Adab Berkasihan
PENJELASAN : Arti persaudaraan pada
jalan Allah dan perbedaannya dari persaudaraan pada jalan
dunia.
Ketahuilah, bahwa kecintaan pada jalan Allah dan kemarahan
pada jalan Allah, adalah soal yang kabur. Dan akan terbuka tutupnya dengan apa
yang akan kami sebutkan. Yaitu: bahwa pershahabatan itu terbagi kepada : yang
terjadi dengan kebetulan, seperti pershaha-
257
|
batan disebabkan bertetangga. Atau disebabkan pergaulan di
surau atau di sekolah atau di pasar atau pada pintu sultan atau dalam
perjalanan. Dan kepada : yang terjadi dengan pilihan sendiri dan dengan maksud.
Yaitu : yang kami maksudkan menerangkannya. Karena persaudaraan dalam agama itu
terjadi sudah pasti, dalam bahagian ini. Karena tiada pahala, selain pada
perbuatan yang pilihan sendiri (al-'af-'aal - al-ikhtiyariyyah). Dan tak ada
penggemaran, kecuali pada perbuatan yang pilihan itu.
Pershahabatan adalah : ibarat dari duduk bersama, bercampur dan
bergaul. Dan segala hal ini, tiada dimaksudkanoleh seorang manusia dengan
manusia lain, kecuali apabila dikasihinya. Maka yang tidak dikasihi itu,
dijauhkan dan disingkirkan. Dan tidak bermaksud ber- campur-baur dengan dia.
Dan yang dikasihi itu, adakalanya dikasihi, karena diri benda
itu sendiri. Bukan untuk menyampaikan kepada yang dikasihi dan yang dimaksudkan
di belakangnya. Dan adakalanya dikasihi untuk menyampaikan kepada sesuatu
maksud. Dan maksud itu, adakalanya terbatas pada dunia dan
bahagian-bahagiannya. Adakalanya berhubungan dengan akhirat. Dan adakalanya
berhubungan dengan Allah Ta'ala.
Bahagian Pertama : yaitu, engkau mencintai seorang manusia, karena diri
orang itu. Dan yang demikian itu mungkin. Yaitu : ada pada dirinya yang
tercinta bagimu. Dengan pengertian, bahwa engkau merasa senang melihatnya,
mengenalinya dan menyaksikan segala tingkah-lakunya. Karena engkau memandang
baik kepadanya. Maka sesungguhnya tiap-tiap yang cantik itu, adalah enak pada
pihak orang yang mengetahui kecantikannya. Dan tiap-tiap yang enak itu,
disukai.
Ke-enakan itu mengikuti akan istihsan (memandang
baik). Dan istihsan itu mengikuti akan penyesuaian,
berpatutan dan kesepakatan antara krakter-krakter (tabiat-tabiat). Kemudian
yang dipandang baik itu, adakalanya bentuk dhahir, yakni : kecantikan kejadi-
an (bagus bentuknya). Dan adakalanya bentuk bathin. Yakni : kesempumaan akal
pikiran dan kebagusan budi-pekerti. Dan keba- gusan budi-pekerti itu tidak
mustahil akan diikuti oleh kebagusan perbuatan. Dan kesempumaan akal pikiran,
akan diikuti oleh ba- nyaknya ilmu pengetahuan.
Dan semua itu, dipandang baik pada krakter yang sejahtera dan
akal yang lurus (betul). Dan tiap-tiap yang dipandang baik itu, maka
258
|
dirasa enak dan disayangi. Bahkan pada penjinakan hati itu,
ada suatu hal yang lebih kabur dari ini. Karena kadang-kadang, kekasih-
sayangan itu kokoh kuat diantara dua orang, tanpa manis rupa, bu- di-pekerti
dan bagus bentuk. Tetapi karena persesuaian bathin, mengharuskan kejinakkan
hati dan kesepakatan jiwa. Karena keserupaan sesuatu itu, tertarik kepadanya
dengan tabi'at. Dan keseru- paan-keserupaan bathin itif tersembunyi. Dan
mempunyai sebab- sebab yang halus, yang tidak sanggup kekuatan manusia menye laminya.-
Rasulullah saw. mengibaratkan dari yang demikian, di mana
beliau bersabda :
الأرواح جنود
مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف
(Al-arwaahu junuudun mujannadatun famaa ta-'aarafa minhaa'-
talafa wamaa tanaakara minhakhtalaf).Artinya : "Jiwa itu adalah
laksana tentara yang berkumpul Maka yang kenal mengenal daripadanya, niscaya
jinak-menjinakkan. Dan yang bertentangan daripadanya niscaya
berselisihlah" (1)Pertentangan, adalah hasil (natijah) dari perbedaan. Dan
kejinakan hati adalah hasil dari kesesuaian, yang diibaratkan dengan : ta'aruf
(berkenalan satu sama lain).
Pada sebahagian kata-kata hadits tadi, terdapat yang
maksudnya : "Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul dan berjumpa.
Lalu berciuman di udara".
