Bab Ketiga Jilid Dua


BAB KETIGA: tentang pemeriksaan, pertanyaan, penyerbuan, pelengahan dan tempat-tempat yang meragukan padanya.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang menyugukan makanan kepadamu atau hadiah atau engkau bermaksud membeli padanya atau menerima pemberiannya, maka tidak haruslah engkau memeriksa padanya dan menanyakan serta mengatakan: "Barang ini termasuk yang tidak saya yakini akan halalnya, maka saya tidak akan mengambilnya. Tetapi saya akan memeriksakannya". Dan tidak harus pula engkau meninggalkan pemeriksaan. Lalu engkau mengambil tiap-tiap apa yang tidak engkau yakini akan haramnya.
Tetapi bertanya itu sekali wajib dan sekali haram, sekali sunat dan sekali makruh. Dari itu, tak boleh tidak daripada diuraikan. Kata-kata yang memuaskan tentang itu, ialah: bahwa tempat yang me- nyangkakan untuk pertanyaan adalah pada tempat-tempat yang meragukan. Dan tempat terjadinya keraguan dan berkembangnya keraguan itu, adakalanya urusan yang bersangkutan dengan harta atau yang bersang- kutan dengan yang empunya harta.
PERKEMBANGAN PERTAMA: tentang hal-keadaan pemilik harta.
Pemilik harta dibandingkan kepada pengetahuanmu, mempunyai tiga keadaan. Adakalanya dia itu tidak dikenal atau diragukan atau diketahui dengan semacam sangkaan, yang disandarkan kepada sesuatu dalil. Keadaan Pertama: bahwa pemilik itu tidak dikenal. Tidak dikenal ialah: tak ada padanya tanda yang menunjukkan kepada keburukan dan kezalimannya, seperti pakaian seragam tentara. Dan tidak ada sesuatu yang menunjukkan kebaikannya, seperti pakaian ahli tasawwuf, perniagaan, il- mu pengetahuan dan tanda-tanda yang lain.
Apabila engkau- memasuki suatu kampung, yang tidak engkau kenal, lalu melihat seorang laki-laki yang tidak engkau kenal sedikitpun tentang ke- adaannya dan tak ada padanya alamat yang menunjukkan ia orang baik atau orang buruk, maka dia itu orang yang tidak dikenal. Apabila engkau memasuki suatu negeri sebagai orang asing dan engkau masuk kepasar, lalu engkau menjumpai seorang tukang roti atau tukang potong atau lainnya dan tak ada tanda yang menunjukkan dia itu pendi- dik atau pengkhianat dan tak ada pula yang menunjukkan kepada tidak- nya yang tersebut, maka orang itu adalah tidak dikenal dan tidak diketahui keadaannya.
Dan tidak kita katakan, bahwa orang itu diragukan, karena keraguan, adalah ibarat dua kenyakinan yang berlawanan, dimana keduanya mempunyai dua sebab yang berlawanan. Dan kebanyakan fuqaha' tidak mengetahui perbedaan, antara apa yang diketahuinya dan apa yang diragu-
148
kannya. Dan telah anda ketahui dari apa yang terdahulu, bahwa orang wara', meninggalkan apa yang tidak diketahuinya.
Jusuf bin Asbath berkata: "Semenjak tigapuluh tahun yang lampau, tidaklah teguris dalam hatiku sesuatu, melainkan terus aku tinggalkan". Sekumpulan mereka memperkatakan tentang perbuatan yang paling sulit. Lalu mereka mengatakan: "Yaitu: wara'."
Lalu Hassan bin Abi Sannan berkata kepada mereka: 'Tidak adalah padaku sesuatu yang paling mudah, selain dari wara'. Apabila terguris dalam dadaku sesuatu, niscaya terus aku tinggalkan". Maka itulah syarat wara'!
Sesungguhnya yang kami sebutkan sekarang, ialah: hukum zahir. Maka kami mengatakan: "Hukum keadaan ini, ialah bahwa orang yang tidak dikenal itu, kalau ia menyugukan makanan kepadamu atau ia membawa hadiah kepadamu atau engkau bermaksud membeli sesuatu pada toko- nya, maka tidaklah semestinya kamu bertanya. Tetapi tangannya dan di- anya orang muslim, adalah dua dalil yang mencukupi untuk menyerbu mengambilkannya. Dan tidaklah seharusnya engkau mengatakan: "Bahwa kerusakan dan kezaliman itu sudah menjadi kebiasaan pada manusia".
Maka itu, adalah waswas dan buruk sangka terhadap orang muslimin itu sendiri. Dan setengah sangkaan itu, adalah dosa. Dan orang muslim itu dengan ke-Islam-annya berhak diatas engkau, untuk tidak berburuk sangka kepadanya. Kalau engkau berburuk sangka kepadanya tentang dirinya, karena engkau sesungguhnya melihat kerusakan pada orang lain, maka engkau telah berbuat penganiayaan kepadanya. Dan engkau terus berdosa waktu itu juga, tanpa ragu. Dan kalau engkau mengambil hartanya, maka adalah harta itu haram, yang diragukah.
Dan dibuktikan kepadanya, bahwa kita mengetahui, bahwa shahabat didalam peperangan dan perjalanan mereka, adalah bertempat tinggal di- kampung-kampung. Dan mereka tidaklah menolak kampung-kampung itu. Dan mereka masuk kenegeri-negeri. Dan mereka tidak menjaga diri dari pasar-pasar. Dan adalah haram itu terdapat pula pada zaman mereka. Dan tidaklah dinuqilkan dari mereka pertanyaan, kecuali dari kera- guan. Karena adalah Nabi صلى الله عليه وسلم  . tidak menanyakan dari tiap-tiap apa yang dibawakan kepadanya. Tetapi beliau bertanya pada permulaan kedatangannya ke Madinah, tentang apa yang dibawakan kepadanya: "Apakah ini sedekah atau hadiah?" (1).
Karena suasana dari keadaan menunjukkan, yaitu: masuknya orang-orang muhajirin ke Madinah, dimana mereka itu miskin. Maka beratlah dugaan, bahwa apa yang dibawakan kepada mereka ad&lah dengan jalan sedekah. Kemudian Islamnya yang memberi dan tangannya, tidaklah menunjukkan, bahwa itu bukan sedekah. Dan adalah Nabi صلى الله عليه وسلم  . diundang
1. Dirawikan Ahmad dan Al-Hakim dan Salman Al-Farisy
149
keperjamuan-perjamuan, maka beliau memperkenankan dan tiada beliau bertanya: "Apakah ini sedekah atau bukan?" Karena kebiasaan tidaklah berlaku sedekah pada perjamuan. (1).
Dan karena itulah, beliau diundang oleh Ummu Salim. Dan beliau diun dang oleh tukang jahit (al-khayyath), seperti yang tersebut pada hadits yang dirawikan Anas bin Malik r.a. Dan tukang jahit itu menyugukan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم  . makanan, yang ada padanya buah labu-Iabu. Dan beliau diundang oleh seorang Parsi. Lalu beliau bertanya kepadanya: "Saya dan 'Aisyah?" Laki-laki Parsi itu menjawab: "Tidak!" Maka Nabi صلى الله عليه وسلم  . menyambung: "Kalau begitu, tidaklah!" Kemudian laki-laki itu memperkenankannya. Maka pergilah Nabi صلى الله عليه وسلم  . dan A'isyah beriring-iring. Lalu orang itu menyugukan kepada keduanya suguan. Dan tidak dinuqilkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم  . bertanya tentang sesuatu dari suguan itu. (2).
Abubakar r.a. bertanya kepada bujangnya tentang usaha bujang itu, tatkala meragukan beliau dari hal keadaannya. Umar r.a. menanyakan kepada orang yang menyugukan kepadanya susu dari unta zakat, karena meragukannya dan mena'jubkannya tentang rasanya. Dan belum pernah dialaminya yang demikian tiap-tiap kali ia meminum susu. Inilah sebab-sebab keraguan!
Dan tiap-tiap orang yang memperoleh jamuan pada orang yang tidak dikenal, maka tidaklah ia berbuat ma'siat dengan memperkenankannya, tanpa pemeriksaan. Bahkan kalau ia melihat pada rumah orang itu kebagusan yang berlebih-lebihan dan harta yang banyak, maka tidaklah boleh ia mengatakan: "Yang halal itu adalah amat sulit dan ini adalah banyak. Maka dari manakah dikumpulkan ini dari yang halal?" Tetapi orang itu sendiri mungkin mewarisi harta atau berusaha. Maka dengan sendirinya ia berhak memperoleh baik sangkaan orang kepadanya. Dan aku menambahkan lagi kepada ini, dengan mengatakan, bahwa, tidaklah boleh ia menanyakannya. Tetapi kalau ia berlaku wara', maka janganlah dimasukkannya kedalam rongganya, kecuali apa yang diketahuinya, dari mana asalnya. Maka itu, adalah lebih baik. Maka hendaklah ia bersikap lemah lembut pada meninggalkan yang disugukan itu. Dan kalau ada yang tak boleh tidak daripada memakannya, maka hendaklah ia makan, tanpa memajukan pertanyaan. Karena pertanyaan itu adalah menyakitkan, merusakkan kehormatan dan merenggangkan. Dan itu adalah haram, dengan tidak diragukan lagi.
Kalau anda berkata: "Mudah-mudahan tidak akan menyakiti!" Maka aku menjawab: "Mudah-mudahan akan menyakiti". Maka engkau menanyakan, bahwa takut mungkin harta itu dari yang haram. Kalau engkau cu-
1. Dimrikan Al-Bukhari dan MusKm dari Abi Mas'ud Al-Anshari.
2. Dimrikan Muslim dari Anas.
150
kupkan tanpa bertanya, maka mudah-mudahan hartanya itu halal. Dan tidaklah dosa yang ditakuti tentang menyakiti orang muslim itu, lebih berkurang dari dosa tentang memakan syubhat dan haram. Dan biasanya manusia itu, tidak menyukai pemeriksaan. Dan tidak boleh baginya menanyakan tentang orang lain, dimana ia mengetahui orang itu dengan pertanyaan tersebut. Karena menyakitkan padanya adalah lebih banyak. Dan kalau ia bertanya, dimana ia tidak mengetahui orang itu maka dalam hal ini, adalah memburukkan sangka dan merusakkan kehprmatan orang. Dan padanya itu, adalah memata-matai dan berhubungan dengan cacian, walaupun yang demikian itu tidak tegas. Dan semuanya itu di- larang, yang tersebut pada suatu ayat. Allah Ta'ala berfirman:
 اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَل تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا  
 (Ijtanibuu katsiiran minadh-dhanni, inna ba'dlandhanni itsmun wa laa tajassasuu wa laa yaghtab ba'dlukum ba'dlaa).Artinya: "Jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebahagian dari purbasangka itu dosa, Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah mengupat satu sama lain!" - S. Al-Hujarat, ayat 12.
Banyaklah orang zuhud yang bodoh, membuat hati mereka liar dalam pemeriksaan itu. Dan berkata-kata dengan perkataan yang keji menyakitkan. Dan setan sesungguhnya memandang baik yang demikian pada orang yang bodoh tersebut, karena mencari kemasyhuran dengan memakan yang halal. Dan kalaulah yang menggerakkannya itu semata-mata agama, niscaya ketakutan pada hati muslim untuk menyakitkan orang, adalah lebih berat dari ketakutannya kepada perutnya untuk dimasuki oleh sesuatu yang tidak diketahuinya. Dan ia tidak akan disiksakan dengan apa yang tidak diketahuinya itu. Karena tidak adalah disitu tanda yang mewajibkan untuk menjauhkannya. Maka hendaktah diketahui, bahwa jalan wara', ialah meninggalkan, bukan memata-matai. Dan apabila tak boleh tidak daripada memakannya, maka yang wara’ ialah memakannya dan membaikkan sangkaan. Ini adalah yang disukai para shahabat r.a. Dan barangsiapa melebihkan wara'nya daripada para shahabat itu, maka adalah ia sesat, yang berbuat bid'ah. Dan bukanlah ia orang yang mengikuti. Maka tidaklah seseorang akan sampai sepanjang seseorang dari shahabat dan tidaklah setengah daripadanya. Walaupun dibelanjakannya semua apa yang ada didalam bumi.
151
Betapa tidak! "Sesungguhnya Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم telah memakan makanan Burairah. Lalu orang mengatakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم "Bahwa makanan itu sedekah". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم  . menjawab: "Makanan itu bagi Burairah sedekah dan bagi kami hadiah. (1).
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم  . tidak mcnanyakan terhadap yang disedekahkan. Dan adalah yang bersedekah itu tidak dikenal oleh Nabi صلى الله عليه وسلم  . Dan beliau tidak menolak memakannya.
Keadaan Kedua: adalah pemilik harta itu diragukan, disebabkan sesuatu keterangan yang mendatangkan keraguan. Maka marilah kami sebutkan bentuk keraguan. kemudian hukumnya!
Adapun bentuk keraguan. ialah ditunjukkan kepada haram apa yang ada pada tangannya, oleh sesuatu petunjuk. Adakalanya dari bentuknya atau dari pakaian dan kainnya atau dari perbuatan dan perkataannya. Adapun bentuk, yaitu: ia berbentuk orang Turki, orang-orang badui, orang-orang yang terkenal dengan kezaliman dan penyamun. Dan ia orang yang panjang kumis, rambutnya terbelah dikepalanya, seperti kebiasaan orang-orang yang berbudi rusak.
Adapun kain, maka dipakainya baju panjang. peci dan pakaian orang- orang zalim dan rusak. dari tentara dan lainnya.
Adapun perbuatan dan perkataan, maka yaitu: dipersaksikan daripadanya tampil mengerjakan apa yang tidak halal. Maka sesungguhnya yang demikian itu. menunjukkan bahwa ia juga bermudah-mudah tentang harta dan mengambil apa yang tidak halal. Maka inilah tempat-tempat yang meragukan!
Apabila bermaksud membeli sesuatu dari barang yang seperti ini atau mengambil daripadanya sebagai hadiah atau memperkenankan panggilannya pada sesuatu perjamuan, sedang orang itu adalah orang asing yang tidak dikenal, niscaya tidaklah jelas baginya dari orang itu, selain dari tanda-tanda tersebut. Maka mungkinlah untuk dikatakan, bahwa tangan (karena ia memegang barang tersebut) menunjukkan, kepada milik. Dan keterangan yang semacam ini, adalah lemah. Maka tampil mengambilkannya, dibolehkan. Dan meninggalkannya, adalah termasuk wara'. Dan mungkin untuk dikatakan, bahwa tangan itu dalil yang lemah. Dan telah berhadapan dengan dia oleh dalil yang seperti itu, lalu mendatangkan keraguan. Maka menyerbu mengambilkannya, tidak diperbolehkan. Dan itulah yang kami pilih dan kami berfatwa, karena sabda Nabi صلى الله عليه وسلم   "Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada yang tidak meragukan kamu!" (2).
Menurut yang zahir dari hadits ini, adalah perintah, walaupun mungkin sunat, karena sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  .: "Dosa itu adalah penyakit bagi hati".(3)
Dan itu mempunyai pengaruh kedalam hati, yang tidak dapat dibantah. Dan karena Nabi صلى الله عليه وسلم  . bertanya: "Adakah itu sedekah (zakat) atau hadiah?"
1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas r.a.
2. Hadits ini sudah diterangkan dahulu.
3. Hadits ini sudah diterangkan dahulu.
152
Dan Abubakar r.a. bertanya kepada bujangnya dan Umar r.a. pun bertanya. Dan semua itu adalah pada tempat keraguan dan memba- wanya kepada wara', walaupun secara kemungkinan saja. Tetapi tidak memungkinkan yang demikian, selain dengan qias hukum (qias hukmi). Dan qias itu tidaklah membuktikan dengan penghalalan ini. Karena dalil "tangan dan "Islam", yang telah ditantang oleh dalil-dalil tersebut, adalah mendatangkan kcragu-raguan. Apabila keduanya berhadap-hadapan, maka tak adalah sandaran bagi kehalalannya. Dan sesungguhnya tidak ditinggalkan hukum "tangan" (ia memegang barang tersebut) dan istish- hab dengan syak yang tidak bersandarkan kepada sesuatu tanda. Seba- gaiamana apabila kita memperoleh air yang berobah. Dan mungkin berobah itu karena lama berhentinya. Kalau kita melihat seekor kijang kencing didalamnya, kemudian perobahan itu mungkin dengan yang demikian, niscaya kita tinggalkan istish-hab itu (menghukum menurut keadaan asalnya yang lama itu, yaitu: asalnya: suci) Dan ini adalah lebih dekat dari yang tersebut itu.
Tetapi diantara dalil-dalil itu, berlebih-kurang. Karena panjangnya kumis, memakai baju panjang dan berkeadaan tentara, adalah menunjukkan kepada kezaliman dengan harta.
Adapun perkataan dan perbuatan yang menyalahi bagi agama kalau berhubungan dengan kezaliman harta, maka itu juga dalil yang jelas. Sebagaimana kalau ia mendengar orang itu menyuruh merampok dan berbuat kezaliman atau mengadakan 'aqad riba.
Adapun apabila ia melihat orang itu memaki orang Iain mengenai peram- pokan atau pandangannya mengikuti seorang wanita yang lalu dihadapan- nya, maka dalil ini, adalah lemah. Maka berapa banyak manusia bersu- sah payah mencari harta dan tidak mengusahakan, kecuali yang halal. Dan bersama yang demikian itu, ia tidak dapat menguasai dirinya ketika menggelagak kemarahan dan nafsu-syahwat. Maka hendaklah diperhatikan kepada berlebih-kurangnya ini! Dan tidak mungkinlah dihinggakan itu dengan suatu batasan. Maka hendaklah hamba Allah itu meminta fatwa dalam keadaan yang seperti demikian kepada hatinya! Dan aku mengatakan, bahwa ini kalau ia melihatnya dari orang yang tidak dikenal, maka baginyalah menetapkannya.
Dan kalau dilihatnya dari orang yang dikenalnya wara', tentang bersuci, bershalat dan membaca Al-Qur-an, maka bolehlah baginya hukum (kete- tapan) yang lain, apabila bertentangan dua keterangan yang bersangkut- an dengan harta. Dan kedua keterangan itu lalu berjatuhan dan kembali- lah orang itu seperti orang yang tidak dikenal. Karena tidak ada salah satu dari kedua keterangan itu, yang sesuai dengan harta pada khusus- nya.
Maka berapa banyak orang yang berdosa tentang harta, dimana ia tidak berdosa pada lainnya. Dan berapa banyak orang yang berbuat baik un-
153
tuk shalat wudlu' dan pembacaan Al-Qur-an dan memakan dari mana saja yang didapatinya. Maka hukumnya dalam segala kejadian ini, ialah apa yang condong hati kepadanya. Karena ini, adalah urusan diantara hamba dan Allah. Maka tidak jauhlah dari kebenaran untuk menggan- tungkannya dengan sesuatu sebab yang tersembunyi, yang tidak dilihat, kecuali olehnya dan oleh Tuhan serwa sekalian alam. Dan itulah hukum penyakit hati.
Kemudian, hendaklah diperhatikan kepada suatu yang halus yang lain. Yaitu: bahwa keterangan tersebut, seharuslah adanya itu, dimana ia menunjukkan, bahwa kebanyakan hartanya adalah haram, disebabkan dia itu tentera atau pegawai sultan atau wanita tukang tangis pada kema- tian atau wanita tukang nyanyi.
Kalau menunjukkan, bahwa pada hartanya,haramnya itu sedikit, niscaya tidaklah bertanya itu wajib. Tetapi adalah bertanya itu termasuk wara'. Keadaan Ketiga: adalah keadaan itu diketahui dengan semacam percoba- an dan pengalaman, dimana yang demikian itu mewajibkan berat sangkaan tentang halalnya harta itu atau haramnya. Umpamanya: dikenal baiknya, beragamanya dan adilnya orang itu secara zahir. Dan memung- kinkan batinnya adalah sebaliknya.
Maka dalam hal ini tidaklah wajib menanyakan. Dan tidak diperbolehkan, sebagaimana pada orang yang tidak dikenal. Maka- yang lebih utama, ialah tampil mengambilkannya. Dan tampil disini, adalah lebih jauh dari syubhat, dibandingkan dengan tampil kepada makanan dari orang yang tidak dikenal. Maka yang demikian itu, adalah jauh dari wara', walaupun tidak haram.
Adapun memakan makanan orang-orang baik, maka itu adalah kebiasaan para nabi dan wali-wali. Nabi صلى الله عليه وسلم  , bersabda:
 لا تأكل إلا طعام تقي ولا يأكل طعامك إلا تقي
Artinya: "Janganlah engkau memakan, selain makanan orang yang taqwa dan makananmu jangan dimakan, selain oleh orang yang taqwa". (1). Apabila diketahuinya dengan percobaan, bahwa orang itu tentara atau penyanyi atau pembuat riba dan tidak memerlukan kepada dalil dengan keadaannya, bentuk dan kain, maka disini sudah pasti menanyakan itu wajib, sebagaimana pada tempat yang meragukan. Bahkan ini lebih utama lagi.
I. Hadits ini telah diterangkan dahulu pada bab zakat.
154

