Kitab Amar Ma'ruf Dan Nahi Mungkar
كتاب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
وهو الكتاب التاسع من ربع العادات الثاني من كتب إحياء علوم الدين
بسم الله الرحمن الرحيم
KITAB AMAR
MA'RUF DAN NAHI MUNKAR
Yaitu Kitab Kesembilan dari
Rubu' Adat Kedua dari Kitab Ihya' - Ulumiddin.
(Dengan nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Pengasih)
Segala pujian bagi Allah, yang
tidaklah dimulai kitab-kitab, kecuali dengan memiijikan-Nya. Dan tidaklah
dianugerahi ni'mat-ni'mat, kecuali dengan perantaraan kemurahan dan keluasan
anugerah-Nya. Dan shalawat kepada penghulu nabi-nabi, yaitu Muhammad, rasul-
Nya dan hamba-Nya. Dan kepada keluarganya yang baik dan shahabat-shahabatnya
yang suci sesudahnya.
Adapun kemudian, maka
sesungguhnya amar-ma’ruf (menyuruh berbuat kebajikan) dan nahi-munkar (melarang
berbuat yang munkar), adalah garis lurus yang terbesar dalam Agama. Yaitu hal
yang penting, di mana Allah mengutuskan nabi-nabi semuanya untuk itu.
Jikalau dilipatkan permadaninya dan disia-siakan ilmu dan amalannya, niscaya
kosonglah syi'ar kenabian. Tersapulah keagamaan. Meratalah masa
kekosongan. Berkembanglah kesesatan. Terkenallah kebodohan. Menjalarlah
kerusakan.Meluaslah kekoyakan. Runtuhlah negeri-negeri. Dan binasalah hamba
rakyat. Dan mereka itu tiada merasa kebinasaan, melainkan pada hari qiyamat.
Sesungguhnya yang kita takutkan itu, akan ada. Maka sesungguhnya kita
kepunyaan Allah dan kita kembali kepada-Nya (Innaa- lillaahi wa innaa ilaihi
raaji-'uun). Karena telah terhapus dari garis lurus (amar-ma'ruf dan
nahi-munkar) itu, amalan dan ilmunya. Dan terpupuslah secara keseluruhan,
hakikat dan gambarannya. Lalu berkuasalah (pada hati,
berminyak-minyakan air dengan makhluq. Dan terhapuslah dari hati muraqabah
dengan Khaliq. Terlepaslah manusia kepada mengikuti hawa-nafsu dan syahwat,
sebagaimana terlepasnya hewan-hewan. Dan sedikitlah di atas permukaan bumi,
orang mu'min yang benar, yang tidak terpengaruh karena Allah oleh cacian orang
yang mencacikan.-
Maka orang yang berusaha
memperoleh kembali keKosongan ini dan menyumbatkan kerusakan tersebut,
adakalanya menanggung mengerjakannya. Atau mengikuti melaksanakannya. Memperba-
harui sunnah ini yang telah berhamburan. Bangun menegakkannya dan bersungguh-sungguh
menghidupkannya. Maka orang itu adalah orang yang tertentu dari antara makhluq,
dengan menghidupkan sunnah, yang telah dibawai "oleh. zaman kepada
mematikannya.
692
|
Bekerja berbuat tha'at yang
semakin kecil derajat mendekatkan diri kepada Allah, tanpa sampai kederajatnya
yang tertinggi. Marilah kami menguraikan pengetahuan amar-ma'ruf dan
nahi-munkar itu dalam empat bahagian :
Bab Pertama tentang : wajib
amar-ma'ruf dan nahi-murikar dan keutamaannya.
Bab Kedua tentang : rukun dan
syaratnya.
Bab Ketiga tentang : perlakuan
dan penjelasan munkar-munkar yang berlaku dalam adat-kebiasaan.
Bab Ke-empat tentang : menyuruh
amir-amir dan sultan-sultan mengerjakan ma'ruf dan melarang mereka dari
perbuatan munkar.
693
|
bab pertama
Tentang wajib amar-ma'ruf dan nahi- munkar dan keutamaannya. Dan celaan
menyia-nyiakan dan mening galkannya.
Dalil kepada yang demikian,
sesudah ijma' ummat dan petunjuk akal yang sehat, iaiah ayat Al-Qur-an, hadits
Nabi saw. dan atsar (peninggalan shahabat-shahabat ra.). Adapun ayat Al-Qur-an,
yaitu firman Allah Ta'ala :
ولتكن
منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
(Wal-takum minkum ummatun
yad-'uuna ilal-khairi waya'-muruuna bil- ma'-ruufi wa yanhauna 'anil-munkari,
wa ulaa-ika humul-muflihuun).Artinya : "Hendaklah kamu tergolong ummat
yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang
membuat yang salah. Mereka itulah orang yang beruntung (menang) (S. 'Ali
'Imran, ayat 104).
Pada ayat tersebut keterangan
pengwajiban. Karena firman Allah Ta'ala : "Hendaklah kamu
(Waltakun
ولتكن) itu amar (menyuruh atau perintah). Secara
dzahiriah amar itu pengwajiban. Dan pada ayat tersebut keterangan, bahwa
keberuntungan (kemenangan) tergan tung dengan pengwajiban tadi. Karena Allah
Ta'ala membatasi dan berfirman : "Mereka itulah orang yang beruntung
(menang)". Pada ayat tersebut keterangan, bahwa amar-ma'ruf dan
nahi- munkar itu fardlu-kifayah. Tidak fardlu 'ain. Dan apabila telah bangun
suatu golongan melaksanakan amar-ma'ruf dan nahi-munkar, niscaya gugurlah
fardlu itu dari yang lain. Karena Allah Ta'ala tidak berfirman : "Hendaklah.
kamu, tiap-tiap kamu beramar-ma'ruf!".
Tetapi la berfirman :
"Hendaklah kamu tergolong ummat''. Jadi, manakala telah
bangun seorang atau suatu jama'ah dengan tugas itu, niscaya gugurlah dosa dari
orang-orang lain. Dan terten- tulah keberuntungan (kemenangan) bagi orang-orang
yang bangun melaksanakannya. Dan jikalau duduklah semua orang, tidak melaksanakan-amar-ma'ruf
dan nahi-munkar, niscaya meratalah dosa kepada keseluruhan — tidak mustahil —
orang-orang yang sanggup beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar itu.
Allah Ta'ala berfirman :
"Mereka tidak sama. Diantara orang-orang keturunan Kitab itu ada golongan
yang lurus dan mereka membaca ayat-ayat (keterangan-keterangan) Allah di tengah
malam dan
mereka sujud (kepada Allah).
Mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka menyuruh mengerjakan yang
benar dan melarang membuat yang salah dan menyegerakan mengerjakan perbuatan
baik. Mereka itulah yang termasuk orang yang baik-baik' (S. 'Ali 'Imran, ayat 113 -114).
694
|
Allah Ta'ala tidak mengakui
mereka termasuk orang yang baik- baik, dengan semata-mata beriman kepada Allah
dan hari akhirat, sebelum ditambahkan-Nya kepada keimanan itu, amar-ma’ruf dan
nahi-munkar. Allah Ta'ala berfirman :
والمؤمنون
والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة
(Wal-mu'-minuuna wal-mu'-minaatu
ba'-dluhum au liyaa-u ba'-dlin, ya'-muruuna bil-ma'ruufi wa yanhauna
'anil-munkari wa yuqiimuu- nash-shalaata).Artinya : "Dan orang-orang
yang beriman laki-laki dan orang- orang yang beriman perempuan, mereka satu
sama lain pimpin-memimpin. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik, melarang mengerjakan
yang salah, mereka tetap mengerjakan shalat". (S. At- Taubah, ayat 71).
Allah Ta'ala menyifatkan
orang-orang mu'min, bahwa mereka itu menyuruh mengerjakan yang baik
(amar-ma'ruf) dan melarang mengerjakan yang salah (nahi-munkar). Maka orang
yang meninggalkan amar-ma'ruf dan nahi-munkar itu keluar dari orang-orang
mu'min yang disifatkan pada ayat tadi.
Allah Ta'ala berfirman :
"Orang-orang yang tidak beriman dari Bani Israil kena kutukan lidah
Daud dan Isa Anak Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan melanggar
aturan. Mereka satu sama lain tidak melarang dari perbuatan salah yang mereka
kerja- kan ;
sesungguhnya amat buruk yang mereka perbuat(S. Al- Maidah, ayat 78 - 79).
695
|
Dan yang tersebut pada ayat tadi
adalah sangat keras. Karena menerangkan sebabnya mereka berhak mendapat
kutukan, ialah disebabkan mereka meninggalkan nahi-munkar. Allah 'Azza wa
Jalla berfirman :
كنتم
خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
(Kuntum khaira ummatin ukhrijat
linnaasi, ta'-muruuna bil-ma'ruufi wa tanhauna 'anil-munkari).
Artinya :
"Kamu adalah ummat yang paling baik, yang dilahirkan untuk kepentingan
manusia, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang membuat yang salah
". (S. 'Ali-'Imran, ayat 110).
Ini menunjukkan kepada keutamaan
amar-ma'ruf dan nahimunkar. Karena menerangkan bahwa mereka adalah ummat yang
paling baik, yang dilahirkan untuk kepentingan manusia. Allah Ta'ala berfirman
: "Dan setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada
mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari membuat kesalahan dan
kami siksa orang-orang yang aniaya itu dengan siksaan yang mengerikan,
disebabkan mereka berlaku jahat".' (S. Al-A'raf, ayat 165).
Keterangan di atas ini
menerangkan bahwa mereka memperoleh faedah keselamatan (kelepasan) dengan
melarang dari membuat 'kejahatan. Yang demikian itu menunjukkan juga kepada
wajib. Allah Ta'ala berfirman :
الذين
إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر
(Alladziina in makkannaahum
fil-ardli, aqaamush-shalaata wa ata- wuz-zakaata wa amaruu bil-ma'-ruufi wa
nahau 'anil-munkari), Artinya : "Orang-orang yang jika Kami diamkan
(tempatkan). di muka bumi, mereka tetap mengerjakan shalat dan membayarkan
zakat dan menyuruh mengerjakan perbuatan baik dan melarang perbuatan yang salah
(S. Al-Hajj, ayat 41).
Ayat ini menyertakan amar-ma'ruf
dan nahi-munkar itu dengan shalat dan zakat pada menyifatkan orang-orang shalih
dan orang- orang mu'min. Allah Ta'ala berfirman :
(Wa ta-'aawanuu 'alal-birri
wat-taqwaa wa laa ta-'aawanuu 'alal- itsmi wal-'udwaani).Artinya
: "Hendaklah kamu tolong-menolong dalam mengerjakan pekerjaan baik
dari memelihara diri (dari kejahatan) dan janganlah bantu-membantu dalam
mengerjakan dosa dan pelanggaran hu- kum (S. Al-Maidah, ayat 2).
Dan itu adalah perintah yang
tegas. Dan pengertian bantu-memban- itu ialah menggerakkan kepadanya.
Memudahkan jalan kebajikan. Dan menyumbat jalan kejahatan dan permusuhan,
menurut kemungkinan.
696
|
Allah Ta'ala berfirman :
"Mengapa mereka tidak dilarang oleh ahli-ahli ilmu Ketuhanan dan
pendeta-pendeta dari mengucapkan perkataan dosa dan memakan yang haram?
Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan(S. Al-Maidah, ayat 63).
Maka diterangkan bahwa mereka itu berdosa dengan meninggalkan nahi-munkar.
Allah Ta'ala berfirman
: "Mengapa tidak diperdapat dari angkatan (turunan) yang dahulu dari
kamu, orang-orang yang mempunyai sisa-sisa (perasaan kesadaran), yang akan
melarang manusia membuat bencana di muka bumi, selain sebagian kecil saja dari
orang- orangyang telah Kami selamatkan (S. Hud, ayat 116).
Maka diterangkan bahwa Allah
Ta'ala membinasakan semua mereka, selain sedikit yang ada melarang manusia
membuat bencana. Allah Ta'ala berfirman :
يا
أيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على انفسكم أو الوالدين والاقربين وذلك هو الأمر بالمعروف للوالدين والأقربين
(Yaa-ayyuhalladziina aamanuu
kuunuu qawwaamiina bil-qisthi syuhadaa-a lillaahi walau-'alaa anfusikum
awil-waalidaini wal-aqrabiin).Artinya : "Hai orang-orang yang beriman!
Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang kuat menegakkan keadilan, menjadi
saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapamu
dan kerabatmu(S. An-Nisa', ayat 135).
Yang demikian adalah amar-ma'ruf
bagi ibu-bapa dan kerabat. Allah Ta'ala berfirman: "Tiadalah
mendatangkan kebaikan banyak nya rapat-rapat rahasia mereka, tetapi yang
mendatangkan kebaikan orang-orang yang menyuruh bersedekah, menyuruh berbuat
baik atau menyuruh mendamaikan manusia. Barangsiapa yang mengerjakan itu,
karena mengharapkan keredaan Allah, akan Kami berikan kepadanya pahala yang
besar(S. An-Nisa', ayat 114).
Allah Ta'ala berfirman
وإن
طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما
(Wa in thaa-ifataani
minal-mu'-miniinaq-tataluu fa-ash lihuu bat nahumaa).Artinya : "Dan kalau
ada dua golongan dari orang-orang yang beriman itu berperang-perangan,
hendaklah kamu damaikan antara keduanya/" (S. Al-Hujurat, ayat 9).
697
|
Mendamaikan
ialah melarang dari memberontak dan mengembali- kan kepada kepatuhan (ketha'atan). Kalau
tidak berbuat demikian maka Allah Ta'ala memerintahkan memeranginya, dengan
firman- Nya :
فقال
فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله
(Faqaatilullatii tabghii hattaa
tafii-a ilaa amrillaahi). Artinya : ‘Maka perangilah yang melanggar
perjanjian sampai surut, kembali kepada-perintah Allah!". (S. Al-Hujurat,
ayat 9). Dan itu adalah larangan berbuat yang salah (munkar).
Adapun hadits,
diantaranya yang diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., bahwa beliau
berkata pada suatu pidato yang dipidatokannya sesudah menjadi khalifah :
"Hai manusia!". Sesungguhnya kamu membaca ayat ini dan
menta'wilkannya bersalahan dari ta'wilannya, yaitu ayat:
يا
أيها الذين آمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم
(Yaa-ayyuhalladziina aamanuu
'alaikum anfusakum laa yadlur- rukum man dlalla idzah-tadaitum).Artinya : "Hai
orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu! Tidaklah akan membahayakan kepadamu
orang yang sesat itu kalau kamu ada menurut jalan yang benar". (S.
Al-Maidah, ayat 105). Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda : "Tiadalah dari suatu kaum yang berbuat perbuatan ma'shiat
dan dalam kalangan mereka ada orang yang sanggup menantang mereka itu, lalu
tiada berbuat, melainkan hampirlah mereka diratakan oleh Allah dengan azab
daripada-Nya ".
698
|
Diriwayatkan dari Abu Tsa'labah
Al-Khasyani, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw. tentang
tafsir firman Allah Ta'ala : "Tidaklah akan membahayakan kepadamu
orang yang sesat itu, kalau kamu ada menurut jalan yang benar". (S.
Al-Maidah, ayat 105) di atas, lalu Rasulullah saw. menjawab : "Hai
Abu Tsa'labah! Suruhlah berbuat perbuatan yang baik dan laranglah berbuat
perbuatan yang jahat! Apabila engkau melihat kikir yang dituruti, hawa-nafsu
yang diikuti, dunia yang dipilih dan ketakjuban masing- masing orang dengan
pendapatnya sendiri, maka haruslah engkau tinggal sendirian
dan tinggalkanlah orang-orang awam! Sesungguhnya,
di belakangmu itu banyak fitnah, seperti memutuskan malam yang amat gelap, bagi
orang yang berpegang padanya seperti yang kamu padanya, memperoleh lima puluh pahala daripada
kamu".
Lalu
ada yang bertanya : "Bahkan. dari mereka
itu, wahai Rasulullah?'
Rasulullah
saw. menjawab: "Tidak! Tetapi daripada
kamu. Karena kamu memperoleh pembantu-pembantu untuk menyuruh mengerjakan
kebaikan.. Dan mereka itu tiada memperoleh pembantu- pembantu untuk yang
demikian". (1)
Ditanyakan Ibnu Masud ,
ra. tentang penafsiran ayat tadi (ayat 105 S. Al-Maidah), lalu beliau menjawab
: "Bahwa ini bukanlah zamannya ayat itu. Bahwa ayat itu
pada hari ini diterima. Tetapi hampir'Iah akan datang zamannya, di mana kamu
menyuruh mengerjakan perbuatan yang baik. Lalu diperbuat kepadamu
begini-begitu dari kejahatan. Dan kamu berkata menyuruh berbuat kebajikan,
tetapi tidak diterima daripada kamu itu. Maka ketika itu, haruslah kamu menjaga
dirimu sendiri. Tiada akan mendatangkan kemelaratan kepadamu oleh orang yang
sesat, apabila kamu telah memperoleh petunjuk".
Rasulullah
saw. bersabda : "Hendaklah kamu
menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan atau
dikeraskan oleh Allah kepadampi akan orang-orang jahat kamu. Kemudian orang-orang
baik kamu melakukan seruan (daywah), tetapi seruan mereka itu tiada
diterima". (2) Artinya : hilang kehebatan mereka pada pandangan
orang-orang jahat. Mereka itu tiada takut kepada orang-orang baik itu.
Nabi saw. bersabda: "Hai
manusia! Sesungguhnya Allah berfirman: 'Hendaklah kamu menyuruh mengerjakan
kebaikan dan melarang mengerjakan kejahatan, sebelum kamu melakukan da'wah, di
mana nanti tiada akan diterima seruanmu".(3)
Nabi saw. bersabda :
"Tiadalah amal kebajikan pada sisi jihad fi sabilillah, selain seperti
sekali ludah dalam lautan luas. Dan tiadalah semua amal kebajikan dan jihad fi
sabilillah pada sisi amar-ma'ruf dan nahi-munkar, melainkan seperti sekali.
ludah dalam lautan luas". (4)
1.Dirawikan Abu Dau'Ud dan Al-Tirmidzi dan
dipandattgnya, hadits hasan.
|
2.Dirawikan Al-Bazzar dari
'Uinar bin Al-Khaihthab dan Ath-Thabrani dari Abu Hurairah. Keduanya dla'if.
|
3.Dirawikan Ahmad dan
Al-Baihaqi dari 'A-isyah.
|
4.Dirawikan Abu Mansliur
Ad-Dailami dari Jabir, dengan sanad dia'if.
|
699
|
Nabi saw.
bersabda :
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menanyakan hamba-Nya : "Apakah
yang mehghalangi engkau ketika engkau melihat perbuatan munkar untuk
melarangnya?". Apabila Allah Ta'ala mengajarkan kepada hamba akan
alasannya, lalu hamba itu berkata : Wahai Tuhanku! Aku percaya akan Engkau dan
aku memisahkan diri dari manusia". (1)
Nabi saw. bersabda :
"Jagalah dirimu dari duduk di jalan!".
Rasulullah saw. menjawab :
"Apabila kamu enggan, kecuali demikian, maka berilah kepada jalan itu
haknya!".
Mereka itu bertanya :
"Apakah hak jalan itu?".
Rasulullah saw. menjawab
: "Memicingkan mata, mencegah menyakitkan orang,
menjawab salam. beramar-ma'iuf dan bernahi-munkar". (2)
Nabi saw. bersabda :
كلام
ابن آدم كله عليه لا له إلا أمرا بمعروف أو نهيا عن منكر أو ذكرا لله تعالى
(Kalaamub-ni aadama kulluhu
'alaihi, laa lahu, illaa amran bi-ma'- ruufin au nahyan 'an munkarin au
dzikrallaahi ta'-aalaa).Artinya : "Perkataan Anak Adam (manusia )
semuanya ke atasnya (memberatkannya), tidak untuknya (menguntungkannya),
kecuali amar-ma'ruf atau nahi-munkar atau dzikir kepada Allah Ta'ala". (3)
Nabi saw. bersabda :
إن
الله لا يعذب الخاصة بذنوب العامة حتى يرى المنكر بين أظهرهم وهم قادرون على أن ينكروه فلا ينكرونه
(Innallaaha laa yu-‘adz-dzibul-khaash-shata
bidzunuubU-'aammati, hattaa yural-munkaru baina adh-hurihim wa hum qaadiruuna
'alaa an yunkiruuhu, fa laa yunkiruunahu).Artinya : "Allah Ta'ala tiada
menyiksa oran gpilihan (orang khawwash) disebabkan dosa orang awam, kecuali kejahatan
perbuatan munkar di hadapan mereka dan mereka sanggup melarangnya, lalu tidak
dilarangnya". (4)
Abu Amamah Al-Bahili
meriwayatkan dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. bertanya: "Bagaimanakah
sikapmu, apabila isterimu durhaka, pemuda-pemudamu fasiq dan kamu meninggalkan
jihad?".
(1) Dirawikan Ibnu Maj'ah dan hadits ini
sudah diterangkan dahulu.
|
(2) Dirwikan
Al-Sukhari dan Muslim dari Abi Sa-id.
|
(3) Hadits
ini sudah diterangkan dahulu.
|
(4) Dirawikan
Ahmad dari 'Uda bin 'Utnairah.
|
700
|
Abu Amamah Al-Bahili
meriwayatkan dari Nabi saw., bahwa Nabi saw. bertanya: "Bagaimanakah
sikapmu, apabila isterimu durhaka, pemuda-pemudamu fasiq dan kamu meninggalkan
jihad?".
Rasulullah saw. menjawab :
"Ada ! Demi
Allah yang nyawaku ditangan-Nya! Yang lebih berat dari itu akan ada".
Lalu mereka bertanya :
"Apakah yang lebih berat daripadanya, wahai Rasulullah?".
Rasulullah saw. menjawab :
"Bagaimanakah kamu apabila tidak beramar-ma'ruf dan
bernahi-munkar?".
Mereka itu bertanya lagi :
"Adakah yang demikian, wahai Rasulullah?".
Rasulullah saw. menjawab :
"Ada !
Demi Allah yang nyawaku ditangan-Nya. Yang lebih berat dari itu akan ada".
Mereka itu bertanya pula :
"Apakah yang lebih berat dari itu?".
Rasulullah saw. menjawab :
"Bagaimanakah kamu, apabila kamu melihat yang ma'ruf (baik) menjadi
munkar (jahat) dan yang munkar menjadi ma'ruf?". ,
Mereka itu bertanya pula :
"Adakah yang demikian itu, wahai Rasulullah?".
Rasulullah saw. menjawab :
"Ada ! Demi
Allah yang nyawaku ditangan-Nya. Yang lebih berat itu akan ada!".
Mereka itu bertanya :
"Apakah yang lebih berat dari itu?".
Rasulullah saw. menjawab : "Bagaimanakah
kamu, apabila kamu menyuruh mengerjakan munkar dan melarang mengerjakan ma'ruf?".
Mereka itu bertanya:
"Adakah yang demikian, wahai Rasulullah?".
Nabi saw. menjawab :
"Ada ! Demi
Allah,yang nyawaku ditangan Nya. Yang lebih berat dari itu akan ada. Allah
Ta'ala berfirman 'Dengan kebesaran-Ku
Aku bersumpah. Sesungguhnya Aku taqdir kan bagi mereka fitnah, di mana orang
yang penyantun menjadi heran padanya'".(1)
Dari 'Akramah, dari Ibnu 'Abbas
ra., di mana Ibnu 'Abbas itu berkata : "Rasulullah saw. bersabda :
'Jangan kamu berdiri di sisi laki-laki yang membunuh orang teraniaya’
Sesungguhnya kutukan itu akan turun ke atas orang yang hadlir dan tidak menolak
kedza- liman itu. Dan jangan engkau berdiri di sisi laki-laki yang memukul
orang yang teraniaya! Karena kutukan itu akan turun keatas orang yang hadlir
dan tidak menolak kedzaliman itu' " (2)
(1) Dirawikan Ibnu 'Abid-Dun-ya, dengan
isnad dia'if.
|
(2) Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu
Abbas, dengan sanad dla'if.
|
701
|
Ibnu 'Abbas ra. berkata :
"Rasulullah saw. bersabda :
لا
ينبغي لامرئ شهد مقاما فيه حق إلا تكلم به فإنه لن يقدم أجله ولن يحرمه رزقا هو له
(Laa yanbaghii limri=in syahida
muqaaman fiihi haqqun illaa takal- lama bihi fa-innahu lan yuqaddima ajalahu wa
lan yuhrimahu rizqan huwa lahu).Artinya : "Tiada seyogialah bagi
manusia yang menyaksikan suatu tempat, yang padanya ada kebenaran, melainkan mengatakan
kebenaran itu. Karena sesungguhnya yang demikian tiada akan mendahulukan
ajalnya dan tidak akan menghalangi rezeki yang teruntuk baginya(1)
Hadits ini menunjukkan bahwa
tidak boleh masuk ke rumah orang- orang dzalim, orang-orang fasiq. Dan tidak
boleh menghadliri tempat-tempat yang akan dipersaksikan perbuatan munkar padanya.
Dan ia tidak sanggup merobahnya. Karena Nabi saw. bersabda : "Kutukan itu
akan turun kepada orang yang menghadlirinya". Dan tidak boleh menyaksikan
perbuatan munkar, tanpa ada keper- luan, dengan beralasan lemah dari
mencegahnya. Karena inilah segolongan dari ulama terdahulu (ulama salaf )
memilih 'uzlah. Karena dilihat mereka perbuatan munkar di pasar-pasar,
hari-hari Raya dan tempat-tempat perkumpulan. Dan mereka itu lemah daripada
merobahnya. Dan ini menghendaki harusnya meninggalkan bergaul dengan orang
banyak.
Karena inilah 'Umar bin
'Abdul-'aziz ra. berkata : "Tiada mengembara para pengembara dan
meninggalkan kampung dan anak-anak mereka, kecuali disebabkan seperti apa yang
terjadi pada kita, ketika melihat kejahatan telah timbul dan kebajikan telah
terbenam. Dan mereka melihat bahwa tidak diterima perkataan dari orang yang
berkata benar. Dan melihat bermacam-macam fitnah dan tidak merasa aman dari
teriibat mereka padanya. Dan azab (bencana) akan turun kepada kaum itu, lalu
tidak akan selamat dari bencanaitu".
Maka mereka melihat bahwa
bercampur-baur dengan binatang buas dan memakan sayur-sayuran adalah lebih baik
dari bercampur-baur dengan mereka itu di dalam keni'matan".
(1) Dirawikan Al-Baihaqi dari Ibnu AbbasaDan
dirawikan At-Tiirnidzi dan dipandangnya hadits hasan.
|
702
|
Kemudian, 'Umar bin 'Abdul-'aziz
membaca ayat:
ففروا
إلى الله إني لكم منه نذير مبين
(Fa firruu ilallaahi innii lakum
minhu nadziirun mubiin). Artinya : "Sebab itu, segeralah pergi
kepada Allah; sesungguhnya aku pemberi peringatan yang terang dari Allah kepada
kamu!". (S. Adz-Dzariyat, ayat 50).
'Umar bin 'Abdul-'aziz
menyambung : "Lalu suatu kaum itu pergi. Jikalau tidaklah Allah Ta'ala —
maha besar pujian kepada-Nya — menjadikan rahasia pada kenabian, sesungguhnya
kami akan mengatakan, bahwa tidaklah para nabi itu lebih utama daripada kaum
itu, tentang apa yang sampai kepada kami, bahwa para malaikat as. berjumpa dan
berjabatan tangan dengan mereka. Awan dan bina- tang buas lalu pada salah
seorang dari mereka. Maka orang itu memanggilnya. Maka awan dan binatang buas
itu menyahud akan panggilannya. Dan orang itu bertanya kepadanya : "Di manakah
engkau suruh?". Awan dan binatang buas itu menerangkan kepadanya, sedang
orang itu bukan nabi.
Abu Hurairah ra. berkata :
"Rasulullah saw. bersabda : Barang siapa hadlir pada perbuatan
ma'shiat, tetapi tiada menyukainya, maka seakan-akan ia tidak datang pada
perbuatan ma'shiat itu. Dart barangsiapa tiada, datang pada perbuatan ma'shiat,
tetapi menyukainya, maka seakan-akan ia hadlir pada perbuatan ma'shiat
itu" (1) Arti hadits tadi, ialah ia hadlir karena ada keperluan. Atau
kebetulan terjadinya perbuatan munkar itu di hadapannya. Adapun hadlir dengan
disengaja itu terlarang, berdalilkan hadits pertama di atas.
(1)
Dirawikan Ibnu 'Uda dari Abu Hurairah.
|
703
|
Ibnu Mas-ud ra. berkata :
"Rasulullah saw. bersabda : Allah 'Azza wajalla tiada mengutuskan
seorang nabi, melainkan nabi itu mempunyai pembantu-pembantu (hawary). Maka
Nabi itupun berdiri di tengah-tengah mereka
ma sya'allaah— berbuat pada mereka menurut Kitab
Allah dan perintah-Nya. Sehingga apabila Allah
mengambil (mewafatkan) nabi-Nya, niscaya para pembantu itu bangun bekerja
menurut kitab Allah dan perintah-Nya dan sunnah nabi mereka. Apabila mereka
telah habis binasa maka sesudah mereka,
ada suatu kaum yang naik di atas mimbar, mengatakan apa yang mereka pandang
baik (berkata yang ma'ruf) dan berbuat apa yang
mereka pandang buruk (berbuat yang munkar).