Setengah"Ulama menyebutkan ini dengkn cara kinayah
(sindiran), dengan
mengatakan, bahwa Allah Ta'ala menjadikan segala nyawa. Maka
dipecahkan-Nya setengahnya berpecahan dan dithawafkan- Nya (dikelilingkan-Nya)
dikeliling 'Arasy. Maka mana diantara dua nyawa dari dua pecahan yang
berkenalan itu, lalu keduanya berte mu, sebagai sambungan di dunia-
Dan Nabi saw. bersabda : "Bahwa nyawa dua orang mu*min, bertemu
dalam perjalanan sehari. Dan tiada sekali-kali salah seorang dari keduanya
melihat temannya(2)
1 )
Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
|
2)
Dirawikan Ahmad dari 'Abdullah bin Amr.
|
259
|
Diriwayatkan: "Bahwa di Makkah ada seorang wanita, suka
menertawakan wanita lain. Dan di Madinah ada lagi seorang. Lalu wanita Makkah
tadi tinggal di Madinah. Maka datanglah ia ke tempat A-isyah ra. Lalu menertawakannya. Maka 'A-isyqh ra.
bertanya : "Di
manakah engkau tinggal?".Wanita tadi, lalu menyebutkan kepada 'A-isyah ra. temannya.
Maka 'A-isyah ra. berkata : "Benarlah kiranya Allah dan Rasul-Nya. Aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda : Jiwa itu adalah laksana tentara yang
berkumpul............................................. sampai akhir hadits
diatas tadi'".
Yang sebenarnya mengenai ini, ialah : bahwa pandang memandang
dan percobaan, menjadi saksi kejinakan hati, ketika terdapat kesesuaian. Dan
kesesuaian tentang tabi'at dan akhlaq pada bathin dan pada dhahir, adalah hal
yang dapat difahami. Adapun sebab-sebab yang mengharuskan persesuaian itu,
tidaklah sanggup kemampuan manusia mendalaminya. Dan sejauh kelucuan ahli
nujum, bahwa ia mengatakan: apabila bintangnya berada enam kali dari bin tang
orang Iain atau tiga kali, maka ini memperlihatkan persesuaian dan kesayangan.
Lalu yang demikian itu menghendaki kepada kesesuaian dan berkasih-kasihan. Dan
apabila sebaliknya atau berada empat kali, niscaya membawa kepada
bermarah-marah- an dan permusuhan.
Maka ini kalau benar adanya seperti demikian, dalam
berlakunya sunnah Allah (yang ditetapkan oleh Allah) pada kejadian langit dan
bumi, niscaya persoalan padanya, adalah lebih banyak dari persoal- an tentang
pokok kesesuaian.
Maka tak ada artinya, memasuki hal yang tidak terbuka
rahasianya (sirr) bagi ummat manusia. Maka tidaklah dianugerahkan kepada kita,
dari ilmu pengetahuan, kecuali sedikit saja. Dan mencukupilah bagi kita, untuk
membenarkan yang demikian itu, percobaan dan penyaksian. Dan telah datang
hadits tentang yang demikian, di mana Nabi saw. bersabda : "Jikalau seorang mu*min
masuk ke suatu majelis, di mana pada majelis itu seratus orang munafiq dan
seorang orang mu'min, sesungguhnya orang mu'min itu datang, sehingga duduk pada
seorang mu'min tadi. Dan jikalau seorang munafiq masuk ke suatu majelis,
dimana pada majelis itu seratus orang mu'min dan seorang orang munafiq,
sesungguhnya orang munafiq itu datang, sehingga ia duduk pada seorang munafiq
itu". (1)
Ini menunjukkan, bahwa keserupaan sesuatu adalah tertarik kepada nya dengan
tabi'at, walaupun ia tiada terasa yang demikian itu. Malik bin Dinar
berkata: "Tidak akan sesuai dua orang dalam sepuluh orang, selain pada
salah seorang dari keduanya, terdapat sifat dari yang seorang lagi.
(1)
Dirawikan Al-Baihaqi, sebagai hadits mauquf (terhenti) pada Ibnu Mas'ud.
|
260
|
Sesungguhnya jenis-jenis manusia, adalah seperti jenis-jenis
burung. Tidak akan sepakat dua macam burung terbang bersama, kecuali di antara
keduanya ada kesesuaian". Lalu Malik bin Dinar meneruskan dengan
mengatakan bahwa pada suatu hari, beliau melihat seekor burung gagak, bersama
seekor burung merpati. Maka heranlah beliau melihat demikian, lalu berkata:
"Keduanya itu telah sepakat dan tidaklah keduanya itu dari satu
bentuk". Kemudian, kedua ekor burung itu terbang. Rupanya, keduanya
pincang. Lalu Malik bin Dinar berkata : "Dari segi inilah keduanya
sepakat". Karena itulah, setengah ahli hikmat (hukama') berkata :
"Tiap-tiap manusia, jinak hatinya kepada yang sebentuk dengan dia sebagaimana
masing-masing burung itu terbang bersama jenisnya. Dan apabila dua orang
bershahabat pada suatu waktu dan keadaan keduanya tidak serupa, maka tidak
dapat tidak, keduanya akan berpisah".
Dan inilah suatu pengertian yang tersembunyi, yang telah
difahami dengan kecerdikan oleh penya'ir-penya'ir. Sehingga berkatalah seorang
dari mereka :
Seorang bertanya,"Bagaimana, engkau berdua jadi berpisah?".