PERKEMBANGAN KEDUA: yang disandarkan keraguan padanya kepada sebab harta, tidak tentang keadaan pemiliknya.
Dan yang demikian itu, ialah dengan bercampurnya yang halal dengan yang haram. Seperti apabila dilemparkan kepasaran beberapa pikulan makanan rampokan dan dibeli oleh penduduk pasar. Maka tidaklah wajib kepada orang yang membeli pada negeri dan pasar itu, menanyakan tentang apa yang dibelinya, kecuali terang, bahwa yang terbanyak dalam tangan mereka itu, adalah haram. Maka ketika itu, wajiblah menanyakan.
Jikalau tidaklah yang terbanyak, maka pemeriksaan itu, termasuk wara' dan tidaklah wajib. Dan pasar yang besar, hukumnya seperti negeri. Dan dalil bahwa tidaklah wajib menanyakan dan memeriksa, apabila tidaklah yang terbanyak itu haram, ialah para shahabat r.a. tidak melarang pembelian dipasar-pasar, dimana dipasar-pasar itu terdapat dirham riba, harta rampasan perang yang diambil dengan diam-diam dan Iain-lain. Dan para shahabat itu tidak menanyakan pada tiap-tiap 'aqad. Hanya pertanyaan itu dinuqilkan dari seorang-seorang dari mereka, secara jarang sekali dalam sebahagian hal keadaan. Yaitu: tempat yang meragukan terhadap orang yang tertentu itu sendiri.
Dan begitu pula,' mereka mengambil harta rampasan dari orang-orang kafir, yang telah memerangi kaum muslimin. Dan kadang-kadang orang- orang kafir itu telah mengambil harta kaum muslimin. Dan mungkin dalam harta rampasan itu, ada sesuatu daripada apa yang diambil mereka dari kaum muslimin. Dan itu, adalah tidak halal mengambilnya dengan cuma-cuma, dengan ittifaq ( dengan sepakat pendapat para ulama). Bahkan dikembalikan kepada pemiliknya, menurut Asy-Syafi'i r.a. Dan pemiliknya itu, adalah lebih utama berhak dengan harganya, menurut Abu Hanifah r.a. Dan tidaklah sekali-kali dinuqilkan pemeriksaan tentang ini.
Umar r.a. menulis surat ke Azerbaijan: "Sesungguhnya kamu berada dalam negeri yang disembelihkan padanya bangkai. Maka perhatikanlah yang disembelih dari yang mati!" Beliau mengizinkan bertanya dan me- nyuruh bertanya. Dan beliau tidak menyuruh tanyakan tentang dirham- dirham, yang menjadi harganya. Karena kebanyakan dirham mereka, bukanlah harga kulit, walaupun kulit itu dijual juga. Dan kebanyakan kulit itu memanglah seperti yang demikian.
Dan seperti demikianlah Ibnu Mas'ud r.a. mengatakan: "Sesungguhnya kamu berada dalam negeri, dimana kebanyakan tukang dagingnya orang Majusi (penyembah matahari atau api). Maka perhatikanlah yang disembelih dari yang bangkai!"
Ibnu Mas'ud r.a mengkhususkan dengan suruh menanyakan, disebabkan
155
banyaknya mereka. Dan maksud dari bab ini tidak jelas, kecuali dengan menyebutkan gambaran-gambaran dan mengumpamakan persoalan-perso- alan yang banyak terjadinya menurut kebiasaan.
Maka dibawah ini, kami berikan contoh-contoh persoalan-persoalan (mas-alah) itu:
SUATU MAS-ALAH.
Seorang tertentu, dimana hartanya bercampur dengan yang haram, umpamanya: hartanya itu dijualkan dikedai makanan rampokan atau harta yang dirampas. Dan seumpama: dia itu qadii (hakim) atau kepala atau pekerja atau ahli fiqh (faqih) yang selalu pergi kepada sultan yang zalim, dimana ia juga mempunyai harta warisan dan menjadi kepala sesuatu daerah atau perniagaan. Atau seorang saudagar yang mengadakan mu'amalah secara sah dan juga mengerjakan riba.
Maka jikalau adalah yang terbanyak dari hartanya itu haram, niscaya tidak boleh memakan dari jamuannya. Tidak boleh menerima hadiah dan sedekahnya,- kecuali sesudah diperiksa. Maka jikalau telah terang, bahwa yang diambil itu dari segi yang halal, maka yang demikian itu sudah jelas. Dan kalau tidak, niscaya ditinggalkan.
Dan kalau ada yang haram itu sedikit dan diambil itu meragukan, maka ini menjadi tempat perhatian. Karena berada pada suatu tingkat diantara dua tingkat. Karena telah kita tetapkan, bahwa kalau serupalah hewan sembelihan dengan sepuluh bangkai umpamanya, niscaya wajiblah dija- uhkan semuanya.
Dan ini menyerupai yang itu dari segi, dimana harta dari orang seorang, adalah seperti jumlah yang terbatas. Lebih-lebih apabila banyaknya harta itu tidak seperti sultan. Dan menyalahi dari itu, dari segi, karena bangkai itu diketahui adanya sekarang dengan yakin. Dan yang haram yang mencampuri hartanya, mungkin telah keluar dari tangannya (dari kepunyaannya). Dan tidak ada lagi sekarang padanya. Dan kalau harta itu sedikit dan diketahui dengan pasti, bahwa yang haram itu ada sekarang, maka ini dan mas-alah percampuran bangkai itu satu. Dan kalau banyak- lah harta dan mungkin yang haram itu tidak ada sekarang, maka ini adalah lebih ringan dari itu. Dan menyerupakan dari segi campuran dengan yang tidak terbatas, seperti: dipasar-pasar dan dikampung-kampung. Tetapi lebih berat dari itu, karena tertentunya dengan orang seorang. Dan tidak diragukan, bahwa menyerbu mengambilkannya adalah jauh sekali dari wara'. Tetapi memandang dia itu fasiq, adalah berlawanan bagi keadilan.
Dan ini juga dari segi yang dinuqilkan, adalah tidak jelas. Karena tarik- menariknya barang-barang yang serupa. Dan dari segi yang dinuqilkan, adalah tidak jelas pula. Karena apa yang dinuqilkan dari para shahabat,
156
tentang menolaknya mereka dalam hal yang seperti ini. Dan begitu pula dari para tabi'in, yang mungkin dipertanggungkan kepada wara'. Dan tidak diperoleh padanya nash (dalil yang tegas) tentang pengharamannya.
Dan apa yang dinuqilkan tentang tampil memakan, seperti makannya Abu Hurairah akan makanan Mu'awiah umpamanya, jika diumpamakan pada jumlah yang ada dalam tangannya itu haram, maka yang demikian juga mungkin adanya tampil memakan itu, sesudah pemeriksaan. Dan ternyata bahwa yang dimakannya itu adalah dari segi yang mubah (diperbolehkan).
Maka segala perbuatan tentang ini, adalah berdalilkan yang lemah. Dan mazhab-mazhab dari para ulama mutaakh-khirin (ulama-ulama yang terakhir sesudah abad keempat hijriah), adalah berbeda-beda. Sehingga sebahagian mereka mengatakan: "Jikalau diberikan kepadaku oleh sultan sesuatu, niscaya aku mengambilkannya".
Dan ditolak pembolehan itu, mengenai barang, apabila adalah yang terbanyak juga yang haram, manakala barang yang diambil itu tidak dikenal dan mungkin dia itu halal. Dan diambil dalil, dengan sebahagian salaf itu mengambil harta-harta pemberian sultan, sebagaimana akan datang nanti pada "Bab Penjelasan Harta sultan-sultan".
Apabila adalah yang haram itu tersedikit dan mungkin tidak ada lagi sekarang, niscaya tidaklah memakannya itu haram.
Dan kalau diyakini adanya sekarang, seperti: pada masalah serupa hewan sembelihan dengan bangkai, maka ini termasuk apa yang aku tidak tahu, apa yang akan aku katakan. Dan yaitu termasuk syubhat-syubhat yang mengherankan orang yang berfatwa (mufti). Karena meragukan antara syubhat yang terbatas dan yang tidak tcrbatas. Dan wanita susuan apabila serupa dengan sepuluh wanita lain disuatu kampung, niscaya wajiblah menjauhkan perkawinan. Dan kalau itu disuatu negeri yang bcrpen- duduk sepuluh ribu, niscaya tidaklah wajib menjauhkan perkawinan. Dan diantara yang dua itu, terdapat bitangan-bilangan.
Jikalau aku tanyakan tentang itu, niscaya tidaklah aku ketahui apa yang akan aku katakan. Dan para ulama telah menghentikan dahulu mengenai beberapa mas-alah, yang lebih terang dari ini. Karena ditanyakan Ahmad bin Hanbal r.a. tentang seorang laki-laki yang menembak dengan panah binatang buruan. Lalu terjatuh kedalam milik orang Iain. Maka adakah binatang buruan tersebut kepunyaan sipenembak atau sipemilik tanah tempat jatuh binatang buruan itu? Maka Imam Ahmad r.a. menjawab: "Aku tidak tahu (La adri)".
Kemudian ditanyakan lagi beliau beberapa kali, maka beliau selalu menjawab: "Aku tidak tahu".
Dan banyaklah yang demikian kami ceriterakan dari ulama salaf pada "Kitab Ilmu". Maka hendaklah mufti memutuskan kelobaannya untuk
157
mengetahui hukum tersebut pada segala rupa persoalannya. lbnul-Mubarak bertanya kepada temannya dari Basrah, tentang muamalahnya dengan orang-orang yang bermu'amalah dengan sultan-sultan. Maka teman itu menjawab: "Jika orang-orang itu tiada bermu'amalah selain dengan sultan, maka janganlah engkau bermu'amalah dengan mereka. Dan jika mereka bermu'amalah dengan sultan dan lainnya maka bermu'amalahlah dengan mereka!" Dan ini menunjukkan kepada berla- pang dada (musamahah) mengenai yang sedikit. Dan mungkin juga ber- lapang dada pada yang banyak.
Kesimpulannya, tidaklah dinuqilkan dari para shahabat, bahwa mereka itu meninggalkan secara keseluruhan. akan mu'amalah dengan tukang daging, tukang roti dan saudagar. Karena ia melakukan suatu 'aqad yang batal atau karena sekali bermu'amalah dengan sultan. Dan taksiran yang demikian itu mengenai tadi. akan diterangkan kemudian. Mas-alah itu dengan sendirinya sulit. Kalau ada yang mengatakan, bahwa telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa beliau memberi kelapangan tentang itu. Dan beliau berkata: "Ambillah apa yang diberi- kan kepadamu oleh sultan! Karena sesungguhnya diberikannya kepadamu dari yang halal. Dan apa yang diambilnya dari yang halal. adalah lebih banyak dari yang haram".
Ibnu Mas'ud r.a. ditanyakan orang tentang itu, lalu penanya itu berkata kepadanya: "Sesungguhnya aku mempunyai tetangga, yang tidak aku ketahui dia. kecuali orang buruk, yang mengundang kami atau yang kami memerlukan. Lalu kami meminta pin jam padanya". Maka ibnu Mas'ud menjawab: "Apabila ia mengundang kamu, maka perkenankanlah. Dan apabila kamu memerlukan, maka pinjamlah padanya! Karena sesungguhnya kamu mempunyai kepuasan dan atasnyalah tempat dosa".
Salman berfatwa seperti yang demikian itu. Dan Ali memberi alasan. disebabkan banyak. Dan Ibnu Mas'ud r.a. memberi alasan, dengan jalan isyarat, bahwa keatas pundak orang itu dosa. Karena ia mengetahui yang demikian. Dan engkau sendiri mempunyai kepuasan. Artinya engkau tiada mengetahui yang demikian itu.
Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Mas'ud r.a.: "Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang memakan riba. Lalu ia mengundang kami kepada makanannya. Apakah kami datang?" Ibnu Mas'ud r.a. menjawab: "Ya, datanglah!"
Dan mengenai yang demikian itu, diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. banyak riwayat yang bermacam-macam. Asy-Syafi'i r.a. dan Malik r.a. mengambil pemberian khalifah-khalifah dan sultan-sultan, serta mengetahui, bahwa harta mereka itu bercampur dengan yang haram. Kami jelaskan, bahwa apa yang diriwayatkan dari Ali r.a. maka sesung­guhnya telah terkenal dari wara'nya Ali, akan keadaan yang menunjuk-
158
kan sebaliknya dari yang demikian. Adalah ia menolak harta baitulmal, sampai ia menjual pedangnya. Dan ia tidak mempunyai, selain sehelai baju kemeja pada waktu mandi, dimana ia tiada memperoleh yang lain. Dan aku tidak membantah, bahwa kelapangan yang diberikannya, adalah tegas tentang pembolehannya. Dan perbuatannya itu, adalah mungkin karena wara'nya. Tetapi jikalau benar. maka harta sultan itu baginya hukum yang lain. Karena dengan hukum banyaknya, hampirlah dihu- bungi dengan apa yang tidak terbatas. Dan akan datang penjelasan yang demikian.
Dan begitu pula perbuatan Asy-Syaffi r.a. dan Malik r.a adalah berhubungan dengan harta sultan. Dan akan datang penjelasan hukumnya. Dan sesungguhnya penjelasan kami tentang orang-orang seorang dari manusia dan harta mereka, adalah mendekati kepada hinggaan. Adapun pcrkataan Ibnu Mas'ud r.a. maka ada yang mengatakan, bahwa perkata- an itu dinuqilkan oleh Khuat At-Taimi. Dan Khuat itu hafalannyalemah. Dan yang terkenal dari Ibnu Mas'ud r.a. adalah menunjukkan kepada dijaganya benar dari syubhat-syubhat. Karena ia mengatakan: "Janganlah seseorang kamu mengatakan: "Aku takut dan aku harap!" Karena yang halal itu tcrang dan yang haram itu terang. Dan diantara yang demikian itu, hal-hal yang menjadi syubhat. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu!" Dan Ibnu Mas'ud r.a. berkata: "Jauhkanlah segala gurisan hati! Maka padanya itu dosa!"
Kalau ada yang mengatakan: "Mcngapakah kamu mengatakan. apabila adalah yang terbanyak itu haram. niscaya tiada dibolehkan mengambil. Sedang yang diambil itu tak ada padanya tanda yang menunjukkan kepada pengharamannya secara khusus. Sedang tangan, adalah tanda milik. Sehingga siapa yang mencuri harta orang yang seperti itu, niscaya dipo- tong tangannya. Dan banyak itu mewajibkan sangkaan yang terlepas, yang tiada berhubungan dengan benda itu sendiri. Maka hendaklah sangkaan itu. seperti kerasnya sangkaan pada debu jalan raya. Dan kerasnya sangkaan pada percampuran dengan tidak terbatas, apabila adalah yang terbanyak itu. ialah yang haram. Dan tidaklah botch mengambil dalil kepada ini. dengan umumnya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  "Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tiadak meragukan kamu!" Karena itu dikhususkan kepada sebahagian tempat dengan ittifaq (kese- pakatan) para ulama. Yaitu: bahwa tidak meragukannya dengan suatu tanda pada benda yang dimiliki itu. dengan dalil percampuran yang sedikit dengan yang tiada terbatas. Maka yang demikian itu mewajibkan keraguan. Dan bersama itu. kamu putuskan dengan tidak diharamkan. Maka jawabannya, adalah: bahwa tangan itu dalil yang lemah, seperti istish-hab. Dan baru dipilih (diambil), apabila tangan itu terpclihara dari penantang yang kuat.
159
Apabila telah kita yakini bercampur dan kita yakini bahwa haram yang bercampur itu ada sekarang dan harta itu tidak terlepas dari haram tadi dan kita yakini bahwa yang terbanyak ialah yang haram dan yang demikian itu terhadap hak orang seorang yang tertentu, yang mendekati hartanya dari hinggaan, niscaya jelaslah wajib berpaling dari kehendak tangan itu. Dan kalau tidak dibawa kepadanya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  .: "Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu!" niscaya tidak adalah baginya tempat pembawaan. Karena tidak mungkin dibawa kepada campuran yang sedikit, dengan halal yang tidak terbatas. Karena yang demikian itu terdapat pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم  . dan beliau tidak meninggalkannya.
Dan ketempat yang mana saja ini dibawa, adalah ini dalam pengertiannya. Dan membawanya kepada pembersihan (tanzih), adalah memalingkan dari yang zahir, tanpa qias. Karena mengharamkan yang demikian itu, tiada jauh dari qias tanda-tanda dan istish-hab. Dan banyaknya itu, mempunyai bekas pada menetapkan sangkaan. Dan begitu 'pula bagi: hinggaan. Dan keduanya (banyak dan hinggaan) itu telah berkumpul. Sehingga Abau Hanifah r.a. berkata: "Janganlah engkau berijtihad tentang bejana-bejana, kecuali apabila adalah yang suci itu terbanyak. Maka disyaratkan berkumpul: istish-hab, ijtihad dengan tanda dan kekuatan banyaknya.
Dan orang yang mengatakan, dimana ia mengambil bejana yang mana saja, adalah maksudnya, dengan tanpa ijtihad, berdasarkan kepada istish- hab semata-mata. Maka bolehlah meminum pula, lalu mengharuskan pembolehan disini, dengan semata-mata tanda dari tangan. Dan tidak dibolehkan yang demikian, pada kencing yang serupa dengan air. Karena tak ada istish-hab padanya. Dan tidak juga kita datangkan istish-hab pada bangkai yang serupa dengan binatang sembelihan. Karena tak ada istish-hab pada bangkai. Dan tangan tidak menunjukkan bahwa itu bukan bangkai. Dan tangan itu menunjukkan pada makanan yang mu- bah, dimana makanan itu telah rusak.
Maka disini, terdapat empat hal yang bersangkut-paut: istish-hab. sedikit pada yang bercampur atau banyak, terbatas atau meluas pada yang bercampur dan tanda khusus pada benda itu sendiri, yang bersangkutan ijtihad padariya.
Maka siapa yang lalai dari kumpulan yang empat ini, kadang-kadang ia tersalah. Lalu ia menyerupakan sebahagian mas-alah dengan yang tiada menyerupainya. Maka hasillah dari apa yang telah kami sebutkan dahulu, bahwa yang bercampur pada milik orang seorang, adakalanya yang haram itu terbanyak atau tersedikit. Dan masing-masingnya, adakalanya diketahui dengan yakin atau dengan sangkaan (dhan) tanpa tanda atau dengan dugaan. Maka menanyakan adalah wajib pada dua tempat. Yaitu: adalah yang haram itu terbanyak dengan yakin atau dhan. Seperti
160
jikalau ia melihat orang Turki yang tidak dikenal, yang mungkin semua hartanya adalah dari rampasan perang. Dan kalau adalah yang tersedikit itu diketahui dengan yakin, maka itu adalah tempat menghentikan perso­alan (tawaqquf)- Dan hampirlah itu, berjalan menurut apa yang dijalani oleh kebanyakan ulama terdahulu (salaf). Dan hal-hal yang darurat. adalah kepada kecondongan kepada rukh-shah (diberi kelapangan. tidak dipersempitkan).
Adapun tiga bahagian yang tinggal, maka menanyakan padanya tidaklah wajib sekali-kali.
Suatu Mas-alah.
Apabila datang makanan dari seseorang manusia, yang diketahui, bahwa telah masuk dalam tangannya barang yang haram dari perputaran yang ada, yang telah diambilnya atau dari segi lain dan tidak diketahui, apakah yang haram itu masih ada sampai sekarang atau tidak ada lagi, maka bagi orang yang menerima makanan tersebut, boleh memakannya. Dan tidaklah harus ia memeriksa. Dan sesungguhnya pemeriksaan pada makanan tersebut, adalah termasuk: wara\
Dan kalau diketahuinya, bahwa masih ada dari yang haram itu sesuatu, tetapi tidak diketahuinya, apakah tersedikit atau terbanyak, maka bolehlah diambilnya, disebabkan sesuatu itu tersedikit. Dan telah diterangkan bahwa keadaan yang tersedikit itu adalah menyulitkan. Dan ini mendekati kepada yang demikian itu.
Suatu Mas-alah.
Apabila ada dalam tangan pengurus harta sosial atau waqaf atau wasiat, dua macam harta, dimana ia berhak salah satu dari keduanya dan ia tidak berhak yang satu lagi, karena yang satu lagi itu, bukanlah dari harta yang diterangkan tadi. Maka bolehkah ia mengambil apa yang diserahkan kepadanya oleh yang empunya waqaf? Disitu harus diperhatikan! Kalau sifat dari harta yang disebutkan diatas itu terang, yang dikenal oleh yang mengurus itu dan yang mengurus itu adalah terang keadilan- nya, maka bolehlah ia mengambil, tanpa penyelidikan. Karena sangkaan dengan yang mengurus, bahwa pengurus itu tidak menyerahkan kepadanya, apa yang diserahkannya, kecuali dari harta yang bermustahak ia padanya.
Dan kalau sifat dari harta itu tersembunyi dan yang mengurus itu termasuk orang yang dikenalnya keadaannya, bahwa ia mencampur-aduk- kan dan tidak memperhatikan bagaimana ia berbuat, maka haruslah menanyakan. Karena tidak adalah disini tangan dan istish-hab yang dapat
161
diperpegangi. Dan yaitu sejalan dengan pertanyaan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . dari sedekah dan hadiah, ketika meragukan beliau tentang keduanya. Karena tangan tidaklah dapat menentukan hadiah dari sedekah. Dan tidak istish-hab. Maka tidaklah terlepas daripadanya. kecuali dengan pertanyaan. Maka pertanyaan, dimana kita gugurkan pada orang yang tidak dikenal, maka gugurkan pula pada tanda dari tangan dan Islam. Sehingga, jikalau tidak diketahui. bahwa orang itu muslim dan bermaksud mengambil dari tangannya daging dari hewan sembelihannya dan mungkin dia itu orang Majusi, niscaya tidak dibolehkan mengambil. selama belum dikenal, bahwa dia itu muslim. Karena tangan tidak menunjukkan pada bangkai. Dan tidak pula bentuk menunjukkan kepada Islam. Kecuali apabila kebanyakan penduduk negeri itu orang muslimin. Maka bolehlah disangka, bahwa orang yang tak ada padanya tanda kufur, adalah muslim. walaupun ada kemungkinan kesalahan padanya. Maka tiada seharuslah diragukan tempat-tempat yang diakui padanya tangan dan keadaan, dengan yang tiada diakui.
Suatu Mas-alah.
Boleh membeli sebuah rumah dalam suatu negeri, walaupun diketahui bahwa rumah itu dalam lingkungan rumah-rumah yang dirampas. Karena yang demikian itu percampuran dengan tidak terbatas. Tetapi menanyakan, adalah tanda berhati-hati dan wara*.
Jika ada pada suatu jalan yang lurus, sepuluh buah rumah umpamanya, satu daripadanya adalah rampasan atau waqaf, niscaya tidaklah boleh dibeli, selama tidak dapat dibedakan. Dan wajiblah menyelidikinya. Barangsiapa masuk kesuatu kampung dan dikampung itu terdapat beberapa langgar, yang dikhususkan dengan peng-waqaf-annya oleh beberapa penganut dari berbagai mazhab dan dia menganut suatu mazhab dari kumpulan mazhab-mazhab tersebut. Maka tidaklah boleh baginya mendi- ami dimana saja dikehendakinya dan memakan dari harta waqaf langgar-Ianggar itu, tanpa bertanya. Karena yang demikian, adalah termasuk bab percampuran yang terbatas. Maka tak boleh tidak daripada membedakan. Dan tidak boleh menyerbu terus serta keadaan yang meragukan itu. Karena langgar-Ianggar dan sekolah-sekolah dalam negeri. tak boleh tidak adalah dalam jumlah yang terbatas.
Suatu Mas-alah.
Dimana kita menjadikan: pertanyaan, termasuk sebagian dari wara maka tidaklah baginya menanyakan yang empunya makanan dan harta, apabila ia tiada merasa aman dari kemarahannya.
Dan sesungguhnya kita mewajibkan: bertanya, apabila diyakini bahwa
162
kebanyakan hartanya itu haram. Dan dalam hal ini, tidaklah perlu diper- dulifcan dengan kemarahan seperti tadi. Karena wajiblah menyakiti orang zalim dengan yang lebih banyak dari itu. Dan biasanya, bahwa keadaan yang seperti ini, tidaklah orang menjadi marah dengan ditanyakan. Ya; kalau ia mengambil dari tangan wakilnya atau bujangnya atau mu- ridnya atau sebahagian keluarganya, dari orang-orang yang berada dibawah pimpinannya, maka haruslah ia menanyakan, manakala ia mempunyai keraguan. Karena mereka itu tidak akan marah dengan pertanya- annya. Dan karena ia harus menanyakan untuk diajarinya mereka, jalan yang halal.
Dan karena itulah, Abubakar r.a. menanyakan bujangnya. Dan Umar r.a. menanyakan orang yang menyugukan kepadanya minuman dari susu unta sedekah (zakat). Dan beliau menanyakan pula Abu Hurairah r.a. tatkala membawa kepadanya harta banyak, seraya berkata: "Hai, apakah semua ini bagus?", dimana beliau merasa ta'jub dari karena banyaknya. Dan Abu Hurairah r.a. itu adalah termasuk rakyatnya. Lebih-lebih beliau penuh kasih-sayang pada kata-kata pertanyaan itu. Dan begitu pula Ali r.a. berkata: "Tidaklah yang paling disukai Allah Ta'ala, selain dari keadilan imam dan kasih-sayangnya. Dan tiadalah yang paling dimarahiNya, selain dari kezaliman imam dan kekasaran- nya".
Suatu Mas-alah.
AI-Harts Al-Muhasibi r.a. berkata: "Jikalau mempunyai teman atau sau- dara dan merasa aman dari kemarahannya jikalau ditanyakan, maka tiada seharuslah menanyakannya, karena semata-mata: wara'. Karena kadang-kadang menampak kepadanya apa yang tertutup daripadanya. Maka pertanyaan itu telah membawa kepada merusakkan kehormatan diri. Kemudian yang demikian itu membawa kepada kemarahan". Dan apa yang disebutkan Al-Harts tadi, adalah baik. Karena menanyakan itu, apabila timbul dari wara', tidak dari karena wajib, maka wara' dalam hal-keadaan yang seperti ini, untuk menjaga dari merusakkan kehormatan dan mengobarkan kemarahan, adalah lebih penting. Dan Al-Harts menambahkan dari ini, lalu berkata: Dan jika meragukannya pula daripadanya sesuatu, niscaya tidaklah ditanyakannya. Dan menyangka bahwa makanan yang disugukan itu, adalah baik dan dijauhkannya dari makanan yang keji. Kalau hatinya tidak tenteram kepada keadaan makanan itu, maka hendaklah dijaganya dengan lemah- lembut. Dan janganlah merusakkan kehormatannya dengan pertanyaan". Ia berkata: "Karena sesungguhnya aku tiada melihat seorang pun dari para ulama yang melakukan pertanyaan itu".
Maka inilah ucapan dari Al-Harts Al-Muhasibi, serta dengan kemasyhur-
163
annya tentang zuhud. yang menunjukkan kepada musamahah (bcrlapang dada. ma'af-mema'afkan), mengenai sesuatu, apabila ia bercampur dengan harta haram yang sedikit. Tetapi yang demikian itu; adalah ke- tika ada persangkaan. Tidak ketika telah meyakinkan. Karena kata-kata: keraguan. menunjukkan kepada persangkaan. dengan dalil yang menunjukkan kepadanya. Dan tidak mendatangkan keyakinan. Maka hendaklah dijaga segala yang halus-halus ini. dengan sebab menanyakan itu!
Suatu Mas-alah.
Kadang-kadang ada orang yang mengatakan: "Apakah faedahnya pertanyaan kepada orang. yang sebahagian hartanya haram dan orang yang memandang halal harta yang haram, yang kadang-kadang membohong? Kalau ia percaya dengan amanahnya. maka hendaklah ia mempercayai dengan keagamaannya mengenai yang halal itu!"
Maka aku menjawab. bahwa manakala diketahui bercampurnya harta seseorang dengan yang haram dan orang itu mempunyai maksud dengan kehadiranmu pada perjamuannya atau penerimaanmu akan hadiahnya, maka tidaklah berhasil kepercayaan dengan katanya: "Tiada faedah menanyakan itu". Maka seharuslah menanyakan kepada orang lain. Dan begitu pula kalau dia itu penjual. dimana ia gemar berjualan. untuk mencari keuntungan. Maka tidaklah berhasil kepercayaan dengan katanya: "Bahwa barang itu halal". Dan tak adalah faedah bertanya tentang barang itu. Dan sesungguhnya ia menanyakan pada orang lain. Dan ia menanyakan dari hal orang yang mempunyai tangan (kekuasaan) pada barang tersebut, apabila orang itu bukan orang tertuduh. Sebagaimana ditanyakan oleh orang yang menguasai harta sosial dahulu, terhadap harta yang diterimanya. bahwa harta itu dari pihak mana datangnya. Dan sebagaimana Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . menanyakan tentang hadiah dan sedekah (zakat). Maka sesungguhnya yang demikian itu, tidaklah menyakitkan. Dan begitu pula. apabila ia menuduhnya, bahwa ia tidak mengetahui jalan usaha yang halal. maka janganlah ia menuduh kepada perkataan- nya, apabila ia menerangkan jalan yang sah.
Dan seperti itu pula, dengan menanyakan bujangnya dan pesuruhnya, adalah untuk mengetahui jalan usahanya.
Maka dalam hal ini disini. pertanyaan itu adalah mendatangkan faedah. Apabila yang empunya harta itu tertuduh, maka hendaklah ditanyakan kepada orang lain. Kalau diterangkan oleh seorang adil, niscaya hendaklah diterimanya. Dan kalau diterangkan oleh orang fasiq. yang diketahui- nya menurut keadaannya. bahwa orang itu tidak akan berdusta. dimana, tak ada maksud baginya pada pendustaan itu, niscaya boleh diterima keterangan itu. Karena ini adalah antara dia dan Allah Ta'ala. Dan yang
164
dicari, ialah kcpcrcayaan hati. Dan itu kadang-kadang berhasil dari kepercayaan dengan perkataan orang fasiq, akan apa yang tidak berhasil dengan- perkataan orang adil, dalam sebahagian hal. Dan tidaklah tiap-tiap orang fasiq itu membohong. Dan tidaklah tiap-tiap orang yang engkau lihat adil pada zahirnya itu berkata benar. Dan sesungguhnya untuk menjadi saksi itu, dihubungkan dengan keadilan secara zahir, karena diperlukan oleh hukum. Karena hal yang batin, tiadalah yang dapat melihatnya.
Dan Abu Hanifah r.a. menerima kesaksian orang fasiq. Dan berapa banyak orang yang engkau kenal dan engkau kenal dia itu mengerjakan perbuatan-perbuatan ma'siat. Kemudian apabila ia menerangkan sesuatu kepadamu, lalu kamu percaya. Dan begitu pula apabila berccritcra anak kecil yang telah dapat membedakan buruk dengan baik (mumayyiz), yang engkau kenal dia berpendirian tetap. Maka kadang-kadang memperoleh kepercayaan dengan perkataannya. Lalu bolehlah berpegang diatas per- kataannya itu.
Adapun apabila diterangkan oleh orang yang tidak dikenal, yang tidak diketahui sekali-kali, sesuatu dari keadaannya, maka ini termasuk orang yang kita perbolehkan memakan dari barang yang didalam tangan kekua- saannya. Karena tangannya itu, petunjuk yang nyata tentang miliknya. Dan kadang-kadang dikatakan, bahwa Islamnya itu petunjuk yang nyata tentang kebenarannya.
Dan ini, sebenarnya haruslah ada pcnclitian. Dan tidaklah terlepas perkataannya itu dari membekas kcdalam jiwa. Sehingga kalau bcrkumpul- lah dari mereka suatu kumpulan orang yang mendatangkan dhan yang kuat (hampir mendekati kepada yakin). selain. bahwa bekas orang seorang padanya adalah sangat lemah. maka hendaklah diperhatikan kepada batas membekasnya kedalam jiwa. Karena yang bcrfatwa itu, adalah hati pada tempat yang seperti ini. Dan bagi hati pcnolchan-peno- lehan kepada tanda-tanda yang tersembunyi, yang scmpit daripadanya la- pangan tutur bicara. Maka hendaklah diperhatikan pada yang demikian itu!
Dibuktikan kepada wajibnya penolehan kepada yang tersebut, ialah apa yang diriwayatkan dari 'Uqbah bin Al-Harts, bahwa 'Uqbah datang kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . seraya berkata: "Sesungguhnya aku telah mengawini seorang wanita, maka datanglah seorang budak wanita hitam, menda'wakan, bahwa ia telah menyusukan kami berdua, sedang ia sebe­narnya dusta". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . menjawab: "Tinggalkanlah wanita yang kamu kawini itu!"
Maka 'Uqbah menjawab: "Bahwa budak wanita itu hitam, yang keadaannya menampak kecil".
Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم  . menjawab: "Ya, bagaimana, dia telah mendakwakan. bahwa dia telah menyusukan kamu berdua. Tak ada kebaikannya bagimu
165
pada wanita yang kamu kawini itu. Tinggalkanlah dia, jangan menjadi isterimu lagi!" (1).
Dan pada kata-kata yang Jain: "Ya, bagaimana dan sudah dikatakan
Walaupun tidak diketahui kedustaan orang yang tidak dikenal dan tidak menampak tanda sesuatu maksud baginya pada benda itu, tetapi tidak mustahil mempunyai pengaruh kedalam hati. Maka karena itulah, dikuat- kan keadaan dengan pemeliharaan. Jikalau tenteramlah hati kepadanya, niscaya pemeliharaannya itu adalah wajib yang tidak dapat dielakkan.
Suatu Mas-alah.
Dimana menanyakan itu wajib, maka jikalau bertentangan keterangan dua orang adil, niscaya kedua keterangan itu jatuh-menjatuhkankan (keduanya tidak berlaku). Dan begitu pula keterangan dua orang fasiq. Dan dibolehkan menjadi terkuat dalam hatinya keterangan seorang dari dua orang adil atau seorang dari dua orang fasiq. Dan bolehlah dikuat- kan salah satu dari dua pihak itu dengan sebab banyaknya atau dengan sebab khusus dari pengalaman dan pengetahuannya. Dan yang demikian itu, adalah termasuk yang bercabang-cabang untuk menggambarkannya.
Suatu Mas-alah.
Jikalau suatu benda tertentu dirampas orang, lalu ia menjumpai dari yang semacam itu, suatu benda dalam tangan orang dan ia bermaksud membelinya. Dan mungkin benda itu bukan dari benda yang dirampas tadi. Maka dalam hal ini, kalau orang itu termasuk orang yang dikenal- nya baik, niscaya bolehlah membelinya. Dan.meninggalkan membelinya, adalah setengah dari: wara'."
Dan kalau orang itu tidak dikenal, yang tidak diketahuinya dari orang itu suatupun, maka jikalau banyaklah macam benda itu dari yang bukan benda rampasan, maka bolehlah ia' membeli. Dan kalau benda itu tidak diperoleh pada tempat tersebut, kecuali jarang sekali dan banyaknya itu disebabkan rampasan, maka tidaklah yang menunjukkan kepada halal, selain oleh tangan (yang memegang barang itu). Dan telah ditentang oleh tanda khas tentang bentuk dan macam dari benda tersebut. Maka mencegah daripada membelinya, adalah termasuk wara' yang penting. Tetapi wajiblah padanya diperhatikan, karena tanda itu bertentangan, Dan tidaklah aku sanggup menetapkan padanya suatu hukum. mclainkan aku kembalikan kepada hati dari orang yang meminta fatwa. untuk di- perhatikannya mana yang lebih kuat pada hatinya.
Kalau yang lebih kuat, bahwa barang itu barang rampasan. niscaya
1. Dirawikan AI-Bilkhari dari 'Uqbah bin AI-Harts.
 166
haruslah ditinggalkannya. Dan jikalau bukan yang demikian. niscaya halallah baginya membelinya.
Dan kebanyakan dari kejadian-kejadian ini, keadaan meragukan. Sehingga menjadi sebahagian dari syubhat-syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barangsiapa menjaga diri dari syubhat-syubhat itu, maka sesungguhnya ia terlepas untuk kehormatan dan agamanya. Dan barangsiapa mengerjakannya, maka sesungguhnya ia bermain keli- ling hutan Jarangan dan membahayakan bagi dirinya.
Suatu Mas-alah.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . telah menanyakan tentang susu yang disugukan kepadanya, lalu disebutkan bahwa susu itu dari seekor kambing. Maka beliau menanyakan tentang kambing tersebut: "Kambing dari mana?" Lalu diterangkan kepadanya, maka diamlah beliau dari bertanya.
Maka wajibkah bertanya tentang asal harta atau tidak wajib? Dan kalau wajib, maka dari satu asal atau dua asal atau tiga? Dan apakah tanda yang menghinggakan padanya?
Maka aku menjawab: tak ada hinggaan dan taksiran padanya. Tetapi diperhatikan kepada kesangsian yang menghendaki kepada bertanya, adakalanya wajib atau wara*. Dan tak ada maksud kepada pertanyaan, selain untuk dapatlah terputusnya kesangsian yang menghendaki kepada bertanya itu.
Dan yang demikian itu berbeda dengan berbedanya keadaan. Dan kalau ada tuduhan dari segi tidak diketahui yang mempunyai tangan (yang menguasai barang itu), bagaimana jalan usaha itu yang halal? Maka kalau ia menjawab: "Aku beli", niscaya selesailah dengan suatu pertanyaan saja. Dan kalau ia menjawab: "Dari kambingku", niscaya timbul- lah keraguan tentang kambing tersebut. Maka apabila ia menjawab: "Aku beli", niscaya selesailah.
Dan kalau keraguan itu dari kezaliman dan yang demikian itu, mengenai barang yang berada dalam tangan orang-orang Arab dan terjadi dalam tangan mereka itu, barang rampokan, maka tidaklah kesangsian itu hi- lang, dengan katanya: "Bahwa itu dari kambingku". Dan tidak pula dengan katanya: "Bahwa kambing itu, dilahirkan oleh kambingku". Kalau disandarkannya kepada warisan dari bapaknya dan keadaan bapaknya itu tidak diketahui, niscaya putuslah pertanyaan. Dan kalau diketahui bahwa semua harta bapaknya itu haram, maka telah teranglah haram. Dan jika diketahui, bahwa yang terbanyak hartanya haram, maka dengan banyaknya beranak, lamanya waktu dan berjalannya pusaka kepadanya, tidaklah mengobahkan hukum. Maka hendaklah diperhatikan tentang segala pengertian itu!
167