Apabila kamu melihat yang demikian, maka berhaklah di atas tiap-tiap orang
mu’min berjihad menantang mereka dengan tangannya. Jikalau tidak sanggup, maka
dengan lidahnya. Dan jikalau tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan tidaklah
lagi dibalik itu Islam ". (1)
Ibnu
Mas'ud ra. berkata : "Adalah penduduk suatu
kampung berbuat perbuatan ma'shiat. Dan ada pada mereka empat orang yang
menantang apa yang diperbuat mereka itu. Salah seorang dari yang empat itu
bangun dan berkata :''Bahwasanya kamu berbuat begini begitu dari perbuatan
jahat'". Lalu orang tersebut melarang mereka dan menerangkan kejinya
apa yang diperbuat mereka. Lalu mereka itu menolak dan tidak berhenti dari
perbuatan mereka yang jahat itu. Maka orang itu memaki mereka lalu merekapun
memaki orang itu, Orang itu memerangi mereka, lalu mereka mengalahkan orang
itu.
Maka
orang itupun mengasingkah diri (ber-'uzlah). Kemudian berdo'a : "Wahai
Allah Tuhanku! Bahwasanya aku telah melarang mereka. Tetapi mereka tiada
mematuhi akan aku. Aku memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Aku memerangi
mereka, lalu mereka mengalahkan aku". Kemudian orang itupun pergi
Kemudian bangun yang lain. Lalu melarang mereka. Tetapi mereka itu tiada
mematuhinya. Maka ia memaki mereka itu, lalu mereka itu memakinya. Orang itupun
lalu mengasingkan diri. Kemudian berdo'a, : Wahai Allah Tuhanku! Bahwasanya aku
telah melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhi akan aku. Aku
memaki mereka, lalu mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya
mereka mengalahkan aku". Kemudian orang itupun pergi......................................
Kemudian bangun orang ketiga.
Lalu. melarang mereka itu. Tetapi mereka itu tiada mematuhinya. Maka orang
itupun mengasiiigkan diri. Kemudian berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku!
Bahwasanya aku telah melarang mereka, .tetapi mereka tiada mematuhi akan aku.
Jikalau aku memaki mereka, niscaya mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi
mereka, niscaya mereka mengalahkan aku". Kemudian orang itupun pergi.
Kemudian, bangun orang ke-empat,
lalu berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Bahwasanya jikalau aku melarang
mereka, niscaya mereka mendurhakai aku. Jikalau aku memaki mereka, niscaya
mereka memaki aku. Jikalau aku memerangi mereka, niscaya merka mengalahkan aku
" Kemudian, orang itupun pergi.........,
(1)
Dirawikan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
|
704
|
Berkata Ibnu Mas'ud ra. :
"Orang ke-empat itu adalah yang paling rendah derajatnya. Dan sedikitlah
dalam kalangan kamu orang yang seperti itu".
Ibnu 'Abbas ra. berkata :
"Ada orang
yang bertanya kepada Nabi saw. : 'Wahai Rasulullah! Adakah dibinasakan kampung
dan pada kampung itu, ada orang-orang shalih?' ". Rasulullah saw. menjawab
: "Ada !".
Yang bertanya itu bertanya lagi
: "Disebabkan apa, wahai Rasulullah?".
Rasulullah saw. menjawab :"Disebabkan
mereka memandang mudah dan berdiam diri daripada melarang perbuatan yang
mendurhakai Allah Ta'ala". (1)
Jabir bin Abdullah berkata
: "Rasulullah saw. bersabda : 'Allah Ta'ala mewahyukan kepada malaikat:
'Bahwa balik kanlah kota
anu dan kota
anu ke atas penduduknya' Lalu malaikat itu menjawab : "Wahai Tuhanku!
Sesungguhnya dalam kalangan mereka itu ada hamba Engkau si Polan, yang tidak
mendurhakai akan Engkau sekejap matapun".
Allah Ta'ala berfirman :
"Balikkanlah kota
itu ke atas hamba itu dan ke atas mereka! Sesungguhnya mukanya tiada berobah
sekali- kali se-sa'at-pun". (2)
'A-isyah ra. berkata :
"Rasulullah saw. bersabda: 'Disiksakan penduduk suatu kampung, di mana
padanya delapan belas ribu orang, yang perbuatan mereka itu perbuatan nabi-nabi
". Lalu para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah! Bagaimanakah maka
demikian?".
Rasulullah saw. menjawab :
"Tiadalah mereka itu marah karena Allah. Tiada menyuruh mengerjakan yang
baik dan tiada melarang dari perbuatan jahat". (3)
Dari 'Urwah, dari bapaknya, yang
mengatakan : "Nabi Musa as. bertanya kepada Tuhan : 'Wahai
Tuhanku! Manakah hamba-Mu yang lebih Engkau cintai?' ".
Allah Ta'ala berfirman :
"Yang bersegera kepada keinginan-Ku, sebagaimana bersegeranya elang kepada
keinginannya. Yang mem beratkan dirinya disebabkan hamba-Ku yang shalih-shalih,
sebagai-
1.Dirawikan Al-Bazzar dan Ath-Thabrani,
dengan sanad dla'if.
|
2.Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dan
dipandangnya dla'if.
|
3.Menurut Al-Iraqi, beliau
tidak menjumpai sebagai hadits marfu'.
|
705
|
mana anak kecil memberatkan
dirinya dengan tetek ibunya. Dan yarig marah apabila dikerjakan orang
perbuatan-perbuatan yang Aku haramkan, sebagaimana marahnya harimau
kepada-dirinya sendiri. Bahwa harimau itu apabila marah kepada dirinya sendiri,
niscaya ia tiada perduli, sedikitkah manusia itu atau banyak ". Ini
menunjukkan kepada keutamaan mawas diri serta sangatnya ketakutan.
Abu Dzar Al-Ghaffari berkata :
"Abu Bakar Shiddiq ra. bertanya : 'Wahai Rasulullah! Adakah jihad selain
dari memerangi orang musyrikin (orang-orang yang mempersekutukan Allah)?'
Rasulullah saw. menjawab :
"Ada ! Wahai
Abu Bakar! Bahwasanya Allah Ta'ala mempunyai pejuang-pejuang (mujahidin) di
bumi, yang lebih utama dari orang-orang syahid (syuhada"). Mereka itu
hidup, yang memperoleh rezeki, berjalan di atas bumi. Allah ber- bangga dengan
mereka pada malaikat-malaikat langit. Dan dihias sorga bagi mereka, sebagaimana
'Ummu Salmah berhias untuk Rasulullah saw.".
Abu Bakar ra. lalu bertanya:
"Wahai Rasulullah! Siapakah mereka itu?".
Rasulullah saw. menjawab :
"Orang-orang yang beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, berkasih-kasihan pada
jalan Allah dan marah pada jalan Allah".
Kemudian, Rasulullah saw.
menyambung : "Demi Allah yang nya- waku ditangan-Nya!
Sesungguhnya seorang hamba dari mereka itu berada dalam kamar di atas segala
kamar, di atas kamar orang-orang syahid. Masing-masing kamar daripadanya
mempunyai tiga ratus ribu pintu. Diantaranya dari yaqut (permata merah) dan
zamrud yang hijau. Diatas masing-masing pintu itu nur. Dan bahwa seorang'
laki-laki dari mereka itu dikawinkan dengan tiga ratus ribu bidadari yang amat
elok rupanya. Setiap kali orang itu berpaling kepada salah seorang dari
bidadari-bidadari itu, lalu memandang kepadanya, maka bidadari itu berkata :
'Adakah engkau teringat akan hari itu dan hari itu, di mana engkau
beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar?'. Setiap kali ia memandang kepada salah
seorang dari bidadari- bidadari itu, lalu ia memperingatkan laki-laki tersebut
akan tempat di mana ia melakukan amar-ma'ruf dan nahi-munkar". (1)
(1) Tersebut dalam "Ittihaf As-Sad at
il-Muttaqin" syarah Ihya hal. 12 juz Vii, bahwa menurut Al-Iraqi, hadits
ini beliau tiada memperoleh sumbernya. Jadi, beliau menganggap hadits yang
tidak dapat diperpegangi.
|
706
|
Abu 'Ubadaidah.bin Al-Jarrah
berkata : "Aku bertanya : 'Wahai Rasulullah! Orang syahid
manakah yang lebih mulia pada Allah 'Azza wa Jalla?'".
Rasulullah saw. menjawab :
"Yaitu laki-laki yang bangun berdiri kepada raja (penguasa) yang dzalim.
Lalu ia beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar. Maka raja itu membunuhnya. Jikalau
tidak dibunuhnya, maka pena malaikat penulis amalan manusia (malaikat
kiraminkatibin) tiada berlaku di atasnya lagi sesudah itu (amalan- nya tidak
ditulis lagi). Walaupun ia hidup selama hidupnya". (1) Al-
Hasan Al-Bashri ra. berkata :
"Rasulullah saw. bersabda: 'Yang paling utama orang syahid dari ummatku,
ialah laki-laki yang berdiri kepada imam (kepala) yang dzalim. Lalu menyuruh
mengerjakan kebaikkan dan melarang mengerjakan kejahatan. Lalu imam itu
membunuhnya di atas yang demikian. Maka orang syahid tersebut, tempatnya dalam
sorga antara Hamzah dan Ja'far". (2) '
Umar bin Al-Khaththab ra.
berkata : "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : Seburuk-buruk kaum
ialah kaum yang tidak menyuruh dengan keadilan. Dan seburuk-buruk kaum ialah
kaum yang tidak menyuruh dengan kebaikan dan tidak melarang dari kejahatan'(3)
Adapun Atsar maka Abud-Darda'
ra. berkata : "Hendaklah kamu beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar. Atau akan
dilcuasakan oleh Allah ke atasmu seorang sultan (penguasa) yang dzalim, yang
tidak dimuliakannya yang tua dari kamu dan tidak dikasihinya yang kecil dari
kamu. Dan berdo'a ke atas penguasa itu orang-orang pilihan dari kamu. Tetapi
do'a itu tiada diterima. Dan kamu meminta pertolongan, tetapi kamu tidak akan
ditolong. Dan kamu meminta ampun, tetapi tidak akan diberi ampunan
bagimu". Hudzaifah ra. ditanyakan tentang orang yang mati dari orang-orang
hidup. Maka beliau menjawab : "Ialah orang yang tidak menantang perbuatan
jahat dengan tangannya, dengan lisannya dan hatinya". Malik bin Dinar
berkata : "Adalah salah seorang dari pendeta Bani Israil mendatangkan
laki-laki dan wanita ke tempatnya. Ia memberi pengajaran kepada mereka dan
mengingatkan mereka akan hari- hari Allah 'Azza wa Jalla".
Maka pada suatu hari, pendeta
itu,melihat sebahagian anaknya mengedip-ngedipkan matanya kepada sebahagian
wanita. Lalu pende iaitu menegur : "Pelan-pelan, wahai anakku,
pelan-pelan!". Dan pendeta itu jatuh dari tempat tidurnya. Lalu putus urat
lehernya. Dan ia menjatuhkan perempuannya. Dan anak-anaknya dibunuh dalam
ketenteraan.
1.Dirawikan Al-Bazzar dengan diringkaskan.
|
2. Menurut Al-lraqi, beliau tiada menjumpai hadits
ini dari Al-Hasan Al- bashri.
|
4.Dirawikan Abusy-Syaikh Ibnu Hibban dari Jabir,
dengan sanad dla'f.
|
707
|
Maka Allah Ta'ala menurunkan
wahyu kepada Nabi zaman pendeta itu, yang maksudnya : "Terangkanlah kepada
Pendeta Anu : bahwa Aku tidak akan mengeluarkan dari tulang sulbimu seorang yang
benar untuk selama-lamanya. Apakah tidak dari kemarahanmu kepada.-Ku, bahwa
engkau hanya mengatakan : 'Pelan-pelan, wahai anakku, pelan-pelan!'".
Hudzaifah berkata : "Akan
datang kepada manusia suatu masa, di mana pada mereka itu, bangkai keledai lebih
mereka cintai, dari orang mu'min yang menyuruh mereka mengerjakan yang baik dan
melarang mereka berbuat yang jahat".
Allah 'Azza wa Jalla mewahyukan
kepada nabi Yusya' bin Nun as.: "Bahwasanya Aku membinasakan dari kaummu
empat puluh ribu orang dari orang-orang baik dan enam puluh ribu dari
orang-orang jahat". Maka Nabi Yusya' berdo'a : "Wahai Tuhanku! Mereka
itu orang-orang jahat. Maka bagaimanakah orang-orang baik Allah Ta'ala
berfirman : "Bahwasanya mereka itu tiada marah karena kemarahan-Ku.
Mereka wakil-mewakilkan dan minum- minum sesama mereka".
Bilal bin Sa'ad berkata :
"Bahwasanya perbuatan ma'shiat, apabila disembunyikan, niscaya tiada
mendatangkan kemelaratan, kecuali kepada yang mengerjakannya. Maka apabila
dilahirkan dan tidak dihilangkan, niscaya mendatangkan kemelaratan kepada
umum". Ka'bul-Ahbar bertanya kepada Abi Muslim Al-Khaulani : "Bagaimanakah
kedudukan engkau pada kaum engkau?". Abi Muslim menjawab :
"Baik!".
Ka'bul-Ahbar menyambung :
"Sesungguhnya Taurat mengatakan bukan demikian".
Abi Muslim bertanya :
"Apakah kata Taurat?.". Ka'bul-Ahbar menjawab : "Taurat
mengatakan, bahwa orang, apabila beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, niscaya
buruklah kedudukannya pada kaumnya".
708
|
Lalu Abi Muslim berkata:
"Benar Taurat dan bohong Abi Muslim". Abdullah bin 'Umar ra.
mendatangi orang-orang yang bertanggung- jawab dalam pemerintahan. Kemudian
tidak lagi mendatangi mereka itu. Lalu orang berkata kepadanya : 'Jikalau
engkau datangi mereka, maka mudah-mudahan mereka memperoleh kesan dari
perkataanmu pada diri mereka' ".
Abdullah bin 'Umar menjawab :
"Aku takut, jikalau aku berkata- kata, akan mereka melihat, bahwa yang
padaku bukan yang pada- ku. Dan jikalau aku berdiam diri, aku takut aku
berdosa". Ini menunjukkan bahwa orang yang lemah dari amar-ma'ruf, maka
haruslah menjauhkan diri dari tempat itu. Dan menutupkan diri daripadanya.
Sehingga ia tidak melalui tempat, yang ia dapat dilihat dari tempat itu.
Ali bin Abi Thalib ra. berkata
: "Yang pertama-tama yang engkau menangi dari perjuangan (jihad) itu,
ialah perjuangan dengan ta nganmu. Kemudian perjuangan dengan lidahmu. Kemudian
perjuangan dengan hatimu. Apabila hati tidak mengenai yang baik (ma'ruf) dan
tidak menantang yang jahat (munkar), niscaya hati itu terbalik. Lalu yang di
atas, menjadi di bawah", Sahal bin Abdullah ra, berkata : "Yang
manapun hamba yang berbuat pada sesuatu dari Agamanya, dengan apa yang disuruh
atau dilarang oleh Agamanya dan ia bergantung pada yang demikian ketika
rusaknya dan buruknya keadaan serta kacau-balaunya zaman, maka hamba tersebut
termasuk orang yang bangun karena Allah pada zamannya, dengan amar-ma'ruf dan
nahi-munkar". Artinya, apabila tiada sanggup beramar-ma'ruf dan
bernahi-munkar, selain di atas dirinya sendiri, lalu ia bangun dengan dirinya
sendiri dan menantang hal-ihwal orang lain dengan hatinya, maka sesungguhnya
orang itu telah mengerjakan apa yang menjadi tujuan pada haknya.
Orang bertanya kepada Al-Fudlail
: "Apa tidakkah engkau beramar-ma'ruf dan
bernahi-munkar?".
Al-Fudlail menjawab
: "Bahwa suatu kaum beramar-ma'ruf dan bernahi-munkar, lalu menjadi kufur
(tertutup hatinya). Dan yang demikian itu, karena mereka tidak sabar di atas
bencana yang me- nimpa diri mereka".
Orang bertanya kepada Ats-Tsuri:
"Apa tidakkah engkau beramar- ma'ruf dan bernahi-munkar?".
Ats-Tsuri menjawab : Apabila
laut itu bergoncang, maka siapakah yang sanggup menenangkannya?".
Maka jelaslah dengan dalil-dalil
ini, bahwa amar-ma'ruf dan nahi- munkar itu wajib. Dan fardlunya itu tidak
gugur serta ada kesanggupan, kecuali bangun orang yang bangun melaksanakannya.
Maka marilah sekarang kami sebutkan syarat-syaratnya dan syarat- syarat
wajibnya :
709
|
Bab kedua
Tentang rukun amar-ma'ruf dan syarat-syaratnya.
Ketahuilah, bahwa rukun (sendi)
pada bagusnya pengaturah dan persiapan (hisbah) yaitu kata-kata yang melengkapi
bagi amar-ma'ruf dan nahi-munkar, ialah empat: muhtasib, muhtasab’alaih,
muhtasab fih dan nafsul-ihtisab. (1)
Itulah empat rukun. Dan
masing-masing daripadanya mempunyai syarat-syarat.
rukun
pertama : Muhtasib (pengatur dan petaksana).
Muhtasib itu mempunyai
syarat-syarat. Yaitu : bahwa si muhtasib iuu orang mukallaf (2) muslim dan
mempunyai kesanggupan. Maka tidak termasuk orang gila, anak-anak, orang-kafir,
dan orang yang tidak mempunyai kesanggupan (orang lemah). Dan termasuk dalam
kewajiban ini masing-masing rakyat. Walaupun mereka tidak memperoleh keizinan
dari yang berwenang. Dan masuk pula orang fasiq, budak dan wanita.
Maka marilah kami sebutkan segi
persyaratan dari apa yang kami syaratkan dan segi pembuangan syarat dari apa
yang kami buang- kan
syaratnya.
Syarat Pertama
: yaitu mukallaf Maka tidak tersembunyi segi per- syaratannya Karena orang yang
tidak mukallaf, tidaklah wajib atasnya sesuatu. Dan apa yang kami sebutkan,
kami maksudkan syarat wajibnya.
Adapun mungkinnya berbuat dan
pembolehannya, maka tidak ada yang memanggilnya, selain akal Sehingga anak
kecil, yang hampir dewasa, yang telah dapat membedakan diantara yang buruk dan
yang baik, walaupun ia belum mukallaf, maka baginya dapat menantang
perbuatan-perbuatan munkar. Ia dapat menuangkan kha- mar dan menghancurkan alat
permainan.
(1) Kata-kata ini, kami artikan maksudnya
seperti berikut :
1. muhtasib : orang yang melaksanakan, amar-ma'ruf
dan nahi-munkar..
2. muhtasab 'alaih : orang yang disuruh mengerjakan
yang baik dan dilarang mengerjakan yang jahat. 3. muhtasab fiih : perbuatan
yang disuruh atau dilarang.
4. ihtisab atau hisbah : perbuatan dari si
muhtasib. (Pent.).
|
(2) Mukallaf,
ialah : orang yang telah diberatkan dengan kewajiban agama, karena
|
telah dewasa dan berpikiran sehat.
|
710
|
Apabila ia berbuat demikian,
niscaya ia memperoleh pahala. Dan tiadalah bagi seseorang melarangnya, dari
segi dia itu belum mukallaf. Sesungguhnya perbuatan tersebut itu mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala (qurbah). Dan dia termasuk diantara orang yang berhak
padanya, seperti : shalat, menjadi imam dan qurbah - qurbah lainnya.
Dan tidaklah hukum amar-ma'ruf
dan nahi-munkar itu sama dengan hukum memegang pemerintahan. Sehingga perlu
disyaratkan padanya mukallaf. Dan karena itulah, kami tetapkan wajibnya amar-ma'ruf
dan nahi-munkar atas budak dan masing-masing rakyat. Benar, pada mencegah
kemungkaran dengan perbuatan dan mem- batalkan perbuatan munkar itu semacam
pemerintahan dan keku- aSaan. Tetapi hal itu dapat diperoleh faedahnya dengan
semata- mata iman, seperti membunuh orang musyrik, membatalkan sebab- sebab
kemusyrikan dan mencabut senjata-senjatanya. Sesungguhnya anak kecil boleh
memperbuat demikian, di mana tidak mendatangkan kemelaratan kepadanya. Mencegah
dari perbuatan fasiq adalah seperti mencegah dari kufur. Syarat Kedua : yaitu
iman. Maka tidak tersembunyi segi persya- ratannya. Karena ini pertolongan bagi
Agama. Bagaimana ada dari ahli Agama, orang yang memungkiri pokok Agama dan
menjadi musuh Agama?.
Syarat
Ketiga : yaitu adil. Sebahagian ulama memandang adil itu
syarat. Dan mengatakan, bahwa : orang fasiq tidak menjadi muh- tasib. Mungkin
mereka mengambil dalil dengan tantangan yang datang kepada orang yang menyuruh
sesuatu, yang tidak dikerjakannya. Seumpama firman Allah Ta'ala :
„
(A-ta'-muruunan-nasa bil-birri
wa tansauna anfusakum).Artinya : "Mengapa kamu suruh orang lain
mengerjakan kebaikan dan kamu lupakan dirimu sendiri (S. Al-Baqarah,
ayat 44).
Dan
firman Allah Ta'ala :
كَبُرَ
مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
(Kabura maqtan Mndallaahi an
taquuluu maa laa taf-'aluun). Artinya : "Besarlah kutukan dari Allah
bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan" (S. Ash-Shaff, ayat
3).
711
|
Dan berdalil dengan apa yang
diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa Rasulullah saw. bersabda : "Aku.
melalui pada malam aku di-isra'-kan
kepada suatu kaum, di mana bibir mereka itu dipotong dengan alat-alat pemotong
dari apt Maka aku bertanya : 'Siapa kamu
Kaum itu menjawab :
"Adalah kami menyuruh berbuat kebai kan
dan kami tidak mengerj akannya. Kami melarang berbuat kejahatan dan kami
mengerjakannya". (1)
Dan berdalil dengan apa yang
diriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala mewahyukan kepada Nabi Isa as. : Ajarilah
dirimu sendiri!!! Jikalau kamu telah memperoleh pengajaran, maka ajarilah
manusia! Jikalau tidak, maka malulah kepada-Ku!".
Kadang-kadang mereka itu mengambil dalil dengan jalan qias (analogi), bahwa
memberi petunjuk kepada orang lain, adalah cabang dari petunjuk diri sendiri. Dan
begitu pula meluruskan orang lain adalah cabang dari kelurusan diri sendiri.
Dan memperbaiki orang lain adalah merupakan zakat dari nishab perbaikan diri
sendiri.
Orang yang dirinya
sendiri tidak baik, bagaimanakah memperbaiki, orang lain?
Kapankah bayang-bayang itu
lurus, sedang kayunya bengkok? …Dan semua yang disebutkan
mereka, adalah khayalan.
Yang benar, orang fasiq berhak
menjadi muhtasib. Dalilnya, ialah apa yang kami katakan : adakah disyaratkan
pada ihtisab (persiapan dan pelaksanaan amar-ma yruf dan
nahi-munkar), pelaksana- nya itu terpelihara dari segala perbuatan ma'shiat?
Sesungguhnya syarat demikian, adalah merobekkan ijma (kesepakatan para ulama).
Kemudian menutupkan pintu ihtisab. Karena tiadalah terpelihara dari dosa bagi
para shahabat, apalagi orang lain. Dan nabi-nabi, terdapat perselisihan
pendapat tentang terpeliharanya dari kesalahan Al-Qur-an.Mulia menunjukkan
kepada penyandaran Adam as. kepada perbuatan ma'shiat. Dan demikian juga
segolongan dari nabi-nabi.
Dan karena inilah, Sa'id bin
Jubair berkata : "Jikalau tidak ber amar-ma'ruf dan bernahi-munkar,
kecuali orang yang tak ada padanya sesuatu kesalahan, niscaya tidaklah
seseorang menyuruh mengerjakan sesuatu".
Maka amat mena'jubkan Imam Malik
ra. oleh perkataan yang demikian dari Sa'id bin Jubair.
(1) Hadits ini telah diterarigkan dahulu pada
"Bab Ilmu".
|
712
|
Jikalau mereka menda'wakan,
bahwa yang demikian tidak disyaratkan terpelihara dari dosa-dosa kecil,
sehingga boleh bagi pemakai sutera, melarang dari perbuatan zina dan minum
khamar. Maka kami memajukan pertanyaan : Bolehkah peminum khamar memerangi
orang-orang kafir dan ditugaskan kepada mereka, melarang kekufuran?.
Jikalau mereka itu menjawab :
tidak, maka mereka telah mengoyak-ngoyakkan ijma’’ Karena tentara muslimin
senantiasa terdiri dari orang baik dan orang dzalim, peminum khamar dan
penganiaya anak-anak yatim. Dan mereka tidak dilarang berperang. Tidak dilarang
pada masa Rasulullah saw. dan tidak pada masa sesudahnya.
Jikalau mereka itu menjawab :
ya, maka kami menjawab : peminum khamar, adakah dilarang berperang atau tidak?
Jikalau mereka itu menjawab : tidak, maka kami bertanya : "Apakah
perbeda- annya antara peminum khaniar dan pemakai sutera? Karena boleh baginya melarang
meminum khamar. Dan membunuh adalah lebih besar dosanya, dibandingkan dengan
meminum khamar. Seperti meminum khamar, dibandingkan kepada memakai sutera.
Jadi,
tiada
beda.....................................................................................
Jikalau mereka itu mengatakan :
ya, ada perbedaannya dan mereka menguraikan persoalannya, bahwa tiap-tiap yang
didahulukan atas sesuatu, maka tidaklah dilarang yang seumpama dengan dia dan
yang lebih kurang daripadanya. Yang dilarang, ialah yang di atas daripadanya.
Ini adalah hukum dibuat-buat.
Sesungguhnya, sebagaimana tiada jauh dari pemahaman, bahwa peminum khamar itu
melarang orang lain dari perbuatan zina dan membunuh orang. Maka dari manakah
jauhnya pemahaman, bahwa penzina itu melarang orang lain dari meminum khamar?
Bahkan, dari manakah jauhnya pemahaman, bahwa dia meminum khamar dan melarang
budak-budaknya dan pelayan-pelayannya dari meminum khamar? .
Dan ia berkata : "Wajib atasku melarang
bagiku sendiri (intiha') dan bagi orang lain (nahyu)". Maka dari manakah
harus bagiku dengan berbuat ma'shiat salah satu dari dua perbuatan, untuk
berbuat ma'shiat kepada Allah Ta'ala dengan perbuatan yang satu lagi? Apabila
melarang itu wajib atasku, maka dari manakah sebabnya kewajiban melarang itu
gugur, disebabkan aku mengerjakan perbuatan ma'shiat itu?". Karena
mustahil bahwa dikatakah : wajib atasnya melarang orang meminum khamar, selama
ia sendiri tidak meminum khamar. Apa bila ia meminum, niscaya gugurlah
daripadanya kewajiban melarang orang lain.
713
|
Kalau ada orang berkata
: bahwa berdasarkan ini haruslah orang mengatakan : "Yang wajib atasku,
wudlu dan shalat. Maka aku berwudlu, walaupun aku tidak mengerjakan shalat. Aku
makan sahur, walaupun aku tidak mengerjakan puasa. Karena yang di- sunatkan
kepadaku makan sahur dan bersama puasanya". Tetapi dalam hal ini
dikatakan, bahwa salah satu dari keduanya tersusun di atas yang satu lagi, Maka
seperti itu pula, membetulkan orang lain, tersusun secara tertib di atas
membetulkan diri sendiri. Maka hendaklah memulai dengan diri sendiri lebih
dahulu. Kemudian baru dengan orang yang menjadi tanggungannya.
Jawabannya, ialah : bahwa
memakan sahur dimaksudkan untuk puasa. Jikalau tidak puasa, niscaya makan sahur
itu tidak disunatkan. Dan apa yang dimaksudkan untuk yang lain, maka tidaklah
terlepas dari yang lain itu. Dan memperbaiki orang lain, tidaklah dimaksudkan
untuk memperbaiki diri sendiri. Dan tidaklah memperbaiki diri sendiri, untuk
memperbaiki orang lain. Maka perkataan : dengan penyusunan salah satu daripada
keduanya di atas yang lain, adalah hukum dibuat-buat (tahakkum). Adapun wudhi
dan shalat itu lazim (harus). Maka tidak dapat dibantah, bahwa orang yang
berwudlu dan tidak melakukan shalat, adalah menunaikan pekerjaan wudlu saja.
Siksaannya adalah lebih kurang dari siksaan orang yang meninggalkan shalat dan
wudlu. Maka adalah orang yang meninggalkan melarang orang lain dan dirinya
sendiri dari perbuatan ma'shiat, mendapat lebih banyak siksaan, dibandingkan
dengan orang yang melarang orang lain dari perbuatan ma'shiat dan tidak
melarang terhadap dirinya sendiri. Betapa pula! Wudlu itu suatu syarat yang
tidak dimaksudkan bagi wudlu itu sendiri. Tetapi bagi shalat; Maka tidak ada
hukum bagi wudlu, tanpa shalat.
Adapun hisbah (persediaan dan
persiapan untuk amar-ma'ruf dan nahi-munkar), tidaklah menjadi syarat pada
bernahi-munkar (intiha ') dan beramar-ma'ruf (Vtimar). Maka tidaklah
penyerupaan (mUsyabahah) diantara keduanya (diantara wudlu dan shalat pada satu
pihak dan hisbah dan amar-ma'ruf serta nahi-munkar pada lain pihak).
Kalau ada yang mengatakan :
bahwa berdasarkan kepada yang tersebut, maka haruslah dikatakan : apabila
seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan perempuan itu
dipaksakan, lagi ditutupkan mukanya. Lalu ia membuka mukanya dengan kemauannya
sendiri. Maka laki-laki itu beramar-ma'ruf sedmg ber zina dan berkata :
"Engkau dipaksakan pada berzina dan engkau atas kemauan sendiri membuka
muka bagi bukan mahram engkau, Dan aku ini bukan mahram engkau. Maka tutuplah
muka engkau!". Maka ini pelaksanaan amar-ma'ruf yang keji, yang ditantang
oleh hari tiap-tiap orang yang berakal. Dan dipandang keji oleh tiap-tiap
tabi'at yang sejahtera.
