Adab Tilawah Alquran

         
كتاب آداب تلاوة القرآن
وهو الكتاب الثامن من ربع العبادات
بسم الله الرحمن الرحيم
KITAB ADAB TILAWAH AL-QURAN.
Segala pujian bagi Allah yang telah meanugerahkan keni'm itan kepada segala hambaNya, dengan NabiNya صلى الله عليه وسلم yang diutuskan dan  KitabNya yang diturunkan—yang tak datang kepadanya batil dari pihakNya dan dari pihak makhlukNya-turun dari Yang Mahabijaksana dan Maha terpuji—sehingga meluaslah kepada ahli pikir, jalan ibarat, dengan apa yang didalamnya, dari segala ceritera dan berita. Dan teranglah dengan dia jalan bagi perjalanan yang benar dan lurus, dengan apa yang diuraikan didalamnya, dari hukum-hukum. Dan Kitab itu memisahkan antara halal dan haram. Maka dia adalah terang-benderang dan nur. Dengan dia terlepas dari tipuan dan padanya obat untuk apa yang didalam dada. Barangsiapa menyalahinya dari orang-orang yang *kasar, niscaya dibinasakan oleh Allah. Dan barangsiapa menuntut ilmu pada lainnya niscaya disesatkan oleh Allah. Al-Qur'an itulah tali Allah yang kokoh dan nurNya yang nyata, talinya yang kuat dan perpegangan yang sempurna. Dia itu meliputi dengan yang sedikit dan yang banyak, yang kecil dan yang besar, tidak akan habis-habis keajaibannya, tidak akan berkesudahan keganjilannya. Tidak diliputi oleh pembatasan dengan segala faedahnya pada ahli ilmu pengetahuan. Dan ia tidak diburukan oleh banyak ulangan pada ahli tilawah. Al-Qur'anlah yang memberi petunjuk akan orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian.
Dan tatkala Al-Qur'an itu didengar oleh jin, lalu senantiasalah mereka: menoleh kepada kaumnya, memberi peringatan. Maka berkatalah mereka:
إنا سمعنا قرآنا عجبا يهدي إلى الرشد فآمنا به ولن نشرك بربنا أحدا  
(Innaa sami'naa qur-aanan 'ajaban yahdii ilar-rusydi fa-aamannaa bihi wa lan nusyrika birabbinaa ahadaa).Artinya: "Sesungguhnya kami telah mendengar Al-Qur'an yang mena'jubkan, memberi petunjuk kepada kebenaran, lalu kami beriman dengan dia dan tidak kami mempersekutukan Tuhan kami dengan seseorang" (1).(1.Surah Al Jih ayat 1-2)
Maka tiap-tiap orang yang beriman kepadanya, niscaya memperoleh taufiq dan barangsiapa berkata-kata dengan Al-Qur'an maka benarlah dia. Dan barangsiapa berpegang teguh dengan Al-Quran, maka ia memperoleh petunjuk dan barangsiapa berbuat sepanjang Al-Quran maka ia memperoleh kemenangan.
Berfirman Allah Ta'ala:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
(Innaa nahnu nazzalnadz dzikra wa innaalahu lahaafidhuun). Artinya: "Sesungguhnya Kami menurunkan Peringatan (Al-Qur'an) itu dan sesungguhnya Kami Penjaganya". (S. Al-Hijr, ayat 9). Sebagian dari sebab-sebab penjagaannya (penghafalannya) didalam hati dan mashhaf-mashhaf, ialah berkekalan membacanya dan rajin memperlajarinya, serta melaksanakan adab-adab dan syarat-syaratnya. Dan menjaga apa yang didalamnya dari segala amalan batin dan adab dhahir.
Yang demikian itu, tak boleh tidak daripada penjelasan dan penguraian. Dan terbukalah segala maksudnya itu dalam empat bab: Bab Pertama : tentang kelebihan Al-Qur'an dan ahli Al-Qur'an. Bab Kedua : tentang adab tilawah pada dhahir. Bab Ketiga : tentang amalan-amalan batin ketika tilawah. Bab Keempat: tentang pemahaman dan penafsiran Al-Qur'an dengan pendapat pikiran dan lainnya.

BAB PERTAMA:tentang kelebihan Al-Qur'an dan ahlul-Qur-an dan pencelaan terhadap orang-orang yang teledor(Lalai) pada tilawahnya.
KELEBIHAN AL-QURAN.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Barang siapa membaca Al-Qur'an, kemudian ia melihat bahwa ada seseorang yang diberikan, lebih utama daripada yang diberikan kepadanya, maka sesungguhnya ia telah mengecilkan apa yang diagungkan oleh Allah Ta'ala" (1).
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم  Tiadalah diantara yang memberi syafa'at, yang lebih utama kedudukannya pada Allah Ta'ala, dari pada Al-Qur'an. Tidak nabi, tidak malaikat dan tidak lainnya".
Bersabda Nabi  صلى الله عليه وسلم"Kalau adalah Al-Qur'an itu dalam kulit yang tidak disamak (ihaab), niscaya dia tidak disentuhkan api". Bersabda Nabi  صلى الله عليه وسلم"Yang terutama ibadah umatku, ialah tilawah Al-Qur'an".
Bersabda Nabi  صلى الله عليه وسلم pula: "Sesungguhnya Allah 'Azza Wa Jalla membaca surat Thaha dan surat ya-sin sebelum la menjadikan makhluk seribu tahun. Maka tatkala para malaikat mendengar Al-Qur'an, lalu mengatakan: "Berbahagialah umat yang diturunkan ini kepada mereka! Berbahagialah hati yang menghafalkan ini! Berbahagialah lidah yang menuturkan dengan ini!"
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Yang terbaik kamu, ialah barangsiapa yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Berfirman Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi: "Barangsiapa menggunakan waktunya untuk membaca Al-Qur'an, daripada berdo'a dan meminta kepadaKu, niscaya Aku berikan kepadanya, pahala yang lebih utama bagi orang-orang yang bersyukur".
Bersabda Nabi  صلى الله عليه وسلم'Tiga golongan pada hari kiamat diatas bukit kecil dari kesturi hitam, tiada menyusahkan mereka oleh kegundahan dan tiada menimpa akan mereka oleh hisab amalan, sehingga diselesaikan apa yang diantara manusia: orang yang membaca Al-Qur'an, karena mengharap wajah Allah 'Azza wa Jalla dan orang yang mengimami suatu kaum dan kaum itu suka kepadanya" (2).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Ahlu'l-Quran, ialah ahlu'llah dan orang-orang yang dikhususkan olehNya" (3).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bahwa hati itu berkarat, seperti berkaratnya besi".

1.Dirawikan At Thabrani dari Abdullah bin Amr dengan isnad daif
2.Hadis ini telah diterangkan dahulu Pada “Fadhilat Azan” Di situ disebutkan tiga golongan itu
3.Dirawikan AnNasai dan Lain lain dari Anas dengan isnad hassan menurut ittihaf syarah Ihya bahawa yang dimaksudkan dengan Ahlul-Quran ialah penghafal penghafal Alquran yang selalu membacanya dengan mengamalkan isinya(pent)
Lalu orang bertanya:"Wahai Rasulullah! Bagaimanakah membersihkannya?" Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم "Membaca Al-Qur'an dan mengingati mati".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Lebih bersangatanlah perhatian Allah kepada pembaca Al-Qur'an, daripada orang yang mempunyai penyanyi kepada penyanyinya"*
Menurut atsar, diantara lain: berkat Abu Umamah Al-Bahili: "Bacalah Al-Qur'an dan janganlah tertipu kamu oleh mashhaf-mashhaf yang bergantungan ini. Sesungguhnya Allah Ta'ala tiada mengazabkan hati, yang menjadi karung Al-Quran".
Berkata Ibnu Mas'ud: "Apabila kamu menghendaki ilmu pengetahuan, maka bacalah Al-Quran! Sesungguhnya dalam Al-Qur'an itu ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian".
Berkata Ibnu Mas'ud pula: "Bacalah Al-Qur'an! Sesungguhnya kamu diberikan pahala dengan tiap-tiap huruf daripadanya sepuluh kebaikan. Sesungguhnya aku tiada mengatakan satu huruf itu alif-Iam-mim, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf'.
Berkata Ibnu Mas'ud pula: "Tidaklah bertanya seseorang kamu tentang dirinya, melainkan tentang Al-Qur'an. Kalau ia mencintai dan mena'jubkannya akan Al-Qur'an, maka dia mcncintai akan Allah s.w.t. dan RasulNya صلى الله عليه وسلم. Kalau ia memarahi akan Al-Qur'an, maka dia itu memarahi akan Allah s.w.t. dan RasulNya".
Berkata Amru'bnu'l-'Ash: "Tiap-tiap ayat dalam Al-Qur'an adalah satu derajat dalam sorga dan satu lampu dalam rumahmu". Berkata 'Amru'bnu'I-Ash pula: "Barangsiapa membaca Al-Quran, niscaya masuklah kenabian (nubuwwah) diantara kedua lembungnya. Hanya tidak diturunkan wahyu kepadanya".
Berkata Abu Hurairah: "Sesungguhnya rumah yang dibacakan padanya Al-Quran, niscaya lapanglah penghuni rumah itu, banyaklah kebajikannya, datanglah kepadanya malaikat dan keluarlah daripadanya setan-setan. Dan sesungguhnya rumah yang tidak dibacakan padanya Kitabu'llah 'Azza wa Jalla, niscaya sempitlah penghuninya, sedikitlah kebajikannya, keluarlah daripadanya malaikat dan datanglah kepadanya setan-setan".
Berkata Ahmad bin Hanbal: "Aku bermimpi Allah 'Azza wa Jalla didalam tidur, maka aku bertanya: "Wahai Tuhanku! Apakah yang lebih utama, yang didekati dengan itu oleh orang-orang yang mendekati (al-mutaqarribun) kepadaMu? Menjawab Allah 'Azza wa Jalla: "Dengan KalamKu (perkataan Ku), wahai Ahmad!" Berkata Ahmad bin Hanbal: "Lalu aku bertanya: "Wahai Tuhanku, dengan mengerti atau tanpa mengerti?"Menjawab Allah 'Azza wa Jalla: "Dengan mengerti atau tanpa mengerti!"
Berkata Muhammad bin Ka'b Al-Qardhi: "Apabila manusia mendengar Al-Quran daripada Allah 'Azza wa Jalla pada hari kiamat, maka seakan-akan mereka itu belum pernah sekali-kali mendengarnya".Berkata Al-Fudlail bin 'Iyadh: "Seyogialah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, bahwa tak ada keperluannya kepada seseorang dan kepada khalifah-khalifah dan orang-orang yangdibawahnya.Maka seyogialah hajat keperluan manusia ramai ada padanya". Berkata Al-Fudlail pula: "Pembawa AJ-Quran, ialah pembawa bendera Islam. Maka tidak wajarlah ia bcrsenda-gurau bersama orang yang bersenda-gurau, tidaklah ia lupa bersama orang yang lupa dan tidaklah ia berbuat yang sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, karena mengagungkan hak Al-Qur'an".
Berkata Sufyan Ats-Tsuri: "Apabila seseorang membaca Al-Qur'an, niscaya meiaikat mencium diantara dua matanya". Berkata 'Amr bin Maimun: "Barangsiapa membaca mashhaf (Al-Qur'an), ketika bershalat Shubuh, lalu membaca daripadanya seratus ayat, niscaya ia ditinggikan oleh AUah 'Azza wa Jalla seperti amal seluruh penduduk dunia". Dan diriwayatkan; "Bahwa Khalid bin 'Uqbah datang kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم., seraya berkata: "Bacakanlah kepadaku Al-Quran!" Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم membacakan kepadanya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
(I'nna'llaha ya' muru bi'l-'adli wa'l-ihsaani wa iitaa-i dzi'l-qurbaa.) - S. An-Nahl, ayat 90.
Artinya: "Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat". Lalu Khalid berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم "Ulangilah!" Maka Nabi صلى الله عليه وسلم mengulanginya. Kemudian berkata Khalid: "Demi Allah sesungguhnya Al-Qur'an itu mempunyai kemanisan, padanya kecantikan, bawahnya berdaun dan atasnya berbuah dan tidaklah ini dikatakan oleh manusia" (1)
Berkata Al-Hasan: "Demi Allah.tidaklah selain dari Al-Quran yang kaya dan tidaklah sesudahnya yang diatas". Berkata Al-Fudlail: "Barangsiapa membaca akhir surat Al-Hasyr ketika pagi-pagi hari, kemudian ia meninggal pada hari itu, niscaya dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid. Dan barangsiapa membacanya ketika sore-sore hari, kemudian ia meninggal pada malamnya niscaya dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid".
Berkata Al-Qasim bin Aburrahman: "Aku bertanya kepada sebahagian orang-orang yang kuat beribadah: "Tiadakah disini seseorang yang dapat menjadi teman rapat?" Lalu orang tadi mengambil Al-mashhaf dan meletakkan diatas pangkuannya, seraya berkata: "Ini!" Berkata Ali bin Abi Thalib r.a.: "Tiga perkara menambahkan pemeliharaan badan dan menghilangkan dahak: bersugi, berpuasa dan membaca Al-Qur'an".

1.Dirawikan AlBaiHaqi Dari ibnu Abbas dengan Sanad Baik

TENTANG: celaan tilawah orang-orang yang lalai.
Berkata Anas bin Malik: "Banyaklah pembaca Al-Qur'an dan Al-Qur'an itu mengutuknya". Berkata Maisarah: "Yang asing itu, ialah Al-Qur'an pada mulut orang zalim".
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: "Malaikat Zabaniah itu lebih cepat kepada para pembawa Al-Qur'an yang mendurhakai Allah 'Azza wa Jalla, daripada para penyembah berhala, ketika mereka itu mendurhakai Allah s.w.t. sesudah membaca Al-Qur'an".
Berkata sebahagian ulama: "Apabila seorang anak Adam membaca Al-Qur'an, kemudian mencampurkannya dengan perkataan Iain, kemudian kembali lalu membaca lagi, niscaya dikatakan kepadanya: "Mengapakah engkau begitu dengan kalamKu?"
Berkata Ibnu'r-Rammah: "Aku menyesal atas hafalanku akan Al-Qur'an, karena sampai kepadaku, bahwa teman-teman Al-Qur'an itu ditanyakan tentang apa yang ditanyakan nabi-nabi daripadanya, pada hari kiamat". Berkata Ibnu Mas'ud: "Seyogialah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, mengenai dengan malamnya apabila manusia itu tidur dan mengenai dengan siangnya, ketika manusia itu berlebih-lebihan. Dengan kesusahannya, apabila manusia itu bersuka-sukaan, dengan tangisnya, apabila manusia itu tertawa-tawa, dengan diamnya, apabila manusia itu masuk dalam pembicaraan dan dengan khusyu'nya, apabila manusia itu sombong. Dan seyogialah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, berkeadaan tenang dan lemah-lembut. Dan tidak wajarlah berkeadaan tegang, pemarah, memekik-mekik, membuat keributan dan bersikap keras sebagai besi".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Kebanyakan yang menjadi munafiq dari umat ini, ialah qu'rra'nya (para ahli bacaan Al-Qur'an)" (1).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Bacalah Al-Qur'an, dimana ia melarang engkau dari perbuatan ma'siat. Maka kalau ia tidak melarang engkau dari perbuatan ma'siat itu niscaya tidaklah engkau membacakannya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Tiada beriman dengan Al-Qur'an orang yang menghalalkan barang yang diharamkannya" (2).
Berkata sebahagian salaf: "Sesungguhnya seorang hamba (hamba Allah) memulai suatu surat dari Al-Qur'an, maka berdo'a para malaikat kepadanya sampai selesai ia dari surat itu. Dan sesungguhnya seorang hamba memulai suatu surat dari Al-Qur'an, maka para malaikat mengutukinya, sampai selesai ia dari surat itu". Maka ditanyakan kepada salaf tadi: "Mengapakah demikian?" Lalu ia menjawab: "Apabila hamba itu menghalalkan yang dihalalkan surat tersebut dan mengharamkan yang diharamkannya, maka berdo'alah para malaikat kepadanya. Dan kalau tidak demikian, maka para malaikat itu mengutuknya".

1.Dirawikan Ahmad Dari Uqbah Bin Amir dan Abdullah Bin Amr
2.Dirawikan AtTirmidzi dari Syuib

Berkata sebahagian ulama: "Sesungguhnya seorang hamba yang membaca Al-Qur'an, lalu mengutuk dirinya sendiri. Dan ia tidak tahu, seraya membaca:
 أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
(Alaa la'natu'llaahi 'aladhdhaalimiin).
Artinya: "Ketahuilah kutukan Allah itu keatas orang-orang zalim". S. Hud, ayat 18. Dan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Dan:لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ  (Ketahuilah, kutukan Allah itu keatas orang-orang pendusta), sedang ia sebahagian daripada mereka" (1).
Berkata Al-Hassan: "Sesungguhnya kamu membuat pembacaan Al-Quran itu beberapa jarak jauh dan kamu jadikan malam itu unta Maka kamu mengenderai unta itu, lalu kamu menempuh dengan dia jarak-jarak jauhnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu, memandang Al-Qur'an itu surat-surat (rasa-il) dari Tuhannya. Maka mereka memahamkannya pada malam dan melaksanakannya pada waktu siang". Berkata Ibnu Mas'ud: "Diturunkan Al-Quran kepada mereka supaya diamalkannya. Lalu mereka membuat pelajarannya amalan, Sesungguhnya seseorang daripada kamu, hendaklah membaca Al-Qur'an dari permulaannya (fatihah), sampai kepada kesudahannya (khatimah). Apa yang dihilangkan daripadanya sesuatu huruf, sesungguhnya ia telah menghilangkan amalan dengan huruf itu".
Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh Jundub r.a. tersebut: "Sesungguhnya kami telah hidup pada masa yang panjang dan seorang dari kami diberikan iman sebelum Al-Qur'an. Maka diturunkan suatu surat kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم. lalu dipelajarinya yang halal, yang haram, yang menyuruh dan yang melarang serta apa yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada surat itu. Kemudian, sesungguhnya aku melihat beberapa orang, yang diberikan Al-Qur'an, kepada salah seorang daripada mereka sebelum iman. Maka dibacakannya apa yang ada diantara permulaan Kitab (fatihah Kitab) sampai kepada kesudahannya (khatimahnya), dimana ia tiada mengetahui apa yang menyuruhnya dan apa yang melarangnya, dan tidak mengetahui apa yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada kitab itu, yang dihamburkannya yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk".
Dan tersebut dalam Taurat: "Hai hambaKu! Adakah tidak engkau malu padaKu, datang kepadamu sebuah kitab dari sebahagian saudaramu dan engkau dijalan sedang berjalan. Lalu engkau berpaling dari jalan itu, seraya duduk karena kitab tersebut, membacanya dan memahaminya huruf demi huruf, sehingga sedikitpun daripadanya tiada luput bagimu. Dan ini kitabKu, yang Aku turunkan kepadamu! Lihatlah, berapa banyak Aku terangkan didalamnya penjelasan bagimu dan berapa banyak Aku uiang-ulangi didalamnya kepadamu, supaya engkau perhatikan panjang dan lebarnya:

1.Pada surat Ali Imran Ayat 61.

Kemudian engkau berpaling dari Kitab itu. Adakah Aku ini lebih hina padamu dari sebahagian saudaramu itu? Hai hambaKu! Duduk kepadamu sebahagian saudaramu, lalu kamu terima dia dengan seluruh perhatianmu dan engkau perhatikan segala perkataanya dengan sepenuh hatimu. Kalau ada orang lain yang berkata atau dirintangi engkau oleh suatu perintang daripada mendengar perkataannya, niscaya engkau isyaratkan kepadanya supaya ia berhenti daripada berkata-kata. Dan adalah Aku menghadapkan diri kepadamu dan bercakap-cakap dengan kamu, sedang kamu berpaling daripadaKu dengan hatimu. Apakah engkau jadikan Aku lebih hina padamu daripada sebahagian saudaramu?'