Suatu Mas-alah
Aku ditanyakan tentang suatu kumpulan dari penghuni Khanaqah Shu- fiah (tempat tinggal orang-orang shufi). Dan pada tangan pesuruh mereka yang mcnghidangkan makanan kepada mereka. ada harta yang diwa- qafkan untuk tempat tersebut. Dan ada lagi waqaf yang lain kepada pihak yang lain, selain dari mereka. Dan pesuruh tadi mencampur-aduk- kan semua dan mcmbclanjakannya untuk mereka yang golongan ini dan mereka yang golongan itu. Maka memakan makanan itu halal atau haram atau syubhat?
Lalu aku menjawab, bahwa ini harus diperhatikan kepada tujuh pokok: Pokok Pertama: bahwa makanan yang disugukan kepada mereka. biasa- nya dibelinya dengan cara beri-memberi (mu'athah). Dan yang kami pi- lih, ialah sahnya mu'athah, lebih-lcbih mengenai makanan dan barang- barang yang tidak berharga. Maka dalam hal ini tidak lain, selain dari syubhat perbedaan pendapat.
Pokok Kedua: bahwa diperhatikan, apakah pesuruh itu membelinya dengan benda harta yang haram atau membeli tidak dengan kontan. Kalau dibelinya dengan benda harta yang haram, maka itu haram. Dan jika tidak diketahui, maka biasanya dibelinya dengan harga tidak kontan. Dan bolehlah berpegang dengan kebiasaan itu. Dan tidaklah terjadi pengharaman dari ini, bahkan syubhat pun suatu kemungkinan yang jauh. Yaitu membelinya dengan benda harta haram, Pokok Ketiga: bahwa dari manakah dibelinya? Kalau dibelinya dari orang yang kebanyakan hartanya haram, niscaya tidaklah diperbolehkan. Dan jika yang tersedikit hartanya itu haram, maka padanya pemerhatian yang telah diterangkan dahulu.
Dan apabila tidak diketahui, niscaya bolehlah ia mengambil, bahwa dibelinya darj orang, yang hartanya halal. Atau dari orang yang tidak diketahui oleh sipembeli akan keadaannya dengan yakin, seperti orang yang tidak dikenal. Dan telah dahulu penjelasan, tentang bolehnya membeli dari orang yang tidak dikenal. Karena demikianlah biasanya. Maka tidaklah terjadi dari ini pengharaman, tetapi kemungkinan syubhat. Pokok Keempat: bahwa dibelinya untuk dirinya sendiri atau untuk kaum- nya. Maka yang mengurus dan pesuruh adalah seperti pengganti dari orang itu. Dan ia boleh membeli untuk orang itu dan untuk dirinya sendiri. Tetapi adalah yang demikian itu dengan niat atau kata-kata yang tegas.
Dan apabila pembelian itu berlaku dengan mu'athah (beri-memberi), maka tidaklah berlaku lafadh (kata-kata). Dan biasanya, tidaklah diniat- kan ketika mu'athah itu. Penjual daging, penjual roti dan orang-orang yang melakukan mu'amalah dengan dia, adalah berpegang kepada yang demikian dan bermaksud penjualan daripadanya. Tidak dari orang-orang
168
yang tidak datang ketempat penjualan itu. Maka terjadilah penjualan dari pihaknya dan masuklah barang itu kedalam miliknya. Dan pokok ini, tak adalah padanya pengharaman dan syubhat. Tetapi te- taplah bahwa mereka itu memakan dari kepunyaan pesuruhnya. Pokok kclima: bahwa pesuruh itu menyugukan makanan kepada mereka. Maka tidak mungkin makanan tersebut dijadikan sebagai jamuan dan hadiah, tanpa 'iwadl (penggantinya atau harganya). Karena ia tidak akan rela dengan cara yang demikian. Dan sesungguhnya ia menyugukan karena berpegang kepada 'iwadlnya dari harta waqaf. Maka itu adalah: gan- ti-menggantikan (mu'awadlah). Tetapi tidaklah itu penjualan dan penghu- tangan. Karena jikalau bangunlah ia untuk menuntut harga dari mereka, niscaya amat jauhlah yang demikian.
Dan petunjuk dari keadaan, tidaklah menunjukkan kepadanya. Maka pokok yang terjadi padanya keadaan itu, lebih menyerupai dengan hihah dengan syarat mendapat pahala. Ya'ni: hadiah, yang tak ada kata-kata padanya dari seseorang, yang dikehendaki oleh petunjuk kcadaannya. bahwa ia mengharap akan pahala. Dan itu adalah benar. Dan pahala itu sudah semestinya.
Dan disini, pesuruh itu tidaklah mengharapkan untuk memperoleh pahala tentang apa yang disugukannya, kecuali hak mereka dari harta waqaf itu, untuk melunaskannya hutang pada tukang roti, tukang daging dan tukang sayur. Maka ini tak adalah syubhat padanya. Karena tidaklah disyaratkan kata-kata pada hadiah dan pada penyuguan makanan dan walaupun ia menunggu pahala. Dan tak usah diperhatikan perkataan orang yang tidak mensahkan hadiah dengan menunggu pahala. Pokok Keenam: bahwa pahala yang lazim padanya terjadi pertikaian pa- ham. Maka ada yang mengatakan, bahwa itu yang tersedikit dari barang yang berharga. Ada yang mengatakan: sekedar nilainya. Dan ada yang mengatakan: apa yang direlai oleh yang memberi. Sehingga baginya boleh tidak merelai dengan berlipat-ganda nilai harga. Dan yang sah (ash-shahih), ialah kerelaannya itu dituruti. Maka apabila ia tidak rela, niscaya dikembalikan kepadanya.
Dan disini, pesuruh itu telah rela dengan apa yang diambilnya dari hak penghuni itu, atas harta waqaf. Kalau adalah hak mereka menurut apa yang dimakannya, maka telah selesailah persoalan. Dan kalau kurang dan pesuruh itu merelainya, niscaya sah pula yang demikian. Dan kalau diketahui bahwa pesuruh itu tidak rela, jikalau tidak adalah dalam tangannya, harta waqaf yang lain yang diambilnya dengan kekuatan para penghuni itu, maka seolah-olah ia telah merelai mengenai pahala, sekedar setengahnya halal dan setengahnya lagi haram. Dan haram itu, tidak masuk dalam tangan para penghuni itu.
Maka ini adalah seperti kecederaan yang menobros kepada harga. Dan telah kami terangkan hukumnya sebelum ini dahulu. Dan sesungguhnya,
169