714
|
Jawabannya ialah : bahwa yang
benar itu, kadang-kadang keji. Dan yang batil itu, kadang-kadang bagus menurut
tabi'at. Dan yang diikuti ialah dalil, bukan sangka waham dan khayalan yang
lari tabi'at daripadanya.
Kami mengatakan, bahwa kata
laki-laki itu kepada perempuan tersebut, dalam keadaan demikian : "Jangan
engkau buka muka engkau!", adalah wajib atau mubah atau haram. Kalau anda
mengatakan wajib, maka itulah yang dimaksud. Karena membuka muka itu perbuatan
ma'shiat. Dan melarang ma'shiat itu perbuatan yang benar. ,
Kalau anda mengatakan mubah,
jadi, laki-laki itu berhak mengatakan apa yang mubah. Maka apakah artinya kata
anda : tiada ada bagi orang fasiq itu, hisbah ?.
Dan
kalau anda mengatakan haram, maka kami mengatakan : adalah ini wajib. Maka dari
manakah datangnya haram, disebabkan ia mengerjakan zina? Dan termasuk hal yang
ganjil, bahwa yang wajib itu menjadi haram, dengan sebab mengerjakan haram yang
lain. "
Adapun larinya tabi'at dan
tabi'at menantangnya, adaiah karena dua perkara :
Pertama :
bahwa ia meninggalkan yang lebih penting dan berbuat yang penting. Sebagaimana
tabi'at lari daripada meninggalkan yang penting kepada yang tiada penting, maka
tabi'at itu lari daripada meninggalkan yang lebih penting dan berbuat yang
penting. Sebagaimana tabi'at itu lari dari orang yang berbuat dosa dengan rne-
makan m akan an yang dirampas, sedang dia sendiri selalu berbuat riba. Dan
sebagaimana tabi'at itu lari dari orang yang memelihara diri dari perbuatan
mengumpat orang dan melakukan kesaksian dusta. Karena kesaksian dusta adalah
lebih keji dan lebih berat dari perbuatan mengumpat, di mana mengumpat itu,
ialah : menceri- terakan barang yang ada, yang benar padanya, orang yang
menceri- terakanitu.
Kejauhan ini dari jiwa, tidaklah
menunjukkan, bahwa meninggalkan mengumpat itu tidak wajib. Dan bahwa, jikalau
mengumpat
715
|
atau memakan sesuap dari yang
haram, niscaya tidak bertambah siksaan dengan demikian. Maka seperti itu pula
kemelaratannya di akhirat dari kema'shiatannya itu adalah lebih banyak daripada
kemelaratannya dari perbuatan ma'shiat lainnya. Maka mengerjakan yang lebih
banyak dengan meninggalkan yang lebih sedikit, adalah ditantang oleh tabi'at,
dari segi bahwa tabi'at itu meninggalkan yang lebih banyak. Tidak dari segi dia
mengerjakan yang lebih sedikit. Orang yang dirampas kudanya dan kekang
kudanya, lalu bekerja mencari kekang dan meninggalkan mencari kuda, niscaya
tabi'at yang sehat lari dari orang itu. Dan orang itu dipandang orang yang
berbuat tidak baik. Karena yang timbul daripadanya mencari kekang. Sedang
mencari kekang itu bukan perbuatan munkar. Tetapi yang munkar (perbuatan yang
salah), ialah : meninggalkan mencari kuda, dengan mencari kekang- nya. Maka
sangatlah ditantang orang tersebut. Karena meninggalkan yang lebih penting, dengan
mengerjakan.yang kurang penting. Maka seperti itu pula hisbah orang fasiq, yang
dipandang jauh dari baik, dilihat dari segi ini.Ini tidak menunjukkan bahwa
hisbahnya dari segi hisbahnya itu, perbuatan yang ditantang.
Kedua : hisbah itu,
sekali adalah dengan melarang perbuatan jahat, dengan pengajaran dan sekali
dengan paksaan. Dan tidaklah pengajaran orang yang tidak menggunakan pengajaran
itu untuk dirinya sendiri,^yang pertama-tama menyembuhkan. Dan kami
mengatakan, bahwa orang yang mengetahui perkataan- nya tidak diterima pada
hisbah, karena diketahui manusia fasiqnya, maka tiadalah hisbah kepadanya
dengan pengajaran itu. Karena tiada faedah pada pengajarannya.
Maka fasiq itu ?membekas
gugurnya faedah perkataan dari orang yang fasiq. Kemudian, apabila faedah
perkataannya telah gugur (telah hilang), niscaya gugurlah wajibnya perkataan.
Adapun, apabila hisbah itu dengan melarang perbuatan jahat, maka yang
dimaksudkan ialah paksaan. Dan sempurnanya paksaan, ialah dengan perbuatan bersama
dengan hujjah (dalil). Apabila pelaksana amar-maruf (mustasib) itu orang fasiq,
maka jikalau ia memaksakan dengan perbuatan, sesungguhnya ia telah memaksakan
dengan hujjah. Karena dihadapkan kepadanya pertanyaan : "Engkau sendiri
mengapakah memperbuatnya?". Maka larilah tabi'at dari paksaannya,
disebabkan perbuatannya itu. Serta dia sendiri dipaksakan untuk mengemukakan
hujjah.
716
|
Perbuatan orang fasiq tadi,
tidaklah keluar dari keadaannya itu benar. Sebagaimana orang yang menolak orang
dzalim dari perseorangan orang muslimin dan mengabaikan bapaknya sendiri,
sedang bapaknya itu teraniaya bersama orang-orang muslimin itu, adalah lari
tabi'at yang baik dari orang itu. Dan penolakan orang itu akan orang dzalim
dari orang-orang musiimin tersebut, tidaklah keluar dari keadaannya yang benar.
Maka keluarlah dari ini, bahwa
orang fasiq itu, tidak wajib atasnya hisbah dengan pengajaran, kepada orang
yang mengetahui kefasiq-. annya. Karena orang itu tiada akan menerima
pengajarannya. Dan apabila tiada wajib yang demikian ke atas orang fasiq itu
dan ia tahu akan membawa kepada pemanjangan lisan pada mendatangkan
penantangan itu, maka kami berkata : "Tidaklah pula yang demikian itu
baginya.Maka kembalilah perkataan, bahwa salah satu dari kedua macarn ihtisab,
yaitu : pengajaran, telah batal dengan sebab fasiq. Dan jadilah adil (adalah,
tidak berbuat ma'shiat) itu syarat pada ihtisab.
Adapun hisbah paksaan
(hisbah-qahriah), maka tidak disyaratkan yang demikian padanya. M^ka tak ada
salahnya atas orang fasiq, menuangkan khamar, memecahkan alat-alat permainan
dan lainnya, apabila ia sanggup. Dan ini adalah kesudahan keinsafan dan pembu-
kaan persoalan.
Adapun
ayat-ayat yang diambil mereka menjadi dalil, maka adalah merupakan tantangan
kepada mereka, dari segijoiereka itu meninggalkan yang baik. Tidak dari segi
mereka itu menyuruh. Tetapi suruhan mereka itu, menunjukkan kepada teguhnya
pengetahuan mereka. Dan siksaan terhadap orang yang berilmu adalah lebih berat.
Karena tak ada kema'afan baginya serta keteguhan penge- tahuannya.
Firman
Allah Ta'ala :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
(Lima taquuluuna maa laa taf-'aluun).
Artinya : "Mengapa kamu
mengatakan apa yang tiada kamu kerjakah (S. Ash-Shaff, ayat 2), adalah
dimaksudkan : janji dusta (dia berjanji dengan lidahnya berbuat sesuatu tetapi
tiada diper- buatnya).
717
|
Dan
firman Allah 'Azza wa Jalla :
وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُمْ
(Watansaunaanfusakum) =
Artinya : "Dan kamu lupakan
dirimu sendiri". (S. Al-Baqarah, ayat 44), adalah tantangan, dari segi
mereka itu melupakan dirinya sendiri. Tidak dari segi mereka itu menyuruh orang
lain. Tetapi menyebut : menyuruh orang lain, menjadi dalil atas ilmu-pengeta-
huan mereka dan menguatkan hujjah ke atas diri mereka. Dan firman-Nya :
"Hai Putera Mary am! Ajarilah dirimu!", — sampai akhir hadits
(karena ini dipetik dari hadits) — adalah mengenai hisbah dengan pengajaran.
Dan kita telah menerima, bahwa pengajaran orang fasiq itu gugur faedahnya,
pada orang yang mengetahui kefasiqannya.
Kemudian firman-Nya : "Maka
malulah kepada-Ku!", — tidaklah menunjukkan kepada mengharamkan
pengajaran kepada orang lain. Tetapi maksudnya : "Malulah
kepada-Ku!", maka janganlah engkau meninggalkan yang lebih penting
dan mengerjakan yang penting. Sebagaimana dikatakan : "Peliharalah
bapakmu, kemudian tetanggamu! Jikalau tidak, maka malulah!". Kalau
ada yang berkata : maka bolehlah bagi kafir dzimmi (1), berihtisab kepada orang
Islam, apabila dilihatnya orang Islam itu berzina. Karena kata dzimmi itu : "Jangan
engkau berzina", adalah perkataan yang benar. Maka mustahillah
perkataan itu haram kepadanya. Bahkan seyogialah mubah atau wajib. Kami
menjawab, bahwa orang kafir, kalau melarang orang Islam dengan perbuatan, maka
adalah penguasaan atas orang Islam. Maka orang kafir itu, dilarang dari segi ia
menguasai. Allah Ta'ala tiada menjadikan jalan bagi orang-orang kafir ke atas
orang-orang mu'min. Adapun semata-mata kata orang kafir : "Jangan engkau
berzina!", maka tiada diharamkan kepada orang kafir itu, dari segi bahwa
dia melarang dari zina. Akan tetapi dari segi melahirkan penunjuk penerimaan
hukum atas orang Islam. Dan padanya penghinaan bagi orang yang dijatuhkan
hukuman. Dan orang fasiq itu berhak mendapat penghinaan. Akan tetapi tidak
dari orang kafir,yang lebih utama dengan penghinaan itu, dari orang muslim.
Maka inilah segi yang kami
larang orang kafir itu dari hisbah. Kalau tidak demikian, maka tidaklah kami
mengatakan, bahwa orang kafir itu disiksakan disebabkan perkataannya :
"Jangan engkau berzina!" dari segi ia melarang. Tetapi kami berkata,
bahwa apabila orang kafir itu tidak mengatakan : "Jangan engkau
berzina!", niscaya ia akan disiksa, kalau kita berpendapat, ditujukan kepada
orang kafir itu cabang-cabang Agama (furu'uddin). Dan pada persoalan ini ada
penelitian yang telah kami sempumakan pada "pengetahuan fiqh Dan tiada
layak dengan maksud kita sekarang.
(1) Kafir dzimmi : yaitu : kafir yang dijamin
keamanannya oleh pemerintah Islam (Pent..).
|
718
|
Syarat keempat : muhtasib itu
memperoleh keizinan dari pihak imam (kepala pemerintahan) dan wali negeri.
Suatu golongan mensyaratkan syarat ini. Dan mereka tidak menetapkan hisbah bagi
perseorangan dari rakyat.
Persyaratan ini adalah batal.
Karena ayat dan hadits yang telah kami sebutkan itu, menunjukkan, bahwa
tiap-tiap orang yang melihat perbuatan munkar, lalu berdiam diri, niscaya ia
durhaka. Karena wajib melarangnya, di mana saja dilihatnya dan bagaimana saja
dilihatnya pada umumnya. Maka penentuan dengan syarat penyerahan dari imam,
adalah hukum dibuat-buat (tahakkum), tak ada asalnya.
Yang mengherankan, bahwa kaum
Rawafidl (suatu golongan yang meninggalkan pemimpinnya dalam peperangan atau
lainnya) me- nambahkan dari yang tadi. Lalu berkata : "Tidak boleh
beramar- ma'ruf selama belum keluar imam yang ma'shum (imam yang terpelihara
dari segala kesalahan). Yaitu : imam yang benar pada mereka.
Mereka itu adalah seburuk-buruk
derajat dari yang dikatakan mereka. Bahkan jawaban mereka, bahwa dikatakan kepada
mereka, apabila mereka datang kepada kehakiman, menuntut hak mereka mengenai
darah(pembunuhan) dan harta mereka : "Bahwa perto- longan kamu itu suatu
amar-ma'ruf. Dan mengeluarkan hak-hak kamu dari tangan orang-orang yang berbuat
dzalim kepadamu itu, suatu nahi-munkar. Dan tuntutanmu terhadap hakmu, termasuk
dalam jumlah amar-ma'ruf. Dan tidaklah sekarang zaman melarang kedzaliman dan
menuntut hak. Karena imam yang benar belum lagi keluar.
Kalau ada yang mengatakan
tentang amar-ma *ruf itu mengadakan penguasaan, wilayah dan penegasan hukum ke
atas orang yang ter- hukum dan karena itulah tidak ada amar-ma'ruf bagi orang
kafir atas orang muslim serta keadaannya itu benar. Maka seyogialah tidak ada
amar-ma'ruf bagi masing-masing persegrangan rakyat. Kecuali dengan penyerahan
dari wali (penguasa pemerintahan) dan yang punya urusan.
Maka kami berkata : adapun orang
kafir itu, maka dilarang beramar-ma'ruf. Karena ada padanya kekuasaan dan
kemuliaan pene-
719
|
Maka kami berkata : adapun orang
kafir itu, maka dilarang beramar-ma'ruf. Karena ada padanya kekuasaan dan
kemuliaan penerimaan, hukum. Dan orang kafir itu orang hina. Maka ia tidak ber-
hak memperoleh kemuliaan penghukuman ke atas muslim. Adapun perseorangan kaum
muslimin, maka mereka berhak akan kemuliaan itu dengan Agama dan pengetahuan.
Dan apa yang ada padanya, tentang kemuliaan kekuasaan dan penerimaan hukum itu,
tidak memerlukan kepada penyerahan dari penguasa. Seperti kemuliaan mengajar
dan memperkenalkan yang tidak diketahui. Karena tiada terdapat perselisihan
paham, bahwa memperkenalkan yang haram dan yang wajib kepada orang bodoh dan
orang yang mengerjakan perbuatan munkar, disebabkan kebodohan itu, tidaklah
memerlukan kepada keizinan wali (penguasa). Dan pada peker- jaah tersebut itu,
kemuliaan memberi petunjuk. Dan di atas orang yang memperkenalkan itu kehinaan
pembodohan. Dan pada yang demikian cukuplah semata-mata Agama. Begitu pula
larangan dari perbuatan munkar!. Uraian perkataan tentang ini, ialah : bahwa
hisbah itu mempunyai lima
tingkat, sebagaimana akan datang penjelasannya:
Pertama : memperkenalkan.
Kedua : pengajaran dengan
perkataan yang lemah-lembut.
Ketiga : memaki dan
menggertak.Dan tidaklah aku maksudkan dengan makian itu, akan yang keji.
Akan tetapi, bahwa ia mengatakan
: "Hai Jahil! Hai dungu! Tidakkah engkau takut kepada Allah?". Dan
yang seirama dengan perkataan ini.
Ke-empat : melarang perbuatan
munkar dengan paksaan, secara langsung, seperti memecahkan alat-alat permainan,
menuangkan khamar, menyambar kain sutera dari pemakainya, membuka kain rampokan
dari pemakainya dan mengembalikan kepada pemiliknya.
Kelima : menakutkan dan
menggertak dengan pukulan dan langsung memukul. Sehingga tercegah dari apa
yang sedang dilakukan. Seperti orang yang senantiasa mengumpat dan menuduh
orang berzina. Maka menarik lidahnya itu tidak mungkin. Akan tetapi, dibawa
kepada memilih diam, dengan pukulan. Hal ini kadang-kadang memerlukan kepada
meminta pertolongan dan mengumpulkan teman-teman dari kedua belah pihak. Dan
membawa yang demikian kepada perang-tanding. Dan tingkat-tingkat yang lain,
tidaklah tersembunyi segi tidak perlunya keizinan imam (penguasa), kecuali
tingkat kelima. Pada pada tingkat kelima ini, suatu penelitian yang akan datang
uraian- nya.
720
|
Adapun memperkenalkan dan
memberi pengajaran, maka bagaimanakah memerlukan kepada keizinan imam?.
Adapun pembodohan, pendunguan,
penyebutan fasiq dan kurang takut kepada Allah dan yang serupa dengan itu,
adalah perkataan benar. Dan perkataan benar itu berhak dikatakan. Bahkan
derajat yang paling utama, ialah kata kebenaran pada imam yang dzalim, seperti
yang tersebut pada hadits. (1)
Apabila telah boleh menghukum
imam di luar persetujuannya, maka bagaimanakah pula memerlukan kepada
keizinanhya? Dan seperti itu pula, memecahkan alat-alat permainan dan
menuangkan khamar. Sesungguhnya ia telah memperbuat sesuatu, yang diketahui
dianya benar, tanpa ijtihad (pemikiran yang mendalam). Maka tidaklah
menghendaki kepada keizinan imam. Adapun mengumpulkan teman-teman dan mencabut
senjata, maka y^ng demikian itu kadang-kadang membawa kepada fitnah umum. Maka
padanya penelitian yang akan datang penjelasannya. Terus-menerusnya kebiasaan
ulama salaf (ulama terdahuilu) melakukan hisbah (amar-ma'ruf dan nahi-munkar)
kepada penguasa- penguasa itu, adalah dalil yang tidak bisa
dibantah,kesepakatan mereka tentang tidak memerlukan kepada penyerahan dari
pengu- asa-penguasa.. Akan tetapi tiap-tiap orang yang beramar-ma'ruf, maka
jikalau penguasa menyetujuinya, maka yang demikian sudah jelas. Jikalau
penguasa itu marah, maka kemarahanaya itu suatu kemunkaran, yang wajib ditantang.
Maka bagaimanakah memerlukan keizinannya pada menantangnya itu?.
Ditunjukkan kepada yang demikian
oleh kebiasaan ulama salaf, menantang imam-imam (kepala-kepala pemerintahan).
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Marwan bin Al-Hakam berkhuthbah sebelum shalat
Hari Raya. Lalu seorang laki-laki berkata : "Sesungguhnya khuthbah Hari
Raya itu, sesudah shalat". Maka Marwan menjawab : "Biarkan demikian,
hai Anu.r". Lalu Sa'id AI-Khudri yang hadlir ketika itu
menjawab : "Adapun orang ini telah menunaikan kewajibannya. Rasulullah
saw. bersabda kepada kita :
من
رأى منكم منكرا فلينكره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
(1) Hadits itu ialah : "Jihad yang paling
utama, ialah kata kebenaran pada imam yang dzalim —diriwayatkan oleh Abu Daud
dan At-Tirmidzi.
|
721
|
(Man ra-aa minkum munkaran
fal-yunkirhu biyadihi, fa in lam yastathi* fa-bilisaanihi, fa in lam yastathi'
fa biqalbihi wadzaalika adl-'aful-imaan).Artinya: "Barangsiapa dari
kamu melihat munkar, maka hendaklah ditantang dengan tangan. Jikalau tidak
sanggup, maka dengan lidah. Dan jikalau tidak sanggup, maka dengan hati. Dan
itulah selemah- lemah iman ". — diriwayatkan oleh Muslim.
Sesungguhnya mereka memahami
dari segala yang bersifat umum ini, akan masuknya sultan-sultan di dalamnya.
Maka bagaimanakah memerlukan kepada keizinannya?.
Diriwayatkan, bahwa Khalifah
Al-Mahdi tatkala datang di Makkah ,
ia tinggal disitu masya Allah.
Tatkala ia mengerjakan thawaf, lalu mengusir manusia dari Baitullah (Ka'bah).
Maka melompat^ah Abdullah bin Marzuq, lalu meletakkan selendangnya pada leher
Al-Mahdi. Kemudian menggerak-gerakkannya, seraya berkata : "Lihatlah apa
yang engkau perbuat!. Menjadikan engkau lebih berhak dengan Baitullah ini dari
orang yang datang ke Baitullah dari tempat yang jauh. Sehingga apabila orang
yang jauh itu di sisi Baitullah, engkau dindingi antara dia dan
Baitullah".
Allah Ta'ala berfirman :
سواء
العاكف فيه والباد
(Sawaa-anil-'aakifu fiihi wal
baad).
Artinya : "Sama-sama, baik
orang yang menetap ataupun orang yang datang berkunjung". (S. Al-Hajj,
ayat 25). Siapakah yang membuat ini bagi engkau?.
Maka Al-Mahdi melihat ke muka
Abdullah bin Marzuq dan dikenalnya. Karena Abdullah bin Marzuq itu, termasuk
maulanya (bekas biidaknya yang telah dimerdekakan).
Lalu Al-Mahdi menegur :
"Abdullah bin Marzuq?". "Ya!" jawab Abdullah bin Marzuq.
Lalu Al-Mahdi mengambil Abdullah
bin Marzuq dan membawanya ke Bagdad . Ia tiada
suka menyiksakan Abdullah bin Marzuq dengan siksaan yang memburukkan namanya
pada umum. Maka diletakkannya Abdullah bin Marzuq itu dalam kandang he wan.
Supaya ia menjaga hewan. Dan dimasukkannya ke dalam kandang itu se ekor kuda yang
suka menggigit, yang jahat perangainya. Supaya Abdullah bin Marzuq digigit oleh
kuda itu. Maka Allah Ta'ala melembutkan kuda itu untuk keselamatan Abdullah bin
Marzuq.
722
|
Berkata yang empunya riwayat
: "Kemudian mereka membawa Abdullah bin Marzuq itu ke suatu rumah dan
menguncikannya. Dan kuncinya dipegang oleh Al-Mahdi sendiri. Tiba-tiba Abdullah
bin Marzuq keluar dari rumah itu sesudah tiga hari ke kebun dan memakan
tanamannya. Maka diberitahukan kepada Al-Mahdi. Lalu Al-Mahdi bertanya kepada
Abdullah bin Marzuq : 'Siapakab yang mengeluarkan engkau?'".
Abdullah bin Marzuq menjawab :
"Yang menahan aku".
Maka terkejutlah Al-Mahdi dan
memekik, seraya berkata : "Tidakkah engkau takut aku akan membunuh
engkau?".
Lalu Abdullah mengangkatkan
kepalanya kepada Al-Mahdi, seraya tertawa dan berkata : "Jikalau engkau
memiliki hidup atau mati. Maka senantiasalah Abdullah ini ditahan, sehingga
Al-Mahdi itu mati".
Kemudian, mereka itu melepaskan
Abdullah bin Marzuq. Lalu ia kembaii ke Makkah.
Berkata yang empunya riwayat,
bahwa Abdullah bin Marzuq telah bernadzar atas dirinya, bahwa jikalau ia
dilepaskan oleh Allah dari tangan mereka itu, akan menyembelih qurban seratus
ekor unta. Maka ia memperbuat demikian, sehingga ia menyembelih qurban
tersebut.
Diriwayatkan dari Hibban bin Abdullah,
yang menceriterakan : "Khalifah Harunur-rasyid berlibur di Dawin. Dan
bersama dia, seorang laki-laki dari suku Bani Hasyim, yaitu : Sulaiman bin Abi
Ja'far. Maka berkata Harunur-rasyid kepadanya : "Sesungguhnya engkau
mempunyai seorang budak wanita yang pandai menyanyi dengan bagus. Kita
datangkan dia ke mari".
Berkata Hibban bin Abdullah :
"Lalu'budak wanita itu datang dan
menyanyi. Harunur-rasyid tiada
memuji nyanyinya. Lalu berkata
kepadanya ; "Bagaimana
keadaan engkau?".
Budak wanita itu menjawab
"Ini bukan gitar saya".
Lalu Harunur-rasyid berkata
kepada pelayan : "Kita datangkan gitarnya!".
Berceritera Hibban bin Abdullah
seterusnya : "Maka datanglah pelayan itu membawa gitar. Tiba-tiba bertemu
dengan seorang syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu pelayan
itu berseru : "Jalan, ya Syaikh!".
Syaikh itu lalu mengangkatkan
kepalanya. Ketika melihat gitar itu, lalu diambilnya„dari pelayan tersebut. Dan
dipukulkannya ke bumi.
723
|
Kemudian pelayan itu mengambil syaikh
tadi dan pergi bersama kepada yang empunya tempat itu, seraya berkata :
"Jaga orang ini! Karena dia orang yang dicari oleh Amirul-mu'minin".
Maka menjawab yang empunya tempat itu : "Tidak ada di Bagdad
orang yang lebih banyak beribadah dari orang ini. Maka bagaimana- kah dia
menjadi orang yang dicari oleh Amirul-mu'minin?". Pelayan itu menjawab :
"Dengarlah apa yang akan aku katakan kepadamu!".
Kemudian, pelayan itu masuk ke
tempat Harunur-rasyid, seraya berkata : "Sesungguhnya aku melalui tempat
seorang syaikh yang sedang mengambil biji-bijian di jalan. Lalu aku berseru
kepada Syaikh itu : 'Jalan!'. Syaikh itu mengangkatkan kepalanya dan melihat
gitar itu. Lalu diambilnya dan dipukulkannya ke bumi dan gitar itu pecah".
Maka Harunur-rasyid meluap-luap
kemarahannya, marah benar dan merah kedua matanya. Lalu Sulaiman bin Abi Ja'far
berkata kepadanya : "Apakah kemarahan ini, wahai Amirul-mu'minin? Utuslah
orang kepada yang empunya tempat itu, yang akan memotong lehernya. Dan
melemparkannya ke sungai Tigris
(Ad-Dajlah)!". Harunur-rasyid menjawab : "Tidak! Akan tetapi akan
kami utus kepadanya dan akan kami bertukar-pikiran dengan syaikh itu lebih
dahulu".
Maka utusanpun datang mengambil
syaikh itu, seraya mengatakan : "Perkenankaniah permintaan Amirul-mu'minin
untuk datang ke tempatnya!".
Syaikh itu menjawab :
"Ya!.".
Utusan itu berkata :
"Naiklah kendaraan ini!".
Syaikh itu menjawab :
"Tidak!".
Lalu syaikh itu berjalan kaki,
sehingga sampailah dan berhenti di pintu istana. Maka, disampaikan kepada
Jhfarunur-rasyid, bahwa syaikh itu sudah datang. Lalu Harunur-rasyid berkata
kepada sha- habat-shahabatnya : "Apakah yang: kamu lihat? Kita angkat
lebih dahulu perbuatan munkar yang ada di hadapan kita. Sehingga syaikh itu
masuk. Atau kita bangun ke tempat lain, yang tidak ada padanya munkar".
Mereka itu menjawab : "Kita
bangun ke tempat lain, yang tak ada padanya munkar adalah lebih baik".
Lalu mereka itu bangun ke suatu
tempat yang tak ada padanya munkar. Kemudian Harunur-rasyid menyuruh syaikh itu
masuk.
724
|
Lalu beliau dibawa masuk. Dan
dalam lengan bajunya bungkusan kecil, yang di dalamnya biji-bijian.
Lalu pelayan itu berkata
kepadanya: " Keluarkanlah itu dari lengan bajumu! Dan masuklah ke tempat
Amirul-mu'minin!". Syaikh itu menjawab: "Dari bungkusan ini makananku
malam ini". Pelayan itu menjawab : "Kami akan menyediakan makanan
malam untukmu".
Syaikh itu menjawab : "Aku
tidak berhajat pada makanan malam- mu".
Lalu Harunur-rasyid bertanya
kepada pelayan itu : "Apakah yang kamu kehendaki daripadanya?".
Pelayan itu menjawab :
"Dalam lengan bajunya ada biji-bijian. Aku katakan kepadanya : 'Buanglah
biji-bijian itu dan masuklah ke tempat Amirul-mu'minin!'".
Maka Harunur-rasyid berkata :
"Biarkanlah dia tidak membuang- kannya".
Hibban bin Abdullah meneruskan
ceriteranya : "Maka syaikh itu pun masuk. Memberi salam dan duduk. Lalu
Harunur-rasyid berkata kepadanya : 'Hai Syaikh! Apakah yang mendorong kamu
kepada berbuat yang demikian?' ". Syaikh itu menjawab : "Apakah yang
aku perbuat?". , Harunur-rasyid malu mengatakan : "Engkau telah
pecahkan gitar- ku".
Tatkaia telah banyak pertanyaan
ditujukan kepadanya, lalu syaikh itu menjawab : Bahwasanya aku mendengar
bapakmu dan nenek- nenekmu. membaca ayat ini di atas mimbar :
pi 'jfiiffiy&tfMb^^i^^&h
(Innallaaha ya'-muru bil-'adli
wal-ihsaaili wa iitaa-i dzil-qurbaa wa yanhaa 'anil-fahsyaa-i wal-munkari
wal-baghyi).Artinya : "Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan kea
dilan, berbuat kebaikkan dan memberi kepada kerabat-kerabat dan la melarang
perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan". (S. An-Nahl, ayat 90).
Aku melihat munkar itu, lalu aku
menghilangkannya!'
Lalu Kha'lifah Harunur-rasyid
menjawab : "Hilangkanlah perbuatan
munkar itu!".
Demi Allah, Syaikh itu tidak
berkata, kecuali itu saja. Tatkaia ia keluar, lalu Khalifah menganugerahkan
sebuah bungkusan yang
725
|
penuh dengan uang dirham, kepada
seorang laki-laki, seraya berkata : "Ikutilah Syaikh itu! Jikalau engkau
melihat ia mengatakan : 'Aku telah berkata kepada Amirul-mu'minin dan
Amirul-mu'minin telah berkata kepadaku', maka janganlah engkau berikan kepadanya
sesuatu. Dan jikalau engkau melihat dia tidak bercakap-cakap dengan seorangpun,
maka berikanlah kepadanya bungkusan ini!". Tatkala ia keluar dari istana,
tiba-tiba ia melihat sebutir biji-bijian itu telah terbenam dalam tanah, lalu
ia besuSaha mengeluarkannya. Dan ia tidak berkata-kata dengan seorangpun. Lalu
laki-laki itu berkata : "Amirul-mu'minin mengatakan kepada engkau :
'Ambil- lah bungkusan ini!'".
