Mengenai Halal Haram


Bab 6 dan 7

BAB KEENAM: mengenai yang halal dan yang haram dari hal bercampur baur dengan sultan-sultan yang zalim, hukum men- datangi majelis mereka, masuk ketempat mereka dan memuliakan mereka.
Ketahuilah kiranya, bahwa anda bersama amir-amir, pegawai-pegawai dan orang-orang zalim, mempunyai tiga hal:

Hal pertama, yaitu yang terburuk, ialah bahwa anda masuk ketempat mereka.
Hal Kedua, yaitu, yang kurang buruk dari itu, ialah, mereka masuk ke­tempat anda.
Hal ketiga, yaitu yang lebih selamat, ialah. bahwa anda mengasingkan diri dari mereka. Maka anda tidak melihat mereka dan mereka tiada melihat anda.

Adapun hal pertama tadi, yaitu masuk ketempat mereka, maka itu adalah tercela sekali pada agama, Mengenai itu terdapat ancaman yang berat dan sangat, yang tersebut dalam hadits dan atsar. Maka marilah kami nuqilkan supaya engkau ketahui akan celaan agama itu. Kemudian kami bentang kan bagi yang diharamkan, yang diperbolehkan dan yang dimakruhkan daripadanya, menurut yang dikehendaki oleh fatwa pada ilmu zahir.

Adapun hadits: yaitu, tatkala Rasulu'llah s.a.w, menyifatkan amir-amir yang zalim, lalu beliau bersabda: "Maka barangsiapa mencampakkan mere­ka, niscaya terlepaslah ia dan barangsiapa mengasingkan diri dari mereka, niscaya selamatlah ia atau hampir ia akan selamat. Dan barangsiapa terperosok bersama mereka dalam keduniaan, maka ia termasuk sebagian dari mereka". (1).

Dan yang demikian itu, adalah karena orang yang mengasing diri dari amir-amir itu, niscaya ia selamat dari kedosaan mereka. Tetapi tidak sela­mat dari azab yang meratai dia bersama mereka, kalau ia mengambil tem­pat bersama mereka, karena ditinggalkannya mencampakkan dan menca- butkan diri.

Nabi s.a.w. bersabda: "Akan ada sesudahku amir-amir yang berdusta dan zalim. Maka barangsiapa membenarkan mereka dengan kedustaannya dan menolong mereka diatas kezalimannya, maka tidaklah ia daripadaku dan tidaklah aku daripadanya. Dan ia tidak akan datang kekolam (kolam Nabi s.a.w, dinegeri akhirat nanti")(2).
Diriwayatkan Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi s.a.w. bersabda: "Ahli qira- ah (ahli pembacaan Al-Qur-an) yang sangat dimarahi Allah Ta'ala, ialah mereka yang mengunjungi amir-amir" (3).
Dan pada suatu hadits, tersebut: "Amir yang baik, ialah yang datang

1.    Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas dengan sanad dlaif.
2.    Dirawikan An-Nasa-i dan At-Tirmidzi dan dipandangnya shahih,
3.    Dirawikan dari Abu Hurairah.
206

kepada ulama dan ulama yang jahat, ialah yang datang kepada amir". Dan pada suatu hadits, tersebut: "Ulama itu adalah pemegang amanah rasul pada hamba-haihba Allah, selama mereka tidak bercampur-baur dengan sultan. Maka apabila mereka berbuat yang demikian, sesungguh­nya mereka telah berkhianat kepada rasul. Maka, waspadalah terhadap mereka dan jauhkanlah dirimu daripadanya!" hadits ini diriwayatkan oleh Anas r.a.

Adapun atsar, maka berkatalah Hudzaifah: "Awasilah dari tempat-tempat fitnah!"
Lalu orang bertanya: "Manakah tempat-tempat fitnah itu?"
Hudzaifah menjawab: "Pintu-pintu para amir, yang dimasuki oleh seorang kamu ketempat amir itu, lalu membenarkannya dengan kedustaan dan mengatakan apa yang tidak ada mengenai amir itu".
Abu Dzar mengatakan kepada Salmah: "Wahai Salmah! Janganlah engkau datangi pintu-pintu para sultan, karena engkau tidak akan dapat membahayakan sedikit pun dari dunia mereka, melainkan mereka telah membahayakan akan agamamu yang lebih utama daripadanya". Berkata Sufyan: "Dalam neraka jahanam, ada sebuah lembah, yang tidak ditempati kecuali oleh para ahti qira-ah (al-qurra')9 yang mengunjungi raja-raja".

Al-Auza'i berkata: "Tiadalah sesuatu yang lebih dimarahi Allah, selain dari orang alim yang mengunjungi pegawai (yang kekerja)pada raja". Samnun berkata: Alangkah kejinya seorang alim yang didatangi tempat- nya, maka ia tidak didapati. Lalu ditanyakan, maka orang menjawab: "Dia pada amir".

Aku mendengar, ada orang mengatakan: "Apabila kamu melihat orang alim yang mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap agamamu, sehingga aku cobakan yang demikian. Karena tiadalah sekali-kali aku masuk ketempat sultan, melainkan aku perhitungkan diriku setelah keluar, lalu aku melihat pada diri itu, akan bekas perbuatan, bersama apa yang aku menampak pada mereka, dari kekasaran dan pertentangan dengan hawa- nafsu mereka".

'Abbadah bin Ash-Shamit berkata: "Kecintaan ahli qiraah yang kuat beribadah kepada amir-amir, adalah nifaq (sifat orang munafiq) dan kecinta- annya kepada orang-orang kaya, adalah ria", Abu Dzar berkata: "Barang­siapa membanyakkan harta segolongan orang, maka dia adalah setengah dari mereka. Artinya: barangsiapa membanyakkan harta orang-orang za­lim".

Ibnu Mas'ud r.a. berkta: "Sesungguhnya seorang laki-laki yang memasuki tempat sultan dan bersama orang itu agamanya, lalu ia keluar dan tak ada agamanya baginya lagi".
Lalu orang menanyakan kepadanya: "Mengapa?"
Ibnu Mas'ud menjawab: "Karena ia akan mencari kerelaan sultan itu de-
207
ngan kemarahan Allah".
Umar bin Abdul-aziz memperkerjakan seorang laki-laki, lalu orang mengatakan kepadanya bahwa laki-laki itu adalah pegawai Al-Hajjaj. Maka diberhentikannya. Lalu laki-laki itu berkata: "Sesungguhnya aku bekerja untuk Al-Hajjaj adalah sedikit sekali".Maka Omar menjawab: "Mencukupilah engkau menyertainya sehari atau setengah hari karena keburukan dan kejahatan"

Al-Fudlail berkata: 'Tiada bertambahlah seseorang dekatnya dengan seorang sultan, melainkan ia bertambah jauh daripada Allah". Adalah Sa'id bin Al-Musayyab berniaga minyak dan mengatakan: "Sesungguhnya pada minyak ini memperolah kecukupan, dari pada mendekati sultan-sultan itu". Wuhaib berkata:"Mereka yang masuk ketempat raja-raja, lebih mendatangkan kemelaratan kepada umat, dari pada orang- orang yang bermain judi". Berkata Muhammad bin Salmah: "Lalat diatas kotoran adalah lebih baik dari ahli qira-ah (qari') pada pintu mereka (ra­ja-raja)".

Tatkala Az-Zuhri bercampur-baur dengan sultan, lalu seorang saudaranya seagama menulis surat kepadanya: "Kiranya Allah mendatangkan sehat wal'afiat kepada kita! Jagalah, wahai Abubakar (panggilan kepada Az-Zuhri) dari fitnah! Engkau telah menjadi dalam keadaan yang seyogia- lah bagi orang yang mengenai engkau, untuk mendo'a kepada Allah bagi engkau dan, berbelas-kasihan kepada engkau. Engkau telah menjadi seo­rang syaikh besar, yang telah banyaklah ni'mat Allah kepadamu. Karena diberiNya kamu pemahaman akan KitabNya dan diajariNya kamu sunnah NabiNya Muhammad s.a.w. Bukankah demikian? Allah telah mengambil ikatan perjanjian dengan para ulama. Allah Ta'ala berfirman:
لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ
(Litubayyinunnahu linnaasi wa laa taktumuunah).Artinya: "Bahwa kamu akan menerangkan Kitab itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya". - S. Ali 'Imran, ayat 187.

Ketahuilah, bahwa yang termudah dari apa yang telah engkau kerjakan dan yang teri- ngan dari yang telah enkau pikulkan, ialah engkau telah berjinak-jinakkan dengan keliaran orang zalim dan engkau mudahkan jalan kedurhakaan, dengan engkau mendekati orang yang tidak menunaikan yang benar dan tidak meninggalkan yang batil, ketika ia mendekati engkau. Mereka membuat engkau menjadi pusat,yang berputar diatas engkau roda kezaliman mereka. Diambilnya engkau, menjadi jembatan yang dilaluinya diatas engkau, kepada bencana yang ditimbulkan mereka dan tangga yang dinaikinya pada tangga itu kepada kesesatan. Dan mereka masukkan dengan sebab engkau, keraguan kepada para ulama dan mereka patuhkan
208
dengan sebab engkau, hati orang-orang bodoh. Maka alangkah mudahnya, apa yang mereka bangun untuk engkau, disamping apa yang mereka robohkan keatas pundak engkau! Alangkah banyaknya yang mereka ambil dari engkau, mengenai apa yang mereka rusakkan keatas engkau dari agama engkau! Maka tidaklah engkau aman dari menjadi sebahagian dari orang yang difirmankan oleh Allah Ta'ala tentang mereka:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ
(Fakhalafa min ba'dihim khalfun adlaa'ush-shalaata). Artinya: "Kemudian mereka digantikan oleh satu angkatan, yang mening- galkan sembahyang". — S. Maryam ayat 59. Sesungguhnya engkau berga- ul dengan orang yang tidak bodoh dan menjaga terhadapmu orang yang tidak lalai. Maka obatilah agamamu, yang sesungguhnya telah masuk kepadanya penyakit! Dan sediakanlah perbekalanmu, yang sesungguhnya telah tiba sa'at bermusafir jauh!
وَمَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ
(Wa maa yakhfaa'ala'llaahi min syai-in fil-ardli wa laa fis-samaa-i). Artinya: Dan tidaklah tersembunyi pada Allah sesuatu dibumi dan dilangit". S. Ibrahim, ayat 38 Wassalam".Maka segala hadits dan atsar tersebut, menunjukkan bahwa pada bercampur-baur dengan sultan-sultan itu terdapat fitnah-fitnah dan berbagai macam kerusakan.
                                                                                                                                       '
Tetapi akan kami uraikan yang demikian itu, secara uraian fiqh, dimana kami akan memperbedakan padanya akan yang terlarang dari yang makruh dan yang mubah. Maka kami mulai: bahwa orang yang masuk ketempat sultan, adalah datang untuk mendurhak£i Allah Ta'ala. Adaka- lanya: dengan perbuatannya atau dengan diamnya atau dengan perkataannya atau dengan i'tiqadnya. Maka tidaklah terlepas dari saiah satu hal-hal tersebut.

Adapun perbuatan, maka memasuki tempat raja-raja itu dalam banyak hal, adalah memasuki rumah-rumah rampokan. Melangkahkan kaki dan memasuki rumah-rumah tersebut, tanpa izin pemiliknya, adalah haram. Dan janganlah engkau tertipu dengan perkataan orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu, termasuk sebahagian dari apa yang berma'af- ma'afan manusia padanya, seperti sebiji tamar atau beberapa hancuran roti.

Sesungguhnya yang demikian itu benar pada bukan barang rampokan. Adapun barang rampokan, maka tidaklah demikian. Karena kalau dikata- kan, bahwa tiap-tiap duduk yang ringan (yang sebentar), tidaklah mengu-
209
rangkan milik, maka duduk yang demikian itu, adalah pada tempat berma*af~ma'afan. Dan begitu pula singgah sebentar. Maka berlakulah ini pada tiap-tiap orang, lalu berlaku pula pada kumpulan orang. Dan perampokan itu hanya sempurna dengan perbuatan semua orang. Dan hanya berma'af-ma'afan padanya, apabila sendirian. Karena kalau diketahui oleh pemiliknya, kadang-kadang tidak merasa benci hati kepadanya. Adapun apabila yang demikian itu menjadi jalan kepada menghabiskan dengan perkongsian, maka hukum pengharaman itu, tertarik kepada semua. Maka tidaklah boleh untuk mengambil milik seseorang menjadi jalan, karena berpegang, bahwa tiap-tiap seorang dari orang-orang yang lalu, sesungguhnya ia melangkah akan suatu langkah, yang tidak mengu- rangkan milik. Karena jumlah orang itulah yang menghilangkan milik. Dan itu adalah seperti pukulan yang ringan pada pengajaran, adalah diperbolehkan, tetapi dengan syarat sendirian. Maka jikalau berkumpul segolongan orang memukul dengan pukulan-pukulan yang mengharuskan mati, niscaya wajiblah qishash (pembalasan) kepada semua. Sedangkan masing-masing dari pukulan itu, jikalau sendiri-sendiri, niscaya tidaklah mewajibkan qishash.

Kalau diumpamakan adanya orang zalim itu pada tempat yang bukan rairt- pokan, seperti pada tanah yang tak berpunya umpamanya, maka kalau ada dibawah khemah atau payung besar dari harta orang zalim tersebut, maka itu haram. Dan masuk kepadanya tidak dibolehkan. Karena yang demikian itu mengambil manfa'at dengan yang haram dan bernaung diba­wah yang haram. Kalau diumpamakan semuanya itu halal, maka tidaklah ma'shiat dengan masuk kedalamnya, dari segi masuk itu. Dan tidaklah ma'shiat dengan ucapannya: Assalamu'alaikum, Tetapi, jikalau ia sujud atau ruku' atau ia berdiri tegak dalam salamnya dan pelayanannya, niscaya adalah ia memuliakan orang zalim disebabkan pemerintahannya, yang menjadi alat kezalimannya. Dan merendahkan diri (tawadlu') kepada orang zalim, adalah perbuatan ma'shiat. Tetapi orang yang tunduk merendahkan diri kepada orang kaya, yang tidak zalim kare­na kekayaannya, tidak karena sebab yang Iain, yang menghendaki meren­dahkan diri itu, niscaya membawa kekurangan duapertiga agamanya. Maka bagaimana pula apabila tunduk merendahkan diri kepada orang zalim! Maka tidak diperbolehkan, selain dari semata-mata salam saja. Adapun mencium tangan dan membungkuk pada pelayanan, maka itu adalah ma'shiat. Kecuali ketika takut atau bagi imam yang adil atau bagi orang alim atau bagi orang yang berhak demikian, disebabkan urusan kea-, gamaan.

Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah r.a. mencium tangan Ali r.a. tatkala berjumpa dinegeri Syam. Ali r.a. tidak membantahnya.

Sebahagian salaf bersangatan benar, sehingga tidak mau menjawab salam orang-orang zalim dan berpaling muka dari mereka, untuk menghinakan
210
mereka. Dan dihitungnya yang demikian itu, sebahagian dari mendckat- kan diri kepada Allah Ta'ala yang sebaik-baiknya.
Adapun berdiam diri daripada menjawab salam, maka mengenai ini mendapat perhatian. Karena menjawab salam, adalah wajib. Maka tiada seyo gialah gugur kewajiban itu disebabkan kezaliman,
Kalau orang yang masuk ketempat orang zalim tersebut, meninggalkan semua yang tadi dan menyingkatkan kepada salam saja, maka tidaklah ia terlepas dari duduk pada tikar mereka. Dan apabila kebanyakan hartanya haram, maka tidaklah boleh dUduk pada tikar mereka itu. Ini, adalah dari segi perbuatan!

Adapun diam, maka orang yang masuk itu akan melihat pada tempat duduk mereka, tikar sutera, bejana perak dan sutera yang dipakaikan pada mereka dan pada budak-budaknya, dari barang-barang yang haram. Dan tiap-tiap orang yang melihat kejahatan dan berdiam diri dari kejahat- an itu, maka dia itu bersekutu pada kejahatan tersebut. Bahkan ia akan mendengar dari percakapan mereka, sesuatu yang keji, yang dusta, maki- an dan yang yang menyakitkan. Dan berdiam diri dari semua itu, adalah haram. Bahkan ia akan melihat mereka memakai kain haram, memakan makanan haram dan segala yang dalam tangan mereka itu adalah haram. Dan berdiam diri terhadap yang demikian adalah tidak boleh. Maka wajiblah diatas orang yang masuk itu, menyuruh dengan ma'ruf (yang baik) dan melarang dari yang munkar (yang dilarang agama) dengan lisan- nya, kalau ia tidak mampu dengan perbuatannya.

Kalau anda menjawab: bahwa ia takut terhadap dirinya, maka dia itu dima'afkan berdiam diri.
Itu benar! Tetapi ia tidaklah memerlukan ufituk mendatangkan dirinya untuk mengerjakan apa yang tidak diperbolehkan, kecuali disebabkan ada halangan. Sesungguhnya kalau ia tidak masuk dan tidak menyaksikan ke- mungkaran-kemungkaran itu, niscaya tidaklah dihadapkan kepadanya tugas tadi. Sehingga gugurlah kewajiban itu disebabkan halangan tadi. Dan mengenai ini, aku berkata, bahwa barangsiapa mengetahui suatu kerusakan pada suatu tempat dan ia mengetahui bahwa ia tidak mampu menghilangkannya, maka tidaklah boleh ia datang ketempat tersebut, se­hingga berlakulah perbuatan itu dihadapannya dan ia menyaksikannya dan berdiam diri. Tetapi seyogialah menjaga diri daripada menyaksikannya. Adapun perkataan, yaitu: ia mendo'a kepada orang zalim atau memuji- kannya atau membenarkannya apa yang dikatakannya dari yang batil, dengan perkataannya yang tegas atau dengan menggerakkan kepalanya atau dengan kegembiraan yang membayang pada wajahnya. Atau ia menampakkan kasihsayang, tunduk dan rindu untuk menjumpainya, meng- harap panjang umurnya dan tetap kedudukannya.
Maka yang demikian itu, biasanya tidak menyingkat sekedar memberi sa­lam saja, tetapi ia berkata-kata. Dan kata-kata itu tidaklah melampaui
211
akan segala macam yang tersebut tadi.
Adapun berdo'a kepada orang zalim itu adalah tidak halal, selain dari mengucapkan: diperbaiki kiranya engkau oleh Allah atau diberi taufiq kiranya engkau oleh Allah kepada kebajikan atau diianjutkan Allah kira­nya umur engkau dalam mentha'atiNya atau yang semacam yang tersebut ini.
Adapun do'a dengan: penjagaan dari Allah, Ian jut umur dan berlimpah- limpah ni'mat, serta dengan sebutan: penghulu dan yang searti dengan itu, maka tidak boleh. Nabi s.a.w. bersabda:
(Man da'aa lidhaalimin bil-baqaa-i fa qad ahabba an yu'shallaahu fii ardlih).
Artinya: "Barangsiapa mendo'a bagi orang zalim dengan kekalan, maka sesungguhnya ia menyukai orang berbuat ma'shiat kepada Allah dibumi- Nya' (1).

Kalau do'a itu melewati kepada pujian, lalu ia akan menyebutkan apa yang tak ada pada yang dipuji itu, maka adalah dia itu membohong, munafiq dan memuliakan orang zalim. Dan ini adalah tiga perbuatan ma'shiat Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah marah apabila dipujikan orang fasiq". (2).

Dan pada hadits lain tersebut: "Barangsiapa memuliakan orang fasiq, maka sesungguhnya ia telah menolong meruntuhkan Islam". (3). Kalau yang demikian itu melewati kepada membenarkan apa yang dikatakannya, membersihkan dan memujikan apa yang dikerjakannya, niscaya adalah ia itu berbuat ma'shiat dengan membenarkan dan memberi perto­longan. Karena membersihkan dan memujikan itu adalah menolong kepada kema'shiatan dan menggerakkan untuk gemar berbuat yang demi­kian. Sebagaimana mendustakan, mencela dan mengejikan itu dalah menghardik dari perbuatan itu dan melemahkan faktor-faktor yang mem- bawa kepadanya.

Dan menolong kepada perbuatan ma'shiat adalah ma'shiat, walaupun dengan sepotong perkataan.
Sesungguhnya Sufyan Ats-Tsuri r.a. ditanyakan orang tentang orang zalim yang hampir binasa dipadang Sahara, apakah diberikan air minum kepadanya? Lalu beliau menjawab: "Biarkan saja sampai ia mati, karena yang demikian itu menolong kepadanya!"
Berkata ulama yang lain: "Diberikan ia minum, sehingga kembali kepada-

1.
Hadits ini telah diterangkan dahulu.
2.
Hadits ini telah diterangkan dahulu.
3.
Hadits ini telah diterangkan dahulu.
212

nya jiwanya. Kemudian, ia ditinggalkan".
Kalau melewati yang demikian, sampai kepada melahirkan kasih-sayang, rindu kepada menjumpainya dan panjang usianya, maka kalau dia itu membdhong, niscaya ma'shiatlah ia dengan maksiat kebohongan dan ke- munafiqan. Dan kalau ia benar, niscaya ma'shiatlah ia dengan sukanya kekal orang zalim itu. Sedang sebenarnya hendaklah dimarahinya dan dikutukinya demi karena Allah.
Maka memarahi orang, karena Allah, adalah wajib. Dan mencintai dan merelai ma'shiat, adalah menjadi orang yang ma'shiat. Barangsiapa men­cintai orang zalim, maka kalau dicintainya itu kerena kezalimannya, maka ia itu ma'shiat karena kecintaannya. Dan kalau dicintainya karena sebab lain; maka dia itu ma'shiat dari segi, bahwa ia tidak memarahinya, sedang ia wajib memarahinya.
Dan kalau berkumpul pada seseorang kebajikan dan kejahatan, niscaya wajibtah ia dikasihi karena kebajikannya dan dimarahi karena kejahatan nya.

Dan akan datang pada "Kitab Persaudaraan Dan Orang-orang Yang Berkasih-kasihan pada Jalan Allah" cara mengumpulkan antara marah dan sayang.
Maka jikalau selamat dari yang demikian itu semua — dan amat jauhlah dari yang demikian — maka tidaklah selamat dari kerusakan yang menja- lar kedalam hatinya. Karena ia memandang kepada meluasnya dalam keni'matan dan memandang ringan segala ni'mat Allah kepadanya dan adalah ia memperbuat larangan Rasulu'llah s.a.w. dimana beliau bersab­da: "Wahai para kaum muhajirin! Janganlah kamu masuk kepada penduduk dunia, karena dunia itu membawa kemarahan bagi rezeki!" (1). Dan ini serta apa yang padanya, dari mengikuti orang lain tentang masuk ketempat orang zalim itu dan dari memperbanyakkan harta orang-orang zalim dengan dirinya sendiri dan memandang baik orang-orang zalim itu, jikalau ia termasuk orang yang memandang baik dengan yang demikian itu. Dan semuanya yang demikian, adakalanya termasuk makruh atau ter- larang.
Sa'id bin Al-Musayyab diajak untuk melakukan bai'ah kepada Walid dan Sulaiman, keduanya adalah putera Abdul-malik bin Marwan. Maka Sa'id menjawab: "Aku tidak akan melakukan bai'ah pada dua orang, selama bertukarlah malam dengan siang, karena Nabi s.a.w. melarang dari dua bai'ah". (2)-
Lalu beliau menyambung: "Aku masuk dari pintu yang satu dan aku keluar dari pintu yang lain". Maka beliau berkata dengan tegas: 'Tidak! Demi Allah! Tiada seorangpun dari manusia yang mengikuti aku". Maka beliau disiksa dengan pukulan seratus kali pukul. Dan diberi pakaian yang menghapuskan bekas pukulan.

1.    Dirawikan Al-Hakim dari Abdullah bin Asy-Syukhair. Katanya: shahih isnad.
2.    Dirawikan Abu Na'im dengan isnad shahih dari Yahya bin Sa'id.
213

Tiadalah boleh masuk kerumah orang-orang zalim, kecuali disebabkan dua hal yang membolehkan:
Pertama: Bahwa ada dari pihak mereka perintah yang mengharuskan, bukan perintah memuliakan. Dan ia tahu, bahwa kalau ia tidak mau, nis­caya ia akan disiksa atau rusak kepatuhan rakyat kepada mereka. Dan bergoncanglah suasana politik terhadap mereka.

Maka dalam hal yang demikian, wajiblah menyambut perintah itu. Bukan mentha'ati mereka. Tetapi menjaga kepentingan rakyat, sehingga tidaklah pemerintahan menjadi kacau balau.

Kedua: bahwa memasuki tempat mereka itu karena menolak kezaliman pada orang muslim yang lain atau pada dirinya sendiri. Adakalanya dengan jalan berbuat kebaikan atau dengan jalan bersabar dari kezaliman. Maka yang demikian itu adalah suatu kelapangan (rukh-shah), dengan syarat bahwa ia tidak membohong, tidak memujikan dan tidak meninggal- kan nasehat, yang diharapnya diterima. Maka itulah hukum masuk!

Hal yang kedua: bahwa masuk kepadanya sultan yang zalim yang mengun- junginya. Maka menjawab salamnya, adalah tak boleh tidak. Adapun berdiri dan memuliakannya, maka tidaklah haram, sebagai tim- balan diatas kemuliaan yang diberikannya dengan kunjungannya itu. Ka­rena dengan memuliakan ilmu dan agama, adalah berhak untuk pujian, sebagaimana dengan kezaliman, adalah berhak untuk dijauhkan. Maka memuliakan, dibalas dengan memuliakan dan dengan jawab salam. Tetapi yang lebih utama, bahwa tidaklah ia bangun berdiri, kalau ia bersa­ma sultan yang datang itu pada suatu tempat khilwah (tempat sepi), supa- ya tampak dengan yang demikian itu, kemegahan agama dan kehinaan kezaliman. Dan melahirkan kemarahannya karena agama dan berpaling- nya dari orang yang berpaling dari jalan Allah. Maka Alia Ta'ala berpaling daripadanya.

Dan kalau sultan yang masuk kepadanya berada dalam suatu kumpulan manusia ramai, maka menjaga malunya orang-orang yang mempunyai wi­layah diantara rakyat banyak, adalah penting. Maka tiadalah mengapa ba­ngun berdiri diatas niat yang tadi.

Dan jikalau diketahuinya bahwa yang demikian itu, tiada mendatangkan kerusakan pada rakyat dan tidak memperoleh siksaan dari kemarahannya, maka meninggalkan pemuliaan dengan bangun berdiri, adalah lebih utama. Kemudian, setelah terjadi pertemuan itu, wajiblah menasehatinya. Dan kalau sultan itu mengerjakan apa yang tiada diketahuinya haram dan ia mengharap akan meninggalkannya apabila ia telah tahu, maka hendaklah diberitahukan yang demikian kepadanya. Dan yang demikian itu ada­lah wajib.

Adapun menyebutkan haram apa yang telah diketahuinya haram tentang berlebih-lebihan dan kezaliman, maka tak adalah faedah padanya. Tetapi
214
haruslah ia mempertakutkan sultan itu mengenai apa yang dikerjakannya daripada segala ma'shiat, manakala berat dugaannya, bahwa memperta­kutkan itu membekas kepadanya. Dan haruslah ia menunjukkan kepada jalan kemuslihatan, jikalau ia mengetahui jalan kepada yang bersesuaian dengan agama, dimana berhasillah maksud dari orang yang zalim itu, tan­pa ma'shiat, untuk mencegahnya dengan yang demikian daripada sampai kepada maksudnya dengan kezaliman.
Jadi, wajiblah ia memperkenalkan tempat kebodohannya itu dan memper­takutkan tentang apa yang berani ia mengerjakannya dan menunjukkan kepada apa yang lalai ia daripadanya, dari hal-hal yang tidak memerlukan kepada kezaliman.

Maka inilah tiga hal yang harus diperbuatnya, apabila ia mengharap pada kata-katanya itu membekas. Dan juga yang demikian itu, adalah harus atas tiap-tiap orang yang kebetulan masuk ketempat sultan dengan suatu hal yang membolehkan ('udzur) atau tidak.

Dari Muhammad bin Shalih, yang mengatakan: "Adalah aku pada Hammad bin Salmah dan kebetulan, tidak ada dalam rumah itu selain se­ll elai tikar. Ia duduk padanya dan sebuah Mash-haf (Kitab Suci Al-Qur-an) yang dibacanya, sebuah bungkusan yang didalamnya ilmunya dan sebuah tempat bersuci, dimana ia mengambil wudlu' daripadanya. Maka ketika saya padanya, tiba-tiba ada orang yang mengetok pintu diluar, yaitu: Muhammad bin Sulaiman. Lalu diizinkan ia masuk. Maka ia masuk dan duduk dihadapan Hammad bin Salmah.

Kemudian Muhammad bin Sulaiman berkata kepada Hammad bin Salmah: "Mengapakah aku, apabila melihat engkau, maka penuhlah keta- kutan kepada engkau?"
Hammad menjawab: "Karena Nabi s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya orang yang berilmu (orang alim), apabila ia menghendaki dengan ilmunya itu akan wajah Allah, niscaya takutlah kepadanya segala sesuatu. Dan kalau ia menghendaki akan memenuhkan gudang dengan ilmunya itu, niscaya takutlah ia dari tiap-tiap sesuatu". (1).
Kemudian Hammad memberikan kepada Muhammad bin Sulaiman uang sebanyak empatpuluh ribu dirham, seraya berkata: "Engkau ambil uang ini dan engkau memperoleh pertolongan dengan dia". Muhammad bin Sulaiman menjawab: "Akan aku kembalikan uang ini ke­pada orang yang engkau aniaya dengan uang ini".
Maka Hammad menjawab: "Demi Allah, tiadalah aku berikan kepadamu, selain dari apa yang aku pusakai".
Muhammad bin Sulaiman menyambung: "Aku tiada memerlukan uang ini bagiku".
Hammad bin Salmah menjawab: "Ambillah uang ini dan bagi-bagikan- lah!"
1. Hadits ini hadits marfu
215
Lalu Muhammad bin Sulaiman menjawab: "Mudah-mudahan, jikalau aku adil dalam membagi-bagikannya, maka aku takut dikatakan oleh sebahagi- an orang yang tiada memperoleh daripadanya: "Bahwa ia tidak adil pada membagi-bagikannya". Maka berdosalah orang itu, dimana orang-orang Iain, memperoleh uang itu daripadaku".

Hal yang ketiga: bahwa ia mengasingkan diri dari sultan-sultan. Maka tidaklah ia melihat mereka dan mereka tidak melihatnya. Dan itu adalah wajib. Karena tak ada keselamatan, selain pada yang demikian. Maka haruslah ia berkeyakinan akan kemarahan oratig banyak atas keza­liman mereka dan tidak menyukai kekekalan mereka, tidak memujikan mereka, tidak menanyakan kabar tentang keadaan mereka, tidak mendekati orang-orang yang berhubungan dengan mereka dan tidak menaruh kesedihan terhadap apa yang hilang, disebabkan berpisah dengan mereka. Yang demikian itu, apabila terguris dihatinya, keadaan mereka. Dan jika­lau ia melupakan tentang mereka itu, maka adalah lebih baik. Dan apa­bila terguris dihatinya akan kesenangan mereka, maka hendaklah mengi- ngati akan apa yang diucapkan oleh Hatim Al-Ashamm: "Sesungguhnya antaraku dan raja-raja itu, adalah satu hari saja, Adapun kemaren, maka tidaklah mereka memperoleh kelazatannya. Dan sesungguhnya aku dan mereka pada hari esok adalah pada ketinggian dan kemuliaan. Dan se­sungguhnya dia adalah hari ini dan apa yang diharap ada pada hari ini". Dan mengingati akan apa yang diucapkan oleh Abud-Darda', karena be­liau mengucapkan: "Orang-orang yang berharta itu makan dan kitapun makan. Mereka itu minum dan kita pun minum. Mereka itu berpakaian dan kitapun berpakaian. Mereka mempunyai kelebihan harta, yang dipan- dangnya kepada harta-harta itu dan kita memandang bersama mereka kepada harta-harta itu. Dan diatas mereka perhitungannya, sedang kita terlepas daripadanya".

Tiap-tiap orang yang mengetahui akan kezalimannya orang yang zalim dan ma'shiatnya orang yang ma'shiat, maka seyogialah derajat orang itu turun pada hatinya. Dan ini adalah wajib diatas orang yang mengetahui itu. Ka­rena orang yang timbul daripadanya apa yang tidak disukainya, niscaya - tidak dapat dibantah — berkuranglah kedudukan orang itu dalam hatinya. Dan perbuatan ma'shiat seyogialah untuk tidak disenangi. Karena, adaka- lanya ia Ialai dari perbuatan ma'shiat itu atau ia senang atau ia benci. Dan tak adalah kelalaian serta mengetahuinya dan tiada jalan untuk dise­nangi kema'shiatan itu. Maka tak boleh tidak dari kebencian kepadanya. Maka hendaklah penganiayaan tiap-tiap orang terhadap hak Allah, sepertj penganiayaannya terhadap hakmu sendiri!

Maka jikalau engkau mengatakan, bahwa kebencian itu tidak masuk da­lam ikhtiar (pilihan), maka bagaimanakah wajibnya kebencian itu? Kami menjawab, bahwa tidaklah demikian. Karena orang yang mencintai itu, akan benci dengan panggilan tabi'atnya sendiri — apa yang tidak disu-
216
kai oleh yang dicintainya dan yang menyalahi dengan dia. Maka orang yang tidak benci kepada kema'shiatan terhadap Allah, adalah ia tidak mencintai Allah. Dan sesungguhnya tiada mencintai Allah, orang yang tiada mengenalNya. Dan mengenai (ma'rifah) itu wajib dan mencintai Allah itu wajib.
Apabila ia mencintai Allah, niscaya ia benci tiap-tiap yang dibenci oleh Allah dan suka tiap-tiap yang disukai oleh Allah. Dan akan datang penegasan itu dalam "Kitab Kecintaan dan Kerelaan" nanti. Kalau anda mengatakan, bahwa adalah ulama-ulama salaf dahulu masuk ketempat sultan-sultan.
Maka aku menjawab: ya, pelajarilah masuknya mereka, kemudian masuk lah! Sebagaimana diceriterakan, bahwa Hisyam bin Abdul-malik dating mengerjakan hajji ke Makkah. Maka tatkala ia memasuki Makkah, lalu berkata: "Bawalah kepadaku seorang shahabat Nabi s.a.w.!"
Maka lalu orang menjawab: "Wahai Amirul-mu'minin! Mereka itu tiada lagi, sudah meninggal semuanya".
Lalu Hisyam menyambung: "Dari tabi'in".
Maka dibawalah kepadanya Thaus AI-Yamani.

Tatkala Thaus masuk kehadapan khalifah Hisyam itu, beliau membuka alas kakinya dengan tepi permadaninya dan tidak menyalamkan kepada­nya dengan panggilan "amirul-mu'minin". Tetapi beliau mengatakan: "Assalamu'alaika ya Hisyam! (Selamat kepadamu, wahai Hisyam!) Dan ti­dak beliau panggil dengan "kuniahnya" (kuniah, yaitu, panggilan dengan: ayah si Anu bagi laki-laki dan: ibu si Anu bagi wanita). Dan beliau terus duduk dihadapannya, seraya bertanya: "Kaifa anta ya Hisyam?" (Apa ka- bar engkau wahai Hisyam?).
                                                                                                                                          
Maka amat murkalah Hisyam mendengar yang demikian. Sehingga ia bercita-cita membunuhnya. Lalu orang mengatakan kepada khalifah itu: "Engkau berada ditanah suci kepunyaan Allah dan RasulNya (fiiharami'- llaah wa harami rasuulih). Dan tidak mungkin dilakukan yang demikian!" Maka Hisyam bertanya kepada Thaus: "Hai Thaus! Apakah yang mendo- rong engkau berbuat yang demikian?" Thaus menjawab: "Apakah yang say a perbuat?"

Maka bertambah-tambahlah kemarahan dan kemurkaan Hisyam. Hisyam berkata: "Engkau buka kedua alas kakimu dengan tepi permadaniku. Engkau tidak mencium tanganku. Engkau tidak menyalamkan aku dengan panggilan "amirul-mu'minin", Engkau tidak menyebutkan kuniahku. Engkau duduk dihadapanku dengan tidak seizinku. Dan engkau mengata­kan: "Kaifa anta ya Hisyam?"
Maka Thaus menjawab: "Adapun apa yang aku perbuat, membuka alas kakiku dengan tepi permadanimu, maka sesungguhnya aku buka kedua alas kaki itu dihadapan Tuhan Rabbul-'Izzati tiap-tiap hari lima kali dan Ia tidak menyiksakan aku dan tidak memarahi aku. Adapun katamu:
217
"Engkau tidak mencium tanganku" maka sesungguhnya aku mendengar Amirul-mu'minin Ali bin Abi Thalib r.a. berkata; 'Tiada halal bagi sese­orang mencium tangan seseorang, kccuali isterinya dari karena nafsu-syah- wat atau anaknya dari karena penuh kasih-sayang. Adapun katamu: 'Tidak engkau menyalamkan aku dengan penggilan amirul-muVninin", maka tidaklah semua orang suka kepada pemerintahanmu (ke-amir-anmu). Dari itu, aku tidak suka membohong. Adapun katamu: "Aku tidak menyebutkan kuniahmu" maka sesungguhnya Allah Ta'ala menyebutkan nama nabiNya dan auliaNya. Allah Ta'ala memanggil "Ya Daud! Ya Yahya! ya 'Isa! Dan Allah Ta'ala menyebutkan kuniah musuh- musuhNya, dengan firmanNya:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Artinya: "Binasalah kiranya kedua tangan Abu Lahab ' - S. Al-Lahab, ayat 1. Adapun katamu: "Engkau duduk dihadapanku", maka sesungguh- nya aku mendengar Amirul-mu'minin Ali r.a. berkata: "Apabila engkau bermaksud melihat seseorang dari penduduk neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk dan dikelilingnya orang banyak berdiri. Maka berkatalah Hisyam kepada Thaus: "Berilah aku pengajaran!" Lalu menjawab Thaus: "Aku mendengar dari Amirul-mu'minin Ali r.a. berkata: "Sesungguhnya dalam neraka jahanam terdapat banyak ular seperti bukit dan kala jengking seperti baghal (menyerupai keledai) yang menggigit tiap-tiap amir yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya".Kemudian Thaus itu bangun berdiri dan lari      

Diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsuri r.a. yang mengatakan: "Aku masuk ketempat Abu Ja'far Al-Manshur di Mina. Lalu ia berkata kepadaku: "Sampaikanlah kepada kami hajatmu! "Maka aku berkata kepadanya: "Bertaqwalah kepada Allah! Sesungguhnya telah penuh bumi ini dengan kezaliman dan keangkara-murkaan".
Berkata Sufyan seterusnya: "Lalu Abu Ja'far Al-Manshur menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatkannya, lalu berkata: "Sampaikanlah kepada kami hajatmu!"
Maka aku menjawab: "Sesungguhnya engkau menempati kedudukan ini de­ngan pedang kaum Muhajirin dan Anshar, sedang anak-anak mereka mati kelaparan. Maka bertaqwalah kepada Allah dan sampaikanlah kepada mereka akan hak mereka!"
Lalu Abu Ja'far menundukkan kepalanya, kemudian mengangkatkannya, maka berkata: "Sampaikanlah kepada kami hajatmu!" Maka aku menjawab: "Saidina Umar bin Al-Khath-thab r.a. telah me­ngerjakan hajji lalu menanyakan kepada juru-keuangannya: "Berapakah
218
engkau keluarkan belanja?" Juru-keuangan itu menjawab: "Sepuluh dirham lebih sedikit". Dan aku melihat disini banyak harta, yang tak
mampu unta memikulnya". Dan terus beliau keluar...............................................................................
Begitulah kiranya mereka itu memasuki tempat sultan-suitan apabila ter- paksa. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka untuk menuntut balas dari kezaliman sultan-sultan itu karena Allah.

Ibnu Abi Syumailah masuk ketempat Abdul-malik bin Marwan. Lalu kha­lifah Abdul-malik mengatakan kepadanya: "Berbicaralah!" Maka berkata Abi Ibnu Abi Syumailah kepada Khalifah: "Sesungguhnya manusia tidaklah terlepas pada hari kiamat dari kesempitan dan kepahitan kiamat dan menyaksikan kebinasaan padanya, kecuali orang yang mencari kerelaan Allah dengan kemarahan dirinya".
Maka menangislah Abdul-malik, seraya berkata: "Sesungguhnya akan aku jadikan kalimat ini kata-kata berhikmat didepan mataku, selama hidupku".

Tatkala dipekerjakan oleh Usman bin Affan r.a. akan Abdullah bin 'Amir, lalu datang kepadanya para shahabat RasuluMlah s.a.w. Dan yang terlambat daripadanya, ialah Abu Dzar. Dan adalah Abu Dzar itu berteman baik dengan Abdullah. Lalu Abdullah menyesalinya. Maka berkata- lah Abu Dzar: "Aku mendengar Rasulu'llah s.a.w. bersabda: "Sesungguh­nya seseorang apabila memerintah sesuatu wilayah, niscaya berjauhanlah Allah daripadanya" (1).

Malik bin Dinar memasuki tempat amir kota Basrah, lalu berkata: "Wa­hai Amir! Aku membaca pada sebagian kitab, bahwa Allah Ta'ala berfir- man: "Alangkah dungunya seorang sultan! Alangkah bodohnya orang yang mendurhakai Aku! Alangkah mulianya orang yang merasakan kemu- liaan dengan Aku! Wahai penggembala kejahatan! Aku serahkan kepada­mu kambing yang gemuk dan sehat, lalu engkau makan dagingnya, eng­kau pakai bulunya dan engkau tinggalkan tulang-belulangnya kacau-balau".

Maka bertanya kepadanya wali negeri Basrah itu: Adakah engkau tahu apakah yang memberanikan engkau terhadap kami dan yang menjauhkan kami daripada engkau?" Malik bin Dinar menjawab: 'Tidak saya tahu".
Lalu menyambung wali Basrah: "Kurang loba apa yang ada pada kami dan meninggalkan tertahan bagi apa yang ada ditangan kami". Adalah Umar bin Abdul-azis berdiri bersama Sulaiman bin Abdul malik. Maka Sulaiman mendengar bunyi petir, lalu beliau gundah dan meletak- kan dadanya pada bahagian depan kendaraan. Maka berkatalah Umar ke­padanya: "Ini adalah suara rahmatNya, maka bagaimanakah apabila eng­kau mendengar suara azabNya?"
Kemudian Sulaiman memandang kepada orang banyak, lalu berkata:

1. Menurut Al-Iraqi, beliau tidak menjumpai hadits ini.
219

"Alangkah ramainya manusia!" Maka menjawab Umar: "Mereka itu ada­lah lawanmu, wahai Amirul-mu'minin".
Lalu Sulaiman berkata kepada Umar: "Dicoba engkau oleh Allah dengan mereka".
Menurut ceritera, bahwa Sulaiman bin Abdul-malik datang ke Madinah dan ia bermaksud ke.Makkah. Maka ia mengirim utusan kepada Abu Hazim, mengundang kedatangannya.
Tatkala Abu Hazim masuk, maka berkata Sulaiman kepadanya: "Wahai Abu Hazim! Mengapakah kita tidak menyukai mati?" Abu Hazim menjawab: "Karena kamu meruntuhkan akhiratmu dan mem- bangun duniamu. Maka kamu tidak suka berpindah dari pembangunan kepada keruntuhan".
Maka Sulaiman bertanya lagi: "Wahai Abu Hazim! Bagaimanakah datang kepada Allah?"
Abu Hazim menjawab: "Wahai Amirul-mu'minin! Adapun orang yang berbuat baik, maka seperti orang yang jauh datang kepada keluarganya. Adapun orang yang berbuat jahat, maka seperti budak yang lari datang kembali kepada tuannya".
Maka menangislah Sulaiman seraya berkata: "Wahai kiranya, bagaimana­kah aku ini disisi Allah?"
Abu Hazim menjawab: "Datangkan dirimu kepada Kitab Allah Ta'ala, dimana Ia berfirman:

(Innal-abraara lafii na'iimin wa innal-fujjaara lafii jahiim).
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kesenangan.
Dan sesungguhnya orang-orang yang jahat berada dalam neraka" - S.Al-Infithar, ayat 13 dan 14.

Sulaiman bertanya: ………….….…"Dimanakah rahmat Allah?"
Abu Hazim menjawab:…………... "Dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan
Kemudian Sulaiman bertanya:.. "Hai Abu Hazim! Hamba Allah yang manakah yang lebih mulia?"
Abu Hazim menjawab:…………… "Yang berbuat kebajikan dan taqwa!"
Sulaiman bertanya pula: … …"Perbuatan apakah yang lebih utama?"
Abu Hazim menjawab:……… "Menunaikan yang fardlu (yang wajib) serta men- jauhkan yang haram".
Sulaiman bertanya lagi: "Perkataan manakah yang lebih terdengar?"
Abu Hazim menjawab: "Perkataan yang benar pada orang yang engkau takut dan engkau harap".
Sulaiman bertanya: "Orang mu'min manakah yang lebih pintar?"
Abu Hazim menjawab: "Orang yang bekerja dengan mentha'ati Allah dan mengajak manusia kepadanya".

220
mengajak manusia kepadanya".
Sulaiman bertanya: "Mu'min manakah yang merugi?"
Abu Hazim menjawab "Orang yang melangkah dalam hawa nafsu saudaranya dan orang itu zalim. Maka dijualnya akhiratnya dengan mengambil dunia orang Iain".
Bertanya Sulaiman lagi: "Apakah katamu tentang keadaan kami?"
Abu Hazim menjawab: "Apakah engkau mema'afkan aku?"
Sulaiman menjawab: "Sudah pasti, karena itu adalah nasehat yang engkau berika'n kepadaku".
Lalu Abu Hazim menjawab: "Wahai Amirul-mu'minin! Bahwa bapak-bapakmu dahulu memaksakan manusia dengan pedang dan mengambil kerajaan ini secara kekerasan, tanpa musyawarah dengan kaum muslimin dan tanpa rela mereka. Sehingga terbunuhlah dari kaum muslimin itu dalam suatu pembunuhan yang dahsyat. Dan mereka itu semuanya telah pergi , Maka jikalau engkau me rasa apa yang dikatakan mereka dan apa yang dikatakan kepada mereka     
Lalu menyahut seorang dari orang-orang yang duduk bersama: "Amat buruklah apa yang kamu katakan itu!"
Abu Hazim menjawab: "Sesungguhnya Allah telah mengambil ikatan janji diatas para ulama, untuk menerangkannya kepada manusia dan tidak me- nyembunyikannya".
Sulaiman menyambung: "Bagaimanakah caranya kita memperbaiki kerusakan ini?"
Abu Hazim menjawab: "Bahwa engkau ambil yang halal, lalu engkau letakkan pada yang hak".
Sulaiman menjawab: "Siapakah yang sanggup demikian itu?"
Abu Hazim menjawab: "Orang yang mencari sorga dan takut dari neraka".
Lalu Sulaiman menyambung: "Mendo'alah untukku". Maka Abu Hazim membacakan do'anya: "Wahai Allah Tuhanku! Jikalau adalah Sulaiman seorang wali Mu, maka mudahkanlah dia untuk kebaikan dunia dan akhirat! Dan jika ia musuhMu, maka ambillah pundak kepalanya kepada apa yang Engkau sukai dan relai!"
Lalu Sulaiman berkata: "Berilah kepadaku wasiat (nasehat)!"
Maka Abu Hazim menjawab: "Aku nasehati engkau dan aku ringkaskan: agungkanlah Tuhanmu dan tanzihkanlah Dia (sucikanlah Dia), bahwa Ia melihat engkau dimana Ia melarang engkau atau tiada melihat engkau di­mana Ia menyuruh engkau".

Umar bin Abdul-aziz berkata kepada Abu Hazim: "Berilah aku pengajar an!"
Lalu Abu Hazim menjawab: "Berbaringlah! Kemudian jadikanlah mati itu pada kepalamu! Kemudian, lihatlah kepada yang engkau kasihi, bahwa ada ia padamu pada sa'at itu! Maka ambillah dia sekarang! Dan apa yang tiada engkau sukai, bahwa ada ia padamu pada sa'at itu, maka tinggalkan-
221
lah sekarang! Maka semoga sa'at itu, adalah dekat!"
Seorang Arab dusun masuk ketempat Sulaiman bin Abdul-malik. Maka Sulaiman berkata: "Berbicaralah wahai Arab dusun!"
Arab dusun itu menyahut: "Wahai Amirul-mu'minin! Sesungguhnya aku akan berbicara dengan engkau dengan suatu pembicaraan, maka terimalah, walaupun tidak engkau sukai. Karena dibaiiknya, ada yang engkau sukai, jika engkau sudi menerimanya".
Lalu Sulaiman menjawab: "Hai Arab dusun! Sesungguhnya kami bermurah hati dengan luasnya penanggungan, terhadap orang yang tidak kami harapkan nasehatnya dan yang tidak kami merasa aman dari tipuannya. Maka bagaimana pula dengan orang yang kami merasa aman dari tipuan­nya dan kami mengharap akan nasehatnya?"
Maka Arab dusun itu berkata: "Wahai Amirul-mu'minin! Sesungguhnya telah mengelilingi engkau, orang-orang yang berbuat jahat pilihan bagi diri mereka sendiri. Dan mereka membeli dunia mereka dengan agamanya dan kerelaan engkau dengan kemarahan Tuhannya. Mereka takut kepada engkau mengenai Allah Ta'ala dan mereka tiada takut akan Allah menge- nai engkau. Dia perangi akhirat dan dia selamatkan dunia. Maka jangan- lah engkau letakkan amanah pada mereka, terhadap apa yang diamanah- kan Allah Ta'ala kepada engkau padanya. Karena mereka tidak melambatkan pada amanah itu kesia-siaan dan pada umat itu kehinaan dan kezaliman. Engkau bertanggung jawab dari apa yang dikerjakan mereka dan mereka tidak bertanggung jawab dari apa yang engkau kerjakan. Maka tidaklah baik dunia mereka dengan rusaknya akhirat engkau. Maka sesungguhnya yang amat besar meruginya manusia, ialah orang yang men- jual akhiratnya dengan dunia orang Iain.
Lalu berkata kepadanya Sulaiman: "Wahai Arab dusun! Sesungguhnya engkau telah engkau lepaskan lidahmu, yaitu: yang tertajam dari dua pedangmu".
Arab dusun itu menjawab: "Benar, wahai Amirul-mu'minin? Tetapi untuk keselamatanmu, bukan untuk kerugianmu".

Diriwayatkan, bahwa Abubakrah masuk ketempat Mu'awiah, lalu berkata: "Bertaqwalah kepada Allah, wahai Mu'awiah! Ketahuilah kira­nya, bahwa engkau pada tiap-tiap hari yang keluar dari engkau dan pada tiap-tiap malam yang datang kepada engkau, tidaklah menambahkan engkau dari dunia melainkan jauh dan dari akhirat, melainkan dekat. Dan diatas jejak engkau, ada yang mencari yang tidak dapat engkau hilangkan. Dan telah ditegakkannya bagi engkau pengetahuan yang tidak dapat eng­kau lampaui. Maka aliangkah cepatnya apa yang engkau sampaikan dengan ilmu itu! Dan hampirlah tidak dapat dihubungi dengan engkau oleh yang mencari itu! Sesungguhnya kita dan apa yang kita didalamnya, adalah hilang. Dan apa yang kita kerjakan, menuju kepadanya, adalah kekal! Kalau baik, maka balasannya adalah baik dan kalau jahat, maka balasannya adalah jahat.
222
Maka begitulah adanya masuk orang-orang yang berilmu ketempat sultan- sultan. Ya'ni: para ahli ilmu akhirat (ulama akhirat). Adapun ulama dunia, maka mereka masuk untuk mendekatkan diri kepada hati mereka. Lalu mereka mengulurkan timbanya kepada sulat- sultan itu dengan harga murah. Dan mereka melakukan istinbath (mencari dalil) untuk sultan-sultan itu, dengan daya-upaya yang halus-halus, akan jalan keluasan, mengenai apa yang bersesuaian dengan maksud mereka. Dan kalau mereka berkata-kata, seperti apa yang kami sebutkan dahulu tentang pembentangan pengajaran, bukanlah mereka itu untuk perbaikan. Tetapi untuk mencari kemegahan dan penerimaan dari sultan-sultan itu. Dan pada ini, adalah dua penipuan, yang tertipu orang-orang bodoh dengan dia:
Penipuan Pertama: bahwa ia melahirkan dengan kata-kata: bahwa maksudku masuk ketempat sultan-sultan itu, ialah memperbaiki mereka dengan nasehat. Kadang-kadang mereka serupakan kepada dirinya yang demikian itu.
Dan sesungguhnya yang menggerakkan mereka berbuat demikian, ialah nafsu keinginan yang tersembunyi untuk memperoleh kemasyhuran dan menghasilkan perkenalan bagi mereka.
Dan tanda kebenaran pada mencari perbaikan, ialah kalau dilaksanakan nasehat itu oleh orang lain, dari orang-orang yang menjadi temannya dalam ilmu pengetahuan dan mendapat sambutan serta menampak bekas- nya perbaikan, maka seyogialah ia bergembira dan bersyukur kepada Allah Ta'ala atas dapat terlaksananya dengan memuaskan usaha yang pen- ting tersebut, seperti orang yang harus mengobati orang sakit yang tak berkeluarga. Maka bangunlah orang lain mengobatinya, maka alangkah besar kegembiraannya.

Maka kalau ia menjumpai dalam hatinya untuk memperkuatkan perkataannya terhadap perkataan orang lain, maka dia itu tertipu. Penipuan Kedua: bahwa ia mendakwakan: sesungguhnya maksudku adalah menolong sesama muslim pada menolak kezaliman. Dan ini juga adalah tempat sangkaan penipuan. Dan ukurannya, adalah apa yang telah tersebut dahulu.

Dan apabila telah nyata jalan masuk kepada sultan-suitan itu, maka harus­lah kami gambarkan dalam hal-hal yang mendatang mengenai bercampur baur dengan sultan-sultan dan memegang harta-benda mereka, dengan be berapa masalah:

Suatu Masalah.
Apabila sultan mengirimkan kepada anda uang untuk dibagi-bagikan kepada fakir-miskin, maka kalau uang itu kepunyaan seorang pemilik ter­tentu, maka tidaklah halal mengambilnya. Dan kalau-tak ada pemiliknya yang tertentu, tetapi adalah hukumnya, wajib menyedekahkan kepada
223
orang-orang miskin, sebagaimana telah diterangkan dahulu, maka bolehlah anda mengambilnya dan mengurus pembagian itu. Dan tidaklah anda ma'shiat dengan mengambilnya.

Tetapi sebagian ulama melarang mengambilnya. Maka dalam hal ini, diperhatikan pada yang lebih utama. lalu kami jelaskan: bahwa yang lebih utama, ialah mengambilnya, jikalau anda merasa aman dari tiga godaan: Godaan Pertama: bahwa sultan itu menyangka dengan sebab anda ambil, bahwa hartanya itu baik. Dan jikalau tidaklah hartanya itu baik, tentu anda tidak akan mengulurkan tangan kepadanya. Dan tidak akan anda masukkan kedalam tanggungan anda.

Jikalau adalah demikian, maka jangantah anda ambil, karena yang demi­kian itu harus diawasi. Dan tiada sempurnalah kebajikan pada pelaksanaan anda, akan pembagian, dengan apa yang ada bagi anda, dari keberani- an diatas usaha harta yang haram.

Godaan Kedua: bahwa dipandang kepada anda oleh orang-orang lain, dari para ulama dan orang-orang bodoh, lalu mereka meyakininya halal. Maka diturutinya anda pada pengambilan itu. Dan mereka berdalilkan dengan yang demikian, kepada pemboiehannya. Kemudian, tidak mereka bagi-ba- gikan.

Maka yang kedua ini, adalah lebih berbahaya daripada yang pertama. Karena segolongan mereka mengambil dalil dengan diambil oleh Asy-Syaffi r.a. kepada bolehijya mengambil. Dan mereka lupakan tentang mem­bagi-bagikannya dan mengambilnya itu dengan niat untuk dibagi-bagikan. Maka orang yang mengikuti dan menyerupakan diri dengan yang tersebut, seyogialah menjaga dari ini dengan sebenar-benarnya. Karena perbuatannya adalah menjadi sebab kesesatan orang banyak. Wahab bin Munabbih menceriterakan, bahwa seorang laki-laki dibawa ke­pada seorang raja, dihadapan orang banyak, untuk dipaksakan memakan daging babi. Orang itu tidak mau makan. Lalu dibawa kehadapannya daging kambing dan dipaksakan memakannya dengan pedang, maka dia ti­dak juga mau makan. Lalu ditanyakan kepadanya, yang demikian itu. Ia menjawab: "Sesungguhnya manusia meyakini bahwa aku dipaksakan untuk memakan daging babi, maka apabila aku keluar dengan selamat dan aku telah makan, lalu mereka itu tidak mengetahui, apakah yang aku makan. Maka sesatlah mereka dengan yang demikian". Wahab bin Munabbih dan Thaus, masuk ketempat Muhammad bin Yusuf- saudara dari Al-Hajjaj. Dan Muhammad itu adalah pegawai. Dan berada pada pagi yang dingin ditempat yang terbuka. Lalu Muhammad berkata kepada bujangnya: "Bawalah kemari thailasan (baju hijau yang dipakai oleh orang-orang tertentu dan oleh para ulama) itu dan campakkanlah kepada Abu Abdurrahman!" Ya'ni: Thaus.

Dan Thaus itu duduk diatas kursi. Lalu dicampakkan baju tersebut kepa­danya. Maka ia senantiasa menggerak-gerakkan kedua bahunya, sehingga baju itu tercampak daripadanya; Lalu marahlah Muhammad bin Yusuf.
224
Maka berkatalah Wahab: "Tidak perlulah engkau memarahinya, jikalau engkau mengambil baju tersebut dan menyedekahkannya". Muhammad bin Yusuf menjawab: "Ya, kalaulah tidak akan dikatakan oleh orang-orang sesudahku, bahwa baju itu telah diambil oleh Thaus dan ia tidak memperbuat apa yang aku perbuat dengan baju tersebut, niscaya sungguh aku perbuat yang demikian".
Godaan Ketiga: bahwa tergerakkah hati engkau mencintainya, karena di-tentukannya engkau dan dipilihkannya engkau dengan apa yang dilaksana kannya untuk engkau.

Maka jikalau adalah seperti yang demikian, maka janganlah engkau terima! Karena yang demikian itu, adalah racun yang membunuh dan penyakit yang tersembunyi. Ya'ni: apa yang disukai oleh orang-orang zalim kepada engkau. Karena orang yang engkau kasihi, niscaya tak boleh tidak akan engkau berusaha dan berminyak air dengan dia. 'Ai'syah r.a, ber­kata: "Telah menjadi tabi'at bagi manusia, mengasihi orang yang berbuat baik kepadanya".
Dan Nabi s.a.w. berdo'a: "Wahai Allah. Tuhanku! Ja­nganlah engkau jadikan bagi orang zalim padaku tangannya, lalu ia dicintai oleh hatiku!" (1).
Nabi s.a.w, menerangkan, bahwa hati hampir tak dapat mencegah dari yang demikian.

