Adab Tilawah Alquran
كتاب آداب تلاوة القرآن
وهو الكتاب الثامن
من ربع العبادات
بسم الله
الرحمن الرحيم
KITAB ADAB TILAWAH AL-QURAN.
Segala pujian bagi Allah yang telah
meanugerahkan keni'm itan kepada segala hambaNya, dengan NabiNya صلى الله عليه وسلم yang
diutuskan dan KitabNya yang
diturunkan—yang tak datang kepadanya batil dari pihakNya dan dari pihak
makhlukNya-turun dari Yang Mahabijaksana dan Maha terpuji—sehingga meluaslah
kepada ahli pikir, jalan ibarat, dengan apa yang didalamnya, dari segala
ceritera dan berita. Dan teranglah dengan dia jalan bagi perjalanan yang benar
dan lurus, dengan apa yang diuraikan didalamnya, dari hukum-hukum. Dan Kitab
itu memisahkan antara halal dan haram. Maka dia adalah terang-benderang dan
nur. Dengan dia terlepas dari tipuan dan padanya obat untuk apa yang didalam
dada. Barangsiapa menyalahinya dari orang-orang yang *kasar, niscaya
dibinasakan oleh Allah. Dan barangsiapa menuntut ilmu pada lainnya niscaya
disesatkan oleh Allah. Al-Qur'an itulah tali Allah yang kokoh dan nurNya yang
nyata, talinya yang kuat dan perpegangan yang sempurna. Dia itu meliputi dengan
yang sedikit dan yang banyak, yang kecil dan yang besar, tidak akan habis-habis
keajaibannya, tidak akan berkesudahan keganjilannya. Tidak diliputi oleh
pembatasan dengan segala faedahnya pada ahli ilmu pengetahuan. Dan ia tidak
diburukan oleh banyak ulangan pada ahli tilawah. Al-Qur'anlah yang memberi
petunjuk akan orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian.
Dan tatkala Al-Qur'an itu didengar oleh
jin, lalu senantiasalah mereka: menoleh kepada kaumnya, memberi peringatan.
Maka berkatalah mereka:
إنا سمعنا قرآنا
عجبا يهدي إلى الرشد فآمنا به ولن نشرك بربنا أحدا
(Innaa sami'naa qur-aanan 'ajaban
yahdii ilar-rusydi fa-aamannaa bihi wa lan nusyrika birabbinaa ahadaa).Artinya:
"Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Qur'an yang mena'jubkan, memberi
petunjuk kepada kebenaran, lalu kami beriman dengan dia dan tidak kami
mempersekutukan Tuhan kami dengan seseorang" (1).(1.Surah Al Jih ayat
1-2)
Maka tiap-tiap orang yang beriman
kepadanya, niscaya memperoleh taufiq dan barangsiapa berkata-kata dengan
Al-Qur'an maka benarlah dia. Dan barangsiapa berpegang teguh dengan Al-Quran,
maka ia memperoleh petunjuk dan barangsiapa berbuat sepanjang Al-Quran maka ia
memperoleh kemenangan.
Berfirman Allah Ta'ala:
إنا نحن نزلنا
الذكر وإنا له لحافظون
(Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa
innaalahu lahaafidhuun). Artinya: "Sesungguhnya Kami menurunkan Peringatan
(Al-Qur'an) itu dan sesungguhnya Kami Penjaganya". (S. Al-Hijr, ayat 9).
Sebagian dari sebab-sebab penjagaannya (penghafalannya) didalam hati dan
mashhaf-mashhaf, ialah berkekalan membacanya dan rajin memperlajarinya, serta
melaksanakan adab-adab dan syarat-syaratnya. Dan menjaga apa yang didalamnya
dari segala amalan batin dan adab dhahir.
Yang demikian itu, tak boleh tidak
daripada penjelasan dan penguraian. Dan terbukalah segala maksudnya itu dalam
empat bab: Bab Pertama : tentang kelebihan Al-Qur'an dan ahli Al-Qur'an. Bab
Kedua : tentang adab tilawah pada dhahir. Bab Ketiga : tentang amalan-amalan
batin ketika tilawah. Bab Keempat: tentang pemahaman dan penafsiran Al-Qur'an
dengan pendapat pikiran dan lainnya.
BAB
PERTAMA:tentang kelebihan Al-Qur'an dan ahlul-Qur-an dan pencelaan terhadap
orang-orang yang teledor(Lalai) pada tilawahnya.
KELEBIHAN
AL-QURAN.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Barang
siapa membaca Al-Qur'an, kemudian ia melihat bahwa ada seseorang yang
diberikan, lebih utama daripada yang diberikan kepadanya, maka sesungguhnya ia
telah mengecilkan apa yang diagungkan oleh Allah Ta'ala" (1).
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم Tiadalah
diantara yang memberi syafa'at, yang lebih utama kedudukannya pada Allah
Ta'ala, dari pada Al-Qur'an. Tidak nabi, tidak malaikat dan tidak
lainnya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Kalau adalah Al-Qur'an itu dalam
kulit yang tidak disamak (ihaab), niscaya dia tidak disentuhkan api".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Yang
terutama ibadah umatku, ialah tilawah Al-Qur'an".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
pula:
"Sesungguhnya Allah 'Azza Wa Jalla membaca surat Thaha dan surat ya-sin sebelum
la menjadikan makhluk seribu tahun. Maka tatkala para malaikat mendengar
Al-Qur'an, lalu mengatakan: "Berbahagialah umat yang diturunkan ini kepada
mereka! Berbahagialah hati yang menghafalkan ini! Berbahagialah lidah yang
menuturkan dengan ini!"
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Yang terbaik
kamu, ialah barangsiapa yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Berfirman Allah Yang Mahasuci dan
Mahatinggi: "Barangsiapa menggunakan waktunya untuk membaca Al-Qur'an,
daripada berdo'a dan meminta kepadaKu, niscaya Aku berikan kepadanya, pahala
yang lebih utama bagi orang-orang yang bersyukur".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم'Tiga golongan pada hari kiamat diatas
bukit kecil dari kesturi hitam, tiada menyusahkan mereka oleh kegundahan dan
tiada menimpa akan mereka oleh hisab amalan, sehingga diselesaikan apa yang
diantara manusia: orang yang membaca Al-Qur'an, karena mengharap wajah Allah
'Azza wa Jalla dan orang yang mengimami suatu kaum dan kaum itu suka
kepadanya" (2).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Ahlu'l-Quran, ialah ahlu'llah dan
orang-orang yang dikhususkan olehNya" (3).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bahwa hati itu berkarat, seperti
berkaratnya besi".
1.Dirawikan At
Thabrani dari Abdullah bin Amr dengan isnad daif
|
2.Hadis ini telah
diterangkan dahulu Pada “Fadhilat Azan” Di situ disebutkan tiga golongan itu
|
3.Dirawikan AnNasai
dan Lain lain dari Anas dengan isnad hassan menurut ittihaf syarah Ihya
bahawa yang dimaksudkan dengan Ahlul-Quran ialah penghafal penghafal Alquran
yang selalu membacanya dengan mengamalkan isinya(pent)
|
Lalu orang bertanya:"Wahai
Rasulullah! Bagaimanakah membersihkannya?" Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم "Membaca Al-Qur'an dan mengingati
mati".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Lebih
bersangatanlah perhatian Allah kepada pembaca Al-Qur'an, daripada orang yang
mempunyai penyanyi kepada penyanyinya"*
Menurut atsar,
diantara lain: berkat Abu Umamah Al-Bahili: "Bacalah Al-Qur'an dan
janganlah tertipu kamu oleh mashhaf-mashhaf yang bergantungan ini. Sesungguhnya
Allah Ta'ala tiada mengazabkan hati, yang menjadi karung Al-Quran".
Berkata
Ibnu Mas'ud: "Apabila kamu
menghendaki ilmu pengetahuan, maka bacalah Al-Quran! Sesungguhnya dalam
Al-Qur'an itu ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian".
Berkata Ibnu Mas'ud
pula: "Bacalah Al-Qur'an! Sesungguhnya kamu
diberikan pahala dengan tiap-tiap huruf daripadanya sepuluh kebaikan.
Sesungguhnya aku tiada mengatakan satu huruf itu alif-Iam-mim, tetapi alif satu
huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf'.
Berkata
Ibnu Mas'ud pula: "Tidaklah bertanya seseorang kamu tentang dirinya, melainkan
tentang Al-Qur'an. Kalau ia mencintai dan mena'jubkannya akan Al-Qur'an, maka
dia mcncintai akan Allah s.w.t. dan RasulNya صلى الله عليه وسلم. Kalau ia memarahi akan Al-Qur'an, maka dia itu memarahi akan Allah
s.w.t. dan RasulNya".
Berkata
Amru'bnu'l-'Ash: "Tiap-tiap ayat dalam Al-Qur'an
adalah satu derajat dalam sorga dan satu lampu dalam rumahmu". Berkata
'Amru'bnu'I-Ash pula: "Barangsiapa membaca
Al-Quran, niscaya masuklah kenabian (nubuwwah) diantara kedua lembungnya. Hanya
tidak diturunkan wahyu kepadanya".
Berkata Abu Hurairah: "Sesungguhnya rumah yang dibacakan padanya Al-Quran, niscaya
lapanglah penghuni rumah itu, banyaklah kebajikannya, datanglah kepadanya
malaikat dan keluarlah daripadanya setan-setan.
Dan sesungguhnya rumah yang tidak dibacakan padanya Kitabu'llah 'Azza wa Jalla,
niscaya sempitlah penghuninya, sedikitlah kebajikannya, keluarlah daripadanya
malaikat dan datanglah kepadanya setan-setan".
Berkata Ahmad bin
Hanbal: "Aku bermimpi Allah 'Azza wa Jalla didalam tidur, maka
aku bertanya: "Wahai Tuhanku! Apakah yang lebih utama, yang didekati
dengan itu oleh orang-orang yang mendekati (al-mutaqarribun) kepadaMu? Menjawab
Allah 'Azza wa Jalla: "Dengan KalamKu (perkataan Ku), wahai Ahmad!"
Berkata Ahmad bin Hanbal: "Lalu aku bertanya: "Wahai Tuhanku, dengan
mengerti atau tanpa mengerti?"Menjawab Allah 'Azza wa Jalla: "Dengan
mengerti atau tanpa mengerti!"
Berkata Muhammad bin Ka'b Al-Qardhi:
"Apabila manusia mendengar Al-Quran daripada Allah 'Azza wa Jalla pada
hari kiamat, maka seakan-akan mereka itu belum pernah sekali-kali
mendengarnya".Berkata Al-Fudlail bin 'Iyadh: "Seyogialah bagi seorang
pembawa Al-Qur'an, bahwa tak ada keperluannya kepada seseorang dan kepada khalifah-khalifah
dan orang-orang yangdibawahnya.Maka seyogialah hajat keperluan manusia ramai
ada padanya". Berkata Al-Fudlail pula: "Pembawa AJ-Quran, ialah
pembawa bendera Islam. Maka tidak wajarlah ia bcrsenda-gurau bersama orang yang
bersenda-gurau, tidaklah ia lupa bersama orang yang lupa dan tidaklah ia
berbuat yang sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, karena mengagungkan
hak Al-Qur'an".
Berkata Sufyan
Ats-Tsuri: "Apabila seseorang membaca Al-Qur'an, niscaya meiaikat
mencium diantara dua matanya". Berkata 'Amr bin Maimun: "Barangsiapa
membaca mashhaf (Al-Qur'an), ketika bershalat Shubuh, lalu membaca daripadanya
seratus ayat, niscaya ia ditinggikan oleh AUah 'Azza wa Jalla seperti amal seluruh
penduduk dunia". Dan diriwayatkan; "Bahwa Khalid bin 'Uqbah datang
kepada Rasulu'llah صلى الله عليه
وسلم., seraya berkata: "Bacakanlah kepadaku Al-Quran!"
Lalu Nabi صلى الله عليه
وسلم membacakan
kepadanya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى
(I'nna'llaha ya' muru bi'l-'adli
wa'l-ihsaani wa iitaa-i dzi'l-qurbaa.) - S. An-Nahl, ayat 90.
Artinya: "Sesungguhnya Allah
memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada
kerabat-kerabat". Lalu Khalid berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم "Ulangilah!" Maka Nabi صلى الله عليه وسلم mengulanginya.
Kemudian berkata Khalid: "Demi Allah sesungguhnya Al-Qur'an itu
mempunyai kemanisan, padanya kecantikan, bawahnya berdaun dan atasnya berbuah
dan tidaklah ini dikatakan oleh manusia" (1)
Berkata Al-Hasan:
"Demi Allah.tidaklah selain dari Al-Quran yang kaya dan tidaklah
sesudahnya yang diatas". Berkata Al-Fudlail: "Barangsiapa membaca
akhir surat Al-Hasyr ketika pagi-pagi hari, kemudian ia meninggal pada hari itu,
niscaya dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid. Dan barangsiapa
membacanya ketika sore-sore hari, kemudian ia meninggal pada malamnya niscaya
dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid".
Berkata Al-Qasim bin
Aburrahman: "Aku bertanya kepada sebahagian orang-orang yang kuat
beribadah: "Tiadakah disini seseorang yang dapat menjadi teman
rapat?" Lalu orang tadi mengambil Al-mashhaf dan meletakkan diatas
pangkuannya, seraya berkata: "Ini!" Berkata Ali bin Abi Thalib r.a.: "Tiga
perkara menambahkan pemeliharaan badan dan menghilangkan dahak: bersugi,
berpuasa dan membaca Al-Qur'an".
1.Dirawikan
AlBaiHaqi Dari ibnu Abbas dengan Sanad Baik
|
TENTANG: celaan
tilawah orang-orang yang lalai.
Berkata Anas bin
Malik: "Banyaklah pembaca Al-Qur'an dan Al-Qur'an itu
mengutuknya". Berkata Maisarah: "Yang asing itu, ialah Al-Qur'an pada
mulut orang zalim".
Berkata Abu Sulaiman
Ad-Darani: "Malaikat Zabaniah itu lebih cepat kepada para pembawa
Al-Qur'an yang mendurhakai Allah 'Azza wa Jalla, daripada para penyembah
berhala, ketika mereka itu mendurhakai Allah s.w.t. sesudah membaca
Al-Qur'an".
Berkata sebahagian
ulama: "Apabila seorang anak Adam membaca Al-Qur'an, kemudian
mencampurkannya dengan perkataan Iain, kemudian kembali lalu membaca lagi,
niscaya dikatakan kepadanya: "Mengapakah engkau
begitu dengan kalamKu?"
Berkata
Ibnu'r-Rammah: "Aku menyesal atas hafalanku akan Al-Qur'an, karena
sampai kepadaku, bahwa teman-teman Al-Qur'an itu ditanyakan tentang apa yang
ditanyakan nabi-nabi daripadanya, pada hari kiamat". Berkata Ibnu Mas'ud:
"Seyogialah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, mengenai dengan malamnya
apabila manusia itu tidur dan mengenai dengan siangnya, ketika manusia itu
berlebih-lebihan. Dengan kesusahannya, apabila manusia itu bersuka-sukaan,
dengan tangisnya, apabila manusia itu tertawa-tawa, dengan diamnya, apabila
manusia itu masuk dalam pembicaraan dan dengan khusyu'nya, apabila manusia itu
sombong. Dan seyogialah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, berkeadaan tenang dan lemah-lembut.
Dan tidak wajarlah berkeadaan tegang, pemarah, memekik-mekik, membuat keributan
dan bersikap keras sebagai besi".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Kebanyakan yang menjadi munafiq
dari umat ini, ialah qu'rra'nya (para ahli bacaan Al-Qur'an)" (1).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Bacalah
Al-Qur'an, dimana ia melarang engkau dari perbuatan ma'siat. Maka kalau ia
tidak melarang engkau dari perbuatan ma'siat itu niscaya tidaklah engkau
membacakannya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Tiada
beriman dengan Al-Qur'an orang yang menghalalkan barang yang
diharamkannya" (2).
Berkata sebahagian
salaf: "Sesungguhnya seorang hamba (hamba Allah) memulai
suatu surat dari Al-Qur'an, maka berdo'a para malaikat kepadanya sampai selesai
ia dari surat itu. Dan sesungguhnya seorang hamba memulai suatu surat dari
Al-Qur'an, maka para malaikat mengutukinya, sampai selesai ia dari surat
itu". Maka ditanyakan kepada salaf tadi: "Mengapakah demikian?"
Lalu ia menjawab: "Apabila hamba itu menghalalkan yang dihalalkan surat
tersebut dan mengharamkan yang diharamkannya, maka berdo'alah para malaikat
kepadanya. Dan kalau tidak demikian, maka para malaikat itu mengutuknya".
1.Dirawikan Ahmad
Dari Uqbah Bin Amir dan Abdullah Bin Amr
|
2.Dirawikan
AtTirmidzi dari Syuib
|
Berkata sebahagian ulama:
"Sesungguhnya seorang hamba yang membaca Al-Qur'an, lalu mengutuk dirinya
sendiri. Dan ia tidak tahu, seraya membaca:
أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
(Alaa la'natu'llaahi 'aladhdhaalimiin).
Artinya: "Ketahuilah kutukan
Allah itu keatas orang-orang zalim". S. Hud, ayat 18. Dan dia zalim
terhadap dirinya sendiri. Dan:لَعْنَةَ اللَّهِ
عَلَى الْكَاذِبِينَ (Ketahuilah, kutukan Allah itu keatas
orang-orang pendusta), sedang ia sebahagian daripada mereka" (1).
Berkata Al-Hassan:
"Sesungguhnya kamu membuat pembacaan Al-Quran itu beberapa jarak jauh dan
kamu jadikan malam itu unta Maka kamu mengenderai unta itu, lalu kamu menempuh
dengan dia jarak-jarak jauhnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu,
memandang Al-Qur'an itu surat-surat (rasa-il) dari Tuhannya. Maka mereka
memahamkannya pada malam dan melaksanakannya pada waktu siang". Berkata Ibnu Mas'ud: "Diturunkan Al-Quran kepada mereka supaya diamalkannya. Lalu mereka membuat pelajarannya amalan, Sesungguhnya seseorang daripada kamu, hendaklah membaca
Al-Qur'an dari permulaannya (fatihah), sampai kepada kesudahannya (khatimah).
Apa yang dihilangkan daripadanya sesuatu huruf, sesungguhnya ia telah
menghilangkan amalan dengan huruf itu".
Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh Jundub r.a. tersebut: "Sesungguhnya kami telah hidup pada masa yang panjang dan
seorang dari kami diberikan iman sebelum Al-Qur'an. Maka diturunkan suatu surat
kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم. lalu dipelajarinya yang halal, yang haram, yang menyuruh dan
yang melarang serta apa yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada surat itu.
Kemudian, sesungguhnya aku melihat beberapa orang, yang diberikan Al-Qur'an,
kepada salah seorang daripada mereka sebelum iman. Maka dibacakannya apa yang
ada diantara permulaan Kitab (fatihah Kitab) sampai kepada kesudahannya
(khatimahnya), dimana ia tiada mengetahui apa yang menyuruhnya dan apa yang
melarangnya, dan tidak mengetahui apa yang sewajarnya ia berdiri padanya
daripada kitab itu, yang dihamburkannya yang dibacanya itu seperti
menghamburkan kurma busuk".
Dan tersebut dalam Taurat:
"Hai hambaKu! Adakah tidak engkau malu padaKu, datang kepadamu sebuah
kitab dari sebahagian saudaramu dan engkau dijalan sedang berjalan. Lalu engkau
berpaling dari jalan itu, seraya duduk karena kitab tersebut, membacanya dan
memahaminya huruf demi huruf, sehingga sedikitpun daripadanya tiada luput
bagimu. Dan ini kitabKu, yang Aku turunkan kepadamu! Lihatlah, berapa banyak
Aku terangkan didalamnya penjelasan bagimu dan berapa banyak Aku uiang-ulangi
didalamnya kepadamu, supaya engkau perhatikan panjang dan lebarnya:
1.Pada
surat Ali Imran Ayat 61.
|
Kemudian engkau berpaling
dari Kitab itu. Adakah Aku ini lebih hina padamu dari sebahagian saudaramu itu?
Hai hambaKu! Duduk kepadamu sebahagian saudaramu, lalu kamu terima dia dengan
seluruh perhatianmu dan engkau perhatikan segala perkataanya dengan sepenuh
hatimu. Kalau ada orang lain yang berkata atau dirintangi engkau oleh suatu
perintang daripada mendengar perkataannya, niscaya engkau isyaratkan
kepadanya supaya ia berhenti daripada berkata-kata. Dan adalah Aku menghadapkan
diri kepadamu dan bercakap-cakap dengan kamu, sedang kamu berpaling daripadaKu
dengan hatimu. Apakah engkau jadikan Aku lebih hina padamu daripada sebahagian
saudaramu?'
BAB
KEDUA: mengenai yang dhahir dari adab tilawah. Yaitu: sepuluh perkara.
Pertama: tentang keadaan pembaca.
Yaitu: ia didalam wudlu26,
bersikap didalam keadaan adab dan tenang, baik ia berdiri atau duduk, menghadap
kiblat, menundukan kepala, tidak duduk secara metipatkan kedua tapak kaki
dibawah kedua paha (mutara'bbi'). tidak duduk sccara bertekan (mu'ttaki') dan
tidak duduk secara sombong. Dan adalah duduknya dengan sendirian itu, seperti
duduknya dihadapan guru. Keadaan yang paling utama, ialah membaca Al-Qur'an itu
didalam shalat dengan berdiri dan adalah itu didalam masjid. Maka itulah amalan
yang paling utama!
