Bab Keempat Mengenai Sebab Manusia Suka Kepada Ilmu Khilafiyah
الباب الرابع
Bab Keempat: Mengenai sebabnya manusia suka kepada ilmu khilafiah.Penghuraian bahaya perdebatan dan pertengkaran. Syarat-syarat pembolehannya.
Ketahuilah bahwa jabatan khalifah sesudah Nabi صلى الله عليه وسلم dipegang oleh khulafa' rasyidin dengan petunjuk Allah (yaitu : Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Mereka adalah imam, ahli ilmu dan paham segala hukum Allah. Bebas mengeluarkan fatwa dan sanggup menyelesaikan segala peristiwa hukum. Tak usah meminta bantuan ahli-ahli hukum Islam (fuqaha'). Kalau pun ada maka amat jarang sekali, yaitu mengenai peristiwa-peristiwa yang harus dimusyawa-rahkan.
Dari itu, maka para alim ulama dapat menghadapkan perhatian dan segala kesungguhannya kepada ilmu akhirat. Menolak mengeluarkan fatwa dan apa yang ada hubungannya dengan hukum duniawi. Mereka menghadapkan diri dengan kesungguhan yang maksi-mal kepada Allah Ta'ala, sebagaimana dapat dibaca dalam riwayat hidup para alim ulama itu sendiri.
Sewaktu jabatan khalifah jatuh ke tangan golongan-golongan sesudah khulafa rasyidin itu, yang mengendalikan pemerintahan tanpa hak dan kesanggupan dengan ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum maka terpaksalah meminta tolong kepada para fuqaha' dan mengikut-sertakan mereka dalam segala hal untuk meminta fatwa waktu menjalankan hukum.
Dalam pada itu, masih ada juga diantara para ulama tabi'in, yang tetap dalam suasana yang lampau, berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak melepaskan ciri-ciri ulama salaf (ulama terdahulu). Mereka ini bila diminta, lalu melarikan diri dan menolak. Sehingga terpaksalah para khalifah itu melakukan paksaan dalam pengang-katan anggota kehakiman dan pemerintahan.
Maka kelihatanlah kepada rakyat umum kebesaran ulama dan perhatian para pembesar dan wali negara kepada mereka. Sedang dari pihak alim ulama itu sendiri, menolak dan men jauh kan diri. Lalu rakyat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan, ingin memperoleh kemudahan dan kemegahan mereka bertekun mempelajari ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Kemudian datang memperkenalkan diri kepada para wali negeri, memohonkan kedudukan dan jabatan.
Diantaranya ditolak dan ada juga yang diterima. Yang diterima tidak luput dari kehinaan meminta-minta dan mohon dikasihani. Maka jadilah para fuqaha" itu meminta sesudah tadinya diminta. Hina dengan menyembah-nyembah kepada pembesar sesudah tadinya mulia dengan berpaling dari penguasa-penguasa itu. Yang terlepas dari keadaan tersebut ialah orang-orang dari para ulama agama Allah yarig memperoleh taufiq dari padaNya.
Amat besar perhatian pada masa itu kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat diperlukan, baik didaerah-daerah atau di pusat pemerintahan.Sesudah itu lahirlah dari orang-orang terkemuka dan pembesar-pem besar golongan yang suka memperhatikan percakapan manusia tentang kaidah-kaidan kepercayaan dan tertarik hatinya mendengar dalil-dalil yang dikemukakan. Maka timbullah kegemaran bertukar-pikiran dan berdebat dalam ilmu kalam. Perhatian orang banyak-pun tertumpah kepada ilmu itu. Lalu diperbanyak karangan dan disusun cara berdebat. Dan dikeluarkanlah ulasan tentang mana kata-kata yang bertentangan.
Mereka mendakwakan bahwa tujuannya ialah mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi saw. serta membasmi bid'ah sebagaimana orang-orang sebelum mereka ini, mendakwakan untuk agama dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan mengurus peri hal hukum. Karena belas-kasihan kepada makhluk Tuhan dan untuk pengajaran kepada mereka.