Diriwayatkan, bahwa sebahagian amir mengirimkan kepada Malik bin Dinar uang sebanyak sepuluh ribu dirham. Lalu Malik mengeluarkannya semua- nya. Maka datanglah kepadanya Muhammad bin Wasi seraya berkata: "Apakah yang engkau perbuat, dengan apa yang diberikan kepada engkau oleh makhluk ini?"
Lalu Malik bin Dinar menjawab: 'Tanyakanlah kepada shahabat-shahabatku!"
Maka shahabat-shahabatnya menjawab: "Dikeluarkannya semuanya". Lalu Muhammad bin Wasi' menyambung: "Ditolongi oleh Allah kiranya engkau! Adakah hati engkau bertambah cinta kepadanya sekarang atau sebelum dikirimkannya uang kepada engkau?"
Malik bin Dinar menjawab: "Sebelumpya tidak, tetapi sekarang!" Muhammad bin Wasi' menyambung: "Sesungguhnya aku, adalah aku ta kutkan ini".
Dan memang benarlah dia. Karena apabila telah mencintainya, niscaya mencintai akan kekekalannya. Tidak menyukai ia tersingkir, mendapat bahaya dan meninggah Dan menyukai bertambah luas wilayahnya dan ba­nyak hartanya.
Dan semua itu, adalah cinta bagi sebab-sebab kezaliman. Dan itu, adalah tercela.
Salman r.a. dan Ibnu Mas'ud r.a* berkata: "Barangsiapa merelai sesuatu hal, walau ia tidak ada disitu, niscaya adalah ia seperti orang yang me-
1. Dirawikan Ibnu Mardawaih dari Katsir bin Athjyyah dan Abu Mansur Ad-Dailami dari . Mu'adz. Isnadnya dla'if.
225
nyaksikannya". Allah Ta'ala berfirman:
وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
(Wa Iaa tarkanuu ilaliadziina dhalamuu).
Artinya: "Dan janganlah kamu berpihak kepada orang-orang yang zalim!" - S. Hud, ayat 113. Ada yang mengatakan maksudnya: "Jangan kamu re la segala perbuatan mereka".

Maka jikalau engkau teguh pendirian, dimana tidak akan bertambah ke cintaanmu kepadanya dengan mengambil pemberiannya itu, maka tiada mengapalah mengambilnya.
Diceriterakan dari setengah orang-orang yang kuat beribadah di Basrah, bahwa ia mengambil harta-harta yang diberikan amir-amir itu dan dibagi bagikannya. Lalu orang bertanya kepadanya: "Apakah tidak engkau takut, bahwa engkau akan mencintainya?"
Lalu ia menjawab: "Jikalau seorang laki-Iaki mengambil tanganku dan dimasukkannya aku kedalam sorga, kemudian ia berbuat ma'shiat kepada Tuhannya, niscaya tidaklah dia akan dicintai oleh hatiku. Karena Tuhan yang memudahkannya untuk mengambil dengan tanganku, adalah Dia yang memarahinya karena yang tersebut sebagai tanda syukur bagiNya atas dimudahkanNya yang demikian".

Dengan ini jelaslah bahwa mengambil harta itu sekarang dari amir-amir, walaupun harta itu sendiri dari segi yang halal, adalah ditakuti dan dicela. Karena tidaklah terlepas dari godaan-godaan itu.

Suatu Masalah.

Kalau berkatalah orang berkata: "Apabila boleh mengambil hartanya dan membagi-bagikannya, maka adakah boleh mencuri hartanya itu? Atau me- nyembunyikan simpanannya dan dimungkiri simpanan tersebut dan dibagi- bagikan kepada orang banyak?"
Maka kami menjawab, bahwa yang demikian itu tidak boleh. Karena mungkin harta itu mempunyai pemilik tertentu dan amir itu bercita-cita mengembalikannya kepada pemtliknya, Dan tidaklah ini, seperti jikalau dikirimkannya kepadamu. Karena orang yang berakal, tidak akan menyangka, bahwa yang mengirimkan^itu akan bersedekah dengan harta, yang diketahuinya pemiliknya. Maka ditunjukkan oleh penyerahannya iiu, bahwa ia tidak mengenal pemiliknya.

Kalau ia sebagian dari orang yang menyulitkan kepadanya hal yang seperti itu, maka tiada boleh ia menerima harta dari orang itu, selama belum di- kenalnya yang demikian.
Kemudian, bagaimana ia mencuri dan mungkin miliknya itu diperolehnya
226
dengan pembelian secara dzimmah (tidak dengan harga tunai)? Karena tangannya (yang memegang barang itu) menunjukkan kepada miliknya. Maka tiada jalanlah kepada mencuri itu. Bahkan kalau diperolehnya ba­rang kececeran (luqthah) dan ternyata bahwa pemiiiknya seorang tentara dan mungkin barang iuqthah itu dimilikinya dengan pembelian secara dzimjnah atau cara Iain, niscaya wajiblah dikembalikan kepadanya. Jadi, tidak boleh mencuri harta mereka. Tidak boleh mencuri itu, baik dari amir-amir itu sendiri atau dari orang-orang yang disimpankannya pa­danya. Dan-tidak boleh memungkiri simpanan mereka. Dan wajiblah menghukum orang yang mencuri hartaNinereka, kecuali apabila pencuri itu menda'wakan, bahwa harta tersebut bukan milik amir-amir itu. Maka ketika itu, guguriah hukuman siksaan dengan dakwaan tadi.

Suatu Masalah.
Mengadakan mu'amaiah dengan mereka itu haram, karena kebanyakan harta mereka itu haram. Maka apa yang diambiikan sebagai 'iwadlnya, adalah haram.

Kalau harganya dibayar dari tempat yang diketahui halalnya, maka tinggallah memperhatikan tentang apa yang diserahkan kepada mereka. Ka­lau diketahui, bahwa mereka itu berbuat ma'shiat kepada Allah dengan barang itu, seperti menjual sutera kepada mereka dan diketahui, bahwa mereka akan memakai sutera itu, maka adalah yang demikian haram, se­perti menjual buah anggur kepada pembuat khamar. Hanya terdapat per- bedaan paham, tentang sahnya.

Dan jikalau mungkin yang tersebut tadi da^ mungkin pula akan dipakai sutera tersebut oleh isterinya, maka itu adalah syubhat yang makruh. Dan ini adalah mengenai harta yang diperbuat kema'shiatan pada benda dari harta itu sendiri. Dan searti dengan itu, menjual kuda kepada mereka, lebih-lebih pada waktu dikendarainya untuk memerangi kaum muslimin atau merampok harta mereka. Karena yang demikian itu, adalah meno- long mereka dengan kudanya. Dan itu adalah terlarang. Adapun menjual dirham dan dinar kepada mereka dan barang-barang yang seperti dirham dan dinar itu, dari benda-benda yang tidak dilakukan perbuatan ma'shiat pada benda itu, tetapi hanya yang menyampaikan kepada ma'shiat dengan dia, maka itu adalah makruh. Karena padanya menolong mereka kepada kezaliman. Karena mereka memperoleh perto- longan untuk kezalimannya dengan harta-harta, hewan-hewan dan sebab- sebab lainnya.

Dan kemakruhan tersebut berlaku pada menghadiahkan kepada mereka dan bekerja untuk mereka dengan tanpa upah. Sehingga pada mengajar- kan mereka dan mengajarkan anak-anaknya tulis-baca, membuat surat dan berhitung.
227
Adapun mengajari Al-Qur-an, maka tidaklah dimakruhkan, kecuali dari segi mengambil upahnya. Maka yang demikian itu adalah haram, kecuali dari segi yang diketahui halalnya.
Kalau diadakan perwakilan baginya, yang akan membeli dipasar-pasar de­ngan tanpa pembalasan atau upah, maka itu adalah makruh, dari segi memberi pertolongan –

Dan kalau dibeli untuk mereka akan sesuatu, yang diketahui bahwa mere­ka bermaksud dengan dia akan kema'shiatan, seperti budak, sutera untuk tikar dan pakaian, kuda untuk kenderaan kepada kezaliman dan pembu- nuhan, maka itu adalah haram.

Manakala telah jelas maksud ma'shiat dengan barang yang dibeli itu, nis­caya terjadilah pengharamannya, Dan manakala tidak jelas dan hanya mungkin menurut keadaan dan petunjuk keadaan, niscaya datanglah kemakruhannya.

Suatu Mas-alah.

Pasar-pasar yang dibangun dengan harta haram, maka haramlah berniaga padanya. Dan tak boleh menempatinya. Maka jika ditempati oleh seorang saudagar dan ia berusaha disitu dengan jalan yang sesuai dengan agama, niscaya tidaklah haram usahanya dan ia ma'shiat dengan menempatinya. Dan bagi orang banyak boleh membeli padanya. Tetapi kalau ada toko lain, maka yang lebih utama, ialah membeli pada toko yang lain itu. Kare­na yang demikian itu adalah menolong bagi tempat mereka dan memper banyakkan sewa toko-toko mereka.

Dan begitu pula bermu'amalah pada pasar yang tak ada pajak bagi amir- amir padanya, adalah lebih disunatkan daripada bermu'amalah pada pasar yang ada padanya pajak bagi amir-amir itu. Dan segolongan ulama adalah lebih bersangatan, sehingga mereka menjaga diri daripada bermu'amalah dengan petani-petani dan pemilik-pemilik tanah, yang ada padanya pajak bagi mereka. Karena kadang-kadang mereka serahkan apa yang diperolehnya kepada pajak cukai. Maka terjadilah pertolongan bagi amir-amir itu dengan yang demikian.
Dan ini, adalah terlalu berlebih-lebihan pada pemahaman agama. Dan menyukarkan bagi kaum muslimin. Karena pajak itu telah merata segala tanah dan manusia tidak terlepas dari menggunakan tanah. Dan tak ada arti untuk melarangnya. Dan kalau bolehlah pelarangan itu, niscaya haramlah atas sipemilik tanah itu menanami tanah, sehingga tidaklah dimintakan pajaknya. Dan yang demikian itu termasuk yang panjang pengu- raiannya. Dan membawa kepada menyumbat pintu kehidupan.
228

Suatu Masalah.
Bermu'amalah dengan qadli-qadli (hakim-hakim) dari amir-amir itu, de­ngan pegawai-pegawai dan pelayan-pelayan mereka, adalah haram, seperti bermu'amalah dengan mereka. Bahkan lebih sangat haramnya. Adapun qadli-qadli itu, adalah karena mereka mengambil dari harta-harta amir yang tegas haramnya, membanyakkan pengumpulan dan menipukan orang banyak dengan pakaian mereka. Karena mereka itu adalah dengan pakaian ulama, Mereka bercampur-baur dengan amir-amir dan mengambil dari harta mereka. Dan tabi'at manusia itu tertarik kepada menyerupakan dan mengikuti orang-orang yang mempunyai kemegahan dan keangkuhan. Maka mereka menjadi sebab patuhnya orang banyak kepada amir-amir itu.

Adapun pelayan-pelayan dan kaum keluarganya, maka kebanyakan harta mereka, adalah dari harta rampokan yang tegas. Dan tidak jatuh kedalam tangan mereka, harta kepentingan umum, harta warisan dan pajak dan ti­dak harta dari cara yang halal. Sehingga lemahlah ke-syubhatannya dengan bercampumya yang halal dengan harta mereka. Thaus berkata: "Tiada aku naik saksi terhadap apa yang ada pada mereka, walaupun aku yakin. Karena aku takut, akan mereka berbuat aniaya terhadap orang yang aku naik saksi kepadanya".

Kesimpulannya, sesungguhnya rusaklah rakyat dengan rusaknya raja-raja. Dan rusaklah raja-raja dengan rusaknya para ulama. Maka jikalau tidak­lah qadli-qadli yang jahat dan ulama-ulama yang jahat, niscaya sedikitlah kerusakan raja-raja, karena takut dari menentang mereka. Karena itulah, Nabi s.a.w. bersabda: "Senantiasalah umat itu dibawah rahmat dan tin- dungan Allah, selama para ahli qira-ahnya ti&ik menolong amir-amirnya" (1).

Dan sesungguhnya disebutkan para ahli qira-ah (al-qurra'), karena mereka itu adalah ulama. Dan pengetahuan mereka sesungguhnya, adalah tentang Al-Qur-an dan segala pengertiannya yang dipahami dengan Sunah Nabi s.a.w. Dan ilmu-ilmu yang lain dibalik itu, adalah yang datang sesudah mereka. Sufyan berkata: "Janganlah engkau bercampur dengan sultan dan jangan dengan orang yang bercampur dengan sultan". Dan berkata Sufyan: Yang punya pena, punya tinta, punya kertas dan pu- nya perekat, adalah berkongsi satu sama lain".

Dan sungguh benarlah Sufyan, karena Rasulu'llah s.a.w. mengutuk me­ngenai khamar, sepuluh golongan orang, sehingga yang memeras dan me­nerima perasan. (2).
Ibnu Maks'ud r.a. berkata: "Pemakan riba, yang mewakilkan, yang men-

1.     Dirawikan Abu 'Amr Ad-Dani dari Al-Hasan, hadits mursal. Dan dirawikan Ad-Daiiami dari 'Ali dan Ibnu 'Umar, isnadnya dla'if.
2.    Dirawikan At-Tirmidzi dari Anas. Katanya: hadits gharib.
229

jadi saksi dan penulisnya, adalah semuanya itu terkutuk menurut ucapan Muhammad s.a.w," (1).
Dan begitu pula yang diriwayatkan oleh Jabir dan Umar dari Rasulu'llah s.a.w. (2).

Ibnu Sirin berkata: "Janganlah engkau bawakan bagi sultan itu suatu buku sebelum engkau ketahui apa isinya". Sufyan r.a. menolak untuk memberi­kan kepada khalifah pada masanya tinta dihadapannya dan mengatakan: "Sebelum aku ketahui apa yang akan engkau tuliskan dengan tinta itu". Maka semua orang dikeliling sultan-sultan itu, dari pelayan-pelayan dan pengikut-pengikutnya, adalah orang-orang zalim seperti mereka, yang wa­jib dimarahi mereka semua, pada jalan Allah.

Diriwayatkan dari Usman bin Zaidah, bahwa ia ditanyakan oleh seorang tentara, dengan mengatakan: "Manakah jalan itu?" Mendengar pertanyaan itu, Usman berdiam diri dan menampakkannya se- bagai orang pekak. Ia takut tentara itu akan menuju kepada sesuatu perbu­atan kezaliman. Lalu dia dengan menunjukkan jalan itu. adalah yang me­nolong.

Bersangatan yang seperti ini, tidaklah dinuqilkan dari salaf serta orang- orang fasiq, dari saudagar-saudagar, tukang-tukang jahit, pembekam, penjaga tempat pemandian umum, tukang emas, tukang celup dan orang-orang yang mempunyai bermacam-macam perusahaan, serta banyaknya kebohongan dan kefasiqan pada mereka, bahkan serta orang-orang kafir dari orang-orang dzimmi (ahlu'dz-dzimmah).

Sesungguhnya ini adalah pada orang-orang zalim, yang khusus memakan harta anak-anak yatim, fakir-miskin dan selalu menyakiti kaum muslimin, yang bertolong-tolongan untuk menghapuskan tanda-tanda agama dan syi'arnya.

Dan ini adalah karena ma'shiat itu terbagi kepada: yang tetap dan yang menjalar. Dan fasiq itu tetap, tidak menjalar. Dan begitu pula kekafiran (kufur). Yaitu: penganiayaan terhadap hak Allah Ta'ala dan kiraannya ke- atas Allah.

Adapun ma'shiat dari wali-wali negeri dengan kezaliman, itu adalah men­jalar. Maka beratlah urusannya karena yang demikiata. Dan menurut kadar umumnya kezaliman dan meratanya pelanggaran hak itu, bertam- bahlah mereka dengan kutukan pada sisi Allah. Maka wajiblah bertambah kejauhan dari mereka dan penjagaan diri dari bergaul dengan mereka. Nabi s.a.w. bersabda: "Dikatakan bagi polisi: "Tinggalkanlah cemetimu dan masuklah keneraka!" (3).
Dan Nabi s.a.w. bersabda: "Setengah dari tanda kiamat, ialah laki-laki, yang bersama mereka cemeti, seperti ekor lembu". (4).

1.    Dirawikan Muslim.
2.    DirawikanMuslim.
3.    Dirmwikftft Abu YuTa dan Anas, dengan sanad dta'if.
4.     Dirawikan Ahmad dan Al-Hakim dari Abi Amamah dan katanya, shahih isnad.
230

Maka inilah hukum mereka itu! Dan barangsiapa dikenal dengan demi­kian dari mereka, maka sesungguhnya telah dikenaliah dia. Dan barangsi­apa yang tiada dikenal, maka tandanya, ialah baju panjang, panjang ku- mis dan bentuk-bentuk lain yang terkenal.

Maka orang yang terlihat dalam bentuk yang demikian itu, niscaya tentulah menjauhkannya. Dan bukanlah yang demikian itu, dari jahat sangka. Karena dia sendiri yang menganiaya dirinya, karena perpakaian dengan pakaian mereka. Dan persamaan pakaian, menun j ukkan kepada persamaan Rati. Dan tidak berbuat gila, kecuali orang gila. Dan tidak me- nyerupakan dengan orang-orang fasiq, melainkan orang fasiq. Ya, orang fasiq itu kadang-kadang meragukan, lalu menyerupai dengan orang-orang shalih.

Adapun orang shalih, maka tidaklah ia menyerupai dengan orang-orang buruk. Karena yang demikian itu adalah memperbanyakkan jumlah mere­ka. Sesungguhnya turun firman Allah Ta'ala:

(Innalladziina tawaffaahumul malaa-ikatu dhaalimii anfusihim). Artinya; "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat ketika me­reka menganiaya dirinya sendiri" - S. An-Nisa", ayat 97, adalah pada suatu kaum dari orang muslimin, dimana mereka itu membanyakkan kum- pulan orang-orang musyrik dengan bercampur-baur, Dan sesungguhnya di­riwayatkan, bahwa Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Yusya' bin Nun: "Sesungguhnya Aku membinasakan dari kaummu sebanyak empat- puluh ribu, dari orang baik-baik dan enampuluh ribu dari orang-orang jahat dari mereka". Lalu Yusya' bertanya: "Bagaimanakah halnya orang baik-baik itu?"

Maka Allah Ta'ala berfirman: "Mereka itu tidak marah karena marahKu. Adalah mereka makan bersama mereka dan minum bersama mereka". Dengan ini jelaslah, bahwa marah kepada orang-orang zalim dan marah karena Allah kepada mereka, adalah wajib.
Diriwayatkan Ibnu Mas'ud dari Nabi s.a.w.: "Bahwa Allah mengutuk ulama-ulama Bani Israil (ula- ma-ulama Yahudi), karena mereka itu bercampur-baur dengan orang-o­rang zalim, dalam kehidupan mereka" (1).
Tempat-tempat yang dibangun oleh orang-orang zalim, seperti jembatan- jembatan, surau-surau, masjid-masjid dan tempat-tempat persediaan mi- numan, maka seyogialah berhati-hati padanya dan diperhatikan. Adapun orang soleh tidaklah ia menyerupai orang orang buruk.kerana yang demikian itu adalah memperbanyakanjumlah mereka ,sessungguhnya turun firman Allah ta’ala
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri.Surah Annisa ayat 97.
Adalah pada satu kaum dari orang orang muslimin,dimana mereka memperbanyakkan kumpulan orang orang musyrik dengan bercampur baur.Dan sesungguhnya diriwayatkan bahawa Allah ta’Ala menurunkan wahyu kepada yusya bin nun, Sessungguhnya aku membinasakan dari kaumMu sebanyak empatpuluh ribu dari orang baik baik dan enampuluhribu dari orang jahat dari mereka. Lalu yusya bertanya:”Bagaimanakan halnya orang yang baik baik itu,Maka Allah ta’ala berfirman: “Mereka itu tidak marah kerana MarahKu. Adalah mereka makan bersama Mereka dan minum bersama Mereka” Dengan ini jelaslah bahawa marah kepada orang zalim dan marah kerana Allah kepada mereka adalah wajib. Diriwayatkan ibnu mas’ud dari Nabi s.a.w “ Bahawa Allah mengutuk ulama ulama bani israil(Ulama ulama yahudi) kerana mereka itu bercampur baur dengan orang orang zalim ,dalam kehidupan mereka”(1)

Suatu Masa alah

Tempat twempat yang dibangunkan oleh orang zalim , seperti jambatan,surau surau,masjid masjid,dan tempat tempat persediaan minuman maka haruslah berhati hati padanya dan diperhatikan.

1. Dirawikan Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas'ud.
231
 Adapun jembatan, maka bolehlah dilalui karena perlu. Dan yang wara, ialah men­jaga diri selama mungkin. Dan jikalau diperolehnya jalan yang berpaling dari jembatan itu, niscaya lebih kuatlah untuk berlaku wara1. Dan sesung­guhnya kami memperbolehkan melaluinya, walaupun ia dapat berpaling dari jembatan itu, karena apabila ia telah tahu pemilik dari barang-barang yang diperbuat untuk jembatan tadi, niscaya adalah hukumnya bahwa ba­rang-barang itu ditujukan bagi kebajikan. Dan ini adalah baik. Adapun apabila diketahuinya bahwa tanah bakar dan batu, adalah diambil dari rumah yang dikenal atau dari kuburan atau masjid tertentu, maka ini sekali-kali tiada halal melaluinya. Kecuali karena darurat yang menghalal- kan seperti yang demikian itu, dari harta orang lain. Kemudian, haruslah ia meminta kehalalan dari pemiliknya yang dikenalnya. Adapun masjid, maka kalau dibangun pada tanah yang dirampas atau de­ngan kayu yang dirampas dari masjid lain atau kepunyaan orang yang ter­tentu, maka tiada dibolehkan masuk kedalamnya sekali-kali dan tidak un­tuk shalat Jum'at. Bahkan kalau berdiri imam didalam masjid itu, maka hendaklah ia bershalat dibelakang imam dan hendaklah ia berdiri diluar masjid. Sesungguhnya shalat pada tanah yang dirampas adalah memadai bagi fardlu dan sah dalam hal mengikutkan imam tadi. Maka karena itu- lah kami perbolehkan bagi orang yang mengikuti, untuk mengikuti orang yang mengerjakan shalat pada tanah yang dirampas, walaupun yang me­ngerjakan shalat itu berbuat ma'shiat dengan berdiri pada tanah yang di­rampas.

Dan kalau masjid itu dari harta yang tidak dikenal pemiliknya, maka yang wara', ialah berpindah kemasjid yang lain, kalau ada. Kalau tidak diper­olehnya masjid lain, maka janganlah meninggalkan Jum'at dan jama'ah dimasjid itu. Karena mungkin masjid itu, sipemilik yang mendirikannya, walaupun secara pemikiran yang jauh. Dan jikalau masjid itu tidak mem­punyai pemilik yang tertentu, maka adalah untuk kemuslihatan kaum muslimin.

Manakala ada dalam masjid besar, bangunan bagi sultan yang zalim, maka tiada halangan bagi orang yang mengerjakan shalat didalamnya serta me- luasnya masjid. Ya'ni: tentang wara'nya.

Ditanyakan kepada Ahmad bin Hanbal: "Apakah alasan tuan, tidak kelu­ar kepada shalat dalam jama'ah dan kami di Al-'Askar?" Ahmad bin Hanbal menjawab: "Alasanku, ialah, bahwa Al-Hasan dan Ibrahim At-Taimi, keduanya takut difitnahkan oleh Al-Hajjaj dan akupun takut pula mendapat fitnah".
                                                                                                                                                                                         ^
Adapun pelicinan dan pengkapuran masjid, maka itu tidak dilarang un­tuk kemasjid. Karena hal itu tidak diambil kemanfa'atannya dalam shalat. Dan itu hanya hiasan belaka. Dan yang lebih utama, tidak dilihat kepada­nya.

232
Adapun tikar yang dibentangkan, maka ada pemiliknya yang tertentu, niscaya haram duduk padanya. Dan jikalau tidak ada pemiliknya yang ter­tentu, maka sesudah diperhatikan untuk kemuslihatan umum. niscaya bo- lehlah mengambilnya untuk tempat duduk. Tetapi yang wara’ adalah ber- paling daripadanya. Karena itu adalah tempat syubhat, Adapun tempat penyediaan minuman, maka hukumnya, ialah yang telah kami sebutkan dahulu. Dan tidaklah dari wara’ berwudlu’ meminum da­ripadanya dan masuk kepadanya. Kecuali apabila ia takut luput shalat, maka berwudlu'lah ia dengan air itu. Dan begitu pula tempat-tempat yang diperbuat bagi jalan Makkah.

Adapun surau-surau dan sckolah-sekolah, maka jikalau tanahnya tanah yang dirampas atau tanah-bakarnya dipindahkan dari suatu tempat terten­tu, yang mungkin dikembalikan kepada yang berhak, maka tidaklah diper- bolehkan masuk kedalamnya. Dan kalau sipemiliknya diragukan, maka di­perhatikan bagi segi kebajikan. Dan yang wara', ialah menjauhkannya. Tetapi tidaklah mesti menjadi fasiq dengan masuknya itu. Dan bangunan-bangunan tersebut jika diperhatikan dari usaha pelayan- pelayan sultan, maka persoalannya menjadi lebih berat lagi. Karena mere­ka tidak berhak menyerahkan harta-harta yang hilang dari pemiliknya, kepada kemuslihatan umum. Dan karena yang haram, adalah yang terbanyak dari harta mereka. Karena tak boleh mereka mengambil harta kepentingan umum, Dan yang demikian itu hanya diperbolehkan bagi wali-wali negeri dan orang-orang yang bertanggung-jawab.

Suatu Masalah.
Tanah yang dirampas, apabila dijadikan jateSh raya, niscaya tidak diperbo­lehkan sekali-kali melangkahinya. Dan kalau tidak mempunyai pemilik yang tertentu, niscaya diperbolehkan. Dan yang wara', ialah berpaling da­ri-padanya, kalau mungkin.

Kalau jalan raya itu jalan yang diperbolehkan dan diatas jalan tersebut ada atap, niscaya bolehlah dilalui Dan boiehlah duduk dibawah atap itu, dengan cara yang tidak memerlukan kepada atap itu, sebagaimana berdiri pada jalan besar, karena sesuatu urusan,

Apabila dipergunakan atap tadi untuk menolak panasnya matahari atau hujan atau lainnya, maka itu haram. Karena atap itu, tidaklah dimaksud- kan selain untuk yang demikian.
Dan begitulah hukum orang yang memasuki masjid atau tanah yang diper­bolehkan, yang diatapi atau dipagari dengan harta yang dirampas. Karena dengan semata-mata melangkah tidak adalah ia mengambil manfa'at de­ngan pagar dan atap itu. Kecuali mempunyai faedah pada dinding dan atap itu, karena panas atau dingin atau menutup dari penglihatan atau la­innya. Maka yang demikian itu adalah haram dari penglihatan atau lain­nya. Maka yang demikian itu adalah haram. Karena mengambil manfa'at
233
dengan yang haram. Karena tiadalah haram duduk diatas tanah yang di­rampas, karena ada padanya penyentuhan. Bahkan, karena kemanfa'atan­nya.
Dan tanah itu dikehendaki untuk ketetapan pa danya. Dan atap untuk bernaung dengan dia. Maka tiadalah p^rbedaan diantara keduanya. (1).

1. Pada halaman-halaman ini, pengarang "Ihya" AMmam Al-Ghazali, banyak memperkata kan halal dan haram tentang harta amir-amir dan sultan-sultan serta memperhubungkan- hya dengan kezaliman. Dan juga tentang mendatangi dan bergaul dengan mereka. Hal ini, menggambarkan tentang bagaimana situasi dan kondisi penguasa-penguasa dan pemerintahan-pemerintahan dalam negeri-negeri Islam waktu itu, sebagaimana dapat dipahami da­lam lembaran-lembaran sejarah dunia Islam ketika itu. Adapun sekarang, situasinya sudah lain. Karena demokrasi sudah berkembang dalam dunia Islam. (Pent.).
234

BAB KETUJUH: tentang mas-alah-mas-alah yang berserak-serak, yang banyak diperlukan kepadanya dan telah ditanyakan tentang masalah-masalah itu, mengenai fatwa-fatwa- nya.

Suatu Mas-alah.
Ditanyakan tentang pelayan orang shufi yang keluar kepasar dan mengumpulkan makanan atau uang. Dan dibelinya dengan itu makanan, Ma­ka siapakah yang menghalalkan baginya untuk memakan dari makanan itu? Adakah itu tertentu untuk orang shufi saja atau tidak? Maka aku menjawab: adapun orang shufi, maka taklah syubhat tentang hak mereka, apabila mereka memakannya. Dan adapun orang lain, maka halallah bagi mereka, apabila memakannya dengan kerelaan pelayan itu. Tetapi tidaklah terlepas dari syubhat. Adapun halal, maka karena apa yang diberikan kepada pelayan orang shufi tersebut, sesungguhnya diberi­kan, disebabkan orang shufi itu. Tetapi pelayan itu yang diberikan, bukan orang shufi. Maka pelayan itu, adalah seperti orang yang berkeluarga, yang diberikan disebabkan kekeluargaannya. Karena ia yang menanggung perbelanjaan mereka. Dan apa yang diambilnya, adalah menjadi miliknya, tidak menjadi milik keluarganya. Dan ia boleh memberikan untuk makan­an orang yang bukan keluarganya. Karena jauhlah untuk dikatakan, bah­wa harta itu tidak keluar dari kepunyaan sipemberi dan tiada berkuasa si- pelayan itu untuk membeli apa-apa dengan harta tersebut dan berbuat se­suatu dengan harta itu. Karena yang demikian itu menjadikan, bahwa be- ri-memberi (mu'athah)itu, tidak mencukupi.

