Mengetahui dengan segala af'al Allah Ta'ala
RUKUN KETIGA : Mengetahui dengan segala af'