Kalau membaca Al-Qur'an dengan tanpa
wudlu' dan dia sedang berbaring diatas tikar, maka baginya keutamaan juga,
tetapi kurang dari yang tadi. Berfirman Allah Ta'ala:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Alladziina yadzkuru-nallaaha qiyaa-man
wa qu'uudan wa'ala
junuubi-him wa yatafakka-ruuna fii-khal-qis-sa-maawaa-ti wal-ardli). Artinya:
"Orang-orang yang mengingati Allah, ketika berdiri dan duduk, ketika
berbaring dan mereka memikirkan tehtang kejadian langit dan bumi"-S.Ali
Imran, ayat 191. Maka Allah Ta'ala memujikan semuanya, tetapi mendahulukan
berdiri pada mengingati Allah, kemudian duduk, kemudian mengingati sambil
berbaring.
Berkata Ali r.a::
"Barangsiapa membaca Al-Quran, dimana ia berdiri didalam shalat, niscaya
adalah baginya dengan tiap-tiap huruf itu seratus kebajikan. Dan barangsiapa
membacanya, dimana ia duduk didalam shalat, maka baginya dengan tiap-tiap huruf
itu limapuluh kebajikan. Dan barangsiapa membacanya diluar shalat, sedang dia
berwudlu', maka duapuluh lima kebajikan. Dan barangsiapa membacanya tanpa
wudlu', maka sepuluh kebajikan. Dan apa yang dilaksanakan dengan mengerjakan
ibadah pada malam hari, maka itu adalah lebih utama, karena lebih mencamkan
bagi hati".
Berkata Abu Dzar
Al-Ghaffari r.a.: "Bahwa banyaknya bersujud pada
siang hari dan lamanya bangun mengerjakan ibadah pada malam hari, adalah lebih
utama (afdlal)".
Kedua:
tentang jumlahnya pembacaan. Bagi para pembaca (qu'rra'), berbagai macam adat
kebiasaan tentang membanyak dan menyingkatkan pembacaan. Sebahagian mereka, ada
yang menyudahkan (mengkhatamkan) Al-Quran sehari-semalam sekali. Sebahagian
mereka, dua kali. Dan sampailah sebahagian mereka kepada tiga kali.
Dan sebahagian mereka, ada yang
mengkhatamkan sebulan sekali. Dan yang lebih utama untuk menjadi perpegangan
tentang jumlah tilawah itu, ialah sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم
من قرأ القرآن في
أقل من ثلاث لم يفقهه
(Man qara-al-qur-aana fii aqalla min
tsalaatsin lam yafqahhu). Artinya: "Barangsiapa membaca Al-Quran
kurang dari tiga kali, niscaya ia tiada memahami akan Al-Quran itu" (1).
Yang demikian itu, karena lebih
daripadanya, mencegah bagusnya tilawah (tartil). Berkata 'A'isyah r.a. tatkala
mendengar seorang laki-laki banyak benar salahnya pada pembacaan Al-Qur'an: "Bahwa
orang itu tidaklah membaca Al-Quran dan tidak pula diam". Nabi صلى الله عليه وسلم menyuruh
Abudu'llah bin 'Amr r.a. supaya mengkhatamkan Al-Quran pada tiap-tiap tujuh
hari (minggu)" (2).
Dan begitu pula, segolongan dari
shahabat r.a. mengkhatamkan Al-Qur'an pada tiap-tiap Jum'at, seperti 'Usman,
Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud dan Ubai bin Ka'b-direlai oleh Allah kiranya
mereka itu semuanya.
Tentang pengkhataman, adalah empat
tingkat: pengkhataman dalam sehari-semalam. Tingkat ini telah dimakruhkan oleh
segolongan ulama; pengkhataman pada tiap-tiap bulan, dimana tiap-tiap hari itu
adalah satu juz daripada tigapuluh juz. Dan ini, seolah-olah adalah bersangatan
pendek, sebagaimana yang pertama itu bersangatan banyaknya. Diantara kedua
tingkat tadi, terdapat dua tingkat yang sederhana: yang pertama: dalam seminggu
sekali dan yang kedua dalam seminggu dua kali, mendekati kepada tiga.
Dan yang lebih sunat, ialah
mengkhatamkan sekali khatam pada malam dan sekali khatam pada siang. Dan
menjadikan khataman siang itu hari Senin pada dua raka'at shalat Shubuh atau
sesudahnya. Dan menjadikan khataman malam, malam Jum'at pada dua raka'at Magrib
atu sesudahnya. Supaya menghadap permulaan siang dan permulaan malam dengan
khataman itu. Karena para malaikat a.s. berdo'a kepadanya, kalau khatamannya
pada malam, sampai kepada waktu Shubuh. Dan kalau khatamannya pada siang,
sampai kepada waktu sore. Maka melengkapilah keberkatannya akan seluruh malam
dan siang.
Uraian tetang jumlah bacaan, adalah
kalau ia dari orang-orang yang kuat beribadah, yang menempuh jalan amalan, maka
tidak wajarlah berkurang dari dua khataman dalam seminggu. Dan kalau ia dari
orang-orang yang
1.Dirawikan
pengarang pengarang “As Sunan” Seperti Abu Dawud dan lain lain dari Abdullah
Bin Amr.
|
2.Dirawikan Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin Amr
|
menempuh amalan hati dan berbagai macam
pemikiran atau darl orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan mengembangkan
ilmu pengetahuan, maka tiada mengapa ia menyingkatkan dalam seminggu sekali.
Dan kalau ia dari orang yang tembus pemikirannya tentang segala maksud
Al-Qur'an, maka kadang-kadang mencukupilah dalam sebulan sekali, karena banyak
keperluannya untuk membanyakkan mengulang-ulangi dan meneliti.
Ketiga: tentang cara pembahagian.
Adapun orang yang mengkhatam dalam seminggu sekali, maka dibagikan Al-Qur'an
kepada tujuh golongan. Adalah para shahabat menggolongkan Al-Qur'an kepada
beberapa golongan. Diriwayatkan bahwa Utsman r.a. memulai malam Jum'at dengan
surat Al-Baqarah sampai kepada surat Al-Maidah. Malam Sabtu dengan surat
Al-An'am sampai kepada surat Hud. Malam Ahad dengan surat Yusuf sampai kepada
surat Maryam. Malam Senin dengan surat Thaha sampai kepada Tha Sin Min, Musa
dan Fir-aun. Malam Selasa dengan sural Al-'Ankabut sampai kepada surat Shad.
Malam Rabu dengan sifrat Tanzil sampai kepada surat Ar-Rahman. Dan disudahinya
(dikhatamkannya) pada malam Kamis.
Adalah Ibnu Mas'ud membagi Al-Qur'an
kepada beberapa bahagian, tidak menurut tertib susunan tadi. Ada orang yang
mengatakan bahwa kumpulan Al-Qur'an itu tujuh. Kumpulan pertama, adalah tiga
surat. Kumpulan kedua, adalah lima surat. Kumpulan ketiga, adalah tujuh surat.
Kumpulan keempat adalah sembilan surat. Kumpulan kelima, adalah sebelas surat.
Kumpulan keenam, adalah tiga belas surat. Dan kumpulan ketujuh,yang terurai,
adalah dari surat Qaf sampai kepada penghabisan Al-Quran. Begitulah dibuat
kumpulannya oleh para shahabat r.a. dan mereka membacanya adalah seperti yang
demikian. Dan tentang itu terdapat hadits dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم
Dan ini, adalah sebelum dibuat berbagi
seperlima-seperlima, sepersepuluh sepersepuluh dan berjuz-berjuz. Maka yang
selain ini adalah diada-adakan.
Keempat: tentang penulisan. Disunatkan
membaguskan penulisan dan penjelasan Al-Qur'an. Dan tiada mengapa dengan
bertitik dan bertanda merah dan lainnya. Karena itu adalah penghiasan dan
penjelasan serta pencegahan dari kesalahan dan tidak betul bacaan bagi orang
yang membacakanny a.
Adalah Al-Hasan dan Ibnu Sirin
menantang pembagian seperlima-seperlima, sepersepuluh-sepersepuluh dan
berjuz-juz. Diriwayatkan dari Asy-Sya'bi dan Ibrahim akan makruhnya titik-titik
dengan warna merah dan mengambil upah atas perbuatan itu. Mereka mengatakan:
"Lepaskanlah Al-Qur'an dari yang demikian!"
Berat dugaan bahwa mereka memandang
makruh membukakan pintu ini, karena ditakuti membawa kepada mendatangkan
penambahan-penambahan.
Dan menutupkan pintu dan merindukan
kepada penjagaan Al-Quran dari pada menerobos kepadanya pengobahan. Apabiia
tiada membawa kepada yang dilarang dan telah tetap keadaan umat padanya, dengan
menghasilkan bertambahnya pengetahuan, maka tiada mengapa Dan tiada dilarang
yang demikian, oleh adanya itu diada-adakan, sebab berapa banyak yang diada
adakan (bid'ah) itu, dipandang baik. Sebagaimana dikatakan mengenai mendirikan
jama'ah pada shalat tarawih, dimana itu adalah sebahagian dari yang
diada-adakan oleh Khalifah "Umar r.a. Dan itu adalah bid'ah yang baik
(bid'ah hasanah) Sesungguhnya bid'ah yang tercela (bid'ah madzmumah), ialah
yang bertentangan dengan Sunnah yang lama atau hampir membawa kepada
mengobahkannya Sebahagian mereka mengatakan: "Aku membaca pada
Mashhaf yang bertitik dan tidaklah aku membuatkan titik oleh diriku
sendiri".
Berkata Al-Auza'i
dari Yahya bin Abi Katsir: "Adalah Al-Qur'an itu tidak
bertanda (muia'rrad) didalam mashhaf-mashhaf. Maka yang pertama kali diadakan
mereka, ialah titik pada ب ba dan ت ta
dan mereka mengatakan bahwa tiada mengapa yang demikian. Karena, itu adalah nur
baginya. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka titik-titik besar pada
penghabisan ayat. Lalu mereka mengatakan, bahwa tiada mengapa yang demikian,
untuk mengenai permulaan ayat. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka
penghabisan (khatimah) dan permulaan (fatihah)". Berkata Abubakar Al-Hadzli:
"'Aku tanyakan Al-Hasan tentang memberi titik mashhaf-mashhaf dengan warna
merah". Maka beliau bertanya: "Apakah memberi titik mashhaf-mashhaf
itu?" Aku menjawab: "Mereka meng-i'rabkan kata-kata dengan bahasa
Arab" Lalu beliau berkata: "Adapun meng-i'rabkan AlQur-an itu, tiada
mengapa" (1). Berkata Khalid Al-Hadzdza': "Aku masuk ketempat Ibnu
Sirin, lalu aku melihat ia membaca pada mashhaf yang memakai titik, padahal ia
memandang makruh titik".
Ada yang mengatakan, bahwa AI-Hajjaj
yang mengadakan demikian itu. Dia mendatangkan para qari' (al-qu'rra"),
sehingga mereka menghitung kata-kata Al-Qur'an dan huruf-hurufnya. Mereka
menyamakan bahagian-bahagiannya dan membagikannya kepada tigapuluh bahagian
(juz) dan kepada bahagian-bahagian yang Iain.
Kelima tartil
(jelas bunyi tiap-tiap huruf pada pembacaannya) Itu disunatkan pada keadaan
Al-Qur'an. Karena akan kami terangkan bahwa yang dimaksud dari pembacaan itu,
ialah mengenangkan artinya (tafakkur). Dan tartil itu menolong kepada tafakkur.
Dan karena itulah, dijelaskan oleh Ummu Salmah r.a. akan bacaan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Dia menyifatkan bacaan Nabi صلى الله عليه وسلم yang
menjelaskan bunyi huruf demi huruf.
1. Meng'irabkan
ialah melakukan pemakaian tata-bahasaArab untuk mengetahui baris-barisnya
apakah baris diatas atau dibawah atau baris depanDan itutentunya dengan cukup
tandadarititik-titikdan sebagainya. (Pent.).
|
Berkata
ibnu 'Abbas r.a.: "Sesungguhnya aku membaca surat Al-Baqarah dan
Ali 'Imran, dengan aku tartilkan dan aku pahamkan akan pengertiannya, adalah
lebih aku sukai daripada membaca Al-Qur'an seluruhnya dengan cepat-cepat".
Berkata ia pula: "Sesungguhnya aku membaca surat "Idzaa
zulzilat" dan "Al-Qaari'ah" dengan memahami artinya, adalah
lebih aku sukai daripada membaca surat "Al-Baqarah" dan "Ali
'Imran" dengan cepat-cepat".
Ditanyakan Mujahid tentang dua orang
yang masuk dalam shalat, lalu lama berdiri keduanya didalam shalat itu sama,
kecuali yang seorang membaca surat Al-Baqarah saja dan yang seorang lagi,
membaca Al-Qur'an seluruhnya, maka menjawab Mujahid: "Keduanya tentang pahala
yang diperolehnya, adalah sama".
Ketahuilah, bahwa tartil itu
disunatkan, tidak untuk semata-mata bagi pemahaman artinya. Karena bagi seorang
'Ajam (bukan orang Arab) yang tidak mengerti akan arti Al-Qur'an, disunatkan
juga baginya tartil dan pelan-pelan dalam pembacaan Karena yang demikian itu
lebih mendekatkan kepada pemuliaan dan penghormatan dan lebih membekas didalam
hati, daripada cepat-cepat dan buru-buru.
Keenam menangis: Menangis itu
disunatkan serta membaca. Bersabda Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم.: اتلوا القرآن وابكوا فإن لم تبكوا فتباكوا "Bacalah
Al-Qur'an dan menangislah! Jikalau tidak engkau menangis, maka berbuatlah
menangis!" (1). Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
ليس منا من لم يتغن بالقرآن
(Lsisa minnaa man lam yataghanna
bil-qur-aan).Artinya: "Tidaklah dari golongan kami, orang yang tiada
berlagu dengan Al-Qur'an" (2).
Berkata Shalih
Al-Marri: "Aku bermimpi membaca Al-Qur'an dihadapan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Lalu beliau bersabda: "Bagiku hai
Shalih bacaan ini, tetapi mana tangisnya?"
Berkata Ibnu 'Abbas r.a.: "Apabila
kamu membaca Sajadah Subhana, maka janganlah kamu bersegera sujud, sampai kamu
menangis dahulu! Jikalau tidaklah menangis mata salah seorang daripada kamu,
maka menangislah hatinya!" Sesungguhnya jalan untuk memaksakan menangis,
ialah mendatangkan kegundahan kepada hati. Maka dari kegundahan itu, timbullah
tangis.
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم "Bahwa
Al-Qur'an itu diturunkan dengan kedukaan hati. Maka apabila kamu mambacanya,
lalu berdukacitalah!" (3).
1. Dirawikan Ibnu
Majah dari Saad bin Abi Waqqash dengan isnad baik.
|
2.Dirawikan
Al-Bukhari dari Abu Hurairah.
|
3.Dirawikan Abu
Yu'la dan Abu Na'im dari Ibnu Umar dengan sanad dla'if.
|
Cara mendatangkan kedukaan hati. ialah
memperhatikan akan apa yang ada didalamnya, tentang berita menakutkan, janji
azab karena durhaka (wa'id), segala macam janji dan perikatan yang diperpegangi.
Kemudian, memperhatikan keteledoran tentang segala perintah dan larangannya.
Maka dengan itu. sudah pasti, akan gundah hati dan menangis. Jikalau tidak
datang kegundahan hati dan tangisan, sebagaimana datangnya pada orang-orang
yang berhati suci-bersih, maka hendaklah menangis. diatas ketiadaan kegundahan
hati dan tangisan. Dan yang demikian itu, adalah bahaya yang paling besar.
Ketujuh memelihara akan hak-hak ayat:
Apabila lalu pada ayat Sajadah, niscaya bersujud. Dan begitu pula apabila
mendengar dari bacaan orang lain, akan ayat sajadah, niscaya bersujud apabila
bersujud orang yang membacanya. Dan janganlah sujud, kecuali berada dalam
keadaan suci (berwadlu").
Dalam Al-Qur'an ada empatbelas ayat
Sajadah. Dan pada surat Al-Hajj, dua Sajadah. Dan tak ada pada surat Shad,
sajadah.
Sekurang-kurang sujud, ialah bersujud
dengan meletakan dahi pada bumi (tempat sujud). Dan yang sempurna, ialah
bertakbir, lalu sujud dan berdo a dalam sujud itu. dengan apa yang layak
menurut ayat yang dibacanya. Seumpama ia membaca firman Allah Ta'ala:
(kha'rruu su'jjada'w wa sabbahuu bi
hamdi ra'bbihim wa hum laa jastak-biruun) - S. As-Sajadah, ayat 15 -Artinya: "Mereka
sujud meniarap,, tasbih memuji Tuhan dan mereka tidak menyombongkan diri".
Maka ia berdo'a: اللهم اجعلني من الساجدين لوجهك المسبحين بحمدك
وأعوذ بك أن أكون من المستكبرين عن أمرك أو على أوليائك
(Allahumm aj-alnii minas-saajidiina
li-wajhikal-mu-sabbihiina bihamdika wa a'uudzu bika an akuuna
minal-mustakbiriina 'an amrika au 'alaa au-Iiaa-ik).Artinya: "Wahai
Allah Tuhanku! Jadikanlah aku dari pada mereka yang bersujud kepada wajahMu,
yang bertasbih dengan memujiMu dan aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku ini
berada sebahagian dari orang-orang yang sombong terhadap amarMu atau terhadap
para aulia (para wali)Mu".
Dan apabila membaca firmanNya:وَيَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
"Wa yakhi'rruuna lil-adzqaani
yabkuuna wayaziiduhum khusyuu'a" — S. Al-Isra'. ayat 109.Artinya: "Dan mereka meniarap dengan dagunya sambil menangis
dan Al-Qur'an itu menambah ketundukan hati mereka". Maka berdo'alah, yang
artinya: "Wahai Allah Tuhanku! Jadikanlah aku daripada orang yang menangis
kepadaMu, yang khusyu' bagiMu!"
Dan begitu juga terhadap tiap-tiap ayat
Sajadah. Dan disyaratkan pada sujud ini, akan segala syarat shalat, dari
menutup 'aurat, menghadap kiblat, suci pakaian dan badan dari hadats dan najis.
Dan barangsiapa yang tidak suci (tidak berwudlu') ketika mendengar pembacaan
ayat Sajadah itu, maka apabila telah bersuci, maka baru sujud. Dikatakan
mengenai kesempurnaan sujud itu, ialah bertakbiratu'l-ihram dengan
mengangkatkan kedua tangan, Kemudian, bertakbir untuk turun bagi sujud.
Kemudian, bertakbir untuk bangkit dari sujud, kemudian memberi salam. Dan
ditambahkan oleh orang-orang yang suka menambahkan akan tasyahhud dan tak ada
asal bagi ini, selain dari mengkiaskan kepada sujud shalat. Dan itu adalah jauh
dari kebenaran. Yang datang amar, ialah pada sujud, maka hendaklah dituruti
amar itu padanya. Dan tentang bertakbir untuk turun, adalah lebih mendekati
bagi permulaan pekerjaan. Sedang selain dari itu, jauh dari kebenaran.
Kemudian, seyogialah ma'mum sujud ketika sujud imam. Dan janganlah sujud karena
tilawahnya sendiri, apabila ia itu ma'mum. Kedelapan membaca pada permulaan
tilawahnya:
أعوذ بالله
السميع العليم من الشيطان الرجيم رب أعوذ بك من همزات الشياطين وأعوذ بك رب أن
يحضرون (A'uudzu bi'llaa-hi-'ssamii'il-'aiiim,
mina'sy-syaithaani'rrajiim - Ra'bbi a uudzu bika min hamazaati'sy-syayaathiin.
Wa a'uudzu bika ra'bbi an jahdluruuni).Artinya: "Aku berlindung dengan
Allah yang mendengar lagi mengetahui, dari setan yang kena kutuk. Hai Tuhanku!
Aku berlindung dengan Engkau dari segala gangguan setan dan aku berlindung
dengan Engkau, hai Tuhanku, dari kedatangan setan-setan itu kepadaku".
Dan hendaklah dibacakanقل أعوذ برب الناس "Qul
a' uudzu bira'bbi'nnaas" dan suratالحمد لله "Alhamdu
li'llah. Dan hendaklah diucapkan ketika selesainya dari pembacaan: صدق الله تعالى وبلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم
انفعنا به وبارك لنا فيه الحمد لله رب العالمين وأستغفر الله الحي القيوم "Shadaqa'llaahu ta'aala wa ba'Hagha
rasuulu'llaahi sha'IIa'llaahu'alaihi wa sa'llam. Allaahu'mma'n-fa'naa bihi wa
baarik lanaa fih. Alham-duli'llaahi ra'bbi'l-aalamiin, wa
astagh-firu'llaaha'l-ha'jja'l-qa' yyuum".Artinya: "Benarlah Allah
Yang Maha-tinggi dan telah disampaikan oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. Wahai Allah Tuhanku! Berikanlah kemanfa'atan kepada kami dengan
dia dan berikanlah keberkatan bagi kami padanya Segala pujian bagi Allah Tuhan
serwa sekalian alam dan aku meminta arapun pada Allah Yang Hidup dan Yang
Berdiri sendiri". Waktu sedang membaca, apabila ia lalu
pada ayat tasbih,maka bertasbih dan bartakbirlah. Dan apabila lalu pada ayat
do'a dan ayat istighfar (ayat yang mengandung pengertian meminta permohonan dan
pengampunan pada Allah), maka berdo'a dan ber-istighfarlah.