pabilakah ia menghendaki pengharaman dan pabilakah ia menghendaki syubhat? Dan ini tidak menghendaki pengharaman, sepanjang apa yang telah kami uraikan dahulu. Maka tidaklah terbalik hadiah itu menjadi haram, dengan sampainya orang yang berhadiah dengan sebab hadiahnya kepada haram.
Pokok Ketujuh: bahwa hutang untuk tukang roti, tukang daging dan tukang sayur. dibayar dari kemurahan orang-orang yang berwaqaf. Maka jikalau mencukupi apa yang diambil oleh pesuruh dari hak para peng- huni itu untuk harga makanan yang disugukan kepada mereka, maka telah sahlah persoalan tersebut. Dan jika kurang daripada mencukupi, lalu tukang daging dan tukang roti itu rela dengan harga manapun juga. baik halal atau haram. maka ini adalah suatu kecederaan yang menular pula kepada harga makanan. Maka hendaklah diperhatikan kepada apa yang telah kami sebutkan dahulu, tentang harga yang tidak kontan. Kemudian harga itu dibayar dari yang haram.
Ini, apabila diketahui. bahwa dibayarnya dari yang haram. Tetapi jikalau yang demikian itu merupakan suatu kemungkinan dan kemungkinan pula yang lain, maka ke-syubhat-an itu adalah amat jauh. Dan dapat dipahami dari ini, bahwa memakan yang tersebut itu tidaklah haram. Tetapi memakan syubhat. Dan itu, adalah jauh dari: wara'. Karena pokok-po- kok ini, apabila telah banyak dan menjalar kemungkinan kepada masing- masingnya, niscaya kemungkinan haram, disebabkan banyaknya, menjadi lebih kuat dalam jiwa. Sebagaimana hadits, apabila telah panjang isnad- nya (sandarannya yang sambung-bersambung dari seorang keseorang), menjadi kemungkinan dusta dan kesalahan padanya menjadi lebih kuat*. daripada apabila isnadnya masih dekat.
Ini adalah hukum kejadian dan menjadi sebahagian dari fatwa-fatwa. Dan kami telah bentangkan semuanya, supaya diketahui cara mengeluarkan segala kejadian yang bertimbun-timbun yang serupa satu dengan lainnya. Dan bagaimana mengembalikannya kepada pokok-pokoknya. Dan itu adalah sebahagian dari apa yang tidak disanggupi oleh kebanyakan juru fatwa (mufti-mufti).
170
BAB KEEMPAT: tentang bagaimana keluarnya orang yang bertobat dari kezaliman-kezaliman kehartaan.
Ketahuiiah, bahwa siapa yang bertobat dan dalam tangannya ada harta yang bercampur, maka keatas pundaknya tugas pada memperbedakan yang haram dan mengeluarkan yang haram itu. Dan suatu tugas lagi tentang tempat penggunaan yang dikeluarkan itu. Maka hendaklah diperhatikan pada dua tugas tersebut:
PERHATIAN PERTAMA: tentang bagaimana memperbedakan dan mengeluarkan itu.
Ketahuilah, bahwa tiap-tiap orang yang bertobat dan dalam tangannya sesuatu yang haram, yang diketahui bendanya, dari rampokan atau sim- panan orang atau Iainnya, maka dalam hal ini urusannya mudah. Maka haruslah ia memperbedakan yang haram itu. Dan kalau harta itu meragukan yang bercampur-baur, maka tidaklah terlepas, adakalanya berada dalam harta yang mempunyai keserupaan, seperti biji-bijian, uang emas dan perak (nuqud) dan minyak. Dan adakalanya berada dalam benda yang berbeda-beda, seperti: budak-budak belian, rumah-rumah dan kain- kain. Maka kalau ada dalam benda-benda yang berserupaan atau adanya meratai dalam harta semuanya, seperti: orang yang mengusahakan harta dengan berniaga, yang diketahui, bahwa orang itu berdusta pada sebahagian perniagaannya dalam mencari keuntungan dan bertindak benar pada sebahagian yang Iain. Atau orang itu merampas minyak orang dan men- campurkannya dengan minyaknya sendiri. Atau ia berbuat demikian pada biji-bijian atau dirham dan dinar. Maka tidak terlepaslah yang demikian itu, adakalanya jumlahnya diketahui atau tidak diketahui. Kalau jumlahnya diketahui, umpamanya: diketahui bahwa sejumlah setengah dari hartanya itu haram, maka haruslah ia memperbedakan yang setengah itu. Dan jika sulit, maka baginya dua jalan: salah satu dari dua jalan itu, mengambil menurut yang diyakini. Dan satu jalan lagi, mengambil menurut yang berat dugaan. Dan keduanya itu, telah dikatakan oleh para ulama tentang keraguan jumlah raka'at shalat. Dan kami tidak membolehkan pada shalat, kecuali mengambil dengan yang diyakini. Karena asalnya, adalah masih dalam tanggungan. Lalu memakai istishhab. Dan itu tidak berobah, kecuali dengan sesuatu tanda yang kuat. Dan tak adalah pada bilangan raka'at itu, tanda-tanda yang dapat dipercayai.
Adapun disini, maka tidaklah mungkin dikatakan, bahwa: yang asal ialah apa yang dalam tangannya itu haram. Tetapi itu adalah suatu kesulitan. Maka bolehlah ia mengambil dengan keras dugaan, secara ijtihad. Tetapi yang wara', ialah mengambil dengan yang diyakini.
171
Kalau menghendaki wara' maka jalan untuk menjaga dan berijtihad, ialah tidak menetapkan yang tinggal, selain jumlah yang diyakininya, bahwa itu adalah halal. Dan kalau ia berkehendak mengambil dengan dugaan, maka jalannya - umpamanya - bahwa dalam tangannya ada harta perniagaan y^ng telah rusak sebahagiannya. Lalu ia yakin bahwa setengahnya halal dan sepertiganya - umpamanya - haram dan tinggal- lah seperenam yang diragukannya. Maka ditetapkanlah pada yang seper- enam itu dengan keras dugaan.
Dan begitulah kiranya, cara berhati-hati pada tiap-tiap harta. Jaitu: bahwa dipotong kadar yang diyakini dari kedua pihak: tentang halal dan haramnya. Dan kadar yang diragukan itu, jika keras dugaannya haram, niscaya dikeluarkannya. Dan jika keras dugaannya halal, niscaya bolehlah baginya menahaninya. Dan yang wara' ialah mengeluarkannya. Dan jika ia ragu padanya niscaya boleh menahan. Dan yang wara' ialah mengeluarkannya. Dan wara' ini adalah lebih kuat, karena barang itu menjadi diragukan. Dan boleh menahannya, karena berpegang bahwa barang itu dalam tangannya. Maka adalah kehalalan itu mengerasinya. Dan telah menjadi lemah sesudah yakin bercampurnya dengan yang haram. Dan mungkin dikatakan, bahwa: yang asal ialah pengharaman. Dan ia tidak mengambil, kecuali apa yang keras dugaannya, bahwa barang itu halal. Dan tidaklah salah satu dari kedua pihak itu lebih utama dari yang lain. Dan tidaklah jelas bagiku sekarang tarjih (menguatkan salah satu daripadanya). Dan itu adalah sebahagian dari hal-hal yang menyulitkan.
Kalau ada yang mengatakan: umpamakanlah, bahwa ia mengambil dengan yakin. Tetapi yang dikeluarkannya tidak diketahuinya, bahwa itu benda yang haram. Lalu mungkin yang haram itu, apa yang masih dalam tangannya. Maka bagaimanakah ia tampil kepada barang itu? Jikalau ini boleh, niscaya bolehlah dikatakan: apabila bercampur bangkai dengan sembilan hewan sembelihan, maka bangkai itu adalah sepersepu- luh. Lalu bolehlah ia melemparkan satu yang mana saja yang satu itu dan mengambil serta menghalalkan yang tinggal. Tetapi dapat dikatakan: mungkin bangkai itu termasuk dalam apa yang masih tinggal. Bahkan kalau dilemparkannya sembilan dan tinggal satu, niscaya tidak juga halal. Karena mungkin yang satu itu yang haram.
Maka kami menjawab, bahwa penimbangan ini adalah sah, jikalau tidaklah harta itu menjadi halal dengan mengeluarkan gantinya, supaya berja- lanlah pergantian kepadanya.
Adapun bangkai maka tidaklah-berjalan pergantian padanya. Maka hendaklah dibukakan tabir dari kesulitan ini, dengan mengumpamakan, pada dirham tertentu yang serupa dengan dirham yang lain, pada orang yang mempunyai dua dirham. Salah satu dari keduanya itu haram, yang telah serupa bendanya. Dan Ahmad bin Hanbal r.a. ditanyakan tentang
172
hal yang seperti inr. Lalu beliau menjawab: "Ditinggalkan semua, sehingga jelas". Beliau telah menggadaikan bejananya. Maka tatkala beliau melunaskan hutangnya, lalu oleh yang menerima gadaian itu membawa kepadanya dua bejana, seraya berkata: "Saya tidak tahu, yang mana dari dua ini bejana tuan". Maka Ahmad bin Hanbal meninggalkan keduanya. Kemudian yang menerima gadaian itu berkata: "Ini yang bejana tuan. Aku sesungguhnya ingin mencoba tuan".
Maka Ahmad bin Hanbal melunaskan hutangnya, dan beliau tidak mengambil barang gadaian itu. Dan ini, adalah wara1 namanya. Tetapi kami mengatakan, bahwa yang demikian itu tidaklah wajib. Maka hendaklah kita umpamakan persoalan tentang uang dirham, yang mempunyai pemilik tertentu yang hadir disitu. Lalu kami mengatakan: apabila dikembalikan kepadanya salah satu dari dua dirham dan dia rela dengan demikian serta diketahuinya keadaan yang sebenarnya, niscaya halallah baginya dirham yang satu lagi. Karena tidaklah terlepas, adakalanya yang dikembalikan itu pada ilmu Allah-itulah yang diambil dahulu. Maka dengan demikian telah berhasillah maksud.
Dan jikalau bukanlah yang demikian, maka sesungguhnya telah berhasillah bagi masing-masing, sedirham kedalam tangan pemiliknya. Untuk menjaga (ihtiath), ialah keduanya jual-menjual dengan mengucapkan kata-kata. Kalau tidak dilaksanakan yang demikian, niscaya terjadilah ambil-mengambilkan dan ganti-menggantikan dengan semata-mata beri-memberi (mu'athah) itu.
Dan kalau orang yang dirampok, telah hilang suatu dirham kepunyaan- nya dalam tangan perampok dan sukar memperoleh dirham itu sendiri dan ia berhak tanggungan dari siperampok itu, maka manakala diambilnya dirham dari siperampok, niscaya berhasillah pengembalian itu, tanpa tanggungan lagi dari siperampok, dengan semata-mata diterima oleh yang kenarampok. Dan ini pada pihak yang kena rampok itu sudah terang. Karena apa yang ditanggung oleh perampok untuknya, adalah dimiliki- nya tanggungan itu dengan semata-mata diterimanya, tanpa ada kata-kata. Dan yang mengandung pertanyaan, ialah dari segi yang lain, bahwa dirham itu tidak masuk kedalam miliknya.
Maka kami menjawab, karena dia juga kalau sudah menerima dirhamnya sendiri, niscaya luputlah pula baginya dirham yang dalam tangan orang lain. Maka tidaklah mungkin sampai kepadanya, lalu dirham itu seperti barang yang jauh. Maka jatuhlah ini kedalam miliknya, sebagai gantinya pada ilmu Allah-kalau benarlah keadaan seperti yang demikian. Dan terjadilah ganti-menggantikan itu pada ilmu Allah sebagaimana terjadinya ambil-mengambilkan, jikalau dua orang, masing-masing dari keduanya menghilangkan dirham kepunyaan temannya. Bahkan mengenai mas-alah kita ini sendiri, jikalau masing-masing melemparkan apa yang dalam tangannya kedalam laut atau membakarkannya, niscaya adalah ia telah
173
menghilangkannya. Dan tak adalah diatas seseorang janji untuk yang lain, dengan jalan ambil-mengambilkan. Maka begitu pula apabila ia tidak menghilangkannya.
Sesungguhnya mengatakan dengan itu, adalah lebih utama daripada kembali kepada pendirian, bahwa orang yang mengambil sedirham yang haram dan mencampakkannya kedalam beribu-ribu dirham kepunyaan orang lain,' lalu jadilah semua harta itu dibekukan, tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pada harta itu. Dan aliran ini membawa kepadanya. Maka perhatikanlah tentang jauhnya dari kebenaran mengenai ini! Dan tidaklah pada apa yang telah kami sebutkan, selain meninggalkan kata-kata. Dan mu'athah (beri-memberi) itu, adalah penjualan. Dan orang yang tidak menjadikan mu'athah itu penjualan, maka kiranya berjalan kepadanya kemungkinan. Karena perbuatan itu melemahkan keterangannya dan kiranya mungkin mengucapkan kata-kata. Dan disini, penyerahan dan peneri- maan itu, adalah pasti untuk ganti-menggantikan. Dan penjualan itu tidak mungkin. Karena barang yang dijual tidak ditunjukkan dan tidak diketahui bendanya. Dan kadang-kadang, barang itu, termasuk barang yang tidak dapat dijual, sebagaimana kalau dicampurkan sekati tepung dengan seribu kati tepung kepunyaan orang lain. Dan begitu pula manisan lebah, buah tamar yang belum kering dan tiap-tiap barang yang tidak dapat dijual sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Kalau ada yang mengatakan: bahwa kamu telah membolehkan penyerahan sekedar haknya pada persoalan yang seperti ini dan kamu menjadikan- nya penjualan.
Maka kami menjawab, bahwa kami tidak menjadikannya penjualan. Tetapi kami mengatakan: itu adalah ganti dari apa yang telah hilang dari dalam tangannya. Maka dimilikinya, sebagaimana orang yang dihilangkan buah tamarnya, akan memiliki, apabila telah mengambil sebanyak barang- nya.
Ini adalah apabila ditolong oleh yang mempunyai harta. Maka jikalau tidak ditolongnya dan diberinya kemelaratan dan mengatakan: "Aku sekali- kali tidak akan mengambil dirham, kecuali benda dirham yang kepunyaan- ku. Kalau meragukan, maka aku tinggalkan, tidak akan aku berikan dan aku akan biarkan hartamu kepadamu".
Maka aku menjawab, bahwa haruslah hakim (qadli) menggantikannya pada penerimaan. Sehingga baiklah untuk orang itu hartanya. Karena ini adalah semata-mata kedengkian dan penyempitan. Dan agama tidaklah bermaksud dengan demikian.
Kalau ia tidak sanggup mencari hakim dan tidak memperelahnya, maka hendaklah dicarinya seorang perantara (hakam) yang beragama, untuk menerima barang itu daripadanya. Kalau ia tidak sanggup mencari orang perantara, maka diurus olehnya sendiri. Dan diasingkannya sedirham dengan mat akan menyerahkan kepada orang itu. Dan ditentukannya dirham
174

itu untuk orang tersebut dan baiklah sisanya untuknya sendiri. Dan ini, mengenai campuran barang cair, adalah lebih jelas dan sudah semestinya yang demikian.
Kalau ada yang mengatakan, bahwa seharuslah halal baginya mengambil dan memindahkan hak kedalam tanggungannya, maka apakah perlunya lagi, pertama-tama kepada mengeluarkan, kemudian menggunakan pada yang sisanya?
Kami menjawab, bahwa telah berkata orang-orang yang mengatakan, halallah baginya mengambil, -selama masih ada sekedar yang haram dan tidaklah dibolehkan mengambil semuanya. Dan jikalau diambilnya, niscaya tidak dibolehkan yang demikian.
Berkata ulama-ulama yang lain: tidaklah baginya mengambil, seiama tidak dikeluarkan kadar haram dengan tobat dan bermaksud menggantikan. Berkata ulama-ulama yang lain: diperbolehkan bagi yang mengambil pada penggunaannya, untuk mengambilkan daripadanya. Adapun dia maka janganlah memberi. Kalau diberikannya, niscaya ia berbuat ma'siat dan tidaklah ma'siat orang yang mengambil daripadanya. Dan apa yang diperbolehkan satu, niscaya diambillah semua. Dan yang demikian itu, karena sipemilik kalau telah jelaslah dia, maka ia boleh mengambil haknya dari jumlah tersebut. Karena ia mengatakan: "Moga-moga yang diserahkan kepadaku, adalah jatuh pada benda yang menjadi hakku sendiri". Dan dengan penentuan pengeluaran hak orang Iain dan pembedaannya, maka tertolaklah kemungkinan itu. Maka harta tersebut menjadi kuat dengan kemungkinan ini terhadap lainnya. Dan apa yang mendekati kepada hak­nya, adalah didahulukan, sebagaimana didahulukan benda yang serupa dengan bendanya, daripada nilainya. Dan didahulukan benda itu sendiri daripada benda yang serupa baginya. Maka seperti itu pula, apa yang mungkin padanya dikembalikan nilainya. Dan yang mungkin padanya dikembalikan benda itu sendiri, didahulukan daripada apa, yang mungkin padanya dikembalikan barang yang serupa.
Dan jikalau boleh untuk ini dikatakan demikian, niscaya bolehlah bagi pemilik dirham yang lain, untuk mengambil dua dirham dan menggunakan kedua dirham itu, seraya mengatakan: "Atas saya membayar hakmu dari tempat yang lain". Karena percampuran itu dari dua pihak. Dan tidaklah milik salah seorang dari keduanya untuk ditakdirkan hilang itu, lebih utama dari milik yang lain. Kecuali diperhatikan kepada yang tersedikit. Lalu ditakdirkan hilang kedalamnya. Atau diperhatikan kepada yang bercampur, lalu dijadikan dengan perbuatannya itu, berimpit dengan hak orang lain.
Keduanya itu, adalah jauh sekali. Dan ini jelas pada barang-barang yang mempunyai keserupaan. Karena ia terjadi sebagai ganti pada barang-barang yang dihilangkan, dari bukan aqad (jual-beli). Adapun apabila serupa sebuah rumah dengan beberapa rumah atau seo-
175
rang budak dengan beberapa orang budak, maka tiadalah jalan kepada damai-mendamaikan dan rela-merelakan. Kalau ia enggan mengambil, selain benda yang haknya sendiri dan ia tidak sanggup kepada yang demikian dan pihak yang lain bermaksud menghalangi terhadapnya semua miliknya, maka kalau barang-barang itu bersamaan nilainya, maka jalan yang harus ditempuh, ialah hakim (qadli) menjual semua rumah itu dan mem- bagi-bagikan kepada mereka harganya dengan kadar sebanding. Dan kalau perbandingan itu berlebih kurang, niscaya hakim itu mengambil dari yang meminta dijual, akan nilainya xumah yang terbaik. Dan diserahkan- nya kepada yang mencegah penjualan, kadar nilai yang tersedikit. Dan di- hentikan dulu jumlah yang berlebih-kurang itu, menunggu penjelasan atau perdamaian, karena itu mengandung kesulitan.
Dan kalau tidak diperoleh hakim (qadli), maka bagi orang yang menghendaki penyelesaian-sedang barang itu semua dalam tangannya, bahwa mengurus yang demikian itu oleh dirinya sendiri. Dan ini adalah suatu kemuslihatan. Dan selainnya dari kemungkinan-kemungkinan, adalah lemah, dimana kami tidak memilihnya.
Dan pada yang dahulu itu, adalah peringatan kepada sebab-musababnya. Dan ini, adalah jelas pada gandum dan kurang jelas pada uang (nuqud). Dan pada benda adalah lebih kabur lagi. Karena tidaklah sebahagiannya dapat menjadi ganti dari sebahagian yang lain. Maka karena itulah, diperlukan kepada dijual. Dan marilah kami gambarkan dengan beberapa mas- alah, yang akan sempurna penjelasan pokok ini dengan mas-alah-mas- alah itu:
Suatu Mas-alah
Apabila mendapat warisan bersama sekumpulan orang lain dan adalah sultan telah merampas harta kepunyaan pewaris mereka. Lalu sultan itu mengembalikan kepada pewaris tadi sepotong yang tertentu dari harta itu, maka yang sepotong yang tersebut, menjadi milik bagi semua ahli waris. Dan kalau dikembalikan oleh sultan setengah dari harta tersebut, dimana yang setengah itu adalah kadar hak dari pewaris tadi, niscaya bersama- samalah ahli waris memperoleh bahagian daripadanya. Karena setengah yang untuknya itu tidaklah dapat diperbedakan. Sehingga dikatakan, bahwa yang setengah itu, ialah yang dikembalikan tadi dan yang masih tinggal itulah yang dirampas. Dan tidaklah yang setengah itu menjadi dapat diperbedakan dengan niat dari sultan dan maksudnya, membataskan yang dirampas itu, dalam bahagian para ahli waris yang lain.
Suatu Mas-alah
Apabila jatuh kedalam tangannya harta, yang diambilnya dari sultan yang
176