BAB KEDUA: mengenai yang dhahir dari adab tilawah. Yaitu: sepuluh perkara.
Pertama: tentang keadaan pembaca. Yaitu: ia didalam wudlu26, bersikap didalam keadaan adab dan tenang, baik ia berdiri atau duduk, menghadap kiblat, menundukan kepala, tidak duduk secara metipatkan kedua tapak kaki dibawah kedua paha (mutara'bbi'). tidak duduk sccara bertekan (mu'ttaki') dan tidak duduk secara sombong. Dan adalah duduknya dengan sendirian itu, seperti duduknya dihadapan guru. Keadaan yang paling utama, ialah membaca Al-Qur'an itu didalam shalat dengan berdiri dan adalah itu didalam masjid. Maka itulah amalan yang paling utama!
Kalau membaca Al-Qur'an dengan tanpa wudlu' dan dia sedang berbaring diatas tikar, maka baginya keutamaan juga, tetapi kurang dari yang tadi. Berfirman Allah Ta'ala:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Alladziina yadzkuru-nallaaha qiyaa-man wa qu'uudan wa'ala junuubi-him wa yatafakka-ruuna fii-khal-qis-sa-maawaa-ti wal-ardli). Artinya: "Orang-orang yang mengingati Allah, ketika berdiri dan duduk, ketika berbaring dan mereka memikirkan tehtang kejadian langit dan bumi"-S.Ali Imran, ayat 191. Maka Allah Ta'ala memujikan semuanya, tetapi mendahulukan berdiri pada mengingati Allah, kemudian duduk, kemudian mengingati sambil berbaring.
Berkata Ali r.a:: "Barangsiapa membaca Al-Quran, dimana ia berdiri didalam shalat, niscaya adalah baginya dengan tiap-tiap huruf itu seratus kebajikan. Dan barangsiapa membacanya, dimana ia duduk didalam shalat, maka baginya dengan tiap-tiap huruf itu limapuluh kebajikan. Dan barangsiapa membacanya diluar shalat, sedang dia berwudlu', maka duapuluh lima kebajikan. Dan barangsiapa membacanya tanpa wudlu', maka sepuluh kebajikan. Dan apa yang dilaksanakan dengan mengerjakan ibadah pada malam hari, maka itu adalah lebih utama, karena lebih mencamkan bagi hati".
Berkata Abu Dzar Al-Ghaffari r.a.: "Bahwa banyaknya bersujud pada siang hari dan lamanya bangun mengerjakan ibadah pada malam hari, adalah lebih utama (afdlal)".
Kedua: tentang jumlahnya pembacaan. Bagi para pembaca (qu'rra'), berbagai macam adat kebiasaan tentang membanyak dan menyingkatkan pembacaan. Sebahagian mereka, ada yang menyudahkan (mengkhatamkan) Al-Quran sehari-semalam sekali. Sebahagian mereka, dua kali. Dan sampailah sebahagian mereka kepada tiga kali.
Dan sebahagian mereka, ada yang mengkhatamkan sebulan sekali. Dan yang lebih utama untuk menjadi perpegangan tentang jumlah tilawah itu, ialah sabda Rasulullah  صلى الله عليه وسلم
من قرأ القرآن في أقل من ثلاث لم يفقهه
(Man qara-al-qur-aana fii aqalla min tsalaatsin lam yafqahhu). Artinya: "Barangsiapa membaca Al-Quran kurang dari tiga kali, niscaya ia tiada memahami akan Al-Quran itu" (1).
Yang demikian itu, karena lebih daripadanya, mencegah bagusnya tilawah (tartil). Berkata 'A'isyah r.a. tatkala mendengar seorang laki-laki banyak benar salahnya pada pembacaan Al-Qur'an: "Bahwa orang itu tidaklah membaca Al-Quran dan tidak pula diam". Nabi صلى الله عليه وسلم menyuruh Abudu'llah bin 'Amr r.a. supaya mengkhatamkan Al-Quran pada tiap-tiap tujuh hari (minggu)" (2).
Dan begitu pula, segolongan dari shahabat r.a. mengkhatamkan Al-Qur'an pada tiap-tiap Jum'at, seperti 'Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud dan Ubai bin Ka'b-direlai oleh Allah kiranya mereka itu semuanya.
Tentang pengkhataman, adalah empat tingkat: pengkhataman dalam sehari-semalam. Tingkat ini telah dimakruhkan oleh segolongan ulama; pengkhataman pada tiap-tiap bulan, dimana tiap-tiap hari itu adalah satu juz daripada tigapuluh juz. Dan ini, seolah-olah adalah bersangatan pendek, sebagaimana yang pertama itu bersangatan banyaknya. Diantara kedua tingkat tadi, terdapat dua tingkat yang sederhana: yang pertama: dalam seminggu sekali dan yang kedua dalam seminggu dua kali, mendekati kepada tiga.
Dan yang lebih sunat, ialah mengkhatamkan sekali khatam pada malam dan sekali khatam pada siang. Dan menjadikan khataman siang itu hari Senin pada dua raka'at shalat Shubuh atau sesudahnya. Dan menjadikan khataman malam, malam Jum'at pada dua raka'at Magrib atu sesudahnya. Supaya menghadap permulaan siang dan permulaan malam dengan khataman itu. Karena para malaikat a.s. berdo'a kepadanya, kalau khatamannya pada malam, sampai kepada waktu Shubuh. Dan kalau khatamannya pada siang, sampai kepada waktu sore. Maka melengkapilah keberkatannya akan seluruh malam dan siang.
Uraian tetang jumlah bacaan, adalah kalau ia dari orang-orang yang kuat beribadah, yang menempuh jalan amalan, maka tidak wajarlah berkurang dari dua khataman dalam seminggu. Dan kalau ia dari orang-orang yang

1.Dirawikan pengarang pengarang “As Sunan” Seperti Abu Dawud dan lain lain dari Abdullah Bin Amr.
2.Dirawikan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr

menempuh amalan hati dan berbagai macam pemikiran atau darl orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, maka tiada mengapa ia menyingkatkan dalam seminggu sekali. Dan kalau ia dari orang yang tembus pemikirannya tentang segala maksud Al-Qur'an, maka kadang-kadang mencukupilah dalam sebulan sekali, karena banyak keperluannya untuk membanyakkan mengulang-ulangi dan meneliti.
Ketiga: tentang cara pembahagian. Adapun orang yang mengkhatam dalam seminggu sekali, maka dibagikan Al-Qur'an kepada tujuh golongan. Adalah para shahabat menggolongkan Al-Qur'an kepada beberapa golongan. Diriwayatkan bahwa Utsman r.a. memulai malam Jum'at dengan surat Al-Baqarah sampai kepada surat Al-Maidah. Malam Sabtu dengan surat Al-An'am sampai kepada surat Hud. Malam Ahad dengan surat Yusuf sampai kepada surat Maryam. Malam Senin dengan surat Thaha sampai kepada Tha Sin Min, Musa dan Fir-aun. Malam Selasa dengan sural Al-'Ankabut sampai kepada surat Shad. Malam Rabu dengan sifrat Tanzil sampai kepada surat Ar-Rahman. Dan disudahinya (dikhatamkannya) pada malam Kamis.
Adalah Ibnu Mas'ud membagi Al-Qur'an kepada beberapa bahagian, tidak menurut tertib susunan tadi. Ada orang yang mengatakan bahwa kumpulan Al-Qur'an itu tujuh. Kumpulan pertama, adalah tiga surat. Kumpulan kedua, adalah lima surat. Kumpulan ketiga, adalah tujuh surat. Kumpulan keempat adalah sembilan surat. Kumpulan kelima, adalah sebelas surat. Kumpulan keenam, adalah tiga belas surat. Dan kumpulan ketujuh,yang terurai, adalah dari surat Qaf sampai kepada penghabisan Al-Quran. Begitulah dibuat kumpulannya oleh para shahabat r.a. dan mereka membacanya adalah seperti yang demikian. Dan tentang itu terdapat hadits dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم
Dan ini, adalah sebelum dibuat berbagi seperlima-seperlima, sepersepuluh sepersepuluh dan berjuz-berjuz. Maka yang selain ini adalah diada-adakan.
Keempat: tentang penulisan. Disunatkan membaguskan penulisan dan penjelasan Al-Qur'an. Dan tiada mengapa dengan bertitik dan bertanda merah dan lainnya. Karena itu adalah penghiasan dan penjelasan serta pencegahan dari kesalahan dan tidak betul bacaan bagi orang yang membacakanny a.
Adalah Al-Hasan dan Ibnu Sirin menantang pembagian seperlima-seperlima, sepersepuluh-sepersepuluh dan berjuz-juz. Diriwayatkan dari Asy-Sya'bi dan Ibrahim akan makruhnya titik-titik dengan warna merah dan mengambil upah atas perbuatan itu. Mereka mengatakan: "Lepaskanlah Al-Qur'an dari yang demikian!"
Berat dugaan bahwa mereka memandang makruh membukakan pintu ini, karena ditakuti membawa kepada mendatangkan penambahan-penambahan.
Dan menutupkan pintu dan merindukan kepada penjagaan Al-Quran dari pada menerobos kepadanya pengobahan. Apabiia tiada membawa kepada yang dilarang dan telah tetap keadaan umat padanya, dengan menghasilkan bertambahnya pengetahuan, maka tiada mengapa Dan tiada dilarang yang demikian, oleh adanya itu diada-adakan, sebab berapa banyak yang diada adakan (bid'ah) itu, dipandang baik. Sebagaimana dikatakan mengenai mendirikan jama'ah pada shalat tarawih, dimana itu adalah sebahagian dari yang diada-adakan oleh Khalifah "Umar r.a. Dan itu adalah bid'ah yang baik (bid'ah hasanah) Sesungguhnya bid'ah yang tercela (bid'ah madzmumah), ialah yang bertentangan dengan Sunnah yang lama atau hampir membawa kepada mengobahkannya Sebahagian mereka mengatakan: "Aku membaca pada Mashhaf yang bertitik dan tidaklah aku membuatkan titik oleh diriku sendiri".
Berkata Al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir: "Adalah Al-Qur'an itu tidak bertanda (muia'rrad) didalam mashhaf-mashhaf. Maka yang pertama kali diadakan mereka, ialah titik pada ب  ba dan ت ta dan mereka mengatakan bahwa tiada mengapa yang demikian. Karena, itu adalah nur baginya. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka titik-titik besar pada penghabisan ayat. Lalu mereka mengatakan, bahwa tiada mengapa yang demikian, untuk mengenai permulaan ayat. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka penghabisan (khatimah) dan permulaan (fatihah)". Berkata Abubakar Al-Hadzli: "'Aku tanyakan Al-Hasan tentang memberi titik mashhaf-mashhaf dengan warna merah". Maka beliau bertanya: "Apakah memberi titik mashhaf-mashhaf itu?" Aku menjawab: "Mereka meng-i'rabkan kata-kata dengan bahasa Arab" Lalu beliau berkata: "Adapun meng-i'rabkan AlQur-an itu, tiada mengapa" (1). Berkata Khalid Al-Hadzdza': "Aku masuk ketempat Ibnu Sirin, lalu aku melihat ia membaca pada mashhaf yang memakai titik, padahal ia memandang makruh titik".
Ada yang mengatakan, bahwa AI-Hajjaj yang mengadakan demikian itu. Dia mendatangkan para qari' (al-qu'rra"), sehingga mereka menghitung kata-kata Al-Qur'an dan huruf-hurufnya. Mereka menyamakan bahagian-bahagiannya dan membagikannya kepada tigapuluh bahagian (juz) dan kepada bahagian-bahagian yang Iain.
Kelima tartil (jelas bunyi tiap-tiap huruf pada pembacaannya) Itu disunatkan pada keadaan Al-Qur'an. Karena akan kami terangkan bahwa yang dimaksud dari pembacaan itu, ialah mengenangkan artinya (tafakkur). Dan tartil itu menolong kepada tafakkur. Dan karena itulah, dijelaskan oleh Ummu Salmah r.a. akan bacaan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Dia menyifatkan bacaan Nabi صلى الله عليه وسلم yang menjelaskan bunyi huruf demi huruf.

1. Meng'irabkan ialah melakukan pemakaian tata-bahasaArab untuk mengetahui baris-barisnya apakah baris diatas atau dibawah atau baris depanDan itutentunya dengan cukup tandadarititik-titikdan sebagainya. (Pent.).


Berkata  ibnu 'Abbas r.a.: "Sesungguhnya aku membaca surat Al-Baqarah dan Ali 'Imran, dengan aku tartilkan dan aku pahamkan akan pengertiannya, adalah lebih aku sukai daripada membaca Al-Qur'an seluruhnya dengan cepat-cepat". Berkata ia pula: "Sesungguhnya aku membaca surat "Idzaa zulzilat" dan "Al-Qaari'ah" dengan memahami artinya, adalah lebih aku sukai daripada membaca surat "Al-Baqarah" dan "Ali 'Imran" dengan cepat-cepat".
Ditanyakan Mujahid tentang dua orang yang masuk dalam shalat, lalu lama berdiri keduanya didalam shalat itu sama, kecuali yang seorang membaca surat Al-Baqarah saja dan yang seorang lagi, membaca Al-Qur'an seluruhnya, maka menjawab Mujahid: "Keduanya tentang pahala yang diperolehnya, adalah sama".
Ketahuilah, bahwa tartil itu disunatkan, tidak untuk semata-mata bagi pemahaman artinya. Karena bagi seorang 'Ajam (bukan orang Arab) yang tidak mengerti akan arti Al-Qur'an, disunatkan juga baginya tartil dan pelan-pelan dalam pembacaan Karena yang demikian itu lebih mendekatkan kepada pemuliaan dan penghormatan dan lebih membekas didalam hati, daripada cepat-cepat dan buru-buru.
Keenam menangis: Menangis itu disunatkan serta membaca. Bersabda Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم.: اتلوا القرآن وابكوا فإن لم تبكوا فتباكوا "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah! Jikalau tidak engkau menangis, maka berbuatlah menangis!" (1). Bersabda Nabi  صلى الله عليه وسلم
 ليس منا من لم يتغن بالقرآن
(Lsisa minnaa man lam yataghanna bil-qur-aan).Artinya: "Tidaklah dari golongan kami, orang yang tiada berlagu dengan Al-Qur'an" (2).
Berkata Shalih Al-Marri: "Aku bermimpi membaca Al-Qur'an dihadapan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Lalu beliau bersabda: "Bagiku hai Shalih bacaan ini, tetapi mana tangisnya?"
Berkata Ibnu 'Abbas r.a.: "Apabila kamu membaca Sajadah Subhana, maka janganlah kamu bersegera sujud, sampai kamu menangis dahulu! Jikalau tidaklah menangis mata salah seorang daripada kamu, maka menangislah hatinya!" Sesungguhnya jalan untuk memaksakan menangis, ialah mendatangkan kegundahan kepada hati. Maka dari kegundahan itu, timbullah tangis.
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم "Bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dengan kedukaan hati. Maka apabila kamu mambacanya, lalu berdukacitalah!" (3).

1. Dirawikan Ibnu Majah dari Saad bin Abi Waqqash dengan isnad baik.
2.Dirawikan Al-Bukhari dari Abu Hurairah.
3.Dirawikan Abu Yu'la dan Abu Na'im dari Ibnu Umar dengan sanad dla'if.

Cara mendatangkan kedukaan hati. ialah memperhatikan akan apa yang ada didalamnya, tentang berita menakutkan, janji azab karena durhaka (wa'id), segala macam janji dan perikatan yang diperpegangi. Kemudian, memperhatikan keteledoran tentang segala perintah dan larangannya. Maka dengan itu. sudah pasti, akan gundah hati dan menangis. Jikalau tidak datang kegundahan hati dan tangisan, sebagaimana datangnya pada orang-orang yang berhati suci-bersih, maka hendaklah menangis. diatas ketiadaan kegundahan hati dan tangisan. Dan yang demikian itu, adalah bahaya yang paling besar.
Ketujuh memelihara akan hak-hak ayat: Apabila lalu pada ayat Sajadah, niscaya bersujud. Dan begitu pula apabila mendengar dari bacaan orang lain, akan ayat sajadah, niscaya bersujud apabila bersujud orang yang membacanya. Dan janganlah sujud, kecuali berada dalam keadaan suci (berwadlu").
Dalam Al-Qur'an ada empatbelas ayat Sajadah. Dan pada surat Al-Hajj, dua Sajadah. Dan tak ada pada surat Shad, sajadah.
Sekurang-kurang sujud, ialah bersujud dengan meletakan dahi pada bumi (tempat sujud). Dan yang sempurna, ialah bertakbir, lalu sujud dan berdo a dalam sujud itu. dengan apa yang layak menurut ayat yang dibacanya. Seumpama ia membaca firman Allah Ta'ala:
 خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ
(kha'rruu su'jjada'w wa sabbahuu bi hamdi ra'bbihim wa hum laa jastak-biruun) - S. As-Sajadah, ayat 15 -Artinya: "Mereka sujud meniarap,, tasbih memuji Tuhan dan mereka tidak menyombongkan diri". Maka ia berdo'a: اللهم اجعلني من الساجدين لوجهك المسبحين بحمدك وأعوذ بك أن أكون من المستكبرين عن أمرك أو على أوليائك
(Allahumm aj-alnii minas-saajidiina li-wajhikal-mu-sabbihiina bihamdika wa a'uudzu bika an akuuna minal-mustakbiriina 'an amrika au 'alaa au-Iiaa-ik).Artinya: "Wahai Allah Tuhanku! Jadikanlah aku dari pada mereka yang bersujud kepada wajahMu, yang bertasbih dengan memujiMu dan aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku ini berada sebahagian dari orang-orang yang sombong terhadap amarMu atau terhadap para aulia (para wali)Mu".
Dan apabila membaca firmanNya:وَيَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا    
"Wa yakhi'rruuna lil-adzqaani yabkuuna wayaziiduhum khusyuu'a" — S. Al-Isra'. ayat 109.Artinya: "Dan mereka meniarap dengan dagunya sambil menangis dan Al-Qur'an itu menambah ketundukan hati mereka". Maka berdo'alah, yang artinya: "Wahai Allah Tuhanku! Jadikanlah aku daripada orang yang menangis kepadaMu, yang khusyu' bagiMu!"
Dan begitu juga terhadap tiap-tiap ayat Sajadah. Dan disyaratkan pada sujud ini, akan segala syarat shalat, dari menutup 'aurat, menghadap kiblat, suci pakaian dan badan dari hadats dan najis. Dan barangsiapa yang tidak suci (tidak berwudlu') ketika mendengar pembacaan ayat Sajadah itu, maka apabila telah bersuci, maka baru sujud. Dikatakan mengenai kesempurnaan sujud itu, ialah bertakbiratu'l-ihram dengan mengangkatkan kedua tangan, Kemudian, bertakbir untuk turun bagi sujud. Kemudian, bertakbir untuk bangkit dari sujud, kemudian memberi salam. Dan ditambahkan oleh orang-orang yang suka menambahkan akan tasyahhud dan tak ada asal bagi ini, selain dari mengkiaskan kepada sujud shalat. Dan itu adalah jauh dari kebenaran. Yang datang amar, ialah pada sujud, maka hendaklah dituruti amar itu padanya. Dan tentang bertakbir untuk turun, adalah lebih mendekati bagi permulaan pekerjaan. Sedang selain dari itu, jauh dari kebenaran. Kemudian, seyogialah ma'mum sujud ketika sujud imam. Dan janganlah sujud karena tilawahnya sendiri, apabila ia itu ma'mum. Kedelapan membaca pada permulaan tilawahnya:
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم رب أعوذ بك من همزات الشياطين وأعوذ بك رب أن يحضرون (A'uudzu bi'llaa-hi-'ssamii'il-'aiiim, mina'sy-syaithaani'rrajiim - Ra'bbi a uudzu bika min hamazaati'sy-syayaathiin. Wa a'uudzu bika ra'bbi an jahdluruuni).Artinya: "Aku berlindung dengan Allah yang mendengar lagi mengetahui, dari setan yang kena kutuk. Hai Tuhanku! Aku berlindung dengan Engkau dari segala gangguan setan dan aku berlindung dengan Engkau, hai Tuhanku, dari kedatangan setan-setan itu kepadaku".
Dan hendaklah dibacakanقل أعوذ برب الناس  "Qul a' uudzu bira'bbi'nnaas" dan suratالحمد لله  "Alhamdu li'llah. Dan hendaklah diucapkan ketika selesainya dari pembacaan: صدق الله تعالى وبلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم انفعنا به وبارك لنا فيه الحمد لله رب العالمين وأستغفر الله الحي القيوم "Shadaqa'llaahu ta'aala wa ba'Hagha rasuulu'llaahi sha'IIa'llaahu'alaihi wa sa'llam. Allaahu'mma'n-fa'naa bihi wa baarik lanaa fih. Alham-duli'llaahi ra'bbi'l-aalamiin, wa astagh-firu'llaaha'l-ha'jja'l-qa' yyuum".Artinya: "Benarlah Allah Yang Maha-tinggi dan telah disampaikan oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. Wahai Allah Tuhanku! Berikanlah kemanfa'atan kepada kami dengan dia dan berikanlah keberkatan bagi kami padanya Segala pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam dan aku meminta arapun pada Allah Yang Hidup dan Yang Berdiri sendiri". Waktu sedang membaca, apabila ia lalu pada ayat tasbih,maka bertasbih dan bartakbirlah. Dan apabila lalu pada ayat do'a dan ayat istighfar (ayat yang mengandung pengertian meminta permohonan dan pengampunan pada Allah), maka berdo'a dan ber-istighfarlah.
Dan jika lalu pada ayat yang mengandung pengertian sesuatu harapan. maka bermohonlah dan jika lalu pada ayat yang mengandung pengertian sesuatu yang ditakutkan, maka berlindunglah daripadanya. Diperbuat yang demikian itu, dengan lisan atau dengan hati.