Dan jika lalu pada ayat yang mengandung
pengertian sesuatu harapan. maka bermohonlah dan jika lalu pada ayat yang
mengandung pengertian sesuatu yang ditakutkan, maka berlindunglah daripadanya.
Diperbuat yang demikian itu, dengan lisan atau dengan hati.
Maka diucapkanسبحان الله نعوذ
بالله اللهم ارزقنا اللهم ارحمنا "Shubhaanallaahinauudzu billah.
Allaahu'mma'rzuqnaa! Allaahu'mma'r-hamnaa!". Artinya: "Mahasuci
Allah! Kami berlindung dengan Allah. Ya Allah Tuhanku! Berikanlah kami rezeki!
Ya Allah Tuhanku! Berikanlah kami kerahmatan!"
Berkata
Hudzaifar.:"Aku bershalat bersama Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم maka dimu-lainya surat Al-Baqarah.Tidak
dilaluinya ayat rahmat, melainkan diminta-nya. Tidak dilaluinya ayat' azab,
melainkan dimintanya perlindungan dan tidak dilaluinya ayat tanzih (ayat
tasbih), melainkan diucapkannya tasbih".
Apabila telah selesai dari tilawah, maka dibacakan apa yang dibacakan
Rasulu'llah صلى الله عليه
وسلم. ketika selesai pembacaan Al-Qur'an:اللهم ارحمني بالقرآن واجعله لي إماما ونورا وهدى
ورحمة اللهم ذكرني منه ما نسيت وعلمني منه ما جهلت وارزقني تلاوته آناء الليل
وأطراف النهار واجعله لي حجة يا رب العالمين "Al-laahu'm-ma'rhamnii
bi'l-Qur-aan wa'j-'alhu 1 ii
imaama'w-wa nuura'w-wa huda'w-wa rahmah. Allaahu'mma dzakkirnii minhu maa nasiitu wa'allimnii minhu maa jahiltu
wa'r-zuqniitilaawatahu anaa-a'liaili wa athraafa'nnahaar wa'j'alhu liihu'jjatan
jaara'bbal-'aalamiin". Artinya: "Ya Allah Tuhanku! Berikanlah aku rahmat dengan Al-Qur'an
dan jadikanlah dia bagiku imam, nur, hidayah dan rahmat! Ya Allah Tuhanku!
Ingatilah aku daripadanya akan apa yang aku lupakan dan ajarilah aku
daripadanya akan apa yang tiada aku ketahui! Dan anugerahilah aku akan
tilawahnya pada tiap-tiap malam dan tiap-tiap hari! Dan jadikanlah Al-Qur'an
itu dalil (hujjah) bagiku, wahai Tuhan serwa sekalian alam!"
Kesembilan mengenai mengeraskan suara (jahr) dengan pembacaan: Dan tidak
diragukan, bahwa tak boleh tidak dikeraskan suara pada tilawah itu, kepada
batas yang didengar sendiri. Karena pembacaan, adalah artinya memutus-mutuskan
suara dengan huruf-huruf. Dan itu haruslah dengan suara. Maka
sekurang-kurangnya, adalah yang dapat didengar sendiri. Kalau tidak dapat
didengar sendiri, niscaya tidaklah shah shalat. Adapun jahr, dimana dapat
didengar oleh orang lain, maka itu disunatkan pada satu segi dan dimakruhkan
pada segi lain. Dan ditunjukkan kepada sunatnya mengecilkan suara (secara
sirr), ialah: diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
"Kelebihan membaca secara sirr dengan
membaca secara terang (keras), adalah seperti kelebihan sedekah secara sirr
dengan sedekah secara terang". Dan pada susunan kata yang lain, berbunyi:
"Orang yang menjahrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang menjahrkan
sedekah dan orang yang mensirrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang men-sirrkan
sedekah".
Dan pada suatu hadits yang umum pengertiannya: "Melebihi amalan sirr
diatas amalan terang, dengan tujuhpuluh ganda' Dan begitu pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Sebaik-baik rezeki, ialah yang
men-cukupi dan sebaik-baik dzikir, ialah yang tersembunyi".
Dalam suatu hadits,
tersebut: "Janganlah menjahrkan bacaan
diantara sesama kamu, antara Maghrib dan 'Isya".
Pada suatu malam, Sa'id bin Al-Musayyab
mendengar dalam masjid Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم
bahwa
'Umar bin Abdul-aziz menjahrkan bacaan dalam shalatnya. Dan adalah 'Umar itu
merdu suaranya. Lalu Sa'id berkata kepada bujangnya: "Pergilah kepada
orang yang bershalat itu, suruhlah dia merendahkan suaranya!"
Maka menjawab bujang itu: "Masjid
itu bukan kepunyaan kita dan orang itu berhak padanya". Lalu Sa'id
meneriakkan suaranya dengan mengatakan: "Hai orang yang bershalat: Kalau
engkau menghendaki Allah 'Azza wa Jalla dengan shalatmu, maka rendahkanlah
suaramu! Dan kalau engkau menghendaki manusia, maka manusia itu tidak merasa
cukup sedikitpun daripada engkau, selain daripada Allah". Maka diamlah
'Umar bin Abdul-'aziz dan memendekkan raka'atnya. Setelah memberi salam, lalu
mengambil kedua sandalnya dan pergi. Dan dia ketika itu, adalah amir (gubernur)
Madinah.
Dan menunjukkan kepada sunatnya jahr,
apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم
mendengar
sekumpulan dari para shahabatnya menjahrkan pada shalat malam. Maka beliau
betulkan yang demikian itu". Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Apabila bangun seorang kamu dari
malam hari, lalu bershalat, maka hendaklah ia menjahrkan bacaan. Sesungguhnya
para malaikat dan penghuni rumah (jin dan lainnya) mendengar bacaannya dan
bershalat dengan shalatnya".
Rasulu'llah
صلى الله عليه
وسلم mendatangi
tiga orang shahabatnya yang berlainan keadaan mereka masing-masing. Ia datangi
Abubakar r.a., dimana Abubakar r.a. itu berdo'a dengan suara yang halus saja.
Maka Nabi صلى الله عليه
وسلم menanyakannya dari yang demikian.
Menjawab Abubakar
r.a.: "Bahwa yang aku
bermunajat dengan Dia, mendengar akan aku".
Dan Nabi datangi
'Umar r.a. yang berdo'a dengan jahr, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya yang demikian.
Maka menjawab 'Umar
r.a.: "Aku membangun orang
tidur dan menghardik setan".
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم datangi Bilal, dimana ia membaca sebuah
ayat dari surat ini dan sebuah ayat dari surat itu. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya
yang demikian.
Maka menjawab Bilal: "Aku campurkan yang baik dengan yang baik".
Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Semua
kamu telah bekerja balk dan betul!"
Cara mengumpulkan diantara hadits-hadits ini, ialah bahwa secara sirr itu
menjauhkan dari ria dan berbuat-buat (tasha'nnu'). Maka itu adalah lebih utama
bagi orang yang takut kepada yang demikian terhadap dirinya.
Kalau ia tidak takut dan tak ada pada
jahr itu yang membisingkan waktu kepada orang lain yang bershalat, maka jahr
itu lebih utama. Karena amal adalah lebih banyak padanya dan karena faedahnya bersangkutan
pula kepada orang lain. Kebaikan yang melampaui kepada orang lain, adalah lebih
utama dari yang tetap pada dirinya sendiri saja. Dan jahr itu membangunkan hati
sipembaca dan mengumpulkan kemauannya kepada berpikir pada yang dibacakan. Dan
menjuruskan kepadanya pendengarannya. Dan menolakkan tidur pada pembacaan
dengan suara keras, menambahkan kerajinan bagi membaca. Dan mengurangkan
kemalasan serta mengharapkan dengan jahr itu, akan terbangun orang tidur,
sehingga menjadi sebab menghidupkannya kembali. Karena kadang-kadang ia dilihat
oleh seorang pahlawan yang lalai, maka menjadi rajin dia disebabkan
kerajinannya dan rindu kepada pengkhidmatan. Manakala telah datang kepadanya
sesuatu daripada niat-niat tadi, maka jahr adalah lebih utama. Dan kalau
berhimpunlah niat-niat tersebut, niscaya berlipat-gandalah pahala. Dan dengan
banyaknya niat, lalu bertambahlah amal perbuatan kebajikan dan
berlipat-gandalah pahala bagi mereka.
Kalau ada pada suatu amal perbuatan
sepuluh niat?niscaya
adalah padanya sepuluh pahala. Karena itulah kami katakan, bahwa membaca
Al-Qur'an pada mashhaf itu lebih utama (afdhal), karena bertambah pada
perbuatan itu, melihat, memperhatikan mashhaf dan membawanya. Sehingga
bertambahlah pahala dengan sebabnya. Sesungguhnya ada yang mengatakan,
pengkhataman pada mashhaf itu dengan tujuh kali lipat pahalanya, karena
memandang pada mashhaf itu, adalah juga ibadah 'Usman r.a. telah mengoyakkan
dua mashhaf, karena banyak bacaannya pada kedua mashhaf itu.
Maka adalah kebanyakan dari shahabat,
membaca pada mashhaf. Dan memandang makruh, bahwa berlalu sehari, dimana mereka
tiada memandang pada mashhaf. Datang sebahagian ulama fiqh Mesir kepada
Asy-Syafi'i r.a. pada waktu sahur, dimana dihadapannya mashhaf. Maka berkata
kepadanya Asy-Syafi'i: "Disibukan kamu oleh ilmu fiqih, tidak dengan
Al-Qur'an. Aku sesungguhnya mengerjakan shalat malam dan meletakkan
mashhaf dihadapanku dan tidak aku tutupkan dia sampai waktu shubuh".
Kesepuluh membaguskan bacaan dan
mentartilkannya dengan mengulang-ulangi suara tanpa terlalu memanjangkan yang
mengobahkan nadhamnya (susunan katanya yang bcrsajak). Yang demikian itu,
adalah sunnah.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Hiasilah Al-Qur'an dengan
suaramu!"
Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiada diizinkan oleh Allah untuk
sesuatu sebagaimana izinNya untuk membaguskan suara dengan Al-Qur'an".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiadalah dari kami orang yang
tiada berlagu dengan Al-Qur'an". Dikatakan, bahwa yang dimaksudkan oleh
Nabi صلى الله عليه
وسلم dengan
itu, ialah melagukan suara. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan, ialah
mendengungkan suara. dengan lagu yang bagus dan mengulang-ulangi berbagai macam
perobahan suara.
Dan itulah yang lebih mendekati kepada
benar, menurut para ahli bahasa. Diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم pada suatu malam menunggu 'A'isyah r.a.
Maka sesudah bagitu lambat, barulah ia datang. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bertanya: "Apakah yang
menghambatmu sampai terlambat?" Menjawab 'A'isyah r.a.: "Wahai
Rasulu'llah! Aku mendengar seorang laki-laki membaca Al-Qur'an dan belum pernah
aku mendengar suara yang lebih merdu dari itu!"
Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم, pun bangun pergi
mendengar, sehingga lamalah beliau mendengar kemudian baru pulang, seraya
bersabda: "Yang membaca itu adalah Salim, bujang
Abi Hudzaifah! Segala pujian bagi Allah yang telah menjadikan pada umatku
seperti dia". Juga pada suatu malam Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم mendengar pembacaan Abdu'llah bin
Mas'ud dan bersama Rasulullh صلى الله عليه
وسلم Abubakar r.a. dan 'Umar r.a. Lamalah mereka berhenti disitu,
kemudian Rasulu'llah صلى الله عليه
وسلم bersabda:
"Barangsiapa bermaksud membaca Al-Qur'an
dengan suara yang empuk lunak, sebagaimana diturunkan. maka hendaklah
dibacakannya seperti bacaan Ibnu Ummi 'Abd". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Ibnu Mas'ud: "Bacakanlah kepadaku!" Menjawab
Ibnu Mas'ud: "Wahai Rasulu'llah! Aku bacakan kepadamu, padahal kepadamu
diturunkan?"
Menjawab
Nabi صلى الله عليه
وسلم: "Aku suka mendengarnya dari
bukan aku sendiri". Maka Ibnu Mas'ud membacanya dan kedua mata Rasulu'llah
صلى الله عليه
وسلم basah kuyup denggrn air
mata".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم.
mendengar bacaan Abi Musa, lalu bersabda: "Sesungguhnya telah
diberikan kepada Abu Musa itu, suling keluarga Daud".
Tatkala sabda itu sampai kepada Abu
Musa, lalu ia berkata: "Wahai Rasulu'llah, Kalau aku tahu bahwa engkau
mendengarnya, niscaya lebih aku baguskan lagi untukmu".
Bermimpi Haitsam - seorang ahli
pembacaan Al-Qur'an (al-qari') — akan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Maka berceritera Haitsam:
"Rasulu'llah صلى الله عليه
وسلم bertanya kepadaku: "Engkaukah Haitsam yang menghiaskan
akan Al-Qur'an dengan suaramu?" Aku menjawab: 'Ya benar!"
Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم menyambung: "Dibalaskan kiranya
engkau oleh Allah dengan kebajikan!".
Pada suatu hadits,
tersebut: "Adalah para shahabat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم apabila berkumpul, lalu mereka menyuruh
seorang dari mereka, membaca suatu surat dari Al-Qur'an. 'Umar r.a. berkata
kepada Abu Musa r.a.: "Mari kita berdzikir kepada Tuhan kita!" Lalu
Abu Musa membaca Al-Qur'an disisi 'Umar, sehingga hampirlah waktu shalat berada
ditengah waktu. Lalu orang berseru: "Wahai Amiru'I-mu'minin!
Shalat! Shalat!" Maka menyahut 'Umar r.a:
"Bukankah kami sekarang didalam shalat?"
sebagai suatu isyarat kepada firman Allah 'Azza wa Jalla: وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ."Wa ladzik-ru'Ilaahi akbar" S.
Al-Ankabut ayat 45 (Sesungguhnya mengingati Allah itu amat besar manfa'atnya).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Barangsiapa mendengar suatu ayat
dari kitab Allah 'Azza wa Jalla, niscaya ayat itu menjadi nur baginya pada hari
kiamat". Pada suatu hadits, tersebut: "Dituliskan baginya sepuluh
kebaikan".
Manakala besarlah pahala mendengar dan
pembaca itu adalah sebab pada mendengar, maka adalah pembaca itu berserikat
pada pahalanya. Kecuali maksudnya adalah ria dan berbuat-buat (tashannu').
BAB
KETIGA: tentang amalan bathin pada tilawah. Yaitu: sepuluh paham asal
perkataan, kemudian pengagungan, kemudian kehadiran hati, kemudian pengertian,
kemudian pemahaman, kemudian penyingkiran dari segala pencegah paham, kemudian
pengkhususan, kemudian pembekasan, kemudian peninggian dan kemudian pelepasan.
Pertama: paham
akan keagungan dan ketinggian perkataan (kalam Allah), kurnia Allah s.w.t. dan
kelemah-lembutanNya dengan makhlukNya, pada turunnya kalam itu, dari 'arsy
kebesaranNya kepada derajat pengertian-pengertian makhlukNya.
Maka
hendaklah pembaca Al-Qur'an itu memperhatikan, betapa lemah-lembutNya dengan
makhlukNya,pada menyampaikan pengertian-pengertian kalamNya
(perkataanNya), yang mana, adalah suatu sifat qadim yang berdiri pada DzatNya,
kepada pengertian-pengertian makhlukNya. Dan bagaimanakah menampak bagi mereka
akan sifat itu dalam lipatan huruf-huruf dan suara-suara, dimana semuanya itu adalah sifat manusia. Karena lemahlah
menusia daripada sampai kepada memahami sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla,
kecuali dengan perantaraan sifat-sifatnya sendiri. Jikalau
tidaklah tertutup hakikat keagungan kalamNya dengan pakaian, yang diibaratkan
huruf-huruf, niscaya tidaklah terbukti tegas, 'Arasy dan bintang Tsurayya itu,
mendengar kalam Allah. Dan lenyaplah sesuatu diantara keduanya dari keagungan
kekuasaan dan kesucian nurNya. Jikalau tidaklah diberikan ketetapan oleh Allah
'Azza wa Jalla kepada Musa a.s., niscaya tidaklah ia sanggup mehdengar
kalamNya, sebagaimana tidak sanggup gunung pada permulaan kenyataan
(tajalli)nya, dimana dia menjadi bergoncang. Dan tidak mungkin memahami
keagungan kalam Allah, kecuali dengan contoh-contoh dalam batas pemahaman
makhluk. Kerena inilah maka disebutkan oleh sebahagian 'arifin tentang kalam
itu, dengan mengatakan, bahwa tiap-tiap huruf dari kalam Allah 'Azza wa Jalla
pada Luh-mahfudh, adalah lebih besar dari bukit Qaf. Dan sesungguhnya para
malaikat a.s., jikalau berkumpul pada suatu huruf untuk mengangkatkannyaJ niscaya mereka tiada sanggup, sehingga
datanglah Israfil a.s. — yaitu malaikat yang mengawal Luh-mahfudh — lalu
mengangkatnya. Maka dapatlah diangkatkannya dengan izin dan rahmat Allah 'Azza
wa Jalla. Tidak dengan kekuatan dan kesanggupannya. Tetapi Allah 'Azza wa Jalla
yang menganugerahkannya kemampuan yang demikian kepadanya dan menggunakannya.
Sebahagian ulama hikmah (hukuma') telah menyusun kata-kata dengan baik, secara
halus, untuk menyampaikan pengertian kalam serta keagungan derajatnya, kepada
pemahaman dan keyakinan manusia, serta rendahnya tingkat manusia itu. Diberi
untuk itu suatu contoh, yang tidak dipendekkan padanya. Yaitu: bahwa diajak
sebahagian raja-raja oleh seorang ahli hikmah kepada syari'at nabi-nabi a.s.
Lalu raja itu menanyakannya tentang beberapa perkara. Maka ahli hikmah tadi
menjawab dengan cara yang dapat dipahami oleh raja itu. Maka berkatalah raja:
"Adakah engkau lihat akan apa yang dibawa para nabi itu, apabila engkau
mendakwakan, bahwa itu bukan perkataan manusia. Dan itu kalam Allah 'Azza wa
Jalla. Maka bagaimanakah sanggup manusia memikulnya?"
Menjawab ahli hikmah: "Kita
melihat manusia, tatkala bermaksud memberi pengertian kepada sebahagian hewan
dan burung, akan apa yang mereka maksudkan, tentang maju dan mundurnya,
menghadap dan membelakangnya. Dan mereka melihat hewan-hewan itu singkat
pengertiannya, daripada memahami perkataan mereka yang dari nur akal pikiran
mereka, yang disertakan dengan kebagusan, penghiasan dan keelokan susunannya.
Lalu mereka turun kepada derajat pengertian hewan dan mereka menyampaikan
maksudnya kepada batin hewan-hewan itu dengan suara yang diadakannya, yang
layak dengan mereka, seperti mengetikkan jari, bersiul dan berbagai suara yang
mendekati dengan suara hewan-hewan itu. Supaya sanggup memikulkannya. Dan begitu
pula, manusia itu lemah daripada membawa kalam Allah Azza wa Jalla dengan
hakikat dan kesempurnaan sifatNya. Maka jadilah dengan apa yang diper-gunakan
diantara sesama mereka, dari suara-suara yang didengar mereka akan ilmu hikmah
dengan suara-suara itu, seperti suara ketikan jari dan bersiul yang didengar
oleh hewan-hewan itu dari menusia. Dan tidak dilarang oleh yang demikian akan
pengertian-pengertian yang tersembunyi pada sifat-sifat itu, dari kemuliaan
kalam, ya'ni suara-suara, adalah karena mutianya sifat-sifat itu. Dan agungnya
kalam karena pengagungan, sifat-sifat itu. Sehingga suara itu adalah tubuh dan
tempat bagi hikmah dan hikmah itu adalah nyawa dan roh bagi suara. Maka
sebagaimana tubuh manusia itu dimuliakan dan dihormati karena tempat roh, maka
seperti itu pula suara-suara kalam, dimuliakan karena hikmah yang ada padanya.
Kalam itu diatas kedudukan yang tinggi
derajat, kekuasaan yang perkasa, dan hukum yang tembus, pada yang hak dan yang
batil. Dialah kadli yang adil, saksi yang disenangi, menyuruh dan melarang. Tak
mampulah yang batil tegak berdiri dihadapan kalam hikmah, sebagaimana tidak
mampu bayang-bayang tegak berdiri dihadapan cahaya matahari. Dan tidak mampu
manusia menjalankan penyelidikan yang mendalam tentang hikmah, sebagaimana
mereka tidak mampu menjalankan penyelidikan dengan mata mereka akan cahaya
matahari. Tetapi mereka memperoleh dari cahaya diri matahari itu, akan apa yang
dapat hidup mata mereka dan dapat membuktikan dengan itu akan segala keperluan
mereka saja. Maka kalam itu adalah sebagai raja yang terdinding, yang wajahnya
tidak kelihatan, tetapi perintahnya tembus keluar. Dan seperti matahari yang
mulia, yang menampakkan diri, yang tersembunyi unsurnya. Dan seperti
bintang-bintang yang cemerlang, yang kadang-kadang memperoleh petunjuk dengan
dia, orang yang tiada mengetahui tentang perjalanan bintang-bintang itu. Maka
kalam itu, adalah anak kunci gudang-gudang yang bernilai tinggi, dan minuman
kehidupan. Siapa yang minum daripadanya, niscaya tidak akan mati. Dan obat segala
penyakit dan siapa yang minum daripadanya, niscaya tidak akan sakit". Maka
ini yang disebutkan oleh ahli hikmah itu, adalah sekelumit dari pemahaman arti
kalam.