Maka syaikh itu menjawab:
"Katakanlah kepada Amirul-mu'minin, agar ia menge'mbalikan bungkusan ini
dari mana ia mengambilnya". Diriwayatkan, bahwa Syaikh itu sesudah selesai
dari perkataannya tadi, lalu menuju kepada biji-bijian yang diusahakannya
mencabut- nya dari tanah dan bermadah :
Aku melihat dunia,
bagi orang yang mempunyainya,
merupakan duka-cita,
setiap kali bertambah banyak
padanya.
Dan itu menghinakan orang, yang
memuliakannya dengan yang kecil saja..
Dan memuliakan tiap-tiap orang,
yang menghinakan kepadanya.
Apabila engkau tidak memerlukan,
akan sesuatu,
maka tinggalkanlah.
Dan apa yang engkau perlukan,
maka ambilkanlah!.
Dari Sufyan Ats-Tsuri ra., yang
menerangkan : "Bahwa Khalifah Al-Mahdi menunaikan ibadah hajji pada tahun
seratus enam puluh enam (Hijriyah). Aku melihat ia melempar Jamrah Al-'Aqabah.
Dan orang banyak dipukul kanan kiri dengan cambuk. Lalu aku berhenti dan
berkata : "Wahai yang cantik muka! Telah disampaikan hadits kepada kami
oleh Aiman dari Wa-il, dari Quddamah bin Abdillah Al-Kilabi, yang mengatakan :
'Aku melihat Rasulullah saw. melempar jamrah pada Hari Raya hajji di atas unta.
Tak ada pukulan, usiran dan siksaan. Dan tak ada, jauhlah engkau! jauhlah
engkau!'. Dan engkau ini, manusia dipukul di hadapan engkau, kanan dan
kiri".
726
|
Lalu Al-Mahdi bertanya kepada
seorang laki-laki : "Siapakah orang itu?".
Laki-laki itu menjawab :''Sufyan
Ats-Tsuri", Al-Mahdi lalu berkata : "Hai Sufyan! Jikalau Al-Manshur
(maksudnya, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur ayahnya), niscaya tidak akan
menanggung engkau di atas yang begini".
Maka menjawab Sufyan Ats-Tsuri:
"Jikalau Al-Manshur menerangkan kepadamu, apa yang telah dijumpainya,
niscaya engkau henti kan
dari apa yang engkau kerjakan itu".
Sufyan Ats-Tsuri menyambung
ceriteranya : "Lalu ada orang mengatakan kepada Al-Mahdi". Bahwa
Sufyan itu mengatakan kepada engkau : "Wahai yang cantik muka!". Dia
tidak mengatakan kepada engkau : "Wahai Amirul-mu'minin!". Lalu
Al-Mahdi berkata : "Carilah Sufyan itu".
Maka Sufyan Ats-Tsuri dicari dan
beliau menyembunyikan diri... Diriwayatkan dari Khalifah Al-Ma'mun, bahwa
sampai berita kepadanya, seorang laki-laki menjadi muhtasib, berjalan kaki
pada manusia ramai. Menyuruh mereka berbuat perbuatan kebaikan dan melarang
mereka berbuat perbuatan kejahatan. Dan orang itu tidak menerima perintah dari
Al-Ma'mun dengan yang demikian. Lalu Al-Ma'muri menyuruh laki-laki itu supaya
datang kepadanya. Tatkaia sudah berada di hadapannya, maka Al-Ma'mun berkata
kepada orang itu : "Bahwa telah sampai kepadaku, bahwa engkau melihat diri
engkau, ahli untuk amar-ma'ruf dan nahi-munkar, tanpa kami menyuruh
engkau".
Al-Ma'mun ketika itu duduk di
atas kursi, melihat pada Kitab atau kissah. Lalu ia lengah dari Kitab yang
ditangannya, maka jatuh dan berada di bawah tapak kakinya dengan tiada
disadarinya. Lalu Muhtasib tadi berkata kepada Al-Ma'mun : "Angkatlah tapak
kakimu dari nama Allah Ta'ala! Kemudian, katakan apa yang engkau
kehendaki!".
Al-Ma'mun tiada mengerti apa
yang dikehendaki oleh muhtasib itu.
Lalu bertanya : "Apa
katamu?". Sehingga diulanginya oleh muhtasib itu tiga kali, tidak juga ia
mengerti.
Lalu Muhtasib berkata :
"Apakah tidak engkau angkat sendiri atau engkau izinkan, aku
mengangkatnya?".
Maka Al-Ma'mun memandang ke
bawah tapak kakinya. Lalu melihat Kitab. Maka diambil dan diciumnya. Ia malu,
kemudian kembaii berkata: "Mengapa'kamu beramar-ma'ruf, padahal Allah
Ta'ala
727
|
telah menjadikan yang demikian
kepada kami keluarga Rasul (Ahlul-bait)?". Dan kamilah yang difirmankan
oleh Allah Ta'ala :
الذين
إن مكناهم في الأرض أقاموا الصلاة وآتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر
(Alladziina in mak-kannaahum
fil-ardli, aqaamush-shalaata wa-ata- wuz-zakaata wa amaruu bil-ma'-ruufi wa
nahau 'anil-munkar).Artinya : "Orang-orang yangjika Kami diamkan
(tempatkan) di muka bumi, mereka tetap mengerjakan shalat dan membayarkan zakat
dan menyuruh mengerjakan perbuatan baik dan melarang perbuatan yang salah
". (S. Al-Hajj, ayat 41).
Muhtasib tadi menjawab:
"Benar engkau, wahai Amirul-mu'minin, sebagaimana engkau menyifatkan diri
engkau dengan kekuasaan dan ketetapan. Kecuali, kami ini penolong dan pembantu
engkau pada amar-ma'ruf itu. Dan tidak ada yang membantah demikian, selain
orang yang bodoh tentang Kitab Allah Ta'ala dan Sunnah Rasulullah saw. Allah
Ta'ala berfirman :
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
(Wal-mu'-minuuna wal-mu'-minaatu
ba'-dluhum auliyaa-u ba'-dlin ya'-muruuna bil-ma'-ruufi wa yanhauna
'anil-munkar).Artinya : "Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan
orang-orang yang beriman perempuan, mereka satu sama lain pimpin-meminpin.
Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan melarang mengerjakan yang
salah". (S. A t-Taubah, ay at 71).
Rasulullah saw. bersabda :
"Orang mu'min bagi orang mu'min adalah seperti gedung yang mengkokohkan
sebagian akan bagian yang lain". (1)
Engkau telah mendapat tempat di
bumi dan ini Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Jikalau engkau tunduk kepada
keduanya, niscaya engkau bersyukur (berterima kasih) kepada orang yang me-
nolong engkau, untuk penghormatan keduanya (Al-Qur-an dan Sunnah). Dan jikalau
engkau menyombong dari keduanya dan tidak engkau tunduk, niscaya tidak adalah
yang mengharuskan bagi engkau dari keduanya. Sesungguhnya Dia, yang kepada-Nya
urusan engkau. Dan di tangan kekuasaan-Nya kemuliaan engkau dan kehinaan
engkau. Dia (Allah Ta'ala) telah mensyaratkan bahwa Dia tidak menyia-nyiakan
pahala orang yang berbuat kebaikan. Maka katakanlah sekarang apa yang engkau
kehendaki.
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Musa
dan sudah diterangkan dulu pada "Bab Adab Berteman".
|
728
|
Maka amat heranlah Al-Ma'mun
dengan perkataan orang itu. Dan ' ia amat bergembira. Dan berkata : "Orang
yang seperti engkau boleh beramar-ma'ruf. Maka teruskanlah apa yang telah
engkau kerjakan itu dengan perintah kami dan dari pendapat kami!". Maka
terus-meneruslah orang itu melakukan amar-ma'ruf. dan nahi-munkar.
Dari alunan hikayat (ceritera)
ini, adalah penjelasan dalil atas tiada perlunya izin.
Jikalau ada yang bertanya :
"Apakah ada kekuasaan hisbah (pelak- sanaan) amar-ma'ruf bagi anak atas
orang tuanya, bagi budak atas tuannya, bagi isteri atas suaminya, bagi murid
atas gurunya dan bagi rakyat atas penguasa (wali)nya secara mutlak, sebagaimana
ada kekuasaan hisbah itu bagi orang tua atas anaknya, bagi tuan atas budaknya,
bagi suami atas isterinya, bagi guru atas muridnya dan bagi sultan atas
rakyatnya atau diantara keduanya terdapat perbedaan?".
Ketahuilah kiranya bahwa yang
kami lihat, ialah adanya pokok kekuasaan itu. Tetapi diantara keduanya terdapat
perbedaan pada penguraian. Dan marilah kami umpamakan yang demikian mengenai
anak serta orang tuanya. Maka kami berkata, bahwa telah kami terbitkan bagi
hisbah lima
tingkat.
Anak mempunyai hisbah dengan dua
tingkat yang pertama. Yaitu : memperkenalkan, kemudian memberi pengajaran dan
nasehat dengan lemah-lembut. Dan anak itu tidak mempunyai hisbah dengan
memaki, menggertak dan menakut-nakuti dan tidak dengan lang sung pemukulan.
Keduanya
itu dua tingkat yang akhir. Dan adakah anak itu mempunyai hisbah dengan
tingkat ketiga, di mana tingkat ini membawa kepada menyakiti dan memarahi orang
tuanya?. Padanya penelitian. Yaitu, dengan : memecahkan gitarnya umpa- manya.
Menuangkan khamarnya. Membuka benang dari kainnya yang ditenun dari sutera.
Mengembalikan kepada pemilik, barang yang didapati di rumahnya dari harta haram
yang dirampasnya atau dicurinya atau diambilnya dari banyaknya rezeki dari
pajak kaum musiimin, apabila pemiliknya tertentu orangnya. Dan mpru-, sakkan
gambar-gambar yang diukir pada dinding temboknya dan yang dikorek pada kayu
rumahnya. Dan menghancurkan bejana (tempat air) emas dan perak. - :
Jikalau anak itu berbuat pada
hal-hal tadi, tiadalah menyangkut dengan diri bapaknya. Kecuali memukul dan
memaki. Tetapi bapak itu merasa disakiti dengan demikian dan marah karenanya.
729
|
Akan tetapi perbuatan anak itu
benar. Dan marahnya bapak itu terjadi karena sukanya kepada yang batii dan
haram. Yang lebih kuat menurut qias (analogi), bahwa boleh yang demikian bagi
anak. Bahkan harus anak itu berbuat demikian. Dan tiada jauh dari kebenaran
bahwa pada yang demikian itu dilihat kepada kejinya perbuatan munkar dan kepada
kadar kesakitan dan kemarahan.
Jikalau munkar itu amat keji dan
kemarahannya kepada anaknya itu dekat, seperti penuangan khamar orang yang
tiada bersangatan kemarahannya, maka yang demikian itu jelas. Dan jikalau
munkar itu dekat dan kemarahan itu keras, seperti : jikalau ia mempunyai bejana
dari mutiara putih bersih atau dari kaca dengan bentuk hewan dan pada
memecahkannya itu memperoleh kerugian banyak harta, maka ini, termasuk yang
bersangatan kemarahan. Dan tidaklah ma'shiat ini berlaku, menurut berlakunya
khamar dan lainnya. Ini semuanya tempat penelitian. Jikalau ada yang bertanya :
"Dari manakah dalilnya, maka kamu mengatakan, tidak ada bagi anak itu
hisbah dengan gertakan dan pukulan dan paksaan kepada meninggalkan yang batil?
Dan amar- ma'ruf pada Kitab dan Sunnah datangnya secara umum, tanpa pengkhususan.
Adapun larangan dari penghardikan dan yang me- nyakitkan, maka telah datang
pada Al-Qur-an. Dan itu khusus pada yang tiada bersangkutan dengan mengerjakan
yang munkar-munkar" Kami menjawab, bahwa sesungguhnya telah datang
mengenai hak bapak secara khusus, apa yang mewajibkan pengecuahan dari umum.
Karena tiada terdapat perbedaan pendapat, bahwa pelaksa- na hukuman tidak boleh
membunuh bapaknya pada hukuman zina dan tidak boleh sec&ra langsung
melaksanakan hukuman itu kepada bapaknya. Bahkan, ia tidak melaksanakan
membunuh bapaknya yang kafir, Bahkan jikalau bapaknya memotong tangan- nya,
maka tiada wajib atas bapaknya q is hash. Dan tiada boleh anaknya menyakiti
bapaknya sebagai timbalan perbuatan bapaknya. Pada yang demikian itu telah
datang hadits-hadits. Dan sebahagian- nya telah tetap dengan ijma'.
Maka apabila tiada boleh bagi
anak, menyakiti bapaknya dengan siksaan, yang berhak dijatuhkan atas perbuatan
tindakan pidana yang lalu, maka tiada boleh bagi anak itu menyakiti bapaknya
dengan siksaan. Yaitu : larangan — dari tindakan pidana yang akan datang yang
mungkin akan terjadi. Bahkan lebih utama lagi: tidak boleh.
730
|
Tertib ini juga seyogialah
berlaku pada budak dan isteri serta tuannya dan suaminya. Keduanya itu lebih
dekat dari anak tentang wajibnya hak. Walaupun milik dengan perbudakan itu lebih
kuat daripada milik dengan perkawinan. Tetapi pada hadits, tersebut :
"Bahwa jikalau boleh sujud kepada makhluq, niscaya aku suruh perempuan
sujud kepada suaminya". (1) Hadits ini menunjukkan pula kepada kuatnya
hak perkawinan. Adapun rakyat serta sultan (penguasa), maka keadaannya lebih
berat dari anak Tiadalah bagi rakyat serta sultan, kecuali memper kenalkan dan
merjasehatkan.
Adapun tingkat ketiga, maka
padanya penelitian, dari segi bahwa serangan mengambil harta dari tempat
simpanannya dan mengem balikannya kepada pemilik, mencabut benang dari kain
suteranya dan memecahkan bejana khamar dalam rumahnya, hampirlah perbuatan itu
membawa kepada mengoyak-ngoyakkan kehebatan dan menjatuhkan kehormatannya.
Yang demikian itu dilarang, yang
telah datang larangannya, sebagaimana telah datang larangan berdiam diri di
atas perbuatan munkar. ( Maka telah bertentangan pula padanya dua hal yang
ditakuti. Urusannya diserahkan kepada ijtihad, yang sumbernya memperha- tikan
tentang kejinya munkar. Dan kadar yang jatuh dari kehormatannya dengan sebab
serangan itu. Dan yang demikian tidak mungkin ditentukan dengan pasti.
Adapun murid dan guru, maka
urusan diantara keduanya adalah lebih ringan. Karena yang dihormati ialah guru
yang memfaedah- kan pengetahuan dari segi Agama. Dan tak ada kehormatan bagi
orang yang berpengetahuan yang tidak berbuat dengan pengeta- huannya. Maka
murid itu bergaul. dengan gurunya, sepanjang yang diharuskan oleh pengetahuan
yang dipelajarinya dari guru itu. Diriwayatkan, bahwa ditanyakan kepada
Al-Hasan tentang anak, bagaimanakah ia berihtisab kepada bapaknya? Maka
Al-Hasan menjawab : "Memberi pengajaran kepada bapaknya, selama bapaknya
tidak marah. Jikalau mar ah, niscaya iadiam".
Syarat Kelima : muhtasib itu
mampu. Dan tidaklah tersembunyi, bahwa orang yang lemah, tidak ada atasnya
hisbah, kecuali dengan hatinya. Karena tiap-tiap orang yang mencintai Allah,
niscaya benci kepada segala perbuatan ma'shiat dan menantangnya.
(1) Hadits ini telah diterangkan pada
"Bab Nikah".
|
(2) Dirawikan A!-Hakim dari 'lyadl bin
Ghanani AI-Asy'ari. Katanya shahih isnad.
|
731
|
Ibnu Mas'ud ra. berkata :
"Beijihadlah terhadap orang-orang kafir itu dengan tanganmu! Jikalau tiada
sanggup, selain engkau ber- masam muka di hadapannya, maka perbuatlah yang
demikian!". Ketahuilah, bahwa tiada berhenti gugurnya kewajiban di atas
kele- mahan yang tampak kelihatan. Akan tetapi diperhubungkan dengan yang
demikian, apa yang ditakutinya, sebagai keadaan yang tiada disukai, yang akan diperolehnya.
Maka yang demikian itu adalah dalam arti kelemahan.
Dan seperti yang demikian juga,
apabila tiada ditakutinya sebagai keadaan yang tiada disukai. Akan tetapi
diketahuinya bahwa pe- nantangannya tiada bermanfa'at. Maka hendaklah ia
menoleh kepada dua pengertian : Salah satu dari keduanya : tiada raem-
faedahkan penantangan, sebagai mematuhi larangan. Yang satu lagi : takut
keadaan yang tiada disukai. Dari memperhatikan dua pengertian tersebut,
berhasillah empat keadaan :
Keadaan Pertama : bahwa
berkumpul dua pengertian itu, dengan diketahuinya bahwa tiada bermanfa'at
perkataanttya. Dan ia akan dipukul, kalau ia berkata-kata. Maka tiadalah wajib
atasnya hisbah. Bahkan kadang-kadang haram pada sebagian tempat. Ya, haruslah
ia tidak menghadliri tempat-tempat munkar dan memencilkan diri (ber-'uzlah) di
rumahnya. Sehingga ia tiada melihat dan tidak keluar, selain karena keperluan
yang penting atau yang wajib. Dan tidak wajib ia berpisah dengan negeri itu dan
berhijrah, Kecuali, apabila ia diajak kepada kerusakan. Atau diba- wa kepada
menolong sultan-sultan (penguasa-penguasa) pada ke- dzaliman dan kemunkaran.
Maka wajiblah ia berhijrah jika sanggup; SesUngguhnya paksaan itu, tidaklah
dima'afkan terhadap orang yang sanggup lari dari paksaan.
Keadaan Kedua : bahwa tidak ada
kedua pengertian itu, dengan sebab diketahuinya bahwa perbuatan munkar akan
hilang dengan perkataan dan perbuatannya. Dan tidak mampu orang membawa- nya
kepada perbuatan yang tiada disukai. Maka wajiblah ia menantang. Dan inilah yang
dinamakan : kesanggupan mutlak.
Keadaan Ketiga: bahwa ia
mengetahui tantangannya tiada memberi faedah. Akan tetapi ia tiada takut akan
keadaan yang tiada disukai. Maka tiada "wajib atasnya hisbah, karena tiada
faedahnya. Tetapi disunatkan untuk melahirkan syi'ar Islam dan memperi- ngatkan
manusia dengan urusan Agama.
732
|
Keadaan Ke-empat : kebalikan
dari ini. Yaitu : ia mengetahui bahwa akan menimpa dirinya dengan keadaan yang
tiada disukai. Akan tetapi perbuatan munkar itu akan hancur dengan perbuatan-
nya. Seperti ia sanggup melemparkan kaca kepunyaan orang fasiq dengan batu.
Lalu batu itu memecahkan kaca tersebut dan menu- angkan khamar. Atau memukulkan
gitar yang di tangannya dengan pukulan yang menyambarkan. Lalu gitar itu pecah
di waktu itu juga. Dan hilanglah perbuatan munkar itu. Akan tetapi ia mengetahui,
bahwa akan dikembalikan kepadanya, lalu dipukul kepalanya.
Maka ini tidaklah wajib dan
tidaklah haram. Akan tetapi disunat- kan (mustahab). Hal ini berdalilkan hadits
yang telah kami datangkan dahulu, tentang keutamaan kata kebenaran pada iman
yang dzalim. Dan tidaklah ragu, bahwa yang demikian itu tempat sang- kutan
ketakutan.
Dibuktikan pula oleh apa yang
diriwayatkan dari Abi Sulaiman Ad-Darani ra. bahwa beliau berkata : "Aku
mendengar perkataan sebahagian khalifah, lalu aku bermaksud menantangnya. Dan
aku tahu, bahwa aku akan dibunuh. Dan tiada yang menghalangi aku oleh
pembunuhan itu. Tetapi khalifah itu berada di hadapan manusia ramai. Maka aku
takut bahwa aku itu ditimpa oleh penghiasan diri bagi makhluq ramai. Lalu aku
dibunuh, tanpa keikhlasan pada perbuatan.
Jikalau ada orang bertanya :
Apakah artinya firman Allah Ta'ala :Artinya : "Dan janganlah kamu
jatuhkan dirimu sendiri dengan tanganmu kepada kebinasaan". (S.
Al-Baqarah, ayat 195). Kami menjawab : tiada perbedaan pendapat, bahwa
muslim seorang diri boleh menyerang kebarisan orang-orang kafir dan berperang.
Walaupun ia tahu bahwa ia akan terbunuh. Dan ini kadang- kadang disangka
menyalahi bagi yang diwajibkan oleh ayat di atas. Dan bukanlah demikian.
Sesungguhnya Ibnu 'Abbas ra. telah berkata : "Tidaklah kebinasaan itu
demikian. Akan tetapi, meninggalkan perbelanjaan pada mentha'ati Allah Ta'ala.
Artinya : orang yang tidak berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah mem
binasakan dirinya".
733
|
Al-Barra' bin 'Azib berkata :
"Kebinasaan, ialah berbuat dosa. Kemudian ia mengatakan : "Tidak akan
diterima taubatku". Abu 'Ubaidah berkata: "Kebinasaan, ialah berbuat
dosa. Kemudian tidak berbuat kebajikan sesudahnya, sehingga ia binasa".
Apabila boleh memerangi kafir, sehingga ia terbunuh, niscaya boleh pula baginya
yang demikian pada hisbah. Akan tetapi, kalau ia tahu bahwa tak ada kegagahan
untuk serangannya ke atas kafir, seperti orang buta yang mencampakkan dirinya
kepada barisan atau orang lemah, maka yang demikian itu haram. Dan masuk dalam
umum ayat kebinasaan itu.,
Sesungguhnya boleh baginya maju
apabila ia tahu bahwa ia berperang sampai terbunuh. Atau ia tahu bahwa ia
menghancurkan hati orang-orang kafir, dengan dilihat mereka akan keberaniannya.
Dan diyaqini mereka pada orang-orang Islam yang lain, kurang memper- hatikan
akan kepentingan sendiri. Dan kecintaan mereka (kaum muslimin) untuk syahid
pada jalan Allah (sabilullah). Maka dengan demikian, hancurlah kekuatan
orang-orang kaQr itu. Maka seperti itu pula, boleh bagi muhtasib, bahkan
disunatkan baginya, mendatangkan dirinya bagi pemukulan dan pembunuhan, apabila
hisbahnya itu membekas pada menghilangkan kemunkaran. Atau pada menghancurkan
kemegahan orang fasiq. Atau pada menguatkan hati orang-orang Agama.
Adapun kalau muhtasib itu
melihat seorang fasiq yang keras dan padanya ada pedang dan di tangannya gelas
berisi khamar dan muhtasib itu tahu bahwa jikalau ia menantang, niscaya orang
fasiq itu akan meminum khamar tersebut dan akan memotong lehemya dengan pedang.
Maka ini termasuk diantara yang
aku lihat, tak ada cara untuk hisbah padanya. Dan itu adalah kebinasaan
benar-benar. Maka sesungguhnya yang dicari, ialah yang memberi bekas dengan
sesuatu bekas pada Agama. Dan ia dapat menebuskannya dengan dirinya sendiri.
Adapun mendatangkan diri bagi
kebinasaan, tanpa memberi bekas, maka tiada cara bagi yang demikian. Bahkan
seyogialah haram ada- nya. Dan sesungguhnya disunatkan menantang, apabila
sanggup membatalkan kemunkaran itu. Atau nyata perbuatannya itu memberi faedah.
Dan yang demikian, dengan syarat bahwa hai yang tiada disukai itu terbatas ke
atas dirinya saja. Jikalau diketahuinya, bahwa orang fasiq itu akan memukul
orang lain juga, dari para shahabat atau kerabat atau teman-temannya,
734
|
maka tidak boleh muhtasib itu
berhisbah. Bahkan haram. Karena ia lemah daripada menolak kemunkaran. Kecuali
yang demikian itu membawa kepada kemunkaran yang lain. Dan tidaklah yang
demikian itu termasuk dalam kemampuan sedikitpun. Bahkan, jikalau diketahuinya,
bahwa jikalau ia berihtisab, niscaya kemunkaran itu hilang. Akan tetapi yang
demikian itu menjadi sebab bagi kemunkaran yang lain, yang akan diperoleh oleh
yang lain dari muhtasib itu. Maka yang lebih kuat hukumnya, tiada halal
menantangnya. Karena yang dimaksud, ialah tiada terdapat kemunkaran-kemunkaran
Agama mutlak. Tidak dari si Zaid atau dari si 'Umar.
Yang demikian itu, umpamanya :
ada pada seseorang, minuman halal yang bernajis, disebabkan jatuh najis ke
dalamnya. Dan orang itu tahu, bahwa jikalau dibuangkannya minuman itu, niscaya
yang puny a minuman itu, akan meminum khamar. Atau anak-anaknya akan meminum
khamar, karena mereka itu berhajat kepada minuman halal. Maka tak ada artinya
menuangkan yang demikian. Dan mungkin juga dikatakan, bahwa orang itu
menuangkan yang demikian. Maka dia, membatalkan suatu kemunkaran. Adapun
meminum khamar, maka adalah perbuatan yang tercela. Dan muhtasib itu tiada
sanggup mencegahnya dari kemunkaran itu. Telah berjalan kepada pendapat tadi
orang-orang yang beraliran demikian. Dan tidaklah jauh dari dapat dipahami.
Karena ini adalah masalah-masalah fiqh, tidak mungkin menetapkan hukumnya,
selain dengan berat dugaan (dhan). Dan tiadalah jauh untuk dibe- dakan, antara
derajat-derajat kemunkaran yang dihilangkan dan kemunkaran yang membawa
kepadanya hisbah dan penghilangan. Sesungguhnya apabila muhtasib itu
menyembelih kambing untuk orang lain, supaya dimakannya dan ia tahu jikalau
dilarangnya dari yang demikian, niscaya orang itu akan menyembelih manusia dan
memakannya, maka tak adalah arti bagi hisbah ini. Ya, jikalau dilarangnya
daripada menyembelih manusia atau me- motong anggotanya, yang akan membawa
kepada pengambilan hartanya, maka yang demikian itu mempunyai segi yang jelas.
Maka inilah titik-titik halus yang terjadi pada tempat ijtihad. Dan atas
muhtasib mengikuti ijtihadnya pada yang demikian semuanya. Dan bagi titik-titik
halus ini kami berkata : "Seyogialah bagi orang aw am tidak melakukan
ihtisab. Kecuali pada hal-hal yang terang, yang diketahui. Seperti: minum
khamar, zina dan meninggalkan shalat".
735
|
Adapun sesuatu yang diketahui
itu ma'shiat, dengan disandarkan kepada perbuatan-perbuatan yang datang dan
memerlukan kepada ijtihad, maka orang awam jikalau texjun ke dalamnya, niscaya
merusak lebih banyak daripada memperbaiki. Dari inilah menguatnya sangkaan
orang yang tidak menetapkan pengurusan hisbah,, kecuali dengan penentuan wali
(penguasa). Karena kadang-kadang terpanggil kepada hisbah itu, orang yang tidak
ahli, karena kesingkatan pengetahuannya atau kekurangan keagamaannya. Maka yang
demikian itu membawa kepada segi- segi kecederaan. Dan akan datang pembukaan
tutup dari yang demikian, Insya Allah.
Kalau ada orang bertanya :
"Dari segi anda mengatakan secara mutlak bahwa muhtasib itu tahu akan
mengenai dirinya hai yang tiada diingini atau tiada mendatangkan faedah
hisbahnya itu. Maka jikalau "tahu" itu diganci dengan
"sangka", bagaimana hukum- nya?".
Kami menjawab : bahwa
persangkaan yang keras pada bab ini, adalah dalam arti : tahu. Hanya perbedaan
itu jelas, ketika ber- tentangan sangka dan tahu. Karena kuat tahu dengan
keyaqinan dari sangka. Dan diperbedakan antara tahu dan sangka pada tempat-tempat
lain. Yaitu : bahwa gugur kewajiban hisbah, di mana muhtasib itu tahu dengan
pasti, bahwa perbuatannya tidak akan berfaedah. Kalau keras persangkaannya,
bahwa "tidak berfaedah tetapi 14mungkin akan berfaedah"
dan bersamaan dengan itu tidak akan terjadi hai yang tiada diingini, maka
berselisih para ulama tentang wajibnya.
Yang lebih kuat (al-adhar)
wajib. Karena tak ada kemelaratan padanya. Dan manfa'atnya diharapkan. Dan
umumnya amar- ma'ruf dan nahi-munkar, menghendaki akan wajib itu dalam segala
hai. Dan hanya kami kecualikan secara khusus, apabila muhtasib itu tahu, bahwa
tidak berfaedah. Adakalanya dengan ijma' atau dengan qias nyata. Yaitu : bahwa
suatu perintah tidaklah dimaksudkan perintah itu sendiri. Akan tetapi, bagi
yang diperintah. Maka apabila yang diperintah itu tahu tidak akan berhasil (ia
putus- asa), maka tak ada faedah dilaksanakan. Apabila ia tidak putus-asa, maka
seyogialah kewajiban itu tidak gugur.
Kalau orang bertanya : bahwa
yang tiada diingini yang mungkin akan terjadi, jikalau kemungkinan itu tidak
diyaqini dan tidak diketahui dengan keras sangka, akan tetapi diragukan atau
keras sangkanya bahwa tiada akan menimpa dengan yang tiada diingini,
736
|
akan tetapi mungkin akan menimpa
dengan yang tiada diingiriihya itu, maka kemungkinan ini, gugurkah wajibnya?.