zalim. Kemudian ia bertobat. Dan harta itu adalah benda yang tidak ber- gerak. Dan telah berhasil dari benda itu keuntungan. Maka seharuslah diperkirakan sewa yang pantas, karena lamanya benda itu dalam tanganya.
Dan begitu pula semua barang yang dirampas, yang bermanfa'at atau berhasil daripadanya tambahan. Maka tidaklah sah tobatnya, selama tidak dikeluarkan sewa dari benda yang dirampas itu. Dan begitu pula tiap-tiap tambahan yang berhasil dari benda itu.
Dan penaksiran dari sewa budak-budak, kain-kain, bejana-bejana dan yang lain-lain yang seumpamanya, dari barang-barang yang tidak dibiasa- kan penyewaannya, adalah termasuk hal yang sukar. Dan yang demikian itu tidak dapat diketahui, kecuali dengan ijtihad dan kira-kiraan. Dan begitu pulalah tiap-tiap penilaian yang terjadi dengan ijtihad. Dan jalan wara' ialah mengambil dengan yang lebih jauh.
Dan apa yang diperolehnya dari keuntungan pada harta rampokan pada segala 'aqad jual-beli yang diadakannya dengan tidak kontan dan dibayarnya harga dari harta itu, maka adalah menjadi miliknya. Tetapi padanya syubhat. Karena harganya adalah harta haram, sebagaimana telah disebutkan dahulu hukumnya.
Dan kalau harga itu dibayar dengan benda dari harta itu, maka segala 'aqadnya adalah batal. Dan sesungguhnya ada yang mengatakan: dilaksa- nakan 'aqad-'aqad itu dengan mempersewakan barang yang dirampok, karena sesuatu kepentingan. Maka orang yang kena rampok itu adalah yang lebih utama berhak dengan yang demikian.
Dan menurut qias, segala 'aqad itu dibatalkan. Harganya minta dikembalikan dan barang-barang itu dikembalikan. Kalau tidak sanggup, karena banyaknya, maka semuanya itu adalah harta haram, yang diperoleh dalam tangannya. Maka bagi orang yang kena rampok, menurut modal hartanya. Dan yang lebih itu adalah haram, yang wajib dikeluarkan untuk disedekahkan. Dan tidaklah halal bagi yang merampok dan bagi yang kena rampok. Tetapi hukumnya adalah hukum tiap-tiap yang haram yang ja- tuh kedalam tangannya.
Suatu Mas-alah
Barang siapa memperoleh harta warisan dan ia tidak tahu, bahwa pewaris- nya dari mana mengusahakannya. Adakah dari yang halal atau dari yang haram. Dan tidak ada disitu sesuatu tanda. Maka harta itu adalah halal dengan sepakat ulama-ulama. Dan kalau diketahuinya, bahwa pada harta warisan itu ada yang haram dan ia ragu tentang jumlahnya, niscaya dikeluarkan kadar yang haram itu dengan hati-hati. Kalau tidak diketahuinya yang demikian itu, tetapi diketahuinya bahwa pewarisnya adalah mengurus segala pekerjaan untuk sultan dan mungkin ia tidak ada mengambil se-
177
suatu dalam pekerjaannya itu atau ada diambilnya dan tidak ada lagi dalam tangannya sedikitpun, karena sudah lama masanya, maka ini adalah harta syubhat, yang baguslah dijaga (bersikap wara') daripadanya dan tidak wajib.
Dan kalau diketahuinya bahwa sebahagian harta pewarisnya adalah dari kezaliman, maka haruslah dikeluarkan kadar yang zalim itu dengan ijtihad.
Berkata setengah ulama, bahwa tidaklah wajib yang demikian. Dan dosa- nya adalah keatas pundak pewaris. Ulama tersebut mengambil dalil dengan apa yang dirawikan, bahwa seorang laki-laki diantara orang-orang yang ditugaskan mengurus perbuatan sultan, meninggal. Lalu berkatalah seorang shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم  .: "Sekarang baguslah bertanya", Artinya: untuk ahli warisnya.
Hadits tersebut adalah lemah (dla'if). Karena tidak disebutkan nama shahabat itu. Dan mungkin hadits itu timbul dari orang yang menganggap enteng terhadap hadits. Dan sesungguhnya ada dalam kalangan para shahabat itu, orang yang mempermudah-mudahkan hadits. Tetapi kami tidak akan menyebutkan namanya, karena demi kehormatan shahabat itu sendiri. Dan bagaimanakah adanya kematian seseorang itu membolehkan yang haram yang diyakini, yang bercampur. aduk? Dan dari manakah harta ini diambil?
Ya, apabila tidak diyakini, niscaya bolehlah dikatakan, bahwa harta itu tidak diambil dengan tidak diketahui. Maka baiklah bagi ahli waris, tidak mengetahui bahwa dalam harta itu ada yang haram yang diyakini.
PERHATIAN KEDUA: tentang penggunaan dari harta itu.
Apabila yang haram itu telah dikeluarkan, lalu mempunyai tiga keadaan. Adakalanya, bahwa barang haram yang dikeluarkan dari tangan seseorang itu mempunyai pemilik tertentu. Maka wajiblah diserahkan kepadanya atau kepada ahli warisnya. Dan kalau pemilik itu jauh, maka ditunggu ke- datangannya atau berhubungan kepadanya. Dan kalau barang itu mempunyai tambahan dan kemanfa'atan, maka hendaklah dikumpulkan segala fa- edahnya itu, menunggu waktu kedatangan pemiliknya. Adakalanya barang tersebut mempunyai pemilik tidak tertentu, dimana putus harapan daripada mengetahui siapa orangnya. Dan tidak diketahui, apakah ia sudaih meninggal, dengan ada ahli waris atau tidak. Maka dalam hal ini, tidaklah mungkin dikembalikan kepada pemiliknya. Dan dihentikan dahulu, sampai persoalannya menjadi jelas. Dan kadang- kadang tidak mungkin dikembalikan, karena banyaknya pemilik, seperti harta rampasan perang yang dicuri dengan diam-diam. Maka setelah ber- cerai-berainya para pejuang, lalu bagaimanakah sanggup mengumpulkan mereka? Dan kalau sanggup maka bagaimanakah dipecahkan satu dinar-
178
umpamanya — kepada seribu atau dua ribu pejuang? Maka Uang tersebut seharuslah disedekahkan.
Dan adakalanya dari harta perang dari benda yang tidak bergerak dan harta-harta yang ditujukan untuk kemuslihatan kaum muslimin seluruhnya. Maka diserahkan yang demikian itu, untuk jembatan-jembat- an, masjid-masjid, surau-surau, usaha-usaha pada jalan ke Makkah dan hal- hal yang seperti ini, yang dapat bermanfa'at untuk semua orang yang melalui jalan itu dari kaum muslimin. Supaya merata bagi kaum muslimin seluruhnya.
Hukum dari bahagian pertama tadi, tak ada syubhat padanya. Ada pun bersedekah dan membangun jembatan-jembatan. maka seharuslah diurus oleh hakim. Maka diserahkanlah kepadanya harta, kalau diperoleh hakim (qadli) yang beragama. Dan kalau hakim itu orang yang menghalalkan apa yang tidak terang halal, maka dengan menyerahkan kepadanya, ia menanggung, jikalau dimulainya apa yang tidak menjadi tanggungannya. Maka bagaimanakah gugur daripadanya tanggungan yang telah tetap diatas pundaknya? Tetapi hendaklah dalam hal ini - diangkat seorang perantara (hakam) dari penduduk negeri yang berilmu dan yang beragama. Karena dengan pengangkatan hakam tersebut, adalah lebih utama daripada hakim itu sendirian. Kalau tidak sanggup daripada mengangkatkan hakam, maka hendaklah la mengurus yang demikian itu, oleh dirinya sendiri saja. Karena yang dimaksudkan ialah pengurusan. Adapun orang yang mengurus itu sendiri, sesungguhnya kita minta dia untuk urusan-urusan yang halus-halus . tentang kemuslihatannya. Maka janganlah ditinggalkan pokok urusan itu, disebabkan lemah orang yang mengurusnya, dimana ia lebih utama ketika mempunyai kesanggupan untuk itu.
Kalau ada yang menanyakan, apakah dalil harusnya bersedekah dengan barang yang haram? Bagaimanakah bersedekah dengan barang yang bukan milik sendiri? Dan segolongan ulama-beraliran, bahwa yang demikian itu tidak dibolehkan. Karena dia itu haram.
Diceriterakan dari Al-Fudlail, bahwa jatuh kedalam tangannya dua dirham. Maka tatkala diketahuinya bahwa kedua dirham itu tidak menurut caranya, lalu dilemparkannya kedalam batu-batu, seraya berkata: "Aku tidak bersedekah, melainkan dengan yang baik. Dan aku tidak rela untuk orang lain dari aku, akan apa yang aku tidak rela untuk diriku sendiri". Maka disini kami jawab, ya, yang demikian itu mempunyai alasan dan kemungkinan. Dan kami sesungguhnya memilih yang sebaliknya, karena hadits, atsar dan qias.
Adapun hadits, maka perintah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . supaya disedekahkan kambing panggang yang disugukan kepadanya, maka perkataannya bahwa kambing itu haram, karena Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda: "Berikanlah kambing.
179
panggang itu untuk makanan orang-orang tawanan!" (1). Dan tatkala turun wahyu Allah Ta'ala:
 فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ, غُلِبَتِ الرُّومُ , الم                                                              
(Alif-Lam mim. Ghulibatir-ruumu fii adnal-ar-dli, wa hum min ba'di gha- labihim sayaghlibuun).
Artinya: "Alif, lam, Mim. Dikalahkan kerajaan Rum. Dinegeri yang dekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti". — S. Ar-Rum, ayat 1-2-3. Lalu wahyu ini didustakan oleh kafir musyrik. Dan mereka mengatakan kepada para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم  .: "Apakah pendapatmu tentang yang dikatakan oleh temanmu (Nabi صلى الله عليه وسلم  .) yang menda'wakan, bahwa Rum itu akan kalah?" Lalu Abubakar r.a. bertaruh dengan mereka itu dengan seizin Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . Maka tatkala dibuktikan oleh Allah akan kebenarannya, lalu datanglah Abubakar membawa barang taruhan yang beliau menangkan dalam pertaruhan dengan kafir musyrik itu. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم   bersabda: "Ini adalah haram, maka sedekahkanlah dia!" (2). Dan kaum mu'min amat bergembira dengan pertolongan Allah. Dan turunlah ayat yang mengharamkan pertaruhan, sesudah diizinkan oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . kepada Abubakar r.a. dalam pertaruhan - menghadang bahaya - dengan kafir-kafir itu.
Adapun atsar, maka yaitu: bahwa Ibnu Mas'ud r.a. membeli seorang budak perempuan. Lalu tidak berjumpa dengan pemiliknya untuk melunaskan harganya. Maka Ibnu Mas'ud mencari pemilik itu beberapa lama- nya, tetapi tidak juga bertemu. Lalu ia bersedekah dengan harganya itu, seraya mendo'a: "Wahai Allah, Tuhanku! Ini adalah dari pemilik itu kalau ia setuju. Dan kalau tidak, maka pahalanya bagiku". Al-Hasan r.a. ditanyakan orang tentang tobat orang yang mengambil harta rampasan perang dengan diam-diam dan apa yang diambil daripadanya sesudah bercerai-berai tentara, maka beliau menjawab: "Harta- itu supaya disedekahkan".
Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki didorong oleh nafsunya, lalu mengambil dengan diam-diam seratus dinar dari harta rampasan perang. Kemudian, ia datang kepada amirnya, untuk mengembalikan uang itu. Maka amir tersebut enggan menerimanya dan menjawab: "Bagi-bagikanlah kepada orang banyak!"
Lalu orang tadi datang kepada Mu'awiyah, maka enggan pula Mu'a-wiyah. menerimanya. Kemudian ia datang kepada sebagian orang zuhud yang kuat mengerjakan ibadah. Maka orang zuhud itu menjawab: "Serahkan seperlimanya kepada Mu'awiyah dan bersedekahlah yang tinggal daripada nya!"
1. Dirawikan Ahmad dari seorang anshar dan isnadnya baik.
2. Dirawikan At-Tirmidzi dan Al-Hakim dan dipandangnya shahih
180
Maka sampailah kepada Mu'awiyah perkataan orang zuhud itu, laiu Mu'awiyah merasa sedih dan menyesal. Karena tiada terguris yang demikian dalam pikirannya. Dan telah berpendapat yang demikian Ahmad bin Hambal, Al-Harts Al-Muhasibi dan segolongan orang-orang wara'. Adapun qias, maka yaitu, dikatakan: bahwa harta tersebut terumbang- ambing antara disia-siakan dan diserahkan kepada jalan kebajikan. Karena telah putus-asalah daripada memperoleh pemiliknya. Dan dengan mu- dah dapat dimaklumi, bahwa menyerahkannya kepada kebajikan, adalah lebih utama daripada melemparkannya kedalam laut. Karena kalau kita lemparkan kedalam laut, maka kita telah hilangkan harta itu terhadap diri kita sendiri dan terhadap pemiliknya. Dan tak ada faedah apa-apa dari tindakan yang demikian. Dan apabila kita lemparkan kedalam tangan orang miskin, yang berdo'a kepada pemiliknya, niscaya berhasillah bagi pemiliknya keberkatan dari do'a itu. Dan berhasil bagi simiskin itu meme- nuhi keperluan hidupnya. Dan berhasilnya pahala bagi sipemilik, tanpa usahanya sendiri dalam bersedekah itu, tidaklah seyogianya dibantah. Karena pada suatu hadits shahih tersebut:
أن للزارع و الغارس أجرا في كل ما يصيبه الناس و الطيور من ثماره وزرعه
(Inna lizzaari'i wal-ghaarisi ajran fii kulli maa yushii-buhunnaasu wath- thuyuuru min tsimaarihi wa zar'ih).Artinya: "Sesungguhnya bagi petani dan penanam, memperoleh pahala pada tiap-tiap apa yang diperoleh manusia dan burung dari buah-buahan dan .tanamannya" (1).
Dan yang demikian itu, adalah tanpa usahanya sendiri. Adapun perkataan orang yang mengatakan: "Janganlah kita bersedekah, kecuali dengan yang baik (halal)". maka yang demikian itu, adalah apabila kita mencari pahala untuk diri kita sendiri. Dan kita sekarang mencari kelepasan dari kezaliman, bukan pahala. Dan kita ragu-ragu diantara menyianyiakan harta itu dan menyedekahkannya. Dan kita kuatkan segi menyedekahkan dari segi menyia-nyiakan. Dan perkataan orang yang mengatakan: "Kami tidak rela untuk orang lain dari kami, akan apa yang kami tidak rela untuk diri kami sendiri", maka itu begitu pula. Tetapi haram untuk kita sendiri, karena kita tidak memerlukan kepada harta itu. Dan bagi orang miskin adalah halal, karena dihalalkan untuknya oleh dalil agama.
Apabila dikehendaki oleh kemuslihatan akan penghalalannya, niscaya wajiblah penghalalan itu. Dan apabila telah halal, maka relalah kita yang halal itu untuknya. Dan kami mengatakan, bahwa baginya boleh bersedekah
1. Dirawikan Al-Bukhari dari Anas.
181
kepada dirinya sendiri dan keluarganya apabila keluarganya itu miskin. Adapun keluarga dan ahli familinya, maka tidaklah tersembunyi, karena kemiskinan berada pada mereka, dengan adanya mereka itu dari keluarga dan ahli familinya. Bahkan mereka adalah lebih utama orang-orang yang disedekahkan. Adapun ia sendiri, maka bolehlah mengambil sekedar keperluan, karena diapun orang miskin. Dan kalau ia bersedekah kepada orang miskin yang lain, niscaya dibolehkan. Dan demikian juga, apabila dia itu miskin. Dan marilah kami gambarkan pula dalam penjelasan pokok ini beberapa mas-alah:
Suatu Mas-alah.
Apabila berada dalam tangannya harta yang bcrasal dari sultan, maka segolongan ulama mengatakan, supaya harta itu dikembalikan kepada sultan. Maka sultanlah yang lebih tahu apa yang akan diperbuatnya, lalu di- turutinya menurut kebiasaan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya. Dan itu, adalah lebih baik daripada harta itu disedekahkan. Al-Muhasibi memilih pendapat tersebut dan mengatakan: "Bagaimana harta itu disedekahkan? iCarena mungkin harta itu ada pemiliknya yang tertentu. Dan jikalau diperbolehkan yang demikian, niscaya diperbolehkan mencuri dari harta yang ada dalam tangan sultan dart harta itu disedekahkan".
Dan segolongan ulama mengatakan: "Harta itu disedekahkan apabila diketahui bahwa sultan itu tidak akan mengembalikannya kepada sipemilik- nya. Karena yang demikian itu menolong orang zalim dan memperbanyak- kan sebab kezalimannya. Maka mengembalikan harta itu kepada sultan, adalah menghilangkan hak pemiliknya.
Dan pendapat yang terpilih (yang lebih benar), ialah: bahwa apabila diketahui dari kebiasaan sultan, bahwa ia tidak akan mengembalikan kepada pemiliknya, maka hendaklah ia menyedekahkannya sebagai ganti pemiliknya. Dan yang demikian itu, adalah lebih baik bagi sipemilik, kalau harta itu mempunyai pemilik yang tertentu, daripada dikembalikan kepada sultan. Karena kadang-kadang harta itu tidak mempunyai pemilik tertentu dan harta itu adalah milik kaum muslimin. Maka mengembalikannya kepada sultan, adalah menghilangkannya. Dan kalau ada pemiliknya yang tertentu, maka mengembalikannya kepada sultan adalah menghilangkannya. Dan menolong sultan yang zalim dan menghilangkan keberkatan do'a orang miskin kepada sipemilik itu. Dan ini adalah jelas!
Apabila berada dalam tangannya harta pusaka orang dan ia tiada melam- paui batas, dengan mengambilnya dari sultan, maka serupalah harta itu dengan barang yang diperoleh dijalanan (luqthah), yang tiada harapan diketahui pemiliknya. Karena tidak boleh baginya mempergunakan harta itu
182
dengan menyedekah, sebagai ganti sipemiliknya. Tetapi baginya boleh niat memiliki harta itu. Kemudian, walaupun ia orang kaya, dimana ia telah mengusahakan harta itu dari cara mubah (cara yang diperbolehkan), yaitu: berniat memiliki harta luqthah. Dan disini (pada harta pusaka) itu, tidaklah harta itu diperoleh dari cara mubah. Maka diutamakan mencegahnya daripada niat memiliki dan tidak diutamakan mencegahnya dari pada bersedekah.
Suatu Mas-alah.
Apabila berada dalam tangannya harta yang tidak berpemilik dan kita perbolehkan baginya mengambil sekedar keperluannya, karena kemiskinannya, maka mengenai: kadar keperluannya itu, ada pandangan yang telah kami sebutkan dahulu pada "Kitab Rahasia Zakat". Segolongan ulama mengatakan: "ia mengambil untuk cukup setahun bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Dan kalau ia sanggup membeli barang atau berniaga, dimana ia berusaha dengan yang tersebut bagi keluarganya, maka hendaklah dikerjakannya. Dan inilah yang dipilih oleh Al-Muhasibi. Tetapi beliau berkata: "Yang lebih utama, ialah bersedekah dengan semu- anya, jikalau ia memperoleh pada dirinya kekuatan tawakkal. Dan menunggu kemurahan Allah Ta'ala pada yang halal. Jikalau ia tidak sanggup, maka bolehlah ia membeli barang atau membuat modal, yang dapat ia hi- dup dengan hasil yang baik dari modal itu. Dan tiap-tiap hari ia memper­oleh padanya yang halal, yang dapat menahan hari itu daripadanya. Maka apabila telah habis, lalu ia kembali mencarinya lagi. Apabila ia memperoleh halal yang tertentu, niscaya disedekahkannya, sebanyak yang telah dibelanjakannya sebelumnya. Dan adalah yang demikian itu hutang padanya. Kemudian ia memakan roti dan meninggalkan daging, jika sanggup ia secara yang demikian. Dan kalau tidak, niscaya dimakannya daging, tanpa berlebih-lebihan nikmat dan meluas. Dan apa yang disebutkannya, tak ada berlebihan. Tetapi dijadikannya apa yang dibelanjakannya sebagai hutang padanya. Maka mengenai ini ada pandangan.
Dan tak ragu lagi, mengenai orang yang wara', akan menjadikannya sebagai hutang. Maka apabila ia memperoleh yang halal, niscaya ia bersedekah sebanyak hutang itu.
Tetapi manakala yang demikian itu, tidak diwajibkan atas orang miskin yang disedekahkan kepadanya, maka tidaklah jauh, bahwa tidak pula wajib atasnya, apabila ia mengambilnya karena kemiskinannya. Lebih-le- bih apabila jatuh kedalam tangannya harta pusaka dan ia tidak berbuat yang melampaui batas dengan perampokan dan usahanya. Sehingga beratlah urusan kepadanya dalam hal keadaan yang tersebut itu.
183
Suatu Mas-alah
Apabila ada dalam tangannya yang halal dan yang haram atau syubhat dan tidaklah semuanya itu melebihi dari keperluannya. Maka apabila ia mempunyai keluarga; niscaya hendaklah ditentukan bagi dirinya dengan yang halal. Karena alasan kepadanya, adalah lebih kuat pada dirinya sendiri daripada mengenai hambanya, keluarganya dan anak-anaknya yang kecil. Dan anak-anaknya yang besar, ia menjaga mereka itu dari yang haram, kalau yang demikian itu tidak membawa mereka kepada yang lebih sulit lagi. Dan kalau membawa kepada yang lebih berat, maka hendaklah diberinya mereka makanan sekedar diperlukan.
Kesimpulannya, tiap-tiap yang ditakutinya pada orang Iain, maka itu adalah ditakutinya pada dirinya sendiri dan malah lebih lagi. Yaitu: yang mengenai ilmu pengetahuan dan kekeluargaan, yang kadang-kadang sukar, apabila tidak diketahui. Karena tidak mengurus keadaan itu oleh dirinya sendiri.
Dari itu, maka hendaklah dimulai dengan yang halal untuk diri sendiri, kemudian dengan orang yang menjadi tanggungannya. Dan apabila meragukan tentang hak dirinya sendiri, antara yang khusus dengan makanan dan pakaiannya dan antara yang lainnya dari berbagai macam perbelanja- an, seperti: ongkos pembekam, pencelup, penggunting, pemikul, mencat dengan kapur dan minyak, pembangunan tempat tinggal, penyediaan ken- deraan, pengisian lampu, harga kayu api dan minyak lampu, maka hendaklah dikhususkannya dengan yang halal akan makanan dan pakaiannya. Karena yang berhubungan dengan tubuhnya dan tak boleh tidak daripadanya, adalah lebih utama bahwa adanya itu baik.
Dan apabila berkisar keadaan antara makanan dan pakaian, maka mungkinlah untuk dikatakan, bahwa ditentukan makanan dengan yang halal. Karena makanan itu bercampur dengan daging dan darahnya. Dan tiap-tiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah yang lebih utama dengan dia.
Adapun pakaian, maka faedahnya menutupi aurat, menolak panas dan di- ngin serta menolak kelihatan kulitnya. Dan inilah yang lebih terang kebe- narannya padaku.
Dan Al-Harts Al-Muhasibi berkata, bahwa didahulukan pakaian. Karena pakaian itu tinggal padanya beberapa lama. Dan makanan tidak tinggal padanya. Karena apa yang dirawikan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda: "Tidak diterima oleh Allah, shalat orang yang padanya kain, yang dibelinya dengan sepuluh dirham, dimana padanya ada sedirham yang haram" (i).
Ini mungkin. Tetapi contoh-contoh yang seperti ini, telah datang juga mengenai orang yang dalam perutnya haram dan dagingnya tumbuh dari
I. Dirawikan Ahmad dari Ibnu Umar.
184
yang haram. Maka memeiihara daging dan tulang, bahwa ia tumbuh dari yang halal, adalah lebih utama. Dan karena itulah, Abubakar Ash-Shiddiq memuntahkan apa yang telah diminumnya dengan tidak tahu. Sehingga tidaklah tumbuh daripadanya daging, yang tetap dan kekal. Kalau ada yang mengatakan, bahwa: apabila adalah semuanya itu menju- rus kepada maksudnya, maka apakah bedanya antara dirinya dan bukan dirinya dan antara satu pihak dan pihak yang lain dan apakah yang harus diketahui dari perbedaan ini?
Kami menjawab: Yang demikian itu diketahui dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Rafi' bin Khudaij r.a. meninggal dunia dan meninggalkan seekor unta penyiram tanaman dan seorang budak pembekam. Lalu ditanyakan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . tentang yang demikian itu, maka Nabi صلى الله عليه وسلم  . melarang dari memakan usaha budak pembekam itu. Berkali-kali orang kembali menanyakan yang demikian kepada Nabi صلى الله عليه وسلم  . tetapi terus melarang. Lalu dikatakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم  ., bahwa Rafi' mempunyai beberapa orang anak yatim, maka Nabi صلى الله عليه وسلم  . menjawab: "Berikanlah hasil usaha pembekam itu untuk makanan unta penyiram tanaman!" (1). Maka ini menunjukkan kepada perbedaan, antara apa yang dimakan oleh- nya sendiri atau hewannya. Apabila telah terbuka jelas jalan perbedaan, maka qiaskanlah kepadanya uraian yang telah kami sebutkan itu!
Suatu Mas-alah.
Harta haram yang berada dalam tangannya, kalau ia sedekahkan kepada orang-orang miskin, maka bolehlah ia memperluaskan pemberiannya kepada mereka. Dan apabila ia berbelanja kepada dirinya sendiri, maka hendaklah ia mempersempitkan pengeluarannya sekedar saja. Dan apa yang dibelanjakannya kepada keluarganya, maka hendaklah ia berhemat dan hendaklah sedang (ditengah-tangah) antara meluaskan dan menyem- pitkan..
Dari itu, maka jadilah tiga tingkat. Kalau ia berbelanja untuk tamu yang datang kepadanya dan tamu itu orang miskin, maka hendaklah ia memperluaskan kepada tamu tersebut. Dan kalau tamu itu orang kaya, maka janganlah diberi makanan kepadanya. Kecuali apabila ia berada pada padang Sahara atau ia datang pada malam hari dan ia tidak memperoleh sesuatu. Karena dia pada waktu itu, adalah orang fakir. Dan kalau orang miskin yang datang itu seorang tamu yang taqwa, jikalau tahulah ia yang demikian, niscaya ia bersikap wara' daripadanya, maka hendaklah dibawa makanan dan diterangkan kepadanya, untuk mengurn- pulkan antara hak seorang tamu dan meninggalkan penipuan! Maka tiada seharuslah ia memuliakan saudaranya dengan apa yang tiada disukainya.
1. Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dari 'Abayah bin Rifa'ah bin Khudaij. Hadits ini disangsikan.
185
Dan tiada seharuslah ia berpegang, bahwa ia tiada tahu, lalu tiada membawa kemelaratan kepadanya. Karena yang haram itu, apabila telah ada dalam perut, niscaya membekas kepada kekesatan hati, walaupun tidak diketahui oleh yang punya hati itu. Dan karena itulah, Abubakar dan Umar r.a. memuntahkan apa yang telah diminumnya, walaupun keduanya meminum itu, dengan tiada mengetahui sama sekali. Dan pahamilah ini! Dan kalau kami telah mengeluarkan fatwa dengan halalnya kepada orang-orang miskin, niscaya kami halalkan itu berdasar- kan keperluan kepadanya. Maka itu adalah seperti babi dan khamar, apabila kita halalkan karena darurat. Maka tidaklah ia berhubungan dengan barang-barang yang baik.
Suatu Mas-alah.
Apabila adalah yang haram atau yang syubhat itu, dalam tangan ibu-ba- panya, maka hendaklah mencegah diri dari memakan bersama keduanya. Kalau keduanya marah, maka janganlah menyetujuinya pada yang semata-mata haram. Tetapi melarang keduanya. Maka tiadalah tha'at kepada makhluk dalam berbuat ma'shiat kepada Allah Ta'ala. Kalau harta itu syubhat dan mencegah dari memakannya adalah untuk wara', maka ini bertentangan dengan itu, bahwa yang wara', ialah mencari kerelaan keduanya. Bahkan mencari kerelaan itu adalah wajib. Maka hendaklah dengan lemah-lembut pada tidak menurutinya! Jikalau tidak sanggup berlemah-Iembut itu, maka hendaklah ia menyetujuinya. Dan makanlah sedikit, dengan mengecilkan suap melamakan pengu- nyahan makanan. Dan tidak meluaskan makan. Karena penolakan itu menimbulkan permusuhan.
Saudara laki-laki dan saudara perempuan adalah mendekati kepada yang demikian. Karena hak keduanya juga kuat. Dan begitu pula, apabila ia di- beri pakaian oleh ibunya dengan kain syubhat dan ibu itu marah kalau ditolak. Maka hendaklah diterima dan hendaklah dipakai dihadapannya. Dan hendaklah dibuka waktu dibelakangnya. Dan hendaklah menjaga benar, tidak akan bershalat pada kain itu, kecuali ketika ada ibunya. Maka bershalatlah pada kain tadi, sebagai shalatnya orang yang terpaksa. Dan ketika bertentanganlah sebab-sebab wara', maka seharuslah dianggap tidak ada detik-detik yang halus ini.
Diceriterakan dari Bisyr r.a. bahwa ibunya menyerahkan kepadanya buah tamar yang belum kering (buah ruthab), seraya mengatakan: "Haruslah engkau makan buah ruthab ini!" Sedang Bisyr tidak suka memakannya. Maka makanlah beliau. Kemudian beliau naik kekamar atas, lalu ibunya pun naik dibelakangnya. Maka ibunya melihatnya memuntah-muntah. Ia berbuat demikian, karena ia ingin mengumpulkan diantara kerelaan ibu dan pemeliharaan perut dari yang tidak halal. Ada orang yang mengatakan kepada Ahmad bin Hanbal, bahwa Bisyr ditanyakan: "Adakah mentha'ati ibu-bapa itu pada yang syubhat? "Lalu Bisyr menjawab: "Tidak!" Maka- Ahmad bin Hanbal menjawab: "Ini keras sekali!" Lalu dikatakan kepada Ahmad bin Hanbal, bahwa ditanyakan Muhammad bin Muqatil Al-'Abbadani tentang syubhat itu. Lalu beliau menjawab: "Berbuat baik- lah kepada ibu-bapamu!" Apakah yang akan kamu katakan tentang itu?" Lalu Muhammad bin Muqatil mengatakan kepada yang bertanya itu: "Aku suka kiranya engkau mema'afkan aku, karena sesungguhnya aku telah mendengar, apa yang dikatakan oleh ibu-bapa itu". Kemudian, Ahmad bin Hanbal menjawab: "Alangkah baiknya engkau berbuat kebajikan kepada ibu-bapa itu".
186
Suatu Mas-alah.
Barang siapa yang dalam tangannya harta haram semata-mata, maka tak adalah hajji atasnya dan tidak harus ia mengeluarkan kafarat harta, karena dia itu orang pailit. Dan tak wajib atasnya zakat. Karena arti zakat, ialah: wajib mengeluarkan seperempatpuluh harta umpamanya. Dan dalam hal ini, ia wajib mengeluarkan semuanya. Adakalanya, mengembalikan kepada pemiliknya, kalau dikenalnya atau diserahkan kepada fakir- miskin, kalau tidak dikenalnya pemiliknya.
Adapun apabila harta itu harta syubhat, yang mungkin bahwa harta itu halal, maka apabila tidak dikeluarkannya dari tangannya, niscaya haruslah ia mengerjakan hajji. Karena keadaannya halal itu mungkin. Dan hajji itu tidak gugur, kecuali dengan kemiskinan. Dan dalam hal ini kemiskinannya itu tidak diyakini. Allah Ta'ala berfirman: "Allah mewajibkan kepada manusia menyengaja Rumah Suci (mengerjakan hajji), yaitu: orang yang kuasa mengadakan perjalanan kepadanya". - S. Ali 'Imran, ayat 97. Apabila wajib atasnya bersedekah dengan apa yang berlebih dari keperluannya, dimana berat dugaannya haramnya barang tersebut, maka zakat- nya adalah lebih utama diwajibkan. Dan kalau harus ia mengeluarkan kafarat, maka hendaklah dikumpulkannya antara puasa dan memerdeka- kan budak. Supaya terlepaslah ia dengan yakin. Dan berkata suatu golongan, haruslah ia melakukan puasa, tidak mengeluarkan makanan. Karena ia tidak mempunyai kemampuan yang dimaklumi.
Dan berkata Al-Muhasibi: "Mencukupilah ia dengan mengeluarkan makanan". Dan pendapat yang kami pilih, ialah: bahwa tiap-tiap syubhat itu, kita hukumkan dengan wajib ' menjauhkannya dan kita haruskan mengeluarkannya dari tangannya. Karena kemungkinan haram adalah lebih keras, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan dahulu. Maka haruslah ia mengumpulkan antara puasa dan memberi makanan. Adapun puasa maka pada hukum, adalah karena dia itu orang pailit. Dan adapun memberikan makanan, maka karena telah diwajibkan kepadanya bersedekah semuanya. Dan mungkin harta itu kepunyaannya maka adalah
187
keharusan itu dari segi kafarat.
Suatu Masalah
Barangsiapa yang dalam tangannya harta haram, yang ditahannya untuk sesuatu keperluan, lalu ia bermaksud mengerjakan hajji sunat, maka kalau ia berjalan kaki, niscaya tiada mengapa. Karena ia akan memakan harta tersebut pada bukan ibadah. Lalu memakannya pada ibadah, adalah lebih utama.
Kalau ia tidak sanggup berjalan kaki dan memerlukan kepada tambahan untuk kenderaan, maka tidaklah diperbolehkan mengambil untuk keperluan seperti ini diperjalanan, sebagaimana tidak diperbolehkan membeli kenderaan sewaktu dikampung (tidak diperjalanan). Kalau ia mengharap akan sanggup memperoleh yang halal, kalau ia terus tinggal dikampung, dimana ia tidak memerlukan kepada haram-haram yang lain, maka menetap dikampung untuk menunggu yang halal itu, adalah lebih utama daripada hajji dengan berjalan kaki, dengan harta yang haram.
Suatu Mas-alah.
Barangsiapa keluar untuk mengerjakan hajji wajib dengan harta, yang padanya ada syubhat, maka hendaklah ia bersungguh-sungguh berusaha supaya adalah makanannya dari yang halal (yang baik). Kalau ia tidak sanggup, maka hendaklah yang halal itu dari waktu ihram, sampai kepada waktu tahallul. Kalau tidak juga sanggup, maka hendaklah ia berusaha sungguh-sungguh pada hari 'Arafah, bahwa tidak adalah tegaknya diha- dapan Allah dan do'any a, pada waktu makanannya itu haram dan pakaiannya itu haram. Maka hendaklah ia berusaha sungguh-sungguh bahwa tak adalah dalam perutnya itu yang haram dan tak ada pada punggungnya itu haram. Karena kita, walaupun kita perbolehkan ini disebabkan karena keperluan, maka itu adalah semacam darurat. Dan apa yang kita hubung- kan itu, dengan yang baik-baik (yang halal). Karena tidak sanggup, maka hendaklah ia mengharuskan hatinya dengan takut dan susah. Karena dia itu terpaksa menggunakan sesuatu yang tidak baik (yang tidak halal) itu. Semoga Allah memandang kepadanya dengan pandangan rahmat. Dan melepaskan dia daripadanya, disebabkan kegundahan, ketakutan dan kebenciannya kepada yang tidak baik itu.
Suatu Mas-alah.
Ditanyakan Ahmad bin Hanbal r.a., dimana yang bertanya itu menerangkan kepadanya: "Ayahku telah meninggal dunia dan meninggalkan harta.
188