Maka aku menjawab, dengan jawaban keinsyafan : ‘Dia tidak sebentuk dengan
aku,maka aku berpisah dengan dia "
Manusia itu berbagai bentuk dan beribu macam
keadaan "
Maka jelaslah dari yang tersebut ini, bahwa manusia
kadang-kadang mencintai karena zat barang itu sendiri. Bukan karena sesuatu
faedah, yang akan dicapai, pada masa yang sekarang atau pada masa yang akan
datang. Tetapi, karena semata-mata kesejenisan dan kesesuaian pada sifat-sifat
bathin dan budi-pekerti yang tersembunyi. Dan termasuk dalam bahagian ini,
cinta karena cantik, apabila, tidak ada maksudnya untuk melepaskan
nafsu-syahwat. Sesungguhnya, rupa yang cantik adalah enak dipandang mata,
walaupun diumpamakan tidak ada nafsu-syahwat sama sekali. Sehingga enaklah
memandang kepada buah-buahan, sinar, bunga- bungaan, buah tufah yang warnanya
bercampur dengan kemerah- merahan, memandang kepada air yang mengalir dan
kepada benda yang kehijau-hijauan, tanpa suatu maksud, selain daripada benda
itu sendiri.
261
|
Kecintaan tadi tidaklah
termasuk kecintaan kepada Allah. Tetapi itu, adalah kecintaan dengan tabi'at
(sifat masing-masing) dan hawa nafsu. Dan yang demikian itu, tergambar dari
orang yang tidak ber- iman kepada Allah. Kecuali, sesungguhnya, kalau hal yang
tersebut tadi, mempunyai hubungan dengan suatu maksud yang tercela, niscaya
jadilah ia tercela. Seperti kecintaan kepada rupa yang cantik untuk melepaskan
hawa nafsu, di mana tidak halal melepaskannya. Dan jikalau tidak berhubungan
dengan suatu maksud yang tercela, maka itu diperbolehkan (mubah), yang tidak
disifatkan dengan pujian dan celaan. Karena kecintaan itu, adakalanya terpuji,
adakalanya tercela dan adakalanya mubah, tidak terpuji dan tidak tercela.
Bagian kedua : bahwa mencintai sesuatu, untuk memperoleh dari benda
itu, selain dari bendanya. Maka jadilah benda itu, wasilah (jalan) untuk sampai
kepada yang dicintai, yang lain dari benda itu. Dan wasilah kepada yang
dicintai, adalah dicintai. Dan apa yang dicintai untuk kecintaan yang lain
daripadanya, adalah yang lain itu pada hakekatnya yang dicintai. Tetapi jalan
kepada yang dicintai, adalah dicintai juga.
Karena itulah, manusia mencintai emas dan perak. Dan tak ada maksud
pada keduanya. Karena ia tidak diambil untuk menjadi makanan dan pakaian.
Tetapi keduanya, adalah wasilah kepada segala yang dicintai.
Sebahagian manusia, ada orang yang dicintai, sebagaimana
dicintai emas dan perak, dari segi dia itu wasilah kepada sesuatu maksud.
Karena dengan dia, dapat mencintai kemegahan atau harta atau il - rau
pengetahuan. Sebagaimana orang mencintai seorang sultan (penguasa), karena
dapat mempergunakan hartanya atau kemegah- annya. Dan mencintai orang-orang
tertentu dari orang-orang sultan, karena mereka akan menerangkan yang baik-baik
tentang dirinya kepada sultan. Dan menyediakan persoalannya untuk masuk ke
dalam hati sultan.
Maka jalan yang dicari untuk sampai kepadanya, kalau
faedahnya terbataspada dunia saja, niscaya tidaklah kecintaannya itu dari
jumlah kecintaan pada jalan Allah. Dan kalau tidak terbatas faedahnya pada
dunia, tetapi tiada dimaksudkan kecuali untuk dunia, seperti kecintaan murid
kepada gurunya, maka itu juga di luar dari kecintaan kepada Allah. Karena
sesungguhnya, mencintai guru, adalah supaya memperoleh ilmu pengetahuan untuk
dirinya sendiri. Maka yang dicintainya adalah ilmu pengetahuan. Apabila tidak
dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan itu, untuk
262
|
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, tetapi untuk memperoleh
kemegahan, harta dan penerimaan dari orang banyak, maka yang dicintainya,
adalah kemegahan dan penerimaan orang banyak. Dan ilmu pengetahuan itu adalah
wasilah (jalan) kepadanya. Dan guru itu adalah wasilah kepada ilmu pengetahuan.
Maka tiada sedikitpun dari yang demikian itu, kecintaan kepada Allah. Karena
tergambarlah semuanya itu, dari orang yang tiada beriman sekali-kali kepada
Allah Ta'ala.
Kemudiah, ini terbagi pula kepada : yang tercela dan yang
mubah. Kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu, supaya tercapai maksud- maksud
yang tercela : dari pemaksaan teman-teman, pengambilan harta anak-anak yatim,
kezalim an pemimpin-pemimpin dengan urusan kehakiman atau lainnya, niscaya
adalah kecintaan itu tercela. Dan kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu,
untuk mencapai yang mubah (yang diperbolehkan), maka itu adalah mubah. Sesungguhnya wasilah itu, mengusahakan hukum dan sifat dari
tujuan yang dimaksudkan mencapainya. Maka wasilah itu mengikuti tujuan. Ia
tidak berdiri sendiri.
Bahagian Ketiga : Bahwa mencintai sesuatu, tidak karena dzat
sesuatu itu. Tetapi untuk yang lain. Dan yang lain itu, tidak kembali kepada
segala bahagiannya dalam dunia. Tetapi kembali kepada segala bahagiannya di
akhirat.
Maka inipun jelas, tak ada kekaburan padanya. Dan yang
demikian itu, seperti orang yang mencintai gurunya dan syaikhnya. Karena dengan
guru dan syaikhnya itu, ia berhasil untuk memperoleh ilmu dan kepandaian
beramal. Dan maksudtiya dari ilmu dan amal itu, ialah kemenangan di akhirat.