Sehingga tiada wajib, kecuali ketika yaqiri, bahwa tiada akan menimpa diri muhtasib
dengan yang tiada diingini. Ataukah wajib dalam tiap-tiap hal, kecuali apabila
keras sangkaannya, akan menimpa dengan yang tiada diingini.
Kami jawab, jikalau keras
sangkaannya bahwa ia akan tertimpa dengan yang tiada diingini, niscaya tiada
wajib. Jikalau keras sangkaannya, bahwa ia tiada akan tertimpa dengan yang
tidak diingini, niscaya wajib. Dan semata-mata kemungkinan, tidak menggugur-
kan wajib. Karena yang demikian adalah mungkin pada semua hisbah.
Jikalau ia ragu padanya, tanpa
kekuatan dalil, maka inilah tempat penelitian. Mungkin dikatakan, pada pokoknya
(asalnya) wajib dengan umumnya hukum. Dan wajib itu gugur dengan hal yang tiada
diingini.
Dan yang tiada diingini itu
ialah yang disangka atau diketahui, sehingga adanya akan terjadi. Inilah
pendapat yang'lebih kuat!.
Dan mungkin dikatakan, bahwa
wajib melaksanakan hisbah itu, apabila diketahui tak ada kemelaratan padanya.
Atau disangka tak ada kemelaratan.
Yang pertama lebih syah (lebih
kuat), karena memandang kepada yang dikehendaki umum, yang mewajibkan
amar-ma'ruf. Kalau ada yang bertanya : dugaan akan terjadi yang tiada diingini
itu, berlainan disebabkan pengecut dan berani. Maka orailg penge- cut yang
lemah hati, melihat yang jauh itu dekat. Sehingga seakan- akan ia melihatnya
dan ia takut. Dan orang yang sangat berani, merasa jauh akan terjadi hal yang
tiada diingini, menurut hukum tabi'atnya, dari baiknya angan-angan. Sehingga ia
tidak membenar- kan, kecuali sesudah terjadi. Jadi, maka apakah yang menjadi
pegangan?.
Kami menjawab, pegangan itu
adalah di atas tabi'at yang sedang, akal yang sejahtera dan kondisi badan
(mizaj). Sesungguhnya sifat pengecut itu penyakit. Yaitu : kelemahan hati
(jiwa). Sebabnya-kurang dan merendahnya kekuatan. Dan sifat tahawwur
(keberanian yang berlebih-lebihan) adalah bersangatan kekuatan, keluar dari
pertengahan dengan berlebih-lebihan. Keduanya itu sifat kekurangan\Yang
sempurna ialah pada pertengahan yang disebut: syaja 'ah (berani).
737
|
Masing-masing : pengecut dan
tahawwur itu, terjadi, sekali dari kekurangan akal dan sekali dari kecederaan
kondisi badan dengan merendahnya atau meningginya. Sesungguhnya orang yang
sedang mizajnya mengenai sifat pengecut dan berani, kadang-kadang ia tidak
meneliti tempat-tempat kejahatan. Maka adalah sebab kebe- raniannya itu
kebodohannya. Kadang-kadang ia tidak meneliti cara-cara menolak kejahatan itu,
maka sebab- pengecutnya ialah kebodohannya. Kadang-kadang ia tahu, disebabkan
pengalaman dan kebiasaan dengan tempat-tempat datangnya kejahatan dan dan
cara-cara menolaknya. Akan tetapi kejahatan yang jauh itu berbuat pada
melemahkan dan menghancurkan kekuatannya untuk tampil. Disebabkan kelemahan
hati (jiwa)nya, akan apa yang diperbuat oleh kejahatan yang dekat pada orang yang
berani, yang ber- fcabi'at sedang (normal).
Maka tidaklah penolehan pada
kedua segi itu .
Dan atas orang pengecut harus
berusaha meskipun berat, menghi- langkan kepengecutannya dengan menghilangkan
penyakitnya. Penyakitnya ialah : kebodohan atau kelemahan. Kebodohan itu hilang
dengan pengalaman. Dan kelemahan itu hilang dengan membiasakan perbuatan yang
ditakuti, dengan memaksakan diri (takalluf). Sehingga menjadi kebiasaan. Karena
orang yang baru tampil (mubtadi') pada bertukar-pikiran dan memberi pengajaran-
umpamanya, kadang-kadang tabi'atnya pengecut, karena kelemahannya.Maka apabila
ia selalu dan membiasakan, niscaya kelemahan itu berpisah daripadanya.
Maka jikalau yang demikian telah
menjadi mudah (dlaruri), tidak hilang lagi, dengan dikuasai oleh kelemahan ke
atas hati (jiwa), maka hukum orang yang lemah itu, mengikuti halnya. Maka ia
dima'afkan, sebagaimana dima'afkan orang sakit, tidak melakukan sebahagian
kewajibannya.
Karena itulah, kadang-kadang
kami berkata di atas pendapat : bahwa tiada wajib melakukan pelajaran karena
menunaikan hajji yang menjadi hukum Islam, atas orang yang sangat pengecut ber-
layar di lautan. Dan wajib atas orang yang tiada sangat ketakutan- nya. Maka
seperti itu pula urusan tentang wajibnya hisbah. Kalau ada yang bertanya :
keadaan yang tiada diingini yang akan terjadi itu, manakah. batasnya? Karena
manusia itu, kadang- kadang tiada menyukai suatu perkataan. Kadang-kadang tiada
me- nyukai pukulan. Dan kadang-kadang tiada menyukai panjangnya lidah muhtasib
terhadap dirinya dengan umpatan. Tiada seorang-
738
|
pun yang diajak kepada perbuatan
kebaikan, melainkan mungkin akan terjadi daripadanya semacam kesakitan.
Kadang-kadang tim- bul dari orang itu, menyeret muhtasib itu kepada sultan
(penguasa). Atau mengancamnya pada majelis yang akan membawa kemelaratan
kepada muhtasib dengan ancaman tersebut. Maka apakah batas hal yang tiada
diingini itu yang menggugurkan kewajiban?.
Kami menjawab : Ini juga,padanya
penelitian yang kabur. Bentuk persoalannya bertebaran dan tempat lalunya
banyak. Akan tetapi, kami bersungguh-sungguh mengumpulkan yang bertebaran itu
dan menghinggakan bahagian-bahagiannya.
Kami terangkan, bahwa : yang
tiada diingini itu (al-mahruh) ialah lawan dari yang dicari (al-mathlub). Yang
dicari oleh manusia di dunia ini, kembaii kepada empat perkara : adapun pada
jiwa, maka pengetahuan. Adapun pada badan, maka kesehatan dan kesejahte- raan.
Adapun pada harta, maka kekayaan. Dan adapun pada hati manusia, maka tegaknya
kemegahan.
Jadi, yang dicari itu :
pengetahuan, kesehatan, kekayaan dan kemegahan.
Arti kemegahan, ialah : memiliki
hati manusia, sebagaimana arti kekayaan, ialah : memiliki dirham (uang). Karena
hati manusia itu jalan (wasilah). kepada maksud-maksud. Sebagaimana memiliki
dirham itu,jalan kepada sampainya maksud. Dan akan datang pene- gasan arti
kemegahan dan sebab kecondongan tabi'at manusia kepadanya, pada "Rubu'
Yang Membinasakan". Masing-masing dari empat ini, dicari oleh manusia
untuk dirinya sendiri, untuk kerabatnya dan orang-orang yang tertentu dengan
dia. Dan yang tidak diingini pada empat ini; dua perkara : Pertama : hilang apa
yang telah berhasil, yang telah berada di tangannya.
Kedua : tercegah tidak
berhasilnya apa yang ditunggu, yang belum ada. Ya'ni : tertolak apa yang
diharapkan adanya. Maka tak ada yang memelaratkan, kecuali lenyapnya apa yang
telah berhasil dan hilangnya atau pencegahan yang ditunggu. Karena yang
ditunggu. adalah ibarat dari sesuatu yang mungkin diperoleh. Dan kemungkinan
diperoleh itu, seakan-akan barang yang berhasil. Dan lenyap kemungkinannya,
seakan-akan lenyap berhasilnya. Maka kembalilah yang tiada diingini itu kepada
dua bahagian :
Bahagian Pertama : takut
tercegahnya yang dinantikan. Dan ini tiada seyogialah sekali-kali memberi
kelapangan untuk mehinggal-
739
|
kan amar-ma'ruf. Dan marilah
kami sebutkan contohnya pada empat macam yang dicari itu.
Adapun pengetahuan : contohnya
ialah, meninggalkan hisbah atas orang yang tertentu dengan gurunya. Karena
takut buruk keadaan- nya pada gurunya itu. Lalu beliau tiada mau mengajarnya
lagi. Adapun kesehatan : maka meninggalkannya itu, penantangan kepada tabib
(dokter) yang ia masuk kepadanya-umpamanya-dengan memakai sutera. Karena takut
ia terlambat daripadanya. Maka ter- cegahlah disebabkan demikian, kesehatannya
yang dinantikan. Adapun harta: maka meninggalkannya itu, hisbah terhadap
sultan, shahabat-shahabatnya dan orang yang menolongnya dari hartanya. Karena
takut dipotongnya bantuan pada masa yang akan datang dan ditinggalkannya
pertolongan itu.
Adapun kemegahan, maka
meninggalkannya itu, hisbah terhadap orang yang diharapkannya daripadanya
pertolongan dan kemegahan pada masa yang akan datang. Karena takut akan tidak
berhasil baginya kemegahan. Atau takut akan buruk keadaannya pada sultan
(penguasa) yang diharapkannya daripadanya memperoleh kedudukan dalam
pemerintahan (wilayah).
Ini semuanya tidak menggugurkan
kewajiban hisbah. Karena ini adalah tambahan-tambahan yang tercegah
berhasilnya. Dan mena- makan tercegahnya berhasil tambahan-tambahan itu karena
kemelaratan, adalah majaz (1). Dan bahwasanya kemelaratan hakiki, ialah :
lenyapnya kehasilan.
Tiada dikecualikan dari ini
suatupun, selain apa yang diminta oleh keperluan. Dan pada lenyapnya itu ada
hai yang ditakuti, yang melebihi dari ketakutan diam atas perbuatan munkar.
Sebagaimana apabila ia memerlukan kepada tabib, karena penyakit yang seka-
rang. Dan kesehatan itu adalah yang ditunggu dari pengobatan tabib tersebut.
Dan diketahuinya bahwa pada terlambatnya tabib itu, akan sangatnya sakit dan
lamanya penyakit itu. Kadang-kadang membawa kepada mati.
Dan aku maksudkan dengan tahu,
ialah : berat sangkaan, yang membolehkan dengan hai yang seperti itu,
meninggalkan pemakai- an air dan berpaling kepada tayammum.
Maka apabila sampai kepada batas
ini, niscaya tidak jauh, untuk diberi keluangan meninggalkan hisbah.
(1) Majaz, ialah : pemakaian kata tidak menurut
arti hakiki.
|
740
|
Adapun mengenai pengetahuan,
maka umpamanya, bahwa ia bodoh dengan semua yang penting pada Agamanya. Dan ia
tiada memperoleh, selain seorang guru. Dan ia tidak sanggup berangkat kepada
guru lain. Dan diketahuinya bahwa orang yang diamar-ma'ruf- kan (muhtasab
"alaih) itu, sanggup menutupkan jalan sampai kepadanya. Karena orang yang
berilmu (orang 'alim) itu, patuh kepadanya atau mendengar perkataannya.
Jadi, menahan diri (bersabar) di
atas kebodohan, dengan hal-hal - yang penting bagi agama itu dijaga. Dan diam
atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan tidak jauhlah untuk dikuatkan salah satu
dari keduanya. Dan yang demikian itu, berlainan dengan kejinya kemunkaran dan
sangatnya keperluan kepada pengetahuan. Karena hubungannya dengan kepentingan
Agama.
Adapun mengenai harta, maka
seperti orang yang lemah dari berusaha dan meminta-minta. Dan ia tidak kuat
jiwanya pada tawakkal. Dan tidak ada yang memberi perbelanjaan (nafkah)
kepadanya, selain orang seorang. Jikalau ia berihtisab kepada orang itu,
niscaya orang_ itu memutuskan perongkosan hidupnya (reze- kinya). Dan
berhajatlah ia pada menghasilkan rezeki itu, kepada mencari rezeki yang haram
atau mati kelaparan. Ini juga, apabila bersangatan keadaannya niscaya tiada
jauh, untuk diberi kelapangan kepadanya berdiam diri.
Adapun kemegahan, yaitu : ia
disakiti oleh orang jahat. Dan tidak memperoleh jalan untuk menolak kejahatan
itu, selain dengan kemegahan, yang diusahakannya dari sultan (penguasa). Dan ia
tiada sanggup mencapainya, selain dengan perantaraan orang yang memakai sutera
atau meminum khamar. Dan jikalau ia berihtisab kepada orang itu, niscaya dia
tidak mempunyai perantaraan dan jalan baginya lagi. Maka tercegahlah ia
memperoleh kemegahan, Dan dengan sebab yang demikian, berkekalanlah kesakitan
dari orang jahat tersebut.
Semua keadaan ini apabila telah
lahir dan kuat, niscaya tiada jauhlah pengecualiannya. Akan tetapi urusannya
tersangkut dengan ijtihadnya si muhtasib. Sehingga ia meminta fatwa pada
hatinya. Dan menimbang salah satu dari dua yang dijaga itu dengan yang lain.
Dan dikuatkan dengan memperhatikan Agama. Tidak dengan yang diharuskan
hawa-nafsu dan tabi'at sendiri. Jikalau dikuatkan dengan yang diwajibkan oleh
Agama, niscaya diamnya itu dinama- kan : berlemah-lembut. Dan jikalau dikuatkan
dengan yang diwajibkan oleh hawa-hafsu, niscaya diamnya dinamakan : berminyak-
minyak air.
741
|
Dan ini adalah urusan bathin,
yang tidak terlihat, selain dengan penelitian yang halus. Tetapi pengecam itu
melihat. Maka berhak- lah atas tiap-tiap orang beragama mengintip hatinya. Dan
ia tahu, bahwa Allah melihat kepada yang membangkitkan dan yang me- malingkan
hati itu, bahwa itu Agama atau hawa-nafsu. Dan tiap- tiap jiwa akan mendapati
apa yang dikeijakannya, jahat atau baik, berada disisi Allah .-Walaupun pada
sekejap yang terguris atau pada sekejap yang memperhatikan, tanpa kedzaliman
dan penganiayaan. Tidaklah Allah berlaku dzalim kepada hamba-Nya. Bahagian
Kedua : ialah : lenyapnya hasil. Maka itu tiada diingini. Dan dipandang boleh
berdiam diri pada hal-hal empat perkara itu, selain pengetahuan. Maka lenyapnya
pengetahuan itu tiada ditakuti, selain dengan keteledoran daripadanya. Jikalau
tidak, maka tiada seorangpun sanggup mencabut ilmu dari orang lain. Walaupun ia
sanggup mencabut kesehatan, keselamatan, kekayaan dan harta. Inilah salah satu
sebab kemuliaan ilmu. Ilmu itu kekal di dunia dan pahalanya kekal di akhirat.
Ia tiada terputus untuk selama-lamanya: Adapun kesehatan dan kesejahteraan,
maka keduanya hilang dengan pukulan. Tiap-tiap orang yang mengetahui bahwa ia
akan dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, yang diperolehnya kesakitan itu pada
hisbah, maka tiada wajib hisbah atasnya. Walaupun disunatkan yang demikian
baginya, sebagaimana telah dite- rangkan dahulu.
Apabila telah dipahami ini
tentang menyakitkan dengan pukulan, maka tentang melukakan, memotong dan
membunuh itu lebih jelas lagi.
Adapun kekayaan, ialah
diketahuinya bahwa akan dirampok kampungnya, dirobohkan rumahnya dan dirampas
kain-kainnya. Maka ini juga, gugur kewajiban daripadanya. Dan tinggallah-
sunat. Karena tiada mengapa ia menebus agamanya dengan dunianya. Dan masing-masing
dari pukulan dan rampokan itu mempunyai batas tentang sedikitnya yang tidak
masuk kiraan, seperti sebutir biji-bijian pada harta, dan tamparan yang ringan
sakitnya pada pukulan. Dan batas pada banyaknya itu, tertentu perkiraannya. Dan
pertengahan itu terjadi pada tempat kesangsian dan ijtihad. Dan atas orang yang
beragama, bahwa ia berijtihad pada yang demikian. Dan menguatkan segi
keagamaan sedapat mungkin. Adapun kemegahan, maka hilangnya, ialah : dengan
memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Atau memaki di hadapan orang
banyak. Atau meletakkan sapu-tangan pada lehernya dan
742
|
membawa dia keliling negeri.
Atau menghitamkan mukanya dan dibawa berkeliling.
Semuanya itu tanpa pukulan yang
menyakitkan badan. Dan itu adalah merusakkan kemegahan dan menyakitkan hati.
Dan ini mempunyai tingkat-tingkat.
Maka yang betul, ialah dibagi
kepada : apa yang dipandang menggugurkan kehormatan diri (muru-ah), seperti
dibawa keliling dalam negeri, terbuka kepala dan tiada beralas kaki. Maka ini
diberi kelapangan kepadanya berdiam diri. Karena kehormatan diri itu disuruh
menjaganya pada Agama. Dan ini menyakitkan hati dengan kesakitan yang
bertambah di atas sakitnya pukulan yang berulang-ulang dan di atas hilangnya
sedikit dirham. Ini suatu tingkat!
Tingkat Kedua, ialah yang
dikatakan kemegahan semata-mata dan ketinggian pangkat. Maka sesungguhnya
keluar dengan pakaian kebanggaan itu, berbuat-buat kecantikan. Dan demikian
pula me- ngendarai kuda.
Jikalau diketahuinya, bahwa
kalau ia berihtisab, niscaya memberat- kan ia berjalan kaki di pasar dengan
pakaian yang tiada pernah dipakainya seperti itu atau memberatkan ia berjalan
kaki, sedang kebiasaannya berkendaraan. Maka ini termasuk dalam jumlah kelebihan.
Dan tidaklah kerajinan menjaganya itu terpuji. Dan menjaga harga-diri itu
terpuji. Malta tiada seyogialah gugur kewajiban hisbah dengan contoh yang
sekedar ini.
Termasuk dalam pengertian ini,
jikalau ditakutinya akan datang serangan dengan lisan. Adakalanya di
hadapannya, dengan kata- kata pembodohan dan pendunguan dan penyebutan ria dan
palsu. Dan adakalanya di belakangnya (tidak di mukanya), dengan bermacam-macam
umpatan.
Maka ini tidak menggugurkan
wajib. Karena tak ada padanya, selain hilangnya kelebihan kemegahan yang tidak
besar keperluannya.
Jikalau ditinggalkan hisbah,
disebabkan cacian orang yang mencaci atau disebabkan umpatan orang fasiq atau
makiannya dan gertakan- nya atau hilangnya kedudukan dari hatinya dan hati
tejnan-teman- nya, niscaya tiadalah sekali-kali wajib hisbah itu. Karena
tiadalah terlepas hisbah daripadanya, kecuali apabila munkar itu umpatan. Dan
diketahuinya bahwa jikalau ditantangnya, niscaya orang itu tidak berdiam diri
dari orang yang diumpatinya. Tetapi ditambah- kannya dan dimasukkannya orang
yang diumpatinya itu bersama dia dalam mengumpat.
743
|
Maka haramlah hisbah ini, karena
menjadi sebab bertambahnya kema'shiatan.
Jikalau diketahuinya bahwa orang
itu akan meninggalkan peng- umpatan itu dan menyingkatkan kepada mengumpatnya
saja, maka tiada wajib juga hisbah. Karena umpatannya itu ma'shiat juga
terhadap'orang yang diumpatinya. Tetapi disunatkan yang demikian kepadanya.
Supaya ia menebus kehormatan orang tersebut dengan kehormatan dirinya di atas
jalan mengutamakan ke pentingan orang lain.
Sesungguhnya umumnya ayat-ayat
dan hadits-hadits, menunjukkan kuat wajibnya hisbah dan besarlah bahaya berdiam
diri daripadanya. Maka tiadalah menandinginya, selain oleh apa yang besar
bahayanya pada Agama. Harta, nyawa dan harga-diri telah jelas pada Agama
bahayanya.
Adapun kelebihan kemegahan,
kemarahan, derajat berbuat-buat kecantikan dan mencari pujian makhluq, maka
semuanya itu tiada berbahaya.
Meninggalkan ihtisab karena
takut kepada sesuatu dari hal-hal yang tiada diingini, yang akan menimpa
anaknya dan familinya, maka itu adalah termasuk haknya pada orang yang di bawahnya.
Karena merasa sakit disebabkan oleh urusannya sendiri adalah lebih berat
daripada dirasa sakit oleh urusan orang lain. Dan dari segi Agama, yaitu yang
di atasnya. Karena ia dapat mema'afkan mengenai hak- haknya sendiri. Dan tidak
dapat mema'afkan mengenai hak orang lain.
Jadi, seyogialah ia tidak
melakukan ihtisab. Maka sesungguhnya, jikalau ada yang hilang dari hak-hak
mereka (anak dan famili) itu, hilang atas jalan ma'shiat, seperti:- pukulan dan
rampokan, maka tiadalah baginya hisbah ini. Karena dia menolak munkar, yang
membawa kepada munkar.
Jikalau yang hilang itu tidak
dengan jalan ma'shiat, maka itu juga menyakiti orang Islam. Dan tiada boleh
baginya yang demikian, kecuali dengan persetujuan mereka (anak dan famili) itu.
Maka apabila ada yang demikian itu, membawa kepada menyakitkan kaumnya, maka
hendaklah ditinggalkan ihtisab itu. Yang demikian itu seperti orang dzahid yang
mempunyai famili orang-orang kaya. Maka dia tidak takut kepada hartanya,
jikalau ia melakukan ihtisab kepada sultan (penguasa). Tetapi sultan itu akan
menuju familinya, karena menuntut balas dari orang dzahid tadi dengan
perantaraan familinya.
744
|
Apabila kesakitan itumenjalar
dari sebab hisbahnya, kepada famili dan tetangganya, maka hendaklah ia
meninggalkan hisbah itu. Maka sesungguhnya menyakiti kaum musiimin itu harus
dijaga. Sebagaimana diam atas munkar itu, harus dijaga. Ya, jikalau tiada
menimpa mereka oleh kesakitan itu pada harta atau jiwa, tetapi akan menimpa
mereka oleh kesakitan dengan cacian dan makian, maka mengenai ini ada
penelitian. Dan berlaip- an urusannya menurut derajat kemunkaran tentang
kekejiannya dan tingkat perkataan yang dijaga mengenai tusukannya pada hati dan
memalukan pada kehormatan.
Jikalau
ada yang bertanya : "Kalau orang mau
memotong anggota tubuhnya sendiri dan ia tiada akan mencegah dirinya dari
maksudnya itu, kecuali dengan pertempuran, yang kadang-kadang akan membawa
kepada terbunuhnya, maka apakah ia akan diperangi? Jikalau anda mengatakan :
akan diperangi, maka itu mustahil (tidak masuk akal). Karena itu adalah
membinasakan jiwa karena takut dari kebinasaan anggota tubuh. Dan pada
membinasakan jiwa itu, membinasakan anggota tubuh pula".
,
Kami menjawab : dilarang dari
memotong anggota tubuhnya itu dan ia diperangi. Karena bukanlah maksud kita
menjaga nyawanya dan anggota tubuhnya. Akan tetapi yang menjadi maksud, ialah :
menutup jalan munkar dan ma'shiat. Dan membunuhnya pada hisbah itu tidak
ma'shiat. Memotong anggota tubuhnya sendiri itu ma'shiat.
Yang demikian itu seperti
menolak orang yang memaksa harta orang Islam,, dengan apa yang mendatangkan
kepada terbunuhnya. Yang demikian itu dibolehkan. Bukan berarti kita menebus
sedir- ham harta orang Islam, dengan nyawa orang Islam. Yang demikian itu
mustahil (tidak masuk akal). Tetapi maksudnya, untuk mengambil harta orang
Islam itu, ma'shiat. Dan terbunuhnya pada menolak perbuatan ma'shiat itu tidak
ma'shiat. Dan yang dimaksud ialah menolak perbuatan-perbuatan ma'shiat. Kalau
ada yang berkata : "Jikalau kita ketahui, bahwa orang itu jikalau duduk
sendirian untuk memotong anggota tubuhnya sendiri, maka seyogialah kita
menyerangnya sekarang juga, untuk menutup pintu kema'shiatan".
Kami menjawab : Yang demikian
itu tidaklah diketahui dengan yaqin. Dan tidak boleh menumpahkan darahnya
dengan persangkaan ma'shiat. Tetapi apabila kita melihatnya dalam keadaan sedang
memotong anggota tubuhnya, niscaya kita halangi perbuatan tersebut. Kalau ia
menyerang kita, niscaya kita serang dia. Dantidak kita hiraukan dengan apa yang
akan terjadi atas jiwanya.
745
|
Jadi, perbuatan ma'shiat itu
mempunyai tiga hal.
Hal Pertama : bahwa ma'shiat itu
sudah berlalu. Maka siksaan atas ma'shiat yang berlalu itu, ialah hukuman atau
didera (ta'zir). Danitu terserah kepada wali (penguasa), tidak kepada seseorang
peri-
badi.
Hal Kedua :
bahwa ma'shiat itu sedang berlangsung dan pelakunya sedang melakukannya.
Seperti : dipakainya kain sutera, dipegang- nya gitar dan khamar. Maka
menghilangkan ma'shiat ini wajib, dengan segala jalan yang mungkin ditempuh.
Selama tidak membawa kepada kema'shiatan yang lebih buruk lagi atau yang sama.
Dan ini berlaku bagi masing-masing orang peribadi dan rakyat. Hal Ketiga :
bahwa perbuatan munkar itu mungkin akan terjadi. Seperti orang yang menyiapkan
menyapu tempat dan menghiasinya. Dan mengumpulkan bunga-bungaan untuk minum
khamar. Dan khamar itu, belum didatangkan sesudahnya. Maka ini diragukan.
Karena kadang-kadang datang sesuatu hai yang dapat mencegah. Maka tiada hak
bagi seseorang peribadi menggunakan kekerasan terhadap orang yang bercita-cita
meminum khamar. Kecuali dengan jalafi pengajaran dan nasehat.
Adapun dengan kekerasan dan
pukulan, maka tiada boleh bagi seseorang peribadi dan bagi sultan (penguasa).
Kecuali, apabila ma'shiat itu diketahui dengan kebiasaan yang berkali-kali. Dan
ia telah tampil kepada sebab, yang membawa kepada kema'shiatan itu. Dan tiada
tinggal untuk terjadinya maksud itu, kecuali apa yang tidak ada padanya, selain
penungguan waktu saja. Yang demikian itu, adalah seperti berhentinya anak-anak
muda pada pintu kamar mandi kaum wanita, untuk melihatnya ketika m^suk dan
keluar. Maka anak-anak muda itu, walaupun mereka tidak meriyempitkan jalan karena
jalan itu luas, maka bolehlah dilakukan hisbah kepada mereka, dengan menyuruh
mereka berdiri dan melarang berhenti di tempat tersebut, dengan kekerasan dan
pukulan.
746
|
Dan adalah pentahkikan ini,
apabila dibahas secara mendalam, niscaya kembalf kepada berhenti di pintu itu
sendiri adalah perbuatan ma'shiat. Walaupun maksud dari si pelaku kema'shiatan
itu di belakangnya. Sebagaimana duduk berdua-duaan (khilwah) dengan wanita
ajnabiah (wanita yang bukan mahram) itu sendiri, adalah perbuatan ma'shiat.
Karena menjadi dugaan terjadinya kema'shiatan. Dan mendatangkan sesuatu yang
menimbulkan sang- kaan ma'shiat itu ma'shiat.
Kami maksudkan dengan sangkaan,
ialah : sesuatu yang diperbuat orang biasanya untuk terjadinya sesuatu
perbuatan ma'shiat, di mana tiada sanggup dicegah daripadanya.
Jadi, menurut pentahkikan,
hisbah itu adalah atas ma'shiat yang sedang berlangsung, tidak atas ma'shiat
yang akan terjadi.
rukun
kedua : Hisbah mempunyai sesuatu yang padanya hisbah.
Yaitu : Tiap-tiap munkar yang ada sekarang, yang
terang bagi si Muhtasib, tanpa diintip, diketahui adanya kemunkaran itu tanpa
ijtihad.
Maka ini empat syarat! Marilah
kiua membahasnya!. Syarat Pertama : adanya kemunkaran itu. Kami maksudkan : bahwa
ditakuti terjadinya pada Agama. Kami tukar dari perkataan ma'shiat kepada ini
(perkataan munkar). Karena munkar, lebih umum dari ma'shiat. Karena barangsiapa
melihat anak'kecil atau orang giia meminum khamar, maka haruslah ia menuangkan
kha- marnya dan melarang meminumnya.
Demikian juga, jikalau
dilihatnya orang gila laki-laki berzina dengan orang gila perempuan atau dengan
binatang betina, maka haruslah melarangnya dari yang demikian. Dan tidaklah
pelarangan itu karena kejinya bentuk perbuatan dan terjadinya di hadapan manusia.
Bahkan jikalau dijumpainya kemunkaran ini pada tempat sunyi, niscaya wajiblah
melarangnya.
Perbuatan tersebut tidak
dinamakan ma'shiat pada orang gila. Karena ma'shiat yang tidak ada orang ma'shiat
dengan ma'shiat itu, mustahil. Maka perkataan "munkar" adalah lebih
menunjukkan dan lebih umum dari perkataan "ma'shiat" kepadanya. Dan
telah kami masukkan pada keumuman ini, akan dosa kecil dan dosa besar. Maka
tidaklah ditentukan hisbah itu dengan dosa-dosa besar saja. Bahkan membuka
aurat dalam kamar mandi, duduk pada tempat suriyi dengan wanita ajnabiah dan
mengikuti memandang wanita ajnabiah, semuanya itu termasuk dosa kecil dan wajib
dilarang daripadanya.