Dan tambahan dari itu, tidaklah layak
dengan ilmu mu'amalah. Maka seyogialah disingkatkan sehingga itu saja. Kedua:
pengagungan Yang Berkalam (Mutakallim). Maka seorang pembaca ketika memulai
tilawah Al-Qur'an, seyogialah menghadirkan dalam hatinya, akan keagungan
Mutakallim dan mengetahui, bahwa apa yang dibacakannya itu, tidaklah dari perkataan
manusia. Dan bahwa dalam bertilawah kalam Allah 'Azza wa Jallla itu, adalah
sangat besar bahayanya. Allah Ta'ala berfirman:
(Laa yamassuhu illal-muthahha-ruun).
Artinya: 'Tiada yang menyentuhnya
selain dari orang-orang yang disucikan. — S. Al-Waqi'ah, ayat 79. Maka
sebagaimana yang dhahir dari kulit mashhaf dan kertasnya, dijaga dari yang
dhahir kulit penyentuhnya, kecuali apabila ia telah bersuci. Maka batin
pengertiannya juga, disebabkan hukum kemuliaan dan keagungannya, terhijab dari
batin hati. Kecuali apabila ia telah bersuci dari segala kotoran dan bersinar
dengan nur pengagungan dan penghormatan. Dan sebagaimana tidak pantas disentuh
kulit mashhaf oleh semua tangan, maka tidak pula pantas untuk bertilawah hurufnya
oleh semua lidah dan untuk memperoleh pengertiannya oleh semua hati.
Dan bagi seumpama pengagungan ini,
adalah 'Akramah bin Abi Jahl, apabila membuka mashhaf, lalu pingsan, dan
berkata: "Dia itu kalam Tuhanku! Dia itu kalam Tuhanku!"
Maka pengagungan kalam, adalah
pengagungan Mutakallim. Dan tidak akan timbul pengagungan Mutakalim selama
tidak bertafakkur tentang sifat-sifat, keagungan dan af-'alNya. Apabila telah
hadir disanubarinya 'Arasy, Kursi, langit, bumi dan apa yang ada diantara
keduanya, dari jin, manusia, hewan dan kayu dan mengetahui bahwa yang
menjadikan semuanya itu, yang berkuasa dan yang memberikan rezeki kepadanya,
adalah ESA. Dan semuanya didalam genggaman qudrahNya, yang berkisar diantara
kumia dan rahmatNya, diantara cobaan dan kekuasaanNya. Jika dianugerahiNya
ni'mat, maka adalah dengan kurniaNya dan jika disiksakanNya, maka adalah dengan
keadilanNya. Dan sesungguhnya, Dialah yang berfirman: "Mereka itu kesorga
dan mereka itu keneraka dan Aku tidak perduli!"
Inilah pengagungan yang penghabisan dan
tertinggi! Maka dengan bertafakkur pada contoh-contoh tersebut, akan timbullah
pengagungan Mutakallim kemudian pengagungan Kalam.
Ketiga: kehadiran hati dan meninggalkan
bisikan jiwa. Ada yang mengatakan, pada penafsiran finnan Allah Ta'ala:
(Yaa Yahyaa, khudzil-kitaaba
bi-qu'wwah) — S. Maryam, ayat 12. Artinya: "Hai Yahya! Ambilah Kitab itu
dengan sungguh-sungguh dan rajin". Mengambilnya dengan sungguh-sungguh,
ialah menghadapkan diri kepada Kitab itu semata-mata ketika membacanya,
menjuruskan kemauan hati kepadanya saja, tidak kepada yang Iain.
Ditanyakan kepada sebahagian mereka:
"Apabila engkau membaca Al-Qur'an, adakah engkau itu, berbicara dengan
dirimu akan sesuatu?" Menjawab yang ditanyakan itu: "Adakah sesuatu
yang lain, yang lebih aku cintai dari Al-Qur'an, sehingga aku berbicara dengan
dia akan diriku?"
Adalah sebahagian salaf, apabila
membaca suatu ayat dari Al-Qur'an, dimana hatinya tak ada padanya; niscaya
diulanginya kali kedua. Sifat itu terjadi, dari pengagungan yang telah ada
sebelumnya. Karena orang yang mengagungkan Kalam yang dibacanya itu, merasa
gembira dan bersuka hati dengan bacaannya dan tidak berlengah hati daripadanya.
Maka didalam Al-Qur'an, terdapatlah yang menyukakan hati, kalau yang membaca itu ahli. Lalu bagaimanakah mencari kesenangan
dengan pikiran kepada yang lain, sedang dia didalam kesenangan dan kesukaan
hati dengan pembacaannya? Orang yang sedang bersuka ria pada hal-hal yang
menyenangkan, niscaya tidak akan berpikir kepada yang lain. Sesungguhnya, ada
yang mengatakan: "Bahwa didalam Al-Qur'an itu terdapat tanah-tanah lapang,
kebun-kebun, istana-istana, mahligai, kain sutera, taman dan tempat singgahan
orang-orang musafir. Maka segala mim, adalah tanah lapang bagi Al-Qur'an.
Segala ra', adalah kebun-kebun Al-Qur'an. Segala hal adalah istana-istana Al-Qur'an. Segala ayat
yang mengandung tasbih, adalah mahligai-mahligai Al-Qur'an. Segala ha-mim-nya
adalah kain sutera bagi Al-Qur'an. Surat-suratnya yang panjang, adalah iaman-tamannya.
Dan tempat-tempat singgahannya, adalah yang lain dari itu. Maka apabila pembaca
memasuki lapangan-lapangan tadi, memetik buah-buahan dikebun, memasuki
istana-istana, mempersaksikan mahligai-mahligai, memakai kain-kain sutera,
bersenang-senang ditaman dan mendiami kamar-kamar tempat singgahan, niscaya
habislah kesitu segenap jiwa raganya dan tak ada waktu tagi untuk yang lain.
Sehingga tidak rengganglah hatinya dan tidak berpisahlah pikirannya dari
Al-Qur'an yang dibacanya.
Keempat: pemahaman, yaitu dibalik
kehadiran hati tadi. Karena kadang-kadang ia tidak berpikir kepada selain dari
Al-Qur'an, tetapi memadakan kepada mendengar Al-Qur'an saja, sedang ia tidak
memahami pengertiannya.
Yang dimaksudkan dari pembacaan itu,
ialah pemahaman (tada'bbur) Dan karena itulah, disunatkan tartil, karena tartil
secara dhahir, adalah untuk memungkinkan tada'bbur dengan batin. Berkata Ali
r.a.: "Tak ada kebajikan pada ibadah, yang tak paham padanya dan tak
ada kebajikan pada bacaan, yang tak ada tada'bbur padanya".
Apabila tiada mungkin bertada'bbur,
kecuali dengan mengulang-ulangi, maka hendaklah diulang-ulangi, kecuali kalau
ia dibelakang imam. Kalau ia terus bertada'bbur ayat, sedang imam telah
berpindafi pada ayat lain, maka adalah ja telah bersalah. Seumpama orang yang
menghabiskan waktunya dengan keheranan pada suatu perkataan dari orang yang
bercakap-cakap dengan dia, daripada memahami percakapannya yang lain.
Begitu pula kalau berada dalam tasbih
ruku', dimana ia bertafakkur tentang ayat yang dibacakan imamnya. Maka ini
adalah waswas (bisikan setan). Diriwayatkan dari 'Amir bin Abdu Qais, bahwa ia
berkata: "Waswas itu mengganggu saya didalam shalat". Lalu ia
ditanyakan: "Mengenai hal duniawi?"
'Amir menjawab: "Sesungguhnya
berulang kali kelupaan pada saya, adalah lebih saya sukai daripada itu. Tetapi
hatiku selalu sibuk dengan tegakku dihadapan Tuhanku 'Azza wa Jalla. Dan
bagaimanakah aku berpaling dari itu?"
Maka dihitungnya yang demikian itu,
waswas. Dan betullah demikian, karena menyibukkannya, daripada memahami apa
yang sedang dikerjakan nya. Dan setan itu tidak sanggup mendayakan seperti
'Amir, kecuali menyibukkannya dengan kepentingan keagamaan. Tetapi, setan itu,
mencegahnya daripada perbuatan yang lebih utama. Tatkala hal itu disebutkan
kepada Al-Hasan, lalu beliau berkata: "Kalau adalah kamu benar
daripadanya, maka tidaklah diperbuatkan oleh Allah yang demikian itu pada
kami". Diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم
membaca
"Bismi'llaahir'rrahmaanir-rahiim", lalu mengulang-ulanginya duapuluh
kali. Sesungguhnya diulang-ulangi oleh Nabi صلى الله عليه وسلم
adalah
karena, bertada'bbur pada segala pengertiannya (1).
Dari Abi Dzar, yang mengatakan:
"Rasulu'llah صلى الله عليه
وسلم melakukan
shalat pada suatu diulang-ulanginya, yaitu:
1. Dirawikan Abu
Dzar AlHarawi dari Abu Hurairah dengan sanad dlaif.
|
إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ
فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(in tu'adz-dzibhum fa i'nnahum
'ibaaduka wa in taghfir lahum) .......sampai akhir ayat - S. Al-Maidah, ayat
118. Artinya: "Kalau mereka Engkau siksa, maka mereka itu hamba-hamba
Engkau dan kalau mereka Engkau ampuni....'." (1).
Dan Tamim Ad-Dari mengerjakan shalat
pada suatu malam dengan membaca ayat:
('Am
hasiba'lladziina'j-tarahu's-sayyiaat).....sampai akhir ayat — S.Al-Jatsiyah,
ayat 21.
Artinya: "Apakah orang-orang yang
membuat kesalahan itu mengira.......".
Sa'id bin Jubair mengerjakan shalat
pada suatu malam, yang mengulang-ulangi ayat:
(Wa'mtaazu'l-yauma
a'yyuha'l-muj-rimuun) — S. Yasin, ayat 59. Artinya: "Bersisihlah kamu
pada hari ini hai orang-orang berdosa!" Berkata sebahagian mereka: "Sesungguhnya
aku memulai sebuah surat, maka dihentikan aku oleh sebahagian apa yang aku
persaksikan padanya, daripada selesai, sehingga terbitlah fajar".
Adalah sebahagian mereka berkata: "Suatu ayat yang tidak aku pahami dan
tak ada hatiku padanya, maka tiada aku hitungkan pahala baginya".
Diceriterakan dari Abi Sulaiman Ad-Darani, yang mengatakan: "Sesungguhnya
aku membaca suatu ayat, maka aku bangun padanya empat malam atau lima malam.
Dan kalau tidaklah aku putuskan pemikiran padanya, niscaya tidaklah aku
lewatkan kepada yang lain". Dari sebahagian salaf. didapati, bahwa ia
tetap pada surat Hud, enam bulan diulang-ulanginya dan tidak selesai daripada
bertada'bbur padanya. Berkata sebahagian 'arifin: "Bagiku pada
tiap-tiap Jum'at sekali khatam. Pada tiap-tiap bulan sekali khatam. Dan pada
tiap-tiap tahun sekali khatam. Dan bagiku sekali khatam semenjak tigapuluh
tahun, yang tidak selesai aku sesudah itu daripadanya". Yang demikian itu,
adalah menurut derajat pemahaman dan pemeriksaannya. Dan sebahagian 'arifin yang
tadi mengatakan pula: "Aku
1, Dirawikan
An-Nasa-i dan Ibnu Majah, dengan sanad shahih.
|
tempatkan diriku, sebagai orang-orang
mengambil upah. Maka sesungguhnya aku bekerja harian, mingguan, bulanan dan
tahunan". Kelima: pemahaman, yaitu memperoleh penjelasan dari tiap-tiap
ayat, akan apa yang layak baginya. Karena Al-Qur'an itu, melengkapi penyebutan
sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, penyebutan afalNya, penyebutan hal-ikhwal
nabi-nabi a.s. dan penyebutan hal-ikhwal orang-orang yang mendustakan mereka
serta bagaimana mereka itu binasa, penyebutan segala suruhan dan laranganNya,
penyebutan sorga dan neraka.Adapun sifat-sifat Allah "Azza wa Jalla, yaitu
seperti firmanNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Laisa ka-mitslihi syai-un wa huwas-samii'ul
bashiir).
Artinya: "Tiada sesuatupun serupa
dengan Dia dan Dia mendengar dan melihat dengan terang" - S Asy-Syura,
ayat 11. Dan seperti firmanNya:
(Al-rnalikul-qudduusus-salaamul-'mu'minul-muhaiminul-'azii-zul-jabba-rul-muta-kabbir).
Artinya: "Dia itu Raja, Mahasuci,
Pembawa Keselamatan, Pemelihara Keamanan, Penjaga segala sesaatu, Mahakuasa,
Mahaperkasa dan Maha besar" — S. Al-Hasyr, ayat 23.
Maka hendaklah diperhatikan arti nama-nama
dan sifat-sifat ini, supaya terbukalah segala rahasianya, yang dibukakan oleh
segala pengertian yang tertanam, yang tidak akan terbuka kecuali bagi
orang-orang yang mendapat taufiq! Dan kepada itulah ditunjukkan oleh Ali r.a.
dengan ucapannya: 'Tiada dirahasiakan kepadaku oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم sesuatu yang disembunyikannya dari
manusia lain, melainkan didatangkan oleh Allah 'Azza wa Jalla seorang hamba
yang memahami KitabNya. Maka hendaklah ia bersungguh-sungguh menuntut pemahaman
itu!"
Berkata Ibnu Mas'ud
r.a.: "Barangsiapa bermaksud ilmu pengetahuan
orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, maka hendaklah ia membahas
pengertian Al-Qur'an. Dan yang terbesar dari ilmu pengetahuan Al-Qur'an, ialah
dibawah nama-nama Allah 'Azza wa Jalla dan sifat-sifatNya. Karena tiada
diketahui oleh kebanyakan makhluk daripadanya, kecuali beberapa perkara yang
layak dengan pemahaman mereka dan tidak akan diperoleh mereka sampai
sedalam-dalamnya". Adapun afal Allah Ta'ala, maka seperti
disebutkanNya kejadian langit bumi dan lainnya. Maka hendaklah dipahami oleh
pembaca dari af'alNya itu akan sifat-sifat Allah Ta'ala dan keagunganNya.
Karena afal
(perbuatan) itu menunjukkan kepada pembuat (fa'il). Maka ditunjukkan oleh
keagungan perbuatan kepada keagungan pembuatnya. Maka sewajarnyalah
dipersaksikan pada perbuatan, akan pembuat, tidak perbuatan. Maka barangsiapa
mengenal kebenaran, niscaya melihat yang
demikian pada tiap-tiap sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu itu, adalah
daripadaNya, kepadaNya, dengan Dia dan untuk Dia. Maka Dialah semua, menurut
yang sebenarnya. Dan barangsiapa tiada melihat yang demikian, pada tiap-tiap
sesuatu yang dilihatnya, maka seolah-olah ia tiada mengenalNya. Dan barangsiapa
mengenalNya, niscaya mengenal, bahwa tiap-tiap sesuatu selain Allah itu batil
dan tiap-tiap sesuatu itu binasa, selain WajahNya. Bukan sesuatu itu akan batil
dalam keadaan yang kedua nanti (hari kiamat), tetapi sekarang juga batil, kalau
dipandang kepada dirinya dari segi diri itu sendiri. Kecuali, dipandang adanya
(wujudnya) sesuatu itu, dari segi adanya dengan sebab Allah "Azza wa Jalla
dan dengan QudrahNya. Maka adanya itu dengan jalan ikutan (tab'iyah) dan adalah
batil semata-mata bila dengan jalan berdiri-sendiri (istiqlal).
Ini, adalah langkah pertama dari langkah-langkah
(pokok-pokok) ilmu-mukasyafah. Karena itu, seyogialah apabila pembaca itu
membaca firman Allah Ta'ala:
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
(Aa fa ra-aitum maa tahrutsuun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam" -
S. Al-Waqi'ah, ayat 63.
(Afa ra-aitum maa tumnuun).
Artinya: "Tiadakah kamu perhatikan
(air mani) yang kamu tumpahkan?" - S. Al-Waqi'ah, ayat 58.
(Afara-aitumul-maa-alladzii
tasy-rabuun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan
air yang kamu minum?" — S. AL-Waqi'ah, ayat 68.
(A fara-aitumunnaa-rallatii tuuruun).
Artinya: "Adakah kamu
perhatikan api yang kamu nyalakan?" - S. Al-Waqi'ah, ayat 71, lalu
tidak memendekkan pandangannya kepada air, api, tanaman dan mani saja. Tetapi
memperhatikan tentang mani itu. Yaitu, setitik air hanyir. yang serupa segala
bahagiannya. Kemudian ia melihat tentang bagaimana terbaginya kepada daging,
tulang^urat dan saraf. Dan bagaimana pembentukan anegota-anggotanya dengan
bermacam-macam bentuk, dari kepala, tangan, kaki, paru, jantung dan lain- lain.
Kemudian kepada apa yang dhahir padanya, dari sifat-keadaan mulia, dari
pendengaran. penglihatan, akal pikiran dan lain-lain, Kemudian kepada apa yang
dhahir padanya, dari sifat-keadaan tercela, dari kemarahan, hawa nafsu,
tekebur, kebodohan, berdusta dan pertengkaran seperti firman Allah Ta'ala:
(A-wa-lam yaral-insaanu annaa
khalaqnaahu min-nuth fatin fa-idzaa huwa khashiimun mubiin),
Artinya: "Apakah manusia itu
tidak melihat, bahwa Kami menjadikannya dari air mani? Tetapi, lihatlah, dia
telah menjadi musuh terang-terangan!" - S.YaSin, ayat 77. Maka
diperhatikan segala keajaiban ini, supaya dapat mendaki kepada yang
ajaibul-ajaib. Yaitu: sifat, yang terbit daripadanya segala keajaiban ini. Maka
senantiasalah ia memandang kepada ciptaan, lalu ia melihat akan Pencipta.
Adapun hal-ikhwal nabi-nabi a.s.: maka
apabila mendengar hal-ikhwal nabi-nabi, bahwa bagaimana mereka itu didustakan,
dipukul dan dibunuh sebahagian mereka, lalu hendaklah dipahami daripadanya akan
sifat tidak memerlukan (sifat-istighna') bagi Allah 'Azza wa Jalla. kepada
rasul-rasul (utusan-utusan) dan umat yang diutuskan rasul-rasul itu kepadanya.
Dan kalau binasalah mereka itu semuanya, niscaya tidaklah membekaskan sesuatu
dalam kerajaanNya. Dan apabila mendengar, bahwa rasul-rasul a.s. itu memperoleh
pertolongan pada akhir pekerjaannya, maka hendaklah dipahami akan qudrah Allah
'Azza wa Jalla dan iradahNya untuk menolong kebenaran.
Adapun hal-ikhwal orang-orang yang
mendustakan: seperti 'Ad, Tsamud dan yang berlaku atas mereka, maka hendaklah
dipahami daripadanya, akan perasaan takut dari kekuasaan dan pembalasanNya!
Hendaklah
keuntungannya dari yang demikian itu,
mengambil ibarat pada dirinya sendiri! Dan kalau lengah, bertindak diluar
kesopanan dan tertipu dengan tertangguhnya pembalasan, maka kadang-kadang
pembalasan itu akan diperoleh dan terdapat dengan segera.
Begitu pula, apabila mendengar keadaan
sorga, neraka dan yang lain-lain yang tersebut dalam Al-Qur'an, maka tidaklah
mungkin mendalami apa yang dipahamkan daripadanya. Karena yang demikian itu,
tak ada kesudahan baginya. Hanya bagi masing-masing hamba memperoleh sekedar
bahagiannya daripadanya. Maka tidak adalah yang basah dan yang kering,
melainkan semuanya itu ada didalam kitab yang menjelaskan-.
قُلْ لَوْ كَانَ
الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ
كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
(Qullaukaanal-bahru midaadan
likalimaati rabbii lanafidal-bahru qabla an tanfada kalimaatu rab-bii walau
ji'naabimits-lihi madadaa).
Artinya: "Katakan: Kalau
kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan Tuhanku, niscaya
lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan Tuhanku (dituliskan) biarpun
Kami datangkan sebanyak itu pula tambahannya" - S. Al-Kahf, ayat 109.
Karena itulah,
berkata Ali r.a.: "Jikalau aku mau, niscaya dapatlah aku isikan pikulan
tujuhpuluh ekor unta dari penafsiran surat Al-Fatihah saja".
Maka maksud daripada apa yang kami
sebutkan itu, ialah memberitahukan jalan pemahaman, supaya terbukalah pintunya.
Adapun secara mendalam, maka tak usahlah diljarapkan!
Orang yang tidak mempunyai pemaltaman
apa yang didalam Al-Qur'an, walaupun dalam tingkatan yang paling rendah, maka
termasuklah dia dalam firman Allah Ta'ala: "Dan diantara mereka itu, ada
yang mendengarkan perkataan (bacaan) engkau, tetapi akhirnya, ketika mereka
telah keluar dari tempat engkau, mereka berkata kepada orang-orang yang
berpengetahuan: Apakah yang dikatakannya sebentar itu? Itulah orang-orang yang
dicap (ditutup) hati mereka oleh Allah". - S. Muhammad, ayat 16. Dan cap
itu, ialah pencegah-pencegah yang akan kami sebutkan, pada pencegah-pencegah
pemahaman. Sesungguhnya ada yang mengatakan: "Tidaklah murid (yang
berkehendak) itu, seorang murid, sebelum ia memperoleh didalam Al-Qur'an, akan
apa yang dikehendakinya. Mengenai daripadanya akan kekurangan daripada tambahan
dan merasa cukup dengan penghulu daripada budak.