Maka ini, termasuk dalam jumlah orang-orang yang mencintai
pada jalan Allah. Dan begitu pula orang yang mencintai muridnya. Karena murid
itu memperoleh ilmu daripadanya. Dan ia mencapai dengan perantaraan muridnya
itu : pangkat pengajar. Dan ia meningkat dengan itu, ke derajat: pengagungan di
alam tinggi (alam mala kut). Karena Isa as. bersabda : "Barangsiapa
belajar, berbuat dan mengajar, maka orang yang demikian itu dinamakan : 'Orang
besar, di alam tinggi'
Mengajar itu tidak akan sempurna, kecuali ada yang belajar
(murid). Jadi murid itu adalah alat (media) untuk memperoleh kesempur- naan
tersebut. Maka kalau ia mencintai murid, karena menjadi alatnya, sebab murid
itu menjadikan dadanya kebun untuk tanaman dari guru, yang menjadi sebab meningkatnya
guru itu ke tingkat :
263
|
pengagungan dialam malakut, maka adalah ia mencintai pada
jalan Allah. Bahkan orang yang bersedekah dengan hartanya karena Allah,
dikumpulkannya tamu-tamu dan disediakannya bagi mereka makanan yang enak-enak,
yang jarang terdapat, karena mendekatkan diri kepada Allah, lalu disayanginya
tukang masak, karena bagus peker- jaannya dalam memasak, maka dia itu termasuk
dalam jumlah orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Dan begitu pula,
kalau ia mencintai orang yang diserahkannya untuk menyampaikan sedekah (zakat)
kepada orang yang berhak menerimanya, maka sesungguhnya ia mencintai orang itu
pada jalan Allah. Bahkan kami tambahkan di atas ini lagi dan kami mengatakan :
"Apabila ia mencintai orang yang menjadi pelayannya pada mencuci
pakaiannya, menyapu rumahnya dan memasak makanan- nya dan dengan itu ia dapat
menyerahkan seluruh waktunya bagi ilmu pengetahuan atau amal perbuatan dan
maksudnya dari mema- kai pelayan pada segala perbuatan yang tersebut itu,
adalah untuk dapat menyerahkan seluruh waktunya bagi ibadah, maka ia adalah
mencintai pada jalan Allah".
Bahkan kami tambahkan lagi dan kami mengatakan : "Apabila
ia mencintai orang yang membelanjainya dengan harta, yang menolonginya dengan
pakaian, makanan, tempat tinggal dan semua maksud yang dimaksudkannya di
dunia, dan maksudnya dari jumlah yang demikian itu, adalah untuk dapat
menyerahkan segala waktunya bagi ilmu dan amal yang mendekatkan kepada Allah,
maka dia itu adalah mencintai pada jalan Allah".
Sesungguhnya, adalah suatu kumpulan dari orang-orang dahulu
(salaf), yang keperluannya ditanggung oleh serombongan orang- orang kaya. Dan
adalah yang menolong dan yang ditolong itu semua termasuk sebagian dari
orang-orang yang cinta-mencintai pada jalan Allah.
Bahkan kami tambahkan lagi dan kami mengatakan: "Bahwa
orang yang mengawini seorang wanita yang shalih, supaya ia terpelihara dengan
wanita itu dari gangguan sethan dan dapat ia menjaga dengan wanita itu akan
agamanya atau supaya ia memperoleh dari wanita itu anak yang shalih, yang akan
berdo'a kepadanya dan ia mencintai isterinya itu, karena menjadi alat untuk
mencapai mak- sud-maksud keagamaan tersebut, maka ia adalah mencintai pada
jalan Allah".
Dan karena itulah, datang banyak hadits yang menerangkan
dengan kesempumaan pahala dan balasan pada mengeluarkan perbelanjaan
264
|
kepada keluarga, sehingga sesuap makanan yang dimasukkan oleh
seorang laki-laki ke dalam mulut isterinya. Bahkan kami mengatakan : bahwa
tiap-tiap orang yang terkenal mencintai Allah, mencintai kerelaan-Nya dan
mencintai menemui-Nya di negeri akhirat, maka apabila ia mencintai orang lain,
niscaya adalah ia mencintai pada jalan Allah. Karena tiada tergambaria
mencintai sesuatu, kecuali ada kesesuaian untuk yang menjadi
kecintaannya. Yaitu: kerelaan Allah Azza wa Jalla. Bahkan
aku tambahkan di atas ini lagi dan aku mengatakan : apabila berkumpul di dalam
hatinya dua kecintaan : kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada dunia dan
berkumpul pada orang seorang dua maksud bersama-sama, sehingga patut untuk ia
memperoleh wasilah (jalan) kepada Allah dan kepada dunia. Maka apabila
dicintainya itu untuk kebaikan kedua hal tersebut, niscaya adalah ia termasuk
orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Seperti: orang mencintai gurunya
yang mengajarinya agama dan mencukupkan kepadanya segala keperluan duniawi,
dengan memberikan harta. Maka dicintainya gurunya itu, di mana menurut
sifatnya, ialah mencari kesenangan di dunia dan kebaha- gian di akhirat. Lalu
gurunya itu, adalah wasilah kepada keduanya. Maka adalah ia mencintai pada
jalan Allah.