Mengenai perbedaan antara dosa
kecil dan dosa besar, ada peneli- tian, yang akan datang penjelasannya pada
"Kitab Taubat".
Syarat Kedua : bahwa munkar itu
ada pada waktu sekarang. Yaitu menjaga juga dari hisbah atas orang yang telah
selesai meminum
747
|
khamar. Maka yang demikian,
tiadalah atas seseorang peribadi dan munkar -itu telah berlalu. Dan menjaga
juga dari apa yang akan terjadi pada keadaan yang berikutnya. Seperti orang
yang diketahui dengan tanda-tanda keadaannya, bahwa orang itu bercita-cita akan
meminum khamar pada malamnya. Maka tiadalah hisbah terhadap orang itu, selain
dengan pengajaran. Dan jikalau ia mun- kir bercita-cita meminumnya, maka tiada
boleh pula memberi pengajaran itu. Maka sesungguhnya pada yang demikian itu,
jahat sangka kepada orang Islam. Kadang-kadang benar perkataannya itu. Dan
kadang-kadang ia tidak akan melangsungkan terhadap apa yang dicita-citakannya
tadi, karena ada penghaiang. Dan hendaklah diperhatikan akan titik halus yang
telah kami sebutkan dahulu. Yaitu : bahwa duduk pada tempat sunyi dengan wanita
ajnabiah, adalah ma'shiat yang sedang berlaku. Dan demikian juga berhenti pada
pintu kamar mandi kaum wanita. Dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.
Syarat Ketiga.:
bahwa perbuatan munkar itu jelas bagi si muhtasib, tanpa diintip. Maka
tiap-tiap orang yang menutup perbuatan ma'shiat di rumahnya dan menguncikan
pintunya, niscaya tiada boleh dilakukan pengintipan. Allah Ta'ala melarang
daripadanya. Kissah 'Umar dan Abdur Rahman bin 'Auf tentang itu sudah dikenal.
Dan telah kami sebutkan dahulu pada "Kitab Adab Berteman". Dan
seperti itu pula, apa yang diriwayatkan bahwa 'Umar ra. me- manjat dinding
tembok seorang laki-laki. Lalu beliau melihat laki- laki itu dalam keadaan yang
tiada diingini. Lalu beliau menantangnya.
Maka laki-laki itu menjawab :
"Wahai Amirul-mu'minin! Jikalau kiranya aku telah melakukan perbuatan
ma'shiat kepada Allah dari satu segi, maka engkau telah melakukannya dari tiga
segi". 'Umar ra. bertanya : "Manakah yang tiga segi itu?".
Laki-laki itu menjawab : Allah Ta'ala berfirman :
وَلا
تَجَسَّسُوا
(Wa
laa tajas-sasuu) =
Artinya : "Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang". (S, Al- Hujurat, ayat 12).
Dan engkau mencari-cari keburukan itu. Allah Ta'ala berfirman :
وَأْتُوا
الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
(Wa'-tul-buyuuta min abwaabihaa)
Artinya : "Dan masukilah
rumah itu dari pintunya". (S. Al-Baqarah, ayat 189).
748
|
Dan engkau telah memanjat
dinding tembok dan masuk dari atap. Allah Ta'ala berfirman :
لا
تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
(Laa tadkhuluu buyuutan ghaira
buyuutikum hattaa tasta'-nisuu wa tusallimuu 'alaa ahlihaa).
Artinya : "Janganlah
kamu masuk ke dalam rumah yang bukan rumah kamu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada orang yang didalamnya!". (S. An-Nur, ayat 27).
Dan engkau tiada memberi salam.
Lalu 'Umar ra. meninggalkan
laki-laki itu. Dan mensyaratkan kepadanya bertaubat.
Karena itulah, 'Umar ra.
bermusyawarah dengan para shahabat ra. dan beliau atas mimbar. Beliau bertanya
kepada mereka dari hal imam (penguasa), apabila melihat sendiri perbuatan
munkar, apakah boleh ia menjatuhkan hukuman pada perbuatan munkar tersebut?
'Ali ra. menjawab, bahwa yang demikian, bergantung kepada dua orang saksi yang
adil. Tidak memadai seorang saksi. Kami telah sebutkan segala perkhabaran ini
pada penjelasan "Hak Muslim" dari "Kitab Adab Berteman"
dahulu. Tidak kami ulangi lagi. Kalau anda bertanya : "Manakah batas
terang dan tertutup?".
Maka ketahuilah, bahwa orang
yang menguncikan pintu rumahnya dan menutupkan dirinya dengaii dinding-dinding
temboknya, maka tiada boleh memasukinya, tanpa izin, untuk mengetahui ma'shiat.
Kecuali, jelas dalam rumah itu yang dapat diketahui oleh orang yang berada di
luar rumah. Seperti bunyi seruling dan rebab, apabila telah meninggi bunyinya,
di mana telah melewati dinding tembok rumah. Maka barangsiapa mendengar yang
demikian, maka boleh memasuki rumah itu dan menghancurkan alat-alat
permainannya.
Demikian pula, apabila telah
meninggi suara orang-orang mabuk dengan kata-kata yang biasa diantara mereka,
di mana didengar oleh orang-orang dijalanan.
Maka ini melahirkan yang
mewajibkan hisbah. Jadi, sesungguhnya diketahui bunyi atau bau dari celah-celah
tembok itu. Apabila bau khamar itu telah berhamburan, maka jikalau yang
demikian itu mungkin dari khamar yang dihormati u), maka tiada boleh ber-
maksud menuangkannya.
(1) Khamar yang dihormati: ialah, umpamanya :
disediakan untuk obat (Pent.).
|
749
|
Jikalau diketahui dengan
petunjuk keadaan, bahwa bau itu ber- hamburan karena mereka meminumnya, maka
ini suatu kemung- kinan. Yang jelas, boleh hisbah. Kadang-kadang botol khamar
itu ditutup dalam lengan baju dan di- bawah ujung baju. Begitu pula alat-alat
permainan.
Apabila terlihat seorang fasiq
dan di bawah ujung bajunya sesuatu niscaya tiada boleh dibuka, selama belum
menampak dengan tanda tertentu. Maka sesungguhnya kefasiqannya itu, tidaklah
menunjukkan bahwa barang yang ada padanya itu khamar. Karena orang fasiq itu
berhajat juga kepada cuka dan lainnya. Maka tiada boleh diambil bukti dengan
penyembunyiannya itu dan bahwa jikalau halal, tentu tidak disembunyikannya,
Karena maksud-maksud pada penyembunyiannya itu banyak.
Jikalau baunya sudah
berhamburan, maka dalam hai ini menjadi tempat penelitian. Yang jelas, boleh
bagi muhtasib itu ihtisab. Karena ini adalah suatu alamat yang memberi faedah
berat sang- kaan (dhan). Dan dhan itu seperti ilmu (taku) pada hal-hal yang
seperti ini.
Begitu pula gitar. Kadang-kadang
dikenal dengan bentuknya, apabila kain penutupnya itu tipis. Maka penunjukan
bentuk itu, seperti penunjukan bau dan bunyi. Dan apa yang terang oleh
penunjukan itu, maka itu tiada tertutup. Bahkan itu terbuka. Dan kita telah
disuruh bahwa menutup apa yang ditutup oleh Allah. Dan menantang terhadap orang
yang menampakkan kepada kita wajahnya.
Penampakan itu mempunyai
tingkat-tingkat. Sekali menampakkan kepada kita dengan pancaindra pendengaran.
Sekali dengan pancaindra penciuman. Sekali dengan pancaindra penglihatan. Dan
sekali dengan pencaindra penyentuhan. Dan tidak mungkin kita menentukan yang
demikian, dengan pancaindra penglihatan. Tetapi yang dimaksudkan, ialah tahu.
Semua pancaindra ini juga
memberi faedah tahu. Jadi, sesungguhnya bolehlah dipecahkan apa yang di bawah
kain, apabila diketahui bahwa yang di bawah kain itu khamar. Dan tiada boleh
baginya mengatakan: "Perlihatkanlah kepadaku, supaya aku tahu apa yang di
dalamnya!". Maka sesungguhnya itu, adalah mengintip-ngintip (tajassus).
Dan arti : tajassus, ialah : mencari tanda-tanda pengenalan. Maka tanda pengenalan
itu, jikalau berhasil dan membuah- kan pengenalan, niscaya boleh dilaksanakan
menurut yang dikehendaki oleh tanda-tanda itu. Mencari tanda pengenalan itu,
tidaklah sekali-kali diberi izin.
750
|
Syarat Ke-empat: bahwa munkar
itu diketahui tanpa ijtihad. Maka tiap-tiap yang berada pada tempat ijtihad,
niscaya tiada hisbah padanya. Maka tiada boleh bagi orang yang bermadzhab
Hanafi, memandang munkar terhadap orang yang bermadzhab Syafi-'i, yang memakan
dlabb u> dan dlabu* (2) dan makan yang diting- galkan membaca
"Bismillaah" dengan sengaja. Dan tidak boleh bagi orang yang
bermadzhab Syafi-'i, memandang munkar terhadap orang yang bermadzhab Hanafi,
yang meminum air nabidz, (air buah anggur kering), yang tidak memabukkan dan menerima
pusaka dzawil-arham (3) dan duduk pada rumah yang diambilnya de-' ngan syufah
ketetanggaan <4). Dan lain-lain yang berlaku padanya ijtihad para ulama
mujtahid.
Ya, kalau orang bermadzhab
Syafi-'i melihat orang lain yang bermadzhab Syafi-'i juga rneminum nabidz dan
kawin tanpa wali dan bersetubuh dengan isterinya itu, maka dalam hal ini ada
penelitian. Yang lebih kuat (al-adh-har), bahwa baginya hisbah dan menantang.
Karena tiada seorangpun dari orang-orang yang memperoleh pengetahuan tinggi,
beraliran, bahwa boleh bagi seorang ulama mujtahid, berbuat dengan yang
diwajibkan oleh ijtihad lainnya. Dan tidak pula, bahwa orang yang dibawa oleh
ijtihadnya, pada ber- taqlid kepada seseorang yang dipandangnya ulama yang
utama, bahwa baginya mengambil madzhab lainnya. Lalu memilih dari
madzhab-madzhab itu yang terbaik padanya. Tetapi haruslah atas tiap-tiap
muqallid (pengikut) mengikuti muqalladnya (yang diikuti) pada semua penguraian.
Jadi, menyalahinya akan muqallad
itu, disepakati sebagai suatu perbuatan munkar diantara para ahli ilmu. Dan
muqallid itu berbuat ma'shiat dengan menyalahinya. Kecuali,\ haruslah dari
ini, urusan yang lebih sulit lagi. Yaitu : bahwa boleh bagi orang yang
bermadzhab Hanafi, memajukan pertanyaan kepada orang yang bermadzhab Syafi-'i,
apabila ia kawin tanpa wali, dengan mengatakan kepadanya : "Perbuatan itu
sendiri benar. Tetapi tidiak terhadap dirimu. Kamu membatalkan perkawinan itu
dengan pelak- sanaannya yang demikian, sedang kamu berkeyaqinan, bahwa yang
(1) Dlabb : binatang darat yang bentuknya
mengarah-arahi biawak.
|
(2) Dlabu'
: bentuknya mengarah-arahi babi hutan, tetapi bertanduk dan ekornya berbulu.
Lehernya dan punggungnya berbulu panjang. -
|
(3) Dzawil-arham,
ialah : keluarga pihak ibu, yang menurut madzhab Syafi-'i bukan ahli waris.
Sedang menurut madzhab Hanafi, ahli waris.
|
(4) Syuf'ah
ketetanggaan, ialah : hak yang diambil dengan paksa oleh tetangga, dari
tetangganya yang menjual rumahnya kepada orang lain, dengan menggantikan
harga.
|
751
|
betul ialah madzhab Syafi-'i.
Penyalahan apa yang betul pada kamu adalah perbuatan ma'shiat pada pihakmu.
Walaupun ma'shiat itu betul pada sisi Allah".
Demikian pula orang yang
bermadzhab Syafi-'i berihtisab terhadap orang yang bermadzhab Hanafi, apabila
orang Hanafi itu berkongsi dengan dia memakan dlabb dan meninggalkan membaca
"Bis- millaah" waktu makan,dengan sengaja dan lain-lain. Dan mengatakan
kepada orang Hanafi itu : "Adakalanya engkau berkeyaqinan bahwa madzhab
Syafi-'i lebih utama diikuti. Kemudian engkau tampil melaksanakannya. Atau
tidak engkau berkeyaqinan yang demikian. Maka tidaklah engkau tampil
melaksanakannya. Karena berselisih dengan keyaqinanmu".
Kemudian,menarik ini kepada hai
yang lain dari hal-hal yang dapat dirasakan dengan pancaindra. Yaitu, umpamanya
: ora^g pekak bersetubuh dengan seorang wanita dengan maksud berzina. Dan
diketahui oleh muhtasib bahwa wanita itu isteri orang pekak itu. Dikawinkan
oleh bapaknya dengan dia pada waktu kecil. Tetapi tidak diketahuinya. Dan payah
memberitahukannya yang demikian, karena pekaknya atau karena ia tiada
mengetahui bahasanya. Maka orang pekak itu pada perbuatannya serta keyaqinannya
bahwa wanita itu ajnabiah, adalah berbuat ma'shiat. Dan mendapat siksaan pada
negeri akhirat. Maka seyogialah, wanita itu, dilarang dari orang pekak itu,
walaupun wanita itu isterinya. Dan itu adalah jauh, dari segi bahwa itu halal
pada ilmu Allah Ta'ala. Dan dekat dari segi haram atasnya, dengan hukum
kesalahan dan kebodohannya.
Dan tidak syah, bahwa jikalau
berta'liq (menyangkutkan) pence- raian (pentalakan) isterinya kepada suatu
keadaan yang diketahui oleh hati si muhtasib, umpamanya : dari kehendak atau
kemarahan atau lainnya. Dan keadaan itu telah ada pada hati muhtasib. Dan ia
tidak sanggup memberitahukan yang demikian kepada suami-isteri itu. Tetapi
telah diketahuinya jatuh talak itu pada bathin. Maka apabila si muhtasib
melihat orang itu bersetubuh dengan perempuan itu, maka haruslah melarang.-
Ya'ni : dengan lisan, karena itu zina. Hanya penzina itu tiada mengetahuinya.
Dan si muhtasib itu tahu bahwa wanita itu telah diceraikan tiga talak. Keduanya
tidak ma'shiat. Karena kebodohannya akan adanya keadaan yang tidak
mengeluarkan perbuatan itu dari munkar. Dan tiada keluar yang demikian itu dari
zina orang gila. Dan telah kami terangkan, bahwa orang gila itu dilarang dari
zina yang dilakukannya.
752
|
Apabila. dilarang dari sesuatu
yang munkar pada sisi Allah, walaupun tidak munkar pada si pembuatnya dan ia tidak
ma'shiat dengan munkar itu, karena halangan kebodohan, maka haruslah dari keba-
likan ini, bahwa dikatakan : apa yang tidak munkar di sisi Allah dan
sesungguhnya itu munkar pada si pembuatnya karena kebodoh- amiya, niscaya tidak
dilarang.
Ini adalah lebih kuat
(al-adh-har). Dan pengetahuan itu adalah pada sisi Allah Ta'ala.
Maka dari ini berhasillah, bahwa
: orang Hanafi tidak akan meng- ajukan pertanyaan kepada orang
Syafi-'i tentang perkawinan
tanpa wali. Dan orang Syafi-'i akan mengajukan pertanyaan kepada orang Syafi-'i
tentang itu. Karena yang ditanyakan itu, perbuatan munkar dengan kesepakatan si
muhtasib dan orang yang di-ihtisab-kan (muhtasab 'alaih).
Inilah masalah-masalah fiqh yang
halus dan kemungkinan-ke- mungkinan yang bertentangan padanya. Dan kami
mengeluarkan fatwa padanya menurut yang kuat pada kami sekarang. Dan tidaklah
kami memutuskan, salahnya penguatan orang yang menyalahinya, kalau ia
berpendapat, bahwa tidak berlaku ihtisab, selain pada yang diketahui
dengan-yaqin. Dan telah berjalan kepadanya para ulama yang beraliran demikian.
Dan mereka itu berkata, bahwa tiada hisbah, selain pada seumpama khamar, babi
dan apa yang diyaqini haramnya.
Tetapi yang lebih meragukan
(al-asybah) pada kita (golongan Syafi-'i), ialah : bahwa ijtihad itu memberi
bekas pada pihak mujtahid. Karena jauh sekalilah bahwa ia berijtihad tentang
qiblat dan ia mengaku dengan terangnya qiblat padanya ke sesuatu arah, dengan
dalil-dalil berat sangkaan. Kemudian ia membelakanginya. Dan ia tidak dilarang
dari yang demikian, karena berat sangkaan orang lain. Karena membelakang itulah
yang betul. Dan pendapat orang yang berpendapat, bahwa boleh bagi tiap-tiap
muqallid (pengikut madzhab) memilih madzhab mana yang dikehendakinya itu, tidaklah
masuk hitungan. Mudah-mudahan tidaklah syah sekali-kali perjalanan orang yang
berjalan kepadanya.
Maka ini adalah madzhab yang
tidak tetap. Dan jikalau tetap, maka tidaklah masuk hitungan.
Jikalau anda berkata, bahwa
apabila tidak diajukan pertanyaan ke-' pada orang Hanafi tentang nikah tanpa
wali, karena ia berpendapat bahwa itu benar, maka seyogialah tidak diajukan
pertanyaan kepada orang mu'tazilah (al-mu'tazili) tentang perkataannya : bahwa
753
|
Allah Ta'ala tidak akan dilihat.
Dan perkataannya : bahwa keba- jikan daripada Allah dan kejahatan bukan
daripada Allah. Dan perkataannya : Kalam Allah itu makhluq. Dan tidak kepada
orang yang banyak perkataannya jelek (al-hasyawi), tentang perkataan nya :
bahwa Allah Ta'ala suatu tubuh, mempunyai bentuk dan Ia tetap di atas 'Arasy.
Bahkan, tiada seyogia diajukan pertanyaan kepada orang falsafah (al-falsafi),
tentang perkataannya : bahwa tubuh manusia tidak akan dibangkitkan (dihidupkan
kembali) dan yang dibangkitkan ialah nyawa. Karena mereka itu juga dibawa ojeh
ijtihadnya kepada apa yang dikatakannya itu. Dan mereka itu me- nyangka bahwa
yang demikian itu benar.
Kalau anda berkata, bahwa
batilnya madzhab mereka itu jelas, maka batilnya madzhab orang yang menyalahi
nash hadits shahih juga jelas. Dan sebagaimana telah tetap dengan nash-nash
yang nyata, bahwa Allah Ta'ala akan dilihat (di akhirat) dan orang mu'tazilah
mengingkarinya dengan penta'wilan, maka seperti itu pula telah tetap dengan
nash-nash yang nyata, mas-alah-mas-alah yang menyalahi padanya orang Hanafi.
Seperti mas-alah perkawinan tanpa wali dan mas-alah syufah ketetanggaan dan
yang seum- pama dengan keduanya.
Maka ketahuilah, bahwa
mas-alah-mas-alah itu terbagi kepada : apa yang tergambar untuk dikatakan padanya
: semua mujtahid itu betul. Yaitu : hukum-hukum perbuatan tentang halal dan ha-
ramnya. Yang demikian ialah, yang tiada diajukan padanya pertanyaan kepada
para ulama mujtahid. Karena tiada diketahui dengan pasti kesalahan mereka,
tetapi hanya secara berat dugaan (dhann). Dan kepada : apa yang tidak
tergambar, bahwa adalah yang betul padanya, selain satu. Seperti: mas-alah
melihat Allah, qadar, qadim Kalam Allah, tidak berbentuk, tidak bertubuh dan
tidak bertempat Allah Ta'ala. Maka ini termasuk apa yang diketahui dengan
pasti, kesalahan orang yang bersalah padanya. Dan tiada tinggal cara, bagi
kesalahannya yang merupakan kebodohan semata-mata. Jadi, semua bid'ah itu
seyogialah ditutup pintu-pintunya dan ditantang terhadap pembid'ah-pembid-ah
itu segala bid'ahnya. Walaupun mereka itu berkeyaqinan bahwa bid'ah-bid'ahnya
itu benar. Sebagaimana ditolak dikembalikan kepada Yahudi dan Nasrani
kekufurannya, walaupun mereka itu berkeyaqinan bahwa yang demikian itu benar.
Karena kesalahan mereka diketahui dengan pasti. Lain halnya kesalahan pada
tempat-tempat sangkaan bagi ijtihad.
754
|
Jikalau engkau berkata :
"Manakala anda mengajukan pertanyaan kepada orang Qadariah mengenai
perkataannya : "Kejahatan itu tidak dari Allah'1, niscaya orang
Qadariah itu, akan mengajukan pula pertanyaan kepada anda mengenai perkataan
anda : "Kejahatan itu dari Allah'V Dan begitu pula mengenai perkataan
anda :"Bah- wasanya Allah Ta'ala akan dilihat", dan pada
mas-alah-mas-alah. lain. Karena pembid'ah itu merasa benar pada dirinya
sendiri. Dan orang yang benar dianggap pembid'ah oleh pihak pembid'ah.
Masing-masing menda'wakan dia yang benar. Dan menantang bahwa dia pembid'ah.
Maka bagaimanakah ihtisab itu akan sempurna?".
Ketahuilah, bahwa kami karena
pertantangan ini, mengatakan : "Dilihat ke negeri yang telah lahir bid'ah
padanya. Jikalau bid'ah itu asing pada rakyat banyak dan manusia semuanya di
atas sun- nah, maka dilakukan hisbah, tanpa keizinan sultan (penguasa). Dan
jikalau terbagi penduduk kepada ahlil-bid'ah dan ahlis-sunnah dan pada
pengajuan pertanyaan itu, menggerakkan fitnah dengan bunuh-membunuh, maka
tiadalah hisbah bagi orang seorang mengenai madzhab-madzhab, selain dengan
ketetapan sultan". Apabila penguasa melihat suatu pendapat yang benar dan
ia memberi pertolongan dan memberi izin kepada seseorang untuk melarang
pembid'ah daripada melahirkan bid'ah itu, niscaya adalah yang demikian, bagi
orang tersebut. Dan tidak boleh bagi orang lain. Sesungguhnya apa yang ada
dengan keizinan sultan, niscaya tiada akan berhadap-hadapan kepada orang lain.
Dan apa yang ada dari pihak orang-orang seorang, maka hal itu dapat
berhadap-hadapan dengan orang lain.
Kesimpulannya, hisbah itu pada
bid'ah, lebih penting daripada hisbah pada tiap-tiap perbuatan munkar. Tetapi
seyogialah dijaga padanya, uraian yang telah kami sebutkan itu. Supaya tidak
ber- tentangan keadaan dan tidak membawa kepada penggerakan fitnah. Bahkan,
kalau sultan mengizinkan secara mutlak, untuk melarang tiap-tiap orang yang
dengan tegas mengatakan : bahwa Al-Qur-an itu makhluq atau : Allah tiada akan
dilihat atau : Allah tetap di atas *Arasy yang berserituhan dengan *Aasy atau
bid'ah- bid'ah yang lain, niscaya berkuasalah masing-masing orang melarangnya.
Dan tidaklah bertentangan urusan padanya. Yang berten- tangan ialah ketika
tiada keizinan sultan saja.
755
|
rukun ketiga : Muhtasab
'alaih.
Syaratnya : bahwa muhtasab
'alaih dengan sifat, yang menjadikan perbuatan yang dilarang daripadanya,
terhadap dirinya itu, adalah pembuat munkar. Sedikitnya yang memadai untuk
demikian, ialah : bahwa muhtasab 'alaih itu manusia. Dan tidak disyaratkan
mukallaf. Karena telah kami terangkan, bahwa anak kecil jikalau meminum khamar,
niscaya dilarang dan dilakukan ihtisab kepadanya. Meskipun ia belum baligh
(belum dewasa). Dan tidak disyaratkan mumayyiz (sudah dapat memperbedakan
antara yang bermanfa'at dan tidaknya). Karena telah kami terangkan, bahwa
orang gila jikalau berzina dengan wanita gila atau mendatangi hewan betina,
niscaya wajiblah dilarang daripadanya. Benar, sebahagian perbuatan itu tidaklah
munkar pada orang gila. Seperti : meninggalkan shalat, puasa dan lainnya. Akan
tetapi kita tidak menoleh kepada perbedaan penguraian. Sesungguhnya yang
demikian juga, termasuk apa yang berbeda padanya orang muqim dan orang musafir,
orang sakit dan orang sehat. Dan maksud kita ialah : penunjukan kepada sifat
yang dihadapkan kepadanya pokok penantangan. Tidak apa yang disediakan untuk
penguraian-peng- uraian.
Jikalau engkau berkata:
"Cukuplah dikatakan saja muhtasab alaih itu hewan. Dan tidak disyaratkan
adanya muhtasab 'alaih itu manusia. Karena hewan, jikalau merusakkan
tumbuh-tumbuhan orang, niscaya kita larang, sebagaimana kita larang orang gila
dari berzina dan mendatangi hewan betina (berzina dengan hewan betina)".
Ketahuilah, bahwa menamakan yang demikian itu hisbah, tak ada caranya. Karena
hisbah ialah : ibarat dari larangan perbuatan munkar karena hak Allah, menjaga
orang yang dilarang daripada mengerjakan yang munkar. Melarang orarig gila
dari zina dan mendatangi hewan betina, adalah karena hak Allah. Demikian juga
melarang anak kecil dari meminum khamar. Dan manusia apabila merusakkan
tanaman orang lain, niscaya dilarang karena dua hak : Pertama : hak Allah
Ta'ala, karena perbuatan itu ma'shiat. Kedua : hak orang yang dirusakkan.
Keduanya itu dua sebab, yang
berpisah satu dari lainnya. Kalau ia memotong anggota tubuh orang lain dengan
keizinannya, maka telah terdapat perbuatan ma'shiat. Dan gugur hak orang yang
dia- niayakan, disebabkan keizinannya. Maka tetaplah hisbah dan larangan itu,
dengan salah satu dua sebab tadi.
756
|
Hewan, apabila merusakkan
kepunyaan orang, maka tiadalah ke- ma'shiatan padanya. Akan tetapi, tetaplah
dilarang, disebabkan salah satu dua sebab tadi. Tetapi pada persoalan ini
mengandung hal yang halus. Yaitu : bahwa kita tidak maksudkan dengan me-
ngeiuarkan hewan itu, akan melarang hewan, Tetapi kita maksudkan menjaga harta
orang Islam. Karena hewan kalau memakan bangkai atau meminum pada bejana, yang
di dalamnya khamar atau air yang bercampur dengan khamar, niscaya tidak kita
larang. Bahkan boleh memberi makan anjing buruan dengan bangkai busuk yang baru
mati. Tetapi harta orang Islam, apabila didatangi kele- nyapan dan kita sanggup
memeliharanya tanpa pay ah, niscaya wajiblah yang demikian atas kita, karena
menjaga harta. Bahkan, jikalau jatuh kendi kepunyaan seseorang dari atas dan di
bawahnya ada botol kepunyaan orang lain, maka haruslah ditolak kendi untuk
memelihara botol. Bukan untuk mencegah kendi dari jatuh. Kita tidak maksudkan
mencegah kendi dan menjaganya daripada me- mecahkan botol. Kita melarang orang
gila dari zina dan mendatangi hewan betina dan meminum khamar, demikian juga
anak kecil, bukan untuk memelihara hewan yang didatangi atau khamar yang
diminum. Akan tetapi pemeliharaan untuk orang gila itu daripada meminum khamar
dan pembersihan baginya, dari segi dia itu manusia yang dihormati.
Inilah titik-titik halus yang
tidak dapat dipahami, selain oleh orang- orang yang dalam penyelidikannya
(al-muhaqqiqun). Maka tiada seyogialah dilupakan daripadanya. Kemudian tentang
apa yang wajib dibersihkan anak kecil dan orang gila, daripadanya itu ada
penelitian. Karena kadang-kadang terdapat keragu-raguan tentang pelarangan anak
kecil dan orang gila, dari memakai sutera dan yang lain dari itu. Dan akan kami
bentangkan untuk yang kami isyarat- kan itu pada : Bab Ketiga.
Jikalau anda bertanya :
"Tiap-tiap orang yang melihat hewan- hewan yang terlepas pada tanaman
orang, adakah wajib ia menge- luarkannya? Dan tiap-tiap orang yang melihat
harta seorang mus- lim yang hampir hilang, adakah wajib ia menjaganya. Jikalau
anda mengatakan bahwa yang demikian itu : wajib, maka ini adalah pemberatan
sekali, yang membawa kepada jadinya manusia itu dipaksakan untuk orang lain
sepanjang umurnya. Dan jikalaju anda mengatakan : tiada wajib, maka mengapakah
wajib ihtisab kepada orang yang merampas harta orang lain dan tiada sebabnya,
selain memelihara harta orang lain?".
757
|
Kami menjawab : ini adalah
pembahasan yang halus, lagi sulit. Dan jawaban yang singkat mengenai ini, kami
mengatakan : manakala sanggup memelihairanya dari kehilangan, tanpa memperoleh
kepa- yahan padatubuhnya atau kerugian pada hartanyaatau kekurangan pada
kemegahannya, niscaya wajiblah atasnya yang demikian itu. Kadar yang demikian
itu wajib mengenai hak-hak orang muslim. Bahkan itu adalah derajat hak-hak yang
paling kurang. Dalil-dalil yang mewajibkan untuk . hak-hak kaum muslimin itu
banyak. Dan ini derajat yang sekurang-kurangnya. Dan itu adalah lebih utama
mewajibkannya, daripada menjawab salam. Sesungguhnya, menyakitkan tentang ini
adalah lebih banyak-daripada menyakitkan tentang meninggalkan menjawab salam.