Maka diucapkanسبحان الله نعوذ بالله اللهم ارزقنا اللهم ارحمنا  "Shubhaanallaahinauudzu billah. Allaahu'mma'rzuqnaa! Allaahu'mma'r-hamnaa!". Artinya: "Mahasuci Allah! Kami berlindung dengan Allah. Ya Allah Tuhanku! Berikanlah kami rezeki! Ya Allah Tuhanku! Berikanlah kami kerahmatan!"
Berkata Hudzaifar.:"Aku bershalat bersama Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم maka dimu-lainya surat Al-Baqarah.Tidak dilaluinya ayat rahmat, melainkan diminta-nya. Tidak dilaluinya ayat' azab, melainkan dimintanya perlindungan dan tidak dilaluinya ayat tanzih (ayat tasbih), melainkan diucapkannya tasbih".
Apabila telah selesai dari tilawah, maka dibacakan apa yang dibacakan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. ketika selesai pembacaan Al-Qur'an:اللهم ارحمني بالقرآن واجعله لي إماما ونورا وهدى ورحمة اللهم ذكرني منه ما نسيت وعلمني منه ما جهلت وارزقني تلاوته آناء الليل وأطراف النهار واجعله لي حجة يا رب العالمين  "Al-laahu'm-ma'rhamnii bi'l-Qur-aan wa'j-'alhu 1 ii imaama'w-wa nuura'w-wa huda'w-wa rahmah. Allaahu'mma dzakkirnii minhu maa nasiitu wa'allimnii minhu maa jahiltu wa'r-zuqniitilaawatahu anaa-a'liaili wa athraafa'nnahaar wa'j'alhu liihu'jjatan jaara'bbal-'aalamiin". Artinya: "Ya Allah Tuhanku! Berikanlah aku rahmat dengan Al-Qur'an dan jadikanlah dia bagiku imam, nur, hidayah dan rahmat! Ya Allah Tuhanku! Ingatilah aku daripadanya akan apa yang aku lupakan dan ajarilah aku daripadanya akan apa yang tiada aku ketahui! Dan anugerahilah aku akan tilawahnya pada tiap-tiap malam dan tiap-tiap hari! Dan jadikanlah Al-Qur'an itu dalil (hujjah) bagiku, wahai Tuhan serwa sekalian alam!" Kesembilan mengenai mengeraskan suara (jahr) dengan pembacaan: Dan tidak diragukan, bahwa tak boleh tidak dikeraskan suara pada tilawah itu, kepada batas yang didengar sendiri. Karena pembacaan, adalah artinya memutus-mutuskan suara dengan huruf-huruf. Dan itu haruslah dengan suara. Maka sekurang-kurangnya, adalah yang dapat didengar sendiri. Kalau tidak dapat didengar sendiri, niscaya tidaklah shah shalat. Adapun jahr, dimana dapat didengar oleh orang lain, maka itu disunatkan pada satu segi dan dimakruhkan pada segi lain. Dan ditunjukkan kepada sunatnya mengecilkan suara (secara sirr), ialah: diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Kelebihan membaca secara sirr dengan membaca secara terang (keras), adalah seperti kelebihan sedekah secara sirr dengan sedekah secara terang". Dan pada susunan kata yang lain, berbunyi: "Orang yang menjahrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang menjahrkan sedekah dan orang yang mensirrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang men-sirrkan sedekah". Dan pada suatu hadits yang umum pengertiannya: "Melebihi amalan sirr diatas amalan terang, dengan tujuhpuluh ganda' Dan begitu pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Sebaik-baik rezeki, ialah yang men-cukupi dan sebaik-baik dzikir, ialah yang tersembunyi".
Dalam suatu hadits, tersebut: "Janganlah menjahrkan bacaan diantara sesama kamu, antara Maghrib dan 'Isya".
Pada suatu malam, Sa'id bin Al-Musayyab mendengar dalam masjid Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bahwa 'Umar bin Abdul-aziz menjahrkan bacaan dalam shalatnya. Dan adalah 'Umar itu merdu suaranya. Lalu Sa'id berkata kepada bujangnya: "Pergilah kepada orang yang bershalat itu, suruhlah dia merendahkan suaranya!"
Maka menjawab bujang itu: "Masjid itu bukan kepunyaan kita dan orang itu berhak padanya". Lalu Sa'id meneriakkan suaranya dengan mengatakan: "Hai orang yang bershalat: Kalau engkau menghendaki Allah 'Azza wa Jalla dengan shalatmu, maka rendahkanlah suaramu! Dan kalau engkau menghendaki manusia, maka manusia itu tidak merasa cukup sedikitpun daripada engkau, selain daripada Allah". Maka diamlah 'Umar bin Abdul-'aziz dan memendekkan raka'atnya. Setelah memberi salam, lalu mengambil kedua sandalnya dan pergi. Dan dia ketika itu, adalah amir (gubernur) Madinah.
Dan menunjukkan kepada sunatnya jahr, apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mendengar sekumpulan dari para shahabatnya menjahrkan pada shalat malam. Maka beliau betulkan yang demikian itu". Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Apabila bangun seorang kamu dari malam hari, lalu bershalat, maka hendaklah ia menjahrkan bacaan. Sesungguhnya para malaikat dan penghuni rumah (jin dan lainnya) mendengar bacaannya dan bershalat dengan shalatnya".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم mendatangi tiga orang shahabatnya yang berlainan keadaan mereka masing-masing. Ia datangi Abubakar r.a., dimana Abubakar r.a. itu berdo'a dengan suara yang halus saja. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya dari yang demikian.
Menjawab Abubakar r.a.: "Bahwa yang aku bermunajat dengan Dia, mendengar akan aku".
Dan Nabi datangi 'Umar r.a. yang berdo'a dengan jahr, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya yang demikian.
Maka menjawab 'Umar r.a.: "Aku membangun orang tidur dan menghardik setan".
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم datangi Bilal, dimana ia membaca sebuah ayat dari surat ini dan sebuah ayat dari surat itu. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya yang demikian.
Maka menjawab Bilal: "Aku campurkan yang baik dengan yang baik".
Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Semua kamu telah bekerja balk dan betul!" Cara mengumpulkan diantara hadits-hadits ini, ialah bahwa secara sirr itu menjauhkan dari ria dan berbuat-buat (tasha'nnu'). Maka itu adalah lebih utama bagi orang yang takut kepada yang demikian terhadap dirinya.
Kalau ia tidak takut dan tak ada pada jahr itu yang membisingkan waktu kepada orang lain yang bershalat, maka jahr itu lebih utama. Karena amal adalah lebih banyak padanya dan karena faedahnya bersangkutan pula kepada orang lain. Kebaikan yang melampaui kepada orang lain, adalah lebih utama dari yang tetap pada dirinya sendiri saja. Dan jahr itu membangunkan hati sipembaca dan mengumpulkan kemauannya kepada berpikir pada yang dibacakan. Dan menjuruskan kepadanya pendengarannya. Dan menolakkan tidur pada pembacaan dengan suara keras, menambahkan kerajinan bagi membaca. Dan mengurangkan kemalasan serta mengharapkan dengan jahr itu, akan terbangun orang tidur, sehingga menjadi sebab menghidupkannya kembali. Karena kadang-kadang ia dilihat oleh seorang pahlawan yang lalai, maka menjadi rajin dia disebabkan kerajinannya dan rindu kepada pengkhidmatan. Manakala telah datang kepadanya sesuatu daripada niat-niat tadi, maka jahr adalah lebih utama. Dan kalau berhimpunlah niat-niat tersebut, niscaya berlipat-gandalah pahala. Dan dengan banyaknya niat, lalu bertambahlah amal perbuatan kebajikan dan berlipat-gandalah pahala bagi mereka.
Kalau ada pada suatu amal perbuatan sepuluh niat?niscaya adalah padanya sepuluh pahala. Karena itulah kami katakan, bahwa membaca Al-Qur'an pada mashhaf itu lebih utama (afdhal), karena bertambah pada perbuatan itu, melihat, memperhatikan mashhaf dan membawanya. Sehingga bertambahlah pahala dengan sebabnya. Sesungguhnya ada yang mengatakan, pengkhataman pada mashhaf itu dengan tujuh kali lipat pahalanya, karena memandang pada mashhaf itu, adalah juga ibadah 'Usman r.a. telah mengoyakkan dua mashhaf, karena banyak bacaannya pada kedua mashhaf itu.
Maka adalah kebanyakan dari shahabat, membaca pada mashhaf. Dan memandang makruh, bahwa berlalu sehari, dimana mereka tiada memandang pada mashhaf. Datang sebahagian ulama fiqh Mesir kepada Asy-Syafi'i r.a. pada waktu sahur, dimana dihadapannya mashhaf. Maka berkata kepadanya Asy-Syafi'i: "Disibukan kamu oleh ilmu fiqih, tidak dengan Al-Qur'an. Aku sesungguhnya mengerjakan shalat malam dan meletakkan mashhaf dihadapanku dan tidak aku tutupkan dia sampai waktu shubuh".
Kesepuluh membaguskan bacaan dan mentartilkannya dengan mengulang-ulangi suara tanpa terlalu memanjangkan yang mengobahkan nadhamnya (susunan katanya yang bcrsajak). Yang demikian itu, adalah sunnah.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu!"
Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiada diizinkan oleh Allah untuk sesuatu sebagaimana izinNya untuk membaguskan suara dengan Al-Qur'an".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiadalah dari kami orang yang tiada berlagu dengan Al-Qur'an". Dikatakan, bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dengan itu, ialah melagukan suara. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan, ialah mendengungkan suara. dengan lagu yang bagus dan mengulang-ulangi berbagai macam perobahan suara.
Dan itulah yang lebih mendekati kepada benar, menurut para ahli bahasa. Diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم pada suatu malam menunggu 'A'isyah r.a. Maka sesudah bagitu lambat, barulah ia datang. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bertanya: "Apakah yang menghambatmu sampai terlambat?" Menjawab 'A'isyah r.a.: "Wahai Rasulu'llah! Aku mendengar seorang laki-laki membaca Al-Qur'an dan belum pernah aku mendengar suara yang lebih merdu dari itu!"
Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم, pun bangun pergi mendengar, sehingga lamalah beliau mendengar kemudian baru pulang, seraya bersabda: "Yang membaca itu adalah Salim, bujang Abi Hudzaifah! Segala pujian bagi Allah yang telah menjadikan pada umatku seperti dia". Juga pada suatu malam Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم mendengar pembacaan Abdu'llah bin Mas'ud dan bersama Rasulullh صلى الله عليه وسلم Abubakar r.a. dan 'Umar r.a. Lamalah mereka berhenti disitu, kemudian Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bersabda: "Barangsiapa bermaksud membaca Al-Qur'an dengan suara yang empuk lunak, sebagaimana diturunkan. maka hendaklah dibacakannya seperti bacaan Ibnu Ummi 'Abd". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Ibnu Mas'ud: "Bacakanlah kepadaku!" Menjawab Ibnu Mas'ud: "Wahai Rasulu'llah! Aku bacakan kepadamu, padahal kepadamu diturunkan?"
Menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم: "Aku suka mendengarnya dari bukan aku sendiri". Maka Ibnu Mas'ud membacanya dan kedua mata Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم basah kuyup denggrn air mata".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. mendengar bacaan Abi Musa, lalu bersabda: "Sesungguhnya telah diberikan kepada Abu Musa itu, suling keluarga Daud".
Tatkala sabda itu sampai kepada Abu Musa, lalu ia berkata: "Wahai Rasulu'llah, Kalau aku tahu bahwa engkau mendengarnya, niscaya lebih aku baguskan lagi untukmu".
Bermimpi Haitsam - seorang ahli pembacaan Al-Qur'an (al-qari') — akan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Maka berceritera Haitsam: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bertanya kepadaku: "Engkaukah Haitsam yang menghiaskan akan Al-Qur'an dengan suaramu?" Aku menjawab: 'Ya benar!"
Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم menyambung: "Dibalaskan kiranya engkau oleh Allah dengan kebajikan!".
Pada suatu hadits, tersebut: "Adalah para shahabat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم apabila berkumpul, lalu mereka menyuruh seorang dari mereka, membaca suatu surat dari Al-Qur'an. 'Umar r.a. berkata kepada Abu Musa r.a.: "Mari kita berdzikir kepada Tuhan kita!" Lalu Abu Musa membaca Al-Qur'an disisi 'Umar, sehingga hampirlah waktu shalat berada ditengah waktu. Lalu orang berseru: "Wahai Amiru'I-mu'minin! Shalat! Shalat!" Maka menyahut 'Umar r.a: "Bukankah kami sekarang didalam shalat?" sebagai suatu isyarat kepada firman Allah 'Azza wa Jalla: وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ."Wa ladzik-ru'Ilaahi akbar" S. Al-Ankabut ayat 45 (Sesungguhnya mengingati Allah  itu amat besar manfa'atnya).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Barangsiapa mendengar suatu ayat dari kitab Allah 'Azza wa Jalla, niscaya ayat itu menjadi nur baginya pada hari kiamat". Pada suatu hadits, tersebut: "Dituliskan baginya sepuluh kebaikan".
Manakala besarlah pahala mendengar dan pembaca itu adalah sebab pada mendengar, maka adalah pembaca itu berserikat pada pahalanya. Kecuali maksudnya adalah ria dan berbuat-buat (tashannu').

BAB KETIGA: tentang amalan bathin pada tilawah. Yaitu: sepuluh paham asal perkataan, kemudian pengagungan, kemudian kehadiran hati, kemudian pengertian, kemudian pemahaman, kemudian penyingkiran dari segala pencegah paham, kemudian pengkhususan, kemudian pembekasan, kemudian peninggian dan kemudian pelepasan.
Pertama: paham akan keagungan dan ketinggian perkataan (kalam Allah), kurnia Allah s.w.t. dan kelemah-lembutanNya dengan makhlukNya, pada turunnya kalam itu, dari 'arsy kebesaranNya kepada derajat pengertian-pengertian makhlukNya.
Maka hendaklah pembaca Al-Qur'an itu memperhatikan, betapa lemah-lembutNya dengan makhlukNya,pada menyampaikan pengertian-pengertian kalamNya (perkataanNya), yang mana, adalah suatu sifat qadim yang berdiri pada DzatNya, kepada pengertian-pengertian makhlukNya. Dan bagaimanakah menampak bagi mereka akan sifat itu dalam lipatan huruf-huruf dan suara-suara, dimana semuanya itu adalah sifat manusia. Karena lemahlah menusia daripada sampai kepada memahami sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, kecuali dengan perantaraan sifat-sifatnya sendiri. Jikalau tidaklah tertutup hakikat keagungan kalamNya dengan pakaian, yang diibaratkan huruf-huruf, niscaya tidaklah terbukti tegas, 'Arasy dan bintang Tsurayya itu, mendengar kalam Allah. Dan lenyaplah sesuatu diantara keduanya dari keagungan kekuasaan dan kesucian nurNya. Jikalau tidaklah diberikan ketetapan oleh Allah 'Azza wa Jalla kepada Musa a.s., niscaya tidaklah ia sanggup mehdengar kalamNya, sebagaimana tidak sanggup gunung pada permulaan kenyataan (tajalli)nya, dimana dia menjadi bergoncang. Dan tidak mungkin memahami keagungan kalam Allah, kecuali dengan contoh-contoh dalam batas pemahaman makhluk. Kerena inilah maka disebutkan oleh sebahagian 'arifin tentang kalam itu, dengan mengatakan, bahwa tiap-tiap huruf dari kalam Allah 'Azza wa Jalla pada Luh-mahfudh, adalah lebih besar dari bukit Qaf. Dan sesungguhnya para malaikat a.s., jikalau berkumpul pada suatu huruf untuk mengangkatkannyaJ niscaya mereka tiada sanggup, sehingga datanglah Israfil a.s. — yaitu malaikat yang mengawal Luh-mahfudh — lalu mengangkatnya. Maka dapatlah diangkatkannya dengan izin dan rahmat Allah 'Azza wa Jalla. Tidak dengan kekuatan dan kesanggupannya. Tetapi Allah 'Azza wa Jalla yang menganugerahkannya kemampuan yang demikian kepadanya dan menggunakannya. Sebahagian ulama hikmah (hukuma') telah menyusun kata-kata dengan baik, secara halus, untuk menyampaikan pengertian kalam serta keagungan derajatnya, kepada pemahaman dan keyakinan manusia, serta rendahnya tingkat manusia itu. Diberi untuk itu suatu contoh, yang tidak dipendekkan padanya. Yaitu: bahwa diajak sebahagian raja-raja oleh seorang ahli hikmah kepada syari'at nabi-nabi a.s. Lalu raja itu menanyakannya tentang beberapa perkara. Maka ahli hikmah tadi menjawab dengan cara yang dapat dipahami oleh raja itu. Maka berkatalah raja: "Adakah engkau lihat akan apa yang dibawa para nabi itu, apabila engkau mendakwakan, bahwa itu bukan perkataan manusia. Dan itu kalam Allah 'Azza wa Jalla. Maka bagaimanakah sanggup manusia memikulnya?"

Menjawab ahli hikmah: "Kita melihat manusia, tatkala bermaksud memberi pengertian kepada sebahagian hewan dan burung, akan apa yang mereka maksudkan, tentang maju dan mundurnya, menghadap dan membelakangnya. Dan mereka melihat hewan-hewan itu singkat pengertiannya, daripada memahami perkataan mereka yang dari nur akal pikiran mereka, yang disertakan dengan kebagusan, penghiasan dan keelokan susunannya. Lalu mereka turun kepada derajat pengertian hewan dan mereka menyampaikan maksudnya kepada batin hewan-hewan itu dengan suara yang diadakannya, yang layak dengan mereka, seperti mengetikkan jari, bersiul dan berbagai suara yang mendekati dengan suara hewan-hewan itu. Supaya sanggup memikulkannya. Dan begitu pula, manusia itu lemah daripada membawa kalam Allah Azza wa Jalla dengan hakikat dan kesempurnaan sifatNya. Maka jadilah dengan apa yang diper-gunakan diantara sesama mereka, dari suara-suara yang didengar mereka akan ilmu hikmah dengan suara-suara itu, seperti suara ketikan jari dan bersiul yang didengar oleh hewan-hewan itu dari menusia. Dan tidak dilarang oleh yang demikian akan pengertian-pengertian yang tersembunyi pada sifat-sifat itu, dari kemuliaan kalam, ya'ni suara-suara, adalah karena mutianya sifat-sifat itu. Dan agungnya kalam karena pengagungan, sifat-sifat itu. Sehingga suara itu adalah tubuh dan tempat bagi hikmah dan hikmah itu adalah nyawa dan roh bagi suara. Maka sebagaimana tubuh manusia itu dimuliakan dan dihormati karena tempat roh, maka seperti itu pula suara-suara kalam, dimuliakan karena hikmah yang ada padanya.
Kalam itu diatas kedudukan yang tinggi derajat, kekuasaan yang perkasa, dan hukum yang tembus, pada yang hak dan yang batil. Dialah kadli yang adil, saksi yang disenangi, menyuruh dan melarang. Tak mampulah yang batil tegak berdiri dihadapan kalam hikmah, sebagaimana tidak mampu bayang-bayang tegak berdiri dihadapan cahaya matahari. Dan tidak mampu manusia menjalankan penyelidikan yang mendalam tentang hikmah, sebagaimana mereka tidak mampu menjalankan penyelidikan dengan mata mereka akan cahaya matahari. Tetapi mereka memperoleh dari cahaya diri matahari itu, akan apa yang dapat hidup mata mereka dan dapat membuktikan dengan itu akan segala keperluan mereka saja. Maka kalam itu adalah sebagai raja yang terdinding, yang wajahnya tidak kelihatan, tetapi perintahnya tembus keluar. Dan seperti matahari yang mulia, yang menampakkan diri, yang tersembunyi unsurnya. Dan seperti bintang-bintang yang cemerlang, yang kadang-kadang memperoleh petunjuk dengan dia, orang yang tiada mengetahui tentang perjalanan bintang-bintang itu. Maka kalam itu, adalah anak kunci gudang-gudang yang bernilai tinggi, dan minuman kehidupan. Siapa yang minum daripadanya, niscaya tidak akan mati. Dan obat segala penyakit dan siapa yang minum daripadanya, niscaya tidak akan sakit". Maka ini yang disebutkan oleh ahli hikmah itu, adalah sekelumit dari pemahaman arti kalam.