Dan tidaklah termasuk syarat mencintai Allah, bahwa ia tidak
mencintai sedikitpun kebahagiaan di dunia. Karena do'a yang disuruh nabi-nabi,
dimana pada do'a itu, berhimpun antara dunia dan akhirat. Dan sebahagian dari
do'a yang semacam itu, ialah do'a
ربنا آتنا في الدنيا
حسنة وفي الآخرة حسنة
(Rabbanaa aatinaa fiddun-ya hasanah, wa fil-aakhirati
hasanah). Artinya : "Wahai Tuhan kami! Datangkanlah kepada kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat!".
Isa as. membacakan dalam do'anya : اللهم لا تشمت بي
عدوي ولا تسؤ بي صديقي ولا تجعل مصيبتي لديني ولا تجعل الدنيا أكبر همى فدفع شماتة
الأعداء من حظوظ الدنيا ولم يقل ولا تجعل الدنيا أصلا من همى بل قال لا تجعلها
أكبر همى "Wahai Allah Tuhanku! Janganlah Engkau kecewakan musuhku,
disebabkan aku! Janganlah Engkau burukkan temanku, disebabkan aku! Janganlah
Engkau jadikan bahaya yang menimpa diriku, atas agamaku! Dan janganlah Engkau
jadikan dunia, yang terbesar dari cita-citaku!". Maka menolak
kekecewaan musuh, adalah termasuk bahagian duniawi. Dan 'Isa as. tidak
mengucapkan : "Janganlah Engkau jadikan dunia pokok dari
cita-citaku!". Tetapi ia mengucapkan : "Jangan lah Engkau jadikan
dunia itu, yang terbesar dari cita-citaku!".
265
|
Nabi kita Muhammad saw. membacakan pada do'any a :
اللهم إني أسألك رحمة أنال بها شرف كرامتك في الدنيا و الآخرة
(Allaahumma innii as-aluka rahmatan anaalu bihaa syarafa karaama- tika fiddun-ya wal-aakhirah).Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku memohonkan rahmat pada-Muy yang aku capai dengan rahmat itu akan kemuliaan kelimpahan kurnia-Mu, di dunia dan di akhirat!". (1)
Dan Nabi saw. membacakan :
اللهم عافني من
بلاء الدنيا وعذاب الآخرة
(Allaahumma 'aafinii min balaa-id-dun-ya wa
balaa-il-aakhirah). Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Datangkanlah
kepadaku ke'afitan dari bencana dunia dan bencana akhirat(2) Kesimpulannya,
maka apabila tidaklah kecintaan kepada kebahagiaan di akhirat berlawanan dengan
kecintaan kepada Allah Ta'ala, maka kecintaan kepada keselamatan, kesehatan,
kecukupan dan kemuliaan di dunia, lalu bagaimanakah ia berlawanan dengan kecintaan
kepada Allah?".
Dunia dan akhirat, adalah ibarat dua hal, yang satu lebih
dekat dari yang lain. Maka bagaimanakah dapat digambarkan bahwa manusia itu
mencintai bahagian-bahagian untuk dirinya esok dan tidak men- cintai
bahagian-bahagiannya yang hari ini? Sesungguhnya ia mencintai yang esok,
karena yang esok itu akan menjadi persediaan yang disediakan.
Maka yang disediakan itu, tak boleh tidak adalah dituntut
juga. Kecuali bahagian-bahagian yang sekarang ini (di dunia), adalah terbagi
kepada : yang berlawanan dengan bahagian-bahagian yang di akhirat dan yang
mencegah daripadanya. Dan itu, yang dijaga benar daripadanya, oleh nabi-nabi
dan wali-wali. Dan mereka menyuruh menjaga daripadanya. Dan kepada : yang tidak
berlawanan. Yaitu : yang mereka, tidak mencegah diri daripadanya, seperti:
nikah yang shih, memakan yang halal dan lain-lain.
Apa yang berlawanan dengan bahagian-bahagian yang akan diperoleh
di akhirat, maka hak dari orang yang berakal pikiran, memben- cikannya dan
tidak mencintainya. Yakni: membencil&nnya dengan akal pikirannya, tidak
dengan nalurinya. Sebagaimana ia membenci mengambil makanan yang enak untuk
seorang raja, di mana ia me-
(1)
Dirawikan AthThirmidzi dari Ibnu Abbas dalam suatu hadits yang panjang, mengenai
do'anya Nabi saw. sesudah shalat malam (shalat tahajjud).
|
(2)
Dirawikan Ahmad dari B&syar bin Abi Arthah, dengan sanad baik.
|
266
|
ngetahui, kalau ia mengambil makanan tersebut, niscaya tangannya
dipotong atau lehernya dipancung. Bukan dengan pengertian, bahwa makanan yang
lezat rasanya itu, ia tidak merindukannya dengan nalurinya dan tidak merasa
kelezatannya, jikalau dimakannya. Karena yang demikian itu, adalah mustahil.
Tetapi, dengan pengertian, bahwa ia digertak dengan siksaan oleh akal
pikirannya, untuk datang mengambil makanan tersebut. Dan terjadilah padanya ke-
bencian oleh kemelaratan yang berhubungan dengan makanan itu. Dan yang
dimaksudkan dari ini, ialah jikalau ia mencintai gurunya, karena menolongnya
dan mengajarinya. Atau ia mencintai muridnya, karena murid itu belajar padanya
dan berkhidmat padanya. Dan salah satu dari yang dua itu, adalah bahagian yang
diperoleh- nya dengan segera (di dunia) dan yang lain pada masa yang lambat (di
akhirat), niscaya adalah ia dalam rombongan orang-orang yang cinta-mencintai
pada jalan Allah. Tetapi dengan satu syarat, yaitu : jikalau gurunya itu tidak
mau memberikan kepadanya suatu ilmu -umpamanya- atau sukar ia memperoleh ilmu
itu dari gurunya yang tersebut, niscaya berkuranglah kecintaannya disebabkan
yang demikian. Maka kadar yang berkurang disebabkan tidak adanya yang tersebut
tadi, itu adalah bagi Allah Ta'ala. Dan baginya atas kadar yang berkurang itu,
mempunyai pahala kecintaan pada jalan Allah.