Bahkan, tiada terdapat perselisihan mengenai harta orang, apabila lenyap dengan
kedzaliman orang yang dzalim dan ada padanya kesaksian, jikalau dikatakannya
dengan kesaksian itu, maka hak itu kembali kepada pemiliknya, niscaya wajiblah
yang demikian itu atasnya. Dan ia ma'shiat dengan menyembunyikan kesaksian itu.
Dan searti dengan meninggalkan kesaksian itu, meninggalkan tiap- tiap penolakan
yang tak ada kemelaratan atas yang menolakkan- nya. Jikalau ada padanya
kepayahan atau kemelaratan pada harta atau kemegahannya (tercemar namanya),
niscaya tiada wajib yang demikian. Karena haknya dijaga mengenai kemanfa'atan
tubuhnya, mengenai harta dan kemegahannya, seperti hak orang Iain. 'Maka
tiadalah wajib, ia menebus orang lain dengan dirinya. Benar, mengutamakan orang
lain itu disunatkan . Dan menghadapi segala kesulitan karena kaum muslimin itu
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala (qurbahy. Adapun mewajibkannya, adalah
tidak.
Jadi, jikalau menyusahkannya
mengeluarkan hewan-hfewan dari tanaman, niscaya tiada wajib ia mengusahakan
yang demikian. Tetapi, apabila tiada menyusahkannya, dengan membangunkan
pemilik tanaman dari tidurnya atau dengan memberitahukannya, niscaya haruslah
yang demikian. Menyia-nyiakan memberitahudan membangunkannya, adalah seperti
menyia-nyiakan memberitahu kepada hakim, dengan kesaksian.
Dan yang demikian itu, tak ada
padanya kema'afan. Dan tiada mungkin dijaga padanya antara sedikit dan
banyaknya. Sehingga dikatakan, jikalau tiada hilang daripada barang yang
bermanfa'at bagi dirinya pada waktu pekerjaannya mengeluarkan hewan-hewan itu,
selain sekedar sedirham umpamanya dan pemilik tanaman akan
758
|
hilang banyak harta, maka
kuatlah pihaknya sendiri. Karena sedir- ham yang menjadi miliknya itu ia berhak
menjaganya. Sebagaimana berhak pemilik seribu dirham menjaga seribu dirham.
Dan tiada jalan untuk berpindah kepada yang demikian. Apabila harta itu hilang
dengan jalan ma'shiat, seperti : dirampas atau membunuh budak kepunyaan orang
lain, maka wajiblah melarangnya. Walaupun ada padanya sesuatu kesusahan.
Karena"yang dimaksud ialah hak Syara* (Agama). Dan maksudnya menolak
kema'shiatan. Dan manusia harus menyusahkan diri menolak ma'shiat, sebagaimana
harus ia menyusahkan dirinya ineninggalkan ma'shiat. Dan semua ma'shiat itu
payah-payah meninggalkannya. Dan sesungguhnya tha*at semuanya kembaii kepada
menyalahi hawa-nafsu. Dan itu adalah sangat payah. Kemudian tiada harus ia
menanggung semua kemelaratan. Bahkan penguraiannya, sebagaimana telah kami
sebutkan dahulu, termasuk derajat yang dijaga, yang ditakuti si muhtasib.
Dan sesungguhnya terdapat
perselisihan ahli-ahli fiqh (fuqaha') mengenai dua mas-alah yang mendekati
maksud kita : Pertama : mengambil barang yang terdapat di jalan (luqthah),
adakah wajib?.
Barang yang dijumpai di jalan
itu barang hilang. Dan yang meng- ambilnya itu mencegah dari kehilarigan dan
berusaha memelihara- nya. Yang benar mengenai ini pada kami, bahwa diuraikan,
dan diperkatakan : jikalau barang yang terdapat di jalan itu berada pada
tempat, jikalau ditinggalkan barang itu di situ, niscaya tiada akan hilang,
tetapi akan diambil oleh orang yang mengetahui luqthah itu atau ditinggalkan,
seperti jikalau barang itu dalam masjid atau langgar, yang tertentu orang yang
masuk ke dalamnya dan semuanya orang-orang kepercayaan, maka tiada wajib dipu-
ngut barang tersebut.
Jikalau pada tempat yang akan
hilang, maka padanya penelitian. Kalau sukar menjaganya, seperti jikalau benda
itu hewan dan memerlukan kepada umpan dan kandang, maka tiada wajib me-
mungutnya. Karena bahwasanya yang wajib mengambilnya itu, ialah hak si pemilik.
Dan haknya itu, disebabkan si pemilik itu manusia yang terhormat. Dan si
pengambil juga manusia. Dan mempunyai hak untuk tidak mendapat kepayahan,
karena orang lain. Sebagaimana ia tidak memayahkan orang lain, karenanya.
Jikalau luqthah itu emas atau kain atau sesuatu yang tak ada kemelaratan
padanya, kecuali semata-mata payah memberitahukan
759
|
kepada orang untuk diketahui
siapa pemiliknya (tayrif), maka dalam hai ini seyogialah berada pada
dua cara. Ada yang mengatakan, bahwa : memberitahukan (ta'rif) dan menegakkan
syarat- syaratnya adalah payah. Maka tiada jalan untuk mewajibkan yang
demikian. Kecuali orang itu berbuat sunat (tabarru'). Maka ia menerima
keharusan itu, karena mencari pahala. Dan ada yang mengatakan, bahwa :
kepayahan yang sekadar itu, adalah dipandang kecil, dibandingkan kepada menjaga
hak-hak kaum muslimin. Maka ini disejajarkan, pada tempat yang sejajar dengan
kepayahan saksi menghadliri sidang mahkamah (perigadilan). Maka tiada wajib
berjalan jauh ke negeri lain. Kecuali ia berta- barru' dengan yang demikian.
Maka apabila majelis hakim itu dekat rumahnya, niscaya wajiblah ia hadlir. Dan
adalah kepayahan dengan beberapa langkah ini, tiada dihitung kepayahan, untuk
maksud menegakkan kesaksian dan menunaikan amanah.. Kalau pengadilan itu berada
pada pinggir yang lain dari negeri itu dan memerlukan datang pada tengah hari
dan sangat panas, maka ini kadang-kadang menjadi tempat ijtihad dan penelitian.
Sesungguhnya kemelaratan yang diperoleh oleh orang yang berusaha memelihara
hak orang lain, mempunyai : tepi tentang sedikitnya, yang tidak diragukan,
tentang tidak perlunya diperhatikan. Dan : tepi tentang banyaknya, yang tidak
diragukan, tentang tidak harus menanggungkannya. Dan : di tengah-tengah, yang
ditarik-menarik- kan oleh kedua tepi di atas. Dan selamanya berada pada tempat
keraguan dan penelitian. Dan itu, termasuk keraguan sepanjang masa, yang tiada
termasuk dalam kesanggupan manusia menghi- langkannya. Karena tiada alasan,
yang memisahkan diantara baha- gian-bahagiannya yang berdekatan. Tetapi orang
yang taqwa itu, memandang padanya bagi dirinya sendiri. Dan meninggalkan apa
yang meragukannya, kepada apa yang tidak meragukannya. Maka inilah :
penghabisan kasyaf (terbuka hijab) dari pokok ini!.
rukun ke-empat :
ihtisab itu sendiri, mempunyai tingkat-tingkat dan adab-adab.
Adapun tingkat-tingkat itu, maka
yang pertama ; ta'arruf. Kemudian : melarang (nahi). Kemudian : pengajaran dan
nasehat. Kemudian : jnemaki dan menghardik. Kemudian : merobah dengan tangan.
Kemudian : mengancam dengan pukulan. Kemudian : menjatuhkan pukulan dan
melaksanakannya. Kemudian : menam- pakkan senjata. Dan kemudian : melahirkan
kekuatan dengan teman-teman dan mengumpulkan tentara.
760
|
Adapun tingkat pertama, yaitu :
ta'arruf. Kami maksudkan dengan ta'arruf, ialah : mencari pengenalan dengan
berlakunya kemunkaran itu. Dan ini adalah dilarang. Yaitu mencari-cari keburu
kan orang (tajassus) yang telah kami sebutkan dahulu. Maka tiada seyogialah
menghaluskan pendengaran, ke rumah orang lain. Supa- ya mendengar bunyi rebab.
Dan tidak untuk menarik nafas. Supaya dapat mengetahui bau khamar. Dan tidak
untuk menyentuh sesuatu dalam kain. Supaya diketahui bentuk seruling. Dan tidak
untuk mencari berita dari tetangganya, supaya mereka itu menceriterakan
kepadanya, apa yang berlaku daiam rumah orang itu. Ya, jikalau dua orang adil
menceriterakan kepadanya, dari permu- laan, tanpa meminta berita, bahwa si Anu
meminum khamar di rumahnya dan di rumahnya ada khamar yang disediakannya untuk
diminum, maka ketika itu, ia boleh memasUki rumah tersebut dan tidak wajib
meminta izin. Dan adalah melangkahi kepunyaan orang itu, dengan memasukinya,
adalah untuk sampai kepada menolak kemunkaran. Seperti memecahkan kepalanya
dengan pukulan untuk larangan, manakala memerlukan ke1 ada yang
demikian. Dan jikalau hal itu, dikabarkan oleh dua orang adil atau oleh seorang
adil. Kesimpulannya, oleh tiap-tiap orang yang diterima ceriteranya. Tidak
kesaksianriya. Maka tentang bolehnya menyerbu ke rumah itu, dengan kata
orang-orang tersebut, padanya menghen- daki penelitian dan kemungkinan.
Yang lebih utama menahan diri
dari penyerbuan itu. Karena pemilik rumah itu, berhak untuk tidak dilangkahi
rumahnya, dengan tidak seizinnya. Dan hak seorang Islam itu tidak gugur, dari
apa yang telah tetap menjadi haknya, kecuali dengan dua orang saksi. Ini adalah
lebih utama, apa yang dijadikan menjadi maksud padanya. Dan ada yang
mengatakan, bahwa ukiran pada cincin Luqman ialah : "Menutup apa yang
engkau lihat, adalah lebih baik daripada menyiarkan apa yang engkau duga".
Tingkat Kedua: ta'rif
(pemberi-tahuan). Bahwa perbuatan munkar, kadang-kadang tampil kepadanya, orang
yang tampil dengan kebo- dohan. Dan apabila ia diberitahukan bahwa perbuatan
itu munkar, niscaya ditinggalkannya. Seperti orang bodoh di desa (as-sawadi),
yang bershalat dan tidak mengerti dengan baik, ruku' dan sujud. Lalu ia tahu
demikian karena kebodohannya, bahwa tidaklah itu shalat. Jikalau ia senang
bahwa ia tidak bershalat, niscaya ditinggalkannya shalat itu sendiri.
Maka wajiblah memberitahu
kepadanya dengan Iemah-lembut,
761
|
tanpa kekasaran. Yang demikian,
karena dalam kandungan mem* beritahu itu, penyandaran kepada kebodohan dan
kedunguan. Dan memperbbdohkannya itu menyakitkan. Dan sedikitlah orang yang
senang dikatakan dia bodoh dalam hal-hal urusan. Lebih-lebih dalam hai Agama.
Karena itulah anda melihat orang yang keras marahnya, betapa ia marah, apabila
ia diperingati kepada kesalahan dan kebodohan. Dan bagaimana ia
bersungguh-sungguh meng- ingkari kebenaran sesudah diketahuinya. Karena takut
terbuka aurat kebodohannya (i>. Dan tabi'at manusia itu lebihloba,me- nutupi
aurat kebodohannya daripada menutupi aurat yang sebe- narnya. Karena kebodohan
itu suatu kekejian pada bentuk jiwa, suatu kehitaman pada muka. Dan orang yang
bodoh itu dicaci orang.
Kekejian dua bagian badan
(bagian muka dan belakang yang mengeluarkan najis) itu, kembali kepada bentuk
badan. Dan jiwa lebih mulia dari badan. Dan kekejian jiwa adalah lebih buruk
dari kekejian badan. Kemudian, badan itu tidak dicaci orang, karena dia itu
kejadian yang dijadikan oleh Khaliq, yang tiada termasuk ber- hasilnya dengan
pilihan yang empunya badan sendiri. Dan tiada termasuk dalam pilihannya untuk
menghilangkan dan membagus- kan badan itu.
Kebodohan itu suatu kekejian
yang mungkin dihilangkan dan digantikan dengan kebagusan pengetahuan. Maka
karena itulah, sangatnya kepedihan yang dirasakan oleh manusia, dengan tampak
kebodohannya. Dan sangatnya kegembiraan pada dirinya, dengan ilmu
pengetahuannya. Kemudian, enaknya ketika menampak ke- elokan ilmunya pada orang
lain.
Apabila ta'rif itu pembukaan
aurat,. yang menyakitkan hati, maka tak boleh tidak, diobati untuk menolak
kesakitan itu, dengan kelemah-lembutan kasih-sayang. Maka kita katakan
kepadanya : "Bahwa manusia tidak dilahirkan berilmu. Dan kita juga tadinya
bodoh tentang urusan shalat. Lalu kita diajari oleh alim ulama. Mungkin kampung
engkau, sepi dari ahli ilmu. Atau ahli ilmunya teledor tentang menguraikan dan
menerangkan shalat. Sesungguhnya syarat shalat itu thuma 'tiinah pada ruku'
dan sujud".
(1,) Aurat kebodohan : aurat, artinya bagian dari
badan kita, yang dirasa malu bila terbuka. Aurat kebodohan, artinya :
kebodohan diserupakan dengan aurat, malu kalau terbuka, sampai diketahui
orang bahwa kita bodoh. (Pent.).
|
762
|
Begitulah diterangkan dengan
lemah-lembut, supaya menghasilkan ta'rif, tanpa menyakitkan. Sesungguhnya
.menyakitkan orang Islam itu haram, yang harus dijaga. Sebagaimana menetapkannya
atas perbuatan munkar itu dijaga. Dan tidaklah termasuk orang berakal
(berpikiran waras), orang yang membasuh darah dengan darah atau dengan air
kencing. Orang yang menjauhkan berdiam diri dari perbuatan munkar yang harus
diawasi dan mengganti canny a dengan yang menyakitkan, yang harus dijaga bagi
orang Islam, serta tidak diperlukan daripadanya, maka sesungguhnya ia telah membasuh
darah dengan air kencing menurut yang sebenarnya. Apabila engkau ketahui atas
suatu kesalahan, pada bukan urusan Agama, maka tiada seyogialah engkau
mengembalikannya kepadanya. Sesungguhnya ia akan memperoleh faedah ilmu
pengetahuan dari engkau. Dan dia menjadi musuh engkau. Kecuali apabila engkau
mengetahui bahwa ia akan mengambil ilmu pengetahuan baginya. Dan yang demikian
sukar sekali didapati. Tingkat Ketiga : larangan dengan pengajaran, nasehat dan
memper- takutkan kepada Allah Ta'ala. Dan yang demikian, terhadap orang yang
mengerjakan sesuatu dan mengetahui bahwa perbuatan itu munkar. Atau terhadap
orang yang berkekalan berbuat munkar, sesudah mengetahui bahwa perbuatan itu
munkar. Seperti orang yang selalu meminum khamar atau berbuat kedzaliman atau
men- caci kaum musiimin atau yang serupa dengan itu. Maka seyogialah diajari
dan dipertakuti kepada Allah Ta'ala. Dan diterangkan kepadanya, hadits-hadits
yang menerangkan-siksaan terhadap perbuatan yang demikian. Dan diceriterakan
kepadanya, perjalanan hidup ulama-ulama terdahulu (ulama salaf) dan ibadah
orang-orang yang taqwa.
Semua itu diterangkan dengan
penuh kasih-sayang, lemah.-lembut, tanpa kata-kata kasar dan marah. Bahkan
dipandang kepadanya, Sebagai pandangan orang yang penuh kasih-sayang kepadanya.
Dan dipandang tampilnya atas perbuatan ma'shiat itu, suatu mala- petaka
(musibah) ke atas dirinya. Karena kaum musiimin itu seperti suatu diri.
Di sinilah bahaya yang besar,
yang seyogianya dijaga. Sesungguhnya bahaya itu, membinasakan. Yaitu : bahwa
orang yang berilmu, melihat ketika diperkenalkan perbuatan ma'shiat, akan
kemuliaan dirinya dengan ilmu dan kehinaan orang lain dengan kebodohan.
Kadang-kadang dimaksudkannya dengan ta'rif itu penghinaan dan melahirkan
perbedaan dengan kemuliaan ilmu. Dan penghinaan temannya dengan disandarkan
kepada hinanya kebodohan.
763
|
Kalau yang menggerakkannya
adalah ini, maka kemunkaran tersebut, adalah lebih keji pada dirinya,
dibandingkan dengan kemunkaran yang diajukan pertanyaan kepadanya.
Si muhtasib yang seperti ini,
adalah seperti orang yang melepaskan orang lain dari api, dengan membakarkan
dirinya sendiri. Dan itu paling bodoh. Dan inilah kehinaan besar, yang
menakutkan dan tipuan sethan yang melemparkan talinya kepada semua manusia.
Selain orang yang diperkenalkan oleh Allah Ta'ala akan kekurang- an-kekurangan
dirinya. Dan dibukakan-Nya mata-hatinya dengan nur-hidayah-Nya. Sesungguhnya
pada bertindak atas orang lain itu, suatu kesenangan yang besar bagi jiwa, dari
dua segi : pertama dari pihak penunjukan ilmu. Dan yang satu lagi : dari pihak
penunjukan penindakan dan kekuasaan. Dan yang demikian itu kembali kepada ria,
dan mencari kemegahan. Yaitu : nafsu-syahwat yang tersembunyi, yang mengajak
kepada syirik yang tersembunyi (asy-syirkil-khafiy). Mempunyai batu penguji dan
alat timbangan, yang seyogialah si muhtasib menguji dirinya dengan alat-alat
tadi. Yaitu : bahwa adalah tercegahnya manusia dari munkar oleh dirinya.
sendiri atau dengan ihtisab orang lain, adalah lebih disukainya daripada
tercegahnya dengan ihtisabnya. Maka jikalau hisbah itu sukar dan berat
kepadanya dan ia suka ihtisab itu cukup dengan orang lain saja,maka hendaklah
ia berihtisab. Maka sesungguhnya yang menggerakkannya ialah : Agama. Jikalau
orang ma'shiat itu menerima pengajaran dengan pengajarannya dan takut berbuat
ma'shiat oleh gertaknya, niscaya lebih ia sukai daripada orang itu menerima
pengajaran dengan pengajaraii orang lain, maka tidaklah si muhtasib ini selain
orang yang menuruti hawa-nafsu. Dan mencari jalan untuk melahirkan kemegahan
diriny a<dengan perantaraan hisbah itu.
Maka hendaklah ia takut
(bertaqwa) kepada Allah Ta'etladan ber- ihtisablah mula-mula kepada dirinya
sendiri!. Ketika inilah, dikatakan apa yang dikatakan kepada Nabi Isa as.
"Wahai putera Mary am! Ajarilah dirimu sendiri! Kalau engkau telah
memperoleh pengajaran itu, maka ajarilah manusia! Jikalau tidak, maka malulah
engkau kepada-Ku!".
Ditanyakan kepada Daud Ath-Tha-i
ra. : "Adakah engkau melihat orang yang datang ke tempat amir-amir itu,
lalu ia menyuruh mereka berbuat perbuatan baik dan melarang berbuat perbuatan
munkar?".
Daud Ath-Tha-i menjawab :
"Aku takut pukulan cemeti atas dirinya".
764
|
Orang yang bertanya tadi
menjawab : "Orang itu tahan pukulan". Daud Ath-Tha-i berkata lagi:
"Aku takut kena pedang atas dirinya" Orang itu menjawab : "Dia
tahan pedang".
Daud Ath-Tha-i menyambung :
"Aku takut penyakit yang terta- nam atas dirinya. Yaitu : 'ujub (perasaan
bangga dan angkuh atas perbuatannya)"'
Tingkat Ke-empat : memaki dan
menggertak dengan kata-kata keras dan kasar. Dan yang demikian itu,
dipergunakan ketika lemah daripada melarang" dengan lemah-lembut dan lahir
tanda-tanda permulaan akan terus-terusan berbuat ma'shiat dan mempermain-
mainkan pengajaran dan nasehat. Yang demikian itu seperti ucapan Ibrahim as. :
(Uffm lakum wa limaa ta-buduuna
min duunillaahi afalaa ta'-qi- luun).
Artinya; "Cis, kamu ini!
Kenapa kamu sembah — sesuatu — selain dari AUah ? Tidakkah kamu mengertiV\ (S.
Al-Anbia, ayat 67 j. Kami tidak maksudkan dengan makian yang keji itu, dengan
apa yang padanya penyandaran kepada : zina dan pendahuluan-penda- huluannya.
Dan tidak kepada kebohongan. Akan tetapi bahwa ditujukannya dengan kata-kata
yang ada padanya,yang tidak dihi- tung termasuk diantara jumlah kekejian.
Seperti katanya : "Hai fasiq! Hai dungu] Hai bodoh! Tidakkah engkau takut
akan Allah?" Dan seperti katanya : "Hai orang hitam! Hai
bebal!". Dan kata- kata lain yang seperti itu. Maka sesungguhnya tiap-tiap
orang fasiq itu, adalah dungu dan bodoh. Jikalau tidak karena kedunguannya,
niscaya ia tidak berbuat ma'shiat kepada Allah Ta'ala. Bahkan tiap- tiap orang
yang tidak pintar adalah dungu.
765
|
Dan orang pintar, ialah : orang
yang diakui oleh Rasulullah saw. dengan kepintarannya, di mana beliau bersabda
:
الكيس
من دان نفسه وعمل لما بعد الموت والأحمق من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله
(Al-kayyisu man daana nafsahu wa
'amila limaa ba'-dal-mauti wal- ahmaqu manit-taba-'a hawaahaa wa tamannaa
'alallaah). Artiiiya: "Orang pintar ialah : orang yang
meng-agama-kan dirinya dan berbuat untuk sesudah mati. Dan orang dungu, ialah :
orang yang mengikutkdndirinya kepada hawa-nafsunya dan berangan angan kepada
Allah akan mengampuninya(1)
Dan tingkat ini mempunyai dua
adab kesopanan :
Pertama :
bahwa ia tidak tampil ke tingkat ini, kecuali ketika dlarurat dan lemah dari
lemah-lembut.
Kedua :
bahwa ia tidak berkata-kata kecuali dengan benar. Dan tidak melepaskan
perkataan begitu saja. Lalu melepaskan lidahnya yang panjang dengan kata-kata
yang tidak diperlukan. Tetapi hendaklah disingkatkan sekedar perlu saja.
Kalau diketahuinya, bahwa ucapannya
dengan kata-kata yang menghardikkan ini, tidak menghardikkan muhtasab 'alaih,
maka tiada seyogialah ia melepaskan ucapan itu. Tetapi disingkatkan saja dengan
melahirkan kemarahan, penghinaan dan penglecehan menurut tempatnya. Karena
kema'shiatannya. Kalau diketahuinya, bahwa jikalau ia berbicara, niscaya akan
dipukul orang dan jikalau ia bermasam muka dan melahirkan ketidak- senangan
dengan mukanya, niscaya ia tidak akan dipukul, niscaya haruslah ia berbuat
demikian. Dan tidak memadai menantang dengan hati. Akan tetapi harus memasamkan
muka dan melahirkan penantangannya.
Tingkat Kelima :
merobah dengan tangan. Dan yang demikian itu : seperti memecahkan alat
permainan, menumpahkan khamar dan membuka kain sutera dari kepalanya dan
tubuhnya. Dan mela- rangnya duduk di atas kain sutera itu. Menolaknya dari
duduk atas harta orang lain. Mengeluarkannya dari rumah yang dirampasnya dengan
menghela kakinya. Dan mengeluarkannya dari masjid, apabila ia duduk sedang
berjanabat (berhadats besar). Dan hal-hal.yang serupa dengan yang demikian. Dan
tergambar yang demikian pada sebahagian ma'shiat dan tidak pada sebahagian
lainnya. Adapun ma'shiat lidah dan hati, maka'tiada sanggup secara lang- suhg
mengubahkannya. Dan seperti itu pula,tiap-tiap ma'shiat yang tersimpan pada
jiwa dan anggota-anggota tubuh bathiniah dari si pembuat ma'shiat.
Pada tingkat ini ada dua adab
kesopanan :
Pertama : bahwa tidak secara
langsung dengan tangannya merobah perbuatan munkar itu, selama ia tidak lemah
mendesak yang demikian kepada muhtasab 'alaih. Apabila mungkin ia memaksakan
muhtasab 'alaih berjalan keluar dari tanah yang dirampasnya dan dari masjid
yang ditempatinya di mana ia sedang berhadats besar,
(1) Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari
Syaddad bin A us-
|
766
|
maka tiada seyogialah menolaknya
atau menghelanya keluar. Dan apabila ia sanggup menyuruh muhtasab 'alaih itu
menuangkan khamar, memecahkan alat permainan dan membuka ikatan yang
mengikatkan kain sutera pada badan, maka tiada seyogialah langsung ia berbuat
yang demikian dengan dirinya sendiri. Sesungguhnya berdiri kepada batas
memecahkan itu, adalah semacaxn kesulit an. Apabila ia tiada berbuat sendiri
yang demikian, niscaya memadailah berijtihad padanya. Dan dilaksanakan oleh
orang yang tak ada halangan baginya pada memperbuatnya. Kedua : bahwa
disingkatkannya jalan merobahkan itu sekadar yang diperlukan. Yaitu, bahwa :
tidak dipegang janggutnya pada mengeluarkannya. Dan tidak dengan kaki, apabila
sanggup menge- luarkanhya dengan menarik tangannya saja. Sesungguhnya bahan
yang menyakitkannya itu tidak diperlukan.
Dan bahwa tidak dikoyakkan
pakaian sutera. Akan tetapi dibuka ikatan pakaian itu saja. Tidak dibakar
alat-alat permainan dan sahb yang diperlihatkan oleh orang Nasrani. Akan tetapi
dirusak- kan yang membawa tidak dapat dipergunakan lagi, disebabkan pecabnya.
Dan batas pemecahan itu, ialah : barang itu sampai kepada keadaan yang
memerlukan pada mengulangi perbaiikannya kepada tenaga yang sama dengan tenaga
mengulangi memperbuatnya dari kayu, sejak permulaan. Dan pada menuangkan
khamar dijaga daripada memecahkan bejana, kalau ada jalan yang demikian.
Jikalau tiada sanggup kepada yang demikian, selain dengan melemparkan
tempat-tempat khamar itu dengan batu, maka boleh ia melakukan yang demikian.
Dan jatuhlah nilai tempat khamar itu dan penilaiannya disebabkan khamar. Karena
ia menjadi pengha- lang untuk sampai kepada menuangkan khamar itu. Jikalau
muhtasab 1alaih itu menutup khamar dengan badannya, niscaya kita
tujukan kepada badannya itu dengan melukakan dan memukul kan. Supaya kita
sampai kepada menuangkan khamar itu. Jadi, tidaklah bertambah kehormatan
miliknya pada tempat khamar itu atas kehormatan dirinya sendiri.
Jikalau khamar itu dalam botol
yang sempit kepalanya dan kalau ia menuangkannya, niscaya lamalah waktunya. Dan
akan diketahui oleh orang-orang fasiq yang akan melarangnya, maka bolehlah ia
memecahkan botol-botol khamar itu. Ini adalah suatu hal yang membolehkan
demikian.
Jikalau ia tiada kuatir akan
menjumpai orang-orang fasiq dan la- rangan mereka, akan tetapi dengan penuangan
itu menghilangkan banyak waktunya dan membawa teledor pekerjaan-pekerjaan lain,
767
|
maka bolehlah ia memecahkan
tempat-tempat khamar itu. Ia tiada boleh menyia-nyiakan kemanfa'atan tubuhnya
sendiri dan maksudnya dari segala perbuatannya, dikarenakan oleh botol-botol
khamar itu. Dan di mana penuangan itu mudah tanpa pemecahan botol, lalu
dipecahkannya, niscaya haruslah dibayarnya botol itu. Kalau arida bertanya :
"Apakah tidak boleh memecahkan (botol khamar) untuk menghardik? Dan apakah
tidak boleh menarik kakinya untuk mengeluarkannya dari tanah yang dirampasnya?.
Supaya yang demikian itu lebih bersangatan pada penghardikan?".
Ketahuilah, bahwa penghardikan
itu, sesungguhnya untuk masa yang akan datang. Dan siksaan (hukuman) itu atas
perbuatan yang telah lalu. Dan penolakan adalah atas perbuatan yang sedang berjalan.
Tidaklah atas masing-masing rakyat, selain menolak kemunkaran yang sedang
"berlaku itu. Penolakan, yaitu : meniadakan kemunkaran tersebut. Maka apa
yang melebihi dari sekadar penia- daan, adakalanya siksaan atas kejahatan yang
lalu. Atau penghardikan atas perbuatan yang akan datang. Yang demikian itu
diserah- kan kepada wali-wali (penguasa-penguasa). Tidak kepada rakyat. Benar,
wali itu boleh berbuat demikian, apabila ia memandang ada kemuslihatan padanya.
Dan aku berkata : bahwa wali itu boleh menyuruh memecahkan botol-botol yang di
dalamnya khamar, untuk penghardikan. Dan telah diperbuat demikian pada masa
Rasulullah saw., untuk menguatkan penghardikan itu u). Dan tak ada mansuhnya
(pencabutan) perbuatan tersebut. Tetapi adalah sangat-perlu penghardikan dan
pemberhentian dari peminuman khamar itu.
Apabila wali negeri (penguasa)
menurut ijtihadnya berpendapat perlunya seperti yang demikian, niscaya boleh
baginya yang demikian. Apabila ini bergantung dengan semacam ijtihad yang
mendalam, niscaya tidak boleh yang demikian bagi seseorang dari rakyat. Kalau
anda berkata : "Maka hendaknya boleh bagi sultan (penguasa) menghardik
manusia dari perbuatan-perbuatan ma'shiat, dengan merusakkan harta mereka.
