiada boleh memasukinya, tanpa izin, untuk mengetahui ma'shiat. Kecuali, jelas dalam rumah itu yang dapat diketahui oleh orang yang berada di luar rumah. Seperti bunyi seruling dan rebab, apa­bila telah meninggi bunyinya, di mana telah melewati dinding tembok rumah. Maka barangsiapa mendengar yang demikian, maka boleh memasuki rumah itu dan menghancurkan alat-alat permainannya.



Demikian pula, apabila telah meninggi suara orang-orang mabuk dengan kata-kata yang biasa diantara mereka, di mana didengar oleh orang-orang dijalanan.



Maka ini melahirkan yang mewajibkan hisbah. Jadi, sesungguhnya diketahui bunyi atau bau dari celah-celah tembok itu. Apabila bau khamar itu telah berhamburan, maka jikalau yang demikian itu mungkin dari khamar yang dihormati u), maka tiada boleh ber- maksud menuangkannya.



(1) Khamar yang dihormati: ialah, umpamanya : disediakan untuk obat (Pent.).
749

Jikalau diketahui dengan petunjuk keadaan, bahwa bau itu ber- hamburan karena mereka meminumnya, maka ini suatu kemung- kinan. Yang jelas, boleh hisbah. Kadang-kadang botol khamar itu ditutup dalam lengan baju dan di- bawah ujung baju. Begitu pula alat-alat permainan.

Apabila terlihat seorang fasiq dan di bawah ujung bajunya sesuatu niscaya tiada boleh dibuka, selama belum menampak dengan tanda tertentu. Maka sesungguhnya kefasiqannya itu, tidaklah menunjuk­kan bahwa barang yang ada padanya itu khamar. Karena orang fasiq itu berhajat juga kepada cuka dan lainnya. Maka tiada boleh diambil bukti dengan penyembunyiannya itu dan bahwa jikalau halal, tentu tidak disembunyikannya, Karena maksud-maksud pada penyembunyiannya itu banyak.

Jikalau baunya sudah berhamburan, maka dalam hai ini menjadi tempat penelitian. Yang jelas, boleh bagi muhtasib itu ihtisab. Karena ini adalah suatu alamat yang memberi faedah berat sang- kaan (dhan). Dan dhan itu seperti ilmu (taku) pada hal-hal yang seperti ini.



Begitu pula gitar. Kadang-kadang dikenal dengan bentuknya, apa­bila kain penutupnya itu tipis. Maka penunjukan bentuk itu, seperti penunjukan bau dan bunyi. Dan apa yang terang oleh penunjukan itu, maka itu tiada tertutup. Bahkan itu terbuka. Dan kita telah disuruh bahwa menutup apa yang ditutup oleh Allah. Dan menantang terhadap orang yang menampakkan kepada kita wajahnya.



Penampakan itu mempunyai tingkat-tingkat. Sekali menampak­kan kepada kita dengan pancaindra pendengaran. Sekali dengan pancaindra penciuman. Sekali dengan pancaindra penglihatan. Dan sekali dengan pencaindra penyentuhan. Dan tidak mungkin kita menentukan yang demikian, dengan pancaindra penglihatan. Tetapi yang dimaksudkan, ialah tahu.



Semua pancaindra ini juga memberi faedah tahu. Jadi, sesungguh­nya bolehlah dipecahkan apa yang di bawah kain, apabila diketahui bahwa yang di bawah kain itu khamar. Dan tiada boleh baginya mengatakan: "Perlihatkanlah kepadaku, supaya aku tahu apa yang di dalamnya!". Maka sesungguhnya itu, adalah mengintip-ngintip (tajassus). Dan arti : tajassus, ialah : mencari tanda-tanda penge­nalan. Maka tanda pengenalan itu, jikalau berhasil dan membuah- kan pengenalan, niscaya boleh dilaksanakan menurut yang dikehendaki oleh tanda-tanda itu. Mencari tanda pengenalan itu, tidak­lah sekali-kali diberi izin.



750

Syarat Ke-empat: bahwa munkar itu diketahui tanpa ijtihad. Maka tiap-tiap yang berada pada tempat ijtihad, niscaya tiada hisbah padanya. Maka tiada boleh bagi orang yang bermadzhab Hanafi, memandang munkar terhadap orang yang bermadzhab Syafi-'i, yang memakan dlabb u> dan dlabu* (2) dan makan yang diting- galkan membaca "Bismillaah" dengan sengaja. Dan tidak boleh bagi orang yang bermadzhab Syafi-'i, memandang munkar terhadap orang yang bermadzhab Hanafi, yang meminum air nabidz, (air buah anggur kering), yang tidak memabukkan dan menerima pusa­ka dzawil-arham (3) dan duduk pada rumah yang diambilnya de-' ngan syufah ketetanggaan <4). Dan lain-lain yang berlaku padanya ijtihad para ulama mujtahid.



Ya, kalau orang bermadzhab Syafi-'i melihat orang lain yang ber­madzhab Syafi-'i juga rneminum nabidz dan kawin tanpa wali dan bersetubuh dengan isterinya itu, maka dalam hal ini ada penelitian. Yang lebih kuat (al-adh-har), bahwa baginya hisbah dan menantang. Karena tiada seorangpun dari orang-orang yang memperoleh pe­ngetahuan tinggi, beraliran, bahwa boleh bagi seorang ulama muj­tahid, berbuat dengan yang diwajibkan oleh ijtihad lainnya. Dan tidak pula, bahwa orang yang dibawa oleh ijtihadnya, pada ber- taqlid kepada seseorang yang dipandangnya ulama yang utama, bahwa baginya mengambil madzhab lainnya. Lalu memilih dari madzhab-madzhab itu yang terbaik padanya. Tetapi haruslah atas tiap-tiap muqallid (pengikut) mengikuti muqalladnya (yang diikuti) pada semua penguraian.



Jadi, menyalahinya akan muqallad itu, disepakati sebagai suatu perbuatan munkar diantara para ahli ilmu. Dan muqallid itu ber­buat ma'shiat dengan menyalahinya. Kecuali,\ haruslah dari ini, urusan yang lebih sulit lagi. Yaitu : bahwa boleh bagi orang yang bermadzhab Hanafi, memajukan pertanyaan kepada orang yang bermadzhab Syafi-'i, apabila ia kawin tanpa wali, dengan menga­takan kepadanya : "Perbuatan itu sendiri benar. Tetapi tidiak ter­hadap dirimu. Kamu membatalkan perkawinan itu dengan pelak- sanaannya yang demikian, sedang kamu berkeyaqinan, bahwa yang

(1)      Dlabb : binatang darat yang bentuknya mengarah-arahi biawak.
(2)     Dlabu' : bentuknya mengarah-arahi babi hutan, tetapi bertanduk dan ekornya berbulu. Lehernya dan punggungnya berbulu panjang.                                                                 -
(3)     Dzawil-arham, ialah : keluarga pihak ibu, yang menurut madzhab Syafi-'i bukan ahli waris. Sedang menurut madzhab Hanafi, ahli waris.
(4)     Syuf'ah ketetanggaan, ialah : hak yang diambil dengan paksa oleh tetangga, dari tetangganya yang menjual rumahnya kepada orang lain, dengan menggantikan harga.
751

betul ialah madzhab Syafi-'i. Penyalahan apa yang betul pada kamu adalah perbuatan ma'shiat pada pihakmu. Walaupun ma'shiat itu betul pada sisi Allah".



Demikian pula orang yang bermadzhab Syafi-'i berihtisab terhadap orang yang bermadzhab Hanafi, apabila orang Hanafi itu berkongsi dengan dia memakan dlabb dan meninggalkan membaca "Bis- millaah" waktu makan,dengan sengaja dan lain-lain. Dan mengata­kan kepada orang Hanafi itu : "Adakalanya engkau berkeyaqinan bahwa madzhab Syafi-'i lebih utama diikuti. Kemudian engkau tampil melaksanakannya. Atau tidak engkau berkeyaqinan yang demikian. Maka tidaklah engkau tampil melaksanakannya. Karena berselisih dengan keyaqinanmu".



Kemudian,menarik ini kepada hai yang lain dari hal-hal yang dapat dirasakan dengan pancaindra. Yaitu, umpamanya : ora^g pekak bersetubuh dengan seorang wanita dengan maksud berzina. Dan diketahui oleh muhtasib bahwa wanita itu isteri orang pekak itu. Dikawinkan oleh bapaknya dengan dia pada waktu kecil. Tetapi tidak diketahuinya. Dan payah memberitahukannya yang demikian, karena pekaknya atau karena ia tiada mengetahui bahasanya. Maka orang pekak itu pada perbuatannya serta keyaqinannya bahwa wanita itu ajnabiah, adalah berbuat ma'shiat. Dan mendapat siksa­an pada negeri akhirat. Maka seyogialah, wanita itu, dilarang dari orang pekak itu, walaupun wanita itu isterinya. Dan itu adalah jauh, dari segi bahwa itu halal pada ilmu Allah Ta'ala. Dan dekat dari segi haram atasnya, dengan hukum kesalahan dan kebodohan­nya.



Dan tidak syah, bahwa jikalau berta'liq (menyangkutkan) pence- raian (pentalakan) isterinya kepada suatu keadaan yang diketahui oleh hati si muhtasib, umpamanya : dari kehendak atau kemarahan atau lainnya. Dan keadaan itu telah ada pada hati muhtasib. Dan ia tidak sanggup memberitahukan yang demikian kepada suami-isteri itu. Tetapi telah diketahuinya jatuh talak itu pada bathin. Maka apabila si muhtasib melihat orang itu bersetubuh dengan perempuan itu, maka haruslah melarang.- Ya'ni : dengan lisan, karena itu zina. Hanya penzina itu tiada mengetahuinya. Dan si muhtasib itu tahu bahwa wanita itu telah diceraikan tiga talak. Keduanya tidak ma'shiat. Karena kebodohannya akan adanya kea­daan yang tidak mengeluarkan perbuatan itu dari munkar. Dan tiada keluar yang demikian itu dari zina orang gila. Dan telah kami terangkan, bahwa orang gila itu dilarang dari zina yang dilakukannya.

752

Apabila. dilarang dari sesuatu yang munkar pada sisi Allah, walau­pun tidak munkar pada si pembuatnya dan ia tidak ma'shiat dengan munkar itu, karena halangan kebodohan, maka haruslah dari keba- likan ini, bahwa dikatakan : apa yang tidak munkar di sisi Allah dan sesungguhnya itu munkar pada si pembuatnya karena kebodoh- amiya, niscaya tidak dilarang.