Dan tidaklah dapat dibantah, bahwa kecintaanmu bertambah
keras kepada seseorang manusia, karena sejumlah maksud-maksud yang terikat satu
sama lain bagimu dengan orang itu. Maka jikalau ter- hambat sebahagian dari
maksud-maksud itu, niscaya berkuranglah kecintaanmu kepadanya. Dan jika
bertambah bahagian dari maksud- maksud itu, niscaya kecintaanmu menjadi
bertambah. Maka tidaklah kecintaanmu kepada emas, seperti kecintaanmu kepada
perak, apabila jumlahnya bersamaan. Karena emas itu me- nyampaikan kepada
maksud-maksud yang lebih banyak, dari apa yang dapat disampaikan oleh perak.
Jadi, kecintaan itu bertambah dengan bertambahnya maksud. Dan
tidaklah mustahil berkumpul maksud-maksud duniawi dan ukhrawi (maksud-maksud
dunia dan akhirat). Maka itu adalah termasuk dalam jumlah kecintaan kepada
Allah. Dan batasnya, ialah : bahwa tiap-tiap kecintaan, jikalau tidak ada iman
kepada Allah dan hari akhirat, lalu tidak tergambar adanya kecintaan itu, maka
itu adalah kecintaan pada jalan Allah. Dan begitu pula, tiap-tiap tambahan pada
kecintaan, jikalau tidak ada iman kepada Allah, niscaya tambahan itu tidak
ada. Maka tambahan tersebut adalah dari kecintaan pada jalan Allah.
267
|
Yang demikian itu, walaupun halus, adalah ia mulia.
Al-Jurairi berkata : "Manusia bergaul pada kurun pertama dengan agama,
sehingga tipislah agama itu. Mereka bergaul pada kurun kedua dengan kesetiaan,
sehingga hilanglah kesetiaan itu. Dan pada kurun ketiga, dengan kehormatan diri
(muru-ah), sehingga hilanglah kehormatan diri itu. Dan tidak ada tinggal,
selain dari ketakutan dan keinginan".
Bahagian Ke empat: bahwa ia mencintai karena Allah dan pada jalan Allah.
Tidak untuk memperoleh daripadanya ilmu atau pekerjaan. Atau untuk dipergunakan
menjadi wasilah kepada sesuatu hal, diba Iik diri orang itu sendiri. Dan inilah
derajat yang tertinggi! Dan itu lah yang paling halus dan yang paling kabur.
Bahagian ini juga mungkin. Karena setengah dari bekas kerasnya kecintaan, ialah
bahwa melampaui dari yang dicintai, kepada tiap- tiap orang yang bersangkutan
dengan yang dicintai dan yang bersesuaian dengan yang dicintai, walaupun dari
jauh. Maka orang yang mencintai seorang manusia dengan kecintaan yang keras,
niscaya ia mencintai orang yang mencintai manusia itu. Ia mencintai orang yang dicintai
oleh manusia itu. Ia mencintai orang yang melayani manusia itu. Ia mencintai
orang yang dipuji oleh kecintaannya itu.
Dan ia mencintai orang yang bekerja cepat untuk kesenangan kecintaannya
itu. Sehingga berkata Baqiyah bin al-Walid : "Bahwa orang mu'min apabila
mencintai orang mu'min, niscaya ia mencintai akan anjingnya". Dan
benarlah apa yang dikatakan oleh Baqiyah itu. Dibuktikan oleh percobaan dalam
keadaan orang-orang yangsedang asyik dan maksyuk. Dan ditunjukkan kepada yang
demikian, oleh syair-syair para penyair. Dan karena itulah, orang menyimpan
kain dari kecintaannya dan menyembunyikannya untuk kenang-kenangan dari pihak
kecintaannya itu. Dan mencintai rumah, tempat tinggal dan tetangga dari
kecintaan. Sehingga bermadahlah seorang yang mabuk cinta (majnun) dari kabilah
(suku) Bani 'Amir:"Aku lalu dihadapan rumah, rumah kecintaanku Laila. Aku
menghadap ke dinding ini dan ke dinding itu Tidaklah kecintaan kepada rumah,
yang melekat pada jantung hatiku. Tetapi kecintaan kepada orang, yang mendiami
rumah itu . . . .
268
|
Jadi, penyaksian dan percobaan menunjukkan, bahwa kecintaan
itu melampaui dari diri yang dicintai, kepada yang mengelilinginya, yang
berhubungan dengan sebab-sebabnya dan yang bersesuaian dengan dia, walaupun
dari jauh. Tetapi yang demikian itu, adalah dari salah satu kekhususan
bersangatannya kecintaan. Maka pokok kecintaan, tidaklah mencukupi pada orang
yang dicintai saja. Dan adalah meluasnya kecintaan itu pada melampauinya dari
yang dicintai, kepada yang meliputi, yang mengelilingi dan yang ber- sangkutan
dengan sebab-sebabnya, menurut berlebih-lebihan dan kuatnya kecintaan itu.