Sesudah itu muncul lagi, dari kalangan terkemuka orang-orang yang memang tidak benar terjun ke dalam ilmu kalam dan membuka pintu perdebatan didalamnya. Sebab telah menimbulkan kefanatik-an yang keji dan permusuhan yang meluap-luap, yang membawa kepada pertumpahan darah dan penghancuran negeri. Tetapi golongan ini tertarik kepada bertukar-pikiran tentang fiqih dan khusus memperbandingkan mana yang lebih utama diantara madzhab Syafi'i dan madzhab Abu Hanifah ra.
Maka manusia-pun meninggalkan ilmu kalam dan bahagian-bahagi-annya, terjun ke dalam masalah-masalah khilafiah antara aliran Syafi'i dan Abu Hanifah khususnya. Dan tidak begitu mementingkan apakah yang terjadi antara malik, Sulfan Ats-Tsufridan Ahmad ra. serta ulama-ulama lainnya.
Mereka mendakwakan bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam, menetapkan alasan-alasan madzhab dan memberikan kata peng-antar bagi pokok-pokok fatwa. Lalu diperbanyak karangan dan pemahaman hukum, disusun bermacam-macam cara berdebat dan mengarang.
Keadaan itu djteruskan mereka sampai sekarang. Kami tidak dapat menerka, apa yang akan ditaqdirkan Tuhan sesudah kami, pada masa-masa yang akan datang,
Maka inilah kiranya penggerak kepada orang sampai bertekun dalam masalah khilafiah dan perdebatan. Tidak lain!
Kalaulah condong hati penduduk dunia untuk berselisih dengan imam yang lain dari imam-imam tadi atau kepada ilmu yang lain dari bermacam-macam ilmu pengetahuan, maka golongan yang tersebut di atas akan tertarik juga dan tidak tinggal diam dengan alasan bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah ilmu agama dan tujuannya tak lain dari pada mendekatkan diri kepada Tuhan seru sekalian alam.
Ketahuilah
bahwa golongan tersebut, kadang-kadang menjerumus-kan manusia ke dalam pahamnya
dengan mengatakan : "Bahwa maksud kami dari perdebatan itu mencari
kebenaran supaya kebenaran itu nyata, karena kebenaranlah yang dicari. Bertolong-tolong-an
membahas ilmu dan melahirkan isi hati itu, ada faedah dan gunanya. Dan
begitulah 'adat kebiasaan para shahabat ra. dalam bermusyawarah yang diadakan
mereka seperti musyawarah mengenai masalah nenek laki-laki, saudara laki-laki
(dalam soal warisan), hukuman minum khamar, kewajiban membayar atas imam
(kepala pemerintahan) apabila iabersalah. Seperti kejadian seorang wanita
keguguran kandungannya karena takut kepada Umar ra. dan seperti masalah pusaka
dan lainnya. Dan seperti persoalan-persoalan yang diterima dari Asy-Syafi'i,
Ahmad, Muhammad bin Al-Hasan, Malik, Abu Yusuf dan lainnya dari para ulama.
Kiranya dirahmati Allah mereka itu sekalian!".
Kiranya dirahmati Allah mereka itu sekalian!".
Akan
tampak kepada anda penipuan itu, dengan apa yang akan saya terangkan ini.
Yaitu, benar bahwa bertolong-tolongan mencari kebenaran itu sebahagian dari
agama. Tetapi mempunyai syarat dan tanda yang delapan macam
PERTAMA
: Bahwa tidak bekerja mencari kebenaran yang termasuk dalam fardlu-kifayah itu,
orang-orang yang belum lagi menyelesaikan fardlu 'ain. Dan orang yang masih
berkewajiban dengan sesuatu fardiu 'ain, lalu mengerjakan fardlu-kifayah dengan
dakwa-an bahwa maksudnya benar, adalah pendusta. Contohnya seumpama orang yang
meninggalkan shalatnya sendiri, bekerja menyediakan kain dan menjahitkannya
dengan mengatakan : "Bahwa maksud ku hendak menutup aurat orang yang
bershalat telanjang dan tidak memperoleh kain".
Penjawaban
itu mungkin cocok dan bisa saja terjadi, seumpama apa yang didakwakan oleh ahli
fiqih, bahwa kejadian hal-hal yang luar biasa, yang menjadi bahan pembahas dan
perselisihan itu, bukan tidak mungkin.