Dan pendapat yang demikian, adalah lemah. Kemudian, tiada yang men- jadikan kepadanya mengenai sedekah dan hadiah. Dan jauhlah untuk di­katakan: hilanglah miliknya itu, berpindah kepada orang-orang shufi yang hadir, dimana mereka itu pada waktu dimintanya, berada pada tempat ibadah. Karena tidak ada khilaf ( perbedaan pendapat), bahwa pelayan itu, boleh memberikan makanan dari harta tersebut, kepada orang-orang yang datang sesudah orang-orang shufi tadi.
Dan jikalau meninggal semua orang shufi tadi atau seorang dari mereka, niscaya tiada wajib menyerahkan bahagiannya kepada ahli warisnya. Dan tidak mungkin untuk dikatakan, bahwa harta itu jatuh untuk pihak ta- sawwuf. Dan tiada tentu baginya yang berhak. Karena menghilangkan mi­lik kepada sesuatu segi, tidaklah mewajibkan pemberian kuasa bagi pero- rangan-perorangan kepada penggunaan harta itu. Karena orang-orang yang masuk dalam lingkungan harta tersebut, tidaklah terbatas jumlahnya. Bahkan masuk kedalamnya orang-orang yang akan lahir, sampai kepada hari kiamat.
Sesungguhnya yang mengurus mengenai harta tersebut, ialah orang-orang
235
yang berkuasa (wali-wali negeri). Dan pelayan itu tak boleh mengangkat pengganti (wakil) dari pihak manapun. Tak ada cara baginya, selain dikatakan, adalah ia yang memilikinya. Dan dia memberikan untuk makanan bagi orang-orang shufi, adalah dengan sempurnanya syarat tasawwuf dan kepribadiannya. Kalau pelayan itu tidak memberikan makanan kepada mereka dari harta tersebut, niscaya mereka melarang pelayan itu, dari­pada melahirkan dirinya, dalam kedudukan menanggung pelayanan kepa­da orang-orang shufi itu. Sehingga habislah pikulannya, sebagaimana ha- bisnya pikulan dari orang, yang telah meninggal keluarga yang menjadi tanggungannya.

Suatu Mas-alah.
Ditanyakan tentang harta yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi, maka siapakah yang boleh diserahkan harta itu kepadanya?
Maka aku menjawab: bahwa tasawwuf itu, adalah urusan batin, yang tak dapat dilihat dan tidak mungkin menentukan hukum tentang hakikatnya. Tetapi harus dengan hal-hal zahir, yang menjadi pegangan bagi orang-o­rang menurut kebiasaan, tentang meletakkan nama: orang shufi itu.

Ketentuan secara keseluruhan, ialah: bahwa tiap-tiap orang yang bersifat dengan suatu sifat, apabila mengambil tempat dalam tempat ibadah orang-orang shufi (khanaqah ash-shufiah), dimana menempatnya disitu dan bergaulnya dengan orang-orang shufi itu, tidak ditantang mereka, maka ma- suklah orang tersebut dalam kumpulan orang-orang shufi dimaksud Dan penguraiannya, ialah, bahwa diperhatikan pada orang itu, lima sifat: shalih, miskin, pakaian shufi, tidak mengerjakan sesuatu pekerjaan dan bercapur-baur dengan mereka dengan jalan tenang-tenteram dalam khana­qah (tempat peribadatan orang shufi). Kemudian sebahagian dari sifat-sifat ini, dengan hilangnya, maka haruslah hilang sebagai orang shufi. Dan sebahagiannya dapat tertampal dengan sebahagian yang lain, Sifat fasiq, mencegah berhaknya nama tersebut. Karena orang shufi itu pada umumnya, adalah ibarat seorang dari orang-orang shalih, dengan si­fat tertentu. Maka orang yang terang fasiqnya, walaupun ada dalam pa­kaian orang-orang shufi, maka tidaklah ia berhak akan apa yang diwasiat­kan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah kami memandang dalam hal ini, akan hal yang kecil-kecil.

Adapun perusahaan dan bekerja dengan sesuatu usaha adalah mencegah untuk berhak nama tersebut. Maka kepada sesuatu tempat, pekerja, sau- dagar, tukang pada tempat ia bekerja atau dirumahnya dan orang yang menjual tenaga yang melayani orang lain dengan mendapat upah, maka semua orang-orang tadi, tidaklah berhak terhadap apa yang diwasiatkan untuk orang-orang shufi. Dan tidaklah tertampal hal-hal yang tersebut tadi, dengan memakai pakaian orang shufi dan bercampur-baur dengan orang-orang shufi.

236
Adapun orang yang menjual kertas dan menjahit dan yang berdekatan de­ngan dua pekerjaan ini, dari pekerjaan-pekerjaan yang layak dikerjakan oleh orang-orang shufi, maka apabila dikeijakannya, tidak ditempat pe­kerjaan tersebut dan bukan dalam segi berusaha dan bekerja, maka yang demikian itu, tidaklah melarang berhaknya nama itu Dan adalah yang de­mikian tertampal dengan sebab tinggalnya bersama orang-orang shufi itu, serta dengan sifat-sifat yang lain.

Adapun sanggup bekerja secara tidak langsung, maka tidak mencegah akan berhaknya nama itu.
Adapun menjadi juru nasehat (tabligh)dan memberi pelajaran, maka tidaklah menidakkan nama tasawwuf, apabila terdapat sifat-sifat yang lain, dari pakaian, bertempat tinggal bersama orang-orang shufi dan kemiskin- an. Karena tidaklah bertentangan untuk dikatakan: seorang shufi yang ahli qira-ah, seorang shufi* yang menjadi juru nasehat, seorang shufi yang alim atau mengajar, Dan bertentangan bahwa dikatakan: seorang shufi yang menjadi kepala sesuatu daerah, seorang shufi yang menjadi saudagar dan seorang shufi yang membunuh.

Adapun kemiskinan, maka jikalau hilang kemiskinan itu, dengan kekayaan yang berlebih-Iebihan, dimana ia dikatakan mempunyai kekayaan yang nyata, maka tidaklah boleh bersama yang tadi itu, mengambil harta wasiat bagi orang-orang shufi.

Dan kalau ia mempunyai harta dan tidaklah mencukupi uang masuknya dengan uang keluamya, niscaya tidaklah batal haknya itu. Dan demikian pula, apabila ia mempunyai harta yang kurang daripada wajib zakat, walaupun ia tiada mempunyai pengeluaran.

Dan inilah hal-hal yang tiada dalil baginya, selain dari adat kebiasaan. Adapun bercampur-baur dengan orang-orang shufi dan bertempat tinggal bersama mereka, maka baginya bekas. Tetapi orang yang tidak bercam­pur-baur dengan mereka dan tetap berada dirumahnya atau dalam masjid dengan pakaian orang-orang shufi dan berakhlaq dengan akhlaq orang- orang shufi, maka ia adalah berserikat memperoleh bahagian orang-orang shufi, Dan meninggalkan bercampur-baur dengan mereka itu, dapat ditampal oleh selalu berpakaian dengan pakaian mereka. Dan kalau tidak berpakaian dengan pakaian mereka dan terdapat padanya sifat-sifat yang lain yang tersebut itu, maka tidaklah ia berhak nama tersebut, kecuali apabila ia menempati bersama orang-orang shufi itu disurau-surau. Maka tertariklah kepadanya, hukum orang-orang shufi dengan pengikutan. Bercampur-baur dan berpakaian dengan pakaian shufi, dapat ganti-menggantikan satu sama lain. Dan ahli fiqh (faqih) yang tidak berpakaian de­ngan pakaian orang-orang shufi, ini adalah dihitung menjadi orang shufi. Kalau ia keluar, niscaya tidaklah dihitung orang shufi. Dan kalau ia ber­tempat tinggal bersama mereka dan terdapat padanya sifat-sifat yang lain,
237
niscaya tidaklah jauh untuk ia ditarik dengan mengikutkan kepadanya hu­kum orang-orang shufi.
Adapun memakai kain yang berbagai warna dari tangan guru (syaikh) dari guru-guru mereka, maka tidaklah disyaratkan yang demikian itu untuk berhak bernama shufi. Dan tidak adanya itu, tidaklah mendatangkan me- larat baginya, serta adanya syarat-syarat yang tersebut dahulu. Adapun orang yang berkeluarga, yang bulak-balik antara surau dan tempat tinggalnya, maka tidaklah ia keluar dari jumlah mereka itu, dise­babkan yang demikian.

Suatu Mas-alah
Apa yang diwaqafkan kepada surau-surau orang shufi penghuni-penghuni- nya, maka persoalannya dalam hal ini adalah lebih luas dari apa yang di­wasiatkan kepada mereka. Karena pengertian waqaf, ialah penyerahan ke­pada kepentingan orang-orang shufi itu. Maka bagi orang yang bukan shu­fi, boleh memakan bersama mereka dengan kerelaan mereka, pada hidangan kaum shufi itu, sekali atau dua kali. Karena urusan makanan, dasarnya ialah tasamuh (toleransi, berma'af-ma'afan). Sehingga membolehkan sendirian dengan makanan-makanan itu pada barang-barang rampasan perang yang berkongsi. Dan bagi orang yang melagukan lagu-lagu orang shufi, boleh memakan bersama mereka dalam undangannya, dari harta waqaf itu. Dan adalah yang demikian tadi, termasuk sebahagian dari ke­pentingan kehidupan mereka. Dan apa yang diwasiatkan untuk orang shu­fi, tidaklah boleh diserahkan kepada orang-orang yang melagukan lagu- lagu orang shufi. Lain halnya dengan waqaf.

Dan begitu pula orang-orang yang didatangkan oleh kaum shufi, dari para pekerja, saudagar, qadli (hakim) dan ahli*ahli fiqh (fuqaha'), dari orang- orang, dimana bagi kaum shufi itu mempunyai maksud menarik hati mere­ka, maka halallah orang-orang itu memakan dengan relanya orang-orang shufi itu. Karena orang yang mewaqafkan itu, tidaklah mewaqafkan, kecu­ali dengan i'tiqad pada harta waqaf itu, apa yang berlaku padanya adat- kebiasaan orang-orang shufi. Maka ditempatkanlah yang demikian itu me­nurut kebiasaan yang terkenal ('uruf).

Tetapi tidaklah ini berlaku terus-menerus. Maka tidaklah boleh bagi orang yang bukan shufi, mendiami bersama mereka terus-menerus. Dan memakan bersama mereka, walaupun mereka rela yang demikian. Karena tidaklah mereka berhak mengobah syarat orang yang mewaqafkan, dengan mempersekutukan orang-orang yang tidak sejenis dengan orang- orang shufi itu.
238
Adapun ahli fiqh (faqih), apabila ia dengan pakaian dan budi-pekerti orang-orang shufi, maka bolehlah menempati bersama mereka. Dan ada­nya ia selaku seorang ahli fiqh, tidaklah menolak untuk ia menjadi seorang shufi. Dan kebodohan tidaklah menjadi syarat pada tashawwuf, pada orang yang mengenal tashawwuf. Dan tidak usah diperhatikan kepada khurafat-khurafat sebahagian orang-orang dungu, dengan kata mereka: bahwa pengetahuan itu adalah hijab (dinding). Karena kebodohanlah yang sebenarnya itu hijab bagi tashawwuf. Dan telah kami sebutkan dahulu penta'wilan perkataan ini pada "Kitab Ilmu". Dan sesungguhnya hijab itu, ialah ilmu yang tercela, bukan yang terpuji. Dan telah kami sebutkan da­hulu yang terpuji dan yang tercela dan uraian keduanya. Adapun ahli-fiqh itu, apabila ia tidak dengan pakaian dan budi-pekerti orang-orang shufi, maka bagi orang-orang shufi boleh melarangnya ber­tempat bersama mereka. Kalau mereka menyetujui ia bertempat ditempat orang-orang shufi itu, maka halallah ia memakan bersama mereka dengan jalan tabiyyah (mengikutkan kepada orang-orang shufi). Maka tidak ada- nya pakaian itu, ditampal oleh tinggal bersama. Dan tetapi dengan rela yang mempunyai pakaian (orang shufi) itu.

Intilah hal-hal yang dibuktikan oleh adat-kebiasaan. Dan padanya ada hal hal yang berlawanan, yang tidak tersembunyi tepi-tepinya, tentang negatifnya (nafi) dan positifnya (its-bat) dan yang keserupaan yang ditengah-te- ngahnya. Maka barangsiapa menjaga diri pada tempat-tempat yang keserupaan (meragukan) itu, niscaya terlepaslah ia dari kesalahan, demi untuk agamanya, sebagaimana telah kami peringatkan dahulu pada "bab- bab syubhat" itu.

Suatu Mas-alah.
Ditanyakan tentang perbedaan antara rasywah (sogok) dan hadiah, sedang masing-masing dari keduanya, adalah datang dari kerelaan hati dan tidak terlepas dari sesuatu maksud. Dan diharamkan yang satu (rasywah), se­dang yang lainnya (hadiah) tidak.

Aku menjawab, bahwa yang memberikan harta itu, tidaklah sekali-kali memberikannya, kecuali karena sesuatu maksud. Adakalanya maksud itu pada masa jauh yang akan datang, seperti: pahala. Dan adakalanya pada masa dekat yang segera. Dan yang dekat segera itu, adakalanya: harta. Adakalanya: perbuatan dan pertolongan kepada maksud tertentu. Adakalanya: pendekatan kepada hati orang yang dihadiahkan, dengan mencari kesayangannya. Adakalanya kepada kesayangan itu sendiri dan adakalanya untuk mencapai dengan kesayangan itu kepada sesuatu mak­sud dibelakangnya.

Maka bahagian-bahagian yang diperoleh dari ini, adalah lima: Pertama: sesuatu yang maksudnya adalah pahala diakhirat. Dan yang de­mikian itu, adakalanya ada, karena orang yang diserahkan itu memerlu kannya atau orang alim atau orang yang keturunan keagamaan atau orang
239
shalih yang beragama. Maka apa yang diketahui oleh yang menerima itu, bahwa orang memberikan kepadanya, karena ia memerlukan kepada ba- rang itu maka tidaklah halal ia mengambilnya, jikalau ia tidak memerlu- kannya. Dan apa yang diketahuinya, bahwa orang memberikan kepada­nya, karena kemuliaan keturunannya, maka tidak halal baginya, kalau ia mengetahui, bahwa ia berdusta tentang dakwaan kebangsawanannya itu. Dan apa yang diberikan orang kepadanya, karena pengetahuannya, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, kecuali ada ia dalam pengetahuan yang tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh yang memberikan. Kalau dia dikhayalkan mempunyai pengetahuan yang sempurna, sehingga mendorong yang demikian itu kepada orang untuk mendekatkan diri ke­padanya, sedang sebenarnya, ia tidak mempunyai pengetahuan yang sem­purna, niscaya tidak halal barang itu baginya.

Dan apa yang diberikan karena keagamaannya dan keshalihannya, maka tidak halal ia mengambil, kalau ia pada batinnya seorang yang fasiq, di­mana kalau tahulah yang memberi itu, niscaya tidak diberikannya. Dan sedikitlah adanya orang yang shalih, dimana kalau terbukalah batinnya, niscaya hati orang masih tetap condong kepadanya. Sesungguhnya dinding yang dianugerahi Allah yang maha cantik itu, adalah yang membawa ma­nusia berkasih-sayang sesama manusia. Dan adalah orang-orang wara', mewakilkan pada pembelian, orang yang tidak dikenal, bahwa orang itu adalah wakil orang-orang wara' tersebut. Sehingga orang-orang wara' tadi tidak bertoleransi (bertasamuh) tentang barang penjualan itu, karena di- kuatiri, yang demikian itu adalah membawa termakan agama. Maka se­sungguhnya yang demikian itu, adalah membahayakan. Taqwa itu adalah tersembunyi. Tidak seperti: pengetahuan, kebangsawan- an dan kemiskinan. Maka seyogialah menjauhkan diri daripada mengam­bil dengan sebab agama, selama mungkin.