Dan tambahan dari itu, tidaklah layak dengan ilmu mu'amalah. Maka seyogialah disingkatkan sehingga itu saja. Kedua: pengagungan Yang Berkalam (Mutakallim). Maka seorang pembaca ketika memulai tilawah Al-Qur'an, seyogialah menghadirkan dalam hatinya, akan keagungan Mutakallim dan mengetahui, bahwa apa yang dibacakannya itu, tidaklah dari perkataan manusia. Dan bahwa dalam bertilawah kalam Allah 'Azza wa Jallla itu, adalah sangat besar bahayanya. Allah Ta'ala berfirman:
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
(Laa yamassuhu illal-muthahha-ruun).
Artinya: 'Tiada yang menyentuhnya selain dari orang-orang yang disucikan. — S. Al-Waqi'ah, ayat 79. Maka sebagaimana yang dhahir dari kulit mashhaf dan kertasnya, dijaga dari yang dhahir kulit penyentuhnya, kecuali apabila ia telah bersuci. Maka batin pengertiannya juga, disebabkan hukum kemuliaan dan keagungannya, terhijab dari batin hati. Kecuali apabila ia telah bersuci dari segala kotoran dan bersinar dengan nur pengagungan dan penghormatan. Dan sebagaimana tidak pantas disentuh kulit mashhaf oleh semua tangan, maka tidak pula pantas untuk bertilawah hurufnya oleh semua lidah dan untuk memperoleh pengertiannya oleh semua hati.
Dan bagi seumpama pengagungan ini, adalah 'Akramah bin Abi Jahl, apabila membuka mashhaf, lalu pingsan, dan berkata: "Dia itu kalam Tuhanku! Dia itu kalam Tuhanku!"
Maka pengagungan kalam, adalah pengagungan Mutakallim. Dan tidak akan timbul pengagungan Mutakalim selama tidak bertafakkur tentang sifat-sifat, keagungan dan af-'alNya. Apabila telah hadir disanubarinya 'Arasy, Kursi, langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya, dari jin, manusia, hewan dan kayu dan mengetahui bahwa yang menjadikan semuanya itu, yang berkuasa dan yang memberikan rezeki kepadanya, adalah ESA. Dan semuanya didalam genggaman qudrahNya, yang berkisar diantara kumia dan rahmatNya, diantara cobaan dan kekuasaanNya. Jika dianugerahiNya ni'mat, maka adalah dengan kurniaNya dan jika disiksakanNya, maka adalah dengan keadilanNya. Dan sesungguhnya, Dialah yang berfirman: "Mereka itu kesorga dan mereka itu keneraka dan Aku tidak perduli!"

Inilah pengagungan yang penghabisan dan tertinggi! Maka dengan bertafakkur pada contoh-contoh tersebut, akan timbullah pengagungan Mutakallim kemudian pengagungan Kalam.
Ketiga: kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa. Ada yang mengatakan, pada penafsiran finnan Allah Ta'ala:
 يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ
(Yaa Yahyaa, khudzil-kitaaba bi-qu'wwah) — S. Maryam, ayat 12. Artinya: "Hai Yahya! Ambilah Kitab itu dengan sungguh-sungguh dan rajin". Mengambilnya dengan sungguh-sungguh, ialah menghadapkan diri kepada Kitab itu semata-mata ketika membacanya, menjuruskan kemauan hati kepadanya saja, tidak kepada yang Iain.
Ditanyakan kepada sebahagian mereka: "Apabila engkau membaca Al-Qur'an, adakah engkau itu, berbicara dengan dirimu akan sesuatu?" Menjawab yang ditanyakan itu: "Adakah sesuatu yang lain, yang lebih aku cintai dari Al-Qur'an, sehingga aku berbicara dengan dia akan diriku?"
Adalah sebahagian salaf, apabila membaca suatu ayat dari Al-Qur'an, dimana hatinya tak ada padanya; niscaya diulanginya kali kedua. Sifat itu terjadi, dari pengagungan yang telah ada sebelumnya. Karena orang yang mengagungkan Kalam yang dibacanya itu, merasa gembira dan bersuka hati dengan bacaannya dan tidak berlengah hati daripadanya. Maka didalam Al-Qur'an, terdapatlah yang menyukakan hati, kalau yang membaca itu ahli. Lalu bagaimanakah mencari kesenangan dengan pikiran kepada yang lain, sedang dia didalam kesenangan dan kesukaan hati dengan pembacaannya? Orang yang sedang bersuka ria pada hal-hal yang menyenangkan, niscaya tidak akan berpikir kepada yang lain. Sesungguhnya, ada yang mengatakan: "Bahwa didalam Al-Qur'an itu terdapat tanah-tanah lapang, kebun-kebun, istana-istana, mahligai, kain sutera, taman dan tempat singgahan orang-orang musafir. Maka segala mim, adalah tanah lapang bagi Al-Qur'an. Segala ra', adalah kebun-kebun Al-Qur'an. Segala hal  adalah istana-istana Al-Qur'an. Segala ayat yang mengandung tasbih, adalah mahligai-mahligai Al-Qur'an. Segala ha-mim-nya adalah kain sutera bagi Al-Qur'an. Surat-suratnya yang panjang, adalah iaman-tamannya. Dan tempat-tempat singgahannya, adalah yang lain dari itu. Maka apabila pembaca memasuki lapangan-lapangan tadi, memetik buah-buahan dikebun, memasuki istana-istana, mempersaksikan mahligai-mahligai, memakai kain-kain sutera, bersenang-senang ditaman dan mendiami kamar-kamar tempat singgahan, niscaya habislah kesitu segenap jiwa raganya dan tak ada waktu tagi untuk yang lain. Sehingga tidak rengganglah hatinya dan tidak berpisahlah pikirannya dari Al-Qur'an yang dibacanya.

Keempat: pemahaman, yaitu dibalik kehadiran hati tadi. Karena kadang-kadang ia tidak berpikir kepada selain dari Al-Qur'an, tetapi memadakan kepada mendengar Al-Qur'an saja, sedang ia tidak memahami pengertiannya.
Yang dimaksudkan dari pembacaan itu, ialah pemahaman (tada'bbur) Dan karena itulah, disunatkan tartil, karena tartil secara dhahir, adalah untuk memungkinkan tada'bbur dengan batin. Berkata Ali r.a.: "Tak ada kebajikan pada ibadah, yang tak paham padanya dan tak ada kebajikan pada bacaan, yang tak ada tada'bbur padanya".
Apabila tiada mungkin bertada'bbur, kecuali dengan mengulang-ulangi, maka hendaklah diulang-ulangi, kecuali kalau ia dibelakang imam. Kalau ia terus bertada'bbur ayat, sedang imam telah berpindafi pada ayat lain, maka adalah ja telah bersalah. Seumpama orang yang menghabiskan waktunya dengan keheranan pada suatu perkataan dari orang yang bercakap-cakap dengan dia, daripada memahami percakapannya yang lain.
Begitu pula kalau berada dalam tasbih ruku', dimana ia bertafakkur tentang ayat yang dibacakan imamnya. Maka ini adalah waswas (bisikan setan). Diriwayatkan dari 'Amir bin Abdu Qais, bahwa ia berkata: "Waswas itu mengganggu saya didalam shalat". Lalu ia ditanyakan: "Mengenai hal duniawi?"
'Amir menjawab: "Sesungguhnya berulang kali kelupaan pada saya, adalah lebih saya sukai daripada itu. Tetapi hatiku selalu sibuk dengan tegakku dihadapan Tuhanku 'Azza wa Jalla. Dan bagaimanakah aku berpaling dari itu?"
Maka dihitungnya yang demikian itu, waswas. Dan betullah demikian, karena menyibukkannya, daripada memahami apa yang sedang dikerjakan nya. Dan setan itu tidak sanggup mendayakan seperti 'Amir, kecuali menyibukkannya dengan kepentingan keagamaan. Tetapi, setan itu, mencegahnya daripada perbuatan yang lebih utama. Tatkala hal itu disebutkan kepada Al-Hasan, lalu beliau berkata: "Kalau adalah kamu benar daripadanya, maka tidaklah diperbuatkan oleh Allah yang demikian itu pada kami". Diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم membaca "Bismi'llaahir'rrahmaanir-rahiim", lalu mengulang-ulanginya duapuluh kali. Sesungguhnya diulang-ulangi oleh Nabi صلى الله عليه وسلم adalah karena, bertada'bbur pada segala pengertiannya (1).
Dari Abi Dzar, yang mengatakan: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم melakukan shalat pada suatu diulang-ulanginya, yaitu:

1. Dirawikan Abu Dzar AlHarawi dari Abu Hurairah dengan sanad dlaif.

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(in tu'adz-dzibhum fa i'nnahum 'ibaaduka wa in taghfir lahum) .......sampai akhir ayat - S. Al-Maidah, ayat 118. Artinya: "Kalau mereka Engkau siksa, maka mereka itu hamba-hamba Engkau dan kalau mereka Engkau ampuni....'." (1).
Dan Tamim Ad-Dari mengerjakan shalat pada suatu malam dengan membaca ayat:
 أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ
('Am hasiba'lladziina'j-tarahu's-sayyiaat).....sampai akhir ayat — S.Al-Jatsiyah, ayat 21.
Artinya: "Apakah orang-orang yang membuat kesalahan itu mengira.......".
Sa'id bin Jubair mengerjakan shalat pada suatu malam, yang mengulang-ulangi ayat:
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ
(Wa'mtaazu'l-yauma a'yyuha'l-muj-rimuun) — S. Yasin, ayat 59. Artinya: "Bersisihlah kamu pada hari ini hai orang-orang berdosa!" Berkata sebahagian mereka: "Sesungguhnya aku memulai sebuah surat, maka dihentikan aku oleh sebahagian apa yang aku persaksikan padanya, daripada selesai, sehingga terbitlah fajar". Adalah sebahagian mereka berkata: "Suatu ayat yang tidak aku pahami dan tak ada hatiku padanya, maka tiada aku hitungkan pahala baginya". Diceriterakan dari Abi Sulaiman Ad-Darani, yang mengatakan: "Sesungguhnya aku membaca suatu ayat, maka aku bangun padanya empat malam atau lima malam. Dan kalau tidaklah aku putuskan pemikiran padanya, niscaya tidaklah aku lewatkan kepada yang lain". Dari sebahagian salaf. didapati, bahwa ia tetap pada surat Hud, enam bulan diulang-ulanginya dan tidak selesai daripada bertada'bbur padanya. Berkata sebahagian 'arifin: "Bagiku pada tiap-tiap Jum'at sekali khatam. Pada tiap-tiap bulan sekali khatam. Dan pada tiap-tiap tahun sekali khatam. Dan bagiku sekali khatam semenjak tigapuluh tahun, yang tidak selesai aku sesudah itu daripadanya". Yang demikian itu, adalah menurut derajat pemahaman dan pemeriksaannya. Dan sebahagian 'arifin yang tadi mengatakan pula: "Aku

1, Dirawikan An-Nasa-i dan Ibnu Majah, dengan sanad shahih.

tempatkan diriku, sebagai orang-orang mengambil upah. Maka sesungguhnya aku bekerja harian, mingguan, bulanan dan tahunan". Kelima: pemahaman, yaitu memperoleh penjelasan dari tiap-tiap ayat, akan apa yang layak baginya. Karena Al-Qur'an itu, melengkapi penyebutan sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, penyebutan afalNya, penyebutan hal-ikhwal nabi-nabi a.s. dan penyebutan hal-ikhwal orang-orang yang mendustakan mereka serta bagaimana mereka itu binasa, penyebutan segala suruhan dan laranganNya, penyebutan sorga dan neraka.Adapun sifat-sifat Allah "Azza wa Jalla, yaitu seperti firmanNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Laisa ka-mitslihi syai-un wa huwas-samii'ul bashiir).
Artinya: "Tiada sesuatupun serupa dengan Dia dan Dia mendengar dan melihat dengan terang" - S Asy-Syura, ayat 11. Dan seperti firmanNya:
الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ
(Al-rnalikul-qudduusus-salaamul-'mu'minul-muhaiminul-'azii-zul-jabba-rul-muta-kabbir).
Artinya: "Dia itu Raja, Mahasuci, Pembawa Keselamatan, Pemelihara Keamanan, Penjaga segala sesaatu, Mahakuasa, Mahaperkasa dan Maha besar" — S. Al-Hasyr, ayat 23.
Maka hendaklah diperhatikan arti nama-nama dan sifat-sifat ini, supaya terbukalah segala rahasianya, yang dibukakan oleh segala pengertian yang tertanam, yang tidak akan terbuka kecuali bagi orang-orang yang mendapat taufiq! Dan kepada itulah ditunjukkan oleh Ali r.a. dengan ucapannya: 'Tiada dirahasiakan kepadaku oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم sesuatu yang disembunyikannya dari manusia lain, melainkan didatangkan oleh Allah 'Azza wa Jalla seorang hamba yang memahami KitabNya. Maka hendaklah ia bersungguh-sungguh menuntut pemahaman itu!"
Berkata Ibnu Mas'ud r.a.: "Barangsiapa bermaksud ilmu pengetahuan orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian, maka hendaklah ia membahas pengertian Al-Qur'an. Dan yang terbesar dari ilmu pengetahuan Al-Qur'an, ialah dibawah nama-nama Allah 'Azza wa Jalla dan sifat-sifatNya. Karena tiada diketahui oleh kebanyakan makhluk daripadanya, kecuali beberapa perkara yang layak dengan pemahaman mereka dan tidak akan diperoleh mereka sampai sedalam-dalamnya". Adapun afal Allah Ta'ala, maka seperti disebutkanNya kejadian langit bumi dan lainnya. Maka hendaklah dipahami oleh pembaca dari af'alNya itu akan sifat-sifat Allah Ta'ala dan keagunganNya.
Karena afal (perbuatan) itu menunjukkan kepada pembuat (fa'il). Maka ditunjukkan oleh keagungan perbuatan kepada keagungan pembuatnya. Maka sewajarnyalah dipersaksikan pada perbuatan, akan pembuat, tidak perbuatan. Maka barangsiapa mengenal  kebenaran, niscaya melihat yang demikian pada tiap-tiap sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu itu, adalah daripadaNya, kepadaNya, dengan Dia dan untuk Dia. Maka Dialah semua, menurut yang sebenarnya. Dan barangsiapa tiada melihat yang demikian, pada tiap-tiap sesuatu yang dilihatnya, maka seolah-olah ia tiada mengenalNya. Dan barangsiapa mengenalNya, niscaya mengenal, bahwa tiap-tiap sesuatu selain Allah itu batil dan tiap-tiap sesuatu itu binasa, selain WajahNya. Bukan sesuatu itu akan batil dalam keadaan yang kedua nanti (hari kiamat), tetapi sekarang juga batil, kalau dipandang kepada dirinya dari segi diri itu sendiri. Kecuali, dipandang adanya (wujudnya) sesuatu itu, dari segi adanya dengan sebab Allah "Azza wa Jalla dan dengan QudrahNya. Maka adanya itu dengan jalan ikutan (tab'iyah) dan adalah batil semata-mata bila dengan jalan berdiri-sendiri (istiqlal).
Ini, adalah langkah pertama dari langkah-langkah (pokok-pokok) ilmu-mukasyafah. Karena itu, seyogialah apabila pembaca itu membaca firman Allah Ta'ala:
 أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
(Aa fa ra-aitum maa tahrutsuun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam" - S. Al-Waqi'ah, ayat 63.
 أَفَرَأَيْتُمْ مَا تُمْنُونَ
(Afa ra-aitum maa tumnuun).
Artinya: "Tiadakah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan?" - S. Al-Waqi'ah, ayat 58.
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ
(Afara-aitumul-maa-alladzii tasy-rabuun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum?" — S. AL-Waqi'ah, ayat 68.
 أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ
(A fara-aitumunnaa-rallatii tuuruun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan?" - S. Al-Waqi'ah, ayat 71, lalu tidak memendekkan pandangannya kepada air, api, tanaman dan mani saja. Tetapi memperhatikan tentang mani itu. Yaitu, setitik air hanyir. yang serupa segala bahagiannya. Kemudian ia melihat tentang bagaimana terbaginya kepada daging, tulang^urat dan saraf. Dan bagaimana pembentukan anegota-anggotanya dengan bermacam-macam bentuk, dari kepala, tangan, kaki, paru, jantung dan lain- lain. Kemudian kepada apa yang dhahir padanya, dari sifat-keadaan mulia, dari pendengaran. penglihatan, akal pikiran dan lain-lain, Kemudian kepada apa yang dhahir padanya, dari sifat-keadaan tercela, dari kemarahan, hawa nafsu, tekebur, kebodohan, berdusta dan pertengkaran seperti firman Allah Ta'ala:
 أَوَلَمْ يَرَ الإنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ
(A-wa-lam yaral-insaanu annaa khalaqnaahu min-nuth fatin fa-idzaa huwa khashiimun mubiin),
Artinya: "Apakah manusia itu tidak melihat, bahwa Kami menjadikannya dari air mani? Tetapi, lihatlah, dia telah menjadi musuh terang-terangan!" - S.YaSin, ayat 77. Maka diperhatikan segala keajaiban ini, supaya dapat mendaki kepada yang ajaibul-ajaib. Yaitu: sifat, yang terbit daripadanya segala keajaiban ini. Maka senantiasalah ia memandang kepada ciptaan, lalu ia melihat akan Pencipta.
Adapun hal-ikhwal nabi-nabi a.s.: maka apabila mendengar hal-ikhwal nabi-nabi, bahwa bagaimana mereka itu didustakan, dipukul dan dibunuh sebahagian mereka, lalu hendaklah dipahami daripadanya akan sifat tidak memerlukan (sifat-istighna') bagi Allah 'Azza wa Jalla. kepada rasul-rasul (utusan-utusan) dan umat yang diutuskan rasul-rasul itu kepadanya. Dan kalau binasalah mereka itu semuanya, niscaya tidaklah membekaskan sesuatu dalam kerajaanNya. Dan apabila mendengar, bahwa rasul-rasul a.s. itu memperoleh pertolongan pada akhir pekerjaannya, maka hendaklah dipahami akan qudrah Allah 'Azza wa Jalla dan iradahNya untuk menolong kebenaran.
Adapun hal-ikhwal orang-orang yang mendustakan: seperti 'Ad, Tsamud dan yang berlaku atas mereka, maka hendaklah dipahami daripadanya, akan perasaan takut dari kekuasaan dan pembalasanNya! Hendaklah
keuntungannya dari yang demikian itu, mengambil ibarat pada dirinya sendiri! Dan kalau lengah, bertindak diluar kesopanan dan tertipu dengan tertangguhnya pembalasan, maka kadang-kadang pembalasan itu akan diperoleh dan terdapat dengan segera.
Begitu pula, apabila mendengar keadaan sorga, neraka dan yang lain-lain yang tersebut dalam Al-Qur'an, maka tidaklah mungkin mendalami apa yang dipahamkan daripadanya. Karena yang demikian itu, tak ada kesudahan baginya. Hanya bagi masing-masing hamba memperoleh sekedar bahagiannya daripadanya. Maka tidak adalah yang basah dan yang kering, melainkan semuanya itu ada didalam kitab yang menjelaskan-.
 قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
(Qullaukaanal-bahru midaadan likalimaati rabbii lanafidal-bahru qabla an tanfada kalimaatu rab-bii walau ji'naabimits-lihi madadaa).
Artinya: "Katakan: Kalau kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan Tuhanku, niscaya lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan Tuhanku (dituliskan) biarpun Kami datangkan sebanyak itu pula tambahannya" - S. Al-Kahf, ayat 109.
Karena itulah, berkata Ali r.a.: "Jikalau aku mau, niscaya dapatlah aku isikan pikulan tujuhpuluh ekor unta dari penafsiran surat Al-Fatihah saja".
Maka maksud daripada apa yang kami sebutkan itu, ialah memberitahukan jalan pemahaman, supaya terbukalah pintunya. Adapun secara mendalam, maka tak usahlah diljarapkan!
Orang yang tidak mempunyai pemaltaman apa yang didalam Al-Qur'an, walaupun dalam tingkatan yang paling rendah, maka termasuklah dia dalam firman Allah Ta'ala: "Dan diantara mereka itu, ada yang mendengarkan perkataan (bacaan) engkau, tetapi akhirnya, ketika mereka telah keluar dari tempat engkau, mereka berkata kepada orang-orang yang berpengetahuan: Apakah yang dikatakannya sebentar itu? Itulah orang-orang yang dicap (ditutup) hati mereka oleh Allah". - S. Muhammad, ayat 16. Dan cap itu, ialah pencegah-pencegah yang akan kami sebutkan, pada pencegah-pencegah pemahaman. Sesungguhnya ada yang mengatakan: "Tidaklah murid (yang berkehendak) itu, seorang murid, sebelum ia memperoleh didalam Al-Qur'an, akan apa yang dikehendakinya. Mengenai daripadanya akan kekurangan daripada tambahan dan merasa cukup dengan penghulu daripada budak.
Keenam: penyingkiran dari segala pencegah paham. Sesungguhnya kebanyakan manusia tercegah daripada memahami pengertian Al-Qur'an,

karena beberapa sebab dan hijab, yang dikembangkan oleh setan pada hati mereka. Lalu menjadi butalah mereka tentang segala keajaiban rahasia Al-Quran. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Jikalau tidaklah setan-setan itu mengedari hati anak Adam (manusia), niscaya mereka melihat kepada alam malakut". Dan segala pengertian Al-Qur'an adalah sebahagian dari jumlah alam malakut. Dan tiap-tiap yang jauh dari pancaindra dan tidak diketahui, selain dengan nur matahati (nur-al-bashirah), maka adalah sebahagian dari alam malakut. Yang menghijabkan pemahaman, adalah empat:
Pertama, adalah perhatiannya tertuju kepada penyebutan huruf, dengan mengucapkannya _menurut pengucapannya (makhrajnya). Penjagaannya  ini dipengaruhi oleh setan, yang ditugaskan kepada para pembaca  Al-Qur'an (qu'rra'), supaya mengelakkan mereka daripada memahami  pengertian-pengertian kalam 'Azza wa Jalla. Maka senantiasalah  dibawanya para pembaca itu kepada mengulang-ulangi huruf, yang  terguris dalam hati mereka, bahwa belum mengucapkannya dari -makhrajnya.
Orang tadi, adalah perhatiannya tertuju kepada makhraj-makhraj huruf. Maka bilakah terbuka baginya pengertian? Dan yang amat menertawakan setan, ialah: orang yang menta'ati kepada seumpama pengacauan ini. Kedua, adalah ia seorang muqallid (yang bertaqlid) kepada suatu mazhab, yang didengarnya dengan taqlid, dan ia membeku kepadanya. Dan tetaplah pada jiwanya kefanatikan (ta'ash-shub), dengan semata-mata mengikuti yang didengar, tanpa sampai kepadanya dengan mata hati dan penyaksian batin.
Maka ini, adalah orang yang dikungkung oleh aqidahnya, daripada melampauinya. Maka tidaklah mungkin bahwa terguris dihatinya, selain daripada aqidahnya. Lalu jadilah perhatiannya terhcnti kepada yang didengarinya. Kalau berkilatlah suatu kilat dari jauh dan teranglah kepadanya salah satu dari pengertian-pengertian yang bertentangan dengan yang didengarnya, niscaya dipikulkan keatas pundaknya oleh setan taqlid, seraya setan itu berkata: "Bagaimana maka terguris itu dihatimu, pada hal itu bersalahan dengan aqidah bapa-bapamu?" Maka ia melihat, bahwa itu adalah tipuan setan, lalu ia menjauhkan diri daripadanya dan menjaga daripada yang menyerupainya. Dan bagi yang seperti ini, telah berkata ulama-ulama shufi: "Bahwa ilmu itu suatu hijab". Dimaksudkan mereka dengan ilmu tadi, ialah segala 'aqidah (kepercayaan) yang dipegang terus-menerus oleh sabahagian besar manusia, dengan taqlid semata-mata. Atau dengan kata-kata perdebatan semata-mata, yang diuraikan oleh orang-orang yang fanatik kepada mazhab-mazhab dan diajarkannya kepada mereka.
Adapun ilmuhaqiqi, yaitu: kasyaf dan musyahadah dengan nur-bashi-rah, maka bagaimanakah dia itu hijab, sedang dia adalah: yang dicari terakhir?
Taqlid itu kadang-kadang adalah batil, maka jadilah dia penghalang, seperti orang yang beri'tiqad tentang istiwa' diatas 'Arasy itu, tetap dan tidak berpindah.
Jikalau tergurislah baginya — umpamanya — tentang Allah Yang Mahasuci, bahwa Dia itu mahasuci dari tiap-tiap apa saja yang jaiz diatas makhlukNya, niscaya tidak memungkinkan oleh ke-taqlid-annya itu, bahwa faham yang demikian menetap pada dirinya. Dan jikalau menetap pada dirinya, niscaya membawa kepada kasyaf kedua, ketiga dan terus bersambung. Tetapi bersegeralah ia menolak yang demikian dari gurisan hatinya, karena berlawanan dengan taqlidnya yang batil, Dan taqlid itu kadang-kadang benar (haq) dan juga dia itu pencegah dari faham dan kasyaf. Karena haq yang memberatkan makhluk untuk mempercayainya, mempunyai Jingkat-tingkat dan derajat-derajat. Mempunyai pokok yang dhahir dan isi yang batin. Dan membekunya labia t seseorang diatas yang dhahir, mencegah kan nya daripada sampai kepada isi mendalam bagi batin, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu, mengenai perbedaan antara ilmu dhahir dan ilmu batin dalam: Kitab kaedah-kaedah i'tiqad.
"Ketiga: adalah dia itu berkekalan diatas dosa atau bersifat dengan tekebur atau kena percobaan pada umumnya, mematuhi dengan kecondongan pada dunia. Maka itu adalah sebab kegelapan hati dan berkarainya. Dan 4tu adalah seperti najis diatas kaca, lalu "mencegah jelasnya kebenaran (haq) daripada menampak padanya. Dan itu. adalah hijab yang terbesar bagi hati. Dan dengan itulah. terhijab kebanyakan orang. Manakala hawa-nafsu itu sangiat tebal. niscaya pengertian Kalam adalah sangat terhijab. Dan manakala tipis dari hati, segala beban dunia, niscaya mendekatlah kecemerlangan pengertian padanya. Hati itu, adalah seumpama kaca dan nafsu syahwat itu seumpama karat. Segala pengertian Al-Qur'an adalah seumpama bentuk yang menampak pada kaca. Dan latihan bagi hati dengan melenyapkan nafsu-syahwat, adalah seumpama menggosok bersih bagi kaca. Dan karena itulah, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Apabila diagungkan oleh umatku akan dinar dan dirham, niscaya dicabutkan daripadanya kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma'ruf dan nahi munkar, niscaya diharamkan mereka dari keberkatan wahyu". Berkata Ai-Fudlail: "Ya'ni: diharamkan mereka dari memahami Al-Qur'an".
Telah disyaratkan oleh Allah 'Azza wa Jalla, kembali kepada pemahaman dan pengingatan. Berfirman Allah Ta'ala : "Menjadi pemandangan dan pengajaran bagi setiap hamba yang kembali (kepada Tuhan)". S. Qaf, ayat 8, Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Hanyalah orang yang kembali (kepada Tuhan) yang dapat menerima pelajaran". - S. Al-Mu'min, ayat 13. Berfirman Allah Ta'ala: "Hanyalah orang-orang yang berakal dapat mengerti". - S. Ar-Ra'd, ayat 19. Maka orang yang memilih tipuan duniadari ni'mat akhirat, maka dia tidaklah dari orang-orang yang berakal. Dan karena itulah, tiada terbuka baginya rahasia-rahasia Kitab Suci. 
Keempat, dia telah membaca tafsir yang dlahir dan berkeyakinan, bahwa tak ada pengertian bagi kalimat-kalimat Al-Qur'an, selain daripada apa yang diperoleh oleh naql (diterima atau disalin) dari ibnu'Abbas, Mujahid dan lain-lainnya. Dan yang dibalik dari itu, adalah penafsiran dengan buah pikiran. Dan barangsiapa menafsirkan Al-Quran dengan buah pikirannya niscaya tersedialah tempat duduknya dart api neraka. Maka ini juga sebahagian hijab besar. Dan akan kami terangkan pengertian penafsiran dengan buah pikiran pada Bab Keempat. Dan itu berlawanan dengan perkataan Ali r.a.: "Kecuali diberikan oleh Allah kepada seorang hamba akan pemahaman pada Al-Quran". Dan sesungguhnya, kalau pengertian itu, yaitu: yang dhahir, yang dinuqilkan saja, niscaya tidaklah terdapat perselisihan manusia padanya.
Ketujuh: (dari sepuluh, yang disebut pada awal Bab "Ketiga")  pengkhususan. Yaitu: dia mengumpamakan, bahwa dialah yang dimaksud.,., dengan tiap-tiap kata yang ditujukan dalam Al-Qur'an. Kalau ia' mendengar amar atau nahi, niscaya diumpamakannyalah bahwa dialah yang dilarang dan yang disuruh. Dan kalau dia mendengar janji ni'mat (wa'ad) atau janji 'azab (wa'id), maka seperti itulah ia menilaikan pada dirinya. Dan kalau ia mendengar ceritera (kisah) orang-orang dahulu dan nabi-nabi, niscaya ia tahu, bahwa ceritera itu bukanlah yang dimaksudkan. Tetapi yang dimaksudkan, adalah untuk diambil menjadi ibarat. Dan hendaklah diambilnya dari ceritera yang berlapis-lapis itu, akan apa yang diperlukannya. Maka tidak suatu kisah pun didalam Al-Qur'an, melainkan pembawaannya bagi sesuatu paedah terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم dan umatnya.Karena itulah, maka berfirman Allah Ta'ala:مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
(Maa nutsabbitu bihi fu-aadak).
Artinya: "Yang dapat memperteguh hati engkau" - S. Hud, ayat 120. (1).
Maka hendaklah diumpamakan oleh seorang hamba, bahwa Allah telah menetapkan hatinya, dengan apa yang diceriterakan oleh Allah kepadanya, dari hal-ikhwal nabi-nabi, kesabaran mereka diatas penganiayaan dan keteguhan mereka pada Agama, demi menunggu pertolongan Allah Ta'ala.
Bagaimanakah tidak diumpamakan yang demikian? Sedang Al-Quran itu tidaklah diturunkan kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم., karena dia utusan Allah khususnya, tetapi adalah Al-Quran itu obat, petunjuk, rahmat dan nur Bagi alam seluruhnya.

1.Ayat 120 seluruhnya ,Dan segala yang kami ceritakan kepada engkau iaitu sebahagian dari cerita rasul rasul,yang dapat memperteguh hati engkau,dan didalam cerita ini engkau mendapat kebenaran, serta pengajaran dan peringatan untuk orang orang beriman(pent)

Dan karena itulah, disuruh oleh Allah Ta'ala manusia seluruhnya, mensyukuri keni'matan Kitab Suci itu. Berfirman Allah Ta'ala:
 وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ
(Wadz-kuruu ni'matal-laahi 'alaikum wa maa anzala'alaikum minal-kitaabi wal-hikmati-ya'idhukumbih). -Artinya: "Dan ingatilah ni'mat Allah kepadamu dan apa yang diturunkanNya kepadamu. diantaranya Kitab dan kebijaksanaan. Ia mengajari kamu dengan itu". — S. Al-Baqarah, ayat 231.
Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu yang didalamnya ada peringatan (pengajaran) buat kamu, Tidakkah kamu perhatikan?" - S. Al-Anbia, ayat 10.
BerfiTman Allah Ta'ala : "Dan Kami turunkan kepada engkau pengajaran (Al-Qur'an) supaya engkau jelaskan kepada menusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka". -S. An-Nahl, ayat 44.
Firman Allah Ta'ala: Begitulah Allah membuat perumpamaan untuk pelajaran bagi manusia". S. Muhammad, ayat 3. Berfirman Allah Ta'ala: "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepada kamu dari Tuhanmu". S. Az-Zumar, ayat 55.
Berfirman Allah Ta'ala: "Inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan yang benar dan rahmat bagi kaum yang yakin (dalam kepercayaannya)". S. Al-Jatsiyah, ayat 20. Berfirman Allah Ta'ala : "Al-Quran - inilah keterangan-keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan kepada kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)". S. Ali 'Imran, ayat 138. Apabila dimaksudkan dengan penghadapkan kata (khithab) kepada seluruh manusia, maka sesungguhnya adalah dimaksudkan kepada masing-masing orang. Maka sipembaca yang seorang itu, adalah yang dimaksudkan. Apakah bedanya bagi yang seorang itu dan bagi manusia lain? Maka hendaklah ia mengumpamakan, bahwa dialah dimaksudkan.
Berfirman Allah Ta'ala: "Dan diwahyukan kepadaku Al-Quran ini, supaya dengan itu, aku dapat memberi ingat kepada kamu dan kepada siapa yang sampai Al-Quran kepadanya". S. Al-An'aam, ayat 19.
Berkata Muhammad bin Ka'b Al-Qardhi: "Barangsiapa sampai kepadanya Al-Quran, maka seolah-olah Allah Ta'ala telah berkalam dengan dia". Apabila telah diumpamakan yang demikian, niscaya tidak diperbuatnya pelajaran Al-Quran itu sebagai pekerjaannya. Tetapi dibacanya  Al-Qur'an itu, seperti seorang hamba membaca surat tuannya, yang dituliskan kepadanya untuk diperhatikannya dan dilaksanakannya menurut yang dikehendaki surat itu.

Karena itulah, berkata sebahagian ulama: "Al-Qur'an itu adalah risalah-risalah (surat-surat), yang datang kepada kita dari pihak Tuhan kita 'Azza wa Jalla, dengan segala janjiNya, yang kita tada'bburkan didalam shalat. Kita tegak berdiri diatas risalah-risalah itu, pada tempat kesepian (didalam khilwah) dan kita laksanakannya pada perbuatan tha'at dan sunat yang dituruti". Bertanya Malik bin Dinar: "Apakah yang ditanamkan Al-Qur'an dalam hatimu, wahai ahli Al-Quran? Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah musim bunga bagi orang mu'min, sebagaimana hujan rintik-rintik adalah musim bunga bagi bumi". Berkata Qatadah: "Tiada duduk seseorang dengan Al-Quran ini, melainkan ia bangun daripadanya, dengan ada tambahan atau kekurangan". Berfirman Allah Ta'ala:
 هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا
(Huwa syifaa-un warahmatun lil-mu' miniina wa laa ya-iiidudh-dhaali-miina ilia khasaaraa).Artinya: "Dia itu menjadi obat dan rahmat untuk orang-orang yang beriman dan itu tiada akan menambah kepada orang-orang yang bersalah, selain dari kerugian saja". S.Al-Isra', ayat 82.
Kedelapan: pembekasan. Yaitu membekas kepada hatinya dengan berbagai macam bekas, menurut bermacam-macam ayat yang dibacanya. Maka adalah haI-keadaannya menurut masing-masing paham yang ada baginya. Dan terdapatlah hatinya bersifat dengan kedukaan, ketakutan, keharapan dan lainnya. Manakala ma'rifahnya telah sempurna niscaya adalah ketakutan menjadi keadaannya yang terbanyak, pada hatinya. Sesungguhnya penyempitan (tadlyiq), adalah biasa terdapat pada ayat-ayat Al-Qur'an. Maka tidak terlihat penyebutan ampunan dan rahmat melainkan disertai dengan syarat-syarat, yang sukar bagi seorang yang tahu, untuk memperolehnya, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla:وَإِنِّي لَغَفَّارٌ
(Wa innii laghaffaa-run).— S.Thaha,ayat82. Artinya;"Dan sesungguhnya Aku Mahapengampun". Kemudian, diikutkanNya yang demikian itu, dengan empat syarat:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
(Liman taaba wa aamana wa 'amila shaalihan tsumma'htadaa) sambungan ayat 82 diatas.Artinya: "Bagi orang yang bertobat,beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian, ia mengikuti jalan yang benar".
Dan firmannya: "Demi waktu. sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dari orang-orang, yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik dan mewasiatkan (memesankan) satu sama lain dengan kebenaran dan mewasiatkan satu sama lain supaya bersabar". — S. AI-'Ashr, ayat 1-2-3. Disebutkan disitu empat syarat.
Dan dimana diringkaskan, maka disebutkan satu syarat saja yang melengkapkan (syarat jaami'), lalu Allah Ta'ala berfirman:
 إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
(Fnna rahmatallaahi qariibun mina'lmuhsiniin) —S. Al-A'raaf, ayat 56.
Artinya: "Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan)". Berbuat kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan) itu, meratai seluruhnya.
Dan begitulah orang yang membuka halaman Al-Qur'an, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya dan orang yang memahami demikian. Maka layaklah kiranya, bahwa keadaannya itu bersifat dengan ketakutan dan kedukaan. Karena itulah berkata Al-Hasan: "Demi Allah, tidaklah pada hari ini seorang hamba yang membaca Al-Qur'an yang di-imaninya melainkan banyaklah kedukaannya, sedikitlah kegembiraannya, banyaklah tangisnya, sedikitlah ketawanya, banyaklah pekerjaan dan perbuatannya, sedikitlah istirahat dan perbuatannya yang sia-sia". Berkata Wuhaib bin Al-Ward: "Kami melihat pada segala pembicaraan dan pengajaran ini, maka kami tiada mendapati sesuatu yang lebih menghaluskan hati dan menarik kedukaan, daripada membaca Al-Qur'an, memahami dan mentada'bburkannya, Maka membekaslah hamba dengan tilawah itu, bahwa ia bersifat dengan perihal ayat yang dibacakan. Ketika membaca ayat wa'id (ayat yang mengandung ancaman azab) dan pengikatan ampunan dengan syarat-syarat, yang lemah dia dari ketakutannya, seakan-akan ia hampir meninggal dunia. Dan ketika membaca ayat yang melapangkan dan janji ampunan, ia bergembira, seolah-olah ia terbang dari kegembiraan. Ketika menyebut Allah, sifat-sifat dan nama-namaNya, lalu tertunduklah ia menekur kepala, karena merendahkan diri bagi keangunganNya dan merasakan kebesaran-Nya. Ketika disebutkan oleh orang-orang kafir akan apa yang mustahil bagi AHah 'Azza wa Jalla seperti disebutkan mereka bahwa Allah 'Azza wa Jalla mempunyai anak dan teman hidup, lalu suaranya merendah dan batinnya hancur, karena malu dari kejinya perkataan orang-orang kafir itu. Dan ketika disifatkan sorga, lalu menggeraklah batinnya karena rindu kepadanya. Dan ketika disifatkan neraka, lalu gemetarlah sendi-sendinya, karena takut daripadanya.
Tatkala Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Ibnu Mas'ud: "Bacalah kepadaku!", maka Ibnu Mas'ud berceritera: "Lalu aku mulai dengan surat An-Nisa'. Tatkala sampai kepada ayat:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا
(Fakaifa idzaa ji'naa min ku'lli u'mmatin bisyahiidin wa ji'naa bika "alaa haa-ulaa-i syahiidaa) An-Nissa, ayat 42.Artinya: "Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada tiap umat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas umat ini"  aku melihat kedua matanya berlinang air mata, seraya mengatakan kepadaku: "Cukuplah sekian sekarang!"
Itu adalah karena dengan mempersaksikan keadaan yang demikian mempengaruhi keseluruhan isi jiwanya. Dan ada dalam golongan orang-orang yang takut (al-khaaifun), orang yang jatuh tersungkur kepitaman pada ayat-ayat wa'id. Dan diantara mereka, ada yang terus meninggal waktu mendengar ayat-ayat itu.
Hal-hal yang seperti ini, membuat sipembaca itu diluar daripada dia sebagai menceriterakan saja kalam Allah Ta'ala. Apabila ia membaca:
إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
(Innii akhaafu in 'ashaitu rabbit 'adzaaba yaumin adhiim). Artinya: "Sesungguhnya aku takut, akan kena siksaan hari yang besar, jika aku mendurhakai Tuhanku". S. At. An'am, ayat 15. Dan tidaklah dia itu takut, bila dis hanya membaca saja.
Dan apabila ia membaca:عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ  "Alaika tawakkalnaa wa ilaika anabnaa wa ilaika'l-mashiir" — S.Al-Mumtahanah, ayat 4  artinya: "Kepada Engkau, Kami bertawakkal dan kepada Engkau, kami kembali dan kepada Engkau juga kesudahannya!" — dan tak adalah keadaannya bertawakkal dan kembali, maka adalah dia membacakan saja kalam Allah Ta'ala. Dan apabila ia membaca: وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا "Wa lanashbira'nna 'alaa maa aadzaitumuunaa" — S. Ibrahim, ayat 12.
Artinya: "Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap perbuatan kamu yang menyakitkan kami" — Maka hendaklah keadaan sipembaca itu sabar atau bercita-cita atas kesabaran, sehingga ia memperoleh kemanisan tilawah. Kalau tidaklah ia bersifat dengan sifat-sifat tersebut dan hatinya tidak bulak-balik dengan hal-hal itu, maka adalah keuntungannya dari tilawah itu, ialah menggerakkan lidah serta dengan tegas mengutuk dirinya sendiri, waktu membaca firman Allah Ta'ala:أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (Alaa la'natul-laahi 'aladh-dhaa-limiin). Artinya: "Ingatlah, kutukan Allah itu adalah untuk orang-orang zalim" — S. Hud. ayat I8.
Pada firman Allah Ta'ala:كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ
(Kabura-maqtan 'indallaa-hi an taquuluu maa laa taf aluun).
Artinya: "Sangat dibenci Allah, bahwa kamu ucapkan apa yang tiada kamu perbuat".- s. Ash-Shaff, ayat 3.
Pada firman Allah 'Azza wa Jalla: "Sedangkan mereka masih dalam kelaiaian dan tiada memperdulikannya". S. Al-Anbia, ayat 1. Pada firman Allah Ta'ala: "Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata". -S. An-Najm, ayat 29. Dan pada firman Allah Ta'ala: "Siapa yang tiada bertobat. itulah orang-orang yang zalim". — S. Al-Hujurat, ayat 11. Dan ayat-ayat lain sebagainya. Dan termasuklah dia dalam maksud firman Allah 'Azza wa Jalla: "Diantaranya ada yang buta huruf, tidak mengetahui Kitab selain dari dongengan". S. Al-Baqarah, ayat 78. Ya'ni: semata-mata tilawah saja. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: ''Dan banyaklah keterangan-keterangan dilangit dan dibumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak mempefhatikannya". - S.Yusuf, ayat 105". Karena Al-Ouran itulah yang menerangkan ayat-ayat itu dilangit dan dibumi. Manakala dilaluinya ayat-ayat itu tanpa membekas kepadanya, maka adalah dia itu tidak memperhatikanya. Karena itulah dikatakan, bahwa orang yang tiada bersifat dengan perilaku budi (akhlak) yang tersebut dalam Al-Qur'an, maka apabila ia membaca Al-Qur'an itu, lalu ia dipanggilkan oleh Allah Ta'ala: "Mengapakah engkau begitu terhadap KalamKu, dan engkau tidak memperhatikan kepadaKu? Tinggalkanlah KalamKu, bila engkau tidak kembali Kepadaku!"-
Seorang pendurhaka apabila membaca Al-Quran dan mengulang-ulanginya, adalah seumpama orang yang mengulang-ulangi membaca surat raja, pada tiap-tiap hari beberapa kali. Surat itu telah dituliskan kepadanya dalam gedung kerajaan dari raja itu. Sipembaca tadi, bekerja meruntuhkan gedung tersebut dan bertekun mempelajari surat raja. Kalau sekiranya ia meninggalkan mempelajari surat itu, ketika keadaannya begitu bertentangan, niscaya adalah dia terjauh daripada mempermain-mainkan dan daripada berhak mendapat kutukan.
Karena itulah, berkata Yusuf bin Asbath: "Sesungguhnya aku amat mementingkan tilawah Al-Qur'an. Apabila aku sebutkan sesuatu didalam Al-Qur'an, yang aku takut akan kena kutukan, lalu aku berpaling kepada tasbih dan istighfar.
Orang yang berpaling daripada mengamalkan menurut Al-Quran, itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya: "Kemudian janji itu mereka buang kebelakang dan mereka mengambil sedikit keuntungan gantinya. Amatlah buruknya apa yang mereka ambil itu". S. Aali 'Imran, ayat 187.
Karena itulah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bacalah Al-Quran, apa yang menjinakkan hatimu dan melembutkan kulitmu! Apabila kamu menyalahinya, maka tidaklah kamu membacanya". (1).
Pada sebahagian riwayat tersebut: "Apabila kamu menyalahinya, maka bangunlah dari Al-Qur'an itu!"
Berfirman Allah Ta'ala:
 إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
(AUadziina idzaa dzukjraliaaftu wa jilat Quluubuhum wa idzaa tuliat 'alai-him aayatuhu zaadathum iimaa-nan wa'alaa rab-bihim ya-tawakka-luun). Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang berfirinan itu, ialah mereka yang ketika disebut nama Allah, hatinya penuh ketakutan dan apabila dibacakan kepadanyaketerangan-keteranganNya, bertambah keimanan nya karena itu dan mereka bertawakkal kepada Tuhannya". S. Al-An al ayat 2. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Sebaik-baik suara manusia dengan Al-Qur'an, ialah apabila engkau mendengar ia membaca, niscaya engkau melihat ia takut akan Allah Ta'ala". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم 'Tidaklah terdengar Al-Qur'an dari seseorang, yang lebih merindukan, daripada orang yang takut akan Allah 'Azza wa Jalla". (2).
Maka Al-Qur'an, dimaksudkan untuk menarik segala hal keadaan itu kepada hati dan berbuat dengan dia. Kalau tidak demikian, maka kesulitan pada menggerakkan lidah dengan huruf-hurufnya, adalah ringan.
Karena itulah berk'ala sebahagian ahli bacaan Al-Qur'an (al-qur-ra'): "Aku baca Al-Qur'an dihadapan guruku, kemudian aku kembali untuk membacakan kali kedua, lalu dibentaknya aku seraya berkata: "Engkau jadikan Al-Qur'an sebagai suatu perbuatan atasku. Pergilah, bacakanlah karena Allah 'Azza wa Jalla! Perhatikanlah dengan apa disuruhNya kamu dan dengan apa dilarangNya kamu!".
Dengan inilah, para shahabat r.a. itu sibuk, dalam segala keadaan dan perbuatan. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم wafat meninggalkan shahabat sebanyak duapuluh ribu orang, dimana tidak ada yang menghafalkan Al-Qur'an selain enam orang. Dua orang dari yang enam inipun, diperselisihkan (Ada riwayat yang mengatakan bahwa keduanya menghafal Al-Qur'an dan ada yang mengatakan tidak). ! !.