Keenam:
penyingkiran dari segala pencegah paham. Sesungguhnya kebanyakan manusia
tercegah daripada memahami pengertian Al-Qur'an,
karena beberapa sebab dan hijab, yang
dikembangkan oleh setan pada hati mereka. Lalu menjadi butalah mereka tentang
segala keajaiban rahasia Al-Quran. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Jikalau tidaklah setan-setan itu
mengedari hati anak Adam (manusia), niscaya mereka melihat kepada alam
malakut". Dan segala pengertian Al-Qur'an adalah sebahagian dari jumlah
alam malakut. Dan tiap-tiap yang jauh dari pancaindra dan tidak diketahui,
selain dengan nur matahati (nur-al-bashirah), maka adalah sebahagian dari alam
malakut. Yang menghijabkan pemahaman, adalah empat:
Pertama, adalah
perhatiannya tertuju kepada penyebutan huruf, dengan mengucapkannya _menurut
pengucapannya (makhrajnya). Penjagaannya
ini dipengaruhi oleh setan, yang ditugaskan kepada para pembaca Al-Qur'an (qu'rra'), supaya mengelakkan
mereka daripada memahami
pengertian-pengertian kalam 'Azza wa Jalla. Maka senantiasalah dibawanya para pembaca itu kepada
mengulang-ulangi huruf, yang terguris
dalam hati mereka, bahwa belum mengucapkannya dari -makhrajnya.
Orang tadi, adalah
perhatiannya tertuju kepada makhraj-makhraj huruf. Maka bilakah terbuka baginya
pengertian? Dan yang amat menertawakan setan, ialah: orang yang menta'ati
kepada seumpama pengacauan ini. Kedua, adalah ia seorang muqallid (yang
bertaqlid) kepada suatu mazhab, yang didengarnya dengan taqlid, dan ia membeku
kepadanya. Dan tetaplah pada jiwanya kefanatikan (ta'ash-shub), dengan
semata-mata mengikuti yang didengar, tanpa sampai kepadanya dengan mata hati dan
penyaksian batin.
Maka ini, adalah orang yang dikungkung
oleh aqidahnya, daripada melampauinya. Maka tidaklah mungkin bahwa terguris
dihatinya, selain daripada aqidahnya. Lalu jadilah perhatiannya terhcnti kepada
yang didengarinya. Kalau berkilatlah suatu kilat dari jauh dan teranglah
kepadanya salah satu dari pengertian-pengertian yang bertentangan dengan yang
didengarnya, niscaya dipikulkan keatas pundaknya oleh setan taqlid, seraya
setan itu berkata: "Bagaimana maka terguris itu dihatimu, pada hal itu bersalahan
dengan aqidah bapa-bapamu?" Maka ia melihat, bahwa itu adalah tipuan
setan, lalu ia menjauhkan diri daripadanya dan menjaga daripada yang
menyerupainya. Dan bagi yang seperti ini,
telah berkata ulama-ulama shufi: "Bahwa ilmu itu
suatu hijab". Dimaksudkan mereka dengan ilmu tadi, ialah segala
'aqidah (kepercayaan) yang dipegang terus-menerus oleh sabahagian besar
manusia, dengan taqlid semata-mata. Atau dengan kata-kata perdebatan
semata-mata, yang diuraikan oleh orang-orang yang fanatik kepada mazhab-mazhab
dan diajarkannya kepada mereka.
Adapun
ilmuhaqiqi, yaitu: kasyaf dan musyahadah dengan nur-bashi-rah, maka
bagaimanakah dia itu hijab, sedang dia adalah: yang dicari terakhir?
Taqlid itu
kadang-kadang adalah batil, maka jadilah dia penghalang, seperti orang yang
beri'tiqad tentang istiwa' diatas 'Arasy itu, tetap dan tidak berpindah.
Jikalau tergurislah baginya — umpamanya
— tentang Allah Yang Mahasuci, bahwa Dia itu mahasuci dari tiap-tiap apa saja
yang jaiz diatas makhlukNya, niscaya tidak memungkinkan oleh ke-taqlid-annya
itu, bahwa faham yang demikian menetap pada dirinya. Dan jikalau menetap pada
dirinya, niscaya membawa kepada kasyaf kedua, ketiga dan terus bersambung.
Tetapi bersegeralah ia menolak yang demikian dari gurisan hatinya, karena
berlawanan dengan taqlidnya yang batil, Dan taqlid itu kadang-kadang benar
(haq) dan juga dia itu pencegah dari faham dan kasyaf. Karena haq yang
memberatkan makhluk untuk mempercayainya, mempunyai Jingkat-tingkat dan
derajat-derajat. Mempunyai pokok yang dhahir dan isi yang batin. Dan membekunya
labia t seseorang diatas yang dhahir, mencegah kan nya daripada sampai kepada
isi mendalam bagi batin, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu, mengenai
perbedaan antara ilmu dhahir dan ilmu batin dalam: Kitab kaedah-kaedah i'tiqad.
"Ketiga: adalah dia itu berkekalan
diatas dosa atau bersifat dengan tekebur atau kena percobaan pada umumnya,
mematuhi dengan kecondongan pada dunia. Maka itu adalah sebab kegelapan hati
dan berkarainya. Dan 4tu adalah seperti najis diatas kaca, lalu "mencegah
jelasnya kebenaran (haq) daripada menampak padanya. Dan itu. adalah hijab yang
terbesar bagi hati. Dan dengan itulah. terhijab kebanyakan orang. Manakala
hawa-nafsu itu sangiat tebal. niscaya pengertian Kalam adalah sangat terhijab.
Dan manakala tipis dari hati, segala beban dunia, niscaya mendekatlah
kecemerlangan pengertian padanya. Hati itu, adalah seumpama kaca dan nafsu
syahwat itu seumpama karat. Segala pengertian Al-Qur'an adalah seumpama bentuk
yang menampak pada kaca. Dan latihan bagi hati dengan melenyapkan
nafsu-syahwat, adalah seumpama menggosok bersih bagi kaca. Dan karena itulah,
bersabda Nabi صلى الله عليه
وسلم "Apabila diagungkan oleh umatku akan dinar dan dirham,
niscaya dicabutkan daripadanya kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan
amar ma'ruf dan nahi munkar, niscaya diharamkan mereka dari keberkatan
wahyu". Berkata Ai-Fudlail: "Ya'ni:
diharamkan mereka dari memahami Al-Qur'an".
Telah disyaratkan oleh Allah 'Azza wa
Jalla, kembali kepada pemahaman dan pengingatan. Berfirman Allah Ta'ala :
"Menjadi pemandangan dan pengajaran bagi setiap hamba yang kembali (kepada
Tuhan)". S. Qaf, ayat 8, Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Hanyalah orang yang kembali (kepada Tuhan) yang dapat menerima
pelajaran". -
S. Al-Mu'min, ayat 13. Berfirman Allah Ta'ala: "Hanyalah orang-orang yang berakal dapat mengerti". - S. Ar-Ra'd, ayat 19. Maka orang yang memilih tipuan
duniadari ni'mat akhirat, maka dia tidaklah dari orang-orang yang berakal. Dan
karena itulah, tiada terbuka baginya rahasia-rahasia Kitab Suci.
Keempat,
dia telah membaca tafsir yang dlahir dan berkeyakinan, bahwa tak ada pengertian
bagi kalimat-kalimat Al-Qur'an, selain daripada apa yang diperoleh oleh naql
(diterima atau disalin) dari ibnu'Abbas, Mujahid dan lain-lainnya. Dan yang
dibalik dari itu, adalah penafsiran dengan buah pikiran. Dan barangsiapa
menafsirkan Al-Quran dengan buah pikirannya niscaya tersedialah tempat duduknya
dart api neraka. Maka ini juga sebahagian hijab besar. Dan akan kami terangkan
pengertian penafsiran dengan buah pikiran pada Bab Keempat. Dan itu
berlawanan dengan perkataan Ali r.a.:
"Kecuali diberikan oleh Allah kepada seorang hamba akan pemahaman pada
Al-Quran". Dan sesungguhnya, kalau pengertian
itu, yaitu: yang dhahir, yang dinuqilkan saja, niscaya tidaklah terdapat
perselisihan manusia padanya.
Ketujuh:
(dari sepuluh, yang disebut pada awal Bab "Ketiga") pengkhususan. Yaitu: dia mengumpamakan,
bahwa dialah yang dimaksud.,., dengan tiap-tiap kata yang ditujukan dalam
Al-Qur'an. Kalau ia' mendengar amar atau nahi, niscaya diumpamakannyalah bahwa
dialah yang dilarang dan yang disuruh. Dan kalau dia mendengar janji ni'mat
(wa'ad) atau janji 'azab (wa'id), maka seperti itulah ia menilaikan pada
dirinya. Dan kalau ia mendengar ceritera (kisah) orang-orang dahulu dan
nabi-nabi, niscaya ia tahu, bahwa ceritera itu bukanlah yang dimaksudkan.
Tetapi yang dimaksudkan, adalah untuk diambil menjadi ibarat. Dan hendaklah
diambilnya dari ceritera yang berlapis-lapis itu, akan apa yang diperlukannya.
Maka tidak suatu kisah pun didalam Al-Qur'an, melainkan pembawaannya bagi
sesuatu paedah terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم
dan umatnya.Karena itulah, maka berfirman Allah
Ta'ala:مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
(Maa nutsabbitu bihi fu-aadak).
Artinya: "Yang dapat memperteguh
hati engkau" - S. Hud, ayat 120. (1).
Maka hendaklah diumpamakan oleh seorang
hamba, bahwa Allah telah menetapkan hatinya, dengan apa yang diceriterakan oleh
Allah kepadanya, dari hal-ikhwal nabi-nabi, kesabaran mereka diatas
penganiayaan dan keteguhan mereka pada Agama, demi menunggu pertolongan Allah
Ta'ala.
Bagaimanakah tidak diumpamakan yang
demikian? Sedang Al-Quran itu tidaklah diturunkan kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم.,
karena dia utusan Allah khususnya, tetapi adalah Al-Quran itu obat, petunjuk,
rahmat dan nur Bagi alam seluruhnya.
1.Ayat 120
seluruhnya ,Dan segala yang kami ceritakan kepada engkau iaitu sebahagian
dari cerita rasul rasul,yang dapat memperteguh hati engkau,dan didalam cerita
ini engkau mendapat kebenaran, serta pengajaran dan peringatan untuk orang
orang beriman(pent)
|
Dan karena itulah, disuruh oleh Allah
Ta'ala manusia seluruhnya, mensyukuri keni'matan Kitab Suci itu. Berfirman Allah
Ta'ala:
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا
أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ
(Wadz-kuruu ni'matal-laahi 'alaikum wa
maa anzala'alaikum minal-kitaabi wal-hikmati-ya'idhukumbih). -Artinya: "Dan
ingatilah ni'mat Allah kepadamu dan apa yang diturunkanNya kepadamu.
diantaranya Kitab dan kebijaksanaan. Ia mengajari kamu dengan itu". —
S. Al-Baqarah, ayat 231.
Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan
sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu yang didalamnya ada peringatan
(pengajaran) buat kamu, Tidakkah kamu perhatikan?" - S. Al-Anbia, ayat
10.
BerfiTman Allah Ta'ala : "Dan
Kami turunkan kepada engkau pengajaran (Al-Qur'an) supaya engkau jelaskan
kepada menusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka". -S.
An-Nahl, ayat 44.
Firman Allah Ta'ala: Begitulah
Allah membuat perumpamaan untuk pelajaran bagi manusia". S. Muhammad,
ayat 3. Berfirman Allah Ta'ala: "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya
yang telah diturunkan kepada kamu dari Tuhanmu". S. Az-Zumar, ayat 55.
Berfirman Allah Ta'ala: "Inilah
keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan yang benar dan rahmat bagi kaum
yang yakin (dalam kepercayaannya)". S. Al-Jatsiyah, ayat 20.
Berfirman Allah Ta'ala : "Al-Quran - inilah keterangan-keterangan yang
jelas untuk manusia, pimpinan kepada kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang
yang memelihara dirinya (dari kejahatan)". S. Ali 'Imran, ayat 138. Apabila dimaksudkan dengan penghadapkan kata (khithab) kepada
seluruh manusia, maka sesungguhnya adalah dimaksudkan kepada masing-masing orang. Maka sipembaca yang seorang itu, adalah yang dimaksudkan. Apakah
bedanya bagi yang seorang itu dan bagi manusia lain? Maka hendaklah ia
mengumpamakan, bahwa dialah dimaksudkan.
Berfirman Allah Ta'ala: "Dan diwahyukan kepadaku Al-Quran ini, supaya dengan itu, aku
dapat memberi ingat kepada kamu dan kepada siapa yang sampai Al-Quran
kepadanya". S. Al-An'aam, ayat 19.
Berkata Muhammad bin Ka'b Al-Qardhi: "Barangsiapa sampai kepadanya Al-Quran, maka seolah-olah
Allah Ta'ala telah berkalam dengan dia". Apabila telah diumpamakan yang demikian, niscaya tidak
diperbuatnya pelajaran Al-Quran itu sebagai pekerjaannya. Tetapi dibacanya Al-Qur'an itu, seperti seorang hamba membaca
surat tuannya, yang dituliskan kepadanya untuk diperhatikannya dan
dilaksanakannya menurut yang dikehendaki surat itu.
Karena itulah, berkata sebahagian
ulama: "Al-Qur'an itu adalah risalah-risalah (surat-surat), yang datang
kepada kita dari pihak Tuhan kita 'Azza wa Jalla, dengan segala janjiNya, yang
kita tada'bburkan didalam shalat. Kita tegak berdiri diatas risalah-risalah
itu, pada tempat kesepian (didalam khilwah) dan kita laksanakannya pada
perbuatan tha'at dan sunat yang dituruti". Bertanya Malik bin Dinar: "Apakah yang ditanamkan Al-Qur'an dalam hatimu, wahai ahli
Al-Quran? Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah musim bunga bagi orang mu'min,
sebagaimana hujan rintik-rintik adalah musim bunga bagi bumi".
Berkata Qatadah: "Tiada duduk seseorang dengan Al-Quran ini, melainkan ia
bangun daripadanya, dengan ada tambahan atau kekurangan". Berfirman Allah
Ta'ala:
هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا
يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا
(Huwa syifaa-un warahmatun lil-mu'
miniina wa laa ya-iiidudh-dhaali-miina ilia khasaaraa).Artinya: "Dia
itu menjadi obat dan rahmat untuk orang-orang yang beriman dan itu tiada akan
menambah kepada orang-orang yang bersalah, selain dari kerugian saja".
S.Al-Isra', ayat 82.
Kedelapan:
pembekasan. Yaitu membekas kepada hatinya dengan
berbagai macam bekas, menurut bermacam-macam ayat yang dibacanya. Maka adalah
haI-keadaannya menurut masing-masing paham yang ada baginya. Dan terdapatlah
hatinya bersifat dengan kedukaan, ketakutan, keharapan dan lainnya. Manakala
ma'rifahnya telah sempurna niscaya adalah ketakutan menjadi keadaannya yang
terbanyak, pada hatinya. Sesungguhnya penyempitan (tadlyiq), adalah biasa
terdapat pada ayat-ayat Al-Qur'an. Maka tidak terlihat penyebutan ampunan dan
rahmat melainkan disertai dengan syarat-syarat, yang sukar bagi seorang yang
tahu, untuk memperolehnya, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla:وَإِنِّي لَغَفَّارٌ
(Wa innii laghaffaa-run).—
S.Thaha,ayat82. Artinya;"Dan sesungguhnya Aku Mahapengampun".
Kemudian, diikutkanNya yang demikian itu, dengan empat syarat:
(Liman taaba wa aamana wa 'amila
shaalihan tsumma'htadaa) sambungan ayat 82 diatas.Artinya: "Bagi orang
yang bertobat,beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian, ia mengikuti
jalan yang benar".
Dan firmannya:
"Demi waktu. sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dari
orang-orang, yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik dan mewasiatkan
(memesankan) satu sama lain dengan kebenaran dan mewasiatkan satu sama lain
supaya bersabar". — S. AI-'Ashr, ayat 1-2-3. Disebutkan disitu empat
syarat.
Dan dimana diringkaskan, maka
disebutkan satu syarat saja yang melengkapkan (syarat jaami'), lalu Allah
Ta'ala berfirman:
(Fnna rahmatallaahi qariibun
mina'lmuhsiniin) —S. Al-A'raaf, ayat 56.
Artinya: "Sesungguhnya rahmat
Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan kepada orang lain
(berbuat ihsaan)". Berbuat kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan)
itu, meratai seluruhnya.
Dan begitulah orang yang membuka
halaman Al-Qur'an, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya dan orang
yang memahami demikian. Maka layaklah kiranya, bahwa keadaannya itu bersifat
dengan ketakutan dan kedukaan. Karena itulah berkata Al-Hasan: "Demi
Allah, tidaklah pada hari ini seorang hamba yang membaca Al-Qur'an yang
di-imaninya melainkan banyaklah kedukaannya, sedikitlah kegembiraannya,
banyaklah tangisnya, sedikitlah ketawanya, banyaklah pekerjaan dan
perbuatannya, sedikitlah istirahat dan perbuatannya yang sia-sia". Berkata
Wuhaib bin Al-Ward: "Kami melihat pada segala pembicaraan dan pengajaran
ini, maka kami tiada mendapati sesuatu yang lebih menghaluskan hati dan menarik
kedukaan, daripada membaca Al-Qur'an, memahami dan mentada'bburkannya, Maka
membekaslah hamba dengan tilawah itu, bahwa ia bersifat dengan perihal ayat
yang dibacakan. Ketika membaca ayat wa'id (ayat yang mengandung ancaman azab)
dan pengikatan ampunan dengan syarat-syarat, yang lemah dia dari ketakutannya,
seakan-akan ia hampir meninggal dunia. Dan ketika membaca ayat yang melapangkan
dan janji ampunan, ia bergembira, seolah-olah ia terbang dari kegembiraan.
Ketika menyebut Allah, sifat-sifat dan nama-namaNya, lalu tertunduklah ia
menekur kepala, karena merendahkan diri bagi keangunganNya dan merasakan
kebesaran-Nya. Ketika disebutkan oleh orang-orang kafir akan apa yang mustahil
bagi AHah 'Azza wa Jalla seperti disebutkan mereka bahwa Allah 'Azza wa Jalla
mempunyai anak dan teman hidup, lalu suaranya merendah dan batinnya hancur,
karena malu dari kejinya perkataan orang-orang kafir itu. Dan ketika disifatkan
sorga, lalu menggeraklah batinnya karena rindu kepadanya. Dan ketika disifatkan
neraka, lalu gemetarlah sendi-sendinya, karena takut daripadanya.
Tatkala Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Ibnu Mas'ud: "Bacalah
kepadaku!", maka Ibnu Mas'ud berceritera: "Lalu aku mulai
dengan surat An-Nisa'. Tatkala sampai kepada ayat:
فَكَيْفَ إِذَا
جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا
(Fakaifa idzaa ji'naa min ku'lli
u'mmatin bisyahiidin wa ji'naa bika "alaa haa-ulaa-i syahiidaa) An-Nissa,
ayat 42.Artinya: "Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada tiap umat
seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas umat ini" aku melihat kedua matanya berlinang air mata,
seraya mengatakan kepadaku: "Cukuplah sekian sekarang!"
Itu adalah karena dengan mempersaksikan
keadaan yang demikian mempengaruhi keseluruhan isi jiwanya. Dan ada dalam
golongan orang-orang yang takut (al-khaaifun), orang yang jatuh tersungkur
kepitaman pada ayat-ayat wa'id. Dan diantara mereka, ada yang terus meninggal
waktu mendengar ayat-ayat itu.
Hal-hal yang seperti ini, membuat
sipembaca itu diluar daripada dia sebagai menceriterakan saja kalam Allah
Ta'ala. Apabila ia membaca:
إِنِّي أَخَافُ إِنْ
عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
(Innii akhaafu in 'ashaitu rabbit
'adzaaba yaumin adhiim). Artinya: "Sesungguhnya aku takut, akan kena siksaan hari yang besar, jika
aku mendurhakai Tuhanku". S. At. An'am, ayat 15. Dan tidaklah dia
itu takut, bila dis hanya membaca saja.
Dan apabila ia membaca:عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا
وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ "Alaika
tawakkalnaa wa ilaika anabnaa wa ilaika'l-mashiir" — S.Al-Mumtahanah, ayat
4 artinya: "Kepada Engkau, Kami bertawakkal dan kepada Engkau, kami
kembali dan kepada Engkau juga kesudahannya!" —
dan tak adalah keadaannya bertawakkal dan kembali, maka adalah dia membacakan
saja kalam Allah Ta'ala. Dan apabila ia membaca: وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا "Wa lanashbira'nna 'alaa maa
aadzaitumuunaa" — S. Ibrahim, ayat 12.
Artinya: "Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap perbuatan
kamu yang menyakitkan kami" — Maka hendaklah keadaan sipembaca itu
sabar atau bercita-cita atas kesabaran, sehingga ia memperoleh kemanisan
tilawah. Kalau tidaklah ia bersifat dengan sifat-sifat tersebut dan hatinya
tidak bulak-balik dengan hal-hal itu, maka adalah keuntungannya dari tilawah
itu, ialah menggerakkan lidah serta dengan tegas mengutuk dirinya sendiri,
waktu membaca firman Allah Ta'ala:أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (Alaa
la'natul-laahi 'aladh-dhaa-limiin). Artinya: "Ingatlah, kutukan Allah itu adalah untuk orang-orang
zalim" — S. Hud. ayat I8.
(Kabura-maqtan 'indallaa-hi an taquuluu
maa laa taf aluun).
Artinya: "Sangat dibenci Allah,
bahwa kamu ucapkan apa yang tiada kamu perbuat".- s. Ash-Shaff, ayat 3.
Pada firman Allah 'Azza wa Jalla: "Sedangkan mereka masih dalam kelaiaian dan tiada
memperdulikannya". S. Al-Anbia, ayat 1. Pada firman Allah
Ta'ala: "Berpalinglah engkau dari orang yang
tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia
semata". -S. An-Najm, ayat 29. Dan pada firman Allah Ta'ala: "Siapa yang tiada bertobat. itulah orang-orang yang
zalim". — S. Al-Hujurat, ayat 11. Dan ayat-ayat lain sebagainya.
Dan termasuklah dia dalam maksud firman Allah 'Azza wa Jalla: "Diantaranya ada yang buta huruf, tidak mengetahui Kitab
selain dari dongengan". S. Al-Baqarah, ayat 78. Ya'ni:
semata-mata tilawah saja. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: ''Dan banyaklah keterangan-keterangan dilangit dan dibumi yang
mereka lalui, tetapi mereka tidak mempefhatikannya". -
S.Yusuf, ayat 105". Karena Al-Ouran itulah yang menerangkan ayat-ayat itu
dilangit dan dibumi. Manakala dilaluinya ayat-ayat itu tanpa membekas
kepadanya, maka adalah dia itu tidak memperhatikanya. Karena itulah dikatakan,
bahwa orang yang tiada bersifat dengan perilaku budi (akhlak) yang tersebut
dalam Al-Qur'an, maka apabila ia membaca Al-Qur'an itu, lalu ia dipanggilkan
oleh Allah Ta'ala: "Mengapakah engkau
begitu terhadap KalamKu, dan engkau tidak memperhatikan kepadaKu? Tinggalkanlah KalamKu, bila engkau tidak kembali
Kepadaku!"-
Seorang pendurhaka apabila membaca
Al-Quran dan mengulang-ulanginya, adalah seumpama orang yang mengulang-ulangi
membaca surat raja, pada tiap-tiap hari beberapa kali. Surat itu telah
dituliskan kepadanya dalam gedung kerajaan dari raja itu. Sipembaca tadi,
bekerja meruntuhkan gedung tersebut dan bertekun mempelajari surat raja. Kalau sekiranya ia meninggalkan
mempelajari surat itu, ketika keadaannya begitu bertentangan, niscaya adalah
dia terjauh daripada mempermain-mainkan dan daripada berhak mendapat kutukan.
Karena itulah, berkata Yusuf bin
Asbath: "Sesungguhnya aku amat mementingkan tilawah Al-Qur'an. Apabila aku
sebutkan sesuatu didalam Al-Qur'an, yang aku takut akan kena kutukan, lalu aku
berpaling kepada tasbih dan istighfar.
Orang yang berpaling daripada
mengamalkan menurut Al-Quran, itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya: "Kemudian janji itu mereka buang kebelakang dan mereka
mengambil sedikit keuntungan gantinya. Amatlah buruknya apa yang mereka ambil
itu". S. Aali 'Imran, ayat 187.
Karena itulah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bacalah
Al-Quran, apa yang menjinakkan hatimu dan melembutkan kulitmu! Apabila kamu
menyalahinya, maka tidaklah kamu membacanya". (1).
Pada sebahagian riwayat tersebut: "Apabila
kamu menyalahinya, maka bangunlah dari Al-Qur'an itu!"
Berfirman Allah Ta'ala:
إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ
آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
(AUadziina idzaa dzukjraliaaftu wa
jilat Quluubuhum wa idzaa tuliat 'alai-him aayatuhu zaadathum iimaa-nan wa'alaa
rab-bihim ya-tawakka-luun). Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang
berfirinan itu, ialah mereka yang ketika disebut nama Allah, hatinya penuh
ketakutan dan apabila dibacakan kepadanyaketerangan-keteranganNya, bertambah
keimanan nya karena itu dan mereka bertawakkal kepada Tuhannya". S. Al-An
al ayat 2. Bersabda Nabi صلى الله عليه
وسلم Sebaik-baik
suara manusia dengan Al-Qur'an, ialah apabila engkau mendengar ia membaca,
niscaya engkau melihat ia takut akan Allah Ta'ala". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم 'Tidaklah terdengar Al-Qur'an dari
seseorang, yang lebih merindukan, daripada orang yang takut akan Allah 'Azza wa
Jalla". (2).
Maka Al-Qur'an, dimaksudkan untuk
menarik segala hal keadaan itu kepada hati dan berbuat dengan dia. Kalau tidak
demikian, maka kesulitan pada menggerakkan lidah dengan huruf-hurufnya, adalah
ringan.
Karena itulah berk'ala sebahagian ahli
bacaan Al-Qur'an (al-qur-ra'): "Aku baca Al-Qur'an dihadapan guruku,
kemudian aku kembali untuk membacakan kali kedua, lalu dibentaknya aku seraya
berkata: "Engkau jadikan Al-Qur'an sebagai suatu perbuatan atasku.
Pergilah, bacakanlah karena Allah 'Azza wa Jalla! Perhatikanlah dengan apa
disuruhNya kamu dan dengan apa dilarangNya kamu!".
Dengan inilah, para shahabat r.a. itu
sibuk, dalam segala keadaan dan perbuatan. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم wafat meninggalkan shahabat sebanyak
duapuluh ribu orang, dimana tidak ada yang menghafalkan Al-Qur'an selain enam
orang. Dua orang dari yang enam inipun, diperselisihkan (Ada riwayat yang
mengatakan bahwa keduanya menghafal Al-Qur'an dan ada yang mengatakan tidak). !
!.
1.Dirawikan Bukhari
dan Muslim dari Jundub bin Abdullah Al Bajali.
|
2.Dirawikan Abu
Abdillah Al Hakim,Menurut yang tersebut dalam kitab “Fadlaa ilul Quran.
|
Sebahagian besar dari mereka menghafal
satu surat dan dua surat. Dan adalah yang menghafal sural Al-Baqarah dan
Al-An'am, dari ulama-ulama shanaba.Tatkala salah seorang pergi untuk
mempelajari Al-Qur'an, lalu sampailah peinbacaannya ptda firman Allah 'Azza wa
Jalla:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ, وَمَنْ يَعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
SURAT 99. AZ ZALZALAH
ayat 7 dan 8 Artinya: Dan siapa yang
mengerjakan perbuatan baik sebesar atom,
akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan
kejahatan seberat atom, akan dilihatnya", Maka berkatalah orang Tadi: "Cukuplah ini
saja!" Lalu ia pun pergi. Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
"Telah pergi orang itu dan dia
adalah seorang yang berpaham (faqih).
Sesungguhnya iarangiah seperti keadaan
itu yang lelab dik^miakan oleh Allah 'Azza wa Jail:; kedaram hati orang mu'min,
setelah men.'shami ayat itu. Acapuu semata-mata menggerakkan lidah maka adalah
sedikit faedahnya. Bahkan orang yang membaca dengan lisan, yang berpaling dan
perbuatan, adalah wajar bahwa dialah yang dimaksud dengan firman Atfah Ta'ala:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
(Wa mar. a' radla an dzikrii fa inna
lahu in&'iisyatan
diankan wa nahsyunjhii yaurna-qjaamati almaa)
Artinya: "Dan barangsiapa yang menyangkal mengingati Aku, sudah
tentu dia akan memperoieh kehidupan yang sulit (sempit) dan Kami. kumpuikan
dihari kiamat (kebangunan) sebagai orang buta". S.
Tha Ha ayat 124.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Begitulah (semestinya). Keterangan-keterangan
Kami telah datang kepada engkau, tetapi tidak engkau perdulikan; dan begitulah
dihari ini. engkau tidak pula Kami perdulikan". —
S. Tha Ha, ayat 126.
1. Mengenai waktu
Rasulu'llah صلى الله
عليه وسلم
wafat,meninggalkan
shahabat sebanyak duapuluh ribu orang, yang menghafalkan Al-Qur'an lebih
kurang enam orang itu, menurut catatan dibawah "Ihya", dalam bahasa
'Arab, mungkin yang dimaksud di Madinah saja. Sebab menurut riwayat dari Abi Zar'ah Ar-Raz;, menerangkan bahwa ketika
Nabi صلى الله
عليه وسلم
wafat,
meninggalkan shahabat sebanyak seratus empat-belas ribu orang. Dan menurut
Anas, Al-Quran itu dikumpulkan pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم oleh empat orang, semuanya dari orang
anshar, yaitu Ubai bin Ka'b, Ma'az bin Jabal, Zaid dan Abu Zaid. (Pent.).
|
Artinya: engkau tinggalkan
keterangan-keterangan itu, tidak engkau perhatikan dan perdulikan. Orang yang
menyia-nyiakan suatu perintah (amar), dikatakan: orang yang melupakan suatu
amar (periniah). Bertilawah Al-Qur'an yang sebenar-benarnya, ialah
mengkongsikan padanya lidah, akal dan hats. Bahagian lidah, ialah membetulkan
huruf dengan pentartilan. Bahagian akal, ialah penafsiran pengertian. Dan
bahagian hati. ialah mengambil pengajaran dan membekas dengan memperingatkan
hati dan menuruti perintah.
Maka lidah itu
bertartil akal itu menterjemah dan hati itu mengambil pengajaran.
Kesembilan: peninggian.
Yang saya maksudkan dengan peninggian itu, ialah
bahwa meninggilah sipembaca tersebut, sampai ia mendengar Kalam daripada Allah
'Azza wa Jalla, tidak daripada dirinya sendiri.
Dari itu, maka tingkat pembacaan adalah tiga:
1.Yang paling kurang
daripadanya, ialah diumpamakan oleh hamba itu, seolah-olah ia membaca
Al-Qur'an dihadapan Allah 'Azza wa Jalla, berdiri dihadapanNya. Dan dia
memandang kepadaNya dan mendengar daripadaNya. Maka adalah keadaannya orang
itu, pada penguntpamaan ini, meminta. berwajah manis, merendahkan diri dan
bermohon.
2.Bahwa ia mengakui
dengan hatinya, seolah-olah Allah 'Azza wa Jalla
melihat dan berbicara kepadanya dengan segala kelemah-iembutanNya. Dan ia
bermunajah dengan Dia dengan segala keni'matan dan ihsanNya. Dari itu, maka
kedudukannya adalah dalam keadaan malu, pengagungan, pemerbatian dan pemahaman.
3.Bahwa ia melihat
pada Kalam itu akan Mutakallim dan pada kata-kata itu, akan sifat.
Maka tidaklah ia memandang kepada dirinya, kepada bacaan nya dan kepada
sangkutan keni'matan kepadanya, dari segi bahwa dia yang diberikan keni'matan
kepadanya. Bahkan, adalah tertuju cita-cita kepada Mutakallim dan terhenti
pemikiran kepadaNya, seolah-olah ia tenggelam dengan memandang (musyahadah)
Mutakallim, tanpa yang lain. Dan inilah tingkat Muqarrabin (orang-orang yang
dekat kepada Allah Ta'ala). Dan sebelum ini, adalah tingkat golongan kanan
(ash-hahu'l-yamin). Dan yang diluar dari ini, adalah tingkat orang-orang lalai
(al-ghafilin).
Dan diri tingkat yang tinggi itu,
diceriterakan oleh Ja far bin Muhammad Ash-Shadiq r.a. dengan mengatakan: "Demi Allah, sesungguhnya telah menampak (tajalli) Allah
'Azza wa Jalla bagi makhlukNya pada KalamNya. Tetapi mereka tidak
melihatNya".Berkata Ja'far pula, dimana mereka
menanyakan kepadanya, tentang keadaan yang mengenainya dalam shalat, sampai ia
jatuh tersungkur. Maka setelah ia sembuh, lalu ditanyakan kepadanya tentang
itu, maka ia menjawab: "Senantiasalah aku
mengulang-ulangi suatu ayat pada hatiku, sehingga aku mendengarnya dari yang
memfirmankannya (Mutakallim). Lalu tidak tetaplah tubuhku untuk memandang
qudrahNya".
Maka pada tingkat yang
seperti ini, maha agunglah manisnya dan lazatnya bermunajah. Karena itulah
berkata sebahagian ahli hikmat (hukama'): "Adalah aku membaca Al-Qur'an,
maka tidaklah aku peroleh baginya kemanisan, sehingga bertilawahlah aku akan
Al-Qur'an itu, seolah-olah aku mendengarnya dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم.
yang membacakan kepada shahabat-shahabatnya. Kemudian aku diangkat ketingkat yang diatas itu, maka aku
mentilawahkannya, seolah-olah aku mendengarnya dari Jibril a.s. yang
membacakannya kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. Kemudian diberikan oieh Allah tingkat yang lain, maka sekarang aku
mendengarnya dari Mutakallim. Pada tingkatan ini, aku memperolah kelazatan dan
keni'matan, yang tidak sabar aku jauh daripadaNya
Berkata Utsman dan Hudzaifah r.a.: "Kalau
hati itu suci bersih, niscaya dia tidak kenyang-kenyang dari membaca
Al-Qur'an". Mereka mengatakan demikian, karena dengan kesucian, hati
itu meninggi kepada musyahadah Mutakallim pada KalamNya. Dan karena itulah,
berkata Tsabit Al-Bannani: "Aku menanggung kesukaran pada pembacaan
Al-Quran selama duapuluh tahun dan aku merasakan keni'matan dengan Al-Qur'an
selama duapuluh tahun". Dan dengan musyahadah Mutakallim,
tanpa lainNya, maka hamba itu adalah mengikuti firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Fafirruu ila'llaah" - S.Adz-Dzariyat, ayat 50 Artinya: "Maka bersegeralah pergi kepada
Allah'"( Dan karena firmanNya: "Wa laa taj'aluu ma'allaahi
ilaahan aakhar". — S. Adz-Dzaariyat, ayat 51. Artinya: "Janganlah kamu adakan tuhan yang lain' disamping
Allah".
Orang
yang tiada melihat Allah Ta'ala pada tiap-tiap sesuatu, tentu melihat lainNya.
Dan tiap apa saja yang dipandang oleh hamba kepadanya, selain Allah Ta'ala,
niscaya pandangannya itu mengandung ' sesuatu dari syirk yang tersembunyi.
Karena tauhid yang bersih, adalah tidak melihat pada tiap-tiap sesuatu, selain
Allah 'Azza wa Jalla.
Kesepuluh:
pelepasan. Saya maksudkan dengan pelepasan itu, ialah melepaskan diri dari daya
dan upaya sendiri dan melepaskan diri daripada memandang kepada diri sendiri
dengan pandangan kesenangan dan kesucian
Maka apabila membaca ayat-ayat yang
mengandung janji kesenangan dan pujian bagi orang-orang baik (shalihin), maka
tidaklah memandang dirinya yang demikian. Tetapi memandang bahwa orang-orang
yang yakin dan yang shiddiq,yang dimaksudkan pada ayat-ayat itu. Dan mengharap
kiranya dia dihubungkan oleh Allah 'Azza wa Jalla dengan orang-orang itu.
Apabila membaca ayat-ayat yang
mengandung cacian dan celaan terhadap orang-orang yang durhaka dan yang lalai,
maka memandang kepada dirinya berada disitu. Dan mengumpamakan bahwa dialah
yang ditujukan,
karena takut dan mengharap dikasihani.
Karena itulah Ibnu 'Umar r.a. berdo'a: "Ya Allah Tuhanku! Aku meminta
ampun padaMu karena kezalimanku dan kekufuranku!"
Maka ditanyakan kepadanya:
"Kezaliman itu benarlah, tetapi betapakah tentang kekufuran itu?"
Maka Ibnu 'Umar r.a. membaca firman Allah 'Azza wa Jalla: إِنَّ
الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
(Inna'l-insaana ladhaluumun ka'ffaar).
- S. Ibrahim, ayat 34. Artinya: "Sesungguhnya manusia itu banyak kesalahannya
(banyak kezalimannya) dan tiada tahu berterima kasih (banyak kekufuran)".
Ditanyakan kepada Yusuf bin Asbatir. "Apabiia engkau membaca Al-Qur'an,
dengan apakah engkau berdo'a?" Yusuf menjawab; "Dengan apakah aku
berdo'a? Aku meminta ampun pada Allah
'Azza wa Jalla, dari kelalaianku tujuh puluh kali".
Apabila melihat dirinya dalam bentuk
keteledoran pada pembacaan Al-Qur'an, niscaya penglihatannya itu menjadi sebab
untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala. Barangsiapa melihat kejauhan
dalam dekat, niscaya melembutkannya kepada takut. Sehingga takut itu,
membawanya kepada tingkat yang lain dalam kedekatan dibalik tingkat itu.
Barangsiapa melihat kedekatan dalam jauh, niscaya membawa ia tertipu dengan
keamanan, yang membawanya kepada tingkat yang lain dalam kejauhan itu, dibawah
daripada apa yang ada padanya.
Manakala ia melihat dirinya sendiri
dengan pandangan kesenangan, niscaya ia menjadi terhijab dengan dirinya
sendiri. Apabila telah melewati batasan memandang kepada diri sendiri dan tidak
memandang lagi selain kepada Allah Ta'ala dalam tilawah itu, niscaya terbukalah
baginya rahasia alam ghaib (sirrul-malakut). Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani
r.a.: "Berjanji Ibnu Tsauban dengan saudaranya untuk berbuka puasa
padanya. Maka terlambatlah Ibnu Tsauban sampai kepada terbit fajar. Keesokan
harinya. ia berjumpa dengan saudaranya itu, seraya bertanya kepadanya:
"Engkau berjanji dengan aku, bahwa engkau berbuka puasa padaku, lalu
engkau menyalahi janji itu".
Menjawab Ibnu Tsauban: "Kalau
tidaklah aku berjanji dengan engkau, niscaya tidak aku ceriterakan kepada
engkau, akan sebab yang menghambatkan aku daripada engkau. Sesungguhnya setelah
aku mengerjakan shalat 'Isya', lalu aku bertanya kepada diriku sendiri:
"Apakah aku mengerjakan shalat witir sebelum aku datang kepada engkau,
karena aku tiada merasa terpelihara dari kematian yang akan datang. Tatkala aku
dalam do'a witir, lalu terangkatlah kepadaku suatu taman yang hijau, didalamnya
berbagai macam bunga-bungaan sorga.
Maka senantiasalah aku memandang
kepadanya sehingga pagi hari". Segala yang tampak ini yang tampak dalam
kasyaf - al-mukasya-fat), i'idak ada kecuali setelah melepaskan diri dari hawa-
nafsu. Tidak menoleh kepadanya dan kepada segala keinginannya.
Kemudian dikhususkan al-mukasyafat ini, menurut keadaan al-mu-kasyif
yang memperoleh kasyaf). Maka dimana ia membaca ayat-ayat harapan (ar-roja')
dan membanyakkan kegembiraan pada keadaannya, niscaya terbukalah baginya
gambaran sorga. Lalu dipersaksikannya, seakan-akan dilihatnya dengar: mata kepala.
Dan jikalau membanyak padanya ketakutan, niscaya diberikan kep'adanya kasyaf
dengan neraka, sehingga ia melihat akan berbagai macam azabnya. Yang demikian
itu, adalah karena Kalam Allah 'Azza wa Jalla melengkapi kepada mudah yang
lemah-lembut, keras yang menggetarkan. yang diharapkan dan yang Jiiakutkan,
yang mana itu menurut sifat-sifatnya.
Karena sebahagian dari fat-sifatnya itu, adalah kerahmatan, ke lemah- lembutan,
pembalasan dan kekerasan.
Maka
dengan semata-mata menyaksikan kata-kata dan sifat-sifat, ialu bertukarlah hati
dalam bermacam keadaan. Dan dengan semata-mata keadaan itu. maka sebahagian
daripadanya menyediakan diri bagi mukasyafah. dengan sesuatu yang sesuai dengan
keadaan itu dan yang rnenginibanginya. Karena mustahillah ada keadaan orang
yang mendengar itu semacam dan yang didengar itu berbeda daripadanya. Karena
padanya, ada kalam yang merelai. kaiam yang memarahi, kalam yang mcanugerakan
keni'matan, kalam yang memberikan tuntutan pambalasan, kalam perkasa yang
menyombong yang tidak memperdulikan dan kalam yang mempunyai kerahmatan,
lemah "lembut yang tidak disia-siakan.
BAB
KEEMPAT: tentang pemahaman
Al-Our-an dan pentafsirannya dengan buah
pikiran tanpa naql (diambil dari Nabi صلى الله عليه وسلم, atau shahabat).
Semoga anda mengatakan.. bahwa aku
telah mengagungkan pada keterangan yang lalu. tentang pemahaman rahasia-rahasia
Al-Qur'an dan apa yang terbuka bagi orang-orang yang berhati suci, dari segala
pengertian Al-Qur'an. Maka bagaimanakah disunatkan yang demikian? Sedang Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda:
من فسر القرآن
برأيه فليتبوأ مقعده من النار
(Man
fassaral-qur-aana bi-riryhi fat-yata-bawwa" maq'adahu minar-naar). Artinya:
"Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya, maka
sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka". (1).
Dan dari inilah.
dilecehkan oleh ahli ilmu tafsir secara dlahir, akan ahli-ahli tasawuf, dari
ahli-ahli tafsir yang dikatakan berminat kepada tasawuf, tentang penta'wilan
kalimat-kalimat dalam Al-Quran, berbeda dari apa yang dinaqlkan dari Ibnu
'Abbas dan penafsir-penafsir yang lain. Dan mereka berpendapat, bahwa itu
kufur.