Dan beliau mengadakan mu'amalah dengan orang yang dimakruhkan bermu'amalah". Lalu Iman Ahmad bin Hanbal menjawab: "Engkau tinggalkan dari hartanya sekedar dari keuntungannya".
Yang bertanya itu menyambung: "Ia mempunyai piutang dan hutang". Maka Imam Ahmad menjawab: Engkau bayar dan engkau menerima pembayaran".
Orang itu lalu bertanya: "Apakah tuan berpendapat demikian?"
Maka Ahmad bin Hanbal r.a. menjawab: "Apakah engkau membiarkan-
nya ditahan, disebabkan hutangnya?"
Apa yang disebutkan itu adalah benar. Yaitu menunjukkan, bahwa beliau melihat harus berhati-hati dengan mengeluarkan kadar yang haram. Karena beliau berkata: "dikeluarkan sekedar keuntungan". Dan beliau melihat, bahwa segala benda dari hartanya itu adalah miliknya, sebagai ganti daripada apa yang diberikannya pada mu'amalah yang batal, dengan jalan balas-membalas dan terima-menerima. Manakala banyaklah pelaksanaan mu'amalah dan sukarnya pengembalian dan berpegang pada pembayaran hutangnya itu kepada keyakinan, maka tidaklah ditinggalkan, disebabkan syubhat.
189

BAB KELIMA: mengenai segala harta kurnia sultan dan segala pemberi-
an mereka, yang halal daripadanya dan yang haram.

Ketahuilah kiranya, bahwa barangsiapa mengambil harta dari seorang sul­tan (penguasa), maka tak boleh tidak harus memperhatikan tiga perkara: tentang masuknya harta itu kedalam tangan sultan, dari mana harta itu, tentang sifatnya, yang dengan sifat itu, ia berhak mengambilnya dan ten­tang kadar yang diambilnya, adakah ia berhak apabila disandarkan kepada keadaannya dan keadaan sekutu-sekutunya dalam berhaknya itu.

PERHATIAN PERTAMA: tentang pihak-pihak masuknya uang bagi sul­tan.

Tiap-tiap yang halal bagi sultan, selain dari tempat-tempal orang ramai dan yang berkongsi padanya rakyat, ialah dua bahagian: Bagian pertama: yang diambil dari orang-orang kafir. Yaitu: harta ram- pasan (ghanimah), yang diambil dengan paksaan dan harta fai', yaitu: hasil yang diperoleh dari orang-orang kafir dalam tangan sultan, tanpa pe- perangan, pajak (jizyah) dan harta-harta yang diperoleh dengan perdamai- an, yaitu: yang diambil dengan syarat-syarat dan perjanjian. Bahagia kedua: yang diambil dari kaum muslimin. Maka tidak halal dari­padanya, kecuali dua bahagian: harta warisan dan Iain-lain barang hilang yang tak tentu pemiliknya dan harta-harta waqaf yang tak mempunyai pen gurus.

Adapun sedekah (zakat) maka tidaklah terdapat pada masa ini. Dan selain dari itu, yang merupakan cukai yang diwajibkan atas orang-orang muslim, harta-harta yang diminta dengan paksaan dan bermacam-macam uang sogok (rasuah). Semuanya itu, adalah haram. Maka apabila sultan menetapkan untuk seorang ahli fiqh (faqih) atau orang yang lain, sesuatu kurnia, pemberian atau anugerah diatas suatu hal, maka tidaklah terlepas dia dari delapan hal: adakalanya sultan mene­tapkan yang demikian baginya atas jizyah atau harta warisan atau harta waqaf atau atas milik yang dihidupkan oleh sultan atau atas milik yang dibelinya atau atas pekerja uang cukai orang-orang Islam atau atas penju- al dari sejumlah para saudagar atau atas harta simpanan negara. Maka yang pertama, yaitu: jizyah. Empat perlima daripadanya adalah untuk kepentingan umum dan seperlimanya adalah untuk pihak-pihak ter tentu.

Maka apa yang ditentukan pada seperlima dari pihak-pihak itu atau pada empat perlima untuk sesuatu yang ada padanya kemuslihatan umum dan dijaga padanya kehatihatian, tentang kadarnya, maka itu adalah halal, dengan syarat, bahwa tak ada jizyah itu, kecuali diwajibkan secara agama, Tak ada padanya berlebih dari sedinar atau empat dinar. Karena juga itu
190
termasuk pada tempat ijtihad. Dan bagi sultan boleh berbuat sesuatu, apa yang ada pada tempat ijtihad. Dan dengan syarat bahwa orang dzimmi (orang yang bukan Islam, yang berada keamanannya dalam tanggung jawab pemerintah Islam) yang dikutip jizyah daripadanya itu, adalah orang yang berusaha dari cara yang tidak diketahui haramnya. Maka tidaklah pegawai sultan itu zalim dan juga tidak penjual khamar, anak-anak dan wanita. Karena jizyah itu tidak dikenakan atasnya.

Maka inilah hal-hal yang harus diperhatikan, tentang cara mengenakan jizyah, kadarnya, sifat orang yang diserahkan jizyah kepadanya dan kadar yang akan diserahkan. Maka haruslah diperhatikan pada semua itu.
Yang kedua: harta warisan dan harta-harta hilang dari pemiliknya. Maka harta-harta ini, adalah untuk kepentingan umum. Dan diperhatikan, ten­tang orang yang meninggalkan harta itu, adakah hartanya semuanya itu haram atau yang terbanyak daripadanya atau bahagian yang tersedikit da­ripadanya. Dan telah diterangkan dahulu hukumnya. Kalau harta tersebut tidak haram, niscaya tinggallah memperhatikan ten­tang sifat orang yang akan diserahkan harta tersebut kepadanya, dengan adanya kemuslihatan umum pada penyerahan kepadanya. Kemudian, mengenai kadar yang diserahkan itu.

Yang ketiga: harta-harta waqaf. Dan demikian juga berlakulah perhatian padanya, sebagaimana berlakunya pada harta warisan, serta tambahan satu hal, yaitu: syarat orang yang mewaqafkan. Sehingga adalah yang di- ambil itu sesuai bagi yang mewaqafkan, dalam segala syarat-syaratnya. Yang keempat: apa yang dihidupkan oleh sultan. Dan ini tidak dipandang padanya sesuatu syarat. Karena sultan itu boleh memberikan dari harta mitiknya, apa yang dikehendakinya, kepada spapa yang dikehendakinya dan berapa yang dikehendakinya.

Hanya yang diperhatikan, ialah tentang kebanyakan, bahwa sultan itu menghidupkan harta yang dimilikinya itu dengan memaksakan orang-orang yang diongkosinya. Atau dengan memberikan ongkos mereka dari harta yang haram. Karena yang dihidupkan oleh sultan itu, terjadi dengan menggalikan parit, tali air, membangun dinding, meratakan tanah. Dan itu tidaklah dikerjakan oleh sultan sendiri.

Kalau orang-orang itu dipaksakan bekerja, niscaya tidaklah menjadi milik sultan. Dan itu adalah haram. Dan kalau orang-orang itu diongkosi, ke mudian wangnya dibayar dari harta haram, maka ini mempusakai syubhat, yang telah kami peringatkan dahulu tentang hubungan kemakruhan dengan 'iwadl. (1).

Yang kelima: apa yang dibeli oleh sultan dengan harga yang tak kontan, baik tanah atau kain pemberian atau kuda atau yang lain-lain. Maka itu adalah miliknya dan ia boleh melakukan sesuatu pada harta tersebut. Te-

1. 'Iwadl, ialah gantian dari sesuatu yang diserahkan, Dan disini gantian dari jerih-payah yang diberikan - Peny.
191

tapi dia akan melunaskan harganya dari yang haram, maka demikian itu pada suatu waktu mewajibkan pengharaman dan pada waktu yang lain syubhat. Dan telah disebutkan dahulu penguraiannya. Yang keenam: bahwa sultan menetapkan atas pekerja uang cukai orang- orang Islam atau orang yang mengumpulkan harta-harta pembahagian dan. harta yang diminta dengan paksaan. Dan itu adalah haram semata-mata,: yang tak ada syubhat padanya. Dan itu adalah bahagian terbanyak dari harta-harta penganugerahan pada zaman ini. Kecuali atas tanah-tanah di Irak, karena itu adalah diwaqafkan menurut Imam Asy-Syafi'i r.a. untuk kemuslihatan kaum muslimin.