Ini adalah lebih kuat (al-adh-har). Dan pengetahuan itu adalah pada sisi Allah Ta'ala.

Maka dari ini berhasillah, bahwa : orang Hanafi tidak akan meng- ajukan pertanyaan kepada orang



Syafi-'i tentang perkawinan tanpa wali. Dan orang Syafi-'i akan mengajukan pertanyaan kepada orang Syafi-'i tentang itu. Karena yang ditanyakan itu, perbuatan munkar dengan kesepakatan si muhtasib dan orang yang di-ihtisab-kan (muhtasab 'alaih).



Inilah masalah-masalah fiqh yang halus dan kemungkinan-ke- mungkinan yang bertentangan padanya. Dan kami mengeluarkan fatwa padanya menurut yang kuat pada kami sekarang. Dan tidak­lah kami memutuskan, salahnya penguatan orang yang menyalahi­nya, kalau ia berpendapat, bahwa tidak berlaku ihtisab, selain pada yang diketahui dengan-yaqin. Dan telah berjalan kepadanya para ulama yang beraliran demikian. Dan mereka itu berkata, bahwa tiada hisbah, selain pada seumpama khamar, babi dan apa yang diyaqini haramnya.



Tetapi yang lebih meragukan (al-asybah) pada kita (golongan Sya­fi-'i), ialah : bahwa ijtihad itu memberi bekas pada pihak mujtahid. Karena jauh sekalilah bahwa ia berijtihad tentang qiblat dan ia mengaku dengan terangnya qiblat padanya ke sesuatu arah, dengan dalil-dalil berat sangkaan. Kemudian ia membelakanginya. Dan ia tidak dilarang dari yang demikian, karena berat sangkaan orang lain. Karena membelakang itulah yang betul. Dan pendapat orang yang berpendapat, bahwa boleh bagi tiap-tiap muqallid (pengikut madzhab) memilih madzhab mana yang dikehendakinya itu, tidak­lah masuk hitungan. Mudah-mudahan tidaklah syah sekali-kali perjalanan orang yang berjalan kepadanya.



Maka ini adalah madzhab yang tidak tetap. Dan jikalau tetap, maka tidaklah masuk hitungan.

Jikalau anda berkata, bahwa apabila tidak diajukan pertanyaan ke-' pada orang Hanafi tentang nikah tanpa wali, karena ia berpendapat bahwa itu benar, maka seyogialah tidak diajukan pertanyaan kepa­da orang mu'tazilah (al-mu'tazili) tentang perkataannya : bahwa

753

Allah Ta'ala tidak akan dilihat. Dan perkataannya : bahwa keba- jikan daripada Allah dan kejahatan bukan daripada Allah. Dan perkataannya : Kalam Allah itu makhluq. Dan tidak kepada orang yang banyak perkataannya jelek (al-hasyawi), tentang perkataan nya : bahwa Allah Ta'ala suatu tubuh, mempunyai bentuk dan Ia tetap di atas 'Arasy. Bahkan, tiada seyogia diajukan pertanyaan kepada orang falsafah (al-falsafi), tentang perkataannya : bahwa tubuh manusia tidak akan dibangkitkan (dihidupkan kembali) dan yang dibangkitkan ialah nyawa. Karena mereka itu juga dibawa ojeh ijtihadnya kepada apa yang dikatakannya itu. Dan mereka itu me- nyangka bahwa yang demikian itu benar.



Kalau anda berkata, bahwa batilnya madzhab mereka itu jelas, maka batilnya madzhab orang yang menyalahi nash hadits shahih juga jelas. Dan sebagaimana telah tetap dengan nash-nash yang nyata, bahwa Allah Ta'ala akan dilihat (di akhirat) dan orang mu'tazilah mengingkarinya dengan penta'wilan, maka seperti itu pula telah tetap dengan nash-nash yang nyata, mas-alah-mas-alah yang menyalahi padanya orang Hanafi. Seperti mas-alah perkawinan tanpa wali dan mas-alah syufah ketetanggaan dan yang seum- pama dengan keduanya.



Maka ketahuilah, bahwa mas-alah-mas-alah itu terbagi kepada : apa yang tergambar untuk dikatakan padanya : semua mujtahid itu betul. Yaitu : hukum-hukum perbuatan tentang halal dan ha- ramnya. Yang demikian ialah, yang tiada diajukan padanya perta­nyaan kepada para ulama mujtahid. Karena tiada diketahui dengan pasti kesalahan mereka, tetapi hanya secara berat dugaan (dhann). Dan kepada : apa yang tidak tergambar, bahwa adalah yang betul padanya, selain satu. Seperti: mas-alah melihat Allah, qadar, qadim Kalam Allah, tidak berbentuk, tidak bertubuh dan tidak bertempat Allah Ta'ala. Maka ini termasuk apa yang diketahui dengan pasti, kesalahan orang yang bersalah padanya. Dan tiada tinggal cara, bagi kesalahannya yang merupakan kebodohan semata-mata. Jadi, semua bid'ah itu seyogialah ditutup pintu-pintunya dan di­tantang terhadap pembid'ah-pembid-ah itu segala bid'ahnya. Wa­laupun mereka itu berkeyaqinan bahwa bid'ah-bid'ahnya itu benar. Sebagaimana ditolak dikembalikan kepada Yahudi dan Nasrani kekufurannya, walaupun mereka itu berkeyaqinan bahwa yang demikian itu benar. Karena kesalahan mereka diketahui dengan pasti. Lain halnya kesalahan pada tempat-tempat sangkaan bagi ijtihad.



754

Jikalau engkau berkata : "Manakala anda mengajukan pertanyaan kepada orang Qadariah mengenai perkataannya : "Kejahatan itu tidak dari Allah'1, niscaya orang Qadariah itu, akan mengajukan pula pertanyaan kepada anda mengenai perkataan anda : "Kejahat­an itu dari Allah'V Dan begitu pula mengenai perkataan anda :"Bah- wasanya Allah Ta'ala akan dilihat", dan pada mas-alah-mas-alah. lain. Karena pembid'ah itu merasa benar pada dirinya sendiri. Dan orang yang benar dianggap pembid'ah oleh pihak pembid'ah. Masing-masing menda'wakan dia yang benar. Dan menantang bah­wa dia pembid'ah. Maka bagaimanakah ihtisab itu akan sempur­na?".



Ketahuilah, bahwa kami karena pertantangan ini, mengatakan : "Dilihat ke negeri yang telah lahir bid'ah padanya. Jikalau bid'ah itu asing pada rakyat banyak dan manusia semuanya di atas sun- nah, maka dilakukan hisbah, tanpa keizinan sultan (penguasa). Dan jikalau terbagi penduduk kepada ahlil-bid'ah dan ahlis-sunnah dan pada pengajuan pertanyaan itu, menggerakkan fitnah dengan bunuh-membunuh, maka tiadalah hisbah bagi orang seorang me­ngenai madzhab-madzhab, selain dengan ketetapan sultan". Apabila penguasa melihat suatu pendapat yang benar dan ia mem­beri pertolongan dan memberi izin kepada seseorang untuk mela­rang pembid'ah daripada melahirkan bid'ah itu, niscaya adalah yang demikian, bagi orang tersebut. Dan tidak boleh bagi orang lain. Sesungguhnya apa yang ada dengan keizinan sultan, niscaya tiada akan berhadap-hadapan kepada orang lain. Dan apa yang ada dari pihak orang-orang seorang, maka hal itu dapat berhadap-hadapan dengan orang lain.



Kesimpulannya, hisbah itu pada bid'ah, lebih penting daripada his­bah pada tiap-tiap perbuatan munkar. Tetapi seyogialah dijaga padanya, uraian yang telah kami sebutkan itu. Supaya tidak ber- tentangan keadaan dan tidak membawa kepada penggerakan fitnah. Bahkan, kalau sultan mengizinkan secara mutlak, untuk melarang tiap-tiap orang yang dengan tegas mengatakan : bahwa Al-Qur-an itu makhluq atau : Allah tiada akan dilihat atau : Allah tetap di atas *Arasy yang berserituhan dengan *Aasy atau bid'ah- bid'ah yang lain, niscaya berkuasalah masing-masing orang mela­rangnya. Dan tidaklah bertentangan urusan padanya. Yang berten- tangan ialah ketika tiada keizinan sultan saja.



755

rukun ketiga : Muhtasab 'alaih.

Syaratnya : bahwa muhtasab 'alaih dengan sifat, yang menjadikan perbuatan yang dilarang daripadanya, terhadap dirinya itu, adalah pembuat munkar. Sedikitnya yang memadai untuk demikian, ialah : bahwa muhtasab 'alaih itu manusia. Dan tidak disyaratkan mukallaf. Karena telah kami terangkan, bahwa anak kecil jikalau meminum khamar, niscaya dilarang dan dilakukan ihtisab kepada­nya. Meskipun ia belum baligh (belum dewasa). Dan tidak disya­ratkan mumayyiz (sudah dapat memperbedakan antara yang ber­manfa'at dan tidaknya). Karena telah kami terangkan, bahwa orang gila jikalau berzina dengan wanita gila atau mendatangi hewan betina, niscaya wajiblah dilarang daripadanya. Benar, sebahagian perbuatan itu tidaklah munkar pada orang gila. Seperti : meninggalkan shalat, puasa dan lainnya. Akan tetapi kita tidak menoleh kepada perbedaan penguraian. Sesungguhnya yang demikian juga, termasuk apa yang berbeda padanya orang muqim dan orang musafir, orang sakit dan orang sehat. Dan maksud kita ialah : penunjukan kepada sifat yang dihadapkan kepadanya pokok penantangan. Tidak apa yang disediakan untuk penguraian-peng- uraian.



Jikalau engkau berkata: "Cukuplah dikatakan saja muhtasab alaih itu hewan. Dan tidak disyaratkan adanya muhtasab 'alaih itu manu­sia. Karena hewan, jikalau merusakkan tumbuh-tumbuhan orang, niscaya kita larang, sebagaimana kita larang orang gila dari berzina dan mendatangi hewan betina (berzina dengan hewan betina)". Ketahuilah, bahwa menamakan yang demikian itu hisbah, tak ada caranya. Karena hisbah ialah : ibarat dari larangan perbuatan mun­kar karena hak Allah, menjaga orang yang dilarang daripada me­ngerjakan yang munkar. Melarang orarig gila dari zina dan menda­tangi hewan betina, adalah karena hak Allah. Demikian juga mela­rang anak kecil dari meminum khamar. Dan manusia apabila merusakkan tanaman orang lain, niscaya dilarang karena dua hak : Pertama : hak Allah Ta'ala, karena perbuatan itu ma'shiat. Kedua : hak orang yang dirusakkan.