Dan seperti itu pulalah kecintaan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala, apabila kuat dan mengeras pada hati dan menguasai padanya. Sehingga
sampai kepada batas membuta tuli. Maka melampauilah kecintaan itu, kepada
segala yang ada (maujud), selain Dia. Karena segala yang maujud, selain Dia,
adalah bekas dari bekas qudrah-Nya. Dan barangsiapa mencintai seorang manusia,
niscaya dicintainya akan perbuatan, tulisan dan segala pekerjaan dari manusia
itu.
Dan karena itulah, Nabi saw. apabila dibawa kepadanya buah-
buahan yang menjadi petikan pertama dari pohonnya, lalu beliau menyapu kedua
matanya dengan buah-buahan itu dan memulia- kannya. Dan bersabda :انه قريب العهد بربنا (Innahu qariibul-'ahdi birabbinaa). Artinya : "Dia baru saja dengan Rabb
kita". (1.Hasan dan shahih) Mencintai Allah Ta'ala, sekali adalah
benarnya harapan pada janji- janji-Nya dan apa yang akan teijadi di akhirat
dari nikmat-Nya. Sekali, karena apa yang telah terdahulu, dari
rahmat-rahmat-Nya dan bermacam-macam nikmat-Nya. Sekali, karena
Dzat-Nya, tidak karena sesuatu hal yang lain. Dan inilah yang terhalus dan yang
tertinggi, dari segala macam kecintaan. Dan akan datang pentahkikan (pembuktian)nya,
pada "Kitab Kecintaan" dari Rubu’Al-Mun- jiyat (Rubu' yang
melepaskan) Insya Allahu Ta'ala. Betapapun kesepakatan kecintaan kepada Allah,
maka apabila telah kuat, niscaya melampauilah kepada semua yang bersangkutan
(1)
Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, Abi Dawud dan Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah. Kata At-Tirmidzi, hadits ini baik (Hasan) dan shahih .
|
269
|
dengan Dia, dalam macam manapun sangkutan itu. Sehingga
melampaui kepada apa, yang padanya menyakitkan.dan tidak menyu- kakan pada dirinya.
Tetapi berlebihan cinta itu, melemahkan perasaan sakit. Dan kegembiraan dengan
perbuatan orang yang dicintai dan perbuatan itu maksudnya menyakitkan, dapat
menghilangkan perasaan kesakitan itu. Dan yang demikian, seperti kegembiraan
dengan pukulan yang datang dari yang dicintai atau perkataan yang menyakitkan,
dimana padanya semacam perkataan yang tidak menyenangkan.
Sesungguhnya kuatnya kecintaan yang membekas kesenangan itu,
menghilangkan perasaan kesakitan. Dan telah sampailah kecintaan kepada Allah
bagi suatu kaum, sehinga sampailah mereka itu mengatakan : "Kami
tidak membedakan antara bencana dan nikmat. Karena semuanya itu dari Allah. Dan
tidak kami bergembira, kecuali dengan yang ada padanya kerelaan Allah". Sehingga
setengah mereka mengatakan : "Aku tidak bermaksud memperoleh peng ampunan
Allah pada kemaksiyatan kepada Allah".Samnun bermadah :
Tidaklah bagiku,
bahagian pada selain Engkau.Maka bagaimanapun kehendak-Mu,
cobakanlah kepadaku.............................................................. ".
Dan akan datang pentahkikan yang demikian, pada Kitab Kecintaan.
Dan yang dimaksud, ialah : bahwa kecintaan kepada Allah apabila telah kuat,
niscaya membuahkan kecintaan kepada tiap- tiap orang yang berdiri dengan hak
peribadatan kepada Allah, mengenai pengetahuan atau amalan. Dan membuahkan
kecintaan kepada tiap-tiap orang yang ada padanya, sifat yang direlai Allah,
dari kelakuan yang baik atau beradab dengan adab-adab agama. Dan tidaklah dari
seorang mu'min yang mencintai akhirat dan mencintai Allah, melainkan apabila
diterangkan kepadanya, tentang hal dua orang. Yang seorang alim abid, dan yang
seorang lagi jahil fasiq. Maka ia memperoleh pada dirinya, kecondongan kepada
orang alim yang abid. Kemudian kecondongan itu lemah dan kuat, menurut
kelemahan dah kekuatan imannya. Dan menurut kelemah- an dan kekuatan cintanya
kepada Allah. Dan kecondongan itu di- peroleh, walaupun kedua orang itu jauh
daripadanya, dimanaia mengetahui, bahwa dia tidak akan memperoleh dari kedua
orang tersebut, kebajikan atau kejahatan, baik di dunia ataudi akhirat.
270
|
Maka kecondongan itu, ialah kecintaan kepada Allah dan karena
Allah, tanpa memperoleh bahagian apa-apa. Sesungguhnya ia mencintai orang itu,
karena Allah mencintainya. Dan karena orang itu memperoleh kerelaan pada sisi
Allah Ta'ala. Dan karena ia mencintai Allah Ta'ala. Dan ia selalu beribadah
kepada Allah Ta'ala. Kecuali, apabila kecintaan itu lemah, niscaya bekasnya
tidak menampak dan tidak lahir padanya pembalasan dan pahala.