Bahagian Kedua: apa yang dimaksudkan pada masa datang yang dekat, akan suatu maksud tertentu, seperti seorang miskin yang menghadiahkan sesuatu kepada orang kaya, karena mengharapkan pemberiannya yang le­bih besar. Maka ini adalah hibah (pemberian), dengan syarat pembalasan, yang tidak tersembunyi hukumnya. Dan sesungguhnya hibah tersebut itu halal, ketika disempurnakan dengan pembalasan yang diharapkan adanya dan ketika adanya syarat-syarat 'aqad (ikatan) itu.
Ketiga: bahwa adalah yang dimaksud, ialah pertolongan dengan perbuatan tertentu, seperti: orang yang memerlukan kepada sultan, lalu menghadiah­kan kepada wakil sultan, pembantu-pembantunya dan orang-orang yang mempunyai kedudukan disisinya.

Maka inilah hadiah dengan syarat pembalasan yang diketahui dengan pe- tunjuk keadaan. Maka hendaklah diperhatikan pada perbuatan itu, yang menjadi pembalasannya. Kalau perbuatan itu haram, seperti usaha pada pelaksanaan penganugerahan yang haram atau kezaliman terhadap seseo-
240

rang manusia atau perbuatan lainnya, niscaya haramlah mengambil barang hadiah itu.
Dan kalau perbuatan itu wajib, seperti penolakan kezaliman yang tertentu atas tiap-tiap orang yang menyanggupinya atau kesaksian yang tertentu, maka haramlah apa yang diambilnya. Dan itu adalah rasywah (sogok), yang tidak diragukan lagi pengharamannya.

Dan kalau perbuatan itu mubah (diperbolehkan), tidak wajib dan tidak haram dan pada perbuatan itu ada kepayahan, dimana, jikalau diketahui, niscaya boleh mengambil upah padanya, maka apa yang diambil itu adalah halal, manakala disempurnakan perbuatan itu dengan maksudnya. Dan itu berlaku seperti ongkos-ongkos tenaga - dari orang yang bekerja, seperti katanya: sampaikanlah ceritera ini ketangan si Anu atau ketangan sultan dan untukmu uang sedinar. Dan adalah perbuatan ini, dimana memerlu­kan kepada kepayahan dan perbuatan yang mempunyai nilai. Atau kata­nya: sarankanlah kepada si Anu, untuk menolong saya pada maksud itu atau ia mengurniakan kepadaku akan itu. Dan memerlukan pada pelaksa- naan maksudnya tadi, kepada panjang pembicaraan. Maka yang demikian itu, adalah ongkos dari tenaga yang diberikan, seperti apa yang diambil oleh wakil dari seseorang yang diperkarakan dihadapan hakim. Maka tidaklah yang demikian itu haram, apabila ia tidak berusaha pada yang ha­ram.

Dan kalau maksudnya itu berhasil dengan sepatah kata yang tak mema- yahkan, tetapi perkataan itu dari orang yang mempunyai kemegahan atau perbuatan itu dari orang yang mempunyai kemegahan, perbuatan mana yang mendatangkan faedah, seperti katanya kepada penjaga pintu: Jangan engkau kuncikan pintu sultan terhadap dia Atau seperti: diletakkannya ceritera itu dihadapan sultan saja. Maka ini adalah haram. Karena yang demikian itu, adalah 'iwadl (gantian) dari kemegahan. Dan tak ada pada agama yang membolehkan demikian, Bahkan ada dalil yang menunjukkan kepada larangan daripadanya, sebagaimana akan datang uraiannya menge­nai "hadiah raja-raja".

Dan apabila tidak diperbolehkan 'iwadl untuk menggugurkan syufah 1), pengembalian yang rusak, kemasukan ranting-ranting pohon kayu kedalam daerah tempat raja dan sejumlah dari maksud-maksud yang lain, sedang adanya semuanya itu menjadi maksud, maka bagaimanakah diam­bil yang demikian itu dari kemegahan?
Dan mendekati dengan yang tersebut ini, tentang dokter yang mengambil *iwadl terhadap sepatah kata, yang diberikannya dengan kata-kata itu me­ngenai obat, dimana ia sendiri saja yang mengetahuinya. Seperti seorang yang hanya dia sendiri yang tahu tentang pengetahuan-, mengenai tumbuh- tumbuhan yang dapat mencabut bawasir atau lainnya. Lalu ia tidak mau
1. Syufah, ialah: hak bagi tetangga mcmbeli barang tidak bergerak yang dijual oleh tetang- ganya dengan menggantikan harga kepada yang sudah membelinya. (Pent.)
241
menyebutkannya, selain dengan Mwadl (sebagai gantian dari apa yang te­lah diberikannya itu). Maka perbuatannya dengan mengeluarkan kata-kata itu, adalah tidak berharga, seperti sebiji kacang. Maka tidak boleh me­ngambil 'iwadl dari padanya dan tidak terhadap ilmunya. Karena tidaklah ilmunya itu, berpindah kepada orang lain. Dan sesungguhnya berhasil bagi orang lain seperti ilmunya itu, sedang ia sendiri tetap mengetahui ilmu yang tersebut tadi.

Dan tidaklah seperti itu, orang yang ahli tentang membuat sesuatu, seper­ti: ahli menajamkan pedang umpamanya, yang sanggup menghilangkan kebengkokan pedang atau kaca dengan waktu sedetik saja, karena menge­tahui betul tempat kerusakannya dan karena ahli membetulkannya. Maka kadang-kadang bertambah dalam waktu sedetik saja, harta banyak menge- nai nilai pedang dan kaca. Maka tentang ini, saya berpendapat, tiada me- ngapa mengambil ongkosnya. Karena perusahaan yang seperti ini, mema- yahkan seseorang dalam mempelajarinya, untuk dapat berusaha dengan perusahaan tersebut. Dan untuk meringankan daripadanya kebanyakan perbuatan.

Keempat: ialah: yang dimaksudkan dengan pemberian itu, kasih sayang dan memperolehnya kasih-sayang itu dari pihak orang yang dihadiahkan. Bukan karena sesuatu maksud tertentu tetapi karena mencari kejinakkan hati, keteguhan persahabatan dan kesayangan pada hati. Maka yang demikian itu, adalah menjadi maksud bagi orang-orang yang berpikiran tinggi. Dan disunatkan yang demikian itu pada agama.
Nabi s.a.w. bersabda:
تهادوا تحابوا
(Tahaadau tahaabbuu).
Artinya: "Hadiah-berhadiahlah, supaya kamu kasih-mengasihi". (1). Kesimpulannya, tidaklah pula manusia itu menurut kebiasaannya, bermak­sud menyayangi orang lain, karena kesayangan itu sendiri. Tetapi adalah karena sesuatu faedah dari kesayangan itu. Akan tetapi apabila faedah itu tidak menentu dan tidak tergambar pada dirinya, maksud tertentu itu yang menggerakkannya untuk masa sekarang atau masa yang akan datang, maka dinamakanlah yang demikian itu hadiah dan halallah mengambilnya. Kelima: bahwa dicarinya kedekatan kehati orang yang diberikan itu dan memperoleh kesayangannya. Dan bukanlah untuk kesayangan dan kejinakan hati, dari segi kejinakan hati itu saja, tetapi adalah untuk ia -- sampaikan dengan kemegahan orang yang diberikan itu, kepada maksud- maksudnya yang terhingga jenisnya, walaupun tidak terhingga barangnya. Dan adalah, jikalau tidaklah kemegahan dan kelebihannya itu, niscaya
Dirawikan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah. Dan dipandang dla'if oleh Ibnu 'Uda.
242
tidaklah akan dihadiahkan kepadanya.
Kalau ada kemegahannya itu karena ilmu pengetahuan atau kebangsawan- an, maka persoalannya adalah lebih ringan dan mengambilnya adalah makruh* Karena padanya menyerupai rasywah, tetapi pada zahimya ada­lah hadiah.

Kalau kemegahannya itu disebabkan pemerintahan yang dipegangnya, dari kehakiman atau jabatan atau urusan sedekah (zakat) atau pemungutan harta atau lainya, dari tugas-tugas kerajaan, sampai urusan harta waqaf umpamanya dan jikalau tidaklah tugas tersebut, niscaya tidak akan dihadi­ahkan kepadanya, maka ini adalah rasywah, dikemukakan dalam bentuk hadiah. Karena maksudnya yang sekarang, ialah mencari kedekatan dan mengusahakan kesayangan. Tetapi bagi sesuatu hal yang terbatas jenisnya. Karena apa yang memungkinkan sampai kepadanya dengan pemerintahan, adalah tidak tersembunyi. Dan tanda bahwa ia tidak mencari kesayangan itu semata, ialah kalau memerintahlah sekarang orang lain, niscaya akan diserahkannya harta itu kepada orang lain yang tersebut. Maka ini adalah termasuk sebahagian dari apa yang disepakati para ula­ma, bahwa ketnakruhan padanya itu adalah safigat keras. Dan mereka berbeda pendapat tentang haramnya dan pengertian mengenainya adalah bertentangan. Karena berkisar diantara hadiah semata dan rasywah yang diberikan sebagai timbalan kemegahan semata pada suatu maksud tertentu.

Dan apabila bertentangan keserupaan secara qias dan dibantu oleh hadits dan atsar, salah satu dari yang dua keserupaan itu, niscaya tertentulah ke- condongan kepada yang satu itu. Dan hadits-hadits telah menunjukkan kepada mengeraskan urusan tentang itu. Nabi s.a.w. bersabda: "Akan da­tang kepada manusia suatu zaman, yang dihalalkan padanya yang haram (as-suht) dengan diberikan hadiah, dihaialkan pembunuhan dengan menmberi pengajaran (nasehat), dimana orang yang tak bersalah dibunuh, un­tuk menjadi pengajaran bagi orang awam" (1).

Ditanyakan Ibnu Mas'ud r.a tentang "as-suht" tadi, lalu beliau menjawab: "Dilaksanakan oleh seseorang akan suatu hajat keperluan, lalu dihadiah­kan kepadanya sesuatu hadiah".

Semoga yang dimaksudkan oleh Ibnu Mashud r.a. tadi, ialah pelaksanaan hajat tersebut, dengan sepatah kata yang tak payah mengatakannya. Atau yang melaksanakan hajat itu, berbuat tabarru' (ber'amal). Tidak bermak- sud kepada ongkos. Maka tidak boleh mengambil sesuatu sesudahnya, da­lam bidang 'iwadl.

Masruq telah memberikan sesuatu pertolongan, lalu orang yang ditolong itu menghadiahkan seorang budak wanita kepada Masruq. Maka marahlah beliau dan mengembalikan budak wanita tersebut, seraya berkata: "Kalau tahulah aku apa yang dalam hatimu, niscaya tidaklah aku memperkatakan tentang hajatmu itu dan tidak akan aku memperkatakan tentang apa yang
1. Menurut Al-Iraqi, ia tidak menjumpai hadits ini.
243
masih tinggal daripadanya".
Ditanyakan Thaus tentang hadiah-hadiah sultan, maka beliau menjawab: "Haram!"
Umar r.a. mengambil keuntungan dari harta yang dijadikan modal untuk mencari keuntungan, yang diambil oleh kedua orang puteranya dari Bai­tul-mal, seraya berkata: "Sesungguhnya diberikan harta Baitul-mal kepada kamu berdua, karena kedudukanmu dari aku". Karena Umar r.a tahu, bahwa harta Baitul-mal itu diberikan kepada keduanya karena kemegahan Umar yang memegang pemerintahan sebagai Khalifah. Isteri Abi 'Ubaidah bin Al-Jarrah menghadiahkan kepada Khatun ratu negeri Rum- semacam bau-bauan (khaluq). Lalu ratu itu membalasinya dengan suatu permata. Lalu permata itu diambil oleh Umar r.a. Maka dijualnya dan di- berikannya kepada isteri Abi 'Ubaidah sebanyak harga khaluq dan sisanya diserahkannya kekas harta kaum muslimin (Baitul-mal). Berkata Jabir r.a. dan Abu Hurairah r.a.: "Hadiah raja-raja itu adalah rantai". Sewaktu Umar bin Abdul-a'zis mengembalikan hadiah orang, lalu dikatakan kepada beliau: Adalah Rasulu'llah s.a.w. menerima hadiah" (1), maka beliau menjawab: "Adalah itu hadiah untuk Rasulu'llah s.a.w. dan untuk kita itu adalah rasywah". Artinya: "Adalah orang yang membe­rikan itu mendekatkan dirinya kepada Nabi s.a.w. karena kenabiannya, ti­dak karena pemerintahannya. Dan kita ini diberikan, karena pemerintah­an ditangan kita".

Dan yang lebih besar dari itu semuanya, ialah apa yang dirawikan Abu Hamid As-Sa'idi: "Bahwa Rasulu'llah s.a.w. mengutus seorang wali negeri untuk mengiimpulkan zakat di Al-Azd. Tatkala ia datang kepada Rasulu'­llah s.a.w. lalu ia menahan sebahagian apa yang ada padanya, seraya ber­kata: "Ini adalah untukmu dan ini adalah untukku sebagai. hadiah". Maka Nabi s.a.w. menjawab: "Adakah engkau duduk dirumah ayahmu dan dirumah ibumu, lalu datang kepadamu hadiah bagimu, kalau engkau benar? Kemudian Nabi s.a.w. menyambung lagi: "Tiadalah aku akan memakai lagi orang yang sepertimu ini, dimana ia mengatakan: "Ini ada­lah untukmu dan ini adalah hadiah bagiku". Adakah ia duduk dirumah ibunya, supaya orang memberikan hadiah kepadanya? Demi Allah, yang jiwaku didalam kekuasaanNya! Tidaklah diambil oleh seseorang kamu se­suatu yang bukan haknya, melainkan ia akan datang kepada Allah mem- bawakan sesuatu itu kepadaNya. Maka tidaklah seseorang kamu datang pada hari kiamat dengan membawa unta yang meringkik atau lembu yang melenguh atau kambing yang mengembek" Kemudian-Rasulu'llah s.a.w^ i mengangkatkan kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ke- tiaknya. Kemudian Nabi s.a.w. mendo'a: "Wahai Allah Tuhanku! Adakah sudah aku menyampaikannya?" (2).

1.      Dirawikan Al-Bukhari dari 'Aisyah.
2.      Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim.
244
Apabila telah tegas segala peringatan yang keras ini, maka bagi qadli (hakim) dan wali negeri, seyogialah mengumpamakan dirinya dirumah ibunya dan bapaknya. Maka apa yang diberikan kepadanya sesudah ber- henti dan dia berada dirumah ibunya, niscaya bolehlah ia mengambilnya dalam masa pemerintahannya, Dan apa yang diketahuinya, bahwa diberikan karena pemerintahannya semata, maka haramlah mengambilnya. Dan apa yang menyulitkan kepadanya tentang hadiah dari teman-temannya, apakah mereka itu akan memberikannya, jikalau ia sudah diberhentikan dari jabatannya, maka itu adalah syubhat. Maka hendaklah ia menjauh- kannya!
Telah tammat "Kitab Tentang Halal Dan Haram" dengan pujian kepada Allah dan nikmat serta kebaikan taufiqNya.
Wa'llahu A'lam! Allah Yang Mahatahu!
245

Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...