Yang ketujuh: apa yang ditetapkan sultan atas penjual yang meiakukan mu'amalah dengan sultan. Kalau orang itu tidak meiakukan mu'amalah, dengan orang lain, maka hartanya adalah seperti harta simpanan sultan. Dan kalau ia ada meiakukan mu'amalah yang lebih banyak dengan orang- orang selain dari sultan, maka apa yang diberikannya itu, adalah merupa- kan hutang atas sultan. Dan ia akan mengambil gantinya dari simpanan negara. Maka kecederaan itu menjalar kepada 'iwadl. Dan telah diterang- kan dahulu hukum harga dari barang yang haram. Yang kedelapan: apa yang ditetapkan oleh sultan atas harta simpanan ne- gara atau atas pekerja yang terkumpul padanya yang halal dan yang ha­ram. Maka kalau tidak diketahui cara uang masuk bagi sultan, selain dari yang haram, maka itu adalah haram semata-mata. Dan kalau diketahui dengan yakin, bahwa harta simpanan negara itu terdiri dari harta halal dan harta haram dan mungkin yang diserahkan kepada yang diberikan itu, terdiri dari harta halal, dengan kemungkinan yang mendekati membekas- nya kedalam jiwa dan mungkin dia itu dari harta haram dan ini adalah yang terbanyak, karena kebanyakan harta sultan itu adalah haram pada masa-masa sekarang ini dan yang halal dalam tangan mereka itu tidak ada atau sangat jarang sekali, maka berbedalah pendapat para ulama dalam hal ini. Segolongan me ng a tak an: "Tiap-tiap yang tidak aku yakini bahwa itu haram, maka aku akan mengambilnya".

Golongan yang lain mengatakan: 'Tidaklah halal diambil, selama tidak diyakini bahwa itu halal. Maka tidak halallah sekali-kali harta syubhat". Kedua golongan tersebut, adalah berlebih-lebihan. Dan yang sedang, ialah apa yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu: hukum, bahwa apabila ada­lah kebanyakannya itu haram, niscaya haramlah dia. Dan kalau adalah kebanyakannya itu halal dan padanya ada yang diyakinkan haram, maka itu menjadi tempat yang kita hentikan dulu persoalannya, sebagaimana te­lah diterangkan dahulu.

Diberi alasan oleh orang yang membolehkan mengambil harta yang dianugerahkan oleh sultan, apabila dalam harta itu ada yang haram dan ada yang halal, manakala tidak diyakini bahwa benda yang diambil itu haram, dengan apa yang diriwayatkan dari segolongan shahabat, bahwa mereka
192
mengetahui hari-hari imam yang zalim dan mereka mengambil harta dari fflnam-imam itu. Diantara mereka: Abu Hurairah, Abu Sa'id Al-Khudri, zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Jarir bin Abdullah, Jabir. Anas bin Malik dan Al-Musawwar bin Makhramah.

'Abu Sa'id dan Abu Hurairah mengambil dari pemberian Marwan dan Jazid bin Abdulmalik. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari pemberian Al- Hajjaj. Dan kebanyakan dari tabi'in mengambil dari imam-imam yang zalim itu, seperti Asy-Sya'bi, Ibrahim, Al-Hasan dan Ibnu Abi Laila. Dan Asy-Syafi'i mengambil dari Harunurrasyid seribu dinar sekaligus. Dan Imam Malik mengambil harta banyak dari khalifah-khalifah. Dan Aii r.a. berkata: "Ambillah apa yang diberikan kepadamu oleh sultan. Karena yang diberikan kepadamu itu, adalah dari yang halal. Dan apa yang diam- bilnya dari yang halal, adalah lebih banyak. Dan sesungguhnya ditinggal- kan oleh orang yang meninggalkan (tidak mau menerima) pemberian dari imam-imam itu, adalah karena: wara', takut membahayakan kepada aga- manya, bahwa ia terbawa kepada yang tidak halal. Tidakkah engkau ketahui ucapan Abi Dzar kepada Al-Ahnaf bin Qis: "Ambillah pemberian apa yang ada dari pemberian itu! Kalau pemberian itu menjadi harga agama- mu, maka tinggalkanlah!"

Abu Hurairah r.a. berkata: "Apabila diberikan kepada kami, niscaya kami terima dan apabila tidak diberikan, maka kami tidak meminta". Diriwayatkan dari Sa'id bin Al-Musayyab, bahwa Abu Hurairah r.a. apabi­la ia diberikan oleh Mu'awiah, maka ia berdiam diri. Dan kalau tidak di­berikan, beliau tidak merasa senang".

Dari Asy-Sya'bi, yang meriwayatkan dari Masruq, yang mengatakan: "Senantiasalah pemberian itu pada orang-orang yang menerima pemberian, sehingga mereka dimasukkan kedalam neraka". Artiinya: ia dibawa oleh yang demikian kepada yang haram, bukan pemberian itu sendiri yang ha­ram.

Nafi meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwa Al-Mukhtar mengirimkan harta kepada Ibnu Umar, maka beliau menerima kiriman itu. Kemudian berkata: "Aku tidak meminta pada seseorang dan aku tidak menolak apa yang dianugerahi oleh Allah kepadaku". Dan Al-Mukhtar menghadiahkan kepadanya seekor unta, maka beliau menerima unta tersebut. Dan orang mengatakan, bahwa unta itu adalah unta dari Al-Mukhtar. Tetapi ini berlawanan dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar r.a. tidaklah menolak hadiab seseorang, selain dari hadiah Al-Mukhtar. Dan sandaran berita tentang penolakannya itu, adalah lebih teguh. Dan dari Nafi' bahwa beliau berkata: "Ibnu Ma'mar mengirimkan kepada Ibnu Umar uang enampuluh ribu. Lalu dibagi-bagikannya kepada orang banyak. Kemudian datanglah kepadanya orang yang meminta. Maka be­liau berhutang untuk orang itu, dari sebahagian orang yang telah diberi- kannya. Dan beliau berikan kepada orang yang meminta itu".
193
Tatkala datang Al-Hasan bin Ali r.a. kepada Mu'awiah r.a. lalu Mu'awiah berkata: "Akan aku berikan kepadamu suatu pemberian, yang belum per nah aku berikan, kepada seseorang sebelum kamu dari orang Arab dan tidak akan aku berikan kepada seseorang sesudah kamu dari orang Arab". Orang yang meriwayatkan ceritera ini menerangkan, bahwa lalu Mu'awiah memberikan kepada AI-Hasan 400.000 dirham dan Al-Hasan terus mengambilnya.

Diriwayatkan dari Habib bin Abi Tsabit, yang mengatakan: "Aku melihat pemberian Al-Mukhtar kepada Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, maka kedua- nya menerima hadiah itu". Lalu orang menanyakan: "Apakah hadiah itu?"
Habib bin Abi Tsabit menjawab: "Uang dan pakaian". Dari Az-Zubair bin 'Uda, yang menerangkan, bahwa Salman berkata: "Apabila kamu mempunyai teman pekerja atau saudagar yang berbuat riba, lalu ia mengundang kamu makan atau sebagainya atau ia memberi­kan kepada kamu sesuatu, maka terimalah! Karena kesenangan adalah bagimu dan dosa adalah atasnya".

Kalau telah tetaplah yang demikian pada orang yang berbuat riba, maka orang zalim samalah halnya.
Dari Ja'far, dimana ia meriwayatkan dari bapaknya, bahwa Al-Hasan dan Al-Husain r.a., keduanya.menerima pemberian Mu'awiyah. Hakim bin Jubair berkata: "Kami pergi kepada Sa'id bin Jubair, dimana ia telah di- pekerjakan didaerah bawahan sungai Al-Furat. Lalu ia mengirim kabar kepada orang-orang yang mengutip bahagian sepersepuluh dari hasil disi- tu: "Berikanlah kepada kami makanan, dari apa yang ada pada kamu!" Lalu makanan itu dikirimkan oleh mereka, maka Sa'id memakannya dan kami pun memakan bersama dia".

Al-'Ala' bin Zuhair Al-Azadi berkata: "Telah datang Ibrahim kepada ba pakku dan Ibrahim itu adalah pekerja di Halwan. Maka ia memberikan kepada bapakku sesuatu, lalu diterimanya. Dan Ibrahim itu berkata: "Tiada mengapa dengan pemberian kaum pekerja. Karena kaum pekerja itu mempunyai perbeianjaan dan rezeki dan masuklah kerumah hartanya dari yang keji dan yang baik. Dan apa yang diberikannya kepada tuan itu, adalah dari hartanya yang baik".

Mereka itu semuanya menerima pemberian sultan-sultan yang zalim dan mereka itu mengutuk orang yang mentha'ati sultan-sultan pada jalan ma'shiat kepada Allah Ta'ala. Dan oleh golongan ini menda'wakan, bah­wa apa yang dinuqilkan tentang segolongan dari ulama terdahulu, tidak mau menerimanya, tidaklah yang demikian itu menunjukkan haram, tetapi wara', seperti khulafa'-rasyidin, Abi Dzar dan orang-orang zuhud yang lain. Mereka tidak mau menerima dari yang halal mutlak karena zahudnya dan dari yang halal yang ditakuti akan membawa kepada yang lebih dita- kuti, lan tar an: wara' dan taqwa.
194
Maka mereka kerjakan itu, adalah menunjukkan kepada bolehnya. Dan mereka tidak mau mengerjakannya, tidaklah menunjukkan kepada peng- haramannya. Dan apa yang dinuqilkan dari Sa'id bin Al-Musayyab, bahwa ia meninggalkan pemberian orang yang diterimanya dalam baitul-mal (kas negara), sehingga terkumpul lebih dari 30.000. Dan apa yang dinuqilkan dari Al-Hasan, tentang katanya: "Aku tidak akan mengambil wudlu' dari air orang yang pekerjaannya menukarkan uang (shairafi), walaupun waktu shalat itu telah sempit, karena aku tidak mengetahui asal hartanya", ada­lah semua itu: wara** yang tidak dapat dibantah. Dan mengikuti mereka atas yang demikian, adalah lebih baik daripada mengikuti mereka pada yang -lebih luas. Tetapi tidak pula haram mengikuti mereka pada yang lebih luas itu.

Maka inilah dia syubhat bagi orang yang membolehkan mengambil harta sultan yang zalim.
Jawaban untuk itu, ialah: bahwa apa yang dinuqilkan tentang mereka me­ngambil itu, adalah terbatas dan sedikit, dibandingkan kepada apa yang dinuqilkan dari penolakan dan penantangan mereka. Dan kalau berjalan kepada penolakan mereka itu oleh kemungkinan wara’ maka berjalanlah kepada pengambilan dari orang yang mengambil itu, tiga kemungkinan, yang berlebih-kurang derajatnya dengan berlebih kurangnya mereka ten­tang: wara’ Maka wara' itu terhadap hak sultan-sultan, mempunyai empat derajat:

Derajat Pertama: bahwa tidak mengambil sekali-kali dari harta sultan-sul­tan itu sedikitpun, sebagaimana diperbuat oleh orang-orang wara' dari mereka. Dan sebagaimana yang diperbuat oleh para khulafa'-rasyidin. Se­hingga Abubakar r.a. itu menghitung semua apa yang diambilnya dari bai­tul-mal, maka berjumlah 6.000 dirham. Lalu dipandangnya itu selaku hu- tangnya pada Baitul-mal. Sehingga Umar r.a. pada suatu hari sedang membagi-bagi harta baitul-mal, lalu masuklah anak perempuannya dan mengambil sedirham dari harta itu. Maka Umar pun bangun memintanya, sehingga jatuhlah kain penutup badan dari salah satu bahunya. Dan anak perempuan itu masuk kerumah familinya sambil menangis dan memasukkan dirham itu kedalam mulutnya. Maka Umar memasukkan anak jarinya, lalu mengeluarkan dirham itu dari mulutnya. Dan melemparkannya kedalam uang pengeluaran negara, seraya mengatakan: "Wahai saudara- saudara! Tidaklah untuk Umar dan keluarga- Umar, melainkan apa yang untuk kaum muslimin, yang dekat dan yang jauh dari mereka". Abu Musa Al-Asy'ari menyapu baitul-mal, lalu menjumpai uang sedir­ham. Maka lewatlah dihadapannya anak Umar r.a., lalu diberikannya uang itu kepadanya. Maka dilihat oleh Umar uang itu dalam tangan anak tersebut, lalu ditanyakannya. Anak itu menjawab: "Diberikan kepadaku oleh Abu Musa".
Maka Umar berkata: "Hai Abu Musa! Tidak ada pada penduduk Madi-
195
nah rumah yang Iebih mudah kepadamu dari keluarga Umar. Engkau ber- maksud, bahwa tidak tinggal dari umat Muhammad s.a.w, seorang pun, melainkan menuntut kami dengan kezaliman". Dan ia kembalikan dirham itu kebaitul-mal. Ini, sedang harta itu adalah halal. Tetapi ia takut, bahwa ia tidak berhak sebanyak itu. Maka ia melepaskan diri untuk agamanya dan menyingkatkan kepada yang tersedikit, karena mengikuti sabda Nabi s.a.w.: "Tinggalkanlah apa yang meragukan kamu, kepada apa yang tidak meragukan kamu!" (1).

Dan karena sabdanya: "Barangsiapa meninggaikannya, maka sesungguhnya ia telah melepaskan diri untuk kehormatannya dan agamanya". (2). Dan karena ia mendengar dari Rasulu'llah s.a.w. dari bersangatan kerasnya tentang harta-harta sultan. Sehingga Nabi s.a.w. bersabda ketika mengutus 'Abbadah bin Ash-Shamit, untuk mengutip sedekah (zakat): "Takutlah akan Allah, wahai Ayah Al-Walid! Janganlah engkau datang pada hari kiamat dengan unta, yang engkau pikul diatas tengkukmu, yang mempunyai suara keras atau lembu yang melenguh atau kambing yang mengembek!"
Lalu 'Abbadah bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Adakah begitu yang akan terjadi?"
"Ya"! jawab Nabi s.a.w.: "Demi Allah yang nyawaku dalam kekuasaan- Nya, kecuali orang yang dikasihi Allah",Maka 'Abbadah menyambung: "Demi Allah yang mengutus engkau dengan sebenarnya! Tiada akan aku perbuat terhadap sesuatu selama lamanya". (3).
 Nabi s.a.w. bersabda:

أني لا أخاف عليكم أن تشركوا بعدي إنما أخاف عليكم أن تنافسوا
(Innii laa akhaafu 'alaikum an tusyrikuu ba'dii. Innii akhaafu 'alaikum an tanaafasuu).
Artinya: "Sesungguhnya aku tiada takut, bahwa kamu akan memperseku tukan Allah sesudahku. Tetapi yang aku takut, ialah kamu akan berlom- ba-lomba (munafasah)" (4).

Sesungguhnya Nabi s.a.w. takut akan bermunafasah mengenai harta. Dan karena itulah Umar r.a. berkata dalam pembicaraan yang panjang, yang menyebutkan didalamnya akan harta baitul-mal: "Sesungguhnya aku tiada mendapati diriku padanya, selain daripada seperti wali harta anak yatim.

1.
Hadits ini sudah diterangkan dahulu, pada bab Halal dan Haram.
2.
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu'man bin Basyir. Dan telah diterangkan da­hulu pada bab kedua, dari hal Halal dan Haram.
3.
Dirawikan Asy-Syafi'i dari Thawus, hadits mursal. Dan dirawikan Abi Yu'la dari Ibnu umar dan isnadnya shahih.
4.
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari 'Uqbah bin Amir.
196
Jikalau aku tiada memerlukan, maka aku menjaga diriku daripada me- ngambilnya. Dan jikalau aku memerlukan, maka aku makan dengan yang baik (yang halal)".

Diriwayatkan, bahwa seorang putera Thaus menulis surat sebagai ganti li- dah ayahnya kepada Umar bin Abdul-'aziz. Lalu Umar memberikan kepa­danya uang tigaratus dinar. Maka Thaus menjual barangnya dan mengi­rimkan harganya tigaratus dinar kepada Umar.

Pahamilah ini, sedang sultan itu adalah seperti Umar bin Abdul-'aziz. Maka ini adalah ^derajat yang tertingi, tentang: wara'. Derajat Kedua: yaitu bahwa diambil harta sultan itu, tetapi sesungguhnya diambil, apabila diketahui, bahwa apa yang diambilnya itu dari pihak yang halal. Maka melengkapinya tangan sultan kepada harta haram yang lain, tidaklah mendatangkan kemelaratan kepada yang mengambil itu. Dan berdasar kepada inilah ditempatkan semua apa yang dinuqilkan dari atsar- atsar atau yang terbanyak dari atsar-atsar itu. Atau apa yang tertentu dari­padanya, dengan para sahabat yang terbesar dan orang-orang wara' dari mereka, seperti: Ibnu 'Umar. Karena dia adalah setengah dari mereka yang sangat bersangatan wara'. Maka bagaimanakah ia berlapang-lapang pada harta sultan? Sedang dia adalah termasuk orang-orang yang sangat menantang terhadap mereka dan yang mencela harta mereka. Yang demikian itu, adalah mereka berkumpul pada Ibnu 'Amir, yang se­dang sakit. Dan ia merasa sayang kepadi dirinya dari pemerintahannya dan keadaannya tersiksa pada sisi Allah Ta'ala dengan pemerintahannya itu. Lalu mereka mengatakan kepadanya: "Sesungguhnya kami mengha- rap bagimu kebajikan. Engkau telah menggali sumur-sumur, engkau beri- kan minuman kepada orang-orang yang mengerjakan hajji dan engkau telah perbuat dan engkau telah perbuat………..        ". dan Ibnu 'Umar berdiam diri saja. Lalu Ibnu 'Amir bertanya: "Apakah yang akan engkau katakan, wahai Ibnu 'Umar?"

Ibnu 'Umar menjawab: "Aku mengatakan yang demikian, apabila baiklah usaha, bersihlah perbelanjaan dan engkau akan dikembalikan, maka eng­kau akan melihat".

Pada pembicaraan yang lain, bahwa Ibnu Umar mengatakan: "Sesungguh­nya yang keji itu, tidak akan menutup yang keji. Dan sesungguhnya engkau telah menjadi wali negeri Basrah dan aku tidak mengira, melain- kan engkau telah memperoleh daripadanya kejahatan". Maka Ibnu 'Amir berkata kepada Ibnu 'Umar: "Apakah tidak tuan ber- do'a kepadaku?"
Ibnu 'Umar menjawab: "Aku mendengar Rasulu'llah s.a.w. bersabda: 'Tidak diterima oleh Allah shalat dengan tiada suci dan sedekah dari harta yang diserobot" (1). Dan engkau telah menjadi wali negeri Basrah".
1. Dirawikan Muslim dari Ibnu 'Umar.
197
Maka ini adalah ucapannya tentang apa yang diserahkannya kepada segala jalan kebajikan,
Dari Ibnu 'Umar r.a,, yang mengatakan pada masa pemerintahan AI-Hajjaj: 'Tidaklah aku kenyang dari makanan sejak aku menguasai kampung itu, sampai kepada hariku ini".

Diriwayatkan dari Ali ra, bahwa ia mempunyai tepung gandum yang halus dalam bejana yang tertutup, dimana ia minum pada bejana itu. Maka orang menanyakan kepadanya: "Adakah tuan perbuat ini di Irak, serta banyak makanannya?"
Ali r.a. menjawab: "Sesungguhnya aku tidak menutup bejana itu karena kikir, tetapi aku tidak suka dimasukkan kedalamnya, apa yang tidak dari­padanya dan aku tidak suka masuk keperutku yang tidak baik". Maka inilah yang biasa dari mereka!

Adalah Ibnu 'Umar, tiada sesuatu yang menakjubkannya, melainkan be- liau keluar daripadanya. Maka Nafi' meminta daripadanya tigapuluh riba, lalu beliau menjawab: "Sesungguhnya saya takut, akan terperdaya aku oleh dirham Ibnu 'Amir dan adalah ia yang meminta. Pergilah! Engkau itu bebas".

Abu Sa'id Al-Khudri berkata: "Tiadalah dari kita seseorang, melainkan telah cenderung dunia dengan dia, selain Ibnu 'Umar". Maka dengan ini jelaslah, bahwa tidak timbul persangkaan apa-apa kepadanya dan dengan orang yang ada pada kedudukannya, bahwa beliau mengambil, apa yang tidak diketahuinya itu halal.

Derajat Ketiga: bahwa ia mengambil apa yang diambilnya dari sultan untuk disedekahkannya kepada fakir-miskin. Atau untuk dibagi-bagikan- nya kepada orang-orang yang berhak. Karena sesuatu yang tidak tentu pemiliknya, maka padanya ini hukum syara’

Apabila adalah sultan itu, jika tidak diambil daripadanya, niscaya tidak dibagi-bagikannya dan dipakainya uang itu pada kezaliman, maka kadang- kadang kami katakan: "Mengambilkan barang itu daripadanya dan membagi-bagikannya, adalah lebih utama daripada membiarkannya dalam tangannya".

Ini telah menjadi pendapat setengah ulama dan akan datang caranya. Dan kepada inilah ditempatkan apa yang diambil oleh kebanyakan mereka. Dan karena itulah Ibnul-Mubarak berkata: "Bahwa mereka yang me­ngambil pemberian-pemberian pada hari ini dan berdatilkan dengan Ibnu 'Umar dan 'A'isyah, tidaklah mereka itu mengikuti keduanya. Karena Ibnu 'Umar membagi-bagikan apa yang diambilnya, sehingga ia berhutang pada tempat duduknya, sesudah dibagi-bagikannya uang itu sebanyak ?nampuluh ribu. Dan 'A'isyah memperbuat seperti yang demikian. Dan Jabir bin Zaid, dibawa orang kepadanya harta, lalu ia menyedekahkan harta itu seraya berkata: "Aku berpendapat bahwa aku mengambil harta itu dari mereka dan aku menyedekahkannya, adalah lebih aku sukai dari*
198
pada menyimpankannya dalam tangan mereka".

Dan begitulah diperbuat oleh Asy-Syafi'i r.a. dengan apa yang diterimanya dari Harunu'rrasyid. Sesungguhnya dibagi-bagikannya terus, sehinggatidak dipegangnya untuk dirinya sendiri sebiji pun.
Derajat Keempat: bahwa ia tidak meyakini bahwa harta itu halal dantidak dibagi-bagikannya, bahkan ditinggalkannya. Tetapi ia mengambildari sultan, yang kebanyakan hartanya halal. Dan begitulah adanya parakhalifah pada zaman shahabat r.a. dan tabi'in sesudah khulafa'-rasyidin.