Yang
jelas, orang-orang yang 'asyik bertengkar itu, menyianyiakan urusan yang telah
disepakati atas fardlu 'ainnya. Orang yang dihadapkan kepadanya untuk
mengembalikan barang simpanan sekarang juga, lalu tegak berdiri bertakbir
melakukan shalat suatu ibadah yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya,adalah
berdosa.
Jadi
tidak cukup untuk menjadi seorang yang ta'at, sebab perbuat-annya termasuk
perbuatan ta'at, sebelum dijaga padanya waktu, syarat dan tata-tertib pada
mengerjakannya.
KEDUA
: bahwa tidak melihat fardlu-kifayah itu lebih penting dari perdebatan. Jika ia
melihat ada sesuatu yang lebih penting, lalu mengerjakan yang lain maka
berdosalah ia dengan sikapnya itu. Contohnya seumpama orang yang melihat
serombongan orang ke-hausan yang hampir binasa dan tak ada yang menolongnya.
Orang tadi sanggup menolong dengan memberikan air minum. Tetapi dia pergi
mempelajari berbekam dengan mendakwakan bahwa pelajaran berbekam itu termasuk
fardlu-kifayah dan kalau kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan
binasalah manusia. Dan kalau dikatakan kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli
bekam dan lebih dari cukup lalu
jawabnya bahwa-ia 'tidak dapat merobah pekerjaan berbekam menjadi tidak fardiu
kifayah lagi. Maka peristiwa orang yang pergi mempelajari berbekam dan
menyia-nyiakan nasib orang yang menghadapi bahaya kehausan itu, dari orang
muslim in, samalah halnya dengan peristiwa orang yang 'asyik mengadakan
perdebatan sedang dalam negeri terdapat banyak fardiu kifayah yang
disia-siakan, tak ada yang mengerjakannya.
Mengenai
fatwa maka telah bangun segolongan manusia melaksanakannya.
Tak
ada satu negeripun yang didalamnya fardiu kifayah, yang tidak disia-siakan. Dan
para ulama fiqih tidak menaruh perhatian kepadanya. Contoh yang paling dekat
ialah ilmu kedokteran. Hampir seluruh negeri tidak didapati seorang dokter
muslim yang boleh diperpegangi kesaksiannya mengenai sesuatu yang dipegang pada
agama atas adpis dokter. Dan tak ada seorangpun dari pada ahli fiqih yang suka
bekerja dalam lapangan kedokteran.
Begitu
pula amar ma'ruf dan nahi munkar, termasuk dalam fardu kifayah. Kadang-kadang
seorang pendebat dalam majlis perdebatan melihat sutera dipakai dan dipasang
pada tempat duduk. Dia tinggal berdiam diri dan terus berdebat dalam persoalan,
yang sekalipun tak pernah terjadi. Kalaupun terjadi maka bangunlah serombongan
fuqaha' menyelesaikannya. Kemudian mendakwakan bahwa maksudnya dengan fardiu
kifayah tadi, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Diriwayatkan
Anas ra. bahwa orang bertanya kepada Nabi صلى الله
عليه وسلم
يا رسول
الله متى يترك الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
(Mataa
yutrakul amru bilma'ruufi wannahyu 'anil munkar)
Artinya "Pabilakah amar ma'ruf dan nahi
munkar itu ditinggalkan orang?".
Maka
menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم
فقال عليه
السلام إذا ظهرت المداهنة في خياركم والفاحشة في شراركم وتحول الملك في صغاركم
والفقه في أراذلكم
(1)Artinya
:"Apabila telah lahir sifat berminyak air dalam kalangan orang pilihan
dari kamu dan perbuatan keji dalam kalangan orang jahat dari kamu dan berpindah
pemerintahan dalam kalangan orang-orang kecil dari kamu dan fiqih (hukum) dalam
kalangan orang-orang yang hina dari kamu ". (1)
KETIGA
: bahwa adalah seorang pendebat itu mujtahid, berfatwa dengan pendapatnya
sendiri, tidak dengan madzhab Asy-Syafi'i, Abi Hanifah dan lainnya. Sehingga
apabila lahirlah kebenaran dari madzhab Abi Hanifah maka ditinggalkannya yang
sesuai dengan pendapat Asy-Syafi'i dan berfatwalah dia menurut kebenaran itu
seperti yang diperbuat para shahabat ra. dan para imam.