Keduanya itu dua sebab, yang berpisah satu dari lainnya. Kalau ia memotong anggota tubuh orang lain dengan keizinannya, maka telah terdapat perbuatan ma'shiat. Dan gugur hak orang yang dia- niayakan, disebabkan keizinannya. Maka tetaplah hisbah dan la­rangan itu, dengan salah satu dua sebab tadi.



756

Hewan, apabila merusakkan kepunyaan orang, maka tiadalah ke- ma'shiatan padanya. Akan tetapi, tetaplah dilarang, disebabkan salah satu dua sebab tadi. Tetapi pada persoalan ini mengandung hal yang halus. Yaitu : bahwa kita tidak maksudkan dengan me- ngeiuarkan hewan itu, akan melarang hewan, Tetapi kita maksud­kan menjaga harta orang Islam. Karena hewan kalau memakan bangkai atau meminum pada bejana, yang di dalamnya khamar atau air yang bercampur dengan khamar, niscaya tidak kita larang. Bahkan boleh memberi makan anjing buruan dengan bangkai busuk yang baru mati. Tetapi harta orang Islam, apabila didatangi kele- nyapan dan kita sanggup memeliharanya tanpa pay ah, niscaya wajiblah yang demikian atas kita, karena menjaga harta. Bahkan, jikalau jatuh kendi kepunyaan seseorang dari atas dan di bawahnya ada botol kepunyaan orang lain, maka haruslah ditolak kendi untuk memelihara botol. Bukan untuk mencegah kendi dari jatuh. Kita tidak maksudkan mencegah kendi dan menjaganya daripada me- mecahkan botol. Kita melarang orang gila dari zina dan mendatangi hewan betina dan meminum khamar, demikian juga anak kecil, bukan untuk memelihara hewan yang didatangi atau khamar yang diminum. Akan tetapi pemeliharaan untuk orang gila itu daripada meminum khamar dan pembersihan baginya, dari segi dia itu manu­sia yang dihormati.

Inilah titik-titik halus yang tidak dapat dipahami, selain oleh orang- orang yang dalam penyelidikannya (al-muhaqqiqun). Maka tiada seyogialah dilupakan daripadanya. Kemudian tentang apa yang wajib dibersihkan anak kecil dan orang gila, daripadanya itu ada penelitian. Karena kadang-kadang terdapat keragu-raguan tentang pelarangan anak kecil dan orang gila, dari memakai sutera dan yang lain dari itu. Dan akan kami bentangkan untuk yang kami isyarat- kan itu pada : Bab Ketiga.

Jikalau anda bertanya : "Tiap-tiap orang yang melihat hewan- hewan yang terlepas pada tanaman orang, adakah wajib ia menge- luarkannya? Dan tiap-tiap orang yang melihat harta seorang mus- lim yang hampir hilang, adakah wajib ia menjaganya. Jikalau anda mengatakan bahwa yang demikian itu : wajib, maka ini adalah pemberatan sekali, yang membawa kepada jadinya manusia itu dipaksakan untuk orang lain sepanjang umurnya. Dan jikalaju anda mengatakan : tiada wajib, maka mengapakah wajib ihtisab kepada orang yang merampas harta orang lain dan tiada sebabnya, selain memelihara harta orang lain?".

757

Kami menjawab : ini adalah pembahasan yang halus, lagi sulit. Dan jawaban yang singkat mengenai ini, kami mengatakan : manakala sanggup memelihairanya dari kehilangan, tanpa memperoleh kepa- yahan padatubuhnya atau kerugian pada hartanyaatau kekurangan pada kemegahannya, niscaya wajiblah atasnya yang demikian itu. Kadar yang demikian itu wajib mengenai hak-hak orang muslim. Bahkan itu adalah derajat hak-hak yang paling kurang. Dalil-dalil yang mewajibkan untuk . hak-hak kaum muslimin itu banyak. Dan ini derajat yang sekurang-kurangnya. Dan itu adalah lebih utama mewajibkannya, daripada menjawab salam. Sesungguh­nya, menyakitkan tentang ini adalah lebih banyak-daripada menya­kitkan tentang meninggalkan menjawab salam. Bahkan, tiada terdapat perselisihan mengenai harta orang, apabila lenyap dengan kedzaliman orang yang dzalim dan ada padanya kesaksian, jikalau dikatakannya dengan kesaksian itu, maka hak itu kembali kepada pemiliknya, niscaya wajiblah yang demikian itu atasnya. Dan ia ma'shiat dengan menyembunyikan kesaksian itu. Dan searti dengan meninggalkan kesaksian itu, meninggalkan tiap- tiap penolakan yang tak ada kemelaratan atas yang menolakkan- nya. Jikalau ada padanya kepayahan atau kemelaratan pada harta atau kemegahannya (tercemar namanya), niscaya tiada wajib yang demikian. Karena haknya dijaga mengenai kemanfa'atan tubuhnya, mengenai harta dan kemegahannya, seperti hak orang Iain. 'Maka tiadalah wajib, ia menebus orang lain dengan dirinya. Benar, mengutamakan orang lain itu disunatkan . Dan menghadapi segala kesulitan karena kaum muslimin itu mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala (qurbahy. Adapun mewajibkannya, adalah tidak.



Jadi, jikalau menyusahkannya mengeluarkan hewan-hfewan dari tanaman, niscaya tiada wajib ia mengusahakan yang demikian. Tetapi, apabila tiada menyusahkannya, dengan membangunkan pemilik tanaman dari tidurnya atau dengan memberitahukannya, niscaya haruslah yang demikian. Menyia-nyiakan memberitahudan membangunkannya, adalah seperti menyia-nyiakan memberitahu kepada hakim, dengan kesaksian.



Dan yang demikian itu, tak ada padanya kema'afan. Dan tiada mungkin dijaga padanya antara sedikit dan banyaknya. Sehingga dikatakan, jikalau tiada hilang daripada barang yang bermanfa'at bagi dirinya pada waktu pekerjaannya mengeluarkan hewan-hewan itu, selain sekedar sedirham umpamanya dan pemilik tanaman akan

758

hilang banyak harta, maka kuatlah pihaknya sendiri. Karena sedir- ham yang menjadi miliknya itu ia berhak menjaganya. Sebagaima­na berhak pemilik seribu dirham menjaga seribu dirham. Dan tiada jalan untuk berpindah kepada yang demikian. Apabila harta itu hilang dengan jalan ma'shiat, seperti : dirampas atau membunuh budak kepunyaan orang lain, maka wajiblah me­larangnya. Walaupun ada padanya sesuatu kesusahan. Karena"yang dimaksud ialah hak Syara* (Agama). Dan maksudnya menolak kema'shiatan. Dan manusia harus menyusahkan diri menolak ma'­shiat, sebagaimana harus ia menyusahkan dirinya ineninggalkan ma'shiat. Dan semua ma'shiat itu payah-payah meninggalkannya. Dan sesungguhnya tha*at semuanya kembaii kepada menyalahi hawa-nafsu. Dan itu adalah sangat payah. Kemudian tiada harus ia menanggung semua kemelaratan. Bahkan penguraiannya, sebagai­mana telah kami sebutkan dahulu, termasuk derajat yang dijaga, yang ditakuti si muhtasib.



Dan sesungguhnya terdapat perselisihan ahli-ahli fiqh (fuqaha') mengenai dua mas-alah yang mendekati maksud kita : Pertama : mengambil barang yang terdapat di jalan (luqthah), adakah wajib?.



Barang yang dijumpai di jalan itu barang hilang. Dan yang meng- ambilnya itu mencegah dari kehilarigan dan berusaha memelihara- nya. Yang benar mengenai ini pada kami, bahwa diuraikan, dan diperkatakan : jikalau barang yang terdapat di jalan itu berada pada tempat, jikalau ditinggalkan barang itu di situ, niscaya tiada akan hilang, tetapi akan diambil oleh orang yang mengetahui luqthah itu atau ditinggalkan, seperti jikalau barang itu dalam masjid atau langgar, yang tertentu orang yang masuk ke dalamnya dan semuanya orang-orang kepercayaan, maka tiada wajib dipu- ngut barang tersebut.



Jikalau pada tempat yang akan hilang, maka padanya penelitian. Kalau sukar menjaganya, seperti jikalau benda itu hewan dan memerlukan kepada umpan dan kandang, maka tiada wajib me- mungutnya. Karena bahwasanya yang wajib mengambilnya itu, ialah hak si pemilik. Dan haknya itu, disebabkan si pemilik itu manusia yang terhormat. Dan si pengambil juga manusia. Dan mempunyai hak untuk tidak mendapat kepayahan, karena orang lain. Sebagaimana ia tidak memayahkan orang lain, karenanya. Jikalau luqthah itu emas atau kain atau sesuatu yang tak ada ke­melaratan padanya, kecuali semata-mata payah memberitahukan

759

kepada orang untuk diketahui siapa pemiliknya (tayrif), maka dalam hai ini seyogialah berada pada dua cara. Ada yang mengata­kan, bahwa : memberitahukan (ta'rif) dan menegakkan syarat- syaratnya adalah payah. Maka tiada jalan untuk mewajibkan yang demikian. Kecuali orang itu berbuat sunat (tabarru'). Maka ia menerima keharusan itu, karena mencari pahala. Dan ada yang mengatakan, bahwa : kepayahan yang sekadar itu, adalah dipandang kecil, dibandingkan kepada menjaga hak-hak kaum muslimin. Maka ini disejajarkan, pada tempat yang sejajar dengan kepayahan saksi menghadliri sidang mahkamah (perigadilan). Maka tiada wajib berjalan jauh ke negeri lain. Kecuali ia berta- barru' dengan yang demikian. Maka apabila majelis hakim itu dekat rumahnya, niscaya wajiblah ia hadlir. Dan adalah kepayahan de­ngan beberapa langkah ini, tiada dihitung kepayahan, untuk mak­sud menegakkan kesaksian dan menunaikan amanah.. Kalau pengadilan itu berada pada pinggir yang lain dari negeri itu dan memerlukan datang pada tengah hari dan sangat panas, maka ini kadang-kadang menjadi tempat ijtihad dan penelitian. Sesung­guhnya kemelaratan yang diperoleh oleh orang yang berusaha memelihara hak orang lain, mempunyai : tepi tentang sedikitnya, yang tidak diragukan, tentang tidak perlunya diperhatikan. Dan : tepi tentang banyaknya, yang tidak diragukan, tentang tidak harus menanggungkannya. Dan : di tengah-tengah, yang ditarik-menarik- kan oleh kedua tepi di atas. Dan selamanya berada pada tempat keraguan dan penelitian. Dan itu, termasuk keraguan sepanjang masa, yang tiada termasuk dalam kesanggupan manusia menghi- langkannya. Karena tiada alasan, yang memisahkan diantara baha- gian-bahagiannya yang berdekatan. Tetapi orang yang taqwa itu, memandang padanya bagi dirinya sendiri. Dan meninggalkan apa yang meragukannya, kepada apa yang tidak meragukannya. Maka inilah : penghabisan kasyaf (terbuka hijab) dari pokok ini!.



rukun ke-empat : ihtisab itu sendiri, mempunyai tingkat-tingkat dan adab-adab.