Maka kalau benarlah. apa yang dikatakan oleh
ahli tafsir tadi, maka apakah arti memahami Al-Quran selain daripada menghafal
tafsirnya? Dan kalau yang demikian itu tidak benar, maka apakah artinya sabda
Nabi صلى الله عليه
وسلم.: "Barangsiapa
menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya, maka sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya
dari api nereka?" (2).
Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang
yang menda'wakan, tak ada pengertian bagi Al-Qur'an, selain dari yang diterjemahkan oleh tafsir secara dhahir,
maka dia itu adalah orang yang menerangkan tentang batas dirinya. Dan dia itu betul pada
menerangkan tentang dirinya, tetapi ia salah dalam hukum, dengan mengembalikan
makhluk seluruhnya? kepada tingkatnya, yang menjadi batas dan tempatnya Bahkan
hadits-hadits dan atsar menunjukkan, bahwa pada
pengertian Al-Qur'an itu adalah amat luas bagi orang-orang yang berpaham.
Berkata 'Ali r.a.: "Melainkan, bahwa didatangkan oleh Allah akan hamba
yang memahami akan Al-Qur'an". Kalau tidaklah ada selain dari terjemah
yang dinaqlkan, maka apakah pemahaman itu? Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم.:
"Sesungguhnya Al-Qur'an itu, mempunyai dhahir dan batin, batas dan permulaan"
(3).
Diriwayatkan pula, yang demikian dari
Ibnu Mas'ud yang dimauqufkan padanya(riwayat hadits itu terhenti pada Ibnu
Mas'ud saja), sedang dia adalah dari ulama tafsir.
1.Dirawikan
AtTirmidzi Dari Ibnu Abbas dan dipandangnya hadith Hassan.
|
2.Hadis Yang di
Atas TAdi.
|
3.Dirawikan Ibnu
Hibban dari Ibnu Masud, Hadis Marfu
|
Maka apakah arti nya: dhahir dan batin
batas dan permulaan'? Berkata 'Ali-dimuliakan Allah akan wajahnya —:
"Kalau aku kehendaki, niscaya aku buatkan yang membebani tujuhpuluh ekor
unta dari tafsir Al-Fatihah itu''.
Apakah artinya itu, sedang tafsir
dhahirnya adalah sangat pendek? Berkata Abu'-Darda": "Tidak berpahamlah seseorang, kecuali ia membuat bagi
Al-Quran beberapa wajah". Berkata setengah ulama: "Bagi tiap-tiap ayat itu enampuluh ribu paham dan apa yang
masih tinggal dari pemahamannya itu, adalah lebih banyak lagi".
Berkata sebahagian ulama yang lain: "Al-Qur'an itu
mengandung tujuh puluh tujuh ribu dua ratus ilmu, karena tiap-tiap perkataan
itu satu ilmu. Kemudian, berlipat ganda yang demikian itu empat kali. Karena
tiap-tiap perkataan, mempunyai dhahir dan batin, batas dan permulaan". Diulang-ulangi
oleh Rasulu'llah صلى الله عليه
وسلم akanبسم الله الرحمن الرحيم "Bismi'llahi'rrahmani'rrahim"
duapuluh kali, tidak adalah yang demikian, kecuali untuk bertada'bbur akan
batin pengertiannya. . Kalau bukanlah bagitu, maka penterjemahan dan penafsiran
nya adalah jelas, tidak memerlukan bagi orang seperti Nabi صلى الله عليه وسلم.
kepada mengulang-ulangi.
Berkata Ibnu Mas'ud
r.a.: "Barangsiapa bermaksud kepada ilmu orang-orang dahulu
dan orang-orang kemudian,maka hendaklah ia bertada'bbur akan Al-Qur'an".
Yang demikian itu, tidak akan berhasil dengan semata-mata tafsirnya yang dhahir
saja.
Kesimpulannya, ilmu pengetahuan itu
semuanya masuk dalam af'al Allah 'Azza wa Jalla dan sifat-sifatNya. Dan dalam
Al-Qur'an itu penguraian ZatNya, af'alNya dan sifat-sifatNya. Dan segala
pengetahuan tersebut, tak ada baginya kesudahan. Dan dalam Al-Qur'an itu, ada
penunjukan kepada keseluruhannya dan tingkat-tingkat dalam mendalami
perinciannya. yang kembali kepada pemahaman Al-Qur'an. Dan semata-mata tafsir
dhahir, tidaklah menunjukkan kepada yang demikian. Tetapi tiap-tiap yang
membawa kepada kesulitan bagi pemerhati-pemerbati dan bersehsih padanya orang
banyak tentang pandangan dan pemikiran,maka didalam Al-Qur'an terdapat
tanda-tanda (rumuz) dan penunjuk-penunjuk kepadanya, yang hanya ahli paham yang dapat mengetahuinya.
Maka bagaimanakah dapat sempurna dengan demikian itu, terjemahan dhahirnya dan penafsirannya
saja? Karena itulah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
"Bacalah
Al-Qur'an dan carilah yang ganjil-ganjil (ghara-ib) daripadanya". Bersabda
Nabi صلى الله عليه
وسلم dalam
hadits yang diriwayatkan Ali dimuliakan Allah akan wajahnya: "Demi
Allah yang mengutuskan aku dengan sebenarnya menjadi nabi! Sesungguhnya akan
bercerai-berai umatku dari pokok agamanya dan kumpulannya kepada tujuhpuluh dua
golongan.
Semuanya sesat menyesatkan, yang
membawa mereka kepada neraka. Apabila telah ada yang demikian, maka haruslah
kamu berpegang teguh dengan Kitab Allah 'Azza wa Jalla (Al Quran). Karena
didalamnya, berita orang-orang yang sebelum kamu dan berita terrtang apa yang
akan datang sesudah kamu. Dan hukum yang dijalankan diantara kamu, oleh
orang-orang yang berkuasa, yang menyalahi akan Al-Qur'an. Dia dibinasakan oleh
Allah 'Azza wa Jalla. Barangsiapa mencari ilmu yang lain dari Al-Qur'an.
niscaya dia disesatkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Al-Qur'an itu, adalah tali
Allah yang mahakokoh, nurNya yang menerangkan. obatNya yang bermanfa'at,
pemeliharaan bagi orang yang berpegang dengan dia dan kelepasan bagi orang yang
mengikutinya. Tiada ia bengkok maka AI-Qur-anlah yang meluruskan. Tiada ia
menyeleweng maka Al-Quranlah yang membetulkan. Tidak akan habis-habis keaja'ibannya
dan tidak akan diburukkan dia oleh banyak ulang-ulangan".......sampai
akhir hadits (1).
Pada hadits Hudzaifah. tersebut:
"Tatkala diceriterakan oleh Rasulullah صلى الله
عليه وسلم kepada Hudzaifah, akan pcrselisihan dan
pecrpecahan sesudahnya, dimana Hudzaifah menerangkan: "Lalu aku bertanya:
"Wahai Rasulu'llah! Apakah kiranya yang engkau suruhkan aku, kalau aku
dapati masa itu?"'
Nabi صلى الله عليه وسلم
menjawab:
"Pelajarilah Kitab Allah, laksanakanlah apa yang tersebut didalamnya. Maka
itulah. yang mengeluarkan dari yang demikian!"
Menyambung Hudzaifah ceriteranya:
"Maka aku ulangi pertanyaan itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tiga kali". Maka Nahi صلى الله عليه وسلم pun bersabda tiga kali:
"Pelajarilah Kitab Allah 'Azza wa Jalla, lakksanakanlah apa yang tersebut
didalamnya! Maka padanyalah kelepasan".
Berkata 'Ali —
dimuliakan Allah akan wajahnya: "Barangsiapa memahami akan Al-Qur'an.
niscaya ia telah menafsirkan akan sejumlah iimu-pengetahuan". Ditunjukkan
oleh 'Ali dengan ucapannya itu, bahwa Al-Qur'an menunjukkan kepada kumpulan
ilmu pengetahuan seluruhnya. Berkata Ibnu 'Abbas r.a. tentang firman Allah
Ta'ala :
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
(Wa man yu'ta'l-hikmata faqad uutia
khairan katsiiraa".) - S. Al-Baqarah. ayat 269.
Artinya: "Dan
orang yang diberiNya hikmah (kebijaksanaan) itu. sesungguhnya telah diberi
kebaikan yang banyak" - ya'ni: memahami akan Al-Qur'an.
1.
Hadits ini gharib dan isnadnya majhul.
|
Berfirman
Allah 'Azza wa Jalla: 'Dan Kami memberikan pemahaman kepada
Sulaiman tentang hukuman (yang lebih tepat) itu. Dan kepada masing-masing, kami
berikan ilmu hukum dan pengetahuan".
— S. Al-Anbiya. ayat 79. Dinamakan apa yang diberikan oleh Allah Ta'ala kepada
keduanya (Daud dan Sulaiman). pengetahuan dan ilmu hukum dan dikhususkanNya bagi Sulaiman sendiri dengan
mendalaminya, dengan nama: pemahaman Dan dijadikanNya mendahului kepada ilmu
hukum dan pengetahuan.
Maka segala hal tersebut menunjukkan, bahwa pada pemahaman
segala pengertian Al-Qur'an itu jalan yang lapang dan tempat yang luas
menyampaikan. Dan yang dinaqalkan dari penafsiran dhahir itu, tidaklah
merupakan pengertian yang terakhir.
Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Barangsiapa menafsirkan
Al-Qur'an dengan buah pikirannya......." dan larangan Nabi صلى الله عليه وسلم daripadanya dan ucapan A.bubakar r.a.:
"Bumi mana pun yang menempatkan aku dan langit manapun yang menaungi aku, apabila aku mengatakan pada
Al-Qur'an menurut buah
pikiranku......." dan lain sebagainya, dari apa yang datang pada hadits dan atsar,
tentang pelarangan panafsiran Al-Qur'an dengan buah pikiran, maka itu tidak
tersembunyi: adakalanya yang dimaksudkan dengan yang demikian, ialah: terbatas
kepada naqal dan yang didengar saja, serta meninggalkan pemahaman dan kebebasan
berpaham. Atau dimaksudkan: hal yang lain dari itu. Dan batillah benar-benar.
kalau yang dimaksdkan dengan itu, bahwa tidak boleh seseorang memperkatakan tentang
Al-Qur'an selain aaripada apa yang didengarnya, disebabkan karena beberapa
segi.
Pertama:
disyaratkan bahwa yang demikian itu, adalah didengar dari pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم, dan disandarkan
kepadanya. Dan yang demikian, terrnasuklah yang tidak dijumpai, selain pada
sebahagian saja dari Al-Qur'an. Adapun seperti
yang dikatakan oleh Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud dari pihaknya sendiri.
maka seyogiaiah tidak diterima. Dan boleh dikatakan, bahwa itu adalah; penafsiran
dengan buah pikiran, karena mereka tidak mendengarnya daripada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Dan begitu juga dengan shahabat-sahabat
yang lain-direlai Allah kiranya mereka sekalian.
Kedua:
para shahabat dan penafsir-penafsir (al-mufa'ssirin). berselisih tentang
penafsiran sebahagian ayat. Mereka mengatakan berbagai macam perkataan yang
berlainan, yang ridak mungkin dipersatukan. Dan mendengar semuanya itu dari
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم,
adalah hal yang mustahil. Jikalau sstu yang didengar, maka tertolaklah yang
selebihnya. Maka nyatalah, bahwa masing-masing penafsiran itu mengatakan
tentang sesuatu pengertian, menurut apa yang zahir kepadanya, dengan
pemahamannya.
Sehingga mereka mengatakan tentang
huruf-huruf pada awal beberapa surat, tujuh macam perkataan yang berbeda-beda,
yang tidak mungkin dipersatukan. Maka ada yang mengatakan, bahwa alif
itu Allah, lam itu lath'f (lemah lembut) dan ra itu rahim.Dan ada
yang mengatakan, lain dari itu. Dan mempersatukan (mengumpulkan) diantara
semuanya, tidak mungkin. Maka bagaimanakah, adanya semuanya itu didengar?
Ketiga: bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم telah berdo'a untuk Ibnu 'Abbas r.a.
dengan mengucapkan: "Ya Allah Tuhanku! Anugerahilah dia pemahaman dalam
agama dan ajarilah dia penta'wilan!" Kaiau penta'wilan itu menurut
yang didengar seperti ayat yang diturunkan dan dihafalkan seperti ayat itu,
maka apakah artinya mengkhususkan Ibnu 'Abbas dengan demikian?
Keempat:
bahwa Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Tentulah orang-orang yang
memperhatikan itu, akan dapat mengetahui yang sebenarnya" - S An-Nisa'
ayat 83. Maka diakuiNya adanya penelitian bagi ahli ilmu. Dan sesungguhnya
diima'Iumi, bahwa yang demikian itu adalah tanpa mendengar.
Kesimpulan dari apa yang kami naqalkan
dari atsar-atsar mengenai pemahaman Al-Qur'an, adalah berlawanan dengan
khayalan itu. Maka batallah disyaratkan mendengar untuk penta'wilan. Dan
bolehlah bagi tiap-tiap orang mengambil pemahaman dengan ketelitian
(ber-istinbath) dari Al-Qur'an menurut kesanggupan pemahaman dan ketajaman akal
pikirannya.
Adapun larangan, maka itu ditempatkan
diatas salah satu dari dua segi.
Pertama: bahwa
dia mempunyai pendapat tentang sesuatu dan kecondongan tabi'at dan
hawa-nafsunya kepada sesuatu itu. Lalu dita'wilkannya Al-Qur'an menurut
pendapat dan hawa-nafsunya tadi, untuk membuktikan benar maksud tujuannya. Dan
kalau ia tidak mempunyai pendapat dan hawa-nafsu itu, niscaya tidak menampak
pengertian itu baginya dari Al-Qur'an. Sekali, ini adalah disertai pengetahuan,
seumpama orang yang mengambil dalil dengan sebahagian ayat Al-Qur'an untuk
membenarkan bidahnya. Sedang ia tahu bahwa itu tidaklah yang dimaksudkan dengan
ayat yang dibacakannya itu, tetapi di kacau- balaukannya untuk mengalahkan
Iawannya. Sekali, adalah disertai kebodohan. Tetapi apabila ayat itu mempunyai
kemungkinan, lalu condonglah pemahamannya kepada segi yang sesuai dengan
maksudnya. Dan segi itu dikuatkannya dengan pendapat dan hawa-nafsunya. Maka ia
telah menafsirkan Al-Qur'an menurut pendapatnya. Artinya: pendapatnya yang
mendorong dia kepada penafsiran itu. Kalau tidaklah akal pikirannya, niscaya
tidaklah menguat cara itu padanya. Dan sekali, kadang-kadang :a mempunyai
maksud yang benar, lalu ia mencari dalil dari Al-Qur'an. Dan ia mengambil dalil
dengan apa yang diketahuinya, bahwa sebenarnya tidaklah dimaksudkan dengan yang
demikian. Seumpama orang yang berdo'a, minta diampunkan dosanya dengan makan
sahur, lalu mengambil dalil dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
"Bersahurlah,
sesungguhnya pada bersahur itu mempunyai barakah".
Ia menda'wakan, bahwa yang dimaksudkan
dengan itu, ialah bersahur dengan dzikir. Dan ia tahu, bahwa yang dimaksudkan
ialah makan. Dan seumpama orang yang menyerukan kepada melatih (mujahadah) hati
yang kesat, lalu ia mengatakan:
"Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Pergilah kepada Fir'aun:
sesungguhnya dia durhaka meliwati batas" - S. Tha Ha, ayat 24.
Ditunjukkannya kepada hatinya dan diisyaratkannya, bahwa hatilah yang
dimaksudkan dengan: Fir'aun.
Hal
yang seperti ini, kadang-kadang dipakai oleh sebahagian juru nasehat
pada maksud-maksud yang benar. untuk membaguskan perkataan dan menyukakan
pendengar, hal mana, adalah dilarang. Kadang-kadang dipakai oleh golongan
batiniyah pada maksud-maksud yang salah, untuk menipu manusia dan mengajak
mereka kepada alirannya yang batil, Maka ditempatkan oleh mereka akan
Al-Qur'an, sesuai dengan pendapat dan alirannya, diatas hal-keadaan yang
diketahui mereka benar-benar, bahwa tidaklah dimaksudkan dengan demikian.
Kepandaian-kepandaian yang seperti itu,
adalah salah satu dari dua segi yang
dilarang dalam menafsirkan menurut akal pikiran. Dan yang dimaksudkan dengan
buah pikiran tadi, ialah: buah pikiran yang salah, yang sesuai dengan
hawa-nafsu. tanpa ijtihad yang benar. Dan buah pikiran itu. terdiri dari: yang benar dan yang salah. Dan yang
bersesuaian dengan hawa-nafsu, kadang-kadang dikhususkan juga dengan nama:
buah-pikiran.
Segi kedua: bahwa bergegas-gegas kepada
menafsirkan Al-Qur'an dengan yang dhahir saja dari bahasa Arab, tanpa dibantu
dengan mendengar dan menaqalkan,tentang yang berhubungan dengan yang
gharib-gharib dari Al-Qur'an, kata-kata yang tidak begitu jelas (lafadh
mubham), kata-kata yang digantikan, yang diringkaskan, dibuang, disembunyikan,
didahulukan dan dikemudiankan. Maka orang yang tidak berpegang teguh kepada
yang dhahir dari penafsiran dan bersegera kepada mengambil pengertian dengan
semata-mata pemahaman bahasa Arab, niscaya banyaklah salahnya. Dan masuklah dia
dalam golongan orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikiran. Menaqalkan
dan mendengar itu harus ada, pada yang dhahir dari penafsiran, pada pertama
kali. Supaya terpelihara dari tempat-tempat yang mungkin mendatangkan
kesalahan. Kemudian, sesudah itu, barulah meluas pemahaman dan penelitian. Yang
gharib-gharib dari Al-Qur'an — yang tidak dipahami kecuali dengan mendengar -
itu banyak. Akan kami tunjukkan sejumlah besar daripadanya. untuk dibuat
menjadi dalil kepada yang lain-lain yang mcnyerupainya. Dan diketahuilah
kiranya, bahwa tiada boleh dipermudah-mudahkan, dengan penghafalan pertama-tama
tafsir yang dhahir. Dan tiada harapan akan sampai kepada yang batin, sebelum mengokohkan
yang dhahir. Barangsiapa menda'wakan telah memahami segala rahasia Al-Qur'an
dan tiada teguh mengetahui tafsir yang dhahir, maka dia adalah seperti orang
yang menda'wakan telah sampai kedalam rumah, sebelum melewati pintu. Atau
menda'wakan telah memahami segala maksud orang-orang Turki dari percakapan
mereka, sedang dia tidak mengerti bahasa Turki.
Sesungguhnya tafsir yang dhahir itu
berlaku seperti pengajaran bahasa, yang tak boleh tidak untuk pemahaman. Dan
yang tak boleh tidak, yang diperoleh dari mendengar itu, mempunyai banyak
kepandaian. Sebagian dari padanya: menyingkatkan dengan dibuang dan
disembunyikan, seperti firman Allah Ta'ala: وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً
فَظَلَمُوا بِهَا
(Wa atainaa tsamuudan-naaqata mubshiratan fadha-lamuu bihaa)
— S. Ai-Isra', ayat 59.
Kalau menurut kata-katanya, maka dapat
diartikan: "Kami berikan kepada Tsamud unta betina yang melihat jelas,
lalu mereka berbuat zalim dengan unta betina itu" Yang dimaksudkan:
bukan unta betina yang melihat jelas (mubshiratan), tetapi ada kata-kata yang
dibuang sebelum mubshiratan, yaitu: ayatan. Sehingga artinya menjadi: suatu
tanda bukti yang menampak jelas. Begitu pula: mereka berbuat zalim dengan unta
betina itu, maksudnya dengan: membunuhnya.
Orang yang melihat kepada yang dhahir
dari bahasa Arab, menyangka, bahwa yang dimaksudkan, ialah: unta betina itu
yang melihat jelas, tidak dia itu buta. Dan ia tidak mengetahui: dengan apa
mereka itu menganiayakan (berbuat zalim). Dan apakah mereka itu berbuat aniaya
kepada orang lain atau kepada diri mereka sendiri.
Dan firman Allah Ta'ala:وَأُشْرِبُوا
فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ "Wa usyribuu fii QuluubihimuTijla
bikufrihim" - S. Al-Baqarah, ayat 93.
Artinya: "Diminumkan mereka
didalam hatinya, akan anak lembu, dengan sebab kekafirannya". Ya'ni:
mencintai anak lembu dan kata-kata: mencintai itu, dibuang. Dan firman Allah
'Azza wa Jalla:إِذًا لأذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ
الْمَمَاتِ "Idzan
la-adzaqnaaka dli'fa-hayati wa dli'fa'lmamaati". - S. Aisra', ayat 75.
A.rtinya: "Kalau hal itu terjadi, tentulah akan Kami rasakan kepada engkau
berlipat ganda kehidupan dan berlipat ganda kematian". Ya'ni: berlipat
ganda azab bagi segala orang yang hidup dan berlipat ganda azab bagi segala
orang yang mati. Maka dibuang kata-kata: azab. Dan digantikan kata-kata
al-ahya' (orang-orang yang hidup) dan al-mauta (orang-orang yang mati), dengan
menyebutkan: al-hayati (kehidupan) dan al-mauti (kematian).Semuanya itu
dibolehkan dalam kefasihan bahasa. Dan firman Allah Ta'ala:
Artinya menurut kata-kata:
"Bertanyalah kepada negeri tempat kami berada atau kepada kafilah yang
serombongan pulang dengan kami". Ya'ni: kepada penduduk negeri
(ahli'l-qaryah) dan yang punya kafilah (ahirHr). Maka kata-kata: al-anli pada
keduanya: dibuang, disembunyikan Dan firman Allah Azza wa Jalla:ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Tsaqulat fi'ssanisawaati wa'l-ardli) -
S. Al-A'raf, ayat 187. Artinya secara dhahir kata-kata: "Beratlah dia
(kiamat) itu dilangit dan dibumi". Pengertian: "Sangat
tersembunyilah kiamat itu kepada penduduk langit dan bumi. Dan sesuatu itu
apabila tersembunyi, niscaya berat. Lalu digantikan kata-kata: tersembunyi
dengan kata-kata: berat. Dan ditempatkan pada
tempat yang diatas Lalu disembunyikan kata-kala 'al-ahli"
(penduduk) dan dibuang.