Dan tidak adalah kebanyakan harta mereka itu haram.
Dan dibuktikan kepada yang demikian itu, oleh pernyataan alasan dari Ali r.a. dimana beliau mengatakan: "Bahwa apa yang diambilnya dari yang halal, adalah lebih banyak".

Maka inilah sebahagian dari apa yang diperbolehkan oleh segolongan ulama, karena berpegang kepada yang terbanyak. Dan kami sesungguhnya menghentikan persoalan ini mengenai hak seseorang perseorangan dari orang banyak. Dan harta sultan itu adalah lebih menyerupai diluar hingga- an. Maka tidaklah jauh untuk membawa ijtihad dari seseorang yang berijtihad, kepada bolehnya mengambil apa yang tidak diketahui bahwa itu haram. Karena berpegang kepada yang terbanyak: Dan sesungguhnya kami larang mengambilnya, apabila adalah yang terbanyak itu haram. Maka apabila anda telah pahami segala derajat ini, niscaya dapatlah anda meyakini, bahwa pemberian-pemberian orang-orang zalim pada zaman kita ini, tidaklah berlaku menurut yang berlaku itu. Dan pemberian-pem- berian itu berbeda daripadanya, dengan dua segi yang tegas.

Segi Pertama: bahwa harta para sultan pada masa kita sekarang, adalah haram, semuanya atau yang terbanyak daripadanya. Bagaimana tidak? Yang halal itu, ialah sedekah (zakat), fai', ghanimah dan harta-harta yang tersebut ini tidak ada dan tidak masuk daripadanya sedikitpun dalam ta­ngan sultan. Dan tidak ada yang tinggal, selain dari pajak (jizyah). Dan jizyah itu dikutip dengan berbagai macam kezaliman, yang tidak halallah mengambilnya dengan kezaliman. Para sultan itu melewati batas-batas agama mengenai barang yang diambil dan orang tempat diambil dan menyempurnakan syarat bagi barang yang diambil. Kemudian, apabila anda bandingkan yang demikian kepada apa yang membanjir kepada para sultan itu, dari pajak yang dikenakan kepada orang Islam, pengeluaran-pengeluaran, uang sogok dan bermacam-macam kezaliman, niscaya tidak akan sampai sepersepuluh-sepersepuluhnya. Segi Kedua: bahwa orang-orang zalim pada masa pertama dahulu, kare­na dekatnya masa mereka dengan zaman khulafa'-rasyidin, adalah mereka merasa dari kezalimannya, mengharap kepada kecondongan hati para sha­habat dan tabi'in, berusaha supaya diterima pemberian dan antaran mere­ka. Dan adalah mereka mengirimkan pemberian itu kepada para shahabat dan tabi'in, tanpa diminta dan penghinaan. Bahkan mereka merasakan
199
nikmat dengan penerimaan itu dan bergembira daripadanya. Dan para shahabat dan tabi'in tersebut mengambil dari pada orang-orang zalim itu dan membagi-bagikannya. Dan tidak akan mentha'ati penguasa-penguasa itu dalam segala maksudnya. Tidak akan mendatangi majelis mereka, tidak akan membanyakkan berkumpul dengan mereka dan tidak akan su­ka mereka itu tetap terns-men ems. Tetapi mendo'akan terhadap mereka dan melepaskan kata-kata kepada mereka dan menantang segala kemung- karan dari mereka kepada para shahabat dan tabi'in itu. Maka tidaklah di- takuti bahwa akan membahayakan kepada agama, dengan kadar apa yang membahayakan kepada dunia. Dan tidaklah mengapa pengambilan itu. Adapun sekarang, maka jiwa para sultan itu tidaklah membolehkan dengan sesuatu pemberian, kecuali untuk orang yang diharapnya pengkhidmatan, pembanyakan dan pertolongan dari mereka untuk maksud-maksudnya. Dan memperoleh keelokan dengan kedatangan mereka kemajelis-majelis- nya, menugaskan mereka membiasakan mendo'a, memuji, menyatakan bersih dan menyanjung dengan pujian yang berlebih-lebihan dihadapan dan dibelakangnya.

Maka jikalau tidaklah yang mengambil itu, pertama-tama menghinakan dirinya dengan meminta, kedua dengan bulak-balik pengkhidmatan, ketiga dengan pujian dan do'a, keempat dengan pertolongan kepadanya ketika dimintanya pertolongan, kelima dengan membanyakkan berkumpul pada majelis dan rombongannya, keenam dengan melahirkan kecintaan, kepa~ tuhan dan penantangan terhadap musuh-musuhnya dan ketujuh dengan menutupi kezaliman, kekejian dan keburukan segala amal perbuatannya, niscaya ia tidak akan mengurniakan walau sedirham sekalipun, meskipun ia berada dalam keutamaan Asy-Syafi'i r.a. umpamanya. Jadi, tidaklah boleh mengambil daripada mereka pada masa ini, apa yang diketahui, bahwa itu halal. Karena membawa kepada pengertian-pengerti- an tersebut. Maka bagaimana pula, apa yang diketahui bahwa itu haram atau diragukan padanya? Maka barangsiapa memberanikan diri mengambil harta mereka dan menyerupakan dirinya dengan shahabat dan tabi'in, maka sesungguhnya ia telah mengqiaskan malaikat dengan tukang besi.

Maka pada mengambil harta para sultan itu, memerlukan kepada bercam- pur-gaul dengan mereka, menjaga, berkhidmat kepada pekerja-pekerja mereka, menanggung penghinaan dari mereka, mamuji dan pulang pergi kepintu-pintu mereka. Dan semua itu, adalah ma'shiat, berdasarkan apa yang akan kami terangkan pada bab yang berikut.

Jadi, telah jelaslah dari yang telah diterangkan itu, tempat masuk harta mereka, apa yang halal dan yang tidak halal daripadanya. Maka jikalau tergambarlah, bahwa orang mengambil daripadanya apa yang halal, seke- dar yang mustahak dan ia duduk dirumahnya, dimana barang itu dibawa kepadanya, tidak memerlukan padanya kepada mencari yang bekerja dan
200;
pengkhidmatannya, tidak kepada pujian dan pernyataan bersih mereka dari kesalahan dan tidak kepada memberi pertolongan kepada mereka, maka tidaklah haram mengambil. Tetapi dimakruhkan, karena pengertian- pengertian, yang akan kami peringatkan padanya pada bab yang berikut ini.

PERHATIAN KEDUA: dari bab ini, mengenai kadar yang diambil dan sifat dari yang mengambil.

Kita umpamakan harta itu dari harta kepentingan umum, seperti empat- perlima dari fai' dan harta warisan. Maka yang selain dari yang tersebut, dari apa yang telah tertentu orang yang berhak padanya, kalau ada ia dari waqaf atau zakat atau seperlima fai' atau seperlima ghanimah dan apa yang ada dari milik sultan, dari yang dihidupkannya atau yang dibelinya, maka bagi sultan itu memberi apa yang dikehendakinya, kepada siapa yang dikehendakinya.

Sesungguhnya yang diperhatikan, ialah tentang harta yang hilang pemilik- nya dan harta kepentingan umum. Maka tiada boleh diserahkan, kecuali kepada orang yang ada padanya kepentingan umum atau orang yang ber- hajat kepada barang itu, dimana ia lemah dari berusaha. Adapun orang kaya, yang tak ada kepentingan umum padanya, maka tidak dibolehkan menyerahkan harta baitul-mal kepadanya. Inilah yang benar, walaupun para ulama berbeda pendapat padanya. Dan pada ucap- an Umar r.a. yang telah disebutkan dahulu, ada yang menunjukkan bahwa bagi masing-masing muslim berhak pada baitul-mal, karena dia muslim, yang membanyakkan kumpulan Islam.; Tetapi dalam pada itu, tidaklah harta itu dibagikan kepada kaum muslimin seluruhnya. Tetapi kepada orang-orang yang ditentukan dengan beberapa sifat. Maka apabila telah tetap, lalu tiap-tiap orang yang mengurus sesuatu pekerjaan yang dikerjakannya, yang menjalar kepentingannya kepada kaum muslimin dan kalau ia mengerjakan sesuatu usaha, niscaya ia tidak dapat mengerjakan pekerjaan tersebut, maka ia berhak yang mencukupi pada baitul-mal. Dan termasuk dalam golongan orang tadi, para ulama se- muanya (para ahli ilmu), ya'ni: ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan kepentingan agama, yaitu: ilmu fiqh, hadits, tafsir dan qira-ah (pembacaan Al-Qur-an). Sehingga masuk kedalamnya, guru-guru (para pengajar ilmu- ilmu tadi) dan orang-orang yang bertugas adzan. Dan para penunutut il­mu-ilmu tadi juga termasuk kedalamnya. Karena mereka, jikalau tidak mencukupi perbelanjaannya, niscaya tidak mungkin be la jar. Dan termasuk kedalamnya para pekerja. Yaitu: mereka yang berhubung- an kepentingan dunia dengan pekerjaan mereka. Yaitu: tentara yang digaji, yang menjaga kerajaan (negara) dengan pedang dari serangan musuh, orang-orang yang memberontak dan musuh-musuh Islam. Dan termasuk kedalamnya juru-juru tulis, penghitung-penghitung harta negara,
201
wakil-wakil dari pemerintah dan semua orang yang diperlukan tenaganya untuk menyusun kantor cukai. Ya'ni: para pekerja pada segala harta halal, tidak pada harta haram.

Maka harta tersebut, adalah untuk kepentingan umum. Dan kepentingan itu, adakalanya menyangkut dengan agama atau dengan dunia. Maka dengan ulama,terjaga agama. Dan dengan tentara, terjaga dunia. Agama dan kerajaan (pemerintahan) itu, adalah dua anak kembar, tidak mencukupi yang satu, tanpa yang lain. Dan dokter, walaupun tiada hubungan dengan pengetahuannya urusan keagamaan, tetapi berhubungan dengan dia kese- hatan bad an. Dan agama adalah mengikuti badan itu. Maka bolehlah untuknya dan untuk orang yang menjalankan seperti perjalanannya dalam lapangan ilmu pengetahuan yang diperlukan, pada kepentingan tubuh atau kepentingan negeri, mengambil pemberian dari harta-harta tersebut. Supa- ya mereka dapat menyerahkan dirinya untuk pengobatan kaum muslimin. Ya'ni; orang-orang yang diobati dari mereka, tanpa ongkos. Dan tidaklah disyaratkan keperluan bagi mereka. Tetapi boleh diberikan, biarpun mere­ka itu kaya. Karena khulafa-rasyidin memberikan kepada orang muhajirin dan anshar. Dan mereka tidak mengetahui dengan keperluannya. Dan tidak pula ditentukan dengan suatu kadar, tetapi terserah kepada ijtihad (pertimbangan) imam (penguasa). Ia boleh meluaskan dan mengayakan dan boleh mencukupkan sekedar mencukupi, menurut yang dikehendaki keadaan dan kesanggupan harta. Al-Hasan r.a. telah mengambil dari Mu'awiah sekaligus sebanyak empat ratus ribu dirham. Dan Umar r.a. memberikan untuk suatu golongan (jama'ah), sebanyak dua belas ribu dir­ham dalam setahun. Dan 'A'isyah r.a. membenarkan berita tadi tentang pemberian Umar r.a. Dan untuk golongan lain Umar r.a. memberikan sepuluh ribu dan untuk golongan yang Iain lagi, sebanyak enam ribu. Dan begitulah seterusnya!

Itulah harta mereka! Maka dibagi-bagikan kepada mereka. Sehingga tidak tinggal sedikitpun daripadanya. Maka kalau ditentukan kepada seorang dari mereka dengan harta banyak, maka tiada mengapa. Dan begitu pula sultan boleh menentukan dari harta itu untuk orang-orang tertentu dengan pemberian dan anugerah. Dan yang demikian itu telah diperbuat pada orang-orang terdahulu (salaf) Tetapi seyogialah diperhatikan kepada kepentingan umum.
Manakala ditentukan kepada seorang ahli ilmu atau seorang yang berani, dengan sesuatu pemberian, niscaya adalah pada yang demikian itu, menggerakkan dan membangkitkan manusia kepada bekerja dan menyerupakan diri dengan orang itu.

Maka itulah faedahnya pemberian, anugerah dan berbagai macam penen- tuan yang lain. Dan semuanya itu bergantung kepada ijtihad (pertimbang­an) sultan. Dan sesungguhnya perhatian pada sultan-sultan yang zalim itu adalah mengenai dua hal:
202
Pertama: bahwa sultan yang zalim itu, dicegah dari memerintah. Adakala- nya dengan berhenti atas kehendak sendiri atau harus diberhentikan. Maka bagaimanakah boleh diambil sesuatu daripadanya, sedang ia sebendrnya bukan sultan?

Kedua: bahwa tidaklah diratakan hdrta sultan itu kepada semua yang bermustahak. Maka bagaimanakah diperbolehkan bagi masing-masing perseorangan mengambilnya? Adakah boleh mereka itu mengambil sekedar bahagian mereka? Atau tiada diperbolehkan sekali-kali? Atau diperboleh­kan bagi masing-masing mengambil apa yang diberikan? Adapun yang pertama, maka menurut pendapat kami, bahwa tidak dila- rang mengambil hak. Karena sultan zalim yang jahil, manakala ia dibantu oleh kekuasan (syaukah) dan sulit menjatuhkannya dan pada mengganti- kannya timbul fitnah yang berkobar-kobar yang tak tertahan, maka wajib meninggalkan pergantian itu dan wajib mentha'atinya sebagaimana wajib mentha'ati amir-amir. Karena telah datang amar (perintah) Nabi s.a.w. menyuruh tha'at kepada amir-amir (1).

dan melarang menarik tangan daripada menolong mereka dengan beberapa amar dan peringatan (2).
Maka menurut pendapat kami, bahwa khilafah (ke-khalifah-an) adalah sah bagi yang memangkunya dari Bani-Abbas r.a. Dan pemerintahan itu ber- jalan bagi para sultan disegala daerah negeri dan bagi orang-orang yang meiakukan bai'ah (sumpah setia) kepada khalifah. Dan telah kami terangkan dalam Kitab Al-Mustadh-hari yang dipetik dari Kitab "Kasyful-Asrar wa Hatkul-Astar" karangan Al-Qadli Abith-Thayyib, untuk menolak bermacam-macam aliran dari golongan Ra- fidlah kebatinan (golongan yang menolak pemerintahan khilafah), apa yang menunjukkan kepada cara kemuslihatan padanya. Kesimpulan kata, bahwa kita menjaga sifat-sifat dan syarat-syarat menge- nai sultan-sultan, karena memperhatikan kepada adanya kemuslihatan yang bertambah-tambah. Dan kalau kita putuskan dengan batalnya segala pemerintahan wilayah sekarang, maka dengan sendirinya terus batallah segala kemuslihatan itu. Maka bagaimanakah hilangnya modal pada men- cari keuntungan? Tetapi wilayah itu sekarang tidak diikuti, kecuali oleh kekuasaan. Maka barangsiapa dilakukan bai'ah kepadanya oleh yang mempunyai kekuasaan, maka dia itu adalah: khalifah. Dan barangsiapa bertangan besi dengan syaukahnya dan ia tha'at kepada khalifah pada pokok pidato jabatannya dan jalan yang lurus yang ditempuhnya, maka dia itu adalah sultan yang berjalan hukum dan ketetapannya keseluruh ne­geri, sebagai wilayah yang berjalan segala hukum ketetapannya. Dan un­tuk pembuktian ini telah kami terangkan dahulu, pada hukum keimaman dari kitab "Al-Iqtishad fil-i'tiqad" - Kesederhanaan tentang i'tiqad –

1.     Dirawikan Al-Bukhari dari Anas.
2.    Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
203

maka tidaklah memerlukan lagi untuk kami memperpanjangkannya seka- rang.
Adapun kesulitan Iain, yaitu: bahwa sultan apabila tidak meratakan pem­berian kepada semua yang mustahak, maka bolehkah bagi seseorang me­ngambil daripadanya?

Ini adalah termasuk hal yang diperselisihkan diantara para uiama kepada empat tingkat. Setengah mereka bersangatan benar dan mengatakan: "Semua apa yang diambil sultan, maka kaum muslimin semuanya berkongsi padanya. Dan sultan itu tidak mengetahui, bahagiannya dari barang itu, sedaniq (seperenam dirham) atau sebiji, Maka hendaklah ia meninggalkan semuanya!'7.
Dan berkata segolongan dari ulama: "Sultan itu boleh mengambil sekedar makanan sehari saja. Maka kadar itu adalah ia berhak, karena perlunya atas kaum muslimin".

Dan berkata segolongan yang lain: "Bagi sultan itu makanan setahun. Kalau diambilnya yang mencukupi untuk tiap-tiap hari itu adalah sukar dan sultan itu mempunyai hak pada harta tersebut. Maka bagaimanakah ia meninggalkannya?".

Berkata golongan lain, bahwa sultan itu mengambil apa yang diserahkan- nya. Dan yang teraniaya, ialah yang selebihnya.

Dan ini, ialah qias. Karena harta itu tiadalah berkongsi diantara kaum muslimin, seperti ghanimah (rampasan perang) diantara orang-orang yang merampasnya. Dan tidak seperti harta warisan diantara para ahli waris* Karena harta itu adalah milik mereka. Dan ini, jikalau tidak bersesuaian pembahagiannya sehingga mereka itu meninggal, niscaya tiada wajib diba- gi-bagikan kepada para ahli waris mereka menurut hukum pusaka. Tetapi hak tersebut adalah tiada tertentukan dan hanya tertentu dengan digeng- gam (dipegang). Tetapi dia adalah seperti sedekah (zakat). Manakala te­lah diberikan kepada fakir-miskin akan bahagian mereka dari zakat itu, niscaya jatuhlah menjadi milik mereka. Dan tidaklah tercegah dengan kezaliman sipemilik akan golongan-golongan.yang lain yang berhak mene­rima zakat, dengan dilarang hak mereka Uni, apabila tidak diserahkan kepadanya semua harta. Tetapi diserahkan kepadanya dari harta, akan apa, jikalau diserahkan kepadanya dengan jalan mengutamakan dan mele- bihkan, serta meratakan bagi yang lain-lain, niscaya bolehlah baginya me- ngambilkanftya. Dan pelebihan itu boleh pada pemberian. Abubakar r.a. menyamakan dalam pemberian, lalu ditinjau kembali oleh Umar r.a., seraya berkata: "Sesungguhnya kelebihan mereka pada sisi Allah dan sesungguhnya dunia itu tempat menyampaikan hajat. Dan Umar r.a, melebihkan pemberian pada zamannya. Lalu beliau memberi­kan kepada 'A'isyah duabelas ribu„kepada Zainab sepuluh ribu dan kepa­da Juairiah enam ribu dan begitu pula kepada Shafiah. Dan diputuskan oleh Umar r.a. untuk Ali r.a. jumlah tertentu. Dan juga diputuskan oleh
204
Usman r.a. dari daerah As-Sawad lima petak kebun dan ditentukan oleh Usman r.a. kepada Ali r.a. kebun-kebun itu. Dan Ali menerimanya dan tidak menantangnya.

Dan semuanya itu adalah dibolehkan pada tempat ijtihad. Dan termasuk sebahagian dari ijtihad-ijtihad yang aku katakan, bahwa tiap-tiap yang berijtihad itu betul. Yaitu tiap-tiap mas-alah yang tak ada nas (dalil tegas) tentang diri mas-alah itu dan tidak pada mas-alah yang mndekatinya. Maka adalah mas-alah itu dalam pengertiannya dengan qias yang nyata, seperti mas-alah tersebut dan mas-alah siksaan orang yang meminum yang memabukkan. Maka mereka itu disiksa dengan empatpuluh kali pukul dan delapan puluh kali pukul. Dan semuanya adalah sunnah dan benar. Dan masing-masing dari Abubakar r.a. dan Umar r.a. itu adalah betul dengan sepakat para shahabat r.a. Karena yang dilebihkan ialah, apa yang dikem- balikan pada zaman Umar dari sesuatu kepada yang lebih, dari apa yang telah diambilnya pada zaman Abubakar. Dan tidaklah yang lebih itu ter- cegah daripada menerima kelebihan pada zaman Umar. Dan bersekutu padanya semua shahabat dan mereka berkeyakinan, bahwa masing-masing dari kedua pendapat itu adalah benar. Maka hendaklah diambil yang seje- nis ini sebagai undang-undang dasar (dustur) bagi perselisihan-perselisih- an, yang membetulkan semua orang yang berijtihat padanya. Adapun tiap-tiap mas-alah yang sedikit sekali nas atau qias yang terang padanya dari orang yang berjtihad, disebabkan kelalaian atau salah penda­pat dan ada dalam kekuatan, dimana hukum dari yang berijtihad itu di- rombak, maka tidaklah kami mengatakan padanya: bahwa masing-masing itu benar. Tetapi yang benar, ialah: orang yang memperoleh nas (dalil yang tegas) atau yang dalam pengertian nas. Dan sesungguhnya telah di­peroleh dari kumpulan ini, bahwa orang yang mendapat dari orang-orang tertentu, yang bersifat dengan sifat yang menyangkut segala kemuslihatan Agama atau dunia padanya dan ia mengambil dari sultan anugerah atau kurnia atas peninggalan orang mati atau jizyah, niscaya tidaklah ia men- jadi fasiq dengan semata-mata mengambilnya. Dan hanya ia fasiq dengan pelayanannya dan pertolongannya yang diberikannya kepada sultan-sultan itu. Dan masuknya kepada mereka, memuji dan menyanjung mereka dan lain-lain sebagainya, dari segala kelaziman, dimana biasanya harta itu tidak diserahkan, kecuali dengan hal-hal yang tersebut, sebagaimana akan kami jelaskan nanti.

205

Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...