Adapun tingkat-tingkat itu, maka yang pertama ; ta'arruf. Kemu­dian : melarang (nahi). Kemudian : pengajaran dan nasehat. Kemu­dian : jnemaki dan menghardik. Kemudian : merobah dengan tangan. Kemudian : mengancam dengan pukulan. Kemudian : menjatuhkan pukulan dan melaksanakannya. Kemudian : menam- pakkan senjata. Dan kemudian : melahirkan kekuatan dengan teman-teman dan mengumpulkan tentara.

760

Adapun tingkat pertama, yaitu : ta'arruf. Kami maksudkan dengan ta'arruf, ialah : mencari pengenalan dengan berlakunya kemunkar­an itu. Dan ini adalah dilarang. Yaitu mencari-cari keburu kan orang (tajassus) yang telah kami sebutkan dahulu. Maka tiada seyogialah menghaluskan pendengaran, ke rumah orang lain. Supa- ya mendengar bunyi rebab. Dan tidak untuk menarik nafas. Supaya dapat mengetahui bau khamar. Dan tidak untuk menyentuh sesuatu dalam kain. Supaya diketahui bentuk seruling. Dan tidak untuk mencari berita dari tetangganya, supaya mereka itu menceriterakan kepadanya, apa yang berlaku daiam rumah orang itu. Ya, jikalau dua orang adil menceriterakan kepadanya, dari permu- laan, tanpa meminta berita, bahwa si Anu meminum khamar di rumahnya dan di rumahnya ada khamar yang disediakannya untuk diminum, maka ketika itu, ia boleh memasUki rumah tersebut dan tidak wajib meminta izin. Dan adalah melangkahi kepunyaan orang itu, dengan memasukinya, adalah untuk sampai kepada menolak kemunkaran. Seperti memecahkan kepalanya dengan pukulan untuk larangan, manakala memerlukan ke1 ada yang demikian. Dan jikalau hal itu, dikabarkan oleh dua orang adil atau oleh seorang adil. Kesimpulannya, oleh tiap-tiap orang yang diterima ceritera­nya. Tidak kesaksianriya. Maka tentang bolehnya menyerbu ke rumah itu, dengan kata orang-orang tersebut, padanya menghen- daki penelitian dan kemungkinan.



Yang lebih utama menahan diri dari penyerbuan itu. Karena pemi­lik rumah itu, berhak untuk tidak dilangkahi rumahnya, dengan tidak seizinnya. Dan hak seorang Islam itu tidak gugur, dari apa yang telah tetap menjadi haknya, kecuali dengan dua orang saksi. Ini adalah lebih utama, apa yang dijadikan menjadi maksud pada­nya. Dan ada yang mengatakan, bahwa ukiran pada cincin Luqman ialah : "Menutup apa yang engkau lihat, adalah lebih baik daripada menyiarkan apa yang engkau duga".



Tingkat Kedua: ta'rif (pemberi-tahuan). Bahwa perbuatan munkar, kadang-kadang tampil kepadanya, orang yang tampil dengan kebo- dohan. Dan apabila ia diberitahukan bahwa perbuatan itu munkar, niscaya ditinggalkannya. Seperti orang bodoh di desa (as-sawadi), yang bershalat dan tidak mengerti dengan baik, ruku' dan sujud. Lalu ia tahu demikian karena kebodohannya, bahwa tidaklah itu shalat. Jikalau ia senang bahwa ia tidak bershalat, niscaya diting­galkannya shalat itu sendiri.

Maka wajiblah memberitahu kepadanya dengan Iemah-lembut,

761

tanpa kekasaran. Yang demikian, karena dalam kandungan mem* beritahu itu, penyandaran kepada kebodohan dan kedunguan. Dan memperbbdohkannya itu menyakitkan. Dan sedikitlah orang yang senang dikatakan dia bodoh dalam hal-hal urusan. Lebih-lebih dalam hai Agama. Karena itulah anda melihat orang yang keras marahnya, betapa ia marah, apabila ia diperingati kepada kesalahan dan kebodohan. Dan bagaimana ia bersungguh-sungguh meng- ingkari kebenaran sesudah diketahuinya. Karena takut terbuka aurat kebodohannya (i>. Dan tabi'at manusia itu lebihloba,me- nutupi aurat kebodohannya daripada menutupi aurat yang sebe- narnya. Karena kebodohan itu suatu kekejian pada bentuk jiwa, suatu kehitaman pada muka. Dan orang yang bodoh itu dicaci orang.



Kekejian dua bagian badan (bagian muka dan belakang yang me­ngeluarkan najis) itu, kembali kepada bentuk badan. Dan jiwa lebih mulia dari badan. Dan kekejian jiwa adalah lebih buruk dari kekejian badan. Kemudian, badan itu tidak dicaci orang, karena dia itu kejadian yang dijadikan oleh Khaliq, yang tiada termasuk ber- hasilnya dengan pilihan yang empunya badan sendiri. Dan tiada termasuk dalam pilihannya untuk menghilangkan dan membagus- kan badan itu.



Kebodohan itu suatu kekejian yang mungkin dihilangkan dan digantikan dengan kebagusan pengetahuan. Maka karena itulah, sangatnya kepedihan yang dirasakan oleh manusia, dengan tampak kebodohannya. Dan sangatnya kegembiraan pada dirinya, dengan ilmu pengetahuannya. Kemudian, enaknya ketika menampak ke- elokan ilmunya pada orang lain.



Apabila ta'rif itu pembukaan aurat,. yang menyakitkan hati, maka tak boleh tidak, diobati untuk menolak kesakitan itu, dengan kelemah-lembutan kasih-sayang. Maka kita katakan kepadanya : "Bahwa manusia tidak dilahirkan berilmu. Dan kita juga tadinya bodoh tentang urusan shalat. Lalu kita diajari oleh alim ulama. Mungkin kampung engkau, sepi dari ahli ilmu. Atau ahli ilmunya teledor tentang menguraikan dan menerangkan shalat. Sesungguh­nya syarat shalat itu thuma 'tiinah pada ruku' dan sujud".

(1,) Aurat kebodohan : aurat, artinya bagian dari badan kita, yang dirasa malu bila terbuka. Aurat kebodohan, artinya : kebodohan diserupakan dengan aurat, malu kalau terbuka, sampai diketahui orang bahwa kita bodoh. (Pent.).
762

Begitulah diterangkan dengan lemah-lembut, supaya menghasilkan ta'rif, tanpa menyakitkan. Sesungguhnya .menyakitkan orang Islam itu haram, yang harus dijaga. Sebagaimana menetapkannya atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan tidaklah termasuk orang berakal (berpikiran waras), orang yang membasuh darah dengan darah atau dengan air kencing. Orang yang menjauhkan berdiam diri dari perbuatan munkar yang harus diawasi dan mengganti canny a de­ngan yang menyakitkan, yang harus dijaga bagi orang Islam, serta tidak diperlukan daripadanya, maka sesungguhnya ia telah mem­basuh darah dengan air kencing menurut yang sebenarnya. Apabila engkau ketahui atas suatu kesalahan, pada bukan urusan Agama, maka tiada seyogialah engkau mengembalikannya kepada­nya. Sesungguhnya ia akan memperoleh faedah ilmu pengetahuan dari engkau. Dan dia menjadi musuh engkau. Kecuali apabila engkau mengetahui bahwa ia akan mengambil ilmu pengetahuan baginya. Dan yang demikian sukar sekali didapati. Tingkat Ketiga : larangan dengan pengajaran, nasehat dan memper- takutkan kepada Allah Ta'ala. Dan yang demikian, terhadap orang yang mengerjakan sesuatu dan mengetahui bahwa perbuatan itu munkar. Atau terhadap orang yang berkekalan berbuat munkar, sesudah mengetahui bahwa perbuatan itu munkar. Seperti orang yang selalu meminum khamar atau berbuat kedzaliman atau men- caci kaum musiimin atau yang serupa dengan itu. Maka seyogialah diajari dan dipertakuti kepada Allah Ta'ala. Dan diterangkan kepa­danya, hadits-hadits yang menerangkan-siksaan terhadap perbuatan yang demikian. Dan diceriterakan kepadanya, perjalanan hidup ulama-ulama terdahulu (ulama salaf) dan ibadah orang-orang yang taqwa.



Semua itu diterangkan dengan penuh kasih-sayang, lemah.-lembut, tanpa kata-kata kasar dan marah. Bahkan dipandang kepadanya, Sebagai pandangan orang yang penuh kasih-sayang kepadanya. Dan dipandang tampilnya atas perbuatan ma'shiat itu, suatu mala- petaka (musibah) ke atas dirinya. Karena kaum musiimin itu seper­ti suatu diri.

Di sinilah bahaya yang besar, yang seyogianya dijaga. Sesungguh­nya bahaya itu, membinasakan. Yaitu : bahwa orang yang berilmu, melihat ketika diperkenalkan perbuatan ma'shiat, akan kemuliaan dirinya dengan ilmu dan kehinaan orang lain dengan kebodohan. Kadang-kadang dimaksudkannya dengan ta'rif itu penghinaan dan melahirkan perbedaan dengan kemuliaan ilmu. Dan penghinaan temannya dengan disandarkan kepada hinanya kebodohan.

763

Kalau yang menggerakkannya adalah ini, maka kemunkaran terse­but, adalah lebih keji pada dirinya, dibandingkan dengan kemun­karan yang diajukan pertanyaan kepadanya.

Si muhtasib yang seperti ini, adalah seperti orang yang melepaskan orang lain dari api, dengan membakarkan dirinya sendiri. Dan itu paling bodoh. Dan inilah kehinaan besar, yang menakutkan dan tipuan sethan yang melemparkan talinya kepada semua manusia. Selain orang yang diperkenalkan oleh Allah Ta'ala akan kekurang- an-kekurangan dirinya. Dan dibukakan-Nya mata-hatinya dengan nur-hidayah-Nya. Sesungguhnya pada bertindak atas orang lain itu, suatu kesenangan yang besar bagi jiwa, dari dua segi : pertama dari pihak penunjukan ilmu. Dan yang satu lagi : dari pihak penunjuk­an penindakan dan kekuasaan. Dan yang demikian itu kembali kepada ria, dan mencari kemegahan. Yaitu : nafsu-syahwat yang tersembunyi, yang mengajak kepada syirik yang tersembunyi (asy-syirkil-khafiy). Mempunyai batu penguji dan alat timbangan, yang seyogialah si muhtasib menguji dirinya dengan alat-alat tadi. Yaitu : bahwa adalah tercegahnya manusia dari munkar oleh diri­nya. sendiri atau dengan ihtisab orang lain, adalah lebih disukainya daripada tercegahnya dengan ihtisabnya. Maka jikalau hisbah itu sukar dan berat kepadanya dan ia suka ihtisab itu cukup dengan orang lain saja,maka hendaklah ia berihtisab. Maka sesungguhnya yang menggerakkannya ialah : Agama. Jikalau orang ma'shiat itu menerima pengajaran dengan pengajarannya dan takut berbuat ma'shiat oleh gertaknya, niscaya lebih ia sukai daripada orang itu menerima pengajaran dengan pengajaraii orang lain, maka tidaklah si muhtasib ini selain orang yang menuruti hawa-nafsu. Dan men­cari jalan untuk melahirkan kemegahan diriny a<dengan perantaraan hisbah itu.



Maka hendaklah ia takut (bertaqwa) kepada Allah Ta'etladan ber- ihtisablah mula-mula kepada dirinya sendiri!. Ketika inilah, dikatakan apa yang dikatakan kepada Nabi Isa as. "Wahai putera Mary am! Ajarilah dirimu sendiri! Kalau engkau telah memperoleh pengajaran itu, maka ajarilah manusia! Jikalau tidak, maka malulah engkau kepada-Ku!".



Ditanyakan kepada Daud Ath-Tha-i ra. : "Adakah engkau melihat orang yang datang ke tempat amir-amir itu, lalu ia menyuruh me­reka berbuat perbuatan baik dan melarang berbuat perbuatan munkar?".

Daud Ath-Tha-i menjawab : "Aku takut pukulan cemeti atas dirinya".

764

Orang yang bertanya tadi menjawab : "Orang itu tahan pukulan". Daud Ath-Tha-i berkata lagi: "Aku takut kena pedang atas dirinya" Orang itu menjawab : "Dia tahan pedang".

Daud Ath-Tha-i menyambung : "Aku takut penyakit yang terta- nam atas dirinya. Yaitu : 'ujub (perasaan bangga dan angkuh atas perbuatannya)"'

Tingkat Ke-empat : memaki dan menggertak dengan kata-kata ke­ras dan kasar. Dan yang demikian itu, dipergunakan ketika lemah daripada melarang" dengan lemah-lembut dan lahir tanda-tanda permulaan akan terus-terusan berbuat ma'shiat dan mempermain- mainkan pengajaran dan nasehat. Yang demikian itu seperti ucapan Ibrahim as. :

(Uffm lakum wa limaa ta-buduuna min duunillaahi afalaa ta'-qi- luun).

Artinya; "Cis, kamu ini! Kenapa kamu sembah — sesuatu — selain dari AUah ? Tidakkah kamu mengertiV\ (S. Al-Anbia, ayat 67 j. Kami tidak maksudkan dengan makian yang keji itu, dengan apa yang padanya penyandaran kepada : zina dan pendahuluan-penda- huluannya. Dan tidak kepada kebohongan. Akan tetapi bahwa ditujukannya dengan kata-kata yang ada padanya,yang tidak dihi- tung termasuk diantara jumlah kekejian. Seperti katanya : "Hai fasiq! Hai dungu] Hai bodoh! Tidakkah engkau takut akan Allah?" Dan seperti katanya : "Hai orang hitam! Hai bebal!". Dan kata- kata lain yang seperti itu. Maka sesungguhnya tiap-tiap orang fasiq itu, adalah dungu dan bodoh. Jikalau tidak karena kedunguannya, niscaya ia tidak berbuat ma'shiat kepada Allah Ta'ala. Bahkan tiap- tiap orang yang tidak pintar adalah dungu.

765

Dan orang pintar, ialah : orang yang diakui oleh Rasulullah saw. dengan kepintarannya, di mana beliau bersabda :

الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت والأحمق من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله

(Al-kayyisu man daana nafsahu wa 'amila limaa ba'-dal-mauti wal- ahmaqu manit-taba-'a hawaahaa wa tamannaa 'alallaah). Artiiiya: "Orang pintar ialah : orang yang meng-agama-kan dirinya dan berbuat untuk sesudah mati. Dan orang dungu, ialah : orang yang mengikutkdndirinya kepada hawa-nafsunya dan berangan angan kepada Allah akan mengampuninya(1)

Dan tingkat ini mempunyai dua adab kesopanan :

Pertama : bahwa ia tidak tampil ke tingkat ini, kecuali ketika dlarurat dan lemah dari lemah-lembut.

Kedua : bahwa ia tidak berkata-kata kecuali dengan benar. Dan tidak melepaskan perkataan begitu saja. Lalu melepaskan lidahnya yang panjang dengan kata-kata yang tidak diperlukan. Tetapi hen­daklah disingkatkan sekedar perlu saja.



Kalau diketahuinya, bahwa ucapannya dengan kata-kata yang menghardikkan ini, tidak menghardikkan muhtasab 'alaih, maka tiada seyogialah ia melepaskan ucapan itu. Tetapi disingkatkan saja dengan melahirkan kemarahan, penghinaan dan penglecehan menu­rut tempatnya. Karena kema'shiatannya. Kalau diketahuinya, bahwa jikalau ia berbicara, niscaya akan dipukul orang dan jikalau ia bermasam muka dan melahirkan ketidak- senangan dengan mukanya, niscaya ia tidak akan dipukul, niscaya haruslah ia berbu­at demikian. Dan tidak memadai menantang dengan hati. Akan tetapi harus memasamkan muka dan melahirkan penantangannya.



Tingkat Kelima : merobah dengan tangan. Dan yang demikian itu : seperti memecahkan alat permainan, menumpahkan khamar dan membuka kain sutera dari kepalanya dan tubuhnya. Dan mela- rangnya duduk di atas kain sutera itu. Menolaknya dari duduk atas harta orang lain. Mengeluarkannya dari rumah yang dirampasnya dengan menghela kakinya. Dan mengeluarkannya dari masjid, apa­bila ia duduk sedang berjanabat (berhadats besar). Dan hal-hal.yang serupa dengan yang demikian. Dan tergambar yang demikian pada sebahagian ma'shiat dan tidak pada sebahagian lainnya. Adapun ma'shiat lidah dan hati, maka'tiada sanggup secara lang- suhg mengubahkannya. Dan seperti itu pula,tiap-tiap ma'shiat yang tersimpan pada jiwa dan anggota-anggota tubuh bathiniah dari si pembuat ma'shiat.



Pada tingkat ini ada dua adab kesopanan :

Pertama : bahwa tidak secara langsung dengan tangannya merobah perbuatan munkar itu, selama ia tidak lemah mendesak yang demi­kian kepada muhtasab 'alaih. Apabila mungkin ia memaksakan muhtasab 'alaih berjalan keluar dari tanah yang dirampasnya dan dari masjid yang ditempatinya di mana ia sedang berhadats besar,

(1) Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Syaddad bin A us-
766

maka tiada seyogialah menolaknya atau menghelanya keluar. Dan apabila ia sanggup menyuruh muhtasab 'alaih itu menuangkan khamar, memecahkan alat permainan dan membuka ikatan yang mengikatkan kain sutera pada badan, maka tiada seyogialah langsung ia berbuat yang demikian dengan dirinya sendiri. Sesungguh­nya berdiri kepada batas memecahkan itu, adalah semacaxn kesulit an. Apabila ia tiada berbuat sendiri yang demikian, niscaya memadailah berijtihad padanya. Dan dilaksanakan oleh orang yang tak ada halangan baginya pada memperbuatnya. Kedua : bahwa disingkatkannya jalan merobahkan itu sekadar yang diperlukan. Yaitu, bahwa : tidak dipegang janggutnya pada mengeluarkannya. Dan tidak dengan kaki, apabila sanggup menge- luarkanhya dengan menarik tangannya saja. Sesungguhnya bahan yang menyakitkannya itu tidak diperlukan.

Dan bahwa tidak dikoyakkan pakaian sutera. Akan tetapi dibuka ikatan pakaian itu saja. Tidak dibakar alat-alat permainan dan sahb yang diperlihatkan oleh orang Nasrani. Akan tetapi dirusak- kan yang membawa tidak dapat dipergunakan lagi, disebabkan pecabnya. Dan batas pemecahan itu, ialah : barang itu sampai ke­pada keadaan yang memerlukan pada mengulangi perbaiikannya kepada tenaga yang sama dengan tenaga mengulangi memperbuat­nya dari kayu, sejak permulaan. Dan pada menuangkan khamar dijaga daripada memecahkan bejana, kalau ada jalan yang demikian. Jikalau tiada sanggup kepada yang demikian, selain dengan melemparkan tempat-tempat khamar itu dengan batu, maka boleh ia melakukan yang demikian. Dan jatuhlah nilai tempat khamar itu dan penilaiannya disebabkan khamar. Karena ia menjadi pengha- lang untuk sampai kepada menuangkan khamar itu. Jikalau muhtasab 1alaih itu menutup khamar dengan badannya, niscaya kita tujukan kepada badannya itu dengan melukakan dan memukul kan. Supaya kita sampai kepada menuangkan khamar itu. Jadi, tidaklah bertambah kehormatan miliknya pada tempat kha­mar itu atas kehormatan dirinya sendiri.



Jikalau khamar itu dalam botol yang sempit kepalanya dan kalau ia menuangkannya, niscaya lamalah waktunya. Dan akan diketa­hui oleh orang-orang fasiq yang akan melarangnya, maka bolehlah ia memecahkan botol-botol khamar itu. Ini adalah suatu hal yang membolehkan demikian.

Jikalau ia tiada kuatir akan menjumpai orang-orang fasiq dan la- rangan mereka, akan tetapi dengan penuangan itu menghilangkan banyak waktunya dan membawa teledor pekerjaan-pekerjaan lain,

767

maka bolehlah ia memecahkan tempat-tempat khamar itu. Ia tiada boleh menyia-nyiakan kemanfa'atan tubuhnya sendiri dan maksud­nya dari segala perbuatannya, dikarenakan oleh botol-botol khamar itu. Dan di mana penuangan itu mudah tanpa pemecahan botol, lalu dipecahkannya, niscaya haruslah dibayarnya botol itu. Kalau arida bertanya : "Apakah tidak boleh memecahkan (botol khamar) untuk menghardik? Dan apakah tidak boleh menarik kakinya untuk mengeluarkannya dari tanah yang dirampasnya?. Supaya yang demikian itu lebih bersangatan pada penghardikan?".



Ketahuilah, bahwa penghardikan itu, sesungguhnya untuk masa yang akan datang. Dan siksaan (hukuman) itu atas perbuatan yang telah lalu. Dan penolakan adalah atas perbuatan yang sedang ber­jalan. Tidaklah atas masing-masing rakyat, selain menolak kemun­karan yang sedang "berlaku itu. Penolakan, yaitu : meniadakan kemunkaran tersebut. Maka apa yang melebihi dari sekadar penia- daan, adakalanya siksaan atas kejahatan yang lalu. Atau penghar­dikan atas perbuatan yang akan datang. Yang demikian itu diserah- kan kepada wali-wali (penguasa-penguasa). Tidak kepada rakyat. Benar, wali itu boleh berbuat demikian, apabila ia memandang ada kemuslihatan padanya. Dan aku berkata : bahwa wali itu boleh menyuruh memecahkan botol-botol yang di dalamnya khamar, untuk penghardikan. Dan telah diperbuat demikian pada masa Rasulullah saw., untuk menguatkan penghardikan itu u). Dan tak ada mansuhnya (pencabutan) perbuatan tersebut. Tetapi adalah sangat-perlu penghardikan dan pemberhentian dari peminuman khamar itu.



Apabila wali negeri (penguasa) menurut ijtihadnya berpendapat perlunya seperti yang demikian, niscaya boleh baginya yang demi­kian. Apabila ini bergantung dengan semacam ijtihad yang menda­lam, niscaya tidak boleh yang demikian bagi seseorang dari rakyat. Kalau anda berkata : "Maka hendaknya boleh bagi sultan (pe­nguasa) menghardik manusia dari perbuatan-perbuatan ma'shiat, dengan merusakkan harta mereka. Merobohkan rumah-rumah mereka, di mana di dalam rumah itu mereka meminum khamar dan mengerjakan perbuatan ma'shiat. Dan membakar harta benda mereka, di mana dengan harta benda itu mereka sampai kepada perbuatan ma'shiat tersebut".



(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Thalhah.
768

Ketahuilah kiranya, bahwa yang demikian kalau sudah Agama menerangkannya, niscaya tidaklah keluar dari jalan-jalan kemus- lihatan. Tetapi kita tidak mengada-adakan kemuslihatan. Akan tetapi, mengikuti apa yang ada. Memecahkan botol-botol khamar ada hukumnya ketika sangat diperlukan. Dan kemudian, membiarkannya karena tidak sangat diperlukan, tidaklah itu mansukh namanya. Tetapi hukum itu hilang dengan hilangnya yillah (sebab). Dan akan kembaii dengan kembalinya 'illah. Kita perbolehkan yang demikian bagi imam (penguasa), disebabkan hukum "ittiba*" (mengikuti). Dan kita melarang masing-masing perseorangan rakyat daripadanya, karena tersembunyinya segi ijtihad padanya. Bahkan kami berkata, jikalau pada pertamanya, telah dituangkan khamar-khamar itu, maka tidak boleh memecah­kan bejana-bejananya kemudian. Tetapi boleh memecahkannya, karena mengikutkan bagi khamar yang di daiamnya itu. Apabila bejana-bejana itu kosong dari khamar, maka memecahkannya, adalah merusakkan harta orang. Kecuali bejana-bejana itu dibiasa- kan untuk tempat khamar, di mana tidak cocok selain untuk khamar.



Maka adalah perbuatan yang dinukilkan, dari masa pertama Islam(kurun pertama) dibaringi dengan dua pengertian :

Pertama : sangat diperlukan kepada penghardikan.

Kedua : mengikutkan botol-botol itu bagi khamar yang di-isikandi botol-botol itu.

Keduanya ini, adalah dua pengertian yang membekas. Tiada jalan untuk membuangnya. Dan pengertian yang ketiga, yaitu : datang­nya dari pendapat petugas yang bertanggung-jawab. Karena dike­tahuinya sangat memerlukan kepada penghardikan itu. Dan itu juga membekas. Tiada jalan untuk membatalkannya. Inilah urusan-urusan yang halus-halus, yang berhubungan dengan ilmu fiqh, di mana sudah pasti si muhtasib itu memerlukan untuk mengetahuinya.

Tingkat Ke-enam : pengancaman dan penakutan (tahdid dan takhwif). Umpamanya dikatakan : Tinggalkan perbuatan ini! Atau : akan aku pecahkan kepalamu. Atau : akan aku pukul lehermu. Atau : akan aku suruh orang berbuat demikian kepada kamu. Dan kata-kata yang lain yang serupa dengan itu.



Dan ini, seyogialah didahulukan, untuk pelaksanaan pukulan itu. Karena mungkin didahulukan. Dan adab pada tingkat ini, ialah : tidak dilakukan pengancaman dengan sesuatu ancaman, yang tidak

769

boleh dilaksanakan. Seperti katanya : akan aku rampas rumah engkau atau akan aku pukul anak engkau atau akan aku tawan isteri engkau. Dan lain-lain sebagainya. Bahkan yang demikian itu, kalau dikatakannya dengan cita-cita akan dilaksanakan, adalah haram. Dan kalau dikatakannya tanpa cita-cita tersebut, adalah bohong.



Benar, apabila disebut pada gertakan itu dengan pukulan dan peng­hinaan, maka boleh di'azamkan (dicita-citakan)nya, sampai kepada batas yang diketahui, dikehendaki oleh keadaan. Dan ia boleh melebihkan ancaman itu, menurut azamnya (cita-citanya) yang tersembunyi dalam hatinya, apabila diketahuinya demikian itu dapat mencegah dan menakutkan si pembuat kemunkaran itu. Dan tidaklah yang demikian termasuk dusta yang harus dijaga. Bahkan bersangatan pada yang seperti demikian, adalah biasa. Dan itulah artinya bersangatan seseorang pada memperbaiki diantara dua orang yang bermusuhan dan penjinakan hati diantara dua isteri yang bermadu.



Yang demikian itu termasuk apa yang diperbolehkan karena diper- lukan. Dan inipun termasuk dalam pengertiannya. Sesungguhnya maksudnya, ialah memperbaiki orang itu. Dan kepada pengertian inilah diisyaratkan oleh setengah manusia (ulama ilmu tauhid), bahwa tiada keji daripada Allah, mengancam dengan apa yang tiada diperbuat-Nya. Karena menyalahi ancaman itu adalah sUatu kurnia. Yang keji ialah menjanjikan dengan apa yang tiada diper­buat.



Pendapat ini tiada kita (para ahlus-sunnah wal-jama'ah) menyetu- juinya. Sesungguhnya Kalam Qadim (Firman-Nya yang Qadim) itu tiada berlaku padanya penyalahan, baik janji (wa'ad) atau ancaman (wa'id). Dan sesungguhnya ini tergambar mengenai hak manusia. Yaitu begitu juga, karena penyalahan tentang ancaman itu tidak haram.



Tingkat Ketujuh : langsung memukul dengan tangan, kaki dan lainnya, yang tak ada padanya pemakaian senjata. Yang demikian itu, diperbolehkan bagi masing-masing orang, de­ngan syarat : karena dlarurat (diperlukan). Dan disingkatkan seka- dar perlu pada penolakan munkar itu. Apabila pembuat munkar itu bertahan, maka seyogialah dicegah. Dan hakim (qadli) kadang- kadang memaksakan orang yang ada padanya hak orang lain, untuk mengembalikan kepada pemiliknya, dengan memenjara- kannya. Kalau yang dipenjarakan itu tidak mau mengembalikan

770

dan hakim tahu akan kesanggupannya mengembalikan hak itu dan tentang membangkangnya orang yang dipenjarakan itu, maka hakim boleh memaksakannya pengembalian itu dengan pukulan setingkat demi setingkat, menurut yang diperlukan.



Begitu pula si muhtasib, menjaga setingkat demi setingkat itu. Kalau ia memerlukan kepada pemakaian senjata dan ia sanggup menolak kemunkaran itu dengan pemakaian senjata dan pelukaan, maka boleh ia berbuat yang demikian, selama tidak berkembang kekacauan. Sebagaimana Umpamanya, jikalau seorang fasiq memegang seorang wanita atau memukul rebab yang ada padanya. Dan antara orang fasiq itu dan si muhtasib, terbentang sungai yang menghambat atau dinding yang mencegah. Maka diambilnyalah panah dan dikatakan kepada orang fasiq itu : "Lepaskan wanita itu atau aku akan melemparkan engkau dengan anak panah ini'.".



Jikalau tidak dilepaskannya, maka boleh ia melemparkan (melepas- kan)anak panah itu. Dan seyogialah tidak ditujukan kepada tempat yang membunuhkan. Tetapi ditujukan kepada betis, paha dan yang serupa dengan itu. Dan dijaga padanya tingkat demi tingkat. Begitu pula ia mencabut pedangnya, seraya berkata : "Tinggalkan kemunkaran itu atau aku akan memukul engkau!". Maka semua itu adalah penolakan munkar. Dan penolakan munkar itu wajib dengan segala kemungkinan. Tiada berbeda tentang itu diantara yang khusus bersangkutan dengan hak Allah dan yang bersangkutan dengan anak Adam (manusia).



Golongan Mu'tazilah berkata : "Apa yang tiada berhubungan de­ngan hak anak Adam, maka tak ada hisbah padanya, selain dengan perkataan atau dengan pukulan. Tetapi bagi imam (penguasa), tidak bagi masing-masing orang (individu).



Tingkat Kedelapan : muhtasib itu tidak sanggup sendirian dan ia memerlukan kepada pembantu-pembantu yang memakai senjata. Kadang-kadang1 orang fasiq juga meminta bantuan dengan teman- temannya. Dan yang demikian, membawa kepada berhadapan muka dua barisan dan berperang-perangan.



Maka dalam hal ini, telah timbul perselisihan tentang perlunya kepada keizinan imam (penguasa). Berkata orang-orang yang berka­ta : "Tidaklah masing-masing rakyat bebas bertindak yang demiki­an. Karena membawa kepada bergeraknya kekacauan, berkobar- nya kerusakan dan kehancuran negeri".

Berkata yang lain : "Tidak memerlukan kepada keizinan". Dan inilah yang lebih sesuai dengan qias. Karena apabila boleh bagi

771

orang seorang, melakukan amar-ma'ruf dan tingkat-tingkatnya yang permulaan akan menghela kepada orang dua-dua. Dan orang dua- dua akan menghela kepada orang tiga-tiga. Dan tidak mustahil kadang-kadang akan berkesudahan kepada pukul-memukul. Dan pukul-memukul itu membawa kepada tolong-menolong. Maka tiada seyogialah diambil perduli, dengan segala yang harus oleh amar- ma'ruf. Dan kesudahannya penyusunan barisan tentara pada jalan keridla'an Allah Ta'ala dan menolak segala kema'shiatan-Nya. Kami membolehkan bagi masing-masing para pejuang, berkumpul dan memerangi siapa yang dikehendakinya,dari.golongan-golongan kafir, demi menghambat kaum kafir. Maka seperti itu pula, meng- hambat kaum perusak itu diperbolehkan. Karena orang kafir, tiada mengapa, membunuhnya. Dan orang Islam kalau dibunuh maka mati syahid. Maka seperti itu pula, orang fasiq yang berjuang mempertahankan kefasiqannya, tiada mengapa membunuhnya. Dan muhtasib yang benar, kalau terbunuh dengan teraniaya, maka ia mati syahid.



Kesimpulannya, maka berkesudahan pekerjaan kepada yang terse­but ini, adalah termasuk hal-hal yang jarang terjadi pada hisbah. Maka tidaklah dirobah undang-undang pengqiasan (qanun qias) dengan demikian. Akan tetapi dikatakan;tiap-tiap orang yang sang­gup menolak kemunkaran, maka boleh ia menolaknya dengan tangan, dengan senjata, dengan dirinya sendiri dan dengan pem- bantu-pembantunya.



Jadi, persoalannya itu suatu kemungkinan, sebagaimana telah kami sebutkan.

Inilah tingkat-tingkat hisbah itu! Maka marilah kami sebutkan adab-adabnya! Kiranya Allah menganugerahkan taufiq!.

772

PENJELASAN ADAB-ADAB MUHTASIB

Telah kami sebutkan penguraian-penguraian adab pada masing- masing tingkat. Dan sekarang kami akan sebutkan jumlahnya dan sumber-siinibernya. Maka marilah kami terangkan : 'Semua adab muhtasib, sumbernya adalah tiga sifat pada muhtasib sendiri: ilmu, wara*dan baik akhlaq.

Adapun ilmu : maka hendaklah muhtasib itu mengetahui situasi hisbah, batas-batasnya, tempat-tempat berlakunya dan penghalang- penghalangnya. Supaya ia menyingkatkan di atas batas Agama.



Wara' - supaya ia mencegah dirinya daripada menyalahi apa yang diketahuinya. Maka tidaklah semua orang yang berilmu, mengamal- kan menurut ilmunya. Bahkan kadang-kadang ia tahu, bahwa ia berlebih-lebihan pada hisbah itu dan bertambah di atas batas yang diizinkan pada Agama. Akan tetapi didorong kepadanya oleh sesuatu maksud.



Maka hendaklah perkataan dan pengajarannya diterima orang. Bahwa orang fasiq itu akan mempermain-mainkan si muhtasib apabila berihtisab, Dan mengakibatkan demikian, orang berani terhadap si muhtasib.



Adapun baik akhlaq, maka hendaklah ia berketetapan dengan lemah-lembut dan kasih-sayang. Itulah pokok bab dan sebab-sebabnya. Ilmu dan wara' tiada memadai. Kemarahan apabila berkobar- kobar, niscaya tiada mencukupi semata-mata'ilmu dan wara' untuk mencegahnya, selama tidak ada pada tabi'atnya, penerimaan de­ngan baik akhlaq. Dan sebenarnya, wara' itu tidak sempurna, selain bersama kebaikan akhlaq dan mampu mengekang nafsu-syahwat dan kemarahan.



Dengan itulah muhtasib itu bersabar atas apa yang menimpa dirinya pada Agama Allah. Kalau tidak demikian, maka apabila tertimpa kehormatan dirinya atau hartanya atau pribadinya dengan makian atau pukulan, niscaya ia melupakan hisbah itu. Lalai dari Agama Allah dan menghabiskan waktunya dengan urusan peribadinya. Bahkan kadang-kadang ia tampil kepada ihtisab itu, pada mulanya, karena mencari kemegahan dan nama.



Maka dengan tiga sifat tersebut di atas, jadilah hisbah itu diantara qurbah (amalan yang mendekatkan diri kepada Allah). Dengan tiga sifat itu tertolaklah segala kemunkaran. Kalau tiga sifat itu tidak ada, niscaya kemunkaran itu tiada akan tertolak. Bahkan kadang-kadang hisbah juga, menjadi perbuatan munkar, karena melampaui batas Agama.

773

Terhadap adab-adab ini berdalilkan sabda Nabi saw. :

لا يأمر بالمعروف ولا ينهى عن المنكر إلا رفيق فيما يأمر به رفيق فيما ينهى عنه حليم فيما يأمر به حليم فيما ينهى عنه فقيه فيما يأمر به فقيه فيما ينهى عنه

(Laa ya'-muru bil-ma'-ruufi wa laa yanhaa 'anil-munkari illaa rafii- qun fiima ya'-muru bihi rafiiqun fiima yanhaa 'anhu, haliimun fiima ya'-muru bihi, haliimun fiima yanhaa 'anhu faqiihun fiima ya’muru fiihi faqiihun fiima yanhaa anhu).Artinya : "Tiada menyuruh perbuatan baik dan tiada melarang perbuatan munkar, selain orang yang penuh kasih-sayang pada apa yang disuruhnya, yang penuh kasih-sayang pada apa yang dilarang- nya, yang tidak lekas marah pada apa yang disuruhnya, yang tidak lekas marah pada-apa yang dilarangnya, berilmu pada apa yang disuruhnya, berilmu pada apa yang dilarangnya ". (1). Hadits ini menunjukkan, bahwa tidak disyaratkan, bahwa muhtasib itu berilmu (faqih) mutlak. Akan tetapi hanya mengenai apa yang disuruhnya dan yang dilarangnya. Dan demikian juga sifat tidak lekas marah (الحلم al-hilm).



Al-Hasan Al-Bashri ra. berkata : "Bila engkau termasuk orang yang menyuruh dengan yang baik, maka hendaklah engkau termasuk orang yang dapat mengambil hati manusia kepadanya. Kalau tidak, niscaya engkau binasa".



Ada yang bermadah :



Janganlah engkau mencaci orang, atas perbuatan yang dilakukannya!

Sedang engkau dilihat orang, berbuat seperti perbuatannya,

Orang yang mencela sesuatu dan melakukan seperti perbuatan itu,

sesungguhnya mendatangkan malu, kepada akalnya itu.



Tidaklah kami maksudkan dengan ini, bahwa amar-ma'ruf itu men­jadi terlarang, disebabkan fasiq si muhtasib. Akan tetapi hilang kesannya dari hati orang banyak, disebabkan lahir fasiqnya bagi manusia.



Diriwayatkan dari Anas ra. yang berkata: "Kami bertanya: 'Wahai Rasulullah! Tidakkah kami menyuruh perbuatan baik, sebelum kami mengerjakannya semuanya? . Dan tidakkah kami melarang perbuatan jahat, sebelum kami menjauhkannya semuanya?' Lalu Rasulullah saw. menjawab : "Bahkan suruhlah perbuatan baik, walaupun kamu tiada mengerjakannya semuanya. Dan larang- lah perbuatan jahat walaupun kamu tiada menjauhkannya semua­nya!". (2)



1. Menurut AL-Iraqi, beliau tiada menjumpai hadits yang bunyinya demikian.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib, yang maksudnya mendekati yang demikian.
2. Dirawikan Ath-Thabrani dari Anas.
774

Setengah ulama terdahulu (salaf) mewasiatkan kepada anak-anak- nya. Ia mengatakan : "Jikalau salah seorang kamu bermaksud me­nyuruh perbuatan baik, maka hendaklah menempatkan dirinya atas kesabaran!. Dan hendaklah percaya akan memperoleh pahala dari Allah!. Barangsiapa percaya akan pahala dari Allah, niscaya tiada akan mendapat sentuhan kesakitan".



Jadi, diantara adab hisbah, ialah menempatkan diri di atas kesabar­an. Karena itulah, Allah Ta'ala menyertakan kesabaran dengan amar-ma'ruf. Allah Ta'ala berfirman, menceriterakan dari hal Luqman :

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ

(Yaa bunayya aqimish-shalaata wa'mur bil-ma'-ruufi wanha 'anil- munkari, wash-bir 'alaa maa ashaabak).Artinya : "Hai anakku! Dirikanlah shalat, suruhlah mengerjakan yang baik, cegahlah perbuatan yang buruk dan bersabarlah meng- hadapi apa yang menimpa engkau. (S, Luqman, ayat 17). Diantara adab itu menyedikitkan hubungan. Sehingga tiada banyak ketakutannya. Dan memutuskan harapan kepada orang banyak. Sehingga hilanglah daripadanya sifat berminyak-minyak air (muda hanah),



Diriwayatkan dari setengah guru (masyaikh), bahwa beliau mem­punyai seekor kucing. Beliau mengambil dari tukang-potong tetarigganya tiap-tiap hari sedikit daging untuk kucingnya. Maka beliau melihat pada tukang-potong itu perbuatan munkar. Lalu pertama-tama beliau masuk ke rumahnya dan mengeluarkan kucing. Kemudian beliau datang dan melakukan ihtisab kepada tukang- potong itu.



Tukang-potong itu berkata kepadanya : "Tiada akan aku berikan lagi kepadamu sesudah ini sesuatu untuk kucingmu". Masyaikh itu menjawab : "Aku tiada melakukan ihtisab kepadamu, selain sesudah mengeluarkan kucing dan memutuskan harapan dari­pada engkau". Yaitu sebagaimana masyaikh itu berkata: "Barang­siapa tiada memutuskan harapan dari makhluq, niscaya ia tiada sanggup melaksanakan hisbah. Dan barangsiapa mengharap supaya hati manusia baik kepadanya dan lisan mereka melepaskan pujian kepadanya, niscaya tiada mudah hisbah baginya". Ka'bul-Ahbar bertanya kepada Abi Muslim Al-Khaulani : "Bagai- manakah kedudukanmu diantara kaummu?". Abi Muslim Al-Khaulani menjawab : "Baik!".



775

Ka'bul-Ahbar menyambung : "Taurat berkata : 'Sesungguhnya orang apabila beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, niscaya buruk- lah kedudukannya pada kaumnya"!

Abi Muslim menjawab : "Benar Taurat dan bohong Abi Muslim". Ditunjukkan kepada wajibnya lemah-lembut, oleh apa yang diambil menjadi dalil oleh Khalifah Al-Ma'mun, ketika iadiberi pengajaran, oleh orang yang memberi pengajaran kepadanya. Dan orang itu bersikap kasar kepadanya pada perkataan. Lalu Khalifah Al- Ma'mun berkata: "Saudara! Lebih baik dari engkau, kepada orang yang lebih jahat dari aku. Dan Allah menyuruhnya bersikap lemah- lembut". Allah Ta'ala

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

(Faquulaa lahu qaulan layyinan la-'allahu yatadzak-karu au yakh- syaa).Artinya : "Ucapkanlah kepadanya perkataan yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia memperhatikan atau takut". (S. Thaha, ayat 44).



Maka hendaklah si muhtasib itu mengikuti nabi-nabi as. tentang kelemah-lembutan!.

Abu Amamah meriwayatkan : "Bahwa seorang anak muda datang kepada Nabi saw., lalu bertanya : 'Wahai Nabi Allah! Izinkah engkau kepadaku berzina?'

Mendengar itu, orang banyak berteriak. Lalu Nabi saw. bersabda : "Dekatkanlah dia! Dekatlah kemari!".

Lalu anak muda itu dekat. Sehingga ia duduk di hadapan Nabi saw.

Lalu Nabi saw. bersabda : "Adakah engkau menyukai zina itu untuk ibu engkau ?

 Anak muda itu menjawab : "Tidak! Dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau!".

Nabi saw. menyambung : "Begitu juga manusia, tiada menyukai zina itu untuk ibu mereka. Adakah engkau menyukainya untuk anak perempuan engkau?".

Anak muda itu menjawab : "Tidak! Dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau!".

Nabi saw. menyambung : "Begitu juga manusia, tiada menyukai­nya untuk anak perempuan mereka. Adakah engkau menyukainya untuk saudara perempuan engkau?".

Ibnu 'Auf menambahkan : sehingga Nabi saw. menyebutkan : saudara bapak yang perempuan (al-ammah) dan saudara ibu yang perempuan (al-khalah). Dan anak muda itu menjawab pada masing-

776

masingnya : "Tidak! Dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau". Dan Nabi saw. menyambung seperti itu juga : "Manusia tiada menyukainya".

Keduanya berkata mengenai hadits tadi, ya'ni : Ibnu 'Auf dan perawi yang lain : Lalu Rasulullah saw. meletakkan tangannya atas dada anak muda itu dan berdo'a

 :اللهم طهر قلبه واغفر ذنبه وحصن فرجه فلم يكن شيء أبغض إليه منه

(Allaahumma thahhir qal-bahu waghfir dzanbahu wa hash-shin farjahu fa-lam yakun syai-un abghadlu ilaihi minhu). Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Sucikanlah hatinya, ampunkan lah dosanya dan peliharalah kemaluannya! Dan tak adalah sesuatu yang lebih dimarahi oleh Allah selain dari zina". (1 Dirawikan Ahmad) Ada orang yang mengatakan kepada Al-Fudlail bin 'Ayyadl ra. : "Bahwa Sufyan bin 'Uyainah menerima pemberian-pemberian sultan (penguasa)". Lalu Al-Fudlail menjawab : "Sufyan tidak mengambil dari penguasa-penguasa itu, selain kurang dari haknya". Kemudian, Al-Fudlail berdua-duaan dengan Sufyan, mencaci dan mengejek Sufyan. Lalu Sufyan berkata : "Hai Abu 'Ali (penggilan kepada Al-Fudlail)! Kalau kami tidak termasuk orang-orang shalih, maka sesungguhnya kami mencintai orang-orang shalih". Hammad bin Salmah berkata : "Bahwa seorang laki-laki lalu di hadapan Shilah bin Asyyam, yang telah menurunkan kain sarung­nya. Lalu para shahabat Shilah ingin mengambil kain sarung itu dengan secara kasar. Maka Shilah berkata  'Biarkanlah aku berbuat, yang memuaskan kamu!"'.



Lalu Shilah berkata kepada laki-laki itu : "Hai putera saudaraku! Aku mempunyai keperluan padamu".

Laki-laki itu bertanya : "Apakah keperluan engkau, wahai paman- ku?".

Shilah menjawab : "Aku suka engkau mengangkat kain sarungmu". Lalu laki-laki itu menjawab : "Boleh, demi kehormatan!". Lalu ia mengangkat kain sarungnya.

Shilah berkata kepada paraa shahabatnya : "Kalau kamu ambil kain sarungnya dengan kekasaran, niscaya ia akan menjawab : Tidak! Dan tidak ada kehormatan dan ia akan memaki kamu".

(1) ; Dirawikan Ahmad dengan isnad baik.
777

Muhammad bin Zakaria Al-Ghilabi berkata : "Aku melihat Abdullah bin Muhammad bin 'A-isyah pada suatu malam. Ia keluar dari masjid sesudah Maghrib, bermaksud pulang ke rumahnya. Tiba- tiba di tengah jalan, ada-seorang anak muda Quraisy mabuk. Anak muda itu, memegang seorang wanita. Lalu Abdullah menarik wani­ta itu. Wanita itu lalu meminta tolong. Maka berkumpullah orang banyak memukul anak muda itu.



Maka Ibnu 'A-isyah melihat kepada anak muda itu. Rupanya beliau kerial. Lalu beliau mengatakan kepada orang banyak : "Tinggalkan- lah anak saudaraku ini!". Kemudian beliau menyambung : "Mari kemari, wahai anak saudaraku!".



Anak muda itu merasa malu. Lalu datang kepadanya. Dan beliau pegang dia. Kemudian berkata kepadanya : "Mari bersama aku!". Anak muda itu pergi bersama beliau. Sehingga sampailah ke rumah­nya. Lalu beliau suruh masuk ke rumah. Dan mengatakan kepada sebahagian pelayan-pelayannya : "Rumahnya pada engkau. Apa­bila ia sembuh dari mabuknya, maka beritahukan kepadanya apa yang terjadi pada dirinya! . Dan jangan engkau biarkan ia pergi, sebelum ia datang menjumpai aku!".



Maka tatkala anak muda itu telah sembuh dari mabuknya, lalu diterangkan kepadanya apa yang telah terjadi. Maka anak muda itu malu dan menangis. Dan bermaksud meninggalkan tempat itu. Lalu pelayan yang diserahkan menjaga anak muda itu, berkata : "Tuan rumah meminta engkau datang menemui beliau". Anak muda itupun dibawa masuk. Lalu Ibnu 'A-isyah (tuan rumah) mengatakan kepadanya : "Apakah tidak engkau malu bagi dirimu sendiri? Apakah tidak engkau malu bagi kehormatanmu? Apakah tidak engkau lihat, siapakah yang menjadi bapakmu? Bertaqwalah kepada Allah! Tariklah dirimu dari pekerjaan yang engkau laku-; kan!".

Anak muda itu menangis, menunggingkan kepalanya. Kemudian,ia mengangkatk^in kepalany a dan berkata : "Aku berjanji dengan Allah Ta'ala suatu janji, yang akan ditanyakan-Nya aku dari janji itu pada hari qiamat. Bahkan aku tiada akan kembali lagi meminum anggur dan suatttpun dari pekeijaan yang aku lakukan sekarang. Aku bertaubat".

Ibnu 'A-isyah menjawab : "Dekatlah kepadaku kemari!".

Lalu beliau peluk kepalanya dan berkata : "Engkau telah menjadi

baik, wahai anakku".

778

Sesudah itu, anak muda itu selalu bersama beliau dan menulis hadits daripadanya. Yang demikian itu, adalah dengan barakah kelemah-lembutannya.



Kemudian Ibnu 'A-isyah berkata : "Bahwa manusia itu meuyuruh berbuat perbuatan baik dan melarang berbuat perbuatan buruk. Dan perbuatan baik mereka adalah perbuatan buruk. Maka harus­lah kamu dengan lemah-lembut pada semua urusanmu, niscaya kamu akan memperoleh apa yang kamu cari". Dari Al-Fath bin Syakhraf, yang menceriterakan : "Seorang laki- laki tersangkut hatinya dengan seorang wanita. Dia datang kepada wanita itu dan di tangannya sebilah pisau. Tiada seorangpun yang mendekatinya, melainkan akan disembelihnya dengan pisau itu". Laki-laki itu berbadan kuat. Maka dalam keadaan yang demikian dan wanita tersebut berteriak-teriak dalam tangannya, tiba-tiba Bisyr bin Al-Harits, lalu di situ. Beliau mendekati laki-laki itu dan tersenggol bahunya dengan bahu orang itu. Maka laki-laki itu jatuh tersungkur ke bumi dan Bisyr terus berjalan. Lalu orang banyak mendekati laki-laki itu, di mana badannya basah oleh banyak keringat. Dan wanita tadi lalu dalam keadaan biasa saja. Orang banyak bertanya kepada laki-laki itu : "Bagaimana keadaanmu?".



Laki-laki tersebut menjawab : "Tidak tahu! Hanya aku, disenggol oleh seorang tua dan berkata kepadaku : 'Bahwa Allah 'Azza wa Jalla melihat kepadamu dan kepada apa yang kamu kerjakan'. Maka lemahlah kedua tapak kakiku karena perkataannya. Aku sangat takut kepadanya. Dan aku tiada tahu, siapakah orang laki- laki tersebut?".



Lalu orang banyak mengatakan kepadanya : "Dia itu Bisyr bin Al-Harits".

Maka laki-laki itu mengeluh : "Alangkah kejinya, bagaimanakah beliau akan memandang kepadaku sesudah hari ini". Dari hari itu orang tadi tertimpa penyakit demam dan meninggal dunia pada hari ketujuhnya.



Begitulah adat kebiasaan ahli Agama melaksanakan hisbah. Dan telah kami nukilkan atsarAan akhbar pada "Bab Marah Pada Jalan Allah" dan "Kasih Sayang Pada Jalan Allah" dari "Kitab Adab BertemanMaka tiada kami perpanjangkan lagi dengan mengulanginya.



Inilah kesempurnaan pandangan tentang tingkat-tingkat dan adab- adab hisbah. Kiranya Allah menganugerahkan taufiq dengan kurnia- Nya. Dan segala pujian bagi Allah atas sekalian nikmat-Nya.

779


Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...