1.Dirawikan Bukhari dan Muslim dari Jundub bin Abdullah Al Bajali.
2.Dirawikan Abu Abdillah Al Hakim,Menurut yang tersebut dalam kitab “Fadlaa ilul Quran.

Sebahagian besar dari mereka menghafal satu surat dan dua surat. Dan adalah yang menghafal sural Al-Baqarah dan Al-An'am, dari ulama-ulama shanaba.Tatkala salah seorang pergi untuk mempelajari Al-Qur'an, lalu sampailah peinbacaannya ptda firman Allah 'Azza wa Jalla:
 فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ, وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

SURAT 99. AZ ZALZALAH ayat 7 dan 8 Artinya: Dan siapa yang mengerjakan  perbuatan baik sebesar atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan  kejahatan seberat atom, akan dilihatnya", Maka berkatalah orang Tadi: "Cukuplah ini saja!" Lalu ia pun pergi. Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Telah pergi orang itu dan dia adalah seorang yang berpaham (faqih).

Sesungguhnya iarangiah seperti keadaan itu yang lelab dik^miakan oleh Allah 'Azza wa Jail:; kedaram hati orang mu'min, setelah men.'shami ayat itu. Acapuu semata-mata menggerakkan lidah maka adalah sedikit faedahnya. Bahkan orang yang membaca dengan lisan, yang berpaling dan perbuatan, adalah wajar bahwa dialah yang dimaksud dengan firman Atfah Ta'ala:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
(Wa mar. a' radla an dzikrii fa inna lahu in&'iisyatan diankan wa nahsyunjhii yaurna-qjaamati almaa)
Artinya: "Dan barangsiapa yang menyangkal mengingati Aku, sudah tentu dia akan memperoieh kehidupan yang sulit (sempit) dan Kami. kumpuikan dihari kiamat (kebangunan) sebagai orang buta". S. Tha Ha ayat 124.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Begitulah (semestinya). Keterangan-keterangan Kami telah datang kepada engkau, tetapi tidak engkau perdulikan; dan begitulah dihari ini. engkau tidak pula Kami perdulikan". — S. Tha Ha, ayat 126.

1. Mengenai waktu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم wafat,meninggalkan shahabat sebanyak duapuluh ribu orang, yang menghafalkan Al-Qur'an lebih kurang enam orang itu, menurut catatan dibawah "Ihya", dalam bahasa 'Arab, mungkin yang dimaksud di Madinah saja. Sebab menurut riwayat dari Abi  Zar'ah Ar-Raz;, menerangkan bahwa ketika Nabi صلى الله عليه وسلم wafat, meninggalkan shahabat sebanyak seratus empat-belas ribu orang. Dan menurut Anas, Al-Quran itu dikumpulkan pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم oleh empat orang, semuanya dari orang anshar, yaitu Ubai bin Ka'b, Ma'az bin Jabal, Zaid dan Abu Zaid. (Pent.).

Artinya: engkau tinggalkan keterangan-keterangan itu, tidak engkau perhatikan dan perdulikan. Orang yang menyia-nyiakan suatu perintah (amar), dikatakan: orang yang melupakan suatu amar (periniah). Bertilawah Al-Qur'an yang sebenar-benarnya, ialah mengkongsikan padanya lidah, akal dan hats. Bahagian lidah, ialah membetulkan huruf dengan pentartilan. Bahagian akal, ialah penafsiran pengertian. Dan bahagian hati. ialah mengambil pengajaran dan membekas dengan memperingatkan hati dan menuruti perintah.
Maka lidah itu bertartil akal itu menterjemah dan hati itu mengambil pengajaran.
Kesembilan: peninggian. Yang saya maksudkan dengan peninggian itu, ialah bahwa meninggilah sipembaca tersebut, sampai ia mendengar Kalam daripada Allah 'Azza wa Jalla, tidak daripada dirinya sendiri. Dari itu, maka tingkat pembacaan adalah tiga:
1.Yang paling kurang daripadanya, ialah diumpamakan oleh hamba itu, seolah-olah ia membaca Al-Qur'an dihadapan Allah 'Azza wa Jalla, berdiri dihadapanNya. Dan dia memandang kepadaNya dan mendengar daripadaNya. Maka adalah keadaannya orang itu, pada penguntpamaan ini, meminta. berwajah manis, merendahkan diri dan bermohon.
2.Bahwa ia mengakui dengan hatinya, seolah-olah Allah 'Azza wa Jalla melihat dan berbicara kepadanya dengan segala kelemah-iembutanNya. Dan ia bermunajah dengan Dia dengan segala keni'matan dan ihsanNya. Dari itu, maka kedudukannya adalah dalam keadaan malu, pengagungan, pemerbatian dan pemahaman.
3.Bahwa ia melihat pada Kalam itu akan Mutakallim dan pada kata-kata itu, akan sifat. Maka tidaklah ia memandang kepada dirinya, kepada bacaan nya dan kepada sangkutan keni'matan kepadanya, dari segi bahwa dia yang diberikan keni'matan kepadanya. Bahkan, adalah tertuju cita-cita kepada Mutakallim dan terhenti pemikiran kepadaNya, seolah-olah ia tenggelam dengan memandang (musyahadah) Mutakallim, tanpa yang lain. Dan inilah tingkat Muqarrabin (orang-orang yang dekat kepada Allah Ta'ala). Dan sebelum ini, adalah tingkat golongan kanan (ash-hahu'l-yamin). Dan yang diluar dari ini, adalah tingkat orang-orang lalai (al-ghafilin).
Dan diri tingkat yang tinggi itu, diceriterakan oleh Ja far bin Muhammad Ash-Shadiq r.a. dengan mengatakan: "Demi Allah, sesungguhnya telah menampak (tajalli) Allah 'Azza wa Jalla bagi makhlukNya pada KalamNya. Tetapi mereka tidak melihatNya".Berkata Ja'far pula, dimana mereka menanyakan kepadanya, tentang keadaan yang mengenainya dalam shalat, sampai ia jatuh tersungkur. Maka setelah ia sembuh, lalu ditanyakan kepadanya tentang itu, maka ia menjawab: "Senantiasalah aku mengulang-ulangi suatu ayat pada hatiku, sehingga aku mendengarnya dari yang memfirmankannya (Mutakallim). Lalu tidak tetaplah tubuhku untuk memandang qudrahNya".

Maka pada tingkat yang seperti ini, maha agunglah manisnya dan lazatnya bermunajah. Karena itulah berkata sebahagian ahli hikmat (hukama'): "Adalah aku membaca Al-Qur'an, maka tidaklah aku peroleh baginya kemanisan, sehingga bertilawahlah aku akan Al-Qur'an itu, seolah-olah aku mendengarnya dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. yang membacakan kepada shahabat-shahabatnya. Kemudian aku diangkat ketingkat yang diatas itu, maka aku mentilawahkannya, seolah-olah aku mendengarnya dari Jibril a.s. yang membacakannya kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. Kemudian diberikan oieh Allah tingkat yang lain, maka sekarang aku mendengarnya dari Mutakallim. Pada tingkatan ini, aku memperolah kelazatan dan keni'matan, yang tidak sabar aku jauh daripadaNya
Berkata Utsman dan Hudzaifah r.a.: "Kalau hati itu suci bersih, niscaya dia tidak kenyang-kenyang dari membaca Al-Qur'an". Mereka mengatakan demikian, karena dengan kesucian, hati itu meninggi kepada musyahadah Mutakallim pada KalamNya. Dan karena itulah, berkata Tsabit Al-Bannani: "Aku menanggung kesukaran pada pembacaan Al-Quran selama duapuluh tahun dan aku merasakan keni'matan dengan Al-Qur'an selama duapuluh tahun". Dan dengan musyahadah Mutakallim, tanpa lainNya, maka hamba itu adalah mengikuti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Fafirruu ila'llaah" - S.Adz-Dzariyat, ayat 50 Artinya: "Maka bersegeralah pergi kepada Allah'"( Dan karena firmanNya: "Wa laa taj'aluu ma'allaahi ilaahan aakhar". — S. Adz-Dzaariyat, ayat 51. Artinya: "Janganlah kamu adakan tuhan yang lain' disamping Allah".
Orang yang tiada melihat Allah Ta'ala pada tiap-tiap sesuatu, tentu melihat lainNya. Dan tiap apa saja yang dipandang oleh hamba kepadanya, selain Allah Ta'ala, niscaya pandangannya itu mengandung ' sesuatu dari syirk yang tersembunyi. Karena tauhid yang bersih, adalah tidak melihat pada tiap-tiap sesuatu, selain Allah 'Azza wa Jalla.
Kesepuluh: pelepasan. Saya maksudkan dengan pelepasan itu, ialah melepaskan diri dari daya dan upaya sendiri dan melepaskan diri daripada memandang kepada diri sendiri dengan pandangan kesenangan dan kesucian
Maka apabila membaca ayat-ayat yang mengandung janji kesenangan dan pujian bagi orang-orang baik (shalihin), maka tidaklah memandang dirinya yang demikian. Tetapi memandang bahwa orang-orang yang yakin dan yang shiddiq,yang dimaksudkan pada ayat-ayat itu. Dan mengharap kiranya dia dihubungkan oleh Allah 'Azza wa Jalla dengan orang-orang itu.
Apabila membaca ayat-ayat yang mengandung cacian dan celaan terhadap orang-orang yang durhaka dan yang lalai, maka memandang kepada dirinya berada disitu. Dan mengumpamakan bahwa dialah yang ditujukan,

karena takut dan mengharap dikasihani. Karena itulah Ibnu 'Umar r.a. berdo'a: "Ya Allah Tuhanku! Aku meminta ampun padaMu karena kezalimanku dan kekufuranku!"
Maka ditanyakan kepadanya: "Kezaliman itu benarlah, tetapi betapakah tentang kekufuran itu?" Maka Ibnu 'Umar r.a. membaca firman Allah 'Azza wa Jalla: إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
(Inna'l-insaana ladhaluumun ka'ffaar). - S. Ibrahim, ayat 34. Artinya: "Sesungguhnya manusia itu banyak kesalahannya (banyak kezalimannya) dan tiada tahu berterima kasih (banyak kekufuran)". Ditanyakan kepada Yusuf bin Asbatir. "Apabiia engkau membaca Al-Qur'an, dengan apakah engkau berdo'a?" Yusuf menjawab; "Dengan apakah aku berdo'a? Aku meminta  ampun pada Allah 'Azza wa Jalla, dari kelalaianku tujuh puluh kali".
Apabila melihat dirinya dalam bentuk keteledoran pada pembacaan Al-Qur'an, niscaya penglihatannya itu menjadi sebab untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala. Barangsiapa melihat kejauhan dalam dekat, niscaya melembutkannya kepada takut. Sehingga takut itu, membawanya kepada tingkat yang lain dalam kedekatan dibalik tingkat itu. Barangsiapa melihat kedekatan dalam jauh, niscaya membawa ia tertipu dengan keamanan, yang membawanya kepada tingkat yang lain dalam kejauhan itu, dibawah daripada apa yang ada padanya.
Manakala ia melihat dirinya sendiri dengan pandangan kesenangan, niscaya ia menjadi terhijab dengan dirinya sendiri. Apabila telah melewati batasan memandang kepada diri sendiri dan tidak memandang lagi selain kepada Allah Ta'ala dalam tilawah itu, niscaya terbukalah baginya rahasia alam ghaib (sirrul-malakut). Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani r.a.: "Berjanji Ibnu Tsauban dengan saudaranya untuk berbuka puasa padanya. Maka terlambatlah Ibnu Tsauban sampai kepada terbit fajar. Keesokan harinya. ia berjumpa dengan saudaranya itu, seraya bertanya kepadanya: "Engkau berjanji dengan aku, bahwa engkau berbuka puasa padaku, lalu engkau menyalahi janji itu".
Menjawab Ibnu Tsauban: "Kalau tidaklah aku berjanji dengan engkau, niscaya tidak aku ceriterakan kepada engkau, akan sebab yang menghambatkan aku daripada engkau. Sesungguhnya setelah aku mengerjakan shalat 'Isya', lalu aku bertanya kepada diriku sendiri: "Apakah aku mengerjakan shalat witir sebelum aku datang kepada engkau, karena aku tiada merasa terpelihara dari kematian yang akan datang. Tatkala aku dalam do'a witir, lalu terangkatlah kepadaku suatu taman yang hijau, didalamnya berbagai macam bunga-bungaan sorga.

Maka senantiasalah aku memandang kepadanya sehingga pagi hari". Segala yang tampak ini yang tampak dalam kasyaf - al-mukasya-fat), i'idak ada kecuali setelah melepaskan diri dari hawa- nafsu. Tidak menoleh kepadanya dan kepada segala  keinginannya.
Kemudian dikhususkan al-mukasyafat ini, menurut keadaan al-mu-kasyif yang memperoleh kasyaf). Maka dimana ia membaca ayat-ayat harapan (ar-roja') dan membanyakkan kegembiraan pada keadaannya, niscaya terbukalah baginya gambaran sorga. Lalu dipersaksikannya, seakan-akan dilihatnya dengar: mata kepala. Dan jikalau membanyak padanya ketakutan, niscaya diberikan kep'adanya kasyaf dengan neraka, sehingga ia melihat akan berbagai macam azabnya. Yang demikian itu, adalah karena Kalam Allah 'Azza wa Jalla melengkapi kepada mudah yang lemah-lembut, keras yang menggetarkan. yang diharapkan dan yang Jiiakutkan, yang mana itu menurut sifat-sifatnya. Karena sebahagian dari fat-sifatnya itu, adalah kerahmatan, ke lemah- lembutan, pembalasan dan kekerasan.
Maka dengan semata-mata menyaksikan kata-kata dan sifat-sifat, ialu bertukarlah hati dalam bermacam keadaan. Dan dengan semata-mata keadaan itu. maka sebahagian daripadanya menyediakan diri bagi mukasyafah. dengan sesuatu yang sesuai dengan keadaan itu dan yang rnenginibanginya. Karena mustahillah ada keadaan orang yang mendengar itu semacam dan yang didengar itu berbeda daripadanya. Karena padanya, ada kalam yang merelai. kaiam yang memarahi, kalam yang mcanugerakan keni'matan, kalam yang memberikan tuntutan pambalasan, kalam perkasa yang menyombong yang tidak memperdulikan dan kalam yang mempunyai kerahmatan, lemah "lembut yang tidak disia-siakan.
BAB KEEMPAT: tentang pemahaman Al-Our-an dan pentafsirannya  dengan buah pikiran tanpa naql (diambil dari Nabi صلى الله عليه وسلم, atau shahabat).
Semoga anda mengatakan.. bahwa aku telah mengagungkan pada keterangan yang lalu. tentang pemahaman rahasia-rahasia Al-Qur'an dan apa yang terbuka bagi orang-orang yang berhati suci, dari segala pengertian Al-Qur'an. Maka bagaimanakah disunatkan yang demikian? Sedang Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda:
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار  
(Man fassaral-qur-aana bi-riryhi fat-yata-bawwa" maq'adahu minar-naar). Artinya: "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya, maka sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka". (1).
Dan dari inilah. dilecehkan oleh ahli ilmu tafsir secara dlahir, akan ahli-ahli tasawuf, dari ahli-ahli tafsir yang dikatakan berminat kepada tasawuf, tentang penta'wilan kalimat-kalimat dalam Al-Quran, berbeda dari apa yang dinaqlkan dari Ibnu 'Abbas dan penafsir-penafsir yang lain. Dan mereka berpendapat, bahwa itu kufur.
Maka kalau benarlah. apa yang dikatakan oleh ahli tafsir tadi, maka apakah arti memahami Al-Quran selain daripada menghafal tafsirnya? Dan kalau yang demikian itu tidak benar, maka apakah artinya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم.: "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya, maka  sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api nereka?" (2).
Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang yang menda'wakan, tak ada pengertian bagi Al-Qur'an, selain dari  yang diterjemahkan oleh tafsir secara dhahir, maka dia itu adalah orang yang menerangkan tentang  batas dirinya. Dan dia itu betul pada menerangkan tentang dirinya, tetapi ia salah dalam hukum, dengan mengembalikan makhluk seluruhnya? kepada tingkatnya, yang menjadi batas dan tempatnya Bahkan hadits-hadits dan atsar menunjukkan, bahwa pada  pengertian Al-Qur'an itu adalah amat luas bagi orang-orang yang berpaham. Berkata 'Ali r.a.: "Melainkan, bahwa didatangkan oleh Allah akan hamba yang memahami akan Al-Qur'an". Kalau tidaklah ada selain dari terjemah yang dinaqlkan, maka apakah pemahaman itu? Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم.: "Sesungguhnya Al-Qur'an itu, mempunyai dhahir dan batin, batas dan permulaan" (3).
Diriwayatkan pula, yang demikian dari Ibnu Mas'ud yang dimauqufkan padanya(riwayat hadits itu terhenti pada Ibnu Mas'ud saja), sedang dia adalah dari ulama tafsir.