Merobohkan rumah-rumah mereka, di mana di dalam rumah itu mereka meminum khamar
dan mengerjakan perbuatan ma'shiat. Dan membakar harta benda mereka, di mana
dengan harta benda itu mereka sampai kepada perbuatan ma'shiat tersebut".
(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Thalhah.
|
768
|
Ketahuilah kiranya, bahwa yang
demikian kalau sudah Agama menerangkannya, niscaya tidaklah keluar dari
jalan-jalan kemus- lihatan. Tetapi kita tidak mengada-adakan kemuslihatan. Akan
tetapi, mengikuti apa yang ada. Memecahkan botol-botol khamar ada hukumnya
ketika sangat diperlukan. Dan kemudian, membiarkannya karena tidak sangat
diperlukan, tidaklah itu mansukh namanya. Tetapi hukum itu hilang dengan
hilangnya yillah (sebab). Dan akan kembaii dengan kembalinya 'illah.
Kita perbolehkan yang demikian bagi imam (penguasa), disebabkan hukum
"ittiba*" (mengikuti). Dan kita melarang masing-masing perseorangan
rakyat daripadanya, karena tersembunyinya segi ijtihad padanya. Bahkan kami
berkata, jikalau pada pertamanya, telah dituangkan khamar-khamar itu, maka
tidak boleh memecahkan bejana-bejananya kemudian. Tetapi boleh memecahkannya,
karena mengikutkan bagi khamar yang di daiamnya itu. Apabila bejana-bejana itu
kosong dari khamar, maka memecahkannya, adalah merusakkan harta orang. Kecuali
bejana-bejana itu dibiasa- kan untuk tempat khamar, di mana tidak cocok selain
untuk khamar.
Maka adalah perbuatan yang
dinukilkan, dari masa pertama Islam(kurun pertama) dibaringi dengan dua
pengertian :
Pertama : sangat diperlukan
kepada penghardikan.
Kedua :
mengikutkan botol-botol itu bagi khamar yang di-isikandi botol-botol itu.
Keduanya ini, adalah dua pengertian
yang membekas. Tiada jalan untuk membuangnya. Dan pengertian yang ketiga, yaitu
: datangnya dari pendapat petugas yang bertanggung-jawab. Karena diketahuinya
sangat memerlukan kepada penghardikan itu. Dan itu juga membekas. Tiada jalan
untuk membatalkannya. Inilah urusan-urusan yang halus-halus, yang berhubungan
dengan ilmu fiqh, di mana sudah pasti si muhtasib itu memerlukan untuk
mengetahuinya.
Tingkat Ke-enam :
pengancaman dan penakutan (tahdid dan takhwif). Umpamanya dikatakan :
Tinggalkan perbuatan ini! Atau : akan aku pecahkan kepalamu. Atau : akan aku
pukul lehermu. Atau : akan aku suruh orang berbuat demikian kepada kamu. Dan
kata-kata yang lain yang serupa dengan itu.
Dan ini, seyogialah didahulukan,
untuk pelaksanaan pukulan itu. Karena mungkin didahulukan. Dan adab pada
tingkat ini, ialah : tidak dilakukan pengancaman dengan sesuatu ancaman, yang
tidak
769
|
boleh dilaksanakan. Seperti
katanya : akan aku rampas rumah engkau atau akan aku pukul anak engkau atau
akan aku tawan isteri engkau. Dan lain-lain sebagainya. Bahkan yang demikian
itu, kalau dikatakannya dengan cita-cita akan dilaksanakan, adalah haram. Dan
kalau dikatakannya tanpa cita-cita tersebut, adalah bohong.
Benar, apabila disebut pada
gertakan itu dengan pukulan dan penghinaan, maka boleh di'azamkan
(dicita-citakan)nya, sampai kepada batas yang diketahui, dikehendaki oleh
keadaan. Dan ia boleh melebihkan ancaman itu, menurut azamnya (cita-citanya)
yang tersembunyi dalam hatinya, apabila diketahuinya demikian itu dapat
mencegah dan menakutkan si pembuat kemunkaran itu. Dan tidaklah yang demikian
termasuk dusta yang harus dijaga. Bahkan bersangatan pada yang seperti
demikian, adalah biasa. Dan itulah artinya bersangatan seseorang pada
memperbaiki diantara dua orang yang bermusuhan dan penjinakan hati diantara dua
isteri yang bermadu.
Yang demikian itu termasuk apa
yang diperbolehkan karena diper- lukan. Dan inipun termasuk dalam
pengertiannya. Sesungguhnya maksudnya, ialah memperbaiki orang itu. Dan kepada
pengertian inilah diisyaratkan oleh setengah manusia (ulama ilmu tauhid), bahwa
tiada keji daripada Allah, mengancam dengan apa yang tiada diperbuat-Nya.
Karena menyalahi ancaman itu adalah sUatu kurnia. Yang keji ialah menjanjikan
dengan apa yang tiada diperbuat.
Pendapat ini tiada kita (para
ahlus-sunnah wal-jama'ah) menyetu- juinya. Sesungguhnya Kalam Qadim (Firman-Nya
yang Qadim) itu tiada berlaku padanya penyalahan, baik janji (wa'ad) atau
ancaman (wa'id). Dan sesungguhnya ini tergambar mengenai hak manusia. Yaitu
begitu juga, karena penyalahan tentang ancaman itu tidak haram.
Tingkat Ketujuh :
langsung memukul dengan tangan, kaki dan lainnya, yang tak ada padanya
pemakaian senjata. Yang demikian itu, diperbolehkan bagi masing-masing orang,
dengan syarat : karena dlarurat (diperlukan). Dan disingkatkan seka- dar perlu
pada penolakan munkar itu. Apabila pembuat munkar itu bertahan, maka seyogialah
dicegah. Dan hakim (qadli) kadang- kadang memaksakan orang yang ada padanya hak
orang lain, untuk mengembalikan kepada pemiliknya, dengan memenjara- kannya.
Kalau yang dipenjarakan itu tidak mau mengembalikan
770
|
dan hakim tahu akan
kesanggupannya mengembalikan hak itu dan tentang membangkangnya orang yang
dipenjarakan itu, maka hakim boleh memaksakannya pengembalian itu dengan
pukulan setingkat demi setingkat, menurut yang diperlukan.
Begitu pula si muhtasib, menjaga
setingkat demi setingkat itu. Kalau ia memerlukan kepada pemakaian senjata dan
ia sanggup menolak kemunkaran itu dengan pemakaian senjata dan pelukaan, maka
boleh ia berbuat yang demikian, selama tidak berkembang kekacauan. Sebagaimana
Umpamanya, jikalau seorang fasiq memegang seorang wanita atau memukul rebab
yang ada padanya. Dan antara orang fasiq itu dan si muhtasib, terbentang sungai
yang menghambat atau dinding yang mencegah. Maka diambilnyalah panah dan
dikatakan kepada orang fasiq itu : "Lepaskan wanita itu atau aku akan melemparkan
engkau dengan anak panah ini'.".
Jikalau tidak dilepaskannya,
maka boleh ia melemparkan (melepas- kan)anak panah itu. Dan seyogialah tidak
ditujukan kepada tempat yang membunuhkan. Tetapi ditujukan kepada betis, paha
dan yang serupa dengan itu. Dan dijaga padanya tingkat demi tingkat. Begitu
pula ia mencabut pedangnya, seraya berkata : "Tinggalkan kemunkaran itu
atau aku akan memukul engkau!". Maka semua itu adalah penolakan munkar.
Dan penolakan munkar itu wajib dengan segala kemungkinan. Tiada berbeda tentang
itu diantara yang khusus bersangkutan dengan hak Allah dan yang bersangkutan
dengan anak Adam (manusia).
Golongan Mu'tazilah berkata :
"Apa yang tiada berhubungan dengan hak anak Adam, maka tak ada hisbah
padanya, selain dengan perkataan atau dengan pukulan. Tetapi bagi imam
(penguasa), tidak bagi masing-masing orang (individu).
Tingkat Kedelapan :
muhtasib itu tidak sanggup sendirian dan ia memerlukan kepada pembantu-pembantu
yang memakai senjata. Kadang-kadang1 orang fasiq juga meminta bantuan
dengan teman- temannya. Dan yang demikian, membawa kepada berhadapan muka dua
barisan dan berperang-perangan.
Maka dalam hal ini, telah timbul
perselisihan tentang perlunya kepada keizinan imam (penguasa). Berkata
orang-orang yang berkata : "Tidaklah masing-masing rakyat bebas bertindak
yang demikian. Karena membawa kepada bergeraknya kekacauan, berkobar- nya
kerusakan dan kehancuran negeri".
Berkata yang lain : "Tidak
memerlukan kepada keizinan". Dan inilah yang lebih sesuai dengan qias.
Karena apabila boleh bagi
771
|
orang seorang, melakukan
amar-ma'ruf dan tingkat-tingkatnya yang permulaan akan menghela kepada orang
dua-dua. Dan orang dua- dua akan menghela kepada orang tiga-tiga. Dan tidak
mustahil kadang-kadang akan berkesudahan kepada pukul-memukul. Dan
pukul-memukul itu membawa kepada tolong-menolong. Maka tiada seyogialah diambil
perduli, dengan segala yang harus oleh amar- ma'ruf. Dan kesudahannya
penyusunan barisan tentara pada jalan keridla'an Allah Ta'ala dan menolak
segala kema'shiatan-Nya. Kami membolehkan bagi masing-masing para pejuang,
berkumpul dan memerangi siapa yang dikehendakinya,dari.golongan-golongan kafir,
demi menghambat kaum kafir. Maka seperti itu pula, meng- hambat kaum perusak
itu diperbolehkan. Karena orang kafir, tiada mengapa, membunuhnya. Dan orang
Islam kalau dibunuh maka mati syahid. Maka seperti itu pula, orang fasiq yang
berjuang mempertahankan kefasiqannya, tiada mengapa membunuhnya. Dan muhtasib
yang benar, kalau terbunuh dengan teraniaya, maka ia mati syahid.
Kesimpulannya, maka berkesudahan
pekerjaan kepada yang tersebut ini, adalah termasuk hal-hal yang jarang
terjadi pada hisbah. Maka tidaklah dirobah undang-undang pengqiasan (qanun
qias) dengan demikian. Akan tetapi dikatakan;tiap-tiap orang yang sanggup
menolak kemunkaran, maka boleh ia menolaknya dengan tangan, dengan senjata,
dengan dirinya sendiri dan dengan pem- bantu-pembantunya.
Jadi, persoalannya itu suatu
kemungkinan, sebagaimana telah kami sebutkan.
Inilah tingkat-tingkat hisbah
itu! Maka marilah kami sebutkan adab-adabnya! Kiranya Allah menganugerahkan
taufiq!.
772
|
PENJELASAN
ADAB-ADAB MUHTASIB
Telah kami sebutkan
penguraian-penguraian adab pada masing- masing tingkat. Dan sekarang kami akan
sebutkan jumlahnya dan sumber-siinibernya. Maka marilah kami terangkan : 'Semua
adab muhtasib, sumbernya adalah tiga sifat pada muhtasib sendiri: ilmu,
wara*dan baik akhlaq.
Adapun ilmu : maka hendaklah
muhtasib itu mengetahui situasi hisbah, batas-batasnya, tempat-tempat
berlakunya dan penghalang- penghalangnya. Supaya ia menyingkatkan di atas batas
Agama.
Wara' - supaya ia mencegah
dirinya daripada menyalahi apa yang diketahuinya. Maka tidaklah semua orang
yang berilmu, mengamal- kan menurut ilmunya. Bahkan kadang-kadang ia tahu,
bahwa ia berlebih-lebihan pada hisbah itu dan bertambah di atas batas yang
diizinkan pada Agama. Akan tetapi didorong kepadanya oleh sesuatu maksud.
Maka hendaklah perkataan dan
pengajarannya diterima orang. Bahwa orang fasiq itu akan mempermain-mainkan si
muhtasib apabila berihtisab, Dan mengakibatkan demikian, orang berani terhadap
si muhtasib.
Adapun baik akhlaq, maka
hendaklah ia berketetapan dengan lemah-lembut dan kasih-sayang. Itulah pokok
bab dan sebab-sebabnya. Ilmu dan wara' tiada memadai. Kemarahan apabila
berkobar- kobar, niscaya tiada mencukupi semata-mata'ilmu dan wara' untuk
mencegahnya, selama tidak ada pada tabi'atnya, penerimaan dengan baik akhlaq.
Dan sebenarnya, wara' itu tidak sempurna, selain bersama kebaikan akhlaq dan
mampu mengekang nafsu-syahwat dan kemarahan.
Dengan itulah muhtasib itu
bersabar atas apa yang menimpa dirinya pada Agama Allah. Kalau tidak demikian,
maka apabila tertimpa kehormatan dirinya atau hartanya atau pribadinya dengan
makian atau pukulan, niscaya ia melupakan hisbah itu. Lalai dari Agama Allah
dan menghabiskan waktunya dengan urusan peribadinya. Bahkan kadang-kadang ia
tampil kepada ihtisab itu, pada mulanya, karena mencari kemegahan dan nama.
Maka dengan tiga sifat tersebut
di atas, jadilah hisbah itu diantara qurbah (amalan yang mendekatkan diri
kepada Allah). Dengan tiga sifat itu tertolaklah segala kemunkaran. Kalau tiga
sifat itu tidak ada, niscaya kemunkaran itu tiada akan tertolak. Bahkan
kadang-kadang hisbah juga, menjadi perbuatan munkar, karena melampaui batas
Agama.
773
|
Terhadap adab-adab ini
berdalilkan sabda Nabi saw. :
لا
يأمر بالمعروف ولا ينهى عن المنكر إلا رفيق فيما يأمر به رفيق فيما ينهى عنه حليم فيما يأمر به حليم فيما ينهى عنه فقيه فيما يأمر به فقيه فيما ينهى عنه
(Laa ya'-muru bil-ma'-ruufi wa
laa yanhaa 'anil-munkari illaa rafii- qun fiima ya'-muru bihi rafiiqun fiima
yanhaa 'anhu, haliimun fiima ya'-muru bihi, haliimun fiima yanhaa 'anhu
faqiihun fiima ya’muru fiihi faqiihun fiima yanhaa anhu).Artinya : "Tiada
menyuruh perbuatan baik dan tiada melarang perbuatan munkar, selain orang yang
penuh kasih-sayang pada apa yang disuruhnya, yang penuh kasih-sayang pada apa
yang dilarang- nya, yang tidak lekas marah pada apa yang disuruhnya, yang tidak
lekas marah pada-apa yang dilarangnya, berilmu pada apa yang disuruhnya,
berilmu pada apa yang dilarangnya ". (1). Hadits ini menunjukkan,
bahwa tidak disyaratkan, bahwa muhtasib itu berilmu (faqih) mutlak. Akan tetapi
hanya mengenai apa yang disuruhnya dan yang dilarangnya. Dan demikian juga
sifat tidak lekas marah (الحلم al-hilm).
Al-Hasan Al-Bashri ra. berkata :
"Bila engkau termasuk orang yang menyuruh dengan yang baik, maka
hendaklah engkau termasuk orang yang dapat mengambil hati manusia kepadanya.
Kalau tidak, niscaya engkau binasa".
Ada yang bermadah :
Janganlah engkau mencaci orang,
atas perbuatan yang dilakukannya!
Sedang engkau dilihat orang,
berbuat seperti perbuatannya,
Orang yang mencela sesuatu dan
melakukan seperti perbuatan itu,
sesungguhnya mendatangkan malu,
kepada akalnya itu.
Tidaklah kami maksudkan dengan
ini, bahwa amar-ma'ruf itu menjadi terlarang, disebabkan fasiq si muhtasib.
Akan tetapi hilang kesannya dari hati orang banyak, disebabkan lahir fasiqnya
bagi manusia.
Diriwayatkan dari Anas ra. yang
berkata: "Kami bertanya: 'Wahai Rasulullah! Tidakkah
kami menyuruh perbuatan baik, sebelum kami mengerjakannya semuanya? . Dan
tidakkah kami melarang perbuatan jahat, sebelum kami menjauhkannya semuanya?'
Lalu Rasulullah saw. menjawab : "Bahkan suruhlah perbuatan baik, walaupun
kamu tiada mengerjakannya semuanya. Dan larang- lah perbuatan jahat walaupun
kamu tiada menjauhkannya semuanya!". (2)
1. Menurut AL-Iraqi, beliau tiada menjumpai hadits
yang bunyinya demikian.
|
Al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Amr bin Syu'aib, yang
maksudnya mendekati yang demikian.
|
2. Dirawikan Ath-Thabrani dari Anas.
|
774
|
Setengah ulama terdahulu (salaf)
mewasiatkan kepada anak-anak- nya. Ia mengatakan : "Jikalau salah seorang
kamu bermaksud menyuruh perbuatan baik, maka hendaklah menempatkan dirinya
atas kesabaran!. Dan hendaklah percaya akan memperoleh pahala dari Allah!.
Barangsiapa percaya akan pahala dari Allah, niscaya tiada akan mendapat
sentuhan kesakitan".
Jadi, diantara adab hisbah,
ialah menempatkan diri di atas kesabaran. Karena itulah, Allah Ta'ala
menyertakan kesabaran dengan amar-ma'ruf. Allah Ta'ala berfirman,
menceriterakan dari hal Luqman :
يَا
بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ
(Yaa bunayya aqimish-shalaata
wa'mur bil-ma'-ruufi wanha 'anil- munkari, wash-bir 'alaa maa ashaabak).Artinya
: "Hai anakku! Dirikanlah shalat, suruhlah mengerjakan yang baik,
cegahlah perbuatan yang buruk dan bersabarlah meng- hadapi apa yang menimpa
engkau. (S, Luqman, ayat 17). Diantara adab itu menyedikitkan hubungan.
Sehingga tiada banyak ketakutannya. Dan memutuskan harapan kepada orang banyak.
Sehingga hilanglah daripadanya sifat berminyak-minyak air (muda hanah),
Diriwayatkan dari setengah guru
(masyaikh), bahwa beliau mempunyai seekor kucing. Beliau mengambil dari
tukang-potong tetarigganya tiap-tiap hari sedikit daging untuk kucingnya. Maka
beliau melihat pada tukang-potong itu perbuatan munkar. Lalu pertama-tama
beliau masuk ke rumahnya dan mengeluarkan kucing. Kemudian beliau datang dan
melakukan ihtisab kepada tukang- potong itu.
Tukang-potong itu berkata
kepadanya : "Tiada akan aku berikan lagi kepadamu sesudah ini sesuatu
untuk kucingmu". Masyaikh itu menjawab : "Aku tiada melakukan ihtisab
kepadamu, selain sesudah mengeluarkan kucing dan memutuskan harapan daripada
engkau". Yaitu sebagaimana masyaikh itu berkata: "Barangsiapa tiada
memutuskan harapan dari makhluq, niscaya ia tiada sanggup melaksanakan hisbah.
Dan barangsiapa mengharap supaya hati manusia baik kepadanya dan lisan mereka
melepaskan pujian kepadanya, niscaya tiada mudah hisbah baginya".
Ka'bul-Ahbar bertanya kepada Abi Muslim Al-Khaulani : "Bagai- manakah
kedudukanmu diantara kaummu?". Abi Muslim Al-Khaulani menjawab :
"Baik!".
775
|
Ka'bul-Ahbar menyambung :
"Taurat berkata : 'Sesungguhnya orang apabila beramar-ma'ruf dan
bernahi-munkar, niscaya buruk- lah kedudukannya pada kaumnya"!
Abi Muslim menjawab :
"Benar Taurat dan bohong Abi Muslim". Ditunjukkan kepada wajibnya
lemah-lembut, oleh apa yang diambil menjadi dalil oleh Khalifah Al-Ma'mun,
ketika iadiberi pengajaran, oleh orang yang memberi pengajaran kepadanya. Dan
orang itu bersikap kasar kepadanya pada perkataan. Lalu Khalifah Al- Ma'mun
berkata: "Saudara! Lebih baik dari engkau, kepada orang yang lebih jahat
dari aku. Dan Allah menyuruhnya bersikap lemah- lembut". Allah Ta'ala
فَقُولا
لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
(Faquulaa lahu qaulan layyinan
la-'allahu yatadzak-karu au yakh- syaa).Artinya : "Ucapkanlah
kepadanya perkataan yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia memperhatikan atau
takut". (S. Thaha, ayat 44).
Maka hendaklah si muhtasib itu
mengikuti nabi-nabi as. tentang kelemah-lembutan!.
Abu Amamah meriwayatkan :
"Bahwa seorang anak muda datang kepada Nabi saw., lalu bertanya : 'Wahai
Nabi Allah! Izinkah engkau kepadaku berzina?'
Mendengar itu, orang banyak
berteriak. Lalu Nabi saw. bersabda : "Dekatkanlah dia! Dekatlah
kemari!".
Lalu anak muda itu dekat.
Sehingga ia duduk di hadapan Nabi saw.
Lalu Nabi saw. bersabda :
"Adakah engkau menyukai zina itu untuk ibu engkau ?
Anak muda itu menjawab : "Tidak!
Dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau!".
Nabi saw. menyambung :
"Begitu juga manusia, tiada menyukai zina itu untuk ibu mereka. Adakah
engkau menyukainya untuk anak perempuan engkau?".
Anak muda itu menjawab :
"Tidak! Dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau!".
Nabi saw. menyambung :
"Begitu juga manusia, tiada menyukainya untuk anak perempuan mereka.
Adakah engkau menyukainya untuk saudara perempuan engkau?".
Ibnu 'Auf menambahkan : sehingga
Nabi saw. menyebutkan : saudara bapak yang perempuan (al-ammah) dan saudara ibu
yang perempuan (al-khalah). Dan anak muda itu menjawab pada masing-
776
|
masingnya : "Tidak!
Dijadikanlah kiranya aku oleh Allah tebusan engkau". Dan Nabi saw.
menyambung seperti itu juga : "Manusia tiada menyukainya".
Keduanya berkata mengenai hadits
tadi, ya'ni : Ibnu 'Auf dan perawi yang lain : Lalu Rasulullah saw. meletakkan
tangannya atas dada anak muda itu dan berdo'a
:اللهم
طهر قلبه واغفر ذنبه وحصن فرجه فلم يكن شيء أبغض إليه منه
(Allaahumma thahhir qal-bahu
waghfir dzanbahu wa hash-shin farjahu fa-lam yakun syai-un abghadlu ilaihi
minhu). Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Sucikanlah hatinya, ampunkan
lah dosanya dan peliharalah kemaluannya! Dan tak adalah sesuatu yang lebih
dimarahi oleh Allah selain dari zina". (1 Dirawikan Ahmad)
Ada orang yang mengatakan kepada Al-Fudlail bin 'Ayyadl ra. : "Bahwa
Sufyan bin 'Uyainah menerima pemberian-pemberian sultan (penguasa)". Lalu
Al-Fudlail menjawab : "Sufyan tidak mengambil dari penguasa-penguasa itu,
selain kurang dari haknya". Kemudian, Al-Fudlail berdua-duaan dengan
Sufyan, mencaci dan mengejek Sufyan. Lalu Sufyan berkata : "Hai Abu 'Ali
(penggilan kepada Al-Fudlail)! Kalau kami tidak termasuk orang-orang shalih,
maka sesungguhnya kami mencintai orang-orang shalih". Hammad bin Salmah
berkata : "Bahwa seorang laki-laki lalu di hadapan Shilah bin Asyyam, yang
telah menurunkan kain sarungnya. Lalu para shahabat Shilah ingin mengambil
kain sarung itu dengan secara kasar. Maka Shilah berkata 'Biarkanlah aku berbuat, yang memuaskan
kamu!"'.
Lalu Shilah berkata kepada
laki-laki itu : "Hai putera saudaraku! Aku mempunyai keperluan
padamu".
Laki-laki itu bertanya :
"Apakah keperluan engkau, wahai paman- ku?".
Shilah menjawab : "Aku suka
engkau mengangkat kain sarungmu". Lalu laki-laki itu menjawab :
"Boleh, demi kehormatan!". Lalu ia mengangkat kain sarungnya.
Shilah berkata kepada paraa
shahabatnya : "Kalau kamu ambil kain sarungnya dengan kekasaran, niscaya
ia akan menjawab : Tidak! Dan tidak ada kehormatan dan ia akan memaki kamu".
(1) ; Dirawikan Ahmad dengan isnad baik.
|
777
|
Muhammad bin Zakaria Al-Ghilabi
berkata : "Aku melihat Abdullah bin Muhammad bin 'A-isyah pada suatu
malam. Ia keluar dari masjid sesudah Maghrib, bermaksud pulang ke rumahnya.
Tiba- tiba di tengah jalan, ada-seorang anak muda Quraisy mabuk. Anak muda itu,
memegang seorang wanita. Lalu Abdullah menarik wanita itu. Wanita itu lalu
meminta tolong. Maka berkumpullah orang banyak memukul anak muda itu.
Maka Ibnu 'A-isyah melihat
kepada anak muda itu. Rupanya beliau kerial. Lalu beliau mengatakan kepada
orang banyak : "Tinggalkan- lah anak saudaraku ini!". Kemudian beliau
menyambung : "Mari kemari, wahai anak saudaraku!".
Anak muda itu merasa malu. Lalu
datang kepadanya. Dan beliau pegang dia. Kemudian berkata kepadanya :
"Mari bersama aku!". Anak muda itu pergi bersama beliau. Sehingga
sampailah ke rumahnya. Lalu beliau suruh masuk ke rumah. Dan mengatakan kepada
sebahagian pelayan-pelayannya : "Rumahnya pada engkau. Apabila ia sembuh
dari mabuknya, maka beritahukan kepadanya apa yang terjadi pada dirinya! . Dan
jangan engkau biarkan ia pergi, sebelum ia datang menjumpai aku!".
Maka tatkala anak muda itu telah
sembuh dari mabuknya, lalu diterangkan kepadanya apa yang telah terjadi. Maka
anak muda itu malu dan menangis. Dan bermaksud meninggalkan tempat itu. Lalu
pelayan yang diserahkan menjaga anak muda itu, berkata : "Tuan rumah
meminta engkau datang menemui beliau". Anak muda itupun dibawa masuk. Lalu
Ibnu 'A-isyah (tuan rumah) mengatakan kepadanya : "Apakah tidak engkau
malu bagi dirimu sendiri? Apakah tidak engkau malu bagi kehormatanmu? Apakah
tidak engkau lihat, siapakah yang menjadi bapakmu? Bertaqwalah kepada Allah!
Tariklah dirimu dari pekerjaan yang engkau laku-; kan!".
Anak muda itu menangis,
menunggingkan kepalanya. Kemudian,ia mengangkatk^in kepalany a dan berkata :
"Aku berjanji dengan Allah Ta'ala suatu janji, yang akan ditanyakan-Nya
aku dari janji itu pada hari qiamat. Bahkan aku tiada akan kembali lagi meminum
anggur dan suatttpun dari pekeijaan yang aku lakukan sekarang. Aku
bertaubat".
Ibnu 'A-isyah menjawab :
"Dekatlah kepadaku kemari!".
Lalu beliau peluk kepalanya dan
berkata : "Engkau telah menjadi
baik, wahai anakku".
778
|
Sesudah itu, anak muda itu
selalu bersama beliau dan menulis hadits daripadanya. Yang demikian itu, adalah
dengan barakah kelemah-lembutannya.
Kemudian Ibnu 'A-isyah berkata :
"Bahwa manusia itu meuyuruh berbuat perbuatan baik dan melarang berbuat
perbuatan buruk. Dan perbuatan baik mereka adalah perbuatan buruk. Maka haruslah
kamu dengan lemah-lembut pada semua urusanmu, niscaya kamu akan memperoleh apa
yang kamu cari". Dari Al-Fath bin Syakhraf, yang menceriterakan :
"Seorang laki- laki tersangkut hatinya dengan seorang wanita. Dia datang
kepada wanita itu dan di tangannya sebilah pisau. Tiada seorangpun yang
mendekatinya, melainkan akan disembelihnya dengan pisau itu". Laki-laki
itu berbadan kuat. Maka dalam keadaan yang demikian dan wanita tersebut
berteriak-teriak dalam tangannya, tiba-tiba Bisyr bin Al-Harits, lalu di situ.
Beliau mendekati laki-laki itu dan tersenggol bahunya dengan bahu orang itu.
Maka laki-laki itu jatuh tersungkur ke bumi dan Bisyr terus berjalan. Lalu
orang banyak mendekati laki-laki itu, di mana badannya basah oleh banyak
keringat. Dan wanita tadi lalu dalam keadaan biasa saja. Orang banyak bertanya
kepada laki-laki itu : "Bagaimana keadaanmu?".
Laki-laki tersebut menjawab :
"Tidak tahu! Hanya aku, disenggol oleh seorang tua dan berkata kepadaku :
'Bahwa Allah 'Azza wa Jalla melihat kepadamu dan kepada apa yang kamu
kerjakan'. Maka lemahlah kedua tapak kakiku karena perkataannya. Aku sangat
takut kepadanya. Dan aku tiada tahu, siapakah orang laki- laki tersebut?".
Lalu orang banyak mengatakan
kepadanya : "Dia itu Bisyr bin Al-Harits".
Maka laki-laki itu mengeluh :
"Alangkah kejinya, bagaimanakah beliau akan memandang kepadaku sesudah
hari ini". Dari hari itu orang tadi tertimpa penyakit demam dan meninggal
dunia pada hari ketujuhnya.
Begitulah adat kebiasaan ahli
Agama melaksanakan hisbah. Dan telah kami nukilkan atsarAan akhbar pada
"Bab Marah Pada Jalan Allah" dan "Kasih Sayang Pada Jalan
Allah" dari "Kitab Adab BertemanMaka tiada kami perpanjangkan lagi
dengan mengulanginya.
Inilah kesempurnaan pandangan
tentang tingkat-tingkat dan adab- adab hisbah. Kiranya Allah menganugerahkan
taufiq dengan kurnia- Nya. Dan segala pujian bagi Allah atas sekalian
nikmat-Nya.
779
|