Apabila kecintaan itu kuat, niscaya membawa kepada berkawan,
tolong-menolong, memelihaia jiwa, harta dan lidah. Dan manusia berlebih-kurang
padanya, menurut berlebih-kurangnya mereka mencintai Allah Azza wa Jalla. Dan
adalah kalau kecintaan itu terbatas, kepada memperoleh bahagian yang akan
diperoleh dari yang dicintai, baik sekarang atau pada masa yang akan datang,
niscaya tidaklah tergambar mencintai orang-orang yang telah me- ninggal, dari
alim 'Ulama, abid-abid, para shahabat dan tabi'in. Bahkan juga nabi-nabi yang
telah silam, kiranya rahmat dan sejah- tera daripada Allah berkekalan kepada
mereka sekalian. Dan kecintaan kepada semua mereka itu, adalah tersembunyi
dalam hati tiap-tiap muslim yang beragama.
Yang demikian itu, jelas dengan marahnya, ketika musuh-musuh
mencaci salah seorang dari mereka yang tersebut tadi dan dengan senangnya
ketika mereka mendapat pujian dan disebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Semuanya
itu adalah kecintaan karena Allah. Karena mereka, adalah hamba-hamba Allah yang
tertentu. Barangsiapa mencintai seorang raja atau seorang yang baik, niscaya
ia mencintai pembantu-pembantu dan pelayan-pelayannya. Dan mencintai
orang-orang yang dicintai oleh raja atau orang yang baik tadi. Kecuali dia itu
menguji akan kecintaannya dengan timbal-balik dengan segala bahagian untuk
dirinya. Kadang-kadang mengeras, di mana tidak tinggal bagi dirinya bahagian,
selain pada yang menjadi bahagian bagi yang dicintai.
Dan tentang itu, bersajaklah orang yang bersajak :
Aku mau bersilaturrahmiy,
ia mau meninggalkan aku.Lalu aku tinggalkan apa yang aku kehendaki,
untuk apa yang ia mau...................................................................... ".
Dan berkatalah orang yang mengatakan :
"Apalahluka itu...................................................................................
apabila telah menyenangkan bagimu kesakitan "
271
|
Kadang-kadang kecintaan itu, ditinggalkan sebahagian dan
tinggal lagi sebahagian. Seumpama : orang yang diperbolehkan oleh jiwanya untuk
menyerahkan kepada kekasihnya, setengah hartanya atau sepertiganya atau
sepersepuluhnya. Maka menurut jumlah harta yang diserahkan itu, adalah menjadi
timbangan kecintaannya. Karena tidak diketahui .tingkat kecintaan itu,
melainkan dengan kecintaan yang ditinggalkan sebagai timbal-baliknya.
Maka orang yang tenggelam dalam kecintaan dengan seluruh jiwanya, niscaya
tidaklah tinggal baginya lagi, kecintaan yang lain. Maka tidaklah ditahan untuk
dirinya sesuatu, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Beliau tidak meninggalkan
lagi untuk dirinya sendiri, baik keluarga atau harta. Maka diserahkannya
puterinya yang menjadi jantung hatinya dan diberikannya semua hartanya.
Ibnu 'Umar ra. berkata :
"Sewaktu Rasulullah saw. sedang duduk dan di sisinya Abu
Bakar dengan memakai baju kemeja panjang, yang telah koyak pada dadanya
beberapa lobang, tiba-tiba turun Jibril as. Maka Jibril as. menyampaikan salam
sejahtera daripada Allah kepada Nabi dan mengatakan :"Wahai Rasulullah! Mengapakah saya melihat Abu Bakar
dengan memakai baju kemeja panjang, yang telah koyak pada dadanya beberapa
lobang?".
Nabi saw. menjawab : "Beliau telah membelanjakan hartanya kepadaku
sebelum penaklukan Makkah".
Jibril menyambung: "Sampaikanlah salam sejahtera daripada Allah
kepadanya dan
katakanlah kepadanya : 'Tuhanmu bertanya kepadamu : 'Adakah engkau rela
dari-Ku tentang kemiskinanmu ini atau engkau marah?'".
Ibnu 'Umar ra. menerangkan seterusnya :
Lalu Nabi saw. berpaling kepada Abu Bakar dan bersabda :
Wahai Abu Bakar! Inilah Jibril yang membacakan kepadamu salam
sejahtera daripada Allah dan berfirman : 'Adakah engkau rela dari-Ku tentang
kemiskinanmu ini atau engkau marah?'".
Ibnu 'Umar meneruskan ceriteranya :
Maka menangislah Abu Bakar ra. seraya berkata : "Adakah
aku marah kepada Tuhanku? Aku rela kepada Tuhanku, aku rela kepada
Tuhanku!". (1)
Maka dapatlah diambil kesimpulan dari ini, bahwa tiap-tiap orang yang mencintai orang alim atau orang abid atau mencintai orang yang menggemari ilmu atau ibadah atau kebajikan, maka sesung guhnya ia mencintai orang yang tersebut tadi, pada jalan Allah dan karena Allah. Dan ia memperoleh pahala dan pembalasan, menurut kekuatan kecintaannya.
(1)
Dirawikan Ibnu Hibban dan Al-'Uqaili, dalam golongan orang-orang yang dia'if
haditsnya. Dan Adz-Dzahabi berkata dalam "Al-Mizan", bahwa hadits ini
dusta. (Al-Iraqi dalam catatannya dihalaman bawah "Ihya"). - Peny
|
272
|
Maka inilah uraian kecintaan pada jalan Allah dan
tingkat-tingkatnya. Dan dengan ini, menjadi jelaslah pula tentang kemarahan
pada jalan Allah. Tetapi akan kami tambahkan lagi penjelasan: