Mengenai Halal Haram
Bab
6 dan 7
BAB KEENAM: mengenai
yang halal dan yang haram dari hal bercampur baur dengan sultan-sultan yang
zalim, hukum men- datangi majelis mereka, masuk ketempat mereka dan memuliakan
mereka.
Ketahuilah kiranya,
bahwa anda bersama amir-amir, pegawai-pegawai dan orang-orang zalim, mempunyai
tiga hal:
Hal pertama, yaitu yang terburuk, ialah bahwa anda masuk ketempat mereka.
Hal Kedua, yaitu, yang kurang buruk dari itu, ialah, mereka masuk ketempat
anda.
Hal ketiga, yaitu yang lebih selamat, ialah. bahwa anda mengasingkan
diri dari mereka. Maka anda tidak melihat mereka dan mereka tiada melihat anda.
Adapun hal pertama
tadi, yaitu masuk ketempat mereka, maka itu adalah tercela sekali pada agama,
Mengenai itu terdapat ancaman yang berat dan sangat, yang tersebut dalam
hadits dan atsar. Maka marilah kami nuqilkan supaya engkau ketahui akan
celaan agama itu. Kemudian kami bentang kan bagi yang diharamkan, yang
diperbolehkan dan yang dimakruhkan daripadanya, menurut yang dikehendaki oleh
fatwa pada ilmu zahir.
Adapun
hadits: yaitu, tatkala Rasulu'llah s.a.w,
menyifatkan amir-amir yang zalim, lalu beliau bersabda: "Maka barangsiapa
mencampakkan mereka, niscaya terlepaslah ia dan barangsiapa mengasingkan diri
dari mereka, niscaya selamatlah ia atau hampir ia akan selamat. Dan barangsiapa
terperosok bersama mereka dalam keduniaan, maka ia termasuk sebagian dari
mereka". (1).
Dan yang demikian itu,
adalah karena orang yang mengasing diri dari amir-amir itu, niscaya ia selamat
dari kedosaan mereka. Tetapi tidak selamat dari azab yang meratai dia bersama
mereka, kalau ia mengambil tempat bersama mereka, karena ditinggalkannya
mencampakkan dan menca- butkan diri.
Nabi
s.a.w. bersabda: "Akan ada
sesudahku amir-amir yang berdusta dan zalim. Maka barangsiapa membenarkan
mereka dengan kedustaannya dan menolong mereka diatas kezalimannya, maka
tidaklah ia daripadaku dan tidaklah aku daripadanya. Dan ia tidak akan datang
kekolam (kolam Nabi s.a.w, dinegeri akhirat nanti")(2).
Diriwayatkan
Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi s.a.w.
bersabda: "Ahli qira- ah (ahli pembacaan Al-Qur-an) yang sangat dimarahi
Allah Ta'ala, ialah mereka yang mengunjungi amir-amir" (3).
Dan pada suatu hadits,
tersebut: "Amir yang baik, ialah yang datang
1. Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas
dengan sanad dla’if.
|
2. Dirawikan
An-Nasa-i dan At-Tirmidzi dan dipandangnya shahih,
|
3. Dirawikan dari
Abu Hurairah.
|
206
|
kepada ulama dan ulama
yang jahat, ialah yang datang kepada amir". Dan pada suatu hadits,
tersebut: "Ulama itu adalah pemegang amanah rasul pada hamba-haihba Allah,
selama mereka tidak bercampur-baur dengan sultan. Maka apabila mereka berbuat
yang demikian, sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada rasul. Maka,
waspadalah terhadap mereka dan jauhkanlah dirimu daripadanya!" hadits ini
diriwayatkan oleh Anas r.a.
Adapun
atsar, maka berkatalah Hudzaifah: "Awasilah dari
tempat-tempat fitnah!"
Lalu orang bertanya:
"Manakah tempat-tempat fitnah itu?"
Hudzaifah menjawab:
"Pintu-pintu para amir, yang dimasuki oleh
seorang kamu ketempat amir itu, lalu membenarkannya dengan kedustaan dan mengatakan
apa yang tidak ada mengenai amir itu".
Abu Dzar mengatakan
kepada Salmah: "Wahai Salmah! Janganlah engkau datangi pintu-pintu para
sultan, karena engkau tidak akan dapat membahayakan sedikit pun dari dunia
mereka, melainkan mereka telah membahayakan akan agamamu yang lebih utama
daripadanya". Berkata Sufyan: "Dalam neraka jahanam, ada sebuah
lembah, yang tidak ditempati kecuali oleh para ahti qira-ah (al-qurra')9
yang mengunjungi raja-raja".
Al-Auza'i berkata: "Tiadalah sesuatu yang lebih dimarahi Allah, selain
dari orang alim yang mengunjungi pegawai (yang kekerja)pada raja". Samnun
berkata: Alangkah kejinya seorang alim yang didatangi tempat- nya, maka ia
tidak didapati. Lalu ditanyakan, maka orang menjawab: "Dia pada
amir".
Aku mendengar, ada
orang mengatakan: "Apabila kamu
melihat orang alim yang mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap agamamu,
sehingga aku cobakan yang demikian. Karena tiadalah sekali-kali aku masuk
ketempat sultan, melainkan aku perhitungkan diriku setelah keluar, lalu aku
melihat pada diri itu, akan bekas perbuatan, bersama apa yang aku menampak pada
mereka, dari kekasaran dan pertentangan dengan hawa- nafsu mereka".
'Abbadah bin
Ash-Shamit berkata: "Kecintaan ahli
qiraah yang kuat beribadah kepada amir-amir, adalah nifaq (sifat orang munafiq)
dan kecinta- annya kepada orang-orang kaya, adalah ria", Abu Dzar berkata:
"Barangsiapa membanyakkan harta segolongan orang, maka dia adalah
setengah dari mereka. Artinya: barangsiapa membanyakkan harta orang-orang zalim".
Ibnu Mas'ud r.a.
berkta: "Sesungguhnya seorang laki-laki yang
memasuki tempat sultan dan bersama orang itu agamanya, lalu ia keluar dan tak
ada agamanya baginya lagi".
Lalu orang menanyakan
kepadanya: "Mengapa?"
Ibnu Mas'ud menjawab:
"Karena ia akan mencari kerelaan sultan itu de-
207
|
ngan
kemarahan Allah".
Umar bin Abdul-aziz
memperkerjakan seorang laki-laki, lalu orang mengatakan kepadanya bahwa
laki-laki itu adalah pegawai Al-Hajjaj. Maka diberhentikannya. Lalu laki-laki
itu berkata: "Sesungguhnya aku bekerja untuk Al-Hajjaj adalah sedikit
sekali".Maka Omar menjawab: "Mencukupilah engkau menyertainya sehari
atau setengah hari karena keburukan dan kejahatan"
Al-Fudlail berkata: 'Tiada bertambahlah seseorang dekatnya dengan seorang
sultan, melainkan ia bertambah jauh daripada Allah". Adalah Sa'id bin
Al-Musayyab berniaga minyak dan mengatakan: "Sesungguhnya pada minyak ini
memperolah kecukupan, dari pada mendekati sultan-sultan itu". Wuhaib
berkata:"Mereka yang masuk ketempat raja-raja, lebih mendatangkan
kemelaratan kepada umat, dari pada orang- orang yang bermain judi".
Berkata Muhammad bin Salmah: "Lalat diatas kotoran adalah lebih baik dari
ahli qira-ah (qari') pada pintu mereka (raja-raja)".
Tatkala Az-Zuhri
bercampur-baur dengan sultan, lalu seorang saudaranya seagama menulis surat
kepadanya: "Kiranya Allah mendatangkan sehat wal'afiat kepada kita!
Jagalah, wahai Abubakar (panggilan kepada Az-Zuhri) dari fitnah! Engkau telah
menjadi dalam keadaan yang seyogia- lah bagi orang yang mengenai engkau, untuk
mendo'a kepada Allah bagi engkau dan, berbelas-kasihan kepada engkau. Engkau
telah menjadi seorang syaikh besar, yang telah banyaklah ni'mat Allah
kepadamu. Karena diberiNya kamu pemahaman akan KitabNya dan diajariNya kamu
sunnah NabiNya Muhammad s.a.w. Bukankah demikian? Allah telah mengambil ikatan
perjanjian dengan para ulama. Allah Ta'ala berfirman:
لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
وَلا تَكْتُمُونَهُ
(Litubayyinunnahu
linnaasi wa laa taktumuunah).Artinya: "Bahwa kamu akan menerangkan
Kitab itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya". - S.
Ali 'Imran, ayat 187.
Ketahuilah, bahwa yang
termudah dari apa yang telah engkau kerjakan dan yang teri- ngan dari yang
telah enkau pikulkan, ialah engkau telah berjinak-jinakkan dengan keliaran
orang zalim dan engkau mudahkan jalan kedurhakaan, dengan engkau mendekati
orang yang tidak menunaikan yang benar dan tidak meninggalkan yang batil,
ketika ia mendekati engkau. Mereka membuat engkau menjadi pusat,yang berputar
diatas engkau roda kezaliman mereka. Diambilnya engkau, menjadi jembatan yang
dilaluinya diatas engkau, kepada bencana yang ditimbulkan mereka dan tangga
yang dinaikinya pada tangga itu kepada kesesatan. Dan mereka masukkan dengan
sebab engkau, keraguan kepada para ulama dan mereka patuhkan
208
|
dengan sebab engkau,
hati orang-orang bodoh. Maka alangkah mudahnya, apa yang mereka bangun untuk
engkau, disamping apa yang mereka robohkan keatas pundak engkau! Alangkah
banyaknya yang mereka ambil dari engkau, mengenai apa yang mereka rusakkan
keatas engkau dari agama engkau! Maka tidaklah engkau aman dari menjadi
sebahagian dari orang yang difirmankan oleh Allah Ta'ala tentang mereka:
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ
(Fakhalafa min
ba'dihim khalfun adlaa'ush-shalaata). Artinya: "Kemudian mereka digantikan
oleh satu angkatan, yang mening- galkan sembahyang". — S. Maryam ayat 59.
Sesungguhnya engkau berga- ul dengan orang yang tidak bodoh dan menjaga
terhadapmu orang yang tidak lalai. Maka obatilah agamamu, yang sesungguhnya
telah masuk kepadanya penyakit! Dan sediakanlah perbekalanmu, yang sesungguhnya
telah tiba sa'at bermusafir jauh!
وَمَا
يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ
(Wa maa
yakhfaa'ala'llaahi min syai-in fil-ardli wa laa fis-samaa-i). Artinya:
Dan tidaklah tersembunyi pada Allah sesuatu dibumi dan dilangit". S.
Ibrahim, ayat 38 Wassalam".Maka segala hadits dan atsar tersebut,
menunjukkan bahwa pada bercampur-baur dengan sultan-sultan itu terdapat
fitnah-fitnah dan berbagai macam kerusakan.
'
Tetapi
akan kami uraikan yang demikian itu, secara uraian fiqh, dimana kami akan memperbedakan padanya akan yang terlarang
dari yang makruh dan yang mubah. Maka kami mulai: bahwa orang yang masuk
ketempat sultan, adalah datang untuk mendurhak£i Allah Ta'ala. Adaka- lanya:
dengan perbuatannya atau dengan diamnya atau dengan perkataannya atau dengan
i'tiqadnya. Maka tidaklah terlepas dari saiah satu hal-hal tersebut.
Adapun perbuatan, maka
memasuki tempat raja-raja itu dalam banyak hal, adalah memasuki rumah-rumah
rampokan. Melangkahkan kaki dan memasuki rumah-rumah tersebut, tanpa izin
pemiliknya, adalah haram. Dan janganlah engkau tertipu dengan perkataan orang
yang mengatakan, bahwa yang demikian itu, termasuk sebahagian dari apa yang
berma'af- ma'afan manusia padanya, seperti sebiji tamar atau beberapa hancuran
roti.
Sesungguhnya yang
demikian itu benar pada bukan barang rampokan. Adapun barang rampokan, maka
tidaklah demikian. Karena kalau dikata- kan, bahwa tiap-tiap duduk yang ringan
(yang sebentar), tidaklah mengu-
209
|
rangkan milik, maka
duduk yang demikian itu, adalah pada tempat berma*af~ma'afan. Dan begitu pula
singgah sebentar. Maka berlakulah ini pada tiap-tiap orang, lalu berlaku pula
pada kumpulan orang. Dan perampokan itu hanya sempurna dengan perbuatan semua
orang. Dan hanya berma'af-ma'afan padanya, apabila sendirian. Karena kalau
diketahui oleh pemiliknya, kadang-kadang tidak merasa benci hati kepadanya.
Adapun apabila yang demikian itu menjadi jalan kepada menghabiskan dengan
perkongsian, maka hukum pengharaman itu, tertarik kepada semua. Maka tidaklah
boleh untuk mengambil milik seseorang menjadi jalan, karena berpegang, bahwa
tiap-tiap seorang dari orang-orang yang lalu, sesungguhnya ia melangkah akan
suatu langkah, yang tidak mengu- rangkan milik. Karena jumlah orang itulah yang
menghilangkan milik. Dan itu adalah seperti pukulan yang ringan pada pengajaran,
adalah diperbolehkan, tetapi dengan syarat sendirian. Maka jikalau berkumpul
segolongan orang memukul dengan pukulan-pukulan yang mengharuskan mati, niscaya
wajiblah qishash (pembalasan) kepada semua. Sedangkan masing-masing dari
pukulan itu, jikalau sendiri-sendiri, niscaya tidaklah mewajibkan qishash.
Kalau diumpamakan
adanya orang zalim itu pada tempat yang bukan rairt- pokan, seperti pada tanah
yang tak berpunya umpamanya, maka kalau ada dibawah khemah atau payung besar
dari harta orang zalim tersebut, maka itu haram. Dan masuk kepadanya tidak
dibolehkan. Karena yang demikian itu mengambil manfa'at dengan yang haram dan
bernaung dibawah yang haram. Kalau diumpamakan semuanya itu halal, maka
tidaklah ma'shiat dengan masuk kedalamnya, dari segi masuk itu. Dan tidaklah
ma'shiat dengan ucapannya: Assalamu'alaikum, Tetapi, jikalau ia sujud atau
ruku' atau ia berdiri tegak dalam salamnya dan pelayanannya, niscaya adalah ia
memuliakan orang zalim disebabkan pemerintahannya, yang menjadi alat kezalimannya.
Dan merendahkan diri (tawadlu') kepada orang zalim, adalah perbuatan ma'shiat.
Tetapi orang yang tunduk merendahkan diri kepada orang kaya, yang tidak zalim karena
kekayaannya, tidak karena sebab yang Iain, yang menghendaki merendahkan diri
itu, niscaya membawa kekurangan duapertiga agamanya. Maka bagaimana pula
apabila tunduk merendahkan diri kepada orang zalim! Maka tidak diperbolehkan,
selain dari semata-mata salam saja. Adapun mencium tangan dan membungkuk pada
pelayanan, maka itu adalah ma'shiat. Kecuali ketika takut atau bagi imam yang
adil atau bagi orang alim atau bagi orang yang berhak demikian, disebabkan
urusan kea-, gamaan.
Abu 'Ubaidah bin
Al-Jarrah r.a. mencium tangan Ali r.a. tatkala berjumpa dinegeri Syam. Ali r.a.
tidak membantahnya.
Sebahagian salaf
bersangatan benar, sehingga tidak mau menjawab salam orang-orang zalim dan
berpaling muka dari mereka, untuk menghinakan
210
|
mereka. Dan
dihitungnya yang demikian itu, sebahagian dari mendckat- kan diri kepada Allah
Ta'ala yang sebaik-baiknya.
Adapun berdiam diri
daripada menjawab salam, maka mengenai ini mendapat perhatian. Karena menjawab
salam, adalah wajib. Maka tiada seyo gialah gugur kewajiban itu disebabkan
kezaliman,
Kalau orang yang masuk
ketempat orang zalim tersebut, meninggalkan semua yang tadi dan menyingkatkan
kepada salam saja, maka tidaklah ia terlepas dari duduk pada tikar mereka. Dan
apabila kebanyakan hartanya haram, maka tidaklah boleh dUduk pada tikar mereka
itu. Ini, adalah dari segi perbuatan!
Adapun diam, maka orang
yang masuk itu akan melihat pada tempat duduk mereka, tikar sutera, bejana
perak dan sutera yang dipakaikan pada mereka dan pada budak-budaknya, dari
barang-barang yang haram. Dan tiap-tiap orang yang melihat kejahatan dan
berdiam diri dari kejahat- an itu, maka dia itu bersekutu pada kejahatan
tersebut. Bahkan ia akan mendengar dari percakapan mereka, sesuatu yang keji,
yang dusta, maki- an dan yang yang menyakitkan. Dan berdiam diri dari semua
itu, adalah haram. Bahkan ia akan melihat mereka memakai kain haram, memakan
makanan haram dan segala yang dalam tangan mereka itu adalah haram. Dan berdiam
diri terhadap yang demikian adalah tidak boleh. Maka wajiblah diatas orang yang
masuk itu, menyuruh dengan ma'ruf (yang baik) dan melarang dari yang munkar
(yang dilarang agama) dengan lisan- nya, kalau ia tidak mampu dengan
perbuatannya.
Kalau anda menjawab: bahwa ia takut terhadap dirinya, maka dia itu dima'afkan
berdiam diri.
Itu benar! Tetapi ia
tidaklah memerlukan ufituk mendatangkan dirinya untuk mengerjakan apa yang
tidak diperbolehkan, kecuali disebabkan ada halangan. Sesungguhnya kalau ia
tidak masuk dan tidak menyaksikan ke- mungkaran-kemungkaran itu, niscaya
tidaklah dihadapkan kepadanya tugas tadi. Sehingga gugurlah kewajiban itu
disebabkan halangan tadi. Dan mengenai ini, aku berkata, bahwa barangsiapa
mengetahui suatu kerusakan pada suatu tempat dan ia mengetahui bahwa ia tidak
mampu menghilangkannya, maka tidaklah boleh ia datang ketempat tersebut, sehingga
berlakulah perbuatan itu dihadapannya dan ia menyaksikannya dan berdiam diri.
Tetapi seyogialah menjaga diri daripada menyaksikannya. Adapun perkataan,
yaitu: ia mendo'a kepada orang zalim atau memuji- kannya atau membenarkannya
apa yang dikatakannya dari yang batil, dengan perkataannya yang tegas atau
dengan menggerakkan kepalanya atau dengan kegembiraan yang membayang pada
wajahnya. Atau ia menampakkan kasihsayang, tunduk dan rindu untuk menjumpainya,
meng- harap panjang umurnya dan tetap kedudukannya.
Maka yang demikian
itu, biasanya tidak menyingkat sekedar memberi salam saja, tetapi ia
berkata-kata. Dan kata-kata itu tidaklah melampaui
211
|
akan segala macam yang
tersebut tadi.
Adapun berdo'a kepada
orang zalim itu adalah tidak halal, selain dari mengucapkan: diperbaiki kiranya
engkau oleh Allah atau diberi taufiq kiranya engkau oleh Allah kepada kebajikan
atau diianjutkan Allah kiranya umur engkau dalam mentha'atiNya atau yang
semacam yang tersebut ini.
Adapun do'a dengan:
penjagaan dari Allah, Ian jut umur dan berlimpah- limpah ni'mat, serta dengan
sebutan: penghulu dan yang searti dengan itu, maka tidak boleh. Nabi s.a.w.
bersabda:
(Man da'aa lidhaalimin
bil-baqaa-i fa qad ahabba an yu'shallaahu fii ardlih).
Artinya: "Barangsiapa
mendo'a bagi orang zalim dengan kekalan, maka sesungguhnya ia menyukai orang
berbuat ma'shiat kepada Allah dibumi- Nya' (1).
Kalau do'a itu
melewati kepada pujian, lalu ia akan menyebutkan apa yang tak ada pada yang
dipuji itu, maka adalah dia itu membohong, munafiq dan memuliakan orang zalim.
Dan ini adalah tiga perbuatan ma'shiat Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya
Allah marah apabila dipujikan orang fasiq". (2).
Dan pada hadits lain
tersebut: "Barangsiapa memuliakan orang
fasiq, maka sesungguhnya ia telah menolong meruntuhkan Islam".
(3). Kalau yang demikian itu melewati kepada membenarkan apa yang dikatakannya,
membersihkan dan memujikan apa yang dikerjakannya, niscaya adalah ia itu
berbuat ma'shiat dengan membenarkan dan memberi pertolongan. Karena
membersihkan dan memujikan itu adalah menolong kepada kema'shiatan dan
menggerakkan untuk gemar berbuat yang demikian. Sebagaimana mendustakan,
mencela dan mengejikan itu dalah menghardik dari perbuatan itu dan melemahkan
faktor-faktor yang mem- bawa kepadanya.
Dan menolong kepada
perbuatan ma'shiat adalah ma'shiat, walaupun dengan sepotong perkataan.
Sesungguhnya Sufyan
Ats-Tsuri r.a. ditanyakan orang tentang orang zalim yang hampir binasa dipadang
Sahara, apakah diberikan air minum kepadanya? Lalu beliau menjawab:
"Biarkan saja sampai ia mati, karena yang demikian itu menolong
kepadanya!"
Berkata ulama yang
lain: "Diberikan ia minum, sehingga kembali kepada-
1.
|
Hadits ini telah
diterangkan dahulu.
|
2.
|
Hadits ini telah
diterangkan dahulu.
|
3.
|
Hadits ini telah
diterangkan dahulu.
|
212
|
nya jiwanya. Kemudian,
ia ditinggalkan".
Kalau melewati yang
demikian, sampai kepada melahirkan kasih-sayang, rindu kepada menjumpainya dan
panjang usianya, maka kalau dia itu membdhong, niscaya ma'shiatlah ia dengan
maksiat kebohongan dan ke- munafiqan. Dan kalau ia benar, niscaya ma'shiatlah
ia dengan sukanya kekal orang zalim itu. Sedang sebenarnya hendaklah
dimarahinya dan dikutukinya demi karena Allah.
Maka memarahi orang,
karena Allah, adalah wajib. Dan mencintai dan merelai ma'shiat, adalah menjadi
orang yang ma'shiat. Barangsiapa mencintai orang zalim, maka kalau dicintainya
itu kerena kezalimannya, maka ia itu ma'shiat karena kecintaannya. Dan kalau
dicintainya karena sebab lain; maka dia itu ma'shiat dari segi, bahwa ia tidak
memarahinya, sedang ia wajib memarahinya.
Dan kalau berkumpul
pada seseorang kebajikan dan kejahatan, niscaya wajibtah ia dikasihi karena
kebajikannya dan dimarahi karena kejahatan nya.
Dan akan datang pada "Kitab
Persaudaraan Dan Orang-orang Yang Berkasih-kasihan pada Jalan Allah"
cara mengumpulkan antara marah dan sayang.
Maka jikalau selamat
dari yang demikian itu semua — dan amat jauhlah dari yang demikian — maka
tidaklah selamat dari kerusakan yang menja- lar kedalam hatinya. Karena ia
memandang kepada meluasnya dalam keni'matan dan memandang ringan segala ni'mat
Allah kepadanya dan adalah ia memperbuat larangan Rasulu'llah s.a.w. dimana
beliau bersabda: "Wahai para kaum muhajirin! Janganlah kamu masuk
kepada penduduk dunia, karena dunia itu membawa kemarahan bagi rezeki!"
(1). Dan ini serta apa yang padanya, dari mengikuti orang lain tentang masuk
ketempat orang zalim itu dan dari memperbanyakkan harta orang-orang zalim
dengan dirinya sendiri dan memandang baik orang-orang zalim itu, jikalau ia
termasuk orang yang memandang baik dengan yang demikian itu. Dan semuanya yang
demikian, adakalanya termasuk makruh atau ter- larang.
Sa'id bin Al-Musayyab
diajak untuk melakukan bai'ah kepada Walid dan Sulaiman, keduanya adalah putera
Abdul-malik bin Marwan. Maka Sa'id menjawab: "Aku tidak akan
melakukan bai'ah pada dua orang, selama bertukarlah malam dengan siang, karena
Nabi s.a.w. melarang dari dua bai'ah". (2)-
Lalu beliau
menyambung: "Aku masuk dari pintu yang satu dan aku keluar dari pintu yang
lain". Maka beliau berkata dengan tegas: 'Tidak! Demi Allah! Tiada
seorangpun dari manusia yang mengikuti aku". Maka beliau disiksa dengan
pukulan seratus kali pukul. Dan diberi pakaian yang menghapuskan bekas pukulan.
1. Dirawikan
Al-Hakim dari Abdullah bin Asy-Syukhair. Katanya: shahih isnad.
|
2. Dirawikan Abu
Na'im dengan isnad shahih dari Yahya bin Sa'id.
|
213
|
Tiadalah boleh masuk
kerumah orang-orang zalim, kecuali disebabkan dua hal yang membolehkan:
Pertama: Bahwa ada
dari pihak mereka perintah yang mengharuskan, bukan perintah memuliakan. Dan ia
tahu, bahwa kalau ia tidak mau, niscaya ia akan disiksa atau rusak kepatuhan
rakyat kepada mereka. Dan bergoncanglah suasana politik terhadap mereka.
Maka dalam hal yang
demikian, wajiblah menyambut perintah itu. Bukan mentha'ati mereka. Tetapi
menjaga kepentingan rakyat, sehingga tidaklah pemerintahan menjadi kacau balau.
Kedua: bahwa memasuki tempat mereka itu karena menolak kezaliman
pada orang muslim yang lain atau pada dirinya sendiri. Adakalanya dengan jalan
berbuat kebaikan atau dengan jalan bersabar dari kezaliman. Maka yang demikian
itu adalah suatu kelapangan (rukh-shah), dengan syarat bahwa ia tidak
membohong, tidak memujikan dan tidak meninggal- kan nasehat, yang diharapnya
diterima. Maka itulah hukum masuk!
Hal yang kedua: bahwa
masuk kepadanya sultan yang zalim yang mengun- junginya. Maka menjawab
salamnya, adalah tak boleh tidak. Adapun berdiri dan memuliakannya, maka
tidaklah haram, sebagai tim- balan diatas kemuliaan yang diberikannya dengan
kunjungannya itu. Karena dengan memuliakan ilmu dan agama, adalah berhak untuk
pujian, sebagaimana dengan kezaliman, adalah berhak untuk dijauhkan. Maka
memuliakan, dibalas dengan memuliakan dan dengan jawab salam. Tetapi yang lebih
utama, bahwa tidaklah ia bangun berdiri, kalau ia bersama sultan yang datang
itu pada suatu tempat khilwah (tempat sepi), supa- ya tampak dengan yang
demikian itu, kemegahan agama dan kehinaan kezaliman. Dan melahirkan
kemarahannya karena agama dan berpaling- nya dari orang yang berpaling dari
jalan Allah. Maka Alia Ta'ala berpaling daripadanya.
Dan kalau sultan yang
masuk kepadanya berada dalam suatu kumpulan manusia ramai, maka menjaga malunya
orang-orang yang mempunyai wilayah diantara rakyat banyak, adalah penting.
Maka tiadalah mengapa bangun berdiri diatas niat yang tadi.
Dan jikalau
diketahuinya bahwa yang demikian itu, tiada mendatangkan kerusakan pada rakyat
dan tidak memperoleh siksaan dari kemarahannya, maka meninggalkan pemuliaan
dengan bangun berdiri, adalah lebih utama. Kemudian, setelah terjadi pertemuan
itu, wajiblah menasehatinya. Dan kalau sultan itu mengerjakan apa yang tiada
diketahuinya haram dan ia mengharap akan meninggalkannya apabila ia telah tahu,
maka hendaklah diberitahukan yang demikian kepadanya. Dan yang demikian itu adalah
wajib.
Adapun menyebutkan
haram apa yang telah diketahuinya haram tentang berlebih-lebihan dan kezaliman,
maka tak adalah faedah padanya. Tetapi
214
|
haruslah ia
mempertakutkan sultan itu mengenai apa yang dikerjakannya daripada segala
ma'shiat, manakala berat dugaannya, bahwa mempertakutkan itu membekas
kepadanya. Dan haruslah ia menunjukkan kepada jalan kemuslihatan, jikalau ia
mengetahui jalan kepada yang bersesuaian dengan agama, dimana berhasillah
maksud dari orang yang zalim itu, tanpa ma'shiat, untuk mencegahnya dengan
yang demikian daripada sampai kepada maksudnya dengan kezaliman.
Jadi, wajiblah ia
memperkenalkan tempat kebodohannya itu dan mempertakutkan tentang apa yang
berani ia mengerjakannya dan menunjukkan kepada apa yang lalai ia daripadanya,
dari hal-hal yang tidak memerlukan kepada kezaliman.
Maka inilah tiga hal
yang harus diperbuatnya, apabila ia mengharap pada kata-katanya itu membekas.
Dan juga yang demikian itu, adalah harus atas tiap-tiap orang yang kebetulan
masuk ketempat sultan dengan suatu hal yang membolehkan ('udzur) atau tidak.
Dari Muhammad bin
Shalih, yang mengatakan: "Adalah aku pada Hammad bin Salmah dan kebetulan,
tidak ada dalam rumah itu selain sell elai tikar. Ia duduk padanya dan sebuah
Mash-haf (Kitab Suci Al-Qur-an) yang dibacanya, sebuah bungkusan yang
didalamnya ilmunya dan sebuah tempat bersuci, dimana ia mengambil wudlu'
daripadanya. Maka ketika saya padanya, tiba-tiba ada orang yang mengetok pintu
diluar, yaitu: Muhammad bin Sulaiman. Lalu diizinkan ia masuk. Maka ia masuk
dan duduk dihadapan Hammad bin Salmah.
Kemudian Muhammad bin
Sulaiman berkata kepada Hammad bin Salmah: "Mengapakah aku, apabila
melihat engkau, maka penuhlah keta- kutan kepada engkau?"
Hammad menjawab:
"Karena Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya orang yang berilmu (orang
alim), apabila ia menghendaki dengan ilmunya itu akan wajah Allah, niscaya
takutlah kepadanya segala sesuatu. Dan kalau ia menghendaki akan memenuhkan
gudang dengan ilmunya itu, niscaya takutlah ia dari tiap-tiap sesuatu".
(1).
Kemudian Hammad
memberikan kepada Muhammad bin Sulaiman uang sebanyak empatpuluh ribu dirham,
seraya berkata: "Engkau ambil uang ini dan engkau memperoleh pertolongan
dengan dia". Muhammad bin Sulaiman menjawab: "Akan aku kembalikan
uang ini kepada orang yang engkau aniaya dengan uang ini".
Maka Hammad menjawab:
"Demi Allah, tiadalah aku berikan kepadamu, selain dari apa yang aku
pusakai".
Muhammad bin Sulaiman
menyambung: "Aku tiada memerlukan uang ini bagiku".
Hammad bin Salmah
menjawab: "Ambillah uang ini dan bagi-bagikan- lah!"
1. Hadits ini hadits
marfu
|
215
|
Lalu Muhammad bin
Sulaiman menjawab: "Mudah-mudahan, jikalau aku adil dalam
membagi-bagikannya, maka aku takut dikatakan oleh sebahagi- an orang yang tiada
memperoleh daripadanya: "Bahwa ia tidak adil pada membagi-bagikannya".
Maka berdosalah orang itu, dimana orang-orang Iain, memperoleh uang itu
daripadaku".
Hal
yang ketiga: bahwa ia mengasingkan
diri dari sultan-sultan. Maka tidaklah ia melihat mereka dan mereka tidak
melihatnya. Dan itu adalah wajib. Karena tak ada keselamatan, selain pada yang
demikian. Maka haruslah ia berkeyakinan akan kemarahan oratig banyak atas kezaliman
mereka dan tidak menyukai kekekalan mereka, tidak memujikan mereka, tidak
menanyakan kabar tentang keadaan mereka, tidak mendekati orang-orang yang
berhubungan dengan mereka dan tidak menaruh kesedihan terhadap apa yang hilang,
disebabkan berpisah dengan mereka. Yang demikian itu, apabila terguris
dihatinya, keadaan mereka. Dan jikalau ia melupakan tentang mereka itu, maka
adalah lebih baik. Dan apabila terguris dihatinya akan kesenangan mereka, maka
hendaklah mengi- ngati akan apa yang diucapkan oleh Hatim Al-Ashamm:
"Sesungguhnya antaraku dan raja-raja itu, adalah satu hari saja, Adapun
kemaren, maka tidaklah mereka memperoleh kelazatannya. Dan sesungguhnya aku dan
mereka pada hari esok adalah pada ketinggian dan kemuliaan. Dan sesungguhnya
dia adalah hari ini dan apa yang diharap ada pada hari ini". Dan
mengingati akan apa yang diucapkan oleh Abud-Darda', karena beliau mengucapkan:
"Orang-orang yang berharta itu makan dan kitapun makan. Mereka itu minum
dan kita pun minum. Mereka itu berpakaian dan kitapun berpakaian. Mereka
mempunyai kelebihan harta, yang dipan- dangnya kepada harta-harta itu dan kita
memandang bersama mereka kepada harta-harta itu. Dan diatas mereka
perhitungannya, sedang kita terlepas daripadanya".
Tiap-tiap orang yang
mengetahui akan kezalimannya orang yang zalim dan ma'shiatnya orang yang
ma'shiat, maka seyogialah derajat orang itu turun pada hatinya. Dan ini adalah
wajib diatas orang yang mengetahui itu. Karena orang yang timbul daripadanya
apa yang tidak disukainya, niscaya - tidak dapat dibantah — berkuranglah
kedudukan orang itu dalam hatinya. Dan perbuatan ma'shiat seyogialah untuk
tidak disenangi. Karena, adaka- lanya ia Ialai dari perbuatan ma'shiat itu atau
ia senang atau ia benci. Dan tak adalah kelalaian serta mengetahuinya dan tiada
jalan untuk disenangi kema'shiatan itu. Maka tak boleh tidak dari kebencian
kepadanya. Maka hendaklah penganiayaan tiap-tiap orang terhadap hak Allah,
sepertj penganiayaannya terhadap hakmu sendiri!
Maka jikalau engkau
mengatakan, bahwa kebencian itu tidak masuk dalam ikhtiar (pilihan), maka
bagaimanakah wajibnya kebencian itu? Kami menjawab, bahwa tidaklah demikian. Karena
orang yang mencintai itu, akan benci dengan panggilan tabi'atnya sendiri — apa
yang tidak disu-
216
|
kai oleh yang
dicintainya dan yang menyalahi dengan dia. Maka orang yang tidak benci kepada
kema'shiatan terhadap Allah, adalah ia tidak mencintai Allah. Dan sesungguhnya
tiada mencintai Allah, orang yang tiada mengenalNya. Dan mengenai (ma'rifah)
itu wajib dan mencintai Allah itu wajib.
Apabila ia mencintai
Allah, niscaya ia benci tiap-tiap yang dibenci oleh Allah dan suka tiap-tiap
yang disukai oleh Allah. Dan akan datang penegasan itu dalam "Kitab
Kecintaan dan Kerelaan" nanti. Kalau anda
mengatakan, bahwa adalah ulama-ulama salaf dahulu masuk ketempat sultan-sultan.
Maka aku menjawab: ya,
pelajarilah masuknya mereka, kemudian masuk lah! Sebagaimana diceriterakan,
bahwa Hisyam bin Abdul-malik dating mengerjakan hajji ke Makkah. Maka tatkala
ia memasuki Makkah, lalu berkata: "Bawalah kepadaku seorang shahabat Nabi
s.a.w.!"
Maka lalu orang
menjawab: "Wahai Amirul-mu'minin! Mereka itu tiada lagi, sudah meninggal
semuanya".
Lalu Hisyam
menyambung: "Dari tabi'in".
Maka dibawalah
kepadanya Thaus AI-Yamani.
Tatkala Thaus masuk kehadapan khalifah Hisyam itu, beliau
membuka alas kakinya dengan tepi permadaninya dan tidak menyalamkan kepadanya
dengan panggilan "amirul-mu'minin". Tetapi beliau mengatakan:
"Assalamu'alaika ya Hisyam! (Selamat kepadamu, wahai Hisyam!) Dan tidak
beliau panggil dengan "kuniahnya" (kuniah, yaitu, panggilan dengan:
ayah si Anu bagi laki-laki dan: ibu si Anu bagi wanita). Dan beliau terus duduk
dihadapannya, seraya bertanya: "Kaifa anta ya Hisyam?" (Apa ka- bar
engkau wahai Hisyam?).
Maka amat murkalah
Hisyam mendengar yang demikian. Sehingga ia bercita-cita membunuhnya. Lalu
orang mengatakan kepada khalifah itu: "Engkau berada ditanah suci
kepunyaan Allah dan RasulNya (fiiharami'- llaah wa harami rasuulih). Dan tidak
mungkin dilakukan yang demikian!" Maka Hisyam bertanya kepada Thaus:
"Hai Thaus! Apakah yang mendo- rong engkau berbuat yang demikian?"
Thaus menjawab: "Apakah yang say a perbuat?"
Maka
bertambah-tambahlah kemarahan dan kemurkaan Hisyam. Hisyam berkata:
"Engkau buka kedua alas kakimu dengan tepi permadaniku. Engkau tidak
mencium tanganku. Engkau tidak menyalamkan aku dengan panggilan
"amirul-mu'minin", Engkau tidak menyebutkan kuniahku. Engkau duduk
dihadapanku dengan tidak seizinku. Dan engkau mengatakan: "Kaifa anta ya
Hisyam?"
Maka Thaus menjawab:
"Adapun apa yang aku perbuat, membuka alas kakiku dengan tepi permadanimu,
maka sesungguhnya aku buka kedua alas kaki itu dihadapan Tuhan Rabbul-'Izzati
tiap-tiap hari lima kali dan Ia tidak menyiksakan aku dan tidak memarahi aku.
Adapun katamu:
217
|
"Engkau tidak
mencium tanganku" maka sesungguhnya aku mendengar Amirul-mu'minin Ali bin
Abi Thalib r.a. berkata; 'Tiada halal bagi seseorang mencium tangan seseorang,
kccuali isterinya dari karena nafsu-syah- wat atau anaknya dari karena penuh
kasih-sayang. Adapun katamu: 'Tidak engkau menyalamkan aku dengan penggilan
amirul-muVninin", maka tidaklah semua orang suka kepada pemerintahanmu
(ke-amir-anmu). Dari itu, aku tidak suka membohong. Adapun katamu: "Aku
tidak menyebutkan kuniahmu" maka sesungguhnya Allah Ta'ala menyebutkan
nama nabiNya dan auliaNya. Allah Ta'ala memanggil "Ya Daud! Ya Yahya! ya
'Isa! Dan Allah Ta'ala menyebutkan kuniah musuh- musuhNya, dengan firmanNya:
تَبَّتْ
يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Artinya:
"Binasalah kiranya kedua tangan Abu Lahab ' - S. Al-Lahab, ayat 1. Adapun
katamu: "Engkau duduk dihadapanku", maka sesungguh- nya aku mendengar
Amirul-mu'minin Ali r.a. berkata: "Apabila engkau bermaksud melihat seseorang
dari penduduk neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk dan dikelilingnya
orang banyak berdiri. Maka berkatalah Hisyam kepada Thaus: "Berilah aku
pengajaran!" Lalu menjawab Thaus: "Aku mendengar dari Amirul-mu'minin
Ali r.a. berkata: "Sesungguhnya dalam neraka jahanam terdapat banyak ular
seperti bukit dan kala jengking seperti baghal (menyerupai keledai) yang
menggigit tiap-tiap amir yang tidak berlaku adil terhadap
rakyatnya".Kemudian Thaus itu bangun berdiri dan lari
Diriwayatkan dari Sufyan
Ats-Tsuri r.a. yang mengatakan: "Aku masuk ketempat
Abu Ja'far Al-Manshur di Mina. Lalu ia berkata kepadaku: "Sampaikanlah
kepada kami hajatmu! "Maka aku berkata kepadanya: "Bertaqwalah kepada
Allah! Sesungguhnya telah penuh bumi ini dengan kezaliman dan
keangkara-murkaan".
Berkata Sufyan
seterusnya: "Lalu Abu Ja'far Al-Manshur menundukkan kepalanya,
kemudian mengangkatkannya, lalu berkata: "Sampaikanlah kepada kami
hajatmu!"
Maka aku menjawab: "Sesungguhnya engkau menempati kedudukan ini dengan
pedang kaum Muhajirin dan Anshar, sedang anak-anak mereka mati kelaparan. Maka
bertaqwalah kepada Allah dan sampaikanlah kepada mereka akan hak mereka!"
Lalu Abu Ja'far
menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatkannya, maka berkata:
"Sampaikanlah kepada kami hajatmu!" Maka aku menjawab: "Saidina
Umar bin Al-Khath-thab r.a. telah mengerjakan hajji lalu menanyakan kepada
juru-keuangannya: "Berapakah
218
|
engkau keluarkan
belanja?" Juru-keuangan itu menjawab: "Sepuluh dirham lebih
sedikit". Dan aku melihat disini banyak harta, yang tak
mampu unta memikulnya". Dan terus beliau keluar...............................................................................
Begitulah kiranya
mereka itu memasuki tempat sultan-suitan apabila ter- paksa. Mereka
mempertaruhkan nyawa mereka untuk menuntut balas dari kezaliman sultan-sultan
itu karena Allah.
Ibnu Abi Syumailah
masuk ketempat Abdul-malik bin Marwan. Lalu khalifah
Abdul-malik mengatakan kepadanya: "Berbicaralah!" Maka berkata Abi
Ibnu Abi Syumailah kepada Khalifah: "Sesungguhnya manusia tidaklah
terlepas pada hari kiamat dari kesempitan dan kepahitan kiamat dan menyaksikan
kebinasaan padanya, kecuali orang yang mencari kerelaan Allah dengan kemarahan
dirinya".
Maka menangislah
Abdul-malik, seraya berkata: "Sesungguhnya
akan aku jadikan kalimat ini kata-kata berhikmat didepan mataku, selama hidupku".
Tatkala dipekerjakan
oleh Usman bin Affan r.a. akan Abdullah bin 'Amir, lalu datang kepadanya para
shahabat RasuluMlah s.a.w. Dan yang terlambat daripadanya, ialah Abu Dzar. Dan
adalah Abu Dzar itu berteman baik dengan Abdullah. Lalu Abdullah menyesalinya.
Maka berkata- lah Abu Dzar: "Aku mendengar Rasulu'llah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya seseorang apabila memerintah sesuatu wilayah, niscaya
berjauhanlah Allah daripadanya" (1).
Malik bin Dinar
memasuki tempat amir kota Basrah, lalu berkata: "Wahai Amir! Aku membaca
pada sebagian kitab, bahwa Allah Ta'ala berfir- man: "Alangkah dungunya
seorang sultan! Alangkah bodohnya orang yang mendurhakai Aku! Alangkah mulianya
orang yang merasakan kemu- liaan dengan Aku! Wahai penggembala kejahatan! Aku serahkan
kepadamu kambing yang gemuk dan sehat, lalu engkau makan dagingnya, engkau
pakai bulunya dan engkau tinggalkan tulang-belulangnya kacau-balau".
Maka bertanya
kepadanya wali negeri Basrah itu: Adakah engkau tahu apakah yang memberanikan
engkau terhadap kami dan yang menjauhkan kami daripada engkau?" Malik bin
Dinar menjawab: 'Tidak saya tahu".
Lalu menyambung wali
Basrah: "Kurang loba apa yang ada pada kami dan meninggalkan tertahan bagi
apa yang ada ditangan kami". Adalah Umar bin Abdul-azis berdiri bersama
Sulaiman bin Abdul malik. Maka Sulaiman mendengar bunyi petir, lalu beliau
gundah dan meletak- kan dadanya pada bahagian depan kendaraan. Maka berkatalah
Umar kepadanya: "Ini adalah suara rahmatNya, maka bagaimanakah apabila
engkau mendengar suara azabNya?"
Kemudian Sulaiman
memandang kepada orang banyak, lalu berkata:
1. Menurut Al-Iraqi,
beliau tidak menjumpai hadits ini.
|
219
|
"Alangkah
ramainya manusia!" Maka menjawab Umar: "Mereka itu adalah lawanmu,
wahai Amirul-mu'minin".
Lalu Sulaiman berkata
kepada Umar: "Dicoba engkau oleh Allah dengan mereka".
Menurut ceritera,
bahwa Sulaiman bin Abdul-malik datang ke Madinah dan ia bermaksud ke.Makkah.
Maka ia mengirim utusan kepada Abu Hazim, mengundang kedatangannya.
Tatkala Abu Hazim
masuk, maka berkata Sulaiman kepadanya: "Wahai Abu Hazim! Mengapakah kita
tidak menyukai mati?" Abu Hazim menjawab: "Karena kamu meruntuhkan
akhiratmu dan mem- bangun duniamu. Maka kamu tidak suka berpindah dari
pembangunan kepada keruntuhan".
Maka Sulaiman bertanya
lagi: "Wahai Abu Hazim! Bagaimanakah datang kepada Allah?"
Abu Hazim menjawab:
"Wahai Amirul-mu'minin! Adapun orang yang berbuat baik, maka seperti orang
yang jauh datang kepada keluarganya. Adapun orang yang berbuat jahat, maka
seperti budak yang lari datang kembali kepada tuannya".
Maka menangislah
Sulaiman seraya berkata: "Wahai kiranya, bagaimanakah aku ini disisi
Allah?"
Abu Hazim menjawab:
"Datangkan dirimu kepada Kitab Allah Ta'ala, dimana Ia berfirman:
(Innal-abraara lafii
na'iimin wa innal-fujjaara lafii jahiim).
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kesenangan.
Dan sesungguhnya
orang-orang yang jahat berada dalam neraka" - S.Al-Infithar, ayat 13 dan
14.
Sulaiman bertanya: ………….….…"Dimanakah rahmat Allah?"
Abu Hazim menjawab:…………... "Dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan
Kemudian Sulaiman
bertanya:.. "Hai Abu Hazim! Hamba Allah yang
manakah yang lebih mulia?"
Abu Hazim menjawab:…………… "Yang berbuat kebajikan dan taqwa!"
Sulaiman bertanya
pula: … …"Perbuatan apakah yang lebih
utama?"
Abu Hazim menjawab:………
"Menunaikan yang fardlu (yang wajib) serta men- jauhkan yang haram".
Sulaiman bertanya
lagi: "Perkataan manakah yang lebih terdengar?"
Abu Hazim menjawab:
"Perkataan yang benar pada orang yang engkau takut dan engkau harap".
Sulaiman bertanya:
"Orang mu'min manakah yang lebih pintar?"
Abu Hazim menjawab:
"Orang yang bekerja dengan mentha'ati Allah dan mengajak manusia
kepadanya".
220
|
mengajak manusia
kepadanya".
Sulaiman bertanya: "Mu'min manakah yang merugi?"
Abu Hazim menjawab "Orang yang melangkah dalam hawa nafsu saudaranya dan
orang itu zalim. Maka dijualnya akhiratnya dengan mengambil dunia orang
Iain".
Bertanya Sulaiman
lagi: "Apakah katamu tentang keadaan
kami?"
Abu Hazim menjawab:
"Apakah engkau mema'afkan aku?"
Sulaiman menjawab: "Sudah pasti, karena itu adalah nasehat yang engkau
berika'n kepadaku".
Lalu Abu Hazim
menjawab: "Wahai Amirul-mu'minin! Bahwa
bapak-bapakmu dahulu memaksakan manusia dengan pedang dan mengambil kerajaan
ini secara kekerasan, tanpa musyawarah dengan kaum muslimin dan tanpa rela
mereka. Sehingga terbunuhlah dari kaum muslimin itu dalam suatu pembunuhan yang
dahsyat. Dan mereka itu semuanya telah pergi , Maka jikalau engkau me rasa apa
yang dikatakan mereka dan apa yang dikatakan kepada mereka
Lalu menyahut seorang
dari orang-orang yang duduk bersama: "Amat buruklah apa yang kamu katakan
itu!"
Abu Hazim menjawab: "Sesungguhnya Allah telah mengambil ikatan janji
diatas para ulama, untuk menerangkannya kepada manusia dan tidak me- nyembunyikannya".
Sulaiman menyambung: "Bagaimanakah caranya kita memperbaiki kerusakan
ini?"
Abu Hazim menjawab: "Bahwa engkau ambil yang halal, lalu engkau letakkan
pada yang hak".
Sulaiman menjawab: "Siapakah yang sanggup demikian itu?"
Abu Hazim menjawab: "Orang yang mencari sorga dan takut dari neraka".
Lalu Sulaiman
menyambung: "Mendo'alah untukku". Maka Abu
Hazim membacakan do'anya: "Wahai Allah Tuhanku! Jikalau adalah Sulaiman
seorang wali Mu, maka mudahkanlah dia untuk kebaikan dunia dan akhirat! Dan
jika ia musuhMu, maka ambillah pundak kepalanya kepada apa yang Engkau sukai
dan relai!"
Lalu Sulaiman berkata: "Berilah kepadaku wasiat (nasehat)!"
Maka Abu Hazim
menjawab: "Aku nasehati engkau dan aku
ringkaskan: agungkanlah Tuhanmu dan tanzihkanlah Dia (sucikanlah Dia), bahwa Ia
melihat engkau dimana Ia melarang engkau atau tiada melihat engkau dimana Ia
menyuruh engkau".
Umar bin Abdul-aziz
berkata kepada Abu Hazim: "Berilah aku pengajar an!"
Lalu Abu Hazim
menjawab: "Berbaringlah! Kemudian jadikanlah mati itu pada kepalamu!
Kemudian, lihatlah kepada yang engkau kasihi, bahwa ada ia padamu pada sa'at
itu! Maka ambillah dia sekarang! Dan apa yang tiada engkau sukai, bahwa ada ia
padamu pada sa'at itu, maka tinggalkan-
221
|
lah sekarang! Maka
semoga sa'at itu, adalah dekat!"
Seorang Arab dusun
masuk ketempat Sulaiman bin Abdul-malik. Maka Sulaiman berkata:
"Berbicaralah wahai Arab dusun!"
Arab dusun itu
menyahut: "Wahai Amirul-mu'minin! Sesungguhnya aku akan berbicara dengan
engkau dengan suatu pembicaraan, maka terimalah, walaupun tidak engkau sukai.
Karena dibaiiknya, ada yang engkau sukai, jika engkau sudi menerimanya".
Lalu Sulaiman menjawab: "Hai Arab dusun! Sesungguhnya kami bermurah hati
dengan luasnya penanggungan, terhadap orang yang tidak kami harapkan nasehatnya
dan yang tidak kami merasa aman dari tipuannya. Maka bagaimana pula dengan
orang yang kami merasa aman dari tipuannya dan kami mengharap akan
nasehatnya?"
Maka Arab dusun itu
berkata: "Wahai Amirul-mu'minin! Sesungguhnya
telah mengelilingi engkau, orang-orang yang berbuat jahat pilihan bagi diri
mereka sendiri. Dan mereka membeli dunia mereka dengan agamanya dan kerelaan
engkau dengan kemarahan Tuhannya. Mereka takut kepada engkau mengenai Allah
Ta'ala dan mereka tiada takut akan Allah menge- nai engkau. Dia perangi akhirat
dan dia selamatkan dunia. Maka jangan- lah engkau letakkan amanah pada mereka,
terhadap apa yang diamanah- kan Allah Ta'ala kepada engkau padanya. Karena
mereka tidak melambatkan pada amanah itu kesia-siaan dan pada umat itu kehinaan
dan kezaliman. Engkau bertanggung jawab dari apa yang dikerjakan mereka dan
mereka tidak bertanggung jawab dari apa yang engkau kerjakan. Maka tidaklah
baik dunia mereka dengan rusaknya akhirat engkau. Maka sesungguhnya yang amat
besar meruginya manusia, ialah orang yang men- jual akhiratnya dengan dunia
orang Iain.
Lalu berkata kepadanya
Sulaiman: "Wahai Arab dusun! Sesungguhnya
engkau telah engkau lepaskan lidahmu, yaitu: yang tertajam dari dua
pedangmu".
Arab dusun itu
menjawab: "Benar, wahai Amirul-mu'minin? Tetapi
untuk keselamatanmu, bukan untuk kerugianmu".
Diriwayatkan, bahwa Abubakrah masuk ketempat Mu'awiah, lalu berkata: "Bertaqwalah
kepada Allah, wahai Mu'awiah! Ketahuilah kiranya, bahwa engkau pada
tiap-tiap hari yang keluar dari engkau dan pada tiap-tiap malam yang datang
kepada engkau, tidaklah menambahkan engkau dari dunia melainkan jauh dan dari
akhirat, melainkan dekat. Dan diatas jejak engkau, ada yang mencari yang tidak
dapat engkau hilangkan. Dan telah ditegakkannya bagi engkau pengetahuan yang
tidak dapat engkau lampaui. Maka aliangkah cepatnya apa yang engkau sampaikan
dengan ilmu itu! Dan hampirlah tidak dapat dihubungi dengan engkau oleh yang
mencari itu! Sesungguhnya kita dan apa yang kita didalamnya, adalah hilang. Dan
apa yang kita kerjakan, menuju kepadanya, adalah kekal! Kalau baik, maka
balasannya adalah baik dan kalau jahat, maka balasannya adalah jahat.
222
|
Maka begitulah adanya
masuk orang-orang yang berilmu ketempat sultan- sultan. Ya'ni: para ahli ilmu
akhirat (ulama akhirat). Adapun ulama dunia, maka mereka masuk untuk
mendekatkan diri kepada hati mereka. Lalu mereka mengulurkan timbanya kepada
sulat- sultan itu dengan harga murah. Dan mereka melakukan istinbath (mencari
dalil) untuk sultan-sultan itu, dengan daya-upaya yang halus-halus, akan jalan
keluasan, mengenai apa yang bersesuaian dengan maksud mereka. Dan kalau mereka
berkata-kata, seperti apa yang kami sebutkan dahulu tentang pembentangan
pengajaran, bukanlah mereka itu untuk perbaikan. Tetapi untuk mencari kemegahan
dan penerimaan dari sultan-sultan itu. Dan pada ini, adalah dua penipuan, yang
tertipu orang-orang bodoh dengan dia:
Penipuan Pertama: bahwa ia melahirkan dengan kata-kata: bahwa maksudku masuk
ketempat sultan-sultan itu, ialah memperbaiki mereka dengan nasehat.
Kadang-kadang mereka serupakan kepada dirinya yang demikian itu.
Dan sesungguhnya yang
menggerakkan mereka berbuat demikian, ialah nafsu keinginan yang tersembunyi
untuk memperoleh kemasyhuran dan menghasilkan perkenalan bagi mereka.
Dan tanda kebenaran
pada mencari perbaikan, ialah kalau dilaksanakan nasehat itu oleh orang lain,
dari orang-orang yang menjadi temannya dalam ilmu pengetahuan dan mendapat
sambutan serta menampak bekas- nya perbaikan, maka seyogialah ia bergembira dan
bersyukur kepada Allah Ta'ala atas dapat terlaksananya dengan memuaskan usaha
yang pen- ting tersebut, seperti orang yang harus mengobati orang sakit yang
tak berkeluarga. Maka bangunlah orang lain mengobatinya, maka alangkah besar
kegembiraannya.
Maka kalau ia
menjumpai dalam hatinya untuk memperkuatkan perkataannya terhadap perkataan
orang lain, maka dia itu tertipu. Penipuan Kedua: bahwa ia mendakwakan:
sesungguhnya maksudku adalah menolong sesama muslim pada menolak kezaliman. Dan
ini juga adalah tempat sangkaan penipuan. Dan ukurannya, adalah apa yang telah
tersebut dahulu.
Dan apabila telah
nyata jalan masuk kepada sultan-suitan itu, maka haruslah kami gambarkan dalam
hal-hal yang mendatang mengenai bercampur baur dengan sultan-sultan dan
memegang harta-benda mereka, dengan be berapa masalah:
Suatu Masalah.
Apabila sultan
mengirimkan kepada anda uang untuk dibagi-bagikan kepada fakir-miskin, maka
kalau uang itu kepunyaan seorang pemilik tertentu, maka tidaklah halal
mengambilnya. Dan kalau-tak ada pemiliknya yang tertentu, tetapi adalah
hukumnya, wajib menyedekahkan kepada
223
|
orang-orang miskin,
sebagaimana telah diterangkan dahulu, maka bolehlah anda mengambilnya dan
mengurus pembagian itu. Dan tidaklah anda ma'shiat dengan mengambilnya.
Tetapi sebagian ulama
melarang mengambilnya. Maka dalam hal ini, diperhatikan pada yang lebih utama.
lalu kami jelaskan: bahwa yang lebih utama, ialah mengambilnya, jikalau anda
merasa aman dari tiga godaan: Godaan Pertama: bahwa sultan itu menyangka dengan
sebab anda ambil, bahwa hartanya itu baik. Dan jikalau tidaklah hartanya itu
baik, tentu anda tidak akan mengulurkan tangan kepadanya. Dan tidak akan anda
masukkan kedalam tanggungan anda.
Jikalau adalah
demikian, maka jangantah anda ambil, karena yang demikian itu harus diawasi.
Dan tiada sempurnalah kebajikan pada pelaksanaan anda, akan pembagian, dengan
apa yang ada bagi anda, dari keberani- an diatas usaha harta yang haram.
Godaan Kedua: bahwa dipandang kepada anda oleh orang-orang lain, dari para
ulama dan orang-orang bodoh, lalu mereka meyakininya halal. Maka diturutinya
anda pada pengambilan itu. Dan mereka berdalilkan dengan yang demikian, kepada
pemboiehannya. Kemudian, tidak mereka bagi-ba- gikan.
Maka yang kedua ini,
adalah lebih berbahaya daripada yang pertama. Karena segolongan mereka
mengambil dalil dengan diambil oleh Asy-Syaffi r.a. kepada bolehijya mengambil.
Dan mereka lupakan tentang membagi-bagikannya dan mengambilnya itu dengan niat
untuk dibagi-bagikan. Maka orang yang mengikuti dan menyerupakan diri dengan
yang tersebut, seyogialah menjaga dari ini dengan sebenar-benarnya. Karena
perbuatannya adalah menjadi sebab kesesatan orang banyak. Wahab bin Munabbih
menceriterakan, bahwa seorang laki-laki dibawa kepada seorang raja, dihadapan
orang banyak, untuk dipaksakan memakan daging babi. Orang itu tidak mau makan.
Lalu dibawa kehadapannya daging kambing dan dipaksakan memakannya dengan
pedang, maka dia tidak juga mau makan. Lalu ditanyakan kepadanya, yang
demikian itu. Ia menjawab: "Sesungguhnya manusia meyakini bahwa aku
dipaksakan untuk memakan daging babi, maka apabila aku keluar dengan selamat
dan aku telah makan, lalu mereka itu tidak mengetahui, apakah yang aku makan.
Maka sesatlah mereka dengan yang demikian". Wahab bin Munabbih dan Thaus,
masuk ketempat Muhammad bin Yusuf- saudara dari Al-Hajjaj. Dan Muhammad itu
adalah pegawai. Dan berada pada pagi yang dingin ditempat yang terbuka. Lalu
Muhammad berkata kepada bujangnya: "Bawalah kemari thailasan (baju hijau
yang dipakai oleh orang-orang tertentu dan oleh para ulama) itu dan
campakkanlah kepada Abu Abdurrahman!" Ya'ni: Thaus.
Dan Thaus itu duduk
diatas kursi. Lalu dicampakkan baju tersebut kepadanya. Maka ia senantiasa
menggerak-gerakkan kedua bahunya, sehingga baju itu tercampak daripadanya; Lalu
marahlah Muhammad bin Yusuf.
224
|
Maka berkatalah Wahab:
"Tidak perlulah engkau memarahinya, jikalau engkau mengambil baju tersebut
dan menyedekahkannya". Muhammad bin Yusuf menjawab: "Ya, kalaulah
tidak akan dikatakan oleh orang-orang sesudahku, bahwa baju itu telah diambil
oleh Thaus dan ia tidak memperbuat apa yang aku perbuat dengan baju tersebut,
niscaya sungguh aku perbuat yang demikian".
Godaan Ketiga: bahwa tergerakkah hati engkau mencintainya, karena
di-tentukannya engkau dan dipilihkannya engkau dengan apa yang dilaksana kannya
untuk engkau.
Maka jikalau adalah
seperti yang demikian, maka janganlah engkau terima! Karena yang demikian itu,
adalah racun yang membunuh dan penyakit yang tersembunyi. Ya'ni: apa yang
disukai oleh orang-orang zalim kepada engkau. Karena orang yang engkau kasihi,
niscaya tak boleh tidak akan engkau berusaha dan berminyak air dengan dia.
'Ai'syah r.a, berkata: "Telah menjadi tabi'at bagi manusia, mengasihi
orang yang berbuat baik kepadanya".
Dan Nabi s.a.w. berdo'a: "Wahai Allah. Tuhanku! Janganlah engkau jadikan bagi
orang zalim padaku tangannya, lalu ia dicintai oleh hatiku!" (1).
Nabi s.a.w,
menerangkan, bahwa hati hampir tak dapat mencegah dari
yang demikian.
Diriwayatkan, bahwa sebahagian amir mengirimkan kepada Malik bin Dinar
uang sebanyak sepuluh ribu dirham. Lalu Malik mengeluarkannya semua- nya. Maka
datanglah kepadanya Muhammad bin Wasi seraya berkata: "Apakah yang engkau
perbuat, dengan apa yang diberikan kepada engkau oleh makhluk ini?"
Lalu Malik bin Dinar
menjawab: 'Tanyakanlah kepada
shahabat-shahabatku!"
Maka
shahabat-shahabatnya menjawab: "Dikeluarkannya
semuanya". Lalu Muhammad bin Wasi' menyambung: "Ditolongi oleh Allah
kiranya engkau! Adakah hati engkau bertambah cinta kepadanya sekarang atau
sebelum dikirimkannya uang kepada engkau?"
Malik bin Dinar
menjawab: "Sebelumpya tidak, tetapi
sekarang!" Muhammad bin Wasi' menyambung: "Sesungguhnya aku, adalah
aku ta kutkan ini".
Dan memang benarlah
dia. Karena apabila telah mencintainya, niscaya mencintai akan kekekalannya.
Tidak menyukai ia tersingkir, mendapat bahaya dan meninggah Dan menyukai
bertambah luas wilayahnya dan banyak hartanya.
Dan semua itu, adalah
cinta bagi sebab-sebab kezaliman. Dan itu, adalah tercela.
Salman r.a. dan Ibnu
Mas'ud r.a* berkata: "Barangsiapa
merelai sesuatu hal, walau ia tidak ada disitu, niscaya adalah ia seperti orang
yang me-
1. Dirawikan Ibnu
Mardawaih dari Katsir bin Athjyyah dan Abu Mansur Ad-Dailami dari . Mu'adz.
Isnadnya dla'if.
|
225
|
nyaksikannya".
Allah Ta'ala berfirman:
وَلا
تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
(Wa Iaa tarkanuu
ilaliadziina dhalamuu).
Artinya: "Dan
janganlah kamu berpihak kepada orang-orang yang zalim!" - S. Hud, ayat 113.
Ada yang mengatakan maksudnya: "Jangan kamu re la segala perbuatan
mereka".
Maka jikalau engkau
teguh pendirian, dimana tidak akan bertambah ke cintaanmu kepadanya dengan
mengambil pemberiannya itu, maka tiada mengapalah mengambilnya.
Diceriterakan dari setengah orang-orang yang kuat beribadah di Basrah, bahwa ia
mengambil harta-harta yang diberikan amir-amir itu dan dibagi bagikannya. Lalu
orang bertanya kepadanya: "Apakah tidak engkau takut, bahwa engkau akan
mencintainya?"
Lalu ia menjawab: "Jikalau seorang laki-Iaki mengambil tanganku dan
dimasukkannya aku kedalam sorga, kemudian ia berbuat ma'shiat kepada Tuhannya,
niscaya tidaklah dia akan dicintai oleh hatiku. Karena Tuhan yang memudahkannya
untuk mengambil dengan tanganku, adalah Dia yang memarahinya karena yang
tersebut sebagai tanda syukur bagiNya atas dimudahkanNya yang demikian".
Dengan ini jelaslah
bahwa mengambil harta itu sekarang dari amir-amir, walaupun harta itu sendiri
dari segi yang halal, adalah ditakuti dan dicela. Karena tidaklah terlepas dari
godaan-godaan itu.
Suatu
Masalah.
Kalau berkatalah orang
berkata: "Apabila boleh mengambil hartanya dan
membagi-bagikannya, maka adakah boleh mencuri hartanya itu? Atau me-
nyembunyikan simpanannya dan dimungkiri simpanan tersebut dan dibagi- bagikan
kepada orang banyak?"
Maka kami menjawab, bahwa yang demikian itu tidak boleh. Karena mungkin harta
itu mempunyai pemilik tertentu dan amir itu bercita-cita mengembalikannya
kepada pemtliknya, Dan tidaklah ini, seperti jikalau dikirimkannya kepadamu.
Karena orang yang berakal, tidak akan menyangka, bahwa yang mengirimkan^itu
akan bersedekah dengan harta, yang diketahuinya pemiliknya. Maka ditunjukkan
oleh penyerahannya iiu, bahwa ia tidak mengenal pemiliknya.
Kalau ia sebagian dari
orang yang menyulitkan kepadanya hal yang seperti itu, maka tiada boleh ia
menerima harta dari orang itu, selama belum di- kenalnya yang demikian.
Kemudian, bagaimana ia
mencuri dan mungkin miliknya itu diperolehnya
226
|
dengan pembelian
secara dzimmah (tidak dengan harga tunai)? Karena tangannya (yang memegang
barang itu) menunjukkan kepada miliknya. Maka tiada jalanlah kepada mencuri
itu. Bahkan kalau diperolehnya barang kececeran (luqthah) dan ternyata bahwa
pemiiiknya seorang tentara dan mungkin barang iuqthah itu dimilikinya dengan
pembelian secara dzimjnah atau cara Iain, niscaya wajiblah dikembalikan
kepadanya. Jadi, tidak boleh mencuri harta mereka. Tidak boleh mencuri itu,
baik dari amir-amir itu sendiri atau dari orang-orang yang disimpankannya padanya.
Dan-tidak boleh memungkiri simpanan mereka. Dan wajiblah menghukum orang yang
mencuri hartaNinereka, kecuali apabila pencuri itu menda'wakan, bahwa harta
tersebut bukan milik amir-amir itu. Maka ketika itu, guguriah hukuman siksaan
dengan dakwaan tadi.
Suatu
Masalah.
Mengadakan mu'amaiah
dengan mereka itu haram, karena kebanyakan harta mereka itu haram. Maka apa
yang diambiikan sebagai 'iwadlnya, adalah haram.
Kalau harganya dibayar
dari tempat yang diketahui halalnya, maka tinggallah memperhatikan tentang apa
yang diserahkan kepada mereka. Kalau diketahui, bahwa mereka itu berbuat
ma'shiat kepada Allah dengan barang itu, seperti menjual sutera kepada mereka
dan diketahui, bahwa mereka akan memakai sutera itu, maka adalah yang demikian
haram, seperti menjual buah anggur kepada pembuat khamar. Hanya terdapat per-
bedaan paham, tentang sahnya.
Dan jikalau mungkin
yang tersebut tadi da^ mungkin pula akan dipakai sutera tersebut oleh
isterinya, maka itu adalah syubhat yang makruh. Dan ini adalah mengenai harta
yang diperbuat kema'shiatan pada benda dari harta itu sendiri. Dan searti
dengan itu, menjual kuda kepada mereka, lebih-lebih pada waktu dikendarainya
untuk memerangi kaum muslimin atau merampok harta mereka. Karena yang demikian
itu, adalah meno- long mereka dengan kudanya. Dan itu adalah terlarang. Adapun
menjual dirham dan dinar kepada mereka dan barang-barang yang seperti dirham
dan dinar itu, dari benda-benda yang tidak dilakukan perbuatan ma'shiat pada
benda itu, tetapi hanya yang menyampaikan kepada ma'shiat dengan dia, maka itu
adalah makruh. Karena padanya menolong mereka kepada kezaliman. Karena mereka
memperoleh perto- longan untuk kezalimannya dengan harta-harta, hewan-hewan dan
sebab- sebab lainnya.
Dan kemakruhan
tersebut berlaku pada menghadiahkan kepada mereka dan bekerja untuk mereka
dengan tanpa upah. Sehingga pada mengajar- kan mereka dan mengajarkan
anak-anaknya tulis-baca, membuat surat dan berhitung.
227
|
Adapun mengajari
Al-Qur-an, maka tidaklah dimakruhkan, kecuali dari segi mengambil upahnya. Maka
yang demikian itu adalah haram, kecuali dari segi yang diketahui halalnya.
Kalau diadakan
perwakilan baginya, yang akan membeli dipasar-pasar dengan tanpa pembalasan
atau upah, maka itu adalah makruh, dari segi memberi pertolongan –
Dan kalau dibeli untuk
mereka akan sesuatu, yang diketahui bahwa mereka bermaksud dengan dia akan
kema'shiatan, seperti budak, sutera untuk tikar dan pakaian, kuda untuk
kenderaan kepada kezaliman dan pembu- nuhan, maka itu adalah haram.
Manakala telah jelas
maksud ma'shiat dengan barang yang dibeli itu, niscaya terjadilah pengharamannya,
Dan manakala tidak jelas dan hanya mungkin menurut keadaan dan petunjuk
keadaan, niscaya datanglah kemakruhannya.
Suatu
Mas-alah.
Pasar-pasar yang
dibangun dengan harta haram, maka haramlah berniaga padanya. Dan tak boleh
menempatinya. Maka jika ditempati oleh seorang saudagar dan ia berusaha disitu
dengan jalan yang sesuai dengan agama, niscaya tidaklah haram usahanya dan ia
ma'shiat dengan menempatinya. Dan bagi orang banyak boleh membeli padanya.
Tetapi kalau ada toko lain, maka yang lebih utama, ialah membeli pada toko yang
lain itu. Karena yang demikian itu adalah menolong bagi tempat mereka dan
memper banyakkan sewa toko-toko mereka.
Dan begitu pula
bermu'amalah pada pasar yang tak ada pajak bagi amir- amir padanya, adalah
lebih disunatkan daripada bermu'amalah pada pasar yang ada padanya pajak bagi
amir-amir itu. Dan segolongan ulama adalah lebih bersangatan, sehingga mereka
menjaga diri daripada bermu'amalah dengan petani-petani dan pemilik-pemilik
tanah, yang ada padanya pajak bagi mereka. Karena kadang-kadang mereka serahkan
apa yang diperolehnya kepada pajak cukai. Maka terjadilah pertolongan bagi
amir-amir itu dengan yang demikian.
Dan ini, adalah
terlalu berlebih-lebihan pada pemahaman agama. Dan menyukarkan bagi kaum
muslimin. Karena pajak itu telah merata segala tanah dan manusia tidak terlepas
dari menggunakan tanah. Dan tak ada arti untuk melarangnya. Dan kalau bolehlah
pelarangan itu, niscaya haramlah atas sipemilik tanah itu menanami tanah,
sehingga tidaklah dimintakan pajaknya. Dan yang demikian itu termasuk yang
panjang pengu- raiannya. Dan membawa kepada menyumbat pintu kehidupan.
228
|
Suatu
Masalah.
Bermu'amalah dengan
qadli-qadli (hakim-hakim) dari amir-amir itu, dengan pegawai-pegawai dan
pelayan-pelayan mereka, adalah haram, seperti bermu'amalah dengan mereka.
Bahkan lebih sangat haramnya. Adapun qadli-qadli itu, adalah karena mereka
mengambil dari harta-harta amir yang tegas haramnya, membanyakkan pengumpulan
dan menipukan orang banyak dengan pakaian mereka. Karena mereka itu adalah
dengan pakaian ulama, Mereka bercampur-baur dengan amir-amir dan mengambil dari
harta mereka. Dan tabi'at manusia itu tertarik kepada menyerupakan dan
mengikuti orang-orang yang mempunyai kemegahan dan keangkuhan. Maka mereka
menjadi sebab patuhnya orang banyak kepada amir-amir itu.
Adapun pelayan-pelayan
dan kaum keluarganya, maka kebanyakan harta mereka, adalah dari harta rampokan
yang tegas. Dan tidak jatuh kedalam tangan mereka, harta kepentingan umum,
harta warisan dan pajak dan tidak harta dari cara yang halal. Sehingga
lemahlah ke-syubhatannya dengan bercampumya yang halal dengan harta mereka.
Thaus berkata: "Tiada aku naik saksi terhadap apa yang ada pada mereka,
walaupun aku yakin. Karena aku takut, akan mereka berbuat aniaya terhadap orang
yang aku naik saksi kepadanya".
Kesimpulannya,
sesungguhnya rusaklah rakyat dengan rusaknya raja-raja. Dan rusaklah raja-raja
dengan rusaknya para ulama. Maka jikalau tidaklah qadli-qadli yang jahat dan
ulama-ulama yang jahat, niscaya sedikitlah kerusakan raja-raja, karena takut
dari menentang mereka. Karena itulah, Nabi s.a.w. bersabda: "Senantiasalah
umat itu dibawah rahmat dan tin- dungan Allah, selama para ahli qira-ahnya
ti&ik menolong amir-amirnya" (1).
Dan sesungguhnya
disebutkan para ahli qira-ah (al-qurra'), karena mereka itu adalah ulama. Dan
pengetahuan mereka sesungguhnya, adalah tentang Al-Qur-an dan segala
pengertiannya yang dipahami dengan Sunah Nabi s.a.w. Dan ilmu-ilmu yang lain
dibalik itu, adalah yang datang sesudah mereka. Sufyan berkata: "Janganlah
engkau bercampur dengan sultan dan jangan dengan orang yang bercampur dengan
sultan". Dan berkata Sufyan: Yang punya pena, punya tinta, punya kertas
dan pu- nya perekat, adalah berkongsi satu sama lain".
Dan sungguh benarlah
Sufyan, karena Rasulu'llah s.a.w. mengutuk mengenai khamar, sepuluh golongan
orang, sehingga yang memeras dan menerima perasan. (2).
Ibnu Maks'ud r.a.
berkata: "Pemakan riba, yang mewakilkan, yang men-
1. Dirawikan Abu
'Amr Ad-Dani dari Al-Hasan, hadits mursal. Dan dirawikan Ad-Daiiami dari 'Ali
dan Ibnu 'Umar, isnadnya dla'if.
|
2. Dirawikan
At-Tirmidzi dari Anas. Katanya: hadits gharib.
|
229
|
jadi saksi dan
penulisnya, adalah semuanya itu terkutuk menurut ucapan Muhammad s.a.w,"
(1).
Dan begitu pula yang
diriwayatkan oleh Jabir dan Umar dari Rasulu'llah s.a.w. (2).
Ibnu
Sirin berkata: "Janganlah
engkau bawakan bagi sultan itu suatu buku sebelum engkau ketahui apa
isinya". Sufyan r.a. menolak untuk memberikan kepada khalifah pada
masanya tinta dihadapannya dan mengatakan: "Sebelum aku ketahui apa yang
akan engkau tuliskan dengan tinta itu". Maka semua orang dikeliling
sultan-sultan itu, dari pelayan-pelayan dan pengikut-pengikutnya, adalah
orang-orang zalim seperti mereka, yang wajib dimarahi mereka semua, pada jalan
Allah.
Diriwayatkan dari
Usman bin Zaidah, bahwa ia ditanyakan oleh seorang tentara, dengan mengatakan:
"Manakah jalan itu?" Mendengar pertanyaan itu, Usman berdiam diri dan
menampakkannya se- bagai orang pekak. Ia takut tentara itu akan menuju kepada
sesuatu perbuatan kezaliman. Lalu dia dengan menunjukkan jalan itu. adalah
yang menolong.
Bersangatan yang
seperti ini, tidaklah dinuqilkan dari salaf serta orang- orang fasiq, dari
saudagar-saudagar, tukang-tukang jahit, pembekam, penjaga tempat pemandian
umum, tukang emas, tukang celup dan orang-orang yang mempunyai bermacam-macam
perusahaan, serta banyaknya kebohongan dan kefasiqan pada mereka, bahkan serta
orang-orang kafir dari orang-orang dzimmi (ahlu'dz-dzimmah).
Sesungguhnya ini
adalah pada orang-orang zalim, yang khusus memakan harta anak-anak yatim,
fakir-miskin dan selalu menyakiti kaum muslimin, yang bertolong-tolongan untuk
menghapuskan tanda-tanda agama dan syi'arnya.
Dan ini adalah karena
ma'shiat itu terbagi kepada: yang tetap dan yang menjalar. Dan fasiq itu tetap,
tidak menjalar. Dan begitu pula kekafiran (kufur). Yaitu: penganiayaan terhadap
hak Allah Ta'ala dan kiraannya ke- atas Allah.
Adapun ma'shiat dari
wali-wali negeri dengan kezaliman, itu adalah menjalar. Maka beratlah urusannya
karena yang demikiata. Dan menurut kadar umumnya kezaliman dan meratanya
pelanggaran hak itu, bertam- bahlah mereka dengan kutukan pada sisi Allah. Maka
wajiblah bertambah kejauhan dari mereka dan penjagaan diri dari bergaul dengan
mereka. Nabi s.a.w. bersabda: "Dikatakan bagi polisi: "Tinggalkanlah
cemetimu dan masuklah keneraka!" (3).
Dan Nabi s.a.w.
bersabda: "Setengah dari tanda kiamat, ialah laki-laki, yang bersama
mereka cemeti, seperti ekor lembu". (4).
1. Dirawikan
Muslim.
|
2. DirawikanMuslim.
|
3. Dirmwikftft Abu
YuTa dan Anas, dengan sanad dta'if.
|
4. Dirawikan Ahmad
dan Al-Hakim dari Abi Amamah dan katanya, shahih isnad.
|
230
|
Maka inilah hukum
mereka itu! Dan barangsiapa dikenal dengan demikian dari mereka, maka
sesungguhnya telah dikenaliah dia. Dan barangsiapa yang tiada dikenal, maka
tandanya, ialah baju panjang, panjang ku- mis dan bentuk-bentuk lain yang
terkenal.
Maka orang yang
terlihat dalam bentuk yang demikian itu, niscaya tentulah menjauhkannya. Dan
bukanlah yang demikian itu, dari jahat sangka. Karena dia sendiri yang
menganiaya dirinya, karena perpakaian dengan pakaian mereka. Dan persamaan
pakaian, menun j ukkan kepada persamaan Rati. Dan tidak berbuat gila, kecuali
orang gila. Dan tidak me- nyerupakan dengan orang-orang fasiq, melainkan orang
fasiq. Ya, orang fasiq itu kadang-kadang meragukan, lalu menyerupai dengan
orang-orang shalih.
Adapun orang shalih,
maka tidaklah ia menyerupai dengan orang-orang buruk. Karena yang demikian itu
adalah memperbanyakkan jumlah mereka. Sesungguhnya turun firman Allah Ta'ala:
(Innalladziina
tawaffaahumul malaa-ikatu dhaalimii anfusihim). Artinya; "Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat ketika mereka menganiaya dirinya
sendiri" - S. An-Nisa", ayat 97, adalah pada suatu kaum dari orang
muslimin, dimana mereka itu membanyakkan kum- pulan orang-orang musyrik dengan
bercampur-baur, Dan sesungguhnya diriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala menurunkan
wahyu kepada Yusya' bin Nun: "Sesungguhnya Aku membinasakan dari kaummu
sebanyak empat- puluh ribu, dari orang baik-baik dan enampuluh ribu dari
orang-orang jahat dari mereka". Lalu Yusya' bertanya: "Bagaimanakah
halnya orang baik-baik itu?"
Maka Allah Ta'ala
berfirman: "Mereka itu tidak marah karena
marahKu. Adalah mereka makan bersama mereka dan minum bersama mereka".
Dengan ini jelaslah, bahwa marah kepada orang-orang zalim dan marah karena
Allah kepada mereka, adalah wajib.
Diriwayatkan Ibnu
Mas'ud dari Nabi s.a.w.: "Bahwa
Allah mengutuk ulama-ulama Bani Israil (ula- ma-ulama Yahudi), karena mereka
itu bercampur-baur dengan orang-orang zalim, dalam kehidupan mereka" (1).
Tempat-tempat yang
dibangun oleh orang-orang zalim, seperti jembatan- jembatan, surau-surau,
masjid-masjid dan tempat-tempat persediaan mi- numan, maka seyogialah berhati-hati
padanya dan diperhatikan. Adapun orang soleh tidaklah ia menyerupai orang orang
buruk.kerana yang demikian itu adalah memperbanyakanjumlah mereka
,sessungguhnya turun firman Allah ta’ala
إِنَّ
الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri.Surah
Annisa ayat 97.
Adalah pada satu kaum dari orang orang
muslimin,dimana mereka memperbanyakkan kumpulan orang orang musyrik dengan
bercampur baur.Dan sesungguhnya diriwayatkan bahawa Allah ta’Ala menurunkan
wahyu kepada yusya bin nun, Sessungguhnya aku membinasakan dari kaumMu sebanyak
empatpuluh ribu dari orang baik baik dan enampuluhribu dari orang jahat dari
mereka. Lalu yusya bertanya:”Bagaimanakan halnya orang yang baik baik itu,Maka
Allah ta’ala berfirman: “Mereka itu tidak marah kerana MarahKu. Adalah mereka
makan bersama Mereka dan minum bersama Mereka” Dengan ini jelaslah bahawa marah
kepada orang zalim dan marah kerana Allah kepada mereka adalah wajib.
Diriwayatkan ibnu mas’ud dari Nabi s.a.w “ Bahawa Allah mengutuk ulama ulama
bani israil(Ulama ulama yahudi) kerana mereka itu bercampur baur dengan orang
orang zalim ,dalam kehidupan mereka”(1)
Suatu Masa alah
Tempat twempat yang
dibangunkan oleh orang zalim , seperti jambatan,surau surau,masjid masjid,dan
tempat tempat persediaan minuman maka haruslah berhati hati padanya dan
diperhatikan.
1. Dirawikan Abu
Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas'ud.
|
231
|
Adapun jembatan, maka bolehlah dilalui karena
perlu. Dan yang wara, ialah menjaga diri selama mungkin. Dan jikalau
diperolehnya jalan yang berpaling dari jembatan itu, niscaya lebih kuatlah
untuk berlaku wara1. Dan sesungguhnya kami memperbolehkan
melaluinya, walaupun ia dapat berpaling dari jembatan itu, karena apabila ia
telah tahu pemilik dari barang-barang yang diperbuat untuk jembatan tadi,
niscaya adalah hukumnya bahwa barang-barang itu ditujukan bagi kebajikan. Dan
ini adalah baik. Adapun apabila diketahuinya bahwa tanah bakar dan batu, adalah
diambil dari rumah yang dikenal atau dari kuburan atau masjid tertentu, maka
ini sekali-kali tiada halal melaluinya. Kecuali karena darurat yang menghalal-
kan seperti yang demikian itu, dari harta orang lain. Kemudian, haruslah ia
meminta kehalalan dari pemiliknya yang dikenalnya. Adapun masjid, maka kalau
dibangun pada tanah yang dirampas atau dengan kayu yang dirampas dari masjid
lain atau kepunyaan orang yang tertentu, maka tiada dibolehkan masuk
kedalamnya sekali-kali dan tidak untuk shalat Jum'at. Bahkan kalau berdiri
imam didalam masjid itu, maka hendaklah ia bershalat dibelakang imam dan
hendaklah ia berdiri diluar masjid. Sesungguhnya shalat pada tanah yang
dirampas adalah memadai bagi fardlu dan sah dalam hal mengikutkan imam tadi.
Maka karena itu- lah kami perbolehkan bagi orang yang mengikuti, untuk
mengikuti orang yang mengerjakan shalat pada tanah yang dirampas, walaupun yang
mengerjakan shalat itu berbuat ma'shiat dengan berdiri pada tanah yang dirampas.
Dan kalau masjid itu
dari harta yang tidak dikenal pemiliknya, maka yang wara', ialah berpindah
kemasjid yang lain, kalau ada. Kalau tidak diperolehnya masjid lain, maka
janganlah meninggalkan Jum'at dan jama'ah dimasjid itu. Karena mungkin masjid
itu, sipemilik yang mendirikannya, walaupun secara pemikiran yang jauh. Dan
jikalau masjid itu tidak mempunyai pemilik yang tertentu, maka adalah untuk
kemuslihatan kaum muslimin.
Manakala ada dalam
masjid besar, bangunan bagi sultan yang zalim, maka tiada halangan bagi orang
yang mengerjakan shalat didalamnya serta me- luasnya masjid. Ya'ni: tentang
wara'nya.
Ditanyakan kepada Ahmad bin Hanbal: "Apakah alasan tuan, tidak keluar kepada shalat dalam
jama'ah dan kami di Al-'Askar?" Ahmad bin Hanbal menjawab: "Alasanku,
ialah, bahwa Al-Hasan dan Ibrahim At-Taimi, keduanya takut difitnahkan oleh
Al-Hajjaj dan akupun takut pula mendapat fitnah".
^
Adapun pelicinan dan
pengkapuran masjid, maka itu tidak dilarang untuk kemasjid. Karena hal itu
tidak diambil kemanfa'atannya dalam shalat. Dan itu hanya hiasan belaka. Dan
yang lebih utama, tidak dilihat kepadanya.
232
|
Adapun tikar yang
dibentangkan, maka ada pemiliknya yang tertentu, niscaya haram duduk padanya.
Dan jikalau tidak ada pemiliknya yang tertentu, maka sesudah diperhatikan
untuk kemuslihatan umum. niscaya bo- lehlah mengambilnya untuk tempat duduk.
Tetapi yang wara’ adalah ber- paling daripadanya. Karena itu adalah tempat
syubhat, Adapun tempat penyediaan minuman, maka hukumnya, ialah yang telah kami
sebutkan dahulu. Dan tidaklah dari wara’ berwudlu’ meminum daripadanya dan
masuk kepadanya. Kecuali apabila ia takut luput shalat, maka berwudlu'lah ia
dengan air itu. Dan begitu pula tempat-tempat yang diperbuat bagi jalan Makkah.
Adapun surau-surau dan
sckolah-sekolah, maka jikalau tanahnya tanah yang dirampas atau tanah-bakarnya
dipindahkan dari suatu tempat tertentu, yang mungkin dikembalikan kepada yang
berhak, maka tidaklah diper- bolehkan masuk kedalamnya. Dan kalau sipemiliknya
diragukan, maka diperhatikan bagi segi kebajikan. Dan yang wara', ialah
menjauhkannya. Tetapi tidaklah mesti menjadi fasiq dengan masuknya itu. Dan
bangunan-bangunan tersebut jika diperhatikan dari usaha pelayan- pelayan
sultan, maka persoalannya menjadi lebih berat lagi. Karena mereka tidak berhak
menyerahkan harta-harta yang hilang dari pemiliknya, kepada kemuslihatan umum.
Dan karena yang haram, adalah yang terbanyak dari harta mereka. Karena tak
boleh mereka mengambil harta kepentingan umum, Dan yang demikian itu hanya
diperbolehkan bagi wali-wali negeri dan orang-orang yang bertanggung-jawab.
Suatu
Masalah.
Tanah yang dirampas,
apabila dijadikan jateSh raya, niscaya tidak diperbolehkan sekali-kali
melangkahinya. Dan kalau tidak mempunyai pemilik yang tertentu, niscaya
diperbolehkan. Dan yang wara', ialah berpaling dari-padanya, kalau mungkin.
Kalau jalan raya itu
jalan yang diperbolehkan dan diatas jalan tersebut ada atap, niscaya bolehlah
dilalui Dan boiehlah duduk dibawah atap itu, dengan cara yang tidak memerlukan
kepada atap itu, sebagaimana berdiri pada jalan besar, karena sesuatu urusan,
Apabila dipergunakan
atap tadi untuk menolak panasnya matahari atau hujan atau lainnya, maka itu
haram. Karena atap itu, tidaklah dimaksud- kan selain untuk yang demikian.
Dan begitulah hukum
orang yang memasuki masjid atau tanah yang diperbolehkan, yang diatapi atau
dipagari dengan harta yang dirampas. Karena dengan semata-mata melangkah tidak
adalah ia mengambil manfa'at dengan pagar dan atap itu. Kecuali mempunyai
faedah pada dinding dan atap itu, karena panas atau dingin atau menutup dari
penglihatan atau lainnya. Maka yang demikian itu adalah haram dari penglihatan
atau lainnya. Maka yang demikian itu adalah haram. Karena mengambil manfa'at
233
|
dengan yang haram.
Karena tiadalah haram duduk diatas tanah yang dirampas, karena ada padanya
penyentuhan. Bahkan, karena kemanfa'atannya.
Dan tanah itu
dikehendaki untuk ketetapan pa danya. Dan atap untuk bernaung dengan dia. Maka
tiadalah p^rbedaan diantara keduanya. (1).
1. Pada halaman-halaman ini, pengarang "Ihya" AMmam
Al-Ghazali, banyak memperkata kan halal dan haram tentang harta amir-amir dan
sultan-sultan serta memperhubungkan- hya dengan kezaliman. Dan juga tentang
mendatangi dan bergaul dengan mereka. Hal ini, menggambarkan tentang
bagaimana situasi dan kondisi penguasa-penguasa dan pemerintahan-pemerintahan
dalam negeri-negeri Islam waktu itu, sebagaimana dapat dipahami dalam
lembaran-lembaran sejarah dunia Islam ketika itu. Adapun sekarang, situasinya
sudah lain. Karena demokrasi sudah berkembang dalam dunia Islam. (Pent.).
|
234
|
BAB
KETUJUH: tentang mas-alah-mas-alah yang berserak-serak, yang banyak diperlukan
kepadanya dan telah ditanyakan tentang masalah-masalah itu, mengenai fatwa-fatwa-
nya.
Suatu Mas-alah.
Ditanyakan tentang
pelayan orang shufi yang keluar kepasar dan mengumpulkan makanan atau uang. Dan
dibelinya dengan itu makanan, Maka siapakah yang menghalalkan baginya untuk
memakan dari makanan itu? Adakah itu tertentu untuk orang shufi saja atau
tidak? Maka aku menjawab: adapun orang shufi, maka taklah syubhat tentang hak
mereka, apabila mereka memakannya. Dan adapun orang lain, maka halallah bagi
mereka, apabila memakannya dengan kerelaan pelayan itu. Tetapi tidaklah terlepas
dari syubhat. Adapun halal, maka karena apa yang diberikan kepada pelayan orang
shufi tersebut, sesungguhnya diberikan, disebabkan orang shufi itu. Tetapi
pelayan itu yang diberikan, bukan orang shufi. Maka pelayan itu, adalah seperti
orang yang berkeluarga, yang diberikan disebabkan kekeluargaannya. Karena ia
yang menanggung perbelanjaan mereka. Dan apa yang diambilnya, adalah menjadi
miliknya, tidak menjadi milik keluarganya. Dan ia boleh memberikan untuk makanan
orang yang bukan keluarganya. Karena jauhlah untuk dikatakan, bahwa harta itu
tidak keluar dari kepunyaan sipemberi dan tiada berkuasa si- pelayan itu untuk
membeli apa-apa dengan harta tersebut dan berbuat sesuatu dengan harta itu.
Karena yang demikian itu menjadikan, bahwa be- ri-memberi (mu'athah)itu, tidak
mencukupi.
Dan pendapat yang
demikian, adalah lemah. Kemudian, tiada yang men- jadikan kepadanya mengenai
sedekah dan hadiah. Dan jauhlah untuk dikatakan: hilanglah miliknya itu,
berpindah kepada orang-orang shufi yang hadir, dimana mereka itu pada waktu
dimintanya, berada pada tempat ibadah. Karena tidak ada khilaf ( perbedaan
pendapat), bahwa pelayan itu, boleh memberikan makanan dari harta tersebut,
kepada orang-orang yang datang sesudah orang-orang shufi tadi.
Dan jikalau meninggal
semua orang shufi tadi atau seorang dari mereka, niscaya tiada wajib
menyerahkan bahagiannya kepada ahli warisnya. Dan tidak mungkin untuk
dikatakan, bahwa harta itu jatuh untuk pihak ta- sawwuf. Dan tiada tentu
baginya yang berhak. Karena menghilangkan milik kepada sesuatu segi, tidaklah
mewajibkan pemberian kuasa bagi pero- rangan-perorangan kepada penggunaan harta
itu. Karena orang-orang yang masuk dalam lingkungan harta tersebut, tidaklah
terbatas jumlahnya. Bahkan masuk kedalamnya orang-orang yang akan lahir, sampai
kepada hari kiamat.
Sesungguhnya yang
mengurus mengenai harta tersebut, ialah orang-orang
235
|
yang berkuasa
(wali-wali negeri). Dan pelayan itu tak boleh mengangkat pengganti (wakil) dari
pihak manapun. Tak ada cara baginya, selain dikatakan, adalah ia yang
memilikinya. Dan dia memberikan untuk makanan bagi orang-orang shufi, adalah
dengan sempurnanya syarat tasawwuf dan kepribadiannya. Kalau pelayan itu tidak
memberikan makanan kepada mereka dari harta tersebut, niscaya mereka melarang
pelayan itu, daripada melahirkan dirinya, dalam kedudukan menanggung pelayanan
kepada orang-orang shufi itu. Sehingga habislah pikulannya, sebagaimana ha-
bisnya pikulan dari orang, yang telah meninggal keluarga yang menjadi
tanggungannya.
Suatu Mas-alah.
Ditanyakan tentang
harta yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi, maka siapakah yang boleh
diserahkan harta itu kepadanya?
Maka aku menjawab: bahwa tasawwuf itu, adalah urusan batin, yang tak dapat
dilihat dan tidak mungkin menentukan hukum tentang hakikatnya. Tetapi harus
dengan hal-hal zahir, yang menjadi pegangan bagi orang-orang menurut
kebiasaan, tentang meletakkan nama: orang shufi itu.
Ketentuan secara
keseluruhan, ialah: bahwa tiap-tiap orang yang bersifat dengan suatu sifat,
apabila mengambil tempat dalam tempat ibadah orang-orang shufi (khanaqah
ash-shufiah), dimana menempatnya disitu dan bergaulnya dengan orang-orang shufi
itu, tidak ditantang mereka, maka ma- suklah orang tersebut dalam kumpulan
orang-orang shufi dimaksud Dan penguraiannya, ialah, bahwa diperhatikan pada
orang itu, lima sifat: shalih, miskin, pakaian shufi, tidak mengerjakan
sesuatu pekerjaan dan bercapur-baur dengan mereka dengan jalan tenang-tenteram
dalam khanaqah (tempat peribadatan orang shufi). Kemudian sebahagian dari
sifat-sifat ini, dengan hilangnya, maka haruslah hilang sebagai orang shufi.
Dan sebahagiannya dapat tertampal dengan sebahagian yang lain, Sifat fasiq,
mencegah berhaknya nama tersebut. Karena orang shufi itu pada umumnya, adalah
ibarat seorang dari orang-orang shalih, dengan sifat tertentu. Maka orang yang
terang fasiqnya, walaupun ada dalam pakaian orang-orang shufi, maka tidaklah
ia berhak akan apa yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah kami
memandang dalam hal ini, akan hal yang kecil-kecil.
Adapun perusahaan dan
bekerja dengan sesuatu usaha adalah mencegah untuk berhak nama tersebut. Maka
kepada sesuatu tempat, pekerja, sau- dagar, tukang pada tempat ia bekerja atau
dirumahnya dan orang yang menjual tenaga yang melayani orang lain dengan
mendapat upah, maka semua orang-orang tadi, tidaklah berhak terhadap apa yang
diwasiatkan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah tertampal hal-hal yang
tersebut tadi, dengan memakai pakaian orang shufi dan bercampur-baur dengan orang-orang
shufi.
236
|
Adapun orang yang
menjual kertas dan menjahit dan yang berdekatan dengan dua pekerjaan ini, dari
pekerjaan-pekerjaan yang layak dikerjakan oleh orang-orang shufi, maka apabila
dikeijakannya, tidak ditempat pekerjaan tersebut dan bukan dalam segi berusaha
dan bekerja, maka yang demikian itu, tidaklah melarang berhaknya nama itu Dan
adalah yang demikian tertampal dengan sebab tinggalnya bersama orang-orang
shufi itu, serta dengan sifat-sifat yang lain.
Adapun sanggup bekerja
secara tidak langsung, maka tidak mencegah akan berhaknya nama itu.
Adapun menjadi juru
nasehat (tabligh)dan memberi pelajaran, maka tidaklah menidakkan nama tasawwuf,
apabila terdapat sifat-sifat yang lain, dari pakaian, bertempat tinggal bersama
orang-orang shufi dan kemiskin- an. Karena tidaklah bertentangan untuk
dikatakan: seorang shufi yang ahli qira-ah, seorang shufi* yang menjadi juru
nasehat, seorang shufi yang alim atau mengajar, Dan bertentangan bahwa
dikatakan: seorang shufi yang menjadi kepala sesuatu daerah, seorang shufi yang
menjadi saudagar dan seorang shufi yang membunuh.
Adapun kemiskinan,
maka jikalau hilang kemiskinan itu, dengan kekayaan yang berlebih-Iebihan,
dimana ia dikatakan mempunyai kekayaan yang nyata, maka tidaklah boleh bersama
yang tadi itu, mengambil harta wasiat bagi orang-orang shufi.
Dan kalau ia mempunyai
harta dan tidaklah mencukupi uang masuknya dengan uang keluamya, niscaya
tidaklah batal haknya itu. Dan demikian pula, apabila ia mempunyai harta yang
kurang daripada wajib zakat, walaupun ia tiada mempunyai pengeluaran.
Dan inilah hal-hal
yang tiada dalil baginya, selain dari adat kebiasaan. Adapun bercampur-baur
dengan orang-orang shufi dan bertempat tinggal bersama mereka, maka baginya
bekas. Tetapi orang yang tidak bercampur-baur dengan mereka dan tetap berada
dirumahnya atau dalam masjid dengan pakaian orang-orang shufi dan berakhlaq
dengan akhlaq orang- orang shufi, maka ia adalah berserikat memperoleh bahagian
orang-orang shufi, Dan meninggalkan bercampur-baur dengan mereka itu, dapat
ditampal oleh selalu berpakaian dengan pakaian mereka. Dan kalau tidak
berpakaian dengan pakaian mereka dan terdapat padanya sifat-sifat yang lain
yang tersebut itu, maka tidaklah ia berhak nama tersebut, kecuali apabila ia
menempati bersama orang-orang shufi itu disurau-surau. Maka tertariklah
kepadanya, hukum orang-orang shufi dengan pengikutan. Bercampur-baur dan
berpakaian dengan pakaian shufi, dapat ganti-menggantikan satu sama lain. Dan
ahli fiqh (faqih) yang tidak berpakaian dengan pakaian orang-orang shufi, ini
adalah dihitung menjadi orang shufi. Kalau ia keluar, niscaya tidaklah dihitung
orang shufi. Dan kalau ia bertempat tinggal bersama mereka dan terdapat
padanya sifat-sifat yang lain,
237
|
niscaya tidaklah jauh
untuk ia ditarik dengan mengikutkan kepadanya hukum orang-orang shufi.
Adapun memakai kain
yang berbagai warna dari tangan guru (syaikh) dari guru-guru mereka, maka
tidaklah disyaratkan yang demikian itu untuk berhak bernama shufi. Dan tidak
adanya itu, tidaklah mendatangkan me- larat baginya, serta adanya syarat-syarat
yang tersebut dahulu. Adapun orang yang berkeluarga, yang bulak-balik antara
surau dan tempat tinggalnya, maka tidaklah ia keluar dari jumlah mereka itu,
disebabkan yang demikian.
Suatu Mas-alah
Apa yang diwaqafkan kepada
surau-surau orang shufi penghuni-penghuni- nya, maka persoalannya dalam hal ini
adalah lebih luas dari apa yang diwasiatkan kepada mereka. Karena pengertian
waqaf, ialah penyerahan kepada kepentingan orang-orang shufi itu. Maka bagi
orang yang bukan shufi, boleh memakan bersama mereka dengan kerelaan mereka,
pada hidangan kaum shufi itu, sekali atau dua kali. Karena urusan makanan,
dasarnya ialah tasamuh (toleransi, berma'af-ma'afan). Sehingga membolehkan
sendirian dengan makanan-makanan itu pada barang-barang rampasan perang yang
berkongsi. Dan bagi orang yang melagukan lagu-lagu orang shufi, boleh memakan
bersama mereka dalam undangannya, dari harta waqaf itu. Dan adalah yang
demikian tadi, termasuk sebahagian dari kepentingan kehidupan mereka. Dan apa
yang diwasiatkan untuk orang shufi, tidaklah boleh diserahkan kepada
orang-orang yang melagukan lagu- lagu orang shufi. Lain halnya dengan waqaf.
Dan begitu pula
orang-orang yang didatangkan oleh kaum shufi, dari para pekerja, saudagar,
qadli (hakim) dan ahli*ahli fiqh (fuqaha'), dari orang- orang, dimana bagi kaum
shufi itu mempunyai maksud menarik hati mereka, maka halallah orang-orang itu
memakan dengan relanya orang-orang shufi itu. Karena orang yang mewaqafkan itu,
tidaklah mewaqafkan, kecuali dengan i'tiqad pada harta waqaf itu, apa yang
berlaku padanya adat- kebiasaan orang-orang shufi. Maka ditempatkanlah yang
demikian itu menurut kebiasaan yang terkenal ('uruf).
Tetapi tidaklah ini
berlaku terus-menerus. Maka tidaklah boleh bagi orang yang bukan shufi,
mendiami bersama mereka terus-menerus. Dan memakan bersama mereka, walaupun
mereka rela yang demikian. Karena tidaklah mereka berhak mengobah syarat orang
yang mewaqafkan, dengan mempersekutukan orang-orang yang tidak sejenis dengan
orang- orang shufi itu.
238
|
Adapun ahli fiqh
(faqih), apabila ia dengan pakaian dan budi-pekerti orang-orang shufi, maka
bolehlah menempati bersama mereka. Dan adanya ia
selaku seorang ahli fiqh, tidaklah menolak untuk ia menjadi seorang shufi. Dan
kebodohan tidaklah menjadi syarat pada tashawwuf, pada orang yang mengenal
tashawwuf. Dan tidak usah diperhatikan kepada khurafat-khurafat sebahagian
orang-orang dungu, dengan kata mereka: bahwa pengetahuan itu adalah hijab
(dinding). Karena kebodohanlah yang sebenarnya itu hijab bagi tashawwuf. Dan
telah kami sebutkan dahulu penta'wilan perkataan ini pada "Kitab
Ilmu". Dan sesungguhnya hijab itu, ialah ilmu yang tercela, bukan yang
terpuji. Dan telah kami sebutkan dahulu yang terpuji dan yang tercela dan
uraian keduanya. Adapun ahli-fiqh itu, apabila ia tidak dengan pakaian dan
budi-pekerti orang-orang shufi, maka bagi orang-orang shufi boleh melarangnya
bertempat bersama mereka. Kalau mereka menyetujui ia bertempat ditempat
orang-orang shufi itu, maka halallah ia memakan bersama mereka dengan jalan
tabiyyah (mengikutkan kepada orang-orang shufi). Maka tidak ada- nya pakaian
itu, ditampal oleh tinggal bersama. Dan tetapi dengan rela yang mempunyai
pakaian (orang shufi) itu.
Intilah hal-hal yang
dibuktikan oleh adat-kebiasaan. Dan padanya ada hal hal yang berlawanan, yang
tidak tersembunyi tepi-tepinya, tentang negatifnya (nafi) dan positifnya
(its-bat) dan yang keserupaan yang ditengah-te- ngahnya. Maka barangsiapa
menjaga diri pada tempat-tempat yang keserupaan (meragukan) itu, niscaya
terlepaslah ia dari kesalahan, demi untuk agamanya, sebagaimana telah kami
peringatkan dahulu pada "bab- bab syubhat" itu.
Suatu Mas-alah.
Ditanyakan tentang
perbedaan antara rasywah (sogok) dan hadiah, sedang masing-masing dari keduanya,
adalah datang dari kerelaan hati dan tidak terlepas dari sesuatu maksud. Dan
diharamkan yang satu (rasywah), sedang yang lainnya (hadiah) tidak.
Aku menjawab, bahwa
yang memberikan harta itu, tidaklah sekali-kali memberikannya, kecuali karena
sesuatu maksud. Adakalanya maksud itu pada masa jauh yang akan datang, seperti:
pahala. Dan adakalanya pada masa dekat yang segera. Dan yang dekat segera itu,
adakalanya: harta. Adakalanya: perbuatan dan pertolongan kepada maksud
tertentu. Adakalanya: pendekatan kepada hati orang yang dihadiahkan, dengan
mencari kesayangannya. Adakalanya kepada kesayangan itu sendiri dan adakalanya
untuk mencapai dengan kesayangan itu kepada sesuatu maksud dibelakangnya.
Maka bahagian-bahagian
yang diperoleh dari ini, adalah lima: Pertama: sesuatu yang maksudnya
adalah pahala diakhirat. Dan yang demikian itu, adakalanya ada, karena orang
yang diserahkan itu memerlu kannya atau orang alim atau orang yang keturunan
keagamaan atau orang
239
|
shalih yang beragama.
Maka apa yang diketahui oleh yang menerima itu, bahwa orang memberikan
kepadanya, karena ia memerlukan kepada ba- rang itu maka tidaklah halal ia
mengambilnya, jikalau ia tidak memerlu- kannya. Dan apa yang diketahuinya,
bahwa orang memberikan kepadanya, karena kemuliaan keturunannya, maka tidak
halal baginya, kalau ia mengetahui, bahwa ia berdusta tentang dakwaan
kebangsawanannya itu. Dan apa yang diberikan orang kepadanya, karena
pengetahuannya, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, kecuali ada ia
dalam pengetahuan yang tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh yang
memberikan. Kalau dia dikhayalkan mempunyai pengetahuan yang sempurna, sehingga
mendorong yang demikian itu kepada orang untuk mendekatkan diri kepadanya,
sedang sebenarnya, ia tidak mempunyai pengetahuan yang sempurna, niscaya tidak
halal barang itu baginya.
Dan apa yang diberikan
karena keagamaannya dan keshalihannya, maka tidak halal ia mengambil, kalau ia
pada batinnya seorang yang fasiq, dimana kalau tahulah yang memberi itu,
niscaya tidak diberikannya. Dan sedikitlah adanya orang yang shalih, dimana
kalau terbukalah batinnya, niscaya hati orang masih tetap condong kepadanya.
Sesungguhnya dinding yang dianugerahi Allah yang maha cantik itu, adalah yang
membawa manusia berkasih-sayang sesama manusia. Dan adalah orang-orang wara',
mewakilkan pada pembelian, orang yang tidak dikenal, bahwa orang itu adalah
wakil orang-orang wara' tersebut. Sehingga orang-orang wara' tadi tidak
bertoleransi (bertasamuh) tentang barang penjualan itu, karena di- kuatiri,
yang demikian itu adalah membawa termakan agama. Maka sesungguhnya yang
demikian itu, adalah membahayakan. Taqwa itu adalah tersembunyi. Tidak seperti:
pengetahuan, kebangsawan- an dan kemiskinan. Maka seyogialah menjauhkan diri
daripada mengambil dengan sebab agama, selama mungkin.
Bahagian Kedua: apa yang dimaksudkan pada masa datang yang dekat, akan suatu
maksud tertentu, seperti seorang miskin yang menghadiahkan sesuatu kepada orang
kaya, karena mengharapkan pemberiannya yang lebih besar. Maka ini adalah hibah
(pemberian), dengan syarat pembalasan, yang tidak tersembunyi hukumnya. Dan
sesungguhnya hibah tersebut itu halal, ketika disempurnakan dengan pembalasan
yang diharapkan adanya dan ketika adanya syarat-syarat 'aqad (ikatan) itu.
Ketiga: bahwa adalah
yang dimaksud, ialah pertolongan dengan perbuatan tertentu, seperti: orang yang
memerlukan kepada sultan, lalu menghadiahkan kepada wakil sultan,
pembantu-pembantunya dan orang-orang yang mempunyai kedudukan disisinya.
Maka inilah hadiah
dengan syarat pembalasan yang diketahui dengan pe- tunjuk keadaan. Maka
hendaklah diperhatikan pada perbuatan itu, yang menjadi pembalasannya. Kalau
perbuatan itu haram, seperti usaha pada pelaksanaan penganugerahan yang haram
atau kezaliman terhadap seseo-
240
|
rang manusia atau
perbuatan lainnya, niscaya haramlah mengambil barang hadiah itu.
Dan kalau perbuatan
itu wajib, seperti penolakan kezaliman yang tertentu atas tiap-tiap orang yang
menyanggupinya atau kesaksian yang tertentu, maka haramlah apa yang diambilnya.
Dan itu adalah rasywah (sogok), yang tidak diragukan lagi pengharamannya.
Dan kalau perbuatan
itu mubah (diperbolehkan), tidak wajib dan tidak haram dan pada perbuatan itu
ada kepayahan, dimana, jikalau diketahui, niscaya boleh mengambil upah padanya,
maka apa yang diambil itu adalah halal, manakala disempurnakan perbuatan itu
dengan maksudnya. Dan itu berlaku seperti ongkos-ongkos tenaga - dari orang
yang bekerja, seperti katanya: sampaikanlah ceritera ini ketangan si Anu atau
ketangan sultan dan untukmu uang sedinar. Dan adalah perbuatan ini, dimana
memerlukan kepada kepayahan dan perbuatan yang mempunyai nilai. Atau katanya:
sarankanlah kepada si Anu, untuk menolong saya pada maksud itu atau ia
mengurniakan kepadaku akan itu. Dan memerlukan pada pelaksa- naan maksudnya
tadi, kepada panjang pembicaraan. Maka yang demikian itu, adalah ongkos dari
tenaga yang diberikan, seperti apa yang diambil oleh wakil dari seseorang yang
diperkarakan dihadapan hakim. Maka tidaklah yang demikian itu haram, apabila ia
tidak berusaha pada yang haram.
Dan kalau maksudnya
itu berhasil dengan sepatah kata yang tak mema- yahkan, tetapi perkataan itu
dari orang yang mempunyai kemegahan atau perbuatan itu dari orang yang
mempunyai kemegahan, perbuatan mana yang mendatangkan faedah, seperti katanya
kepada penjaga pintu: Jangan engkau kuncikan pintu sultan terhadap dia Atau
seperti: diletakkannya ceritera itu dihadapan sultan saja. Maka ini adalah
haram. Karena yang demikian itu, adalah 'iwadl (gantian) dari kemegahan. Dan
tak ada pada agama yang membolehkan demikian, Bahkan ada dalil yang menunjukkan
kepada larangan daripadanya, sebagaimana akan datang uraiannya mengenai
"hadiah raja-raja".
Dan apabila tidak
diperbolehkan 'iwadl untuk menggugurkan syufah 1), pengembalian yang rusak,
kemasukan ranting-ranting pohon kayu kedalam daerah tempat raja dan sejumlah
dari maksud-maksud yang lain, sedang adanya semuanya itu menjadi maksud, maka
bagaimanakah diambil yang demikian itu dari kemegahan?
Dan mendekati dengan
yang tersebut ini, tentang dokter yang mengambil *iwadl terhadap sepatah kata,
yang diberikannya dengan kata-kata itu mengenai obat, dimana ia sendiri saja
yang mengetahuinya. Seperti seorang yang hanya dia sendiri yang tahu tentang
pengetahuan-, mengenai tumbuh- tumbuhan yang dapat mencabut bawasir atau
lainnya. Lalu ia tidak mau
1. Syufah, ialah:
hak bagi tetangga mcmbeli barang tidak bergerak yang dijual oleh tetang-
ganya dengan menggantikan harga kepada yang sudah membelinya. (Pent.)
|
241
|
menyebutkannya, selain
dengan Mwadl (sebagai gantian dari apa yang telah diberikannya itu). Maka
perbuatannya dengan mengeluarkan kata-kata itu, adalah tidak berharga, seperti
sebiji kacang. Maka tidak boleh mengambil 'iwadl dari padanya dan tidak
terhadap ilmunya. Karena tidaklah ilmunya itu, berpindah kepada orang lain. Dan
sesungguhnya berhasil bagi orang lain seperti ilmunya itu, sedang ia sendiri
tetap mengetahui ilmu yang tersebut tadi.
Dan tidaklah seperti
itu, orang yang ahli tentang membuat sesuatu, seperti: ahli menajamkan pedang
umpamanya, yang sanggup menghilangkan kebengkokan pedang atau kaca dengan waktu
sedetik saja, karena mengetahui betul tempat kerusakannya dan karena ahli
membetulkannya. Maka kadang-kadang bertambah dalam waktu sedetik saja, harta
banyak menge- nai nilai pedang dan kaca. Maka tentang ini, saya berpendapat,
tiada me- ngapa mengambil ongkosnya. Karena perusahaan yang seperti ini, mema-
yahkan seseorang dalam mempelajarinya, untuk dapat berusaha dengan perusahaan
tersebut. Dan untuk meringankan daripadanya kebanyakan perbuatan.
Keempat: ialah: yang dimaksudkan dengan pemberian itu, kasih sayang
dan memperolehnya kasih-sayang itu dari pihak orang yang dihadiahkan. Bukan
karena sesuatu maksud tertentu tetapi karena mencari kejinakkan hati, keteguhan
persahabatan dan kesayangan pada hati. Maka yang demikian itu, adalah menjadi
maksud bagi orang-orang yang berpikiran tinggi. Dan disunatkan yang demikian
itu pada agama.
Nabi s.a.w. bersabda:
تهادوا
تحابوا
(Tahaadau tahaabbuu).
Artinya:
"Hadiah-berhadiahlah, supaya kamu kasih-mengasihi". (1).
Kesimpulannya, tidaklah pula manusia itu menurut kebiasaannya, bermaksud
menyayangi orang lain, karena kesayangan itu sendiri. Tetapi adalah karena
sesuatu faedah dari kesayangan itu. Akan tetapi apabila faedah itu tidak
menentu dan tidak tergambar pada dirinya, maksud tertentu itu yang
menggerakkannya untuk masa sekarang atau masa yang akan datang, maka
dinamakanlah yang demikian itu hadiah dan halallah mengambilnya. Kelima: bahwa
dicarinya kedekatan kehati orang yang diberikan itu dan memperoleh
kesayangannya. Dan bukanlah untuk kesayangan dan kejinakan hati, dari segi
kejinakan hati itu saja, tetapi adalah untuk ia -- sampaikan dengan kemegahan
orang yang diberikan itu, kepada maksud- maksudnya yang terhingga jenisnya,
walaupun tidak terhingga barangnya. Dan adalah, jikalau tidaklah kemegahan dan
kelebihannya itu, niscaya
Dirawikan Al-Baihaqi
dari Abu Hurairah. Dan dipandang dla'if oleh Ibnu 'Uda.
|
242
|
tidaklah akan
dihadiahkan kepadanya.
Kalau ada kemegahannya
itu karena ilmu pengetahuan atau kebangsawan- an, maka persoalannya adalah
lebih ringan dan mengambilnya adalah makruh* Karena padanya menyerupai rasywah,
tetapi pada zahimya adalah hadiah.
Kalau kemegahannya itu
disebabkan pemerintahan yang dipegangnya, dari kehakiman atau jabatan atau
urusan sedekah (zakat) atau pemungutan harta atau lainya, dari tugas-tugas
kerajaan, sampai urusan harta waqaf umpamanya dan jikalau tidaklah tugas
tersebut, niscaya tidak akan dihadiahkan kepadanya, maka ini adalah rasywah,
dikemukakan dalam bentuk hadiah. Karena maksudnya yang sekarang, ialah mencari
kedekatan dan mengusahakan kesayangan. Tetapi bagi sesuatu hal yang terbatas
jenisnya. Karena apa yang memungkinkan sampai kepadanya dengan pemerintahan,
adalah tidak tersembunyi. Dan tanda bahwa ia tidak mencari kesayangan itu
semata, ialah kalau memerintahlah sekarang orang lain, niscaya akan
diserahkannya harta itu kepada orang lain yang tersebut. Maka ini adalah termasuk
sebahagian dari apa yang disepakati para ulama, bahwa ketnakruhan padanya itu
adalah safigat keras. Dan mereka berbeda pendapat tentang haramnya dan
pengertian mengenainya adalah bertentangan. Karena berkisar diantara hadiah
semata dan rasywah yang diberikan sebagai timbalan kemegahan semata pada suatu
maksud tertentu.
Dan apabila
bertentangan keserupaan secara qias dan dibantu oleh hadits dan atsar, salah
satu dari yang dua keserupaan itu, niscaya tertentulah ke- condongan kepada
yang satu itu. Dan hadits-hadits telah menunjukkan kepada mengeraskan urusan
tentang itu. Nabi s.a.w. bersabda: "Akan datang kepada manusia suatu
zaman, yang dihalalkan padanya yang haram (as-suht) dengan diberikan hadiah,
dihaialkan pembunuhan dengan menmberi pengajaran (nasehat), dimana orang yang
tak bersalah dibunuh, untuk menjadi pengajaran bagi orang awam" (1).
Ditanyakan Ibnu Mas'ud
r.a tentang "as-suht" tadi, lalu beliau menjawab: "Dilaksanakan
oleh seseorang akan suatu hajat keperluan, lalu dihadiahkan kepadanya sesuatu
hadiah".
Semoga yang
dimaksudkan oleh Ibnu Mashud r.a. tadi, ialah pelaksanaan hajat tersebut,
dengan sepatah kata yang tak payah mengatakannya. Atau yang melaksanakan hajat
itu, berbuat tabarru' (ber'amal). Tidak bermak- sud kepada ongkos. Maka tidak
boleh mengambil sesuatu sesudahnya, dalam bidang 'iwadl.
Masruq telah
memberikan sesuatu pertolongan, lalu orang yang ditolong itu menghadiahkan
seorang budak wanita kepada Masruq. Maka marahlah beliau dan mengembalikan
budak wanita tersebut, seraya berkata: "Kalau tahulah aku apa yang dalam
hatimu, niscaya tidaklah aku memperkatakan tentang hajatmu itu dan tidak akan
aku memperkatakan tentang apa yang
1. Menurut Al-Iraqi,
ia tidak menjumpai hadits ini.
|
243
|
masih tinggal
daripadanya".
Ditanyakan Thaus
tentang hadiah-hadiah sultan, maka beliau menjawab: "Haram!"
Umar r.a. mengambil
keuntungan dari harta yang dijadikan modal untuk mencari keuntungan, yang
diambil oleh kedua orang puteranya dari Baitul-mal, seraya berkata:
"Sesungguhnya diberikan harta Baitul-mal kepada kamu berdua, karena
kedudukanmu dari aku". Karena Umar r.a tahu, bahwa harta Baitul-mal itu
diberikan kepada keduanya karena kemegahan Umar yang memegang pemerintahan
sebagai Khalifah. Isteri Abi 'Ubaidah bin Al-Jarrah menghadiahkan kepada Khatun
ratu negeri Rum- semacam bau-bauan (khaluq). Lalu ratu itu membalasinya dengan
suatu permata. Lalu permata itu diambil oleh Umar r.a. Maka dijualnya dan di-
berikannya kepada isteri Abi 'Ubaidah sebanyak harga khaluq dan sisanya
diserahkannya kekas harta kaum muslimin (Baitul-mal). Berkata Jabir r.a. dan
Abu Hurairah r.a.: "Hadiah raja-raja itu adalah rantai". Sewaktu Umar
bin Abdul-a'zis mengembalikan hadiah orang, lalu dikatakan kepada beliau:
Adalah Rasulu'llah s.a.w. menerima hadiah" (1), maka beliau menjawab:
"Adalah itu hadiah untuk Rasulu'llah s.a.w. dan untuk kita itu adalah
rasywah". Artinya: "Adalah orang yang memberikan itu mendekatkan
dirinya kepada Nabi s.a.w. karena kenabiannya, tidak karena pemerintahannya.
Dan kita ini diberikan, karena pemerintahan ditangan kita".
Dan yang lebih besar
dari itu semuanya, ialah apa yang dirawikan Abu Hamid As-Sa'idi: "Bahwa
Rasulu'llah s.a.w. mengutus seorang wali negeri untuk mengiimpulkan zakat di
Al-Azd. Tatkala ia datang kepada Rasulu'llah s.a.w. lalu ia menahan sebahagian
apa yang ada padanya, seraya berkata: "Ini adalah untukmu dan ini adalah
untukku sebagai. hadiah". Maka Nabi s.a.w. menjawab: "Adakah engkau
duduk dirumah ayahmu dan dirumah ibumu, lalu datang kepadamu hadiah bagimu,
kalau engkau benar? Kemudian Nabi s.a.w. menyambung lagi: "Tiadalah aku
akan memakai lagi orang yang sepertimu ini, dimana ia mengatakan: "Ini adalah
untukmu dan ini adalah hadiah bagiku". Adakah ia duduk dirumah ibunya,
supaya orang memberikan hadiah kepadanya? Demi Allah, yang jiwaku didalam
kekuasaanNya! Tidaklah diambil oleh seseorang kamu sesuatu yang bukan haknya,
melainkan ia akan datang kepada Allah mem- bawakan sesuatu itu kepadaNya. Maka
tidaklah seseorang kamu datang pada hari kiamat dengan membawa unta yang
meringkik atau lembu yang melenguh atau kambing yang mengembek"
Kemudian-Rasulu'llah s.a.w^ i mengangkatkan kedua tangannya, sehingga aku
melihat putih kedua ke- tiaknya. Kemudian Nabi s.a.w. mendo'a: "Wahai
Allah Tuhanku! Adakah sudah aku menyampaikannya?" (2).
1. Dirawikan
Al-Bukhari dari 'Aisyah.
|
2. Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim.
|
244
|
Apabila telah tegas
segala peringatan yang keras ini, maka bagi qadli (hakim) dan wali negeri,
seyogialah mengumpamakan dirinya dirumah ibunya dan bapaknya. Maka apa yang
diberikan kepadanya sesudah ber- henti dan dia berada dirumah ibunya, niscaya
bolehlah ia mengambilnya dalam masa pemerintahannya, Dan apa yang diketahuinya,
bahwa diberikan karena pemerintahannya semata, maka haramlah mengambilnya. Dan
apa yang menyulitkan kepadanya tentang hadiah dari teman-temannya, apakah
mereka itu akan memberikannya, jikalau ia sudah diberhentikan dari jabatannya,
maka itu adalah syubhat. Maka hendaklah ia menjauh- kannya!
Telah tammat
"Kitab Tentang Halal Dan Haram" dengan pujian kepada Allah dan nikmat
serta kebaikan taufiqNya.
Wa'llahu A'lam! Allah
Yang Mahatahu!
245
|