1.Dirawikan AtTirmidzi Dari Ibnu Abbas dan dipandangnya hadith Hassan.
2.Hadis Yang di Atas TAdi.   
3.Dirawikan Ibnu Hibban dari Ibnu Masud, Hadis Marfu

Maka apakah arti nya: dhahir dan batin batas dan permulaan'? Berkata 'Ali-dimuliakan Allah akan wajahnya —: "Kalau aku kehendaki, niscaya aku buatkan yang membebani tujuhpuluh ekor unta dari tafsir Al-Fatihah itu''.
Apakah artinya itu, sedang tafsir dhahirnya adalah sangat pendek? Berkata Abu'-Darda": "Tidak berpahamlah seseorang, kecuali ia membuat bagi Al-Quran beberapa wajah". Berkata setengah ulama: "Bagi tiap-tiap ayat itu enampuluh ribu paham dan apa yang masih tinggal dari pemahamannya itu, adalah lebih banyak lagi". Berkata sebahagian ulama yang lain: "Al-Qur'an itu mengandung tujuh puluh tujuh ribu dua ratus ilmu, karena tiap-tiap perkataan itu satu ilmu. Kemudian, berlipat ganda yang demikian itu empat kali. Karena tiap-tiap perkataan, mempunyai dhahir dan batin, batas dan permulaan". Diulang-ulangi oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم akanبسم الله الرحمن الرحيم  "Bismi'llahi'rrahmani'rrahim" duapuluh kali, tidak adalah yang demikian, kecuali untuk bertada'bbur akan batin pengertiannya. . Kalau bukanlah bagitu, maka penterjemahan dan penafsiran nya adalah jelas, tidak memerlukan bagi orang seperti Nabi صلى الله عليه وسلم. kepada mengulang-ulangi.
Berkata Ibnu Mas'ud r.a.: "Barangsiapa bermaksud kepada ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian,maka hendaklah ia bertada'bbur akan Al-Qur'an". Yang demikian itu, tidak akan berhasil dengan semata-mata tafsirnya yang dhahir saja.
Kesimpulannya, ilmu pengetahuan itu semuanya masuk dalam af'al Allah 'Azza wa Jalla dan sifat-sifatNya. Dan dalam Al-Qur'an itu penguraian ZatNya, af'alNya dan sifat-sifatNya. Dan segala pengetahuan tersebut, tak ada baginya kesudahan. Dan dalam Al-Qur'an itu, ada penunjukan kepada keseluruhannya dan tingkat-tingkat dalam mendalami perinciannya. yang kembali kepada pemahaman Al-Qur'an. Dan semata-mata tafsir dhahir, tidaklah menunjukkan kepada yang demikian. Tetapi tiap-tiap yang membawa kepada kesulitan bagi pemerhati-pemerbati dan bersehsih padanya orang banyak tentang pandangan dan pemikiran,maka didalam Al-Qur'an terdapat tanda-tanda (rumuz) dan penunjuk-penunjuk kepadanya, yang hanya ahli paham yang dapat mengetahuinya. Maka bagaimanakah dapat sempurna dengan demikian itu, terjemahan dhahirnya dan penafsirannya saja? Karena itulah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bacalah Al-Qur'an dan carilah yang ganjil-ganjil (ghara-ib) daripadanya". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang diriwayatkan Ali dimuliakan Allah akan wajahnya: "Demi Allah yang mengutuskan aku dengan sebenarnya menjadi nabi! Sesungguhnya akan bercerai-berai umatku dari pokok agamanya dan kumpulannya kepada tujuhpuluh dua golongan.
Semuanya sesat menyesatkan, yang membawa mereka kepada neraka. Apabila telah ada yang demikian, maka haruslah kamu berpegang teguh dengan Kitab Allah 'Azza wa Jalla (Al Quran). Karena didalamnya, berita orang-orang yang sebelum kamu dan berita terrtang apa yang akan datang sesudah kamu. Dan hukum yang dijalankan diantara kamu, oleh orang-orang yang berkuasa, yang menyalahi akan Al-Qur'an. Dia dibinasakan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Barangsiapa mencari ilmu yang lain dari Al-Qur'an. niscaya dia disesatkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Al-Qur'an itu, adalah tali Allah yang mahakokoh, nurNya yang menerangkan. obatNya yang bermanfa'at, pemeliharaan bagi orang yang berpegang dengan dia dan kelepasan bagi orang yang mengikutinya. Tiada ia bengkok maka AI-Qur-anlah yang meluruskan. Tiada ia menyeleweng maka Al-Quranlah yang membetulkan. Tidak akan habis-habis keaja'ibannya dan tidak akan diburukkan dia oleh banyak ulang-ulangan".......sampai akhir hadits (1).
Pada hadits Hudzaifah. tersebut: "Tatkala diceriterakan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم  kepada Hudzaifah, akan pcrselisihan dan pecrpecahan sesudahnya, dimana Hudzaifah menerangkan: "Lalu aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Apakah kiranya yang engkau suruhkan aku, kalau aku dapati masa itu?"'
Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab: "Pelajarilah Kitab Allah, laksanakanlah apa yang tersebut didalamnya. Maka itulah. yang mengeluarkan dari yang demikian!"
Menyambung Hudzaifah ceriteranya: "Maka aku ulangi pertanyaan itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tiga kali". Maka Nahi صلى الله عليه وسلم pun bersabda tiga kali: "Pelajarilah Kitab Allah 'Azza wa Jalla, lakksanakanlah apa yang tersebut didalamnya! Maka padanyalah kelepasan".
Berkata 'Ali — dimuliakan Allah akan wajahnya: "Barangsiapa memahami akan Al-Qur'an. niscaya ia telah menafsirkan akan sejumlah iimu-pengetahuan". Ditunjukkan oleh 'Ali dengan ucapannya itu, bahwa Al-Qur'an menunjukkan kepada kumpulan ilmu pengetahuan seluruhnya. Berkata Ibnu 'Abbas r.a. tentang firman Allah Ta'ala :
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
(Wa man yu'ta'l-hikmata faqad uutia khairan katsiiraa".) - S. Al-Baqarah. ayat 269.
Artinya: "Dan orang yang diberiNya hikmah (kebijaksanaan) itu. sesungguhnya telah diberi kebaikan yang banyak" - ya'ni: memahami akan Al-Qur'an.

1. Hadits ini gharib dan isnadnya majhul.
Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: 'Dan Kami memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukuman (yang lebih tepat) itu. Dan kepada masing-masing, kami berikan ilmu hukum  dan pengetahuan". — S. Al-Anbiya. ayat 79. Dinamakan apa yang diberikan oleh Allah Ta'ala kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). pengetahuan dan ilmu hukum dan dikhususkanNya bagi Sulaiman sendiri dengan mendalaminya, dengan nama: pemahaman Dan dijadikanNya mendahului kepada ilmu hukum dan pengetahuan.
Maka segala hal  tersebut menunjukkan, bahwa pada pemahaman segala pengertian Al-Qur'an itu jalan yang lapang dan tempat yang luas menyampaikan. Dan yang dinaqalkan dari penafsiran dhahir itu, tidaklah merupakan pengertian yang terakhir.
Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya......." dan larangan Nabi صلى الله عليه وسلم daripadanya dan ucapan A.bubakar r.a.: "Bumi mana pun yang menempatkan aku dan langit manapun yang  menaungi aku, apabila aku mengatakan pada Al-Qur'an menurut  buah pikiranku......." dan lain sebagainya, dari  apa yang datang pada hadits dan atsar, tentang pelarangan panafsiran Al-Qur'an dengan buah pikiran, maka itu tidak tersembunyi: adakalanya yang dimaksudkan dengan yang demikian, ialah: terbatas kepada naqal dan yang didengar saja, serta meninggalkan pemahaman dan kebebasan berpaham. Atau dimaksudkan: hal yang lain dari itu. Dan batillah benar-benar. kalau yang dimaksdkan dengan itu, bahwa tidak boleh seseorang memperkatakan tentang Al-Qur'an selain aaripada apa yang didengarnya, disebabkan karena beberapa segi.
Pertama: disyaratkan bahwa yang demikian itu, adalah didengar dari pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم, dan disandarkan kepadanya. Dan yang demikian, terrnasuklah yang tidak dijumpai, selain pada sebahagian saja dari Al-Qur'an. Adapun seperti  yang dikatakan oleh Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud dari pihaknya sendiri. maka seyogiaiah tidak diterima. Dan boleh dikatakan, bahwa itu adalah; penafsiran dengan buah pikiran, karena mereka tidak mendengarnya daripada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Dan begitu juga dengan shahabat-sahabat yang lain-direlai Allah kiranya mereka sekalian.
Kedua: para shahabat dan penafsir-penafsir (al-mufa'ssirin). berselisih tentang penafsiran sebahagian ayat. Mereka mengatakan berbagai macam perkataan yang berlainan, yang ridak mungkin dipersatukan. Dan mendengar semuanya itu dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم, adalah hal yang mustahil. Jikalau sstu yang didengar, maka tertolaklah yang selebihnya. Maka nyatalah, bahwa masing-masing penafsiran itu mengatakan tentang sesuatu pengertian, menurut apa yang zahir kepadanya, dengan pemahamannya.

Sehingga mereka mengatakan tentang huruf-huruf pada awal beberapa surat, tujuh macam perkataan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dipersatukan. Maka ada yang mengatakan, bahwa alif itu Allah, lam itu lath'f (lemah lembut) dan ra itu rahim.Dan ada yang mengatakan, lain dari itu. Dan mempersatukan (mengumpulkan) diantara semuanya, tidak mungkin. Maka bagaimanakah, adanya semuanya itu didengar?
Ketiga: bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم telah berdo'a untuk Ibnu 'Abbas r.a. dengan mengucapkan: "Ya Allah Tuhanku! Anugerahilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah dia penta'wilan!" Kaiau penta'wilan itu menurut yang didengar seperti ayat yang diturunkan dan dihafalkan seperti ayat itu, maka apakah artinya mengkhususkan Ibnu 'Abbas dengan demikian?
Keempat: bahwa Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Tentulah orang-orang yang memperhatikan itu, akan dapat mengetahui yang sebenarnya" - S An-Nisa' ayat 83. Maka diakuiNya adanya penelitian bagi ahli ilmu. Dan sesungguhnya diima'Iumi, bahwa yang demikian itu adalah tanpa mendengar.
Kesimpulan dari apa yang kami naqalkan dari atsar-atsar mengenai pemahaman Al-Qur'an, adalah berlawanan dengan khayalan itu. Maka batallah disyaratkan mendengar untuk penta'wilan. Dan bolehlah bagi tiap-tiap orang mengambil pemahaman dengan ketelitian (ber-istinbath) dari Al-Qur'an menurut kesanggupan pemahaman dan ketajaman akal pikirannya.
Adapun larangan, maka itu ditempatkan diatas salah satu dari dua segi.
Pertama: bahwa dia mempunyai pendapat tentang sesuatu dan kecondongan tabi'at dan hawa-nafsunya kepada sesuatu itu. Lalu dita'wilkannya Al-Qur'an menurut pendapat dan hawa-nafsunya tadi, untuk membuktikan benar maksud tujuannya. Dan kalau ia tidak mempunyai pendapat dan hawa-nafsu itu, niscaya tidak menampak pengertian itu baginya dari Al-Qur'an. Sekali, ini adalah disertai pengetahuan, seumpama orang yang mengambil dalil dengan sebahagian ayat Al-Qur'an untuk membenarkan bidahnya. Sedang ia tahu bahwa itu tidaklah yang dimaksudkan dengan ayat yang dibacakannya itu, tetapi di kacau- balaukannya untuk mengalahkan Iawannya. Sekali, adalah disertai kebodohan. Tetapi apabila ayat itu mempunyai kemungkinan, lalu condonglah pemahamannya kepada segi yang sesuai dengan maksudnya. Dan segi itu dikuatkannya dengan pendapat dan hawa-nafsunya. Maka ia telah menafsirkan Al-Qur'an menurut pendapatnya. Artinya: pendapatnya yang mendorong dia kepada penafsiran itu. Kalau tidaklah akal pikirannya, niscaya tidaklah menguat cara itu padanya. Dan sekali, kadang-kadang :a mempunyai maksud yang benar, lalu ia mencari dalil dari Al-Qur'an. Dan ia mengambil dalil dengan apa yang diketahuinya, bahwa sebenarnya tidaklah dimaksudkan dengan yang demikian. Seumpama orang yang berdo'a, minta diampunkan dosanya dengan makan sahur, lalu mengambil dalil dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bersahurlah, sesungguhnya pada bersahur itu mempunyai barakah".

Ia menda'wakan, bahwa yang dimaksudkan dengan itu, ialah bersahur dengan dzikir. Dan ia tahu, bahwa yang dimaksudkan ialah makan. Dan seumpama orang yang menyerukan kepada melatih (mujahadah) hati yang kesat, lalu ia mengatakan: "Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Pergilah kepada Fir'aun: sesungguhnya dia durhaka meliwati batas" - S. Tha Ha, ayat 24. Ditunjukkannya kepada hatinya dan diisyaratkannya, bahwa hatilah yang dimaksudkan dengan: Fir'aun.
Hal  yang seperti ini, kadang-kadang dipakai oleh sebahagian juru nasehat pada maksud-maksud yang benar. untuk membaguskan perkataan dan menyukakan pendengar, hal mana, adalah dilarang. Kadang-kadang dipakai oleh golongan batiniyah pada maksud-maksud yang salah, untuk menipu manusia dan mengajak mereka kepada alirannya yang batil, Maka ditempatkan oleh mereka akan Al-Qur'an, sesuai dengan pendapat dan alirannya, diatas hal-keadaan yang diketahui mereka benar-benar, bahwa tidaklah dimaksudkan dengan demikian.
Kepandaian-kepandaian yang seperti itu, adalah salah satu dari dua segi yang dilarang dalam menafsirkan menurut akal pikiran. Dan yang dimaksudkan dengan buah pikiran tadi, ialah: buah pikiran yang salah, yang sesuai dengan hawa-nafsu. tanpa ijtihad yang benar. Dan buah pikiran itu. terdiri dari: yang benar dan yang salah. Dan yang bersesuaian dengan hawa-nafsu, kadang-kadang dikhususkan juga dengan nama: buah-pikiran.
Segi kedua: bahwa bergegas-gegas kepada menafsirkan Al-Qur'an dengan yang dhahir saja dari bahasa Arab, tanpa dibantu dengan mendengar dan menaqalkan,tentang yang berhubungan dengan yang gharib-gharib dari Al-Qur'an, kata-kata yang tidak begitu jelas (lafadh mubham), kata-kata yang digantikan, yang diringkaskan, dibuang, disembunyikan, didahulukan dan dikemudiankan. Maka orang yang tidak berpegang teguh kepada yang dhahir dari penafsiran dan bersegera kepada mengambil pengertian dengan semata-mata pemahaman bahasa Arab, niscaya banyaklah salahnya. Dan masuklah dia dalam golongan orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikiran. Menaqalkan dan mendengar itu harus ada, pada yang dhahir dari penafsiran, pada pertama kali. Supaya terpelihara dari tempat-tempat yang mungkin mendatangkan kesalahan. Kemudian, sesudah itu, barulah meluas pemahaman dan penelitian. Yang gharib-gharib dari Al-Qur'an — yang tidak dipahami kecuali dengan mendengar - itu banyak. Akan kami tunjukkan sejumlah besar daripadanya. untuk dibuat menjadi dalil kepada yang lain-lain yang mcnyerupainya. Dan diketahuilah kiranya, bahwa tiada boleh dipermudah-mudahkan, dengan penghafalan pertama-tama tafsir yang dhahir. Dan tiada harapan akan sampai kepada yang batin, sebelum mengokohkan yang dhahir. Barangsiapa menda'wakan telah memahami segala rahasia Al-Qur'an dan tiada teguh mengetahui tafsir yang dhahir, maka dia adalah seperti orang yang menda'wakan telah sampai kedalam rumah, sebelum melewati pintu. Atau menda'wakan telah memahami segala maksud orang-orang Turki dari percakapan mereka, sedang dia tidak mengerti bahasa Turki.
Sesungguhnya tafsir yang dhahir itu berlaku seperti pengajaran bahasa, yang tak boleh tidak untuk pemahaman. Dan yang tak boleh tidak, yang diperoleh dari mendengar itu, mempunyai banyak kepandaian. Sebagian dari padanya: menyingkatkan dengan dibuang dan disembunyikan, seperti firman Allah Ta'ala: وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا (Wa atainaa tsamuudan-naaqata mubshiratan fadha-lamuu bihaa) — S. Ai-Isra', ayat 59.
Kalau menurut kata-katanya, maka dapat diartikan: "Kami berikan kepada Tsamud unta betina yang melihat jelas, lalu mereka berbuat zalim dengan unta betina itu" Yang dimaksudkan: bukan unta betina yang melihat jelas (mubshiratan), tetapi ada kata-kata yang dibuang sebelum mubshiratan, yaitu: ayatan. Sehingga artinya menjadi: suatu tanda bukti yang menampak jelas. Begitu pula: mereka berbuat zalim dengan unta betina itu, maksudnya dengan: membunuhnya.
Orang yang melihat kepada yang dhahir dari bahasa Arab, menyangka, bahwa yang dimaksudkan, ialah: unta betina itu yang melihat jelas, tidak dia itu buta. Dan ia tidak mengetahui: dengan apa mereka itu menganiayakan (berbuat zalim). Dan apakah mereka itu berbuat aniaya kepada orang lain atau kepada diri mereka sendiri.
Dan firman Allah Ta'ala:وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ "Wa usyribuu fii QuluubihimuTijla bikufrihim" - S. Al-Baqarah, ayat 93.
Artinya: "Diminumkan mereka didalam hatinya, akan anak lembu, dengan sebab kekafirannya". Ya'ni: mencintai anak lembu dan kata-kata: mencintai itu, dibuang. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla:إِذًا لأذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ  "Idzan la-adzaqnaaka dli'fa-hayati wa dli'fa'lmamaati". - S. Aisra', ayat 75. A.rtinya: "Kalau hal itu terjadi, tentulah akan Kami rasakan kepada engkau berlipat ganda kehidupan dan berlipat ganda kematian". Ya'ni: berlipat ganda azab bagi segala orang yang hidup dan berlipat ganda azab bagi segala orang yang mati. Maka dibuang kata-kata: azab. Dan digantikan kata-kata al-ahya' (orang-orang yang hidup) dan al-mauta (orang-orang yang mati), dengan menyebutkan: al-hayati (kehidupan) dan al-mauti (kematian).Semuanya itu dibolehkan dalam kefasihan bahasa. Dan firman Allah Ta'ala:
Artinya menurut kata-kata: "Bertanyalah kepada negeri tempat kami berada atau kepada kafilah yang serombongan pulang dengan kami". Ya'ni: kepada penduduk negeri (ahli'l-qaryah) dan yang punya kafilah (ahirHr). Maka kata-kata: al-anli pada keduanya: dibuang, disembunyikan Dan firman Allah Azza wa Jalla:ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Tsaqulat fi'ssanisawaati wa'l-ardli) - S. Al-A'raf, ayat 187. Artinya secara dhahir kata-kata: "Beratlah dia (kiamat) itu dilangit dan dibumi". Pengertian: "Sangat tersembunyilah kiamat itu kepada penduduk langit dan bumi. Dan sesuatu itu apabila tersembunyi, niscaya berat. Lalu digantikan kata-kata: tersembunyi dengan kata-kata: berat. Dan ditempatkan pada  tempat yang diatas Lalu disembunyikan kata-kala 'al-ahli" (penduduk) dan dibuang.
Dan firman Allah Ta'ala أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ ,  وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ "Wa taj'aluuna rizqakum a'nnakum tukadz-dzibuun" - S. Al-Waqi'ah, ayat 82. Artinya menurut kata-kata: "Kamu jadikan rezekimu untuk mendustakan (kebenaran) .' Ya'ni: kesyukuran dari rezekinu;.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla.وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ آتِنَا مَا  "Aatinaa maa wa'attanaa alaa rusulika" - S. Ali 'Imran, ayat 194. Artinya: "Berikanlah kami apa yang telah Engkau janjikan dengan perantaraan rasul-rasul Engkau", ya'ni: dengan perantaraan lisan rasul-rasul  Engkau. Maka kata-kata: lisan itu dibuang. Dan firman Allah Ta'ala: "Irmaa anzalnaahu fiilailati'l-qadr" - S Al-Qadr, ayat 1. Artinya: 'Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan (lailatul-qadr)" - dimaksudkan yang diturunkan itu, ialah: Al-Qur'an dan apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Ha't-taa tawaarat bil-hijaab" - S. Shad, ayat 32. Artinya: "Sehingga ia tersembunyi dengan tabir (malam)". Yang dimaksudkan ialah: matahari dan apa-apa yang telah disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah Ta'ala: "Wa lladziina'ttakhadzuu min duunthi auliaa-a maa na' buduhum illaa liyu-qa'rribunaa ilallahi zulfaa — S. Az-Zumar, ayat 3. Artinya: "Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindurng selain dari Tuhan itu: Kami tiada menyembahnya melainkan untuk membawa kami lebih dekat kepada Allah". Ya'ni: mereka mengatakan: kami tidak menyembahnya.........
Dan firman Aila Azza wa. Jalla: "Tetapi mengapa orang-orang itu tidak mengerti akan sesuatu kejadian? Apa-apa kebaikan yang engkau peroleh itu, datangnya dari Allah dan apa-apa bahaya yang menimpa engkau itu, berasal dan dirimu sendiri" - S. An-Nisa', ayat 78 dun 79. Maksudnya: mereka tiada mengerti sesuatu kejadian, dimana mereka itu mengatakan: apa-apa kebaikan yang engkau peroleh itu,datangnya dari Allah. Kalau bukan begitu maksudnya. artinya: menambahkan kata-kata: dimana mereka itu mengatakan. maka adalah berlawanan dengan firman Allah Ta'ala: 'Katakanlah! Semuanya daripada Allah" - S. An-Nisa', ayat 78. (Dalam ayat yang baru tadi diatas). Dan mazhab "Al-Qa-dariah" telah dahulu kepada pemahaman daripadanya.

Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah yang dinaqalkan, lagi terbalik, seperti firman Allah Ta'ala: "Wa thuuri siinisn" - S Attin, ayat 2. Artinya: Thur Sina! Dan firman Ailah Ta'ala: "Saiaarnun 'alaa il Yaasin - S. Ash-Shaffat, ayat 130. Artinya: Keselamatan untuk Ilyas.Dan ada yang mengatakan: untuk Idris, karena menurut huruf tulisan Ibnu Mas'ud: Salamun 'ala Idrasin". Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah berulang-ulang. yang memutuskan sambungan kalirnat (kalam) pada dhahir, seperti firman Allah Azza wa Jalla: "Tiadalah diikuti oleh mereka yang menyembah sekutu-sekutu, selain Allah; tiadalah mereka ikuti, selain daripada persangkaan saja" - S, Yunus, ayat 66. Maksudnya: Tiada diikuti oleh mereka yang menyembah sekutu-sekutu, melainkan persangkaan saja.
Dan firman Allah Azza wa Jalla: "Berkatalah beberapa orang yang menyombong dari kaumnya kepada mereka yang lemah, kepada orang yang beriman daripada mereka" - S. Al-A'raf. ayat 75. Maksudnya: Berkata mereka yang sombong kepada orang yang beriman dari orang-orang yang lemah.
Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu. ialah didahulukan dan dikemudiankan. Dan inilah menjadi tempat sangkaan bagi kesalahan, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan jikalau tidaklah perkataan telah terdahulu dari Tuhanmu, sesungguhnya adalah (hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan) dan waktu yang ditetapkan"- S. Tha Ha, ayat 129. Maksudnya: "Jikalau tidaklah perkataan dari Tuhan dan waktu yang ditetapkan, niscaya sesungguhnya adalah (hukuman) itu sudah semestinya (dicepatkan). Dan kalau tidak, niscaya ia ditegakkan, seperti yang semestinya".
Dan berfirman Allah Ta'ala: "Mereka bertanya kepada engkau, seakan-akan engkau dapat menerangkan nya "-S.Al-A'raf, ayat 187. Ya'ni: mereka menanyakan engkau dari hal (kiamat), seakan-akan engkau dapat menerangkannya.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran" - S. Al-Anfal, ayat 4 dan 5. Kalam tersebut tidak bersambung. Dan kembali kepada firmanNya yang lalu, yaitu: Quli'l-anfaalu li'llaahi wa'rrasuul" — S. Al-Anfal, ayat 1. Ya'ni: Katakanlah, segala rampasan perang itu, kepunyaan Allah dan Rasul. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran! Artinya: maka jadilah segala rampasan perang itu untuk engkau, karena engkau menyetujui dengan keluar engkau , sedang mereka itu (segolongan dari orang mu'min) tidak menyukai. Maka membelintanglah diantara Kalam itu. amar (disuruh) dengan taqwa dan lainnya.
Dan sebahagian dari macam ini, ialah Firman Allah 'Azza wa Jalla: "Sehingga kamu beriman dengan Allah Tuhan Yang Mahaesa, kecuali kata Ibrahim kepada ayahnya......sampai akhir ayat". S. Al-Mumtahanah,ayat 4.
Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, kata-kata mubham (tidak begitu tegas), yaitu: kata-kata yang digunakan diantara beberapa pengertian, dari kata-katanya atau dari hurufnya. Adapun kata-kata, maka seperti: sesuatu (asy-syai'), teman (alqarin), umat (al-ummah), nyawa (ar-ruh) dan lain-lain sebagainya. Berfirman Allah Ta'ala: "Allah Ta'ala membuat perumpamaan, yaitu seorang hamba sahaya kepunyaan (orang lain), tidak berkuasa atas sesuatu" - S. An-Nahl, ayat 75. Dimaksudkan dengan sesuatu itu, yaitu: perbelanjaan dari apa yang diberikan rezeki kepadanya.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan Allah Ta'ala membuat perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu" — S. An-Nahl, ayat 76. Ya'ni: suruhan dengan keadilan dan kelurusan.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kalau engkau mengikuti aku, maka janganlah ditanyakan kepadaku tentang sesuatu" - S. Al-Kahf, ayat 70. Yang dimaksudkan dengan sesuatu itu, dari sifat-sifat ketuhanan, yaitu: ilmu yang tidak boleh ditanyakan. Sehingga orang yang mengetahuinya, memulai pada waktu yang mustahak.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Merekakah yang diciptakan dari tiada suatu apa ataukah mereka yang menciptakan?" - S. Ath-Thur, ayat 35. Ya'ni: dari tanpa khaliq (Pencipta). Kadang-kadang meragukan, bahwa itu menunjukkan kepada: tidak diciptakan sesuatu, melainkan dari sesuatu. Tentang al-qarin (teman), maka seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Berkata temannya (qarin-nya): Yang didekatku ini telah siap sedia-catatan amalannya. Diperintahkan Lemparkanlah kedalam neraka setiap orang yang kafir" - S. Qaf, ayat 23 dan 24. Yang dimaksudkan dengan al-qarin itu, ialah: malaikat yang diserahkan tugas menuliskan segala pekerjaannya. "
Firman Allah Ta'ala: 'Temannya (qarinnya) berkata: Wahai Tuhan kami! Aku tiada membawanya kepada kejahatan, tetapi dia sendiri berada dalam kesesatan yang jauh itu" - S. Qaf, ayat 27. Yang dimaksudkan dengan teman (al-qarin) disitu, ialah: setan.

Tentang umat (al-ummah), -maka ditujukan kepada delapan macam:
1.Umat dengan arti: sekumpulan, seperti firman Allah Ta'ala: "Didapatinya disana sekumpulan (ummatan) orang yang sedang memberi minum (binatangnya)" — S. AI-Qashash, ayat 23.
2.Dengan arti: pengikut nabi-nabi, seperti kita katakan: Kami ini dari umat (pengikut) Muhammad  صلى الله عليه وسلم
3.Dengan arti; seorang yang berkumpul padanya sifat-sifat yang baik, yang diikuti, seperti firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya Ibrahim adalah (ummatan) yang patuh kepada Allah" - S. An-Nahl, ayat 120.
4.Dengan arti: agama, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kami dapati bapa-bapa kami mengikuti suatu agama (ummatin)"— S. Az-Zukhruf, ayat 22
5.Dengan arti: waktu dan masa, seperti finnan Allah 'Azza wa Jalla: "Kalau Kami undurkan dari mereka siksaan itu, sampai waktu yang ditentukan (ummatin ma'duudah)" S - Hud, ayat 8. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kemudian baru teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa lama (ba'da ummatin)" - S. Yusuf ayat 45.
6.Dengan arti: bentuk badan (al-qamah), seperti dikatakan: Si Anu itu bentuk badannya bagus (husnu'l-ummah).
7.Dengan arti: seorang yang sendirian dengan sesuatu agama, tidak ada seorangpun yang lain bersama dia menganut agama itu, seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Diutuskan Zaid bin 'Amr bin Nufail sebagai umat yang sendirian".
8.Dengan arti: ibu, seperti dikatakan: Ini, ibu si Zaid (Ummatu Zaid), artinya: ummu (ibu) Zaid.
Ruh (nyawa) juga terdapat dalam Al-Qur'an, dengan pengertian yang banyak dan tidak kami panjangkan penjelasan nya.
Begitu pula, kadang-kadang terdapat yang meragukan pada huruf-huruf, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla:
 فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا  فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا
(Fa-atsarna bi-hi naq'an, fa wasathna bi-hi jam'aa) - Al-'Adiyat, ayat 4 dan 5. Artinya: "Maka menerbangkan debu dan menembus ketengah-tengah orang banyak". Maka ha pertama (hi pada bi-hi pertama), adalah tunjukan yang tidak tegas (kinayah) dari kuku-kuku hewan (kuda), yang betlari kencang, menginjakkan batu-batu, yang menerbitkan api. Ya'ni: "Atsarna bi'l-hawaafiri naq'an" - Artinya: Menerbangkan debu dengan kuku-kuku hewan itu". Ha kedua (hi pada bi-hi kedua) adalah kinayah dari penyerbuan (al-igharah), yaitu: yang menyerbu dipagi hari. Lalu menyerbu ditengah-tengah kaum musyrikin (musuh). sehingga dapat discrang semua mereka itu.

Dan firman Allah Ta'ala: "Lalu Kami turunkan daripadanya air", ya'ni: awan. Lalu Kami keluarkan dengan sebabnya berbagai macam buah-huahan, ya'ni: air ". - S. AI-A'-raf. ayat 57. yang seperti itu dalam Al-Qur'an, adalah tidak terhingga banyaknya. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah: beransur-ansur memberi penjelasan (at-tadrij fil-bayan), seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Bulan Ramadlan, yang diturunkan padanya Al-Quran" - S. Al-Baqarah, ayat 185. Karena tidak jelas dengan itu, apakah malam atau siang. Lalu jelaslah dengan firmanNya Allah 'Azza wa Jalla: "Sesungguhnya Kami turunkan Al-Quran itu pada malam yang diberkati" S. Ad-Dukhan, ayat 3. Dan tidak dijelaskan dengan itu, pada malam apa? Lain jelaslah dengan firmanNya Ta'ala: "Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Ouran itu, pada malam kemuliaan (lailatu'l-qadar)" - S. Al Qadar, ayat 1. Kadang-kadang timbul persangkaan, bahwa pada dhahirnya. terdapat pertentangan diantara ayat-ayat itu.
Maka yang tersebut itu dan yang menyerupainya, adalah termasuk hal yang tidak mencukupi, kecuali dengan naqal dan mendengar. Dari itu, Al-Quran dan permulaannya sampai kepada penghabisan nya, tiada terlepas dan hal yang semacam itu. Karena dia diturunkan dengan bahasa Arab, waka ia melengkapi dengan segala macam susunan kata mereka, dari: dipersingkat dan diperpanjang, disembunyikan dan dibuang, digantikan. didahulukan dan dikemudiankan. Supaya adalah yang demikian itu memuaskan bagi mereka dan melemahkan mereka untuk menirunya (karena Al-Qur'an itu mu'jizat Nabi صلى الله عليه وسلم Maka tiap-tiap orang yang merasa cukup dengan memahami yang dhahir saja dan bahasa Arab dan bersegera menafsirkan Al-Qur'an dan dia tidak meminta bantuan dengan mendengar dan menaqalkan dalam segala hai itu, niscaya ia masuk dalam golongan orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya. Seumpama ia memahami dari perkataan "ummah" akan pengertian yang lebih terkenal, lalu condonglah tabi'at dan pendapatnya kesitu.
Apabila ia mendengar pada tempat lain, lalu condonglah pendapatnya kepada yang didengarnya itu daripada pengertiannya yang terkenal. Dan ia tinggalkan menyefidiki naqal pada kebanyakan dari pengertian Al-Qur'an itu.
Hal ini, tidak mungkin dilarang, tanpa memahami rahasia pengertian Al-Qur'an, sebagaimana telah diterangkan dahulu.

Apabila telah memperoleh pendengaran, dengan contoh-contoh hal itu, niscaya ia telah mengetahui tafsir secara dhahir. Yaitu: terjemahan kata-kata. Dan yang demikian itu, tidak mencukupi untuk memahami hakikat pengertian Al-Quran. Dan dapat diketahui perbedaan antara: hakikat pengertian dan tafsiran dhahir, dengan contoh.Yaitu: Allah Ta'ala berfirman: وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى (Wa maa ramaita idz ramaita wa laaki'nna'llaaha ramaa). S. Al-Anfal, ayat 17. Artinya: "Bukan engkau yang melemparkan ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar". Maka tafsiran dhahiriahnya itu jelas dan hakikat pengertiannya itu sulit. Karena disitu, terdapat adanya lempar dan tidak adanya lempar. Dan keduanya adalah berlawanan pada dhahiriyahnya, selama tidak dipahami, bahwa dia melempar dari satu segi dan tidak melempar dari satu segi. Dan dari segi dia tidak melempar, maka dilemparkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Begitu pula, firman Allah Ta'ala: قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ (Qaatiluuhum yu'adz-dzib-humu'llaahu bi-aidiikum)  S. Al-Bara'ah(AtTaubah), ayat 14. Artinya: 'Terangilah mereka, Allah akan menyiksa mereka dengan tanganmu". Apabila mereka itu yang berperang, maka bagaimanakah Allah s.w.t. itu yang mengazabkan? Dan kalau Allah Ta'ala yang mengazabkan dehgan menggerakkan tangan mereka, maka apakah artinya mereka itu disuruh berperang?
Maka hakikat pengertian ini dapat dipahami dari lautan besar ilmu-mukasyafah, yang tidak mencukupi dengan tafsiran dhahir saja. Yaitu: hendaklah diketahui: segi ikatan af'al dengan qudrah yang baharu dan memahami segi ikatan qudrah. itu dengan Qudrah Allah 'Azza wa Jalla. Sehingga, setelah jelas beberapa hal yang banyak, -yang sulit-sulit, menjelaslah kebenaran firmanNya 'Azza wa Jalla: "Wa maa ramaita idz ramaita wa laaki'nna'llaa ha ramaa" tadi.
Kalau sekiranya seluruh umur dipergunakan untuk menyingkap segala rahasia pengertian itu dan apa yang bersangkutan dengan segala mukaddimah dan hubungannya, niscaya habislah umur itu, sebelum sempurna segala hubungannya. Dan tidak satu kata pun dari Al-Qur'an, melainkan untuk membentangkan hakikatnya, memerlukan kepada yang seperti itu, Dan sesungguhnya terbuka bagi orang-orang yang mendalam pengetahuanya, segala rahasia Al-Qur''an, menurut banyaknya ilmu pengetahuan mereka, bersihnya hati mereka, sempurnanya faktor-faktor yang membawa kepada pemahaman dan semata-matanya mereka untuk mempelajari Al-Qur'an. Dan masing-masing mempunyai batas pada ketinggian, sampai kepada derajat yang tertinggi daripadanya Adapun derajat kesempurnaan, maka jangan diharapkan. Kalaulah lautan itu menjadi tinta dan pohon-pohon menjadi pena, maka sesungguhnya rahasia Kalam Allah, tak ada kesudahan baginya. Maka habislah segala lautan, sebelum habis Kalam Allah 'Azza wa Jalla.

Maka dari segi ini, berlebih-kuranglah manusia pada pemahaman, sesudah sama-sama mengetahui tafsiran dhahir. Dan tafsiran dhahir itu, tidaklah mencukupi. Contohnya seperti pemahaman sebahagian Arba-bi'l-qulub (para ulama yang mempunyai hati untuk berpikir) dari bacaan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam sujudnya: "أعوذ برضاك من سخطك وأعوذ بمعافاتك من عقوبتك وأعوذ بك منك لا أحصى ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك Aku berlindung dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu. Aku berlindung dengan kema'afanMu dari siksaanMu. Aku berlindung dengan Engkau daripada Engkau.Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana Engkau pujikan akan Engkau sendiri". Sesungguhnya dikatakan kepadanya: "Sujudlah dan dekatkanlah diri!"
Maka terdapatlah pendekatan diri dalam sujud, lalu diperhatikan kepada sifat-sifat. Maka diminta perlindungan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain.
Kerelaan dan kemarahan adalah dua sifat. Kemudian bertambahlah mendekatnya, Lalu masuklah pendekatan pertama padanya, maka. meninggilah kepada zat. Maka ia membacakan: "Aku berlindung dengan Engkau daripada Engkau". Kemudian bertambah mendekatnya dengan apa yang ia malukan, dari perlindungan diatas hamparan pendekatan. Maka ia bersandar kepada pemujian, lalu dipujinya dengan mengucapkan: "Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau". Kemudian ia tahu, bahwa yang demikian itu masih kurang, lalu ia mengucapkan: "Sebagaimana Engkau pujikan akan Engkau sendiri". Maka inilah gurisan-gurisan yang terbuka bagi Arbabi'l-qulub. Kemudian dibalik itu, gurisan-gurisan itu mempunyai lapisan yang dalam. Yaitu: pemahaman arti pendekatan, dan pengkhususannya dengan sujud. Pengertian berlindung dari suatu sifat dengan sifat yang lain dan daripada Dia dengan Dia.
Rahasia itu adalah banyak. Dan tafsiran menurut kata-kata secara dhahir, tidaklah menunjukkan kepadanya. Dan tidaklah ia berlawanan bagi tafsir dhahiriyah itu. Tetapi menyempurnakan dan menyampaikan kepada isinya dari dhahiriyahnya.
Inilah yang kami bentangkan untuk memahami pengertian-pengertian batin. Tidak kami bentangkan apa yang berlawanan dengan yang  dhahir. Dan Allah yang Maha-mengetahuinya!
Telah sempuma Kitab Adab Tilawah. Dan segala pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam. Dan selawat. dan salam kepada Muhammad, kesudahan nabi-nabi dan kepada tiap-tiap hamba pilihan dari seluruh alam dan kepada keluarga Muhammad dan shahabatnya dan selamatlah kiranya!
Akan diiringi Insya AllahTa'alaoleh "Kitab Dzikir dan Do'a". Dan Allah tempat meminta pertolongan. Tidak ada Tuhan, selain Dia!


TAMAT J1-K08


Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...