Adapun
orang, yang tidak dalam tingkat ijtihad dan memang begi-tulah keadaan orang
sekarang maka berfatwalah dia dalam persoal-an yang ditanyakan kepadanya
menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh
ditinggalkannya.
Dari
itu, apakah faedahnya ia mengadakan perdebatan, sedang madzhabnya sudah dikenal
dan dia tak boleh berfatwa dengan yang lain?
Kalau
ada yang sulit, dia harus mengatakan : "Semoga ada jawaban tentang ini
pada yang empunya madzhabku. Karena aku tidak berdiri sendiri dengan berijtihad
pada pokok-pokok agama".
Kalau
ada pembahasannya mengenai persoalan yang mempunyai dua pendapat atau dua kata
(qaul) dari yang empunya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini dapat
meragukan baginya. Mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat
itu, karena sepan-jang penyelidikannya, ia coridong kepada yang satu itu. Maka tak
adalah sekali-kali jalan untuk berdebat dalam hal tersebut.
Tetapi
mungkin pula, ditinggalkannya persoalan yang mempunyai dua pendapat atau kata
itu dan dicarinya persoalan yang ada perselisihan pendapat padanya sudah
pasti.
1.Dirawikan Ibnu Majah dengan isnad hasan.
171
KEEMPAT
: bahwa tidak diperdebatkan selain dalam persoalan yang terjadi atau biasanya
akan terjadi dalam masa dekat. Karena para sbahabbt ra. tidak mengadakan
musyawarah selain dalam persoalan yang selalu terjadi atau biasanya terjadi
seumpama persoalan warisan (faraidl).
Tetapi,
kami tidak melihat tukang berdebat itu mementingkan pengecaman dengan
mengeluarkan fatwa tentang persoalan yang Bering terjadi. Akan tetapi mereka
memukul tambur dengan suara nyaring, supaya lingkaran pertengkaran itu semakin
meluas dengan tak memikirkan apa yang akan terjadi.
Kadang-kadang
ditinggalkan mereka persoalan yang banyak terjadi itu dengan mengatakan "Itu soal kabar angin atau soal yang
diketepikan yang tak layak diperdengarkan".
Yang
mengherankan, ialah tujuan mereka mencari kebenaran. Tetapi persoalan yang
semacam itu ditinggalkan, beralasan kabar angin. Dan pada kabar angin tak dapat
diperoleh kebenaran. Atau persoalan itu tak layak diketengahkan ke muka umum.
Mengenai hal ini, tak usah kami perpanjang kalam. Menuju kepada kebenaran
biarlah dengan kata yang ringkas, lekas menyampaikan kepada maksud, ttdak
berpanjang-panjang.
KELIMA
: bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada
dihadapan orang ramai dan di muka para pem-besar dan penguasa-penguasa. Pada
tempat yang sepi, pemikiran itu dapat dipusatkan dan lebih layak untuk
memperoleh kejernihan hati, pikiran dan kebenaran.
Kalau
di muka umum, dapat menggerakkan ria, mendorong masing-masing pihak untuk
menjadi pemenang, benar dia atau salah.
Anda
tahu bahwa orang suka ke tempat umum dan dihadapan orang banyak, tidaklah
karena Allah Ta'ala. Kalau di tempat yang sepi, masing-masing mau memberikan
kesempatan waktu kepada kawan-nya untuk berpikir dan berdiam diri.
Kadang-kadang dimajukan saran dan dibiarkan tidak menjawab dengan cepat.
Tetapi
bila di muka umum atau dihadapan pertemuan besar, masing-masing pihak tidak mau
meninggalkan kesempatan, sehingga mau dia saja yang berbicara.
KEENAM : bahwa dalam mencari kebenaran itu, tak ubahnya seperti orang mencari barang hilang. Tak berbeda antara diperolehnya sendiri atau orang lain yang menolongnya. Dia
memandang temannya berdebat itu penolong, bukan musuh. Diucapkannya terima
kasih, waktu diberitahukannya kesalahan dan dilahirkannya kebenaran.
Seumpama
kalau dia mengambil jalan mencari barangnya yang hilang, lalu temannya
memberitahukan bahwa barang yang hilang itu berada pada jalan yang lain, Tentu
akan diucapkannya terima kasih, bukan dimakinya. Tentu akan dimuliakannya dan
disambutnya dengan gembira.
Demikianlah
adanya musyawarah para shahabat Nabi saw. itu. Seorang wanita pernah membantah
keterangan Umar ra. dan menerangkan kepadanya yang benar, di waktu Umar sedang
berpidato dihadapan rakyat banyak. Maka
menjawab Umar : "Benar wanita itu dan salah laki-laki ini!".
Bertanya
seorang laki-laki kepada Ali ra. Lalu Ali memberi penjawaban atas pertanyaan
itu. Lalu
menyahut laki-laki tadi : "Bukan begitu wahai Amirul mu'-minin. Tetapi
bagini.............begini.........................!". Maka
menjawab Ali : "Anda benar dan aku salah. Di atas tiap-tiap yang berilmu,
ada lagi yang lebih berilmu".
Ibnu
Mas'ud menyalahkan Abu Musa Al-Asy'ari ra. dalam suatu persoalan. Maka berkata
Abu Musa : "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu, selama tokoh
ini masih dihadapan kita". Persoalan
itu yaitu Abu Musa ditanyakan tentang orang yang ber-perang sabilullah lalu
tewas, maka menjawab Abu Musa : "Masuk sorga". Abu
Musa ketika itu menjadi amir di Kufah.
Tatkala
mendengar pfinjawaban Abu Musa tadi, maka bangun Ibnu Mas'ud seraya berkata :
"Ulang lagi pertanyaan tersebut kepada Amir itu, barangkali dia belum
mengerti!".
Yang
hadlir mengulangi lagi pertanyaan di atas dan Abu Musa menjawab pula seperti
tadi. Maka berkata Ibnu Mas'ud : "Saya mengatakan bahwa jika orang itu
tewas maka ia memperoleh kebenaran, maka dia dalam Sorga".
Maka
menjawab Abu Musa : "Yang benar ialah yang dikatakan Ibnu Mas'ud".
Demikianlah
kiranya keinsyafan bagi orang yang mencari kebenaran.
Kalau
umpamanya seperti itu sekarang dikatakan kepada seorang riya dengan mengatakan
: "Tak perlu dikatakan, -diperolehnya kebenaran, sebab hal itu semua orang
sudah tahu".
Lihatlah
tukang-tukang berdebat masa kita sekarang ini, apabila kebenaran itu datang
dari mulut lawannya, maka hitamlah mukanya. Dia merasa malu din berusaha sekuat
tenaganya, menentang kebenaran tadi. Dan betapa pula dicacinya terus-menerus
selama hidup-nya, orang yang telah mematahkan keterangannya itu. Kemudian
tidak pula malu menyamakan dirinya dengan para shahabat ra. tentang bekerja
sama dan tolong-menolong mencari kebenaran.
KETUJUH
: Jangan dilarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke lain dalil
dan dari satu persoalan ke lain persoalan. Demikianlah adanya perdebatan ulama
salaf pada masa yang lampau.
Tetapi
sekarang lain, dari mulut orang berdebat itu meluncur seluruh bentuk
pertengkaran yang tidak-tidak, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap
orang Iain. Seumpama katanya "Ini
tidak perlu saya sebutkan. Itu bertentangan dengan keterangan saudara yang
pertama. Dari itu tidak diterima".
Sebenarnya,
kembali kepada kebenaran adalah merombak yang batil dan wajib diterima. Anda
melihat sekarang seluruh majelis perdebatan, habis waktunya menolak dan
bertengkar, sampai memberi keterangan dengan alasan-alasan sangkaan.
Untuk
menolak alasan tadi, lalu yang sepihak lagi bertanya : "Apa keterangannya,
maka untuk menetapkan hukum masalah itu, didasarkan kepada alasan tadi?".
Pihak
pertama menolak dengan mengatakan : "Itulah yang ada padaku. Kalau ada
pada saudara yang lebih terang dan kuat dari itu, coba terangkan supaya saya
dengar dan saya perhatikan!".
Maka
terus-meneruslah orang itu bertengkar dan menyebut kata-kata yang lain lagi
yang tidak saya sebutkan tadi, seumpama : "Saya tahu, tetapi tidak mau
saya sebutkan, sebab tidak perlu saya menyebutkannya!
Yang
sepihak lagi mendesak untuk diterangkan apa yang disebutnya itu. Tetapi pihak
yang kedua ini tetap menolak.Berjele-jele
majelis perdebatan itu dengan bersoal dan berjawab.
Pihak
yang mengatakan bahwa dia tahu,'tetapi tidak bersedia menerangkannya, beralasan
tidak perlu, adalah bohong, membohongi agama. Karena bila sebenarnya ia tidak
tahu, tetapi mengatakan tahu supaya lawannya lemah, maka dia itu adalah seorang
fasiq pendusta, durhaka kepada Allah dan berbuat yang dimarahi Allah dengan
mengatakan tahu, padahal tidak.
Kalau
benar ia tahu, maka dia menjadi seorang fasiq karena menyembunyikan apa yang
diketahuinya dari ilmu agama, sedang saudaranya seagama telah bertanya untuk
mengerti dan mengetahuinya. Kalau saudara seagama itu seorang yang berilmu,
maka dia dapat kembali kepada kebenaran. Kalau seorang yang berilmu kurang,
maka lahirlah kekurangannya dan dapatlah ia keluar dari kegelapan bodoh kepada
sinar ilmu yang terang-benderang.
Dan
tak khilaf lagi bahwa melahirkan apa yang $iketahui dari ilmu agama setelah
ditanyakan, adalah wajib dan perlu.
Dari
itu, katanya : "Tidak perlu bagi saya menyebutkannya" adalah berlaku
perkataan itu dalam perdebatan yang diadakan untuk memenuhi hawa nafsu dan
ingin mencari jalan untuk melepaskan diri. Kalau bukan demikian, maka
menerangkan yang diketahui itu adalah wajib sepanjang agama. Maka dengan
enggannya menerangkan, jadilah dia pendusta atau fasiq.
Perhatikanlah
musyawarah para shahabat ra. dan bersoal jawab para ulama salaf! Adakah anda
mendengar semacam itu? Adakah dilarang orang berp indah dari satu dalil ke
dalil yang lain, dari qias ke perkataan shahabat dan dari hadits ke ayat?
Tidak, bahkan seluruh perdebatan mereka termasuk ke dalam golongan-tadi. Karena
mereka menyebutkan apa yang terguris di hati, dengan tidak sembunyi-sembunyi.
Dan masing-masing mendengamya dengan penuh perhatian.
KELAPAN
: bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang diharapkan ada faedanya bagi
orang itu, seperti orang yang sedang menuntut ilmu.
Biasanya
sekarang, orang menjaga jangan sampai berdebat dengan tokoh-tokoh yang
terkemuka dalam lapangan ilmu pengetahuan. Karena takut nanti lahir kebenaran
dari mulut mereka. Dari itu dipilih dengan orang yang lebih rendah ilmunya,
karena mengharap yang batil itu menjadi laris.
Di
balik syarat-syarat yang tersebut, ada lagi teberapa syarat yang penting juga.
Tetapi dengan syarat yang delapan itu, cukuplati kiranya memberi petunjuk
kepada anda, siapa kiranya yang berdebat karena Allah dan siapa yang berdebat
karena sesuatu maksud.
Ketahuilah
secara keseluruhan, bahwa orang yang tidak mendebati setan, di mana setan itu
ingin menguasai hatinya dan musuhnya yang terbesar, yang senantiasa mengajaknya
kepada kebinasaan, lalu tampil mendebati orang lain mengenai masalah-masalah,
di mana seorang mujtahid memperoleh pahala atau mendapat bahagian dari orang
yang memperoleh pahala, maka orang tersebut membawa tertawaan setan dan menjadi
ibarat bagi orang-orang yang ikhlas, Karena
itu, waspadalah terhadap tipuan setan, yang selalu berusaha menjerumuskan
manusia ke dalam kegelapan bahaya yang akan kami perinci dan menerangkan
penjelasannya.
Kepada
Allah Ta'ala kita meminta pertolongan yang baik serta taufiq!.