Dan firman Allah
Ta'ala أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ , وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ
"Wa taj'aluuna rizqakum a'nnakum tukadz-dzibuun" - S. Al-Waqi'ah,
ayat 82. Artinya menurut kata-kata: "Kamu jadikan rezekimu untuk
mendustakan (kebenaran) .' Ya'ni: kesyukuran dari rezekinu;.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla.وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ
آتِنَا مَا "Aatinaa
maa wa'attanaa alaa rusulika" - S. Ali 'Imran, ayat 194. Artinya:
"Berikanlah kami apa yang telah Engkau janjikan dengan perantaraan
rasul-rasul Engkau", ya'ni: dengan perantaraan lisan rasul-rasul Engkau. Maka kata-kata: lisan itu dibuang.
Dan firman Allah Ta'ala: "Irmaa anzalnaahu fiilailati'l-qadr" - S
Al-Qadr, ayat 1. Artinya: 'Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam
kemuliaan (lailatul-qadr)" - dimaksudkan yang diturunkan itu, ialah:
Al-Qur'an dan apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah 'Azza wa
Jalla: "Ha't-taa tawaarat bil-hijaab" - S. Shad, ayat 32. Artinya: "Sehingga
ia tersembunyi dengan tabir (malam)". Yang dimaksudkan ialah: matahari
dan apa-apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah Ta'ala: "Wa
lladziina'ttakhadzuu min duunthi auliaa-a maa na' buduhum illaa
liyu-qa'rribunaa ilallahi zulfaa — S. Az-Zumar, ayat 3. Artinya: "Dan
orang-orang yang mengambil pelindung-pelindurng selain dari Tuhan itu: Kami
tiada menyembahnya melainkan untuk membawa kami lebih dekat kepada Allah".
Ya'ni: mereka mengatakan: kami tidak menyembahnya.........
Dan firman Aila Azza wa. Jalla: "Tetapi
mengapa orang-orang itu tidak mengerti akan sesuatu kejadian? Apa-apa kebaikan
yang engkau peroleh itu, datangnya dari Allah dan apa-apa bahaya yang menimpa
engkau itu, berasal dan dirimu sendiri" - S. An-Nisa', ayat 78 dun 79.
Maksudnya: mereka tiada mengerti sesuatu kejadian, dimana mereka itu
mengatakan: apa-apa kebaikan yang engkau peroleh itu,datangnya dari Allah.
Kalau bukan begitu maksudnya. artinya: menambahkan kata-kata: dimana mereka itu
mengatakan. maka adalah berlawanan dengan firman Allah Ta'ala: 'Katakanlah!
Semuanya daripada Allah" - S. An-Nisa', ayat 78. (Dalam ayat yang baru
tadi diatas). Dan mazhab "Al-Qa-dariah" telah dahulu kepada pemahaman
daripadanya.
Sebahagian daripada yang diperoleh
dengan mendengar itu, ialah yang dinaqalkan, lagi terbalik, seperti firman
Allah Ta'ala: "Wa thuuri siinisn" - S Attin, ayat 2. Artinya: Thur
Sina! Dan firman Ailah Ta'ala: "Saiaarnun 'alaa il Yaasin - S.
Ash-Shaffat, ayat 130. Artinya: Keselamatan untuk Ilyas.Dan ada yang
mengatakan: untuk Idris, karena menurut huruf tulisan Ibnu Mas'ud: Salamun 'ala
Idrasin". Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah
berulang-ulang. yang memutuskan sambungan kalirnat (kalam) pada dhahir, seperti
firman Allah Azza wa Jalla: "Tiadalah diikuti oleh mereka yang menyembah
sekutu-sekutu, selain Allah; tiadalah mereka ikuti, selain daripada persangkaan
saja" - S, Yunus, ayat 66. Maksudnya: Tiada diikuti oleh mereka yang
menyembah sekutu-sekutu, melainkan persangkaan saja.
Dan firman Allah Azza wa Jalla: "Berkatalah
beberapa orang yang menyombong dari kaumnya kepada mereka yang lemah, kepada
orang yang beriman daripada mereka" - S. Al-A'raf. ayat 75. Maksudnya:
Berkata mereka yang sombong kepada orang yang beriman dari orang-orang yang
lemah.
Sebahagian daripada yang diperoleh
dengan mendengar itu. ialah didahulukan dan dikemudiankan. Dan inilah menjadi
tempat sangkaan bagi kesalahan, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Dan jikalau tidaklah perkataan telah terdahulu dari Tuhanmu, sesungguhnya
adalah (hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan) dan waktu yang
ditetapkan"- S. Tha Ha, ayat 129. Maksudnya: "Jikalau tidaklah
perkataan dari Tuhan dan waktu yang ditetapkan, niscaya sesungguhnya adalah
(hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan). Dan kalau tidak, niscaya ia
ditegakkan, seperti yang semestinya".
Dan berfirman Allah Ta'ala: "Mereka
bertanya kepada engkau, seakan-akan engkau dapat menerangkan nya "-S.Al-A'raf,
ayat 187. Ya'ni: mereka menanyakan engkau dari hal (kiamat), seakan-akan engkau
dapat menerangkannya.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan
bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh
Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran" - S. Al-Anfal, ayat 4 dan 5.
Kalam tersebut tidak bersambung. Dan kembali kepada firmanNya yang lalu, yaitu:
Quli'l-anfaalu li'llaahi wa'rrasuul" — S. Al-Anfal, ayat 1. Ya'ni: Katakanlah,
segala rampasan perang itu, kepunyaan Allah dan Rasul. Sebagaimana
dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran! Artinya: maka
jadilah segala rampasan perang itu untuk engkau, karena engkau menyetujui
dengan keluar engkau , sedang mereka itu (segolongan dari orang mu'min) tidak
menyukai. Maka membelintanglah diantara Kalam itu. amar (disuruh) dengan taqwa
dan lainnya.
Dan sebahagian dari macam ini, ialah
Firman Allah 'Azza wa Jalla: "Sehingga kamu beriman dengan Allah Tuhan
Yang Mahaesa, kecuali kata Ibrahim kepada ayahnya......sampai akhir
ayat". S. Al-Mumtahanah,ayat 4.
Sebahagian daripada yang diperoleh
dengan mendengar itu, kata-kata mubham (tidak begitu tegas), yaitu: kata-kata
yang digunakan diantara beberapa pengertian, dari kata-katanya atau dari
hurufnya. Adapun kata-kata, maka seperti: sesuatu (asy-syai'), teman (alqarin),
umat (al-ummah), nyawa (ar-ruh) dan lain-lain sebagainya. Berfirman Allah
Ta'ala: "Allah Ta'ala membuat perumpamaan, yaitu seorang hamba sahaya
kepunyaan (orang lain), tidak berkuasa atas sesuatu" - S. An-Nahl, ayat
75. Dimaksudkan dengan sesuatu itu, yaitu: perbelanjaan dari apa yang diberikan
rezeki kepadanya.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Dan Allah Ta'ala membuat perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang
bisu, tidak dapat berbuat sesuatu" — S. An-Nahl, ayat 76. Ya'ni: suruhan
dengan keadilan dan kelurusan.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kalau engkau mengikuti
aku, maka janganlah ditanyakan
kepadaku tentang sesuatu" - S. Al-Kahf, ayat 70. Yang dimaksudkan dengan
sesuatu itu, dari sifat-sifat ketuhanan, yaitu: ilmu yang tidak boleh
ditanyakan. Sehingga orang yang mengetahuinya, memulai pada waktu yang
mustahak.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Merekakah yang diciptakan dari tiada suatu apa ataukah mereka yang
menciptakan?" - S. Ath-Thur, ayat 35. Ya'ni: dari tanpa khaliq
(Pencipta). Kadang-kadang meragukan, bahwa itu menunjukkan kepada: tidak
diciptakan sesuatu, melainkan dari sesuatu. Tentang al-qarin (teman), maka
seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Berkata temannya (qarin-nya):
Yang didekatku ini telah siap sedia-catatan amalannya. Diperintahkan
Lemparkanlah kedalam neraka setiap orang yang kafir" - S. Qaf, ayat 23
dan 24. Yang dimaksudkan dengan al-qarin itu, ialah: malaikat yang diserahkan
tugas menuliskan segala pekerjaannya. "
Firman Allah Ta'ala: 'Temannya
(qarinnya) berkata: Wahai Tuhan kami! Aku tiada membawanya kepada kejahatan,
tetapi dia sendiri berada dalam kesesatan yang jauh itu" - S. Qaf,
ayat 27. Yang dimaksudkan dengan teman (al-qarin) disitu, ialah: setan.
Tentang umat
(al-ummah), -maka ditujukan kepada delapan macam:
1.Umat dengan arti: sekumpulan, seperti
firman Allah Ta'ala: "Didapatinya disana sekumpulan (ummatan) orang
yang sedang memberi minum (binatangnya)" — S. AI-Qashash, ayat 23.
2.Dengan arti: pengikut nabi-nabi,
seperti kita katakan: Kami ini dari umat (pengikut) Muhammad صلى الله عليه وسلم
3.Dengan arti; seorang yang berkumpul
padanya sifat-sifat yang baik, yang diikuti, seperti firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya Ibrahim adalah (ummatan) yang patuh kepada Allah" - S.
An-Nahl, ayat 120.
4.Dengan arti: agama, seperti firman
Allah 'Azza wa Jalla: "Kami dapati bapa-bapa kami mengikuti suatu agama
(ummatin)"— S. Az-Zukhruf, ayat 22
5.Dengan arti: waktu dan masa, seperti
finnan Allah 'Azza wa Jalla: "Kalau Kami undurkan dari mereka siksaan itu,
sampai waktu yang ditentukan (ummatin ma'duudah)" S - Hud, ayat 8. Dan
firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kemudian baru teringat (kepada Yusuf)
sesudah beberapa lama (ba'da ummatin)" - S. Yusuf ayat 45.
6.Dengan arti: bentuk badan (al-qamah),
seperti dikatakan: Si Anu itu bentuk badannya bagus (husnu'l-ummah).
7.Dengan arti: seorang yang sendirian
dengan sesuatu agama, tidak ada seorangpun yang lain bersama dia menganut agama
itu, seperti sabda Nabi صلى الله عليه
وسلم "Diutuskan
Zaid bin 'Amr bin Nufail sebagai umat yang sendirian".
8.Dengan arti: ibu, seperti dikatakan:
Ini, ibu si Zaid (Ummatu Zaid), artinya: ummu (ibu) Zaid.
Ruh (nyawa) juga terdapat dalam
Al-Qur'an, dengan pengertian yang banyak dan tidak kami panjangkan penjelasan
nya.
Begitu pula, kadang-kadang terdapat
yang meragukan pada huruf-huruf, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla:
(Fa-atsarna bi-hi naq'an, fa wasathna
bi-hi jam'aa) - Al-'Adiyat, ayat 4 dan 5. Artinya: "Maka menerbangkan debu
dan menembus ketengah-tengah orang banyak". Maka ha pertama (hi pada bi-hi
pertama), adalah tunjukan yang tidak tegas (kinayah) dari kuku-kuku hewan
(kuda), yang betlari kencang, menginjakkan batu-batu, yang menerbitkan api.
Ya'ni: "Atsarna bi'l-hawaafiri naq'an" - Artinya: Menerbangkan debu
dengan kuku-kuku hewan itu". Ha kedua (hi pada bi-hi kedua) adalah kinayah
dari penyerbuan (al-igharah), yaitu: yang menyerbu dipagi hari. Lalu menyerbu
ditengah-tengah kaum musyrikin (musuh).
sehingga dapat discrang semua mereka itu.
Dan firman Allah
Ta'ala: "Lalu Kami turunkan
daripadanya air", ya'ni: awan. Lalu Kami keluarkan dengan sebabnya
berbagai macam buah-huahan, ya'ni: air ". -
S. AI-A'-raf. ayat 57. yang seperti itu dalam Al-Qur'an, adalah tidak terhingga
banyaknya. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah:
beransur-ansur memberi penjelasan (at-tadrij fil-bayan), seperti firman Allah
'Azza wa Jalla: "Bulan Ramadlan,
yang diturunkan padanya Al-Quran" -
S. Al-Baqarah, ayat 185. Karena tidak jelas dengan itu, apakah malam atau
siang. Lalu jelaslah dengan firmanNya Allah 'Azza wa Jalla: "Sesungguhnya Kami turunkan Al-Quran itu pada malam yang
diberkati" S. Ad-Dukhan, ayat 3. Dan tidak dijelaskan
dengan itu, pada malam apa? Lain jelaslah dengan firmanNya Ta'ala: "Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Ouran itu, pada malam
kemuliaan (lailatu'l-qadar)" - S. Al Qadar, ayat 1. Kadang-kadang
timbul persangkaan, bahwa pada dhahirnya. terdapat pertentangan diantara
ayat-ayat itu.
Maka yang tersebut itu dan yang
menyerupainya, adalah termasuk hal yang tidak mencukupi, kecuali dengan naqal
dan mendengar. Dari itu, Al-Quran dan permulaannya sampai kepada penghabisan
nya, tiada terlepas dan hal yang semacam itu. Karena dia diturunkan dengan
bahasa Arab, waka ia melengkapi dengan segala macam susunan kata mereka, dari:
dipersingkat dan diperpanjang, disembunyikan dan dibuang, digantikan.
didahulukan dan dikemudiankan. Supaya adalah yang demikian itu memuaskan bagi
mereka dan melemahkan mereka untuk menirunya (karena Al-Qur'an itu mu'jizat
Nabi صلى الله عليه
وسلم Maka
tiap-tiap orang yang merasa cukup dengan memahami yang dhahir saja dan bahasa
Arab dan bersegera menafsirkan Al-Qur'an dan dia tidak meminta bantuan dengan
mendengar dan menaqalkan dalam segala hai itu, niscaya ia masuk dalam golongan
orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya. Seumpama ia memahami
dari perkataan "ummah" akan pengertian yang lebih terkenal, lalu
condonglah tabi'at dan pendapatnya kesitu.
Apabila ia mendengar pada tempat lain,
lalu condonglah pendapatnya kepada yang didengarnya itu daripada pengertiannya
yang terkenal. Dan ia tinggalkan menyefidiki naqal pada kebanyakan dari
pengertian Al-Qur'an itu.
Hal ini, tidak mungkin dilarang, tanpa
memahami rahasia pengertian Al-Qur'an, sebagaimana telah diterangkan dahulu.
Apabila telah memperoleh pendengaran,
dengan contoh-contoh hal itu, niscaya ia telah mengetahui tafsir secara dhahir.
Yaitu: terjemahan kata-kata. Dan yang demikian itu, tidak mencukupi untuk
memahami hakikat pengertian Al-Quran. Dan dapat diketahui perbedaan antara: hakikat
pengertian dan tafsiran dhahir, dengan contoh.Yaitu: Allah Ta'ala
berfirman: وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى (Wa maa ramaita idz ramaita wa
laaki'nna'llaaha ramaa). S. Al-Anfal, ayat 17. Artinya: "Bukan
engkau yang melemparkan ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar".
Maka tafsiran dhahiriahnya itu jelas dan hakikat pengertiannya itu sulit.
Karena disitu, terdapat adanya lempar dan tidak adanya lempar. Dan keduanya
adalah berlawanan pada dhahiriyahnya, selama tidak dipahami, bahwa dia melempar
dari satu segi dan tidak melempar dari satu segi. Dan dari segi dia tidak
melempar, maka dilemparkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Begitu pula, firman Allah
Ta'ala: قَاتِلُوهُمْ
يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ (Qaatiluuhum yu'adz-dzib-humu'llaahu
bi-aidiikum) S. Al-Bara'ah(AtTaubah),
ayat 14. Artinya: 'Terangilah mereka, Allah
akan menyiksa mereka dengan tanganmu". Apabila mereka itu
yang berperang, maka bagaimanakah Allah s.w.t. itu yang mengazabkan? Dan kalau
Allah Ta'ala yang mengazabkan dehgan menggerakkan tangan mereka, maka apakah
artinya mereka itu disuruh berperang?
Maka hakikat pengertian ini dapat
dipahami dari lautan besar ilmu-mukasyafah, yang tidak mencukupi dengan
tafsiran dhahir saja. Yaitu: hendaklah diketahui: segi ikatan af'al dengan
qudrah yang baharu dan memahami segi ikatan qudrah. itu dengan Qudrah Allah
'Azza wa Jalla. Sehingga, setelah jelas beberapa hal yang banyak, -yang
sulit-sulit, menjelaslah kebenaran firmanNya 'Azza wa Jalla: "Wa maa
ramaita idz ramaita wa laaki'nna'llaa ha ramaa" tadi.
Kalau sekiranya seluruh umur
dipergunakan untuk menyingkap segala rahasia pengertian itu dan apa yang
bersangkutan dengan segala mukaddimah dan hubungannya, niscaya habislah umur
itu, sebelum sempurna segala hubungannya. Dan tidak satu kata pun dari
Al-Qur'an, melainkan untuk membentangkan hakikatnya, memerlukan kepada yang
seperti itu, Dan sesungguhnya terbuka bagi orang-orang yang mendalam pengetahuanya,
segala rahasia Al-Qur''an, menurut banyaknya ilmu pengetahuan mereka, bersihnya
hati mereka, sempurnanya faktor-faktor yang membawa kepada pemahaman dan
semata-matanya mereka untuk mempelajari Al-Qur'an. Dan masing-masing mempunyai
batas pada ketinggian, sampai kepada derajat yang tertinggi daripadanya Adapun
derajat kesempurnaan, maka jangan diharapkan. Kalaulah lautan itu menjadi
tinta dan pohon-pohon menjadi pena, maka sesungguhnya rahasia Kalam Allah, tak
ada kesudahan baginya. Maka habislah segala lautan, sebelum habis Kalam Allah
'Azza wa Jalla.
Maka dari segi ini, berlebih-kuranglah
manusia pada pemahaman, sesudah sama-sama mengetahui tafsiran dhahir. Dan
tafsiran dhahir itu, tidaklah mencukupi. Contohnya seperti pemahaman sebahagian
Arba-bi'l-qulub (para ulama yang mempunyai hati untuk berpikir) dari bacaan
Nabi صلى الله عليه
وسلم dalam
sujudnya: "أعوذ
برضاك من سخطك وأعوذ بمعافاتك من عقوبتك وأعوذ بك منك لا أحصى ثناء عليك أنت كما
أثنيت على نفسك Aku berlindung dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu. Aku
berlindung dengan kema'afanMu dari siksaanMu. Aku berlindung dengan Engkau
daripada Engkau.Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana
Engkau pujikan akan Engkau sendiri". Sesungguhnya
dikatakan kepadanya: "Sujudlah dan dekatkanlah diri!"
Maka terdapatlah pendekatan diri dalam
sujud, lalu diperhatikan kepada sifat-sifat. Maka diminta perlindungan
sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain.
Kerelaan dan
kemarahan adalah dua sifat. Kemudian bertambahlah mendekatnya,
Lalu masuklah pendekatan pertama padanya, maka. meninggilah kepada zat. Maka ia
membacakan: "Aku berlindung dengan Engkau daripada Engkau".
Kemudian bertambah mendekatnya dengan apa yang ia malukan, dari perlindungan
diatas hamparan pendekatan. Maka ia bersandar kepada pemujian, lalu dipujinya
dengan mengucapkan: "Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada
Engkau". Kemudian ia tahu, bahwa yang demikian itu masih kurang,
lalu ia mengucapkan: "Sebagaimana Engkau pujikan akan Engkau
sendiri". Maka inilah gurisan-gurisan yang terbuka bagi
Arbabi'l-qulub. Kemudian dibalik itu, gurisan-gurisan itu mempunyai lapisan
yang dalam. Yaitu: pemahaman arti pendekatan, dan pengkhususannya dengan sujud.
Pengertian berlindung dari suatu sifat dengan sifat yang lain dan daripada Dia
dengan Dia.
Rahasia itu adalah banyak. Dan tafsiran
menurut kata-kata secara dhahir, tidaklah menunjukkan kepadanya. Dan tidaklah
ia berlawanan bagi tafsir dhahiriyah itu. Tetapi menyempurnakan dan
menyampaikan kepada isinya dari dhahiriyahnya.
Inilah yang kami bentangkan untuk
memahami pengertian-pengertian batin. Tidak kami bentangkan apa yang berlawanan
dengan yang dhahir. Dan Allah yang
Maha-mengetahuinya!
Telah sempuma Kitab Adab Tilawah. Dan
segala pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam. Dan selawat. dan salam
kepada Muhammad, kesudahan nabi-nabi dan kepada tiap-tiap hamba pilihan dari
seluruh alam dan kepada keluarga Muhammad dan shahabatnya dan selamatlah
kiranya!
Akan diiringi Insya AllahTa'alaoleh
"Kitab Dzikir dan Do'a". Dan Allah tempat meminta pertolongan. Tidak
ada Tuhan, selain Dia!
TAMAT
J1-K08