Bahaya Lidah (2)


PENJELASAN: Menjaga dari dusta, dengan kata-kata sindiran.

Dinukilkan dari ulama salaf (ulama terdahulu), bahwa pada kata-kata sindir­an itu, kebebasan dari pada kedustaan. Umar r.a. berkata: "Adapun pada kata-kata sindiran itu, apa yang mencukupkan bagi seseorang, daripada ke­dustaan. Dan diriwayatkan ucapan yang demikian, dari Ibnu Abbas dan lain­nya.

Sesungguhnya, mereka bermaksud dengan yang demikian, apabila manusia memerlukan kepada kedustaan. Maka apabila tidak ada hajat dan dlarurat, maka tidak boleh menyindir dan berterus-terang. Akan tetapi menyindir itu lebih mudah.

Contoh menyindir, ialah: dirawikan, bahwa Mathrap masuk ketempat Zi yad (wali negeri Basrah dan Kufah). Lalu Ziyad mencelanya karena terlambat datang. Maka Mathraf membuat alasan karena sakit. Dan berkata: "Tidak dapat aku mengangkat lembungku, semenjak aku berpisah dengan Amir, kecuali apa yang diangkatkan aku oleh Allah".

(1) Diriwayatkan AlBukhari dan Muslim dari beberapa jalam hadits.

Ibrahim An-Nakha'i berkata: "Apabila sampai sesuatu daripada engkau ke­pada seseorang, lalu engkau tidak suka berdusta, maka katakanlah: "Se­sungguhnya Allah mengetahui apa yang aku katakan  (maa ‘ qultu) tentang sesuatu, daripada yang demikian". Maka katanya maa itu, pada pendengar, (adalah huruf nafi) (1). Dan padanya sendiri untuk meragukan Adalah Mu'az bin Jabal r.a. pekerja pada Umar r.a. Sewaktu Mu'az kem­bali dari pekerjaannya, lalu istrinya berkata kepadanya: "Tidakkah engkau membawa, apa yang dibawa oleh para pekerja kepada keluarganya?". Mu'­az tidak membawa pulang sesuatu kepada istrinya. Lalu Mu'az menjawab: "Ada disisiku pengintip (dlaghith) Maka menjawab istrinya: "Engkau adalah kepercayaan pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dan pada Abubakar r.a. Lalu Umar mengutus bersama-engkau se­orang pengintip!"


Isteri Mu'az itu bangun dengan sebab yang demikian, diantara wanita-wanita yang lain.
Dan ia mengadu kepada Umar. Tatkala berita itu sampai kepada Umar r.a., lalu Umar r.a. memanggil Mu'az r.a. Dan bertanya: "Adakah aku utus pengintip bersama kamu?".
Mu'az r.a. menjawab: "Aku tidak mendapat alasan Iain untuk meminta ma'af kepadanya, selain yang demikian".

Maka tertawalah Umar r.a. dan memberikan sesuatu kepada Mu'az r.a., seraya berkata: "Senangkanlah dia dengan barang ini!". Maksud perkataan Mu'az: dlaghith, ialah: raqib, artinya: pengintip. Dan yang dimaksudkannya dengan Pengintip itu, ialah: Allah Ta'ala.

Adalah An-Nakha'i tidak mengatakan kepada anak perempuannya: "Aku akan membeli gula untuk engkau". Tetapi ia mengatakan: "Apa pendapat engkau, jikalau aku belikan gula untuk engkau?". Karena kadang-kadang, kebetulan ia tidak membeli yang demikian:

Adalah Ibrahim An-Nakha'i tadi, apabila dicari oleh orang yang tidak disukainya bertemu dengan orang tersebut, pada hal ia berada dirumah, maka dikatakannya kepada pembantunya: "Katakanlah kepada orang itu: "Carilah dia di masjid!".
Dan jangan engkau katakan: "Dia tidak ada disini!", supaya tidak dusta". Adalah Asy-Sya'bi, apabila dicari dirumahnya dan ia tidak suka bertemu dengan orang itu, maka ia membuat garis suatu lingkaran dan mengatakan kepada pembantunya: "Letakkanlah anak jarimu dalam lingkaran ini, sera­ya engkau mengatakan: "la tidak ada disini!".
Ini semuanya adalah pada tempat keperluan. Adapun pada tempat yang ti­dak diperlukan, maka tidak diperbuat yang demikian. Karena ini memberi pengertian kepada dusta. Dan jikalau perkataan itu tidak dusta, maka pada

(1) Perkataan bahasa Arabnya: maa qultu,bahwa kata maa itu, ada dua arti. Yaitu: apa dan tidak. Dan artinya: tidak, bila maa itu huruf nafi. Arti nafi itu: tidak.
79
umumnya, adalah makruh (tidak disukai). Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Utbah, yang berkata: "Aku datang bersama ayahku kepada Umar bin Abdul-'aziz r.a. Lalu aku keluar dari tempat pertemuan itu de­ngan memakai pakaian baru.

Maka orang banyak bertanya: "Pakaian ini yang dianugerahkan kepadamu oleh Amirul-mu'minin?".

Lalu aku menja­wab: "Kiranya Allah memberi balasan kebajikan kepada Amirul-mu'mi­nin!". Maka ayahku berkata kepadaku: "Hai anakku! Takutlah kepada berdusta dan yang serupa dengan dusta!". Maka dilarangnya dari yang de­mikian. Karena padanya menetapkan cita-cita kepada sangkaan bohong, dengan maksud membanggakan diri. Dan ini adalah maksud yang batil, tak ada faedah padanya.

Benar, kata kata sindiran itu diperbolehkan untuk maksud yang ringan, se­perti menyenangkan hati orang lain dengan senda-gurau, seperti sabda Na­bi صلى الله عليه وسلم: "Tidak akan masuk sorga wanita tua". Dan sabdanya kepada wani­ta yang lain: "Yang pada mata suamimu putih" dan kepada wanita yang la­in lagi, beliau bersabda: "Kami bawa engkau atas anak unta" dan yang se­rupa dengan yang demikian. (1).


Adapun dusta yang terang-terangan, seperti yang diperbuat oleh Nu'aiman Al-Anshari serta Usman bin Affan r.a. pada ceritera orang buta, karena di­katakan kepadanya: bahwa itu Nu'aiman. (2). Dan sebagaimana dibiasa- kan oleh orang banyak mempermain-mainkan orang yang kurang pikiran, dengan menggodanya, bahwa ada wanita yang suka kawin dengan engkau. Jikalau pada yang demikian ada melaratnya, yang membawa kepada menyakitkan hati, maka itu haram.

Dan jikalau tidak ada, kecuali untuk membaik-baikkan saja, maka orang yang berbuat demikian, tidak dinamakan fasik. Tetapi yang demikian itu mengurangkan tingkat keimanannya. Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
لا يكمل للمرء الإيمان حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه وحتى يجتنب الكذب في مزاحه
(Laa yakmalu lil-mar-il-iimaanu hattaa yuhibba li-akhiihi maa yuhibbu li- nafsihii wa hattaa yajtanibal-kadziba fi mizaahihi). Artinya: "Tiada sempurna iman seseorang manusia, sehingga dicintainya saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Dan sehingga ia menjauhkan dusta pada senda-guraunya".(l).

(1)    Hadits-hadits ini sudah diterangkan lebih dahulu.
(2)   Ceritera tersebut, ialah: bahwa orang buta tadi, namanya: Makhramah bid Naufal, yang telah berusia 115 tahun. Ia mau kencing dalam masjid, lalu dibawa oleh Nu'aiman kelain sudut dari masjid itu. Maka ia mau kencing disitu, lalu orang banyak berteriak, bahwa itu masjid. Orang buta itu mengancam akan memukul Nu'aiman dengan tongkatnya, menga- pa ia dibawa kesitu. Maka pada suatu hari, ia dibawa dekat Usman bm-Affan yang se- dang shalat dan dikatakan itu Nu'aiman, maka dipukulnya, sampai berdarah. Lalu orang banyak berteriak: "Engkau memukul Amirul-mu'minin         ......".
(3)    Hadits ini disebutkan oleh Ibnu Abdil-barr, dari hadits Abi Mulaikah.
80

Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .: "Sesungguhnya orang yang berkata-kata de­ngan perkataan, untuk mentertawakan manusia, maka ia akan jatuh dalam api neraka, lebih jauh dari bintang Surayya" (1), maka yang dimaksudkan, ialah ada padanya umpatan terhadap muslim atau menyakitkan hati, tanpa semata-mata bersenda-gurau.

Setengah dari kedustaan, yang mendatangkan fasik, ialah apa yang berlaku menurut kebiasaan, pada perkataan yang bersangatan (mubalaghah). Seperti katanya: "Aku minta padamu, sekian dan sekian kali. Aku menga­takan kepadamu itu ratusan kali". Maka dengan perkataan tersebut, tidak dimaksudkan, memberi pengertian kali dengan bilangannya. Tetapi mem­beri pengertian bersangatan. Jikalau permintaannya hanya sekali, maka ia berdusta. Dan jikalau permintaannya berkali-kali yang tiada dibiasakan se­perti itu tentang banyaknya, maka ia tidak berdosa, walaupun tidak sampai seratus kali. Dan diantara keduanya tadi, tingkat-tingkat yang membawa terlanjurnya lidah dengan bersangatan, lantaran bahayanya terjadi kedus­taan.

Diantara yang dibiasakan kedustaan dan dianggap mudah, ialah dikatakan: "Makanlah makanan ini". Lalu orang yang diminta makan itu, menjawab: "Aku tidak ingin makan ini", Dan yang demikian itu dilarang dan haram hukumnya, walaupun tak ada padanya maksud yang sebenarnya. Mujahid bin Jabar Al-Makki berkata: "Asma' binti 'Umais berkata: "A- dalah aku teman 'Aisyah, pada malam yang aku siapkan dan membawanya masuk ketempat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Dan bersama aku, wanita-wanita Iain- nya".

Asma' binti 'Umais meneruskan ceriteranya: "Demi Allah! Aku tidak dapati pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . jamuan, selain semangkuk besar susu. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . meminumnya. Kemudian beliau memberikannya kepada 'Aisyah".

Asma' berkata seterusnya: "Budak itu (2) malu. Lalu aku berkata: "Jangan engkau menolak tangan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم .! Ambillah pemberiannya!" Asma' menyambung perkataannya: "Lalu 'Aisyah r.a. mengambil dari Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم . dengan malu. Lalu ia minum. Kemudian, Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Berilah lagi kepada teman-teman engkau!" Lalu wanita-wanita itu menjawab: "Kami tidak suka kepada susu". Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Janganlah engkau kumpulkan lapar dan dusta!". 


(1)   Hadits ini diriwayatkan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Hurairah. Dan telah diterangkan da­hulu.
(2)   Dikatakan 'A'syah budak, artinya: masih kecil, bukan budak orang (Pent).
81

Lalu Asma' menyambung ceriteranya: "Maka aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Jikalau salah seorang kami mengatakan pada sesuatu yang di- sukainya: "Aku tidak menyukainya," adakah yang demikian itu dihitung dusta?". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Sesungguhnya dusta itu akan di-tulis dusta, sehingga suatu dusta kecil akan ditulis sebagai dusta kecil".(1). Adalah ahli wara' (orang-orang yang menjaga diri benar-benar dari per­buatan yang kurang baik) menjaga benar daripada bertoleransi (ber-tasa'- muh) dengan kedustaan yang seperti ini. Al-Latts bin Sa'd berkata: "Ada­lah kedua mata Sa'id bin Al-Musayyab bertaik, sampai taik mata itu keluar dari kedua matanya. Lalu orang berkata kepadanya: "Jikalau engkau sapu kedua mata engkau           

Lalu Sa'id bin Al-Musayyab menjawab:"Bagaimana dengan perkataan tabib: "Jangan engkau sapu kedua matamu!". Lalu aku menjawab: "Tidak akan aku berbuat menyapunya". Inilah ketelitian ahli wara'! Siapa yang meninggalkannya, niscaya terlanjurlah lidahnya kepada kedustaan dari batas pilihannya. Lalu ia berdusta dan tanpa merasa.

Dari Khawwat At-Taimy yang menceriterakan: "Datang saudara perempu- an Ar-Rabi' bin Khusaim, berkunjung melihat anak Ar-Rabi' sakit. Lalu saudara perempuan itu menelungkup diatas anak Ar-Rabi' yang sakit tadi, seraya bertanya: "Bagaimana keadaan engkau wahai anakku?". Lalu Ar-Rabi' duduk, seraya berkata: "Adakah engkau menyusukannya?". Sauda­ra perempuannya itu menjawab: "Tidak!". Lalu Ar-Rabi' menyambung: "Apa salahnya, jikalau engkau mengatakan: "Wahai anak saudaraku". La­lu engkau benar pada perkataan itu?".

Menurut kebiasaan, seseorang itu berkata, bahwa Allah mengetahui ten­tang apa yang tiada diketahuinya. Nabi Isa a.s. berkata: "Sesungguhnya diantara dosa yang terbesar pada sisi Allah, ialah seorang hamba Allah itu berkata, bahwa: Allah mengetahui, apa yang tidak diketahuinya". Kadang- kadang orang berdusta tentang ceritera tidur. Dan dosa padanya itu besar. Karena Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Diantara dusta yang amat keji, ialah: dipanggil seseorang sebagai anak bukan bapaknya (2). Atau ia mengatakan matanya melihat sesuatu dalam tidur, (bermimpi) apa yang tidak dilihat- nya. Atau ia mengatakan terhadap aku sesuatu, apa yang tidak aku kata- kan".(3).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa berdusta tentang tidurnya, niscaya ia diberatkan pada hari kiamat untuk mengikat antara dua helai rambut. Dan ia tiada akan menjadi pengikat diantara dua helai rambut itu untuk selama- lamanya".(4).

(1)  Diriwayatkan Mujahid dari Asm a' binti 'Umais.
(2)  Umpamanya: dikatakan dia itu anak si Anu, pada hal bukan anak si Anu (Pen).
(3)  Diriwayatkan Al-Bukhari dari Watsilah bin Al-Asqa'.
(4)  Diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas.
82

BAH AYA KELIMABELAS: umpatan.

Pembahasan mengenai umpatan itu panjang. Maka marilah pertama-tama kami menyebutkan, tentang tercelanya umpatan itu dan dalil-dalil Syari'at yang membahas tentang umpatan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menegaskan tentang tercelanya umpatan dalam KitabNya (Al-Qur-an). Dan Ia serupakan orang yang mengumpat itu dengan orang yang memakan daging bangkai.

Allah Ta'ala berfirman:-
وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوه وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
(Wa laa yaghtab ba'dlukum ba'dlan, a yuhibbu ahadukum an ya'kula lahma akhiihi maytan, fa karihtumuh).Artinya: "Dan janganlah mengumpat satu sama lain. Adakah agaknya se­orang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah - mati? Maka kamu tiada menyukainya".S.Al-Hujarat, ayat 12.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: -
كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه حديث كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه أخرجه مسلم
(Kullul-muslimi alal-muslimi haraamun damuhu wa maaluhu wa'irdluhu). Artinya: "Semua orang Islam terhadap orang Islam itu haram: darahnya, hartanya dan kehormatannya".(l).

Mengumpat itu menyinggung kehormatan orang. Dan Allah Ta'ala mengumpulkan diantara kehormatan, harta dan darah. Abu Hurairah berkata: "

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
لا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تفاحشوا ولا تدابروا ولا يغتب بعضكم بعضا وكونوا عباد الله إخوانا حديث لا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا يغتب بعضكم بعضا وكونوا عباد الله إخوانا متفق عليه
(Laa tahaasaduu wa laa tabaaghadluu wa laa tanaajasyuu wa laa tadaaba-ruu wa laa yaghtab ba'dlukum ba'dlan wa kuunuu 'ibaada'Ilaahi ikhwaa- naa).Artinya: "Janganlah kamu dengki-mendengki, janganlah marah-memarahi, janganlah tambah-menambah pada berjual-beli dan lainnya, janganlah belakang-membelakangi dan janganlah mengumpat satu sama lain! Adalah kamu semua hamba Allah bersaudara!".(2).

Dari Jabir dan Abi Sa'id, yang mengatakan: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Awaslah daripada mengumpat! Karena mengumpat itu lebih keras dari zina. Sesungguhnya seseorang terkadang ia berzina dan bertobat. Maka di- terima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan tobatnya. Dan sesungguhnya seorang yang mengumpat, tiada akan diampunkan dosanya sebelum diampuni oleh temannya yang diupatnya itu".(3).


(1)    Diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah.
(2)    Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
(3)    Diriwayatkan oleh Ibnu Abi'd- Dun-ya dan Ibnu Hibban dari Jabir dan Abi Sa'id.
83

Anas berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم , bersabda:-
مررت ليلة سري بن على أقوام يخمشون وجوههم بأظافيرهم فقلت يا جبريل من هؤلاء قال هؤلاء الذين يغتابون الناس ويقعون في أعراضهم
(Marartu lailata usria bii 'alaa aqwaamin yakhmisyuuna wujuuhahum bi- adhaa-fiirihim fa qultu: yaa Jibriilu man haaulaa-i? Qaala: Haaulau-illad- ziina yaghtaabuunan-naasa wa 1'uuna fii a'raadlihi Artinya: "Aku lalu pada malam aku.di-isra'kan, pada beberapa kaum (go- longan), yang mencakar mukanya dengan kukunya. Lalu aku bertanya: "Hai Jibrail! Siapakah mereka itu?". Jibrail menjawab: "Mereka itu ialah orang-orang yang mengumpat manusia dan terperosok memperkatakan ke­hormatan orang". (1).

Salim bin Jabir berkata: "Aku mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم ., lalu aku berkata: "Ajarilah aku kebajikan yang akan aku mengambil manfaat daripadanya!". Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Janganlah engkau.memandang hina sedikitpun akan perbuatan yang baik dan walaupun engkau menuang- kan air dari timba engkau dalam bejana (tempat air) orang yang meminta minum! Dan bahwa engkau berjumpa dengan teman engkau dengan gembira dan baik. Dan jikalau ia membelakangi, maka janganlah engkau me- ngumpatnya!".(2).

Al-Barra? bin 'Azib berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berpidato (berkhutbah) pada kami, sehingga aku mendengar suara wanita-wanita pingitan dalam rumahnya. Diantara lain beliau bersabda: "Hai golongan orang yang beriman dengan lidahnya dan tidak beriman dengan hatinya! Janganlah kamu mengumpati kaum muslimin dan janganlah kamu mengintip hal-hal yang memalukan mereka (aurat mereka)! Sesungguhnya, barangsiapa mengintip hal-hal yang memalukan saudaranya, niscaya Allah mengintip hal-hal yang memalukannya. Dan barangsiapa diintip oleh Allah auratnya, niscaya disi- arkanNya dan orang itu ditengah-tengah rumahnya".(3). Ada yang mengatakan, bahwa Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Na­bi Musa a.s. yang maksudnya: "Barangsiapa meninggal dengan tobat dari mengumpat orang, maka dia adalah orang yang penghabisan masuk sorga. Dan barangsiapa meninggal dengan berkekalan mengumpat orang, maka dia adalah orang pertama masuk neraka".

Anas berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menyuruh manusia berpuasa satu hari. Lalu beliau bersabda:
لا يفطرن أحد حتى آذن له
(Laa yuf-thiranna ahadun hattaa aadzana lahu)
Artinya: "Jangan seorang pun membuka puasanya sebelum aku izinkan". Maka berpuasalah manusia. Sehingga ketika hari sudah petang, lalu seo­rang laki-laki datang kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Aku terus puasa, izinkanlah aku berbuka!". Lalu beliau me ngizinkannya berbuka. Kemudian datang lagi seorang, demi seorang. Se­hingga datanglah seorang laki-laki, seTaya berkata: "Wahai Rasulu'llah! Dua orang anak gadis dari keluargamu (dari suku Qurasy) terus-menerus berpuasa. Mereka malu datang kepada engkau. Maka izinkanlah keduanya membuka puasanya!".

(1)     Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Anas, hadits mursal.
(2)    Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi'd-Dun-ya dari Salim, isnadnya dla'if.
(3)     Diriwayatkan oleh Abu Daud Abi Barzah dengan isnad yang baik.
84

Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berpaling muka dari orang itu. Kemudian, ia mengulangi lagi meminta izin. Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berpaling muka la­gi. Kemudian, laki-laki itu mengulangi pula meminta izin. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Kedua anak gadis itu tidak berpuasa. Bagaimana ber­puasa orang yang sejak dari siang harinya, memakan daging manusia. Per- gilah kamu, lalu suruhlah keduanya, kalau benar ia berpuasa, supaya ia muntah!".

Lalu laki-laki tersebut kembali menjumpai kedua anak gadis itu. Maka ia mfenceriterakan kepada keduanya apa yang disuruh oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Lalu keduanya muntah. Maka masing-masing memuntahkan sepotong darah beku.


Kemudian, laki-laki itu kembali kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . , lalu menceriterakan apa yang terjadi. Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab:
والذي نفسي بيده لو بقيتا في بطونهما لأكلتهما النار
(Wal-ladzii nafsii biyadihi, lau baqi-yataa fii buthuuni-himaa la-aka-lathu- man-naaru).
Artinya: "Demi Allah yang nyawaku dalam TanganNya. Jikalau darah be­ku itu terus berada dalam perutnya, niscaya keduanya akan dimakan api neraka".(1).

Pada suatu riwayat, bahwa tatkala Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berpaling muka dari orang tersebut, maka kemudian ia datang lagi, seraya berkatai "Wahai Ra­sulu'llah! Demi Allah! Sesungguhnya kedua anak gadis itu sudah meninggal atau hampir meninggal."

Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Bawalah keduanya kemari!". Lalu kedua anak gadis itu datang. Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . meminta gelas, seraya bersabda kepada salah seorang dari keduanya: "Muntahlah!" Lalu ia muntahkan nanah, darah dan nanah bercampur darah, sehingga penuh gelas tersebut. Dan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda kepada yang seorang lagi: "Muntahlah!". Lalu ia muntah seperti itu juga. Maka bersabdalah Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم .: "Bahwa kedua anak gadis ini berpuasa daripada yang dihalalkan oleh Allah kepadanya dan berbuka dengan yang diharamkan oleh Allah kepadanya. Salah seorang dari keduanya duduk berdekatan dengan yang lain, lalu keduanya mamakan daging manusia".(2).

(1)   Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-ya dari Anas bin Malik dan lain-lain perawi.
(2)   Diriwayatkan oleh Ahmad dari 'Ubaid, bekas budak Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dan dalam sanad- nya ada orang yang tidak tersebut namanya.
85

Anas bin Malik berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . berkhutbah (berpidato) dihadapan kami. Lalu beliau menyebut riba dan membesarkan keadaan bahaya- nya. Beliau bersabda, bahwa satu dirham yang diperoleh oleh seseorang da­ri riba, adalah lebih besar kesalahannya pada Allah, dari pada tigapuluh enam kali zina yang dizinai oleh seseorang. Dan riba yang paling besar ribanya, ialah: kehormatan seorang muslim". (1).

Jabir bin Abdullah r.a. berkata: "Adalah kami bersama Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dalam suatu perjalanan. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . datang pada dua pekuburan yang diazabkan kedua orang yang punya kuburan itu. Maka beliau ber­sabda: "Keduanya diazabkan. Dan tidak diazabkan karena dosa besar. Adapun yang seorang, ia mengumpat manusia. Dan yang seorang lagi, ia tidak membersihkan dari kencingnya".

Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . meminta satu pelapah kurma yang belum kering atau dua pelapah kurma. (2). Maka dibelahkannya. Kemudian, disuruhnya tiap belahan itu supaya ditanam diatas kuburan, seraya beliau bersabda: "Akan enteng dari azab yang diderita oleh kedua orang ini selama ke­dua belahan pelapah kurma itu masjh basah atau selama belum kering"(3).

Sewaktu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . merajam (menghukum mati) Ma'iz bin Malik Al-As-lami lantaran berzina, lalu seorang laki-laki berkata kepada teman­nya: "Orang ini mati ditempat, seperti anjing mati ditempat". Maka lalulah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersama kedua orang tadi dekat suatu bangkai. Lalu Ra­sulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Makanlah dari bangkai ini!". Kedua orang ter­sebut bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Kami makan bangkai?". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Apa yang kamu peroleh dari saudaramu itu (4) adalah lebih busuk dari bangkai ini!". (5).

Adalah para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم . jumpai-menjumpai dengan orang banyak dan mereka tidak umpat-mengumpat dibelakang. Mereka melihat yang de­mikian itu, perbuatan yang paling utama Dan mereka melihat yang sebaliknya, akan adat kebiasaan orang-orang munafik.

Abu Hurairah r.a. berkata: "Barangsiapa memakan daging saudaranya di dunia, niscaya didekatkan kepadanya daging saudaranya itu di akhirat. Dan dikatakan kepadanya: "Makanlah dia yang sudah mati, sebagaimana eng­kau makan dahulu sewaktu ia masih hidup!". Lalu dimakannya, maka ia memekik dan berkerut mukanya".Yang dikatakan Abu Hurairah ini, dirawikan seperti yang demikian, seba­gai hadits marfu'.     

(1)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-ya dari Anas, dengan sanad lemah.
(2)
Perawi hadits ini ragu, apakah satu atau dua pelapah yang diminta Nabi صلى الله عليه وسلم ., lalu ia merawikan demikian (Penv).
(3)
Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan lain-lain perawi.
(4)
Yang dimaksud dengan "saudaramu" itu, ialah: Ma'i2 yang dihukum rajam (Penv).
(5)
Dirawikan Abu Daud dan An-Nasa-i dari Abi Hurairah. dengan isnad baik.

Diriwayatkan, bahwa dua orang laki-laki duduk pada salah satu pintu Masjidilharam. Lalu lewatlah seorang laki-laki yang menyerupai perempuan. Lalu laki-laki itu ditinggalkan, maka keduanya berkata: "Masih ada pada laki-laki itu sesuatu".

Lalu kedengaran iqamah untuk shalat, maka keduanya pun masuk kedalam masjid dan bershalat bersama orang banyak. Lalu tergurislah pada hati ke­duanya, apa yang dikatakannnya tadi. Maka sesudah shalat, keduanya mendatangi 'Atha' bin Abi Rabah (mufti Makkah), menanyakannya. Lalu 'Atha' menyuruh keduanya mengulangi Wudlu' dan shalat. Dan beliau menyuruh pula keduanya mengqadlai puasa, jikalau keduanya berpuasa. Dari Mujahid bin Jabar Al-Makki Al-Tabi'i, yang mengatakan tentang fir­man Allah Ta'ala, S. Al-Humazah, ayat 1:-
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
(Wailun likulli humazatin lumazah).
(Celaka untuk setiap humazah lumazah), bahwa: هُمَزَةٍhumazah itu ialah: mencela orang dan لُّمَزَةٍ lumazah itu, ialah: yang memakan daging orang. Qatadah bin Dl'amah As-Sudusi berkata: Disebutkan kepada kami, bahwa azab kubur itu tiga pertiga. Sepertiga dari mengupat, sepertiga dari lalat merah dan sepertiga lagi dari kencing".

Al-Hasan Al-Bashari r.a. berkata: "Demi Allah! Mengumpat itu mempunyai pengaruh yang lebih cepat pada agama orang mu'min, daripada pengaruh sekali makan pada tubuh".

Setengah mereka berkata: "Kami mendapati ulama terdahulu (ulama salaf). Mereka tiada melihat ibadah itu pada puasa dan pada shalat. akan tetapi pada mencegah diri dari memperkatakan kehormatan orang". Ibnu Abbas r.a. berkata: "Apabila engkau bermaksud hendak menyebut, kekurangan teman engkau, maka sebutlah kekurangan engkau sendiri!". Abu Hurairah r.a. berkata: "Salah seorang kamu melihat benda kecil pada mata temannya. Dan ia tiada melihat unta pada matanya sendiri".(1).

Al-Hasan Al-Bashari r.a. berkata: "Hai anak Adam! Engkau tidak akan memperoleh hakekat iman, sebelum engkau mengukur kekurangan orang dengan kekurangan yang ada pada dirimu sendiri. Dan sebelum engkau mulai memperbaiki kekurangan itu. Maka engkau memperbaikinya dari di­rimu sendiri. Apabila engkau sudah berbuat yang demikian, niscaya adalah kesibukammi tertentu pada dirimu. Dan hamba Allah yang lebih dikasihi oleh Allah, ialah orang yang seperti demikian".


(1) Sama dengan pepatah kita: Kuman diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata ti­dak tampak (Peny).
87

Malik bin Dinar berkata: "Nabi Isa a.s. bersama para shahabatnya (Al-ha- wariyyun) lalu dekat bangkai anjing. Lalu shahabatnya itu berkata: "Alang- kah busuknya bau anjing ini!". Maka Nabi Isa a.s. menjawab: "Alangkah sangat putih giginya!". Seolah-oleh beliau a.s. melarang mereka mengum­pat anjing dan memberi-tahu-kan kepada mereka, bahwa tidaklah disebut sesuatu dari makhluk Allah, melainkan yang baiknya saja". Ali bin Al-Husain r.a. mendengar seorang laki-laki mengumpat orang lain. Lalu beliau berkata kepadanya: "Jagalah dari mengumpat! Karena mengumpat itu hidangan anjing-anjing manusia".

Umar r.a. berkata: "Selalulah engkau berzikir (menyebut-mengingat) akan Allah!. Karena berzikir itu obat. Dan jagalah daripada menyebut manu­sia! Karena itu adaJah penyakit".

Kita bermohon pada Allah akan kebaikan taufiq untuk menta'atiNya. PENJELASAN: arti umpatan dan batas-batasnya.


Ketahuilah, bahwa batas umpatan itu ialah, bahwa engkau menyebut saudara engkau, dengan yang tidak disenanginya, jikalau sampai kepadanya. Sama saja yang engkau sebutkan itu, berkenaan dengan kekurangan pada tubuhnya atau keturunannya atau pada kelakuannya atau pada perbuatan- nya atau pada perkataannya atau pada agamanya atau pada dunianya, Se­hingga pada kainnya, rumahnya dan kenderaannya.

Adapun tubuhnya, yaitu: seperti engkau sebutkan: buruk matanya, juling, botak, pendek, panjang, hitam, kuning dan semua yang dapat digambarkan untuk menyifatkannya dari hal-hal yang tidak disenangi, betapa pun ada­nya.

Adapun keturunan, yaitu: bahwa engkau mengatakan: ayahnya peluku tanah atau orang Hindu

(1) atau orang fasiq atau orang jahat atau tukang buat sandal atau tukang sapu atau sesuatu dari halhal yang tiada. disenanginya betapa pun adanya.

Adapun kelakuan, yaitu: bahwa engkau mengatakan: dia itu buruk kela­kuannya, orang kikir, orang sombong, orang ria, sangat pemarah, pemalas, lemah, dla'if hatinya, terlalu berani dan sifat-sifat lainnya yang mengarahi dengan hal-hal yang tersebut.

Adapun perbuatannya yang menyangkut dengan Agama, seperti: engkau mengatakan, bahwa: dia itu pencuri atau pendusta atau peminum khamar atau pengkhianat atau'orang zalim atau orang yang mempermudah-mudah- kan shalat atau zakat atau orang yang tidak pandai ruku' atau sujud atau orang yang tidak menjaga diri dari najis atau orang yang tidak berbuat baik kepada ibu-bapa atau tidak meletakkan zakat pada tempatnya atau tidak pandai membagi zakat atau tidak menjaga puasanya dari perkataan keji, dari mengumpat dan dari memperkatakan kehormatan orang lain. Adapun tentang perbuatannya yang menyangkut dengan duniawi, seperti


(1) Bagi orang yang tidak senang dikatakan demikian. (Peny).
88

engkau katakan: bahwa ia kurang sopan, menganggap enteng orang lain atau ia tidak melihat adanya hak seseorang atas dirinya. Atau ia melihat, dirinya mempunyai hak atas orang lain. Atau ia banyak bicara, banyak ma­kan, banyak tidur, tidur tidak pada waktu tidur dan duduk tidak pada tempatnya.

"Adapun tentang pakaiannya, maka seperti engkau katakan: dia itu lengan bajunya luas, panjang ekornya (pakaiannya kepanjangan), kotor pakaian­nya.

Segolongan ulama mengatakan: tiada umpatan mengenai Agama. Karena ia mencela apa yang dicela oleh Allah Ta'ala. Maka disebutkannya dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Dan mencelanya dengan yang demikian itu diperbolehkan, berdasarkan dalil yang diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., diterangkan kepadanya tentang seorang wanita, banyak shalatnya dan puasanya. Akan tetapi ia menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Wanita itu dalam neraka"(1). Disebutkan pula pada Nabi صلى الله عليه وسلم . tentang seorang wanita Iain, bahwa wa­nita itu kikir. Lalu beliau menjawab: "Jadi, apa kebajikannya?".(2). Maka ini merusak. Karena mereka menyebutkan yang demikian, untuk keperluan mengetahui hukumnya dengan pertanyaan. Dan tidak adalah maksud me­reka untuk menerangkan kekurangan wanita tadi. Dan tidak diperlukan ke­pada pertanyaan tersebut pada bukan majlis Rasul صلى الله عليه وسلم . Dan dalilnya itu kesepakatan (ijma') umat, bahwa barangsiapa menyebut orang lain, dengan yang tidak disukainya, maka dia itu pengumpat. Karena termasuk dalam a- pa yang disebut oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dalam: batas umpatan. Dan semua ini walaupun ia benar, maka dia itu pengumpat, durhaka kepada Tuhannya dan memakan daging saudaranya, dengan dalil yang diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tahukah kamu apakah umpatan itu?1'. Para sha­habat menjawab: "Allah dan rasulNya yang lebih tahu!".

Lalu Nabi s-.a.w. menjawab:
ذكرك أخاك بما يكرهه
(Dzikruka akhaaka bimaa yakrahuh).Artinya: "Engkau menyebut saudara engkau dengan yang tidak disukai­nya". Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . ditanyakan: "Adakah yang demikian, walaupun pada saudaraku itu benar apa yang kukatakan?". Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab:

(1)  Dirawikan Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abi Hurairah dan dipandang hadits shahih.
(2) Dirawikan AI-Kharaithi dari Abi Ja'far Muhammad bin Ali, hadits mursal.
89
 إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته
(In kaana fiihi maa taquulu fa-qadigh-tabtahu wa in lam yakum fiihi, fa qad bahattahu).
Artinya: "Jikalau benar apa yang kamu katakan itu, maka engkau telah mengumpatnya. Dan jikalau tidak benar, maka engkau telah berbuat dusta kepadanya" (1).

Mu*az bin Jabal r.a. mengatakan, bahwa disebutkan tentang seorang laki- laki pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Mereka mengatakan "Alangkah lemahnya laki- laki itu!"
Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Kamu telah mengumpat saudaramu". Mere­ka menjawab: "Wahai Rasulu'llah! Kami mengatakan apa adanya". Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Jikalau kamu mengatakan apa yang tidak ada, maka ka­mu telah berbuat dusta kepadanya".(2)

Dari Huzhaifah, dimana ia menerima dari 'A'isyah r.a. bahwa 'A'isyah r.a. menyebut tentang seorang wanita pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم ., dengan katanya, bahwa wanita itu pendek. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Engkau mengum­patnya". (3).

Al-Hasan Al-Bishri r.a. berkata: "Menyebutkan orang lain itu tiga macam: mengumpat (al-qhaibah), membohong (al-buhtan) dan dusta (al-ifku). Semuanya tersebut dalam Kitab Allah 'Azza wa Jalla. Al-ghaibah, yaitu: eng­kau katakan apa adanya. Al-buhtan, yaitu engkau katakan apa yang tidak ada. Dan Al-ifku, yaitu: engkau katakan apa yang disampaikan kepada eng­kau''.

Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki, lalu mengatakan: itu laki-laki hitam. Kemudian beliau mengucapkan: ''Astaghfiru'llaah (aku meminta am- pun pada Allah ). Sesungguhnya akii melihat diriku ini telah mengumpat­nya".

Ibnu Sirin menyebutkan Ibrahim An-Nakha'i, lalu meletakkan tangannya atas matanya. Dan beliau tidak mengatakan: juling (4). 'A-isyah r.a. berkata: "Janganlah seseorang dari kamu mengumpat seseo­rang! sesungguhnya aku pada suatu kali berkata kepada seorang wanita dan aku disamping Nabi صلى الله عليه وسلم .: "Bahwa wanita ini panjang ekornya (bajunya panjang sampai ketanah)". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda kepadaku: '"Ludah- lah! Ludahlah!". Lalu aku meludahkan sepotong daging".(5).

(1)    Dirawikan Muslim dari Abi Hurairah.
(2)    Dirawikan Ath-Thabrani dari Mu'az dengan sanad dla'if.
(3)    Dirawikan Ahmad dari 'A'isyah dan At-Tiimidzi dengan kata-kata lain dan dipandang- nya shahih.
(A) Untuk menytakan, bahwa Inrahim An-Nakha'i itu juling.
(5) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Ibnu Mardawaih dari 'Aisyah.
90



PENJ ELA SAN: bahwa umpatan itu tidak terbatas pada lidah.

Ketahuiiah, bahwa menyebut dengan Iisan itu diharamkan. Karena pada­nya memberi pengertian kepada orang Iain, akan kekurangan saudaramu dan memperkenalkannya dengan apa yang tiada disukainya. Maka menyin- dir dengan yang demikian itu seperti menegaskannya. Dan perbuatan pa­danya itu seperti perkataan, isyarat, penunjukan dengan tangan, isyarat de­ngan mata, (al-ghamzi),tunjukan (ar-ramzi), tulisan, gerak dan tiap yang memberi pengertian akan yag dimaksud. Maka itu termasuk dalam umpat­an. Dan itu haram.

Maka termasuk yang demikian itu kata 'Aisyah r.a.: "Masuk ketempat ka­mi seorang wanita. Sewaktu ia berpaling, lalu aku isvaratkmi dengan tanganku, bahwa wanita itu pendek. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Engkau telah mengumpatnya".(l).

Dan termasuk yang demikian, peniruan. Seperti berjalan dengan membuat- buat pincang atau sebagaimana orang itu berjalan. Maka itu umpatan. Bahkan lebih berat dari umpatan. Karena yang demikian lebih besar kesannya pada menggambarkan dan memberi pengertian. Sewaktu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . melihat 'Aisyah, meniru seorang wanita, lalu beliau bersabda:
ما يسرني أني حكيت ولي كذا وكذا
(Maa yasurrunii annii haa-kaitu insaanan wa Iii kadzaa wa kadzaa). Artinya: "Aku tidak senang bahwa aku meniru seseorang manusia, sedang aku mempunyai hal yang demikian dan yang demikian". (2).

Dan seperti yang demikian, umpatan dengan tulisan. Sesungguhnya pena itu salah satu dari dua lisan. Seorang pengarang yang menyebutkan orang tertentu dan menyalahkan perkataannya dalam bukunya, itu umpatan. Ke­cuali disertai oleh sesuatu kepentingan yang memerlukan kepada menyebut- kannya, sebagaimana akan datang penjelasannya.

Adapun katanya dalam bukunya itu: "Kata suatu kaum demikian", maka tidaklah itu umpatan. Karena umpatan itu menyinggung kepada orang ter­tentu, baik masih hidup atau sudah mati.

Dan termasuk umpatan, bila anda mengatakan: "Sebahagian orang yang datang pada kami hari ini" atau "Sebahagian orang yang kami lihat", apabila orang yang diajak berbicara itu, memahami akan orang tertentu dari pembicaraan tersebut. Karena yang ditakuti, ialah memberi pemahamannya. Bukan apa yang menjadi pemahaman. Apabila tidak dipahaminva akan diri orang itu, niscaya boleh. Adalah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . apabila tidak menyukai sesuatu dari seseorang manusia, niscaya beliau bersabda:
ما بال أقوام يفعلون كذا وكذا
(Maa baalu aqwaamin yafaluuna kadzaa wa kadzaa).

1) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari 'Aisyah r.a.
2) Hadits ini telah diterangkan dahulu pada "Bahaya Kesebelas".
91

Artinya: "Apalah kiranya hal keadaan kaum-kaum (golongan-golongan)
yang berbuat demikian dan demikian".(1).

Maka adalah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . tidak menentukan orang tertentu. Dan kata engkau: sebahagian orang yang datang dari perjalanan'.' atau sebahagian orang yang menda'wakan berilmu", jikalau ada pada perkataan itu suatu petunjuk yang memberi pengertian akan diri seseorang, maka itu umpatan. Yang paling keji diantara bermacam-macam umpatan itu, ialah umpatan- nya ulama-ulama yang ria. Karena mereka memberi pengertian akan maksudnya, dengan kata-kata ahli perbaikan, untuk melahirkan dari dirinya, terpelihara dari mengumpat. Dan mereka itu memberi pengertian akan maksudnya. Dan mereka tidak tahu, disebabkan kebodohannya, bahwa mereka telah mengumpulkari dua perbuatan keji, yaitu: umpatan dan ria. Yang demikian itu, umpamanya: disebutkan padanya seseorang manusia. Lalu ia mengatakan: "Segala pujian bagi Allah yang tidak mendatangkan bencana bagi kita, dengan masuk kerumah Sultan dan meminta pemberian dalam mencari harta benda dunia". Atau ia mengatakan: "Kita berlindung dengan Allah dari kurangnya malu. Kita bermohon kepada Allah, kiranya dipeliharaNya kita dari kurangnya malu". Sesungguhnya maksudnya itu, ia­lah memberi pengertian akan kekurangan orang lain. Lalu disebutkannya dengan kata-kata do'a.

Begitu juga kadang-kadang, ia mengemukakan pujian kepada orang yang mau diumpatinya. Lalu ia mengatakan: "Alangkah baiknya keadaan si Anu. Ia tidak pernah menyia-nyiakan ibadah. Tetapi sekarang telah diganggu olek lemahnya kemauan dan telah dicoba dengan apa yang dicoba semua kita, yaitu: kurang sabar". Maka ia menyebut dirinya. Dan maksudnya mencaci orang lain dalam kandungan kata-kata yang demikian. Ia memuji dirinya dengan menyerupakannya dengan orang-orang shalih (orang-orang baik), dengan mencaci dirinya sendiri.

Maka adalah orang yang demikian itu pengumpat, ria dan membersihkan dirinya. Ia mengumpulkan diantara tiga kekejian. Yaitu: dengan kebodoh­annya, ia menyangka, bahwa ia termasuk orang-orang shalih yang menjaga diri dari umpatan. Dan karena itulah, setan bermain-main dengan orang bodoh, apabila mereka mengerjakan ibadah, tanpa pengetahuan. Maka se­tan itu mengikuti mereka dan mengelilingi amal mereka dengan tipu-dayanya. Setan itu tertawa kepada mereka dan memperolok-olokkannya. Termasuk yang demikian juga, menyebut kekurangan orang. Lalu sebaha­gian yang hadir tidak menyadarinya. Lalu ia mengucapkan: Subhaana'llah! Alangkah mena'jubkan ini !". Sehingga perkataannya diperhatikan orang dan diketahui apa yang dikatakannya. Maka ia menyebutkan nama Allah Ta'ala dan memakai namaNya, menjadi alat baginya pada melaksanakan kekejiannya. Ia membangkit-bangkit atas Allah Azza wa Jalla dengan menyebutkanNya, karena kebodohannya dan tertipu.

(1) Dirawikan Abu Dawud dari 'Aisyah dan perawi-perawinya orang-orang yang dipandang shah.
92

Begitu pula dengan mengatakan: "Sesungguhnya menyakitkan aku dengan apa yang terjadi atas teman kita dari penghinaan terhadap dirinya. Kita bermohon kepada Allah untuk disenangkan hatinya".

Adalah orang itu dusta dalam dakwaannya berdukacita dan pada mela­hirkan do'a kepada temannya itu. Tetapi kalau benar-benar ia bermaksud berdo'a, niscaya ia akan menyembunyikan do'anya, dalam ksunyiannya sesudah shalat. Dan jikalau benar ia berdukacita, niscaya ia berdukacita pula dengan melahirkan apa yang tidak disenanginya.

Begitu pula dikatakannya: "Orang miskin itu (orang yang patut dikasihani itu) telah mendapat percobaan  dengan bahaya besar. Kiranya Allah mem­beri tobat kepada kita dan kepadanya". Maka pada semua yang demikian, ia melahirkan do'a. Dan Allah melihat kekejian hatinya dan maksudnya yang tersembunyi. Dan dia karena kebodohannya itu, tidak mengetahui, bahwa ia telah berbuat cacian, yang lebih besar daripada yang diperbuat oleh orang-orang bodoh, apabila mereka itu berbuat terus-terang. Termasuk yang demikian juga, mendengar dengan penuh perhatian, kepa­da umpatan yang dilakukan seseorang, dengan jalan ta'jub. Karena sesung­guhnya ia melahirkan keta'juban itu, untuk menambahkan kegemaran orang yang mengumpat, pada umpatan. Lain orang tersebut semakin terdo- rong pada mengumpat. Dan seolah-olah ia mengeluarkan umpatan dari orang tersebut dengan jalan itu. Maka ia mengatakan: "Heran, sesung­guhnya aku tidak tahu ia seperti yang demikian. Aku tidak mengenai dia sampai sekarang, kecuali baik. Dan aku menyangka padanya bukan itu. Ki­ranya kita diselamatkan (diafiatkan) oleh Allah daripada bencananya". Sesungguhnya semua yang demikian itu, membenarkan orang yang meng­umpat. Dan membenarkan umpatan, adalah umpatan. Bahkan orang yang diam itu menjadi sekutu orang yang mengumpat.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
المستمع أحد المغتابين
(Al-mustami 'u ahadulmughtaabiina).'Artinya: "Yang mendengar itu adalah salah seorang dari orang-orang yang mengumpat". (1),

Diriwayatkan dari Abubakar r.a. dan Umar r.a. bahwa salah seorang dari. keduanya berkata kepada temannya: "Bahwa si Anu banyak sekali tidurnya". Kemudian keduanya meminta lauk-pauk dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . un­tuk memakan roti. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Kamu berdua telah makan!". Lalu keduanya menjawab: "Kami tidak tahu". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  menjawab:

(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Umar. hadits ini dla'if.
93

بلى إنكما أكلتما من لحم أخيكما
(Balaa innakumaa akakumaa min lahmi akhiikumaa). Artinya: "Ya! Sesungguhnya kamu berdua telah memakan daging sauda­ramu". (1).

Maka perhatikanlah, bagaimana Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . mengumpulkan kedua­nya. Adalah yang berkata salah seorang dari keduanya. Dan yang lain mendengar. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda kepada dua orang laki-laki yang berkata salah seorang dari keduanya, bahwa orang itu dibunuh ditem- patnya, sebagaimana anjing dibunuh ditempat, dengan sabdanya:
انهشا من هذه الجيفة
(Inhasyaa min haadzihil-jiifah). Artinya: "Makanlah dari bangkai ini!".(2).
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . mengumpulkan (menyamakan) diantara kedua orang yang tersebut. Maka yang mendengar tidak terlepas dari dosa mengumpat, kecuali ia menantang dengan lisannya atau dengan hatinya, jikalau ia takut. Dan jikalau ia sanggup bangun berdiri (meninggalkan tempat tersebut) atau memutuskan percakapan dengan pembicaraan yang lain, lalu tidak dilaku- kannya, niscaya harus ia berdosa. Dan jikalau ia mengatakan dengan lidahnya: "Diamlah !", pada hal ia ingin pembicaraan itu dengan hatinya, maka itu adalah nifaq.

Dan ia tidak terlepas dari dosa; selama ia tidak benci dengan hatinya. Dan tidak memadai pada yang demikian, bahwa ia mengisyaratkan dengan tangan , yang artinya: "Diamlah !". Atau ia mengisyaratkan dengan ke- ningnya dan tepi dahinya.

Karena yang demikian itu penghinaan bagi orang yang disebutkan. Akan tetapi, sayogialah ia menghormati orang itu* Maka dipertahankanhya de­ngan terus-terang.

Nabi. صلى الله عليه وسلم . bersabda:
من أذل عنده مؤمن فلم ينصره وهو يقدر على نصره أذله الله يوم القيامة على رؤوس الخلائق
(Man udzilla indahu mu'minun, fa lam yanshurhu, wa huwa yaqdiru 'alaa nashrihi. adzalla-hullahu yaumal-qiamati 'alaa ru-uusil-khalaa-iqiy. Artinya: "Barangsiapa dihinakan disisinya seorang mu'min, lalu tidak di- tolongnya, pada hal ia sanggup menolongnya, niscaya ia dihinakan oleh Al­lah pada hari kiamat dihadapan orang banyak".(3).


(1)    Dirawikan Abui-Abbas Ad-Dughuli dari Abdurrahman bin Abi Laila, hadits ini mursal.
(2)    Hadits ini sudah diuraikan duhulu.
(3)    Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dari Sah! bin Hunaif„kata Al-Haitami hadits baik (nasan).
94

Abud-Darda' berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa menolak dari penghinaan kehormatan saudaranya yang dilakukan dengan umpatan, niscaya adalah hak atas Allah menolak dari penghinaan kehormatannya pada hari kiamat".(1). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda pula: "Barangsiapa menjaga kehormatan saudaranya yang dilakukan dengan umpatan, niscaya adalah hak atas Allah memerdekakannya dari api neraka".(2).

Telah datang banyak hadits tentang menolong orang Islam dalam hal um­patan dan tentang keutamaannya, yang telah kami kemukakan pada "kitab Adab Berteman Dan Hak-hak Kaum Muslimin", maka kami tidak memanjangkannya lagi dengan mengulanginya.



PENJELASAN: sebab-sebab yang menggerakkan kepada umpatan.
Ketahuilah, bahwa penggerak-penggerak kepada mengumpat itu banyak. Tetapi dikumpulkan oleh sebelas macam sebab. Delapan daripadanya ba­nyak terjadi pada orang awam. Dan tiga daripadanya tertentu dengan ahli agama dan orang-orang khusus Adapun yang delapan perkara itu maka:-

Yang pertama: untuk menyembuhkan kemarahan. Dan yang demikian, apabila terjadi sesuatu sebab, yang membawa kemarahanya kepada orang tersebut. Maka apabila berkobar kemarahannya, niscaya ia merasa sembuh dengan menyebutkan kejahatan-kejahatan orang itu. Maka dengan naluri telanjurlah lidahnya kepada yang demikian, jikalau tak ada disitu agama yang mencegahnya. Kadang-kadang penyembuhan kemarahan itu tercegah ketika datangnya kemarahan. Lalu tertahan kemarahan itu didalam. Maka jadilah suatu kedengkian yang tetap. Lalu menjadi sebab yang terus-mene- rus untuk menyebutkan kejahatan-kejahatan orang itu. Maka kedengkian dan kemarahan itu termasuk diantara penggerak-penggerak yang besar ke­pada mengumpat.

Yang kedua: kesesuaian dengan teman-teman, berbaik-baikan (mujama- lah) dengan sahabat-sahabat dan menolong mereka dalam percakapan. Maka apabila teman-teman itu bersenang-senang dengan menyebutkan ke­hormatan orang, lalu ia berpendapat, kalau dilawannya atau diputuskannya majlis tersebut, niscaya teman-teman itu memandang berat dan hati mereka lari daripadanya. Maka ditolongnya mereka. Dan ia berpendapat, bahwa yang demikian itu termasuk diantara pergaulan yang baik. Dan ia menyangka, bahwa yang demikian itu berbaik-baikan dalam persahabatan. Kadang-kadang teman-temannya marah, lalu ia memerlukan untuk ia ma- rah, lantaran kemarahan teman-teman tadi, untuk melahirkan turut mengambii bahagian (saham) dalam senang dan susah. Maka terjerumuslah ia bersama teman-teman itu dalam menyebutkan kekurangan dan keburu- kan orang lain.

(1)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abid-Darda.
(2)   Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dari Asma 'binti Yazid dan lain-latn.
95

Yang Ketiga: bahwa ia merasa dari seseorang, bahwa orang itu bermaksud kepadanya.
Dan akan memanjangkan Iidahnya kepadanya. Atau akan memburukkan hal-ihwalnya pada orang yang dimalui. Atau akan naik saksi terhadap di­rinya dengan suatu kesaksian.

Maka ia bersegera sebelum orang tersebut memburukkan hal-ihwalnya dan menusuk dirinya. Supaya hilang bekas kesaksian orang tersebut. Atau ia memulai menyebutkan apa yang padanya itu benar, untuk didus- takannya kemudian. Lalu lakulah kedustaanhya itu, disebabkan kebenaran- nya yang pertama. Dan ia mengemukakan kesaksian dan berkata: "Tiadalah dari kebiasaanku itu berdusta. Maka sesungguhnya aku telah menceri- terakan kepadamu tentang hal-ihwalnya, demikian dan demikian. Maka adalah seperti yang kukatakan".

Yang Keempat: bahwa ia dikatakan orang berbuat sesuatu. Lalu ia ber­maksud melepaskan diri daripadanya. Maka ia menyebutkan orang yang memperbuatnya. Dan adalah menjadi haknya untuk melepaskan dirinya dari perbuatan tersebut.. Dan ia tidak menyebutkan orang yang memper­buatnya. Sehingga ia tidak mengatakan orang lain yang berbuat. Atau ia menyebutkan orang lain, dengan mengatakan, bahwa orang tersebut sekongkol dengan dia pada perbuatan itu. Supaya ia dengan demikian, menyiapkan dirinya untuk dima'afkan pada perbuatannya.

Yang Kelima: hendak berbuat-buat dan membanggakan diri. Yaitu: bahwa ia mengangkat dirinya dengan mengurangkan orang lain. Lalu ia mengata­kan: si Anu itu bodoh, pahamnya tidak teratur dan perkataannya lemah. Maksudnya untuk menetapkan dalam kandungan perkataan tersebut, akan kelebihan dirinya. Dan ia memperlihatkan kepada mereka bahwa ia lebih tahu dari orang itu. atau ia takut bahwa orang itu akan dibesarkan seperti pembesaran kepadanya. Karena itu lalu ia mencela orang tersebut.

Yang Keenam: dengki. Yaitu: ia kadang-kadang dengki akan orang yang di- puji oleh manusia banyak, yang disukai dan yang dimuliakan oleh orang ba­nyak. Lalu ia bermaksud menghilangkan nikmat itu dari orang tersebut. Maka ia tiada memperoleh jalan kepada yang dimaksud, selain dengan mencaci orang itu. Lalu ia bermaksud menjatuhkan air muka orang tadi dimuka orang banyak. Sehingga orang banyak mencegah memuliakan dan memuji orang tersebut. Karena ia merasa berat mendengar perkataan, pu­jian dan pemuliaan orang banyak kepada orang itu. Inilah dengki yang sebenarnya ! Yaitu lain dari marah dan sakit hati. Ka­rena yang demikian itu membawa kepada penganiayaan kepada orang yang dimarahi. Dan dengki itu kadang-kadang ada serta teman yang berbuat ba­ik dan kawan yang sesuai.

Yang Ketujuh: bermain, bersenda-gurau, berbaik-baikan dan mengguna- kan waktu dengan tertawa. Lalu ia menyebutkan kekurangan orang lain, dengan cara yang menertawakan orang banyak, dengan jalan meniru. Dan sumbernya, ialah: sombong dan mengherani diri.

96

Yang Kelapan: penghinaan dan mempermain-mainkan untuk menghina orang tersebut. Sesungguhnya yang demikian, kadang-kadang berlaku dimuka orang tersebut. Dan kadang-kadang juga dibelakangnya. Dan sum­bernya, ialah sombong dan memandang kecil akan orang yang dipermain mainkan itu.

Adapun sebab yang tiga, yang terdapat pada orang-orang khusus, maka itu yang paling kabur dan paling halus. Karena itu adalah kejahatan-kejahatan, yang disembunyikan oleh setan dalam pelaksanaan kebajikan. Dan pada­nya ada kebajikan. Akan tetapi dicampurkan oleh setan akan kejahatan dengan kebajikan-kebajikan itu.

Yang Pertama: bahwa digerakkan dari agama oleh partggilan keta'juban, pada menentang yang munkar dan kesalahan pada agama. Lalu ia menga­takan: "Alangkah herannya apa yang aku lihat dari si Anu ! Sesungguhnya kadang-kadang dia itu benar dengan yang demikian". Dan adalah keta'- jubannya itu termasuk munkar. Akan tetapi, adalah haknya untuk merasa ta'jub. Dan ia tidak menyebutkan nama orang itu. Maka dipermudahkan oleh setan kepadanya, menyebutkan nama orang tersebut, pada melahirkan keta'jubannya. Lalu jadilah ia dengan demikian, orang yang mengumpat dan berdosa, dimana ia sendiri tidak mengetahuinya. Termasuk juga yang demikian, kata seseorang: "Aku heran dari keadaan si Anu, bagaimana ia mencintai budak wanitanya, pada hal budak wanitanya itu buruk. Dan bagaimana ia duduk dihadapan si Anu, pada hal ia orang bodoh.

Yang Kedua: kasih sayang. Yaitu: bahwa ia berdukacita disebabkan bencana yang menimpa seseorang. Lalu ia berkata: "Kasihan si Anu, yang mendukacitakan aku oleh keadaannya dan apa yang menimpa dirinya". Maka dia itu benar tentang dakwaan kedukacitaannya itu. Dan ia dilalaikan oleh kedukacitaan tersebut, daripada ketakutan menyebutkan nama orang tadi. Lalu disebutnya. Maka jadilah ia mengumpat. Lalu dukacitanya dan kasih-sayangnya itu suatu kebajikan. Begitu pula ketakjuban (keheranan) nya. Akan tetapi ia telah dihalau oleh setan kepada kejahatan, dimana ia sendiri tidak mengetahuinya. Dan kekasih-sayangari dan keduka-citaan itu, mungkin, tanpa menyebutkan nama orang itu. Lalu ia digerakkan oleh se­tan untuk menyebutkan namanya, supaya dengan demikian batallah pahala kedukacitaan dan kekasih-sayangannya.

Yang Ketiga: marah karena Allah Ta'ala. Sesungguhnya kadang-kadang ia marah atas perbuatan munkar, yang dikerjakan manusia, apabila dilihatnya atau didengarnya. Lalu lahirlah kemarahannya dan menyebutkan nama o- rang itu. Dan adalah wajib bahwa ia melahirkan kemarahannya kepada orang tersebut, dengan amar-ma'ruf dan ria'ni-munkar. Dan tidak dilahirkannya kepada orang lain atau ditutupnya nama orang ter­sebut dan tidak disebutnya dengan jahat.

97

Maka tiga perkara tadi tennasuk yang tersembunyi memperolehnya pada a- lim-ulama, lebih-lebih pada orang awam. Sesungguhnya mereka itu menyangka, bahwa ketakjuban, kekasih-sayangan dan kemarahan, apabila ka­rena Allah Ta'ala, niscaya dima'afkan pada menyebutkan nama. Itu adalah salah. Akan tetapi yang diperbolehkan pada mengumpat, ialah beberapa keperluan tertentu, yang tiada jalan lain, selain daripada menyebutkan na­ma, sebagaimana akan datang uraiannya.

Dirawikan dari 'Amir bin Watsilah: "Bahwa seorang laki-laki lalu pada su­atu golongan (qaum) pada masa hidup Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم .. Maka ia memberi salam kepada mereka itu. Lalu mereka itu menjawab salamnya.. Tatkala orang tadi telah lewat dari mereka, lalu salah seorang daripada mereka ber­kata: "Sesungguhnya aku sangat marah pada orang tadi karena Allah Ta'ala". Maka yang duduk dalam majlis itu berkata: "Sesungguhnya buruklah apa yang kamu katakan itu! Demi Allah, hendaknya engkau jelas- kan yang engkau katakan itu!".

Kemudian, mereka mengatakan kepada salah seorang dari mereka: "Hai Anu! Bangunlah! Jumpailah orang tadi dan terangkanlah kepadanya, apa yang dikatakan oleh orang itu!".

Lalu orang tersebut dijumpai oleh utusan mereka. Maka utusan tadi menceriterakan apa yang dikatakan orang itu. Lalu laki-laki tersebut datang ke­pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . dan menceriterakan kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . apa yang dikatakan oleh orang itu. Dan dimintanya, supaya Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . memanggil orang itu. Lalu beliau memanggilnya dan menanyakannya. Orang itu lalu menjawab: "Sesungguhnya aku sudah mengatakan demikian". Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . lalu bertanya: "Mengapa engkau marah kepadanya ?". Maka orang itu menjawab: "Aku tetangganya dan aku mengetahui hal-ihwalnya. Demi Allah ! Aku tidak pernab melihatnya, ia mengerjakan suatu shalat pun, selain daripada shalat fardlu (shalat lima waktu) ini". Laki-laki itu menjawab: "Wahai Rasulu'llah ! Tanyakanlah kepadanya, adakah ia melihat aku menta'khirkan shalat dari waktunya? Atau aku tidak baik mengambil wudlu'? Atau ruku' atau sujud pada shalat itu?". Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menanyakan yang demikian pada orang tersebut. Maka orang itu menjawab: "Tidak!". Lalu ia berkata pula: "Demi Allah ! Aku tiada melihatnya berpuasa sebulan pun, selain bulan ini (bulan Rama- dlan) yang berpuasa padanya orang baik dan orang zalim". Orang itu berkata lagi: "Wahai Rasulu'llah ! Tanyakanlah kepadanya, ada­kah ia melihat aku sekali-sekali berbuka puasa (tidak berpuasa) padanya ? Atau aku kurangkan walaupun sedikit daripada hak puasa itu ?". Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bertanya kepada laki-laki tersebut. Lalu laki-laki i- tu menjawab: "Demi Allah ! Aku tiada pern ah sekali-kali melihatnya ia memberi kepada orang meminta-minta dan orang miskin. Dan aku tiada pernah melihatnya, ia membelanjakan sesuatu dari hartanya pada jalan Al­lah (fi sabili'llah), selain dari zakat ini yang diberikan oleh orang baik dan orang zalim".

98

Orang itu berkata pula: "Tanyakanlah dia, wahai Rasulu'llah, adakah ia melihat aku mengurangkan zakat itu? Atau «ku tawar-menawar dengan orang yang mencari zakat, yang memintakannya ?".

Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bertanya kepada orang itu, maka dijawabnya: "Ti­dak!".
Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda kepada laki-laki tersebut: قم فلعله خير منك (Qum, fa la 'allahu khairun minka).Artinya: "Berdirilah! Moga-moga dia itu lebih baik dari engkau !".(1).

بيان العلاج الذي يمنع اللسان عن الغيبة
PENJELASAN: obat yang mencegah lidah daripada mengumpat.
Ketahuilah, bahwa setiap akhlak yang buruk, sesungguhnya diobati dengan ma'jun (obat) ilmu dan amal. Dan sesungguhnya obat tiap-tiap penyakit, ialah dengan melawani sebabnya. Maka hendaklah kita memeriksa dari hal sebabnya !

Obat mencegah lidah dari mengumpat, terdiri atas dua cara. Salah satu da­ripadanya: secara global (tidak terperinci) dan yang satu lagi: secara ter urai.

Adapun yang secara global, maka yaitu: bahwa diketahuinya mendatang­kan kemarahan Allah Ta'ala dengan pengumpatannya, dengan hadits-hadits tadi, yang telah kami rawikan. Dan bahwa diketahuinya, bahwa pe- ngumpatan itu membuat kebaikannya menjadi sia-sia pada hari kiamat. Ka­rena pengumpatan itu memindahkan kebaikannya pada hari kiamat kepada orang yang diumpatinya, untuk ganti dari apa yang telah diperbolehkannya melanggar kehormatan orang lain. Jikalau ia tiada mempunyai kebaikan, niscaya dipindahkan kepadanya keburukan Iawannya. Dan bersamaan de­ngan yang demikian, ia mendatangi kepada kutukan Allah 'Azza wa Jalla dan ia menyefrupai dengan orang memakan bangkai. Bahkan hamba itu ma­suk neraka, dengan beratnya daun neraca kejahatannya daripada daun neraca kebaikannya. Kadang-kadang dipindahkan kepadanya, satu kejahatan dari orang yang diumpatinya.

Lalu dengan demikian, terjadilah beratnya daun neraca kejahatan dan ia masuk neraka. Dan paling kurang tingkatnya, ialah berkurangnya pahala a- malnya. Dan yang demikian itu, sesudah bermusuhan, tuntut-menuntut, bersoal-jawab dan perhitungan amal (hisab). Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:

(1) Dirawikan Ahmad dari 'Amir bin Watsilah dengan isnad shahih.
99

ما النار في اليبس بأسرع من الغيبة في حسنات العبد
(Man-naaru fil-yabasi bi-asra'a minal ghaibati fii hasanaatil-'abdi). Artinya: "Tidaklah api itu lebih cepat memakan kayu kering, dibandingkan dengan cepatnya umpatan memakan kebaikan-kebaikan seorang hamba".(l).

Dirawikan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Al-Hasan Al-Bashari: "Telah sampai kepadaku bahwa anda mengumpati aku".

Lalu Al-Hasan menjawab: "Tidaklah sampai dari kadarmu padaku, bahwa aku menghukum kamu pada kebajikan-kebajikanku. Maka manakala seorang hamba, beriman (mempercayai) dengan hadits-hadits yang datang, tentang umpat­an, niscaya ia tidak akan melepaskan lidahnya dengan pengumpatan itu. Karena takut daripada yang demikian. Dan juga bermanfa'at baginya, un­tuk memahami pada dirinya sendiri. Kalau ia memperoleh pada dirinya, su­atu kekurangan, niscaya ia berusaha dengan kekurangan dirinya itu untuk menghilangkannya". Dan Al-Hasan membaca sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .:-
طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس
(Thuubaa liman syaghalahu 'aibuhu 'an 'uyuubin-naas). Artinya: "Berbahagialah orang yang disibukkan oleh kekurangan dirinya, daripada memperkatakan kekurangan orang lain".(2). Manakala memperoleh suatu kekurangan, maka sayogialah malu mening- galkan mencaci diri sendiri dan mencaci orang lain. Akan tetapi sayogialah meyakini, bahwa kelemahan orang lain tentang dirinya, pada menjauhkan dari kekurangan itu, adalah seperti kelemahannya sendiri. Dan ini, jikalau itu adalah suatu kekurangan yang menyangkut dengan perbuatannya dan pilihannya. Dan jikalau itu suatu hal yang dijadikan oleh Allah (amran khalqiyyan), maka mencelanya itu adalah mencela Al-Khaliq. Sesungguh­nya barangsiapa mencela suatu hasil.perbuatan, maka dia itu mencela tukangnya.

Seorang laki-laki mengatakan kepada seorang filosuf (ahli hikmah): "Hai yang buruk muka !". Lalu filosuf itu menjawab: "Tidaklah kejadian muka-ku terserah kepadaku, lalu aku dapat mencantikkannya". Apabila seorang hamba tiada memperoleh kekurangan pada dirinya, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah Ta'ala. Dan tidaklah ia mencemarkan dirinya dengan kekurangan yang terbesar. Sesungguhnya mencela manusia dan memakan daging bengkai itu, termasuk kekurangan yang terbesar. Bahkan, jikalau ia insyaf, niscaya ia tahu, bahwa persangkaannya kepada dirinya terlepas dari semua kekurangan itu, suatu kebodohan terhadap diri­nya. Dan itu termasuk kekurangan yang terbesar. Dan bermanfa'atlah un­tuk diketahuinya, bahwa orang lain merasa sakit dengan umpatannya, ada-lah seperti terasa sakitnya dengan pengumpatan orang lain terhadap diri­nya. Apabila ia tidak merasa senang dirinya diumpati orang, maka sayo­gialah ia tidak senang untuk orang lain, apa yang ia tidak senang untuk di­rinya sendiri.

Inilah pengobatan-pengobatan yang baik !!!!!!!

(1)   Menurut A1-"Iraqi, beliau belum pernah menjumpai hadits ini.
(2)   Dirawikan Al-Bazzar dari Anas dengan sanad dia'if.
100


Adapun yang terurai, ialah: bahwa ia melihat pada sebab yang mengge­rakkan kepada pengumpatan. Maka obatnya penyakit itu, ialah dengan me- motong sebabnya. Dan sudah kami kemukakan sebab-sebab itu dahulu. Adapun kemarahan, maka akan diobati dengan apa yang akan datang penjelasannya pada Kitab Bahaya Marah. Yaitu, bahwa dikatakan: "Sesung­guhnya, apabila aku meneruskan kemarahanku kepadanya, maka semoga Allah Ta'ala meneruskan kemarahanNya kepadaku disebabkan pengumpa­tan. Karena Ia melarangku daripada pengumpatan. Lalu aku berani atas laranganNya dan memandang ringan dengan hardikanNya". Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
إن لجهنم بابا لا يدخل منه إلا من شفى غيظه بمعصية الله تعالى
(Inna li-jahannama baaban, laa yad-khulu minhu, illaa man syafaa ghaidha- hu bi-ma'shiyatil-laahi ta'aalaa).Artinya: "Sesungguhnya neraka jahannam mempunyai sebuah pintu, yang tidak dimasuki, selain orang yang menyembuhkan kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada Allah Ta'ala". (1).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
من اتقى ربه كل لسانه ولم يشف غيظه حديث من اتقى ربه كل لسانه ولم يشف غيظه أخرجه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس
(Manit-taqaa rabbahu, kalla lisaanuhu wa lam yasyfi ghaidhahu). Artinya: "Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya, niscaya tumpullah lidahnya dan ia tidak menyembuhkan amarahnya".(2).


(1)   Dirawikan AJ-Bazzar, Ibnu Abid-Dun-ya dan lain-!ain dari Ibnu Abbas dengan san;id dla'if.
(2)   Dirawikan Abu Mansur Ad-Dailami dari Sahal bin Sa'ad. dengan sanad dla'if.
101

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
من كظم غيظا وهو يقدر على أن يمضيه دعاه الله تعالى يوم القيامة على رءوس الخلائق حتى يخيره في أي الحور شاء
(Man kadhama ghaidhan wa huwa yaqdiru 'alaa an yumdliyahu da'aahu'- llahu Ta'aalaa yaumal-qiaamati 'alaa ru-uusil-khalaa-iqi hattaa yukhaiyira- hu fi ayyil-huuri syaa-a" Artinya: "Barangsiapa menahan amarahnya, sedang- ia sanggup meneruskannya, niscaya ia dipanggil oleh Allah Ta'ala pada hari kiamat dihadapanmanusia ramai, sehingga Allah Ta'ala meminta padanya untuk memilih bidadari yang mana ia kehendaki".(1)

Pada sebahagian kitab-kitab yang diturunkan kepada sebahagian nabi-nabi, tersebut: "Hai anak Adam ! Ingatlah kepadaKu ketika engkau marah, nis­caya AKU ingat kepadamu ketika AKU marah ! Maka tidak AKU hapuskan engkau dalam orang-orang yang AKU hapuskan". Adapun sepakat dengan teman-teman, yaitu: engkau tahu, bahwa Allah Ta'ala memarahi engkau, apabila engkau mencari kemarahanNya untuk mencari keridlaan (kesenangan) makhluk. Maka bagaimanakah engkau menyenangkan dirimu, bahwa engkau memuliakan orang lain dan menghinakan Tuhanmu ? Maka engkau tinggalkan keridlaanNya, untuk memperoleh keridlaan mereka. Kecuali, bahwa kemarahanmu itu karena Allah Ta'ala. Dan yang demikian, tidak mengharuskan untuk engkau sebutkan orang yang dimarahi itu dengan sebutan jahat. Akan tetapi sayogialah, bahwa engkau marah pula akan teman-temanmu karena Allah Ta'ala, apabila me­reka menyebutnya dengan sebutan jahat.

Karena mereka telah mendurhakai Tuhan engkau dengan dosa yang ter keji. Yaitu: umpatan

Adapun membersihkan diri sendiri (tanzihun-nafsi), dengan menyandarkan orang lain kepada pengkhianatan, dimana -sebetulnya- ia tidak memerlukan menyebutkan orang lain itu, maka engkau mengobatinya, ialah: de­ngan mengetahui,bahwa tampil untuk membenri AL-KHALIQ itu lebih berat dibandingkan dari tampilnya untuk membenci makhluq. Dan engkau dengan mengumpat itu, tampil untuk kemarahan Allah dengan yakin. Dan engkau tidak tahu, bahwa engkau melepaskan diri dari kemarahan manusia atau tidak. Lalu engkau melepaskan dirimu di dunia, dengan sangka-wa- ham. Dan engkau akan binasa di akhirat dan merugilah kebaikan engkau dengan hakikat yang sebenarnya. Dan hasilnya bagi engkau, ialah celaan Allah Ta'ala sekarang juga. Dan engkau menantikan akan penolakan ce­laan makhluk pada masa depan. Inilah kebodohan dan kehinaan yang penghabisan.

Adapun alasan engkau, seperti engkau katakan: jikalau aku memakan ha­ram, maka si Anu pun memakannya. Dan jikalau aku menerima harta sul­tan, maka si Anu pun menerimanya. Maka ini suatu kebodohan. Karena engkau membuat alasan, dengan mengikuti orang yang tidak boleh diikuti. Karena orang yang menyalahi perintah Allah Ta'ala, maka tidak diikuti, si- apa pun orangnya. Dan jikalau orang lain masuk neraka dan engkau sang­gup untuk tidak memasukinya, niscaya janganlah engkau sepakat dengan dia. Jikalau engkau sepakat, niscaya bodohlah pikiranmu. Maka pada apa yang engkau sebutkannya umpatan dan tambahan perbua­tan maksiat itu, telah engkau tambahkan kepada apa yang engkau meminta

(1) Dirawikan Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Ma'az bin Anas.
102

maaf daripadanya. Dan engkau daftarkan serta berkumpulnya diantara dua perbuatan maksiat, diatas kebodohan dan kedunguan engkau. Dan adalah engkau seperti kambing betina yang memandang kepada kambing jantan, yang menjatuhkan dirinya dari puncak bukit. Lalu dia juga menjatuhkan dirinya. Dan jikalau kambing betina itu mempunyai lidah yang menuturkan dengan meminta ma'af dan dia menegaskan dengan permintaan ma'af itu dan berkata: "Kambing jantan itu lebih pandai daripadaku" dan ia telah membinasakan dirinya, maka begitulah pula aku berbuat, niscaya engkau a- kan tertawa dari kebodohan kambing betina itu. Dan keadaan engkau sa- malah dengan keadaannya. Kemudian, engkau tidak merasa heran dan ti­dak tertawa dari diri engkau sendiri.

Adapun maksud engkau berbangga dan membersihkan diri dengan kele­bihan keutamaan, dengan engkau mencela orang lain, maka sayogialah engkau ketahui, bahwa engkau dengan apa yang engkau sebutkan itu, telah engkau batalkan kelebihan engkau pada sisi Allah. Dan engkau dari ke- yakinan manusia itu, kelebihan engkau dalam bahaya. Kadang-kadang ber- kurang kepercayaan mereka pada engkau, apabila mereka mengetahui a- kan engkau mencela manusia. Maka adalah engkau, sesungguhnya telah nienjualkan apa yang pada AL-KHALIQ dengan yakin dengan apa yang pada makhluk dengan sangka-waham. Jikalau berhasil bagi engkau dari makhluk, keyakinan kelebihan, niscaya sesungguhnya mereka tidak terie­pas sesuatu pun daripada Allah dengan engkau.

Adapun pengumpatan dikarenqkan oleh dengki, maka itu adalah pengum- pulan diantara dua azab. Karena engkau dengki kepadanya diatas kenikmatan duniawi dan adalah engkau di dunia ini diazabkan dengan kedeng­kian. Maka tidaklah engkau merasa cukup dengan demikian, sehingga eng­kau tambahkan kepadanya azab akhirat.


Maka engkau rugikan diri engkau sendiri di dunia. Lalu menjadi pula eng­kau merugi di akhirat. Karena engkau kumpulkan diantara dua larangan. Engkau maksudkan orang yang engkau dengkikan, lalu engkau kenakan a- kan diri engkau sendiri. Dan engkau hadiahkan kepadanya kebaikan eng­kau. Jadi, engkau adalah temannya dan musuh diri engkau sendiri. Karena tidak mendatangkan melarat kepadanya, oleh pengumpatan engkau. Dan engkau mendatangkan melarat akan engkau sendiri. Dan memberi man­fa'at kepadanya. Karena engkau pindahkan kepadanya kebaikan-kebaikan engkau. Atau engkau pindahkan kepada engkau sendiri keburukan-kebu- rukannya. Dan tidak bermanfa'at bagi engkau. Engkau telah kumpulkan kepada kekejian dengki, akan bodohnya kedunguan. Kadang-kadang ke­dengkian engkau dan kecelaan engkau, menjadi sebab tersiarnya kelebihan orang yang engkau dengki, sebagai dikatakan pada sekuntum syair:-Apabila dikehendaki oleh Allah,tersiarnya keutamaan yang tersembunyi, maka disediakan untuknya oleh Allah, suatu lidah yang pendengki.........

103

Adapun penghinaan, maka maksud engkau dari penghinaan itu, ialah menghinakan orang lain dihadapan manusia, dengan menghinakan dirimu sendiri pada sisi Allah Ta'ala, pada sisi malaikat-malaikat dan nabi-nabi. Kepada mereka rahmat dan sejahtera.

Jikalau engkau berpikir pada kerugian engkau, penganiayaan engkau, malunya engkau dan hinanya engkau pada hari kiamat, hari yang engkau bawa kejahatan-kejahatan orang yang engkau permainkannya dan engkau dihalau ke api neraka, niscaya mendahsyatkan akan engkau, oleh yang de­mikian, dari menghinakan akan sahabat engkau. Jikalau engkau tahu akan keadaan engkau, niscaya adalah engkau lebih utama untuk tertawa dari hal engkau sendiri. Karena engkau memperolok-olokkannya dihadapan orang yang sedikit jumlahnya (teman-teman engkau) dan engkau bawa diri eng­kau sendjri, untuk diambilnya tangan engkau pada hari kiamat, dibawanya kehadapan manusia ramai. Dan dihalaunya engkau dibawah kejahatan-kejahatannya, sebagaimana dihalau keledai ke dalam api, dimana ia mempermain-mainkan engkau, gembira dengan kehinaan engkau dan merasa senang dengan pertolongan Allah Ta'ala kepadanya, diatas kerugian engkau dan kekuasaannya membalas dendam atas engkau.

Adapun kasih sayang kepada orang diatas dosanya, maka itu baik. Akan tetapi, engkau didengkikan oleh Iblis, lalu disesatkannya engkau. Dan di- ajaknya berbicara dengan engkau dengan apa yang dipindahkan daripada kebaikan-kebaikan engkau kepada orang itu, akan apa yang lebih banyak dari kekasih-sayangan engkau. Maka itu adalah tambalan untuk dosa orang yang dikasih-sayangi. Lalu keluarlah orang itu dari keadaannya dikasih-sayangi dan terbaliklah engkau yang berhak untuk dikasih sayangi. Karena  telah batal pahala engkau dan engkau telah berkurang dari kebaikan-kebaikan engkau.


Begitu pula kemarahan karena Allah Ta'ala, tidak mengharuskan mengum­pat. Dan sesungguhnya setan yang menyukakan engkau untuk mengumpat, 4          supaya batal pahala kemarahan engkau. Dan jadilah engkau yang tampil dengan pengumpatan untuk dibenci oleh Allah 'Azza wa Jalla.

Adapun keheranan kepada diri (ta'jub), apabila membawa engkau kepada            pengumpatan,lalu engkau merasa heran dari diri engkau sendiri, bagaimana engkau telah membinasakan diri engkau dan agama engkau, dengan agama atau dunia orang lain. Dan dalam pada itu, engkau tidak aman dari siksaan dunia. Yaitu dikoyakkan oleh Allah tabir yang menutupi keku­rangan engkau, sebagaimana engkau dengan keta'juban itu, mengoyakkan tabir yang menutupi kekurangan saudara engkau.

Jadi, obat semua yang demikian itu, ialah: ma'rifah saja dan meyakini hal- hal itu yang menjadi pintu keimanan. Maka barangsiapa yang kuat imannya dengan semua itu, niscaya -sudah pasti- tercegahlah lidahnya daripada me­ngumpat.-

104



PENJELASAN: pengharaman mengumpat dengan hati.

Ketahuilah, bahwa jahat sangka itu haram, seperti jahatnya perkataan. Ma­ka sebagaimana diharamkan kepada engkau memperkatakan orang Iain de­ngan lidah engkau, dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang lain, maka tiadalah bagi engkau untuk memperkatakan diri engkau sendiri dan berjahat sangka akan saudara engkau. Dan tidaklah maksudku yang demi­kian, selain dari kebusukan hati dan menghukum buruk orang Iain. Adapun gurisan-gurisan dalam hati dan kata hati, maka itu dima'afkan. Bahkan syak-wasangka pun dima'afkan. Akan tetapi yang dilarang, ialah bahwa: menyangkakan sangkaan itu, ibarat daripada kecenderungan diri dan hati kepadanya. Allah Ta'ala berfirman:-
يا أيها الذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم
(Yaa-ayyuhal-ladziina aamanuuj-tanibuu katsiiran minadh-dhanni, inna ba'-dladh-dhanni itsmun)Artinya: "Hai orang-orang yang beriman ! Jauhilah kebanyakan purba- sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa !".S.AI- Hujurat, ayat 12.

Sebab pengharamannya, ialah, bahwa rahasia hati itu, tiada yang menge­tahuinya, selain Allah yang mahatahu yang ghaib-ghaib. Maka tiadalah berhak engkau meyakini akan kejahatan pada orang lain, kecuali apabila telah terbuka bagi engkau dengan jelas, yang tidak menerima untuk dita'- wilkan. Maka ketika itu, tidak mungkin bagi engkau, selain mempercayai apa yang engkau ketahui dan engkau saksikan.

Yang tidak engkau saksikan dengan mata engkau dan tidak engkau dengar dengan telinga engkau, kemudian jatuh dalam hati engkau, maka adalah setan yang mencampakkannya kepada engkau. Sayogialah engkau mendus­takan setan itu. Karena itu adalah yang lebih fasik "dari semua orang fasik. Allah Ta'ala berfirman:-
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
 (Yaa-ayyul-ladziina aamanuu injaa-akum faasiqun bi-naba-in fa- tabayyanuu, an tushiibuu qauman bi-jahaalatin, fa tushbihuu 'alaa maa fa 'altum naadimiin).Artinya: "Hai orang-orang yang beriman ! Kalau datang kepada kamu orang jahat membawa berita, periksalah dengan seksama, supaya kamu ja- ngan sampai mencelakakan suatu kaum dengan tiada diketahui, kemudian kamu menyesal atas perbuatanmu itu". S.Al-Hujurat, ayat 6.

105

Maka tidak boleh membenarkan Iblis. Dan jikalau ada disitu suatu bayangan, yang menunjukkan kepada kerusakan dan mungkin sebaliknya, niscaya tidak boleh engkau membenarkannya. Karena orang fasik itu menggambarkan, bahwa ia akan dibenarkan perkhabarannya. Akan tetapi, tidak boleh bagi engkau membenarkannya. Sehingga seorang yang berbau mulutnya, lalu didapati padanya bau khamar, tidak boleh ia disiksa. Karena dapat dikatakan, bahwa mungkin ia telah berkumur-kumur dengan khamar dan diludahinya. Dan ia tidak meminumnya. Atau dibawa orang kepadanya dengan paksaan. Maka semua itu -tidak mustahil- dalil yang mungkin. Ma­ka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan berjahat sangka kepada orang muslim dengan yang demikian.


Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
إن الله حرم من المسلم دمه وماله وأن يظن به ظن السوء حديث إن الله حرم من المسلم دمه وماله وأن يظن به ظن السوء أخرجه البيهقي في الشعب
(Inna'Ilaaha harrama minal-muslimi damahu wa maalahu wa an yudhanna bihi dhannas- sau-i).Artinya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala mengharamkan dari orang muslim, darahnya dan hartanya dan bahwa menyangkakannya dengan sangkaan jahat(1)

Maka tidak diperbolehkan sangkaan jahat, kecuali dengan apa yang diperbolehkan harta. Yaitu: penyaksian itu sendiri atau saksi yang adil. Maka apabila tidak ada seperti yang demikian dan terguris bagi engkau waswas jahat sangkaan, maka sayogialah engkau menolakkannya dari hati engkau. Dan engkau menetapkan, bahwa keadaan orang itu pada engkau tertutup, sebagaimana adanya. Dan bahwa yang engkau lihat dari orang tersebut, mungkin baik dan mungkin buruk.

Maka jikalau engkau bertanya: "Dengan apa dapat dikenal ikatan sangka dan keraguan hati yang tergerak didalam dada dan hati yang berbicara ?". Kami jawab, bahwa ikatan jahatnya sangka itu ialah berobahnya hati da­ripada yang sudah-sudah. Lalu hati itu Iari (tidak dekat) lagi dari hal itu, merasa berat dan lemah daripada memeliharanya, merasa kehilangan, me- muliakan dan merasa sedih, disebabkan jahat sangka itu. Maka inilah tanda-tanda ikatan-sangkaan dan mencari bukti-buktinya.Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
ثلاث في المؤمن وله منهن مخرج فمخرجه من سوء الظن أن لا يحققه حديث ثلاث في المؤمن وله منهن مخرج أخرجه الطبراني
(Tsalaatsun fil-mu'mini wa lahu minhunna makh-rajun, fa makh-rajuhu min suu-idh-dhanni, an laa yuhaqqiqahu).

(1) Dirawikan AlBaihaqi dari Ibnu Abbas dengan sanad dia'if.

Artinya: Tiga perkara pada orang mu'min, dimana ia mempunyai jalan ke­luar dari masing-masing yang tiga perkara itu. Maka jalan keluar (way out) dari jahat sangka, ialah: bahwa ia tidak mencari bukti-buktinya".(l). Ar­tinya: ia tidak mencari bukti-buktinya pada dirinya dengan ikatan (ikatan pada jahat sangka tersebut) dan dengan perbuatan. Dan tidak pula membenarkannya pada hati dan pada anggota badannya. Adapun pada hati, ialah: dengan berobahnya hati itu kepada menjauhi (liar hati) dan benci. Adapun pada anggota badan, ialah: dengan tindakan (per­buatan) yang mengharuskan (menghendaki adanya) jahat sangka. Dan se­tan kadang-kadang menetapkan didalam hati itu, dengan bayangan yang sesedikit-dikitnya, akan jahatnya orang itu. Dan dijatuhkan oleh setan bisikan kedalam hati, bahwa: yang demikian, adalah termasuk kecerdikan eng­kau, kecepatan pemahaman engkau dan kepintaran engkau. Dan sesung­guhnya orang mukmin itu melihat dengan nur (cahaya) Allah Ta'ala. Dan orang mu'min itu diatas sebenarnya, memperhatikan diatas penipuan dan kezaliman setan.

Apabila diterangkan kepada engkau oleh seorang adil (jujur) akan sesuatu, lalu cenderung sangkaan engkau kepada membenarkannya, niscaya dalam hal ini engkau dima'afkan. Karena jikalau engkau mendustakannya, nisca­ya engkau penganiaya diatas keadilan (kejujuran) tersebut. Karena engkau telah menyangka akan kedustaannya. Dan yang demikian, termasuk pula dalam jahat sangka. Maka tiada sayogialah engkau berbaik sangka dengan seseorang dan berjahat sangka dengan orang lain. Benar sayogianya engkau memeriksa, adakah diantara kedua orang tersebut permusuhan, perdeng- kian dan pertengkaran ? Lalu timbul tuduhan, dengan sebab itu ? Agama menolak kesaksian bapak yang adil untuk kepentingan anaknya, karena kecurigaan.

Dan agama menolak kesaksian musuh.(2).

Maka engkau ketika itu dapat menghentikan pikiran (tawaqquf). Jikalau ia adil, maka jangan engkau benarkan dan jangan engkau dustakan. Akan te­tapi engkau katakan pada diri sendiri: "Orang yang tersebut keadaannya adalah padaku dalam penutupan Allah Ta'ala dan urusannya adalah terdinding (terhijab) daripadaku. Dan tinggal seperti yang telah ada, tiada terbuka sedikitpun dari urusannya bagiku".

Kadang-kadang orang itu, zahiriahnya adil dan tak ada dengki-mendengki diantaranya dan orang tersebut. Tetapi kadang-kadang termasuk kebiasaannya, memperkatakan orang lain dan menyebutkan keburukan-keburukan mereka. Dan ini, kadang-kadang disangka orang itu adil, pada hal ia tidak adil. Karena orang pengumpat itu adalah orang fasik. Dan jikalau demikian kebiasaannya, niscaya kesaksiannya ditolak.


(1)   Dirawikan Ath-Thabrani dari Haritsah bin An-Nu'man. dengan sanad dla'if.
(2)   Tentang Agama menolak kesaksian bapak untuk kepentingan anaknya dan kesaksian se­seorang terhadap musuhnya, tersebut pada hadits yang dirawikan oleh At-Tirmizi dari 'Aisyah r.a. dan oleh perawi-perawi yang lain (Peny).
107


Hanya karena banyaknya kebiasaan yang demikian, lalu manusia mengang- gap mudah urusan pengumpatan. Dan tidak memperdulikan tentang perperkatakan kehormatan orang banyak.

Manakala terguris dalam hati engkau suatu gurisan jahat kepada seseorang muslim, maka sayogialah engkau menambahkan pada penjagaannya dan engkau do'akan kebajikan kepadanya. Sesungguhnya yang demikian memarahkan setan dan menolaknya daripada engkau. Lalu ia tidak me- lemparkan kepada engkau gurisan jahat, karena ketakutan dari usaha eng­kau dengan do'a dan penjagaan.

Manakala engkau mengetahui akan kesalahan seorang muslim dengan ada alasan, maka nasehatilah dia secara rahasia. Dan jangan engkau ditipu oleh setan, lalu setan itu, mengajak engkau kepada mengumpatinya. Dan apa­bila engkau menasehatinya, maka janganlah engkau menasehatinya, sedang engkau gembira melihatnya diatas kekurangan itu. Supaya ia memandang kepada engkau dengan pandangan penghormatan. Dan engkau memandang kepadanya dengan pandangan penghinaan. Dan engkau meninggi diri dari padanya, dengan melahirkan nasehat.

Dan hendaklah ada maksud engkau, untuk melepaskannya dari dosa F Dan engkau merasa sedih, sebagaimana sedihnya engkau atau diri engkau sen­diri, apabila timbul kekurangan atas engkau pada agama engkau. Dan sa­yogialah lantaran itu, ditinggalkannya perbuatan dosa itu tanpa nasehat engkau, lebih engkau sukai, daripada ditinggalkannya dengan nasehat eng­kau. Apabila engkau berbuat demikian, niscaya sesungguhnya engkau telah mengumpulkan diantara pahala nasehat dan pahala sedih dengan musibah yang menimpa orang itu dan pahala memberi pertofongan kepadanya pada Agama nya.


Termasuk diantara buah jahat sangka itu mengintip-intip. (at-tajassus). Hati sesungguhnya tidak merasa puas dengan sangkaan saja dan mencaci hakikat yang sebenaraya. Lalu hati itu berusaha dengan mengintip-intip. Dan me­ngintip-intip itu juga dilarang. Allah Ta'ala berfirman:-
(Wa laa tajassasuu wa laa yagh-tab ba'dlukum ba'dlan). Artinya: "Janganlah kamu mengintip-intip (mencari-cari keburukan orang) dan janganlah mengumpat satu sama lain".S.Al-Hujurat, ayat 12. Mengumpat, jahat sangka dan mengintip-intip itu dilarang pada satu ayat tersebut. Arti mengintip-intip (at-tajassus), ialah: tidak dibiarkan hamba Allah itu dibawah tabir Allah (ditutup kesalahannya oleh Allah). Lalu di cari jalan supaya sampai kepada mengetahuinya dan merusakkan tabir tersebut. Sehingga terbukalah baginya hal-hal, jikalau tertutup, niscaya lebih menyelamatkan hati dan agamanya. Dan telah kami sebutkan hukum mengintip-intip dan hakikatnya pada "Kitab Amar Ma'ruf'.
108




PENJELASAN: halangan-halangan yang membolehkan mengumpat.

Ketahuilah, bahwa yang membolehkan menyebut keburukan orang lain, yaitu: suatu maksud yang dibenarkan Agama, yang tidak mungkin sampai kepada maksud tersebut, selain dengan menyebut keburukan itu. Maka yang demikian, menolak dosa umpatan. Yaitu: enam perkara. Pertama: penderitaan kezaliman. Sesungguhnya siapa yang menyebutkan se­orang hakim dengan kezaliman, pengkhianatan dan mengambil uang suap, maka orang tersebut itu pengumpat yang maksiat, jikalau ia tidak dizalimi. Adapun orang yang dizalimi oleh pihak hakim, maka ia berhak mengadu kezaliman itu kepada sultan (pemerintah). Dan dikatakannya hakim itu za­lim, karena tidak mungkin ia memperoleh haknya, kecuali dengan demi­kian.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
إن لصاحب الحق مقالا
(Inna lishaahibil-haqqi maqaalaa).
Artinya: "Sesungguhnya yang punya hak itu mempunyai perkataan (berhak berbicara)". (1).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
مطل الغنى ظلم متفق عليه
(Math-lul-ghaniyyi dhulmun).
Artinya: Pertangguhannya orang kaya itu, membayar hutang suatu keza­liman".^).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
لي الواجد يحل عقوبته وعرضه
(Layyul-waajidi yuhillu 'uquubatahu wa 'irdlahu).
Artinya: "Pertangguhan orang yang memperoleh uang (untuk membayar hutangnya), itu menghalalkan penyiksaannya dan kehormatannya".(3). Kedua: permintaan bantuan untuk mengobah kemungkaran dan mengem- balikan orang yang berbuat maksiat, kepada jalan yang baik, sebagaimana

(1)  Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
(2) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah:
(3) Dirawikan Abu Daud, An-Nasa-i dan Ibnu Majah dari Asy-Syuraid, dengan isnad sha­hih.
109


dirawikan, bahwa 'Umar r.a. singgah pada 'Usman r.a. Dan ada yang mengatakan, 'Umar r.a. itu singgah pada Thalhah r.a. Lalu 'Umar r.a. memberi salam kepadanya, maka tidak dibalasnya salam itu. Lalu 'Umar r.a. pergi kepada Abubakar r.a. Maka diceriterakannya yang demikian ke­pada Abubakar r.a. Lalu pergilah Abubakar r.a. kepada 'Usman r.a. (atau kepada Thalhah r.a. menurut riwayat yang lain), untuk memperbaiki yang demikian. Dan tidaklah itu pengumpatan pada para shahabat. Begitu pula ketika sampai berita kepada 'Umar r.a., bahwa Abu Jundul membuat khamar di negeri Syam (Syria), lalu 'Umar r.a. menulis surat ke­padanya, sebagai berikut:-

Artinya: "Dengan nama Allah yang maha pengasih, lagi maha penyayang. Haa Mim. Diturunkan Kitab ini dari Allah yang Maha Kuasa dan Maha Ta­hu, Pengampun dosa, Penerima tobat, Keras hukuman dan Banyak mem­beri. Tiada Tuhan, selain daripada Dia. KepadaNya kesudahan tujuan". S.Al-Mu'min, ayat 1-2-3.

Maka bertobatlah Abu Jundul. Dan 'Umar r.a. tidak berpendapat, bahwa apa yang disampaikannya itu pengumpatan. Karena maksudnya, adalah un­tuk menentang Abu Jundul pada kemungkaran tersebut. Maka bermanfa'at baginya nasehat 'Umar r.a. apa yang tidak bermanfa'at baginya nasehat o- rang lain. Dan sesungguhnya diperbolehkan ini, dengan maksud yang be­nar. Maka kalau tidaklah yang demikian dimaksudkan, niscaya adalah ha­ram.

Ketiga: meminta fatwa, seperti dikatakannya kepada mufti (yang mengeluarkan fatwa): "Aku telah dianiaya oleh bapakku atau oleh istriku atau oleh saudarakau. Maka bagaimana jalanku pada melepaslan diri?". Dan yang lebih menyelamatkan itu, dengan kata-kata sindiran (kata-kata yang tidak langsung), dengan dikatakannya: "Apa katamu tentang orang yang dianiaya oleh ayahnya atau oleh saudaranya atau oleh isterinya?". Tetapi penentuan, diperbolehkan sekedar ini. Karena diriwayatkan dari Hindun binti 'Utbah, bahwa Hindun berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم .: "Bahwa Abu Sufyan itu laki-laki yang kikir. Ia tidak memberikan kepadaku, apa yang mencukupkan bagiku dan anakku. Apakah aku ambil, tanpa setahunya?".

110

Maka Nabi صلى الله عليه وسلم , menjawab:-
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
(Khudzii maa yakfiiki wa wala-daki bilma'ruuf)
Artinya: "Ambillah apa yang mencukupkan bagi engkau dan anak engkau dengan yang baik !".(1).

Hindun menyebutkan kekikiran dan kezaliman terhadap dia dan anaknya. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . tidak mencegahnya, karena maksud Hindun, ialah: meminta fatwa.

Keempat: menakutkan orang muslim daripada kejahatan. Apabila engkau melihat seorang ahli fikh (faqih) sering kali datang kepada orang yang ber­buat bid'ah (mubtadi') atau orang fasik dan engkau takut menularnya bid'­ah dan fasik itu kepada faqih tadi, maka engkau berhak membuka kebid'ahan dan kefasikan orang tersebut, manakala yang menggerakkan eng­kau bertindak demikian, Iantaran takut menjalarnya bid'ah dan fasik. Bu­kan lantaran sebab' yang lain.

Dan itu adalah tempat tipu-daya. Karena, kadang-kadang kedengkianlah yang menjadi penggerak, Dan dikacau-balaukan oleh setan yang demikian, dengan melahirkan kasih-sayang kepada orang banyak. Begitu pula orang yang membeli seorang budak. Dan engkau mengetahui bahwa budak itu suka mencuri atau berbuat fasik atau berbuat kekurangan yang lain. Maka engkau berhak menyebutkan yang demikian. Karena diamnya engkau itu mendatangkan kerugian bagi si pembeli. Dan dalam engkau menyebutkan itu, mendatangkan melarat bagi budak tersebut. Dan pihak sipembeli itu le­bih utama dijaga.

Begitu pula al-muzakki (orang yang mengetahui bersih tidaknya seseorang), apabila ia ditanyakan tentang keadaan seorang saksi, maka si al-muzakki i- tu boleh mencaci si saksi, kalau diketahuinya bahwa saksi itu tercela. Begitu pula orang yang diminta pikirannya (al-mustasyar) tentang perkawinan dan penyimpanan amanah, maka ia boleh menerangkan apa yang di­ketahuinya, dengan maksud nasehat kepada orang yang memintanya nasehat (al-mustasyir) itu. Tidak dengan maksud mencaci. Kalau diketahuinya, bahwa orang tersebut akan meninggalkan perkawinan dengan semata-mata perkataannya: "Wanita itu tidak pantas untuk eng­kau", maka itu yang sewajibnya dan mencukupi. Dan kalau diketahuinya, bahwa orang tersebut tidak akan meninggalkan perkawinan, kecuali dengan kata terus-terang dengan kekurangannya, maka bolehlah berkata terus-terang.

Karena Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
أترعوون عن ذكر الفاجر اهتكوه حتى يعرفه الناس اذكروه بما فيه حتى يحذره الناس
(A tar'auna 'an dzikril-faajirih-tikuuhuu hattaa ya'rifahun-naasudz-kuruu- huu bi maa fiihi hattaa yahdzarahun-naasu).Artinya: "Adakah kamu mencegah daripada menyebutkan orang fasik ?

1) Dirawikan AlBukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a.

Bukalah hal-ihwalnya sehingga diketahui oleh manusia ! Sebutkanlah apa yang ada padanya, sehingga ia ditakuti oleh manusia!".(1). Mereka mengatakan, bahwa tiga macam manusia, tidak ada pengumpatan untuk mereka. Yaitu: penguasa yang zalim, orang yang berbuat bid'ah dan orang yang menampakkan kefasikannya.

Kelima: bahwa adalah orang itu terkenal dengan gelaran yang melahirkan kekurangannya. Seperti: si Pincang dan si Kabur mata. (2).

Maka tidak berdosa orang yang mengatakan: "Dirawikan oleh Abuz-Zanad, dari Si Pincang (Al-A'raj) dan dirawikan oleh Salman dari Si Kabur Mata (Al- A'masy)". Dan yang lain-lain yang serupa dengan itu. Para ulama sudah berbuat demikian, karena pentingnya pengenalan. Dan karena yang demikian telah terjadi, yang tidak dibenci oleh yang bersangkutan sendiri, kalau diketahuinya, sesudah menjadi termasyur dengan yang demikian.

Ya, jikalau diperoleh yang sederhana dan mungkin untuk pengenalan de­ngan kata-kata yang lain, maka itu lebih utama. Karena itu dikatakan bagi orang buta (al-a'ma): yang melihat (al-bashir). Karena tukaran dari nama kekurangan.

Keenam: bahwa orang tersebut menampakkan kefasikannya, seperti: orang yang menampakkan dirinya seperti wanita, orang yang mempunyai tempat minuman keras, orang yang menampakkan dirinya meminum khamar dan meminta harta orang dengan setengah paksa. Dan orang tersebut termasuk orang yang menzahirkan perbuatannya, dimana ia tidak mencegah untuk disebutkan dan tidak benci untuk disebutkan dengan demikian. Maka apa­bila engkau sebutkan pada orang tersebut, apa yang dizahirkannya, maka engkau tidak berdosa. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersatyla:-
من ألقى جلباب الحياء عن وجهه فلا غيبة له
(Man alqaa jilbaabal-hayaa-i 'an wajhihi fa laa ghiibata lah).
Artinya: "Barangsiapa mencampakkan baju malunya dari mukanya, maka tiada menjadi pengumpatan baginya".(3).


'Umar r.a. berkata: "Tiada kehormatan bagi orang yang berbuat maksiat". Yang dimaksud, ialah: orang yang menampakkan kefasikannya, tidak orang yang menutupkannya. Karena orang yang menutupkannya, harus di- pelihara kehormatannya.

(1)  Dirawikan Ath-Thabrani dan Ibnu Hibban, dalam perawi-perawi yang lemah.
(2) Pincang, dalam bahasa Arab: al-a'raj dan itu gelar Abdurrahman bin Hurmuz Al-Qura- syi, sahabat Abu Hurairah yang terbesar, wafat di Iskandariah tahun 117 H. Dan At- A'masy (Kabur Mata) gelar Sulaiman bin Mahran Al-Kufi (Peny).
(3) Maksud hadits ini, orang yang tidak bermalu, maka apa yang dikatakan kepadanya itu, tidak menjadi umpatan. Dirawikan Ibnu 'Uda dan Abusy-Syaikh dari Anas, dengan sanad dla'if.
112

Ash-Shultu bin Thuraif berkata: "Aku bertanya pada Al-Hasan Al-Bashari: "Laki-laki yang fasik, yang menampakkan kemaksiatannya, apakah sebutanku kepadanya, dengan apa adanya itu, pengumpatan kepadanya?". A1 Hasan menjawab: "Tidak'dan tidak'ada kemuliaan bagi orang itu". Al-Hasan berkata: "Tiga macam manusia, tiada menjadi pengumpatan bagi mereka.yaitu: orang yang mengikuti hawa-nafsu, orang fasik yang menam­pakkan kefasikannya dan imam (penguasa) yang zalim". Maka orang tiga macam tersebut, dikumpuikan mereka oleh menzahirkan perbuatan itu. Dan kadang-kadang mereka berbangga diri dengan perbuat­an tersebut. Maka bagaimanakah mereka tiada menyukai yang demikian ? Dan mereka bermaksud menzahirkannya.

Benar, jikalau disebut apa yang tidak dizahirkannya, maka itu berdosa. Berkata 'Auf bin Abi Jamilah Al-A'rabi: "Aku masuk ke tempat Ibnu Sirin. Maka aku perkatakan padanya tentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Lalu Ibnu Sirin menjawab: "Sesungguhnya Allah menghukum dengan adil. IA akan menuntut balas untuk Al-Hajjaj dari orang yang mengumpatinya, sebagaimana IA menuntut balas dari Al-Hajjaj untuk orang dianiayainya. Dan engkau sesungguhnya apabiia menjumpai Allah Ta'ala besok, niscaya dosa yang paling kecil yang engkau peroleh. adalah lebih berat atas engkau dari dosa yang paling besar yang diperoleh oleh Al-Hajjaj".

PENJELASAN: kafarat umpatan.
Ketahuilah, bahwa wajib atas orang yang mengumpat itu menyesal, ber­tobat dan merasa sedih diatas perbuatan yang telah diperbuatnya. Supaya dengan demikian, ia keluar dari hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kemu­dian ia minta pada orang yang diumpatinya, supaya dihalalkannya. Lalu keluarlah ia daripada menganiayainya. Dan sayogialah untuk meminta dihalalkan itu, dimana ia dengan keadaan sedih, sangat terharu dan me­nyesal diatas perbuatannya. Karena orang yang ria, kadang-kadang memin­ta dihalalkan, untuk melahirkan dirinya orang wara', sedang pada batinnya, ia tidak menyesal. Maka ia telah mengerjakan suatu maksiat Iain. Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Mencukupilah dia ber-istighfar (meminta ampun Tuhan), tanpa meminta dihalalkan (dima'afkan)". Mungkin beliau mengambil dalil pada yang demikian, dengan apa yang dirawikan Anas bin Malik, dimana Anas berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
كفارة من اغتبته أن تستغفر له
(Kaffaaratu mani'gh-tabtahu an tastagh-fira lah).
Artinya: "Kaffarah (pembayar hutang dosa) kepada orang yang engkau umpati, ialah, bahwa engkau meminta diampuni dosanya (engkau membaca istghfar bagi dosanya)". (1):

(1) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Harits bin Abi Usamah dari Anas dengan sanad
dla'if.
113

Mujahid berkata: "Kaffarah engkau makan daging saudara engkau, ialah, bahwa engkau pujikan dia dan engkau do'akan kebajikan baginya". Ditanyakan 'Atha' bin Abi Ribah, tentang tobat daripada mengumpat. La­lu ia menjawab: "Bahwa engkau pergi kepada teman engkau itu, lalu eng­kau katakan kepadanya: "Aku berdusta tentang apa yang aku katakan. Dan aku telah berbuat aniaya dan berbuat jahat kepada engkau, Maka ji­kalau engkau mau, engkau ambillah hak engkau. Dan jikalau engkau mau, engkau ma'afkanlah". Inilah yang lebih benar !.

Kata orang yang mengatakan, bahwa kehormatan tiada gantinya, maka ti­ada wajib meminta dihalalkan, kecuali harta, adalah perkataan lemah. Ka­rena wajib pada kehormatan, hukum qadzaf (hukum karena menuduh orang berzina dan tidak dapat dikemukakan empat orang saksi). Dan adanya hak menuntut hukum tersebut.

Bahkan pada hadits shahih, diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
Artinya: "Barangsiapa ada padanya perbuatan kezaliman bagi saudaranya, mengenai kehormatan atau harta maka hendaklah ia meminta dihalalkan dari saudaranya itu, sebelum datangnya hari, dimana disitu tidak ada dinar dan dirham. Sesungguhnya diambilkan dari kebaikan-kebaikannya. Jikalau ia tiada mempunyai perbuatan kebaikan, niscaya diambilkan dari perbuatan kejahatan saudaranya, lalu ditambahkan pada kejahatannya".(l).

'Aisyah r.a. berkata kepada seorang wanita, yang mengatakan kepada wa­nita lain, bahwa wanita itu panjang ekor: "Sesungguhnya engkau telah mengumpatinya, maka mintalah ia menghalalkannya !" Jadi, haruslah meminta dihalalkan, jikalau sanggup atas yang demikian. Kalau orang yang diumpati itu berada jauh atau sudah mati, maka sayogi­alah membanyakkan istighfar dan do'a kepadanya. Dan meminta banyak kebaikannya.

(I) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
114

Kalau anda bertanya: Adakah wajib meminta dihalalkan itu ?"
Maka aku menjawab: tidak ! Karena itu adalah perbuatan berbuat kebaikan (tabarru'). Dan tabarni' itu suatu keutamaan dan tidak wajib. Akan tetapi perbuatan yang dipandang baik. Dan jalannya orang yang meminta ma'af itu, bahwa ia membanyakkan pujian kepada orang yang bersangkutan dan kasih-sayang kepadanya. Dan selalu ia berbuat demikian, sehingga orang tersebut baik hatinya. Jikalau tidak juga baik hatinya, maka pemintaan-kema'afannya dan kekasih-sayangannya itu suatu perbuatan baik yang diperhitungkan baginya, yang mengimbangi kejahatan, pada hari kiamat. Sebagian ulama terdahulu (ulama salaf), tidak mau menghafalkan. Sa'id bin Al-Musayyab berkata: "Aku tidak akan menghalalkan orang yang menganiayai aku". Ibnu Sirin berkata: "Aku tidaklah yang mengharamkan pe­ngumpatan kepadanya, lalu aku yang menghalalkannya. Sesungguhnya Al­lah yang mengharamkan pengumpatan kepadanya. Dan tidaklah aku yang berhak menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah untuk selama-lamanya".

Kalau anda bertanya: "Apakah artinya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .: "Sayogianya bahwa meminta dihalalkan pengumpatan itu", sedang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Ta'ala itu tidak mungkin ?" Maka kami menjawab: "Bahwa yang dimaksudkan, ialah meminta ma'af dari perbuatan penganiayaan, Bukan untuk membalikkan yang haram men­jadi halal. Dan apa yang dikatakan Ibnu Sirin itu baik, pada penghalalan sebelum pengumpatan. Karena sesungguhnya tidak boleh ia menghalalkan pengumpatan bagi orang lain".
Kalau anda bertanya: "Apa artinya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .:
أيعجز أحدكم أن يكون كأبي ضمضم كان إذا خرج من بيته قال اللهم إني قد تصدقت بعرضي على الناس
(A ya'jazu ahadukum an yakuuna ka Abii Dlamdlamin, kaana idzaa kha- raja min baitihi, qaala: allaahumma innii qad tashad-daqtu bi'irdlii 'alan- naas). Artinya: "Adakah seseorang kamu lemah untuk menjadi seperti Abu Dlamdlam ? Ia apabila keluar dari rumahnya, berdo'a: "Wahai Allah Tuhanku ! Sesungguhnya aku telah bersedekah dengan kehormatanku kepada manusia". (1).

Maka bagaimanakah ia bersedekah dengan kehormatan? Orang yang ber­sedekah dengan kehormatan, bolehkah diambil ? Jikalau sedekah itu tidak dilaksanakan, maka apakah artinya menggerakkan perbuatan tersebut ? Maka kami jawab, bahwa artinya: "Sesungguhnya aku tidak mencari ke­zaliman pada hari kiamat daripadanya dan aku tidak bermusuh-musuhan dengan dia". Kalau tidak demikian, maka pengumpatan itu tidak menjadi halal dan kezaliman itu tidak gugur daripadanya. Karena itu adalah kema' afan sebelum wajib. Kecuali itu, adalah janji dan ia berhak bercita-cita me nepati janji, dengan tidak akan bermusuh-musuhan. Kalau ia kembali dan bermusuh-musuhan, maka perbandingannya adalah seperti hak-hak yang lain, bahwa ia berhak yang demikian. Bahkan para ulama fiqh menegas- kan, bahwa barangsiapa memperbolehkan qazaf (tuduhan berzina), niscaya tidaklah gugur (hilang) haknya, dari hukuman si penuduh zina itu. Dan ke- zaliman akhirat itu seperti kezaliman dunia.


(1) Dirawikan Al-Bazzar dan Ibnu-sanni dari Anas, dengan sanad dla'if.
115

Pada umumnya, kema'afan itu lebih utama. Al-Hasan Al-Bashari r.a. ber­kata: "Apabila dikumpulkan segala ummat dihadapan Allah 'Azza wa Jalla pada hari kiamat, niscaya mereka itu dipanggil: "Hendaklah bangun berdiri siapa yang mempunyai pahala pada Allah !". Maka tiada yang bangun ber­diri, selain orang-orang yang mema'afkan manusia di dunia. Allah Ta'ala berfirman:-
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
(Khudzil-'afwa wa'mur bilurfi wa a'ridl'anil-jaahiliin). Artinya: "Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang ba­ik dan tinggalkanlah orang-orang yang tidak berpengetahuan itu". S.A1- A'raf, ayat 199.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
يا جبريل ما هذا العفو فقال إن الله تعالى يأمرك أن تعفو عمن ظلمك وتصل من قطعك وتعطي من حرمك
(Yaa-jibriilu ! Maahaadzal-'afwu? Fa qaala:inna'llaaha Ta'aalaa ya'muruka an ta'fuwa 'am-man dhalamaka wa tashila man qatha'aka wa tu'thiya man harramaka).Artinya: "Hai Jibril ! Apakah ma'af itu ?". Lalu Jibril menjawab: "Bahwa Allah Ta'ala menyuruh engkau untuk memberi ma'af orang yang menganiaya engkau, menyambung (shilaturrahim) dengan orang yang memutus­kan shilaturrahim dengan engkau dan memberikan kepada orang yang ti­dak mau (mengharamkan) memberi kepada engkau".(1).

Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashari r.a., bahwa seorang laki-laki ber­kata kepadanya: "Bahwa si Anu telah mengumpat engkau". Lalu Al-Hasan mengirimkan satu baki kurma belum kering (ruthab) kepadanya. Dan ia berkata kepada orang itu: "Telah sampai kepadaku, bahwa engkau telah menghadiahkan kepadaku, dari kebaikan-kebaikan engkau. Maka aku ber­maksud membalas hadiah engkau kepada engkau. Maka ma'afkan aku, bahwa aku tidak sanggup membalas kepada engkau dengan sempurna !".



(1) Hadits ini telah diterangkan dulu pada bab tentang: "Latihan Jiwa".



BAHAYA KEENAMBELAS: FITNAH (NAMIMAH).
Allah Ta'ala berfirman :-
هماز مشاء بنميم
(Hammaazin, masysyaa-in binamiim).
Artinya: "Suka mencela, berjalan membuat hasung dan fitnah". S.Al-Qa- lam, ayat 11.
Sesudah ayat tadi, Allah Ta'ala berfirman:-
عتل بعد ذلك زنيم
('Utullin ba'da dzaalika zaniim).
Artinya: "Berbudi rendah, selain dari itu tak tentu pula siapa bapanya".S.Al-Qalam, ayat 13.
Abdullah bin Al-Mubarak berkata: "Az-zaniim pada ayat diatas (yang ar­tinya: tak tentu pula siapa bapanya), ialah anak zina yang tidak menyembunyikan perkataan". Abdulllah bin Al-Mubarak meng-isyaratkan de­ngan yang demikian, bahwa tiap-tiap orang yang tidak menyembunyikan perkataan dan berjalan kesana-kemari dengan membawa fitnah itu menun- jukkan bahwa orang itu anak zina, karena difahami dari firman Allah Azza wa Jalla- ayat 13 tadi-. Az-zaniim itu bapa angkat (ad-da'iyyu).

Allah Ta'ala berfirman:-
ويل لكل همزة لمزه
(Wailun li-kulli humazatin lumazah).
Artinya: "Celaka untuk setiap pengumpat, penista".S.Al-Humazah, ayat 1. Ada yang mengatakan, bahwa al-humazah (yang diartikan diatas: pe­ngumpat), ialah: pembawa fitnah (an-nammam).

Allah Ta'ala berfirman:-
حمالة الحطب
(Hammaalatal-hathab).
Artinya: "Pemikul kayu api".S.Al-Lahab, ayat 4.
Ada yang mengatakan, bahwa pemikul kayu api (hammaalatal-hathab) itu, ialah: pembawa fitnah (nammamah), pembawa perkataan (dari seorang- keseorang).

Allah Ta'ala berfirman:-
فخانتاهما فلم يغنيا عنهما من الله شيئا
(Fa-khaanataa-humaa, fa lam yugh-niyaa 'anhumaa minal-laahi syai-aa). Artinya: "maka kedua isteri itu'isteri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth) berkhianat kepada kedua (suaminya). Karena itu kedua suaminya tiada dapat memberikan pertolongan sedikit juapun kepadanya terhadap hukuman Al­lah".At-Tahrim, ayat 10.


Ada yang mengatakan, bahwa istri Luth menerangkan dengan kedatangan tamu dan istri Nuh, menerangkan bahwa Nabi Nuh itu orang gila.
لا يدخل الجنة نمام
(Laa yadkhulul-jannata nammaam).
Artinya: "Tidak akan masuk sorga pembawa fitnah". (1).
Pada hadits lain, yaitu:-
لا يدخل الجنة قتات
(Laa yadkhulul-jannata qattaat).
Artinya: "Tidak akan masuk sorga qattaat (tukang fitnah)". Qattaat, yaitu: nammaam (pembawa fitnah). Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:
أحبكم إلى الله أحاسنكم أخلاقا الموطئون أكنافا الذين يألفون ويؤلفون وإن أبغضكم إلى الله المشاءون بالنميمة المفرقون بين الإخوان الملتمسون للبرءاء العثرات
(Ahabbukum ilal-laahi ahaasinu-kum akhlaaqaa. Al-Muwath-tha-uuna ak- naafaa, al-ladziina ya'lafuuna wa yu'lafuun. Wa inna ab-ghadla-kum ila'lla- hil-masy-syaa-uuna bin-namiimatil-mufarri-quuna bainal-ikhwaanilmultami - suuna lil-buraa-il-'atsaraat) Artinya: "Yang paling dikasihi oleh Allah diantara kamu, ialah: mereka yang baik akhlak (tingkah-laku), yang merendahkan sayapnya (merendah kan diri), yang suka dengan orang dan yang disukai orang. Dan yang paling dimarahi oleh Allah, ialah: mereka yang pergi membawa fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara dan mencaci orang yang tidak bersalah akan kesalahannya".(2).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Apakah tidak aku terangkan kepadamu akan orang yang paling jahat daripada kamu?". Para shahabat menjawab: "Belum !". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Mereka yang berjalan kesana-kemari memba­wa fitnah, mereka yang membuat kerusakan diantara sesama teman dan mereka yang mencari kekurangan pada orang yang tidak bersalah".(3). Abu Dzar Al-Ghaffari r.a. berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda:-
من أشاع على مسلم كلمة ليشينه بها بغير حق شانه الله بها في النار يوم القيامة
(Man asyaa'a 'alaa muslimin kalimatan li-yasyiinahu bihaa bi ghairi baqqin syaa-nahu'llaahu bi haa fin-naari yaumal-qiaamati).

(1)
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Hudzaifahi
(2)
Dirawikan Ath-Thabrani dari Abu Hurairah. Hadits ini telah diterangkan dulu pada "Adab Persahabatan".
(3)
Dirawikan Ahmad dari Abi Malik Al-Asy'ari. Hadits ini telah diterangkan dahulu.

Artinya: "Barangsiapa menyiarkan terhadap orang muslim suatu perkata­an, untuk memalukanhya dengan tidak sebenarnya, niscaya ia akan diberi- malu oleh Allah dalam neraka pada hari kiamat".(1). Abud-Darda' berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Laki-laki manapun, yang menyiarkan terhadap seseorang, suatu perkataan, dimana orang itu teriepas (tiada tersangkut dengan perkataan tersebut), untuk memalukan- nya di dunia, niscaya berhak Allah menghancurkan laki-laki itu pada hari kiamat dalam api neraka".(2).

Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa men­jadi saksi terhadap seorang muslim, dengan kesaksian, dimana ia tidak mempunyai keahlian mengenai kesaksian tersebut, maka ia telah menyedi- akan tempat duduknya dari api neraka".(3).

Ada yang mengatakan: bahwa sepertiga siksaan kubur itu dari perbuatan fitnah.
Dari Ibnu 'Umar, yang mendengar dari Nabi صلى الله عليه وسلم ., yang bersabda: "Se­sungguhnya tatkala Allah telah men jadikan sorga, lalu berfirman kepada sorga itu: "Berbicaralah !". Maka sorga itu berkata: "Berbahagialah siapa yang masuk kepadaku".

Lalu berfirman Allah Yang Maha Perkasa, Yang Maha Mulia Kebesaran- Nya: "Demi kemulianKu dan keagunganKu ! Tiada akan menempati pada engkau, delapan golongan manusia: tiada akan menempati engkau, orang yang setalu minum khamar, yang selalu berzina, yang qattaat, yaitu: pem­bawa fitnah ( nammaam), yang mengepalai peperangan (dayyuts), pengawal penguasa, orang yang berbuat seperti wanita, yang memutuskan shilaturra- him dan orang yang berkata: "Atas diriku janji Allah, kalau aku tidak berbuat demikian dan demikian. Kemudian ia tidak menepati perkataannya itu". (4).

Dirawikan Ka'bul-Ahbar, bahwa kemarau telah menimpa atas kaum Bani Israil. Lalu Nabi Musa a.s. meminta hujan berkali-kali. Tetapi tidak juga diturunkan hujan kepada mereka. Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Musa: "Sesungguhnya AKU tiada menerima do'a engkau dan do'a orang-orang bersama engkau, dimana pada engkau itu ada nammaam (pembawa fitnah), yang berkekalan berbuat fitnah". Maka Musa berdo'a: "Wahai Tuhanku ! Siapakah orang itu ? Tunjukkan- lah kepadaku, pembuat fitnah itu ! Sehingga aku dapat mengeluarkannya dari kalangan kami".

(1)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Dzar.
(2)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abud-Darda, hadits mauquf.
(3)   Dirawikan Ahmad dan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Hurairah.
(4)   Menurut keterarigan Al-Iraqi, ia belum pernah melihat hadits, yang demikian bunyi se- iengkapnya. Tetapi dengan kalimat-kalimat lain, yang tersusun dalam beberapa hadits yang pendek-pendek, yang perawinya lain-lain.
119

Tuhan berfirman: "Hai Musa ! Aku melarang kamu dari namimah dan Aku adalah nammaam!".Maka bertobatlah mereka semua. Lalu diturunkan hujan kepada mereka.

Diceriterakan, bahwa seorang laki-laki mengikuti seorang ahli ilmu hikmah (filosuf) dalam perjalanan tujuhratus farsakh (satu farsakh adalah tiga mil), mendengar tujuh kalimat. Tatkala ia datang dihadapan filosuf tersebut, ma­ka ia berkata: "Sesungguhnya aku datang kepada engkau, karena ilmu yang diberikan oleh Allah Ta'ala kepada engkau. Terangkanlah kepadaku dari hal langit dan apa yang lebih berat dari langit. Tentang bumi dan apa yang lebih luas dari bumi. Tentang batu dan apa yang lebih kesat dari batu. Tentang api dan apa yang lebih panas dari api.

Tentang bulan dan apa yang lebih sejuk dari bulan. Tentang Iaut dan apa yang lebih kaya dari laut. Dan tentang anak yatim dan apa yan lebih hina dari anak yatim".

Filosuf tadi menjawab: "Berkata bohong terhadap orang yang tak bersalah itu, lebih berat dari langit. Kebenaran itu lebih luas dari bumi. Hati yang qani' (merasa cukup apa yang ada) itu, lebih kaya dari laut. Loba dan dengki itu lebih panas dari api. Keperluan kepada kerabat, apabila ke­perluan tersebut belum berhasil itu, lebih dingin dari bulan. Hati orang kafir itu lebih kesat dari batu. Dan pembuat fitnah, apabila jelas keadaannya itu, lebih hina dari anak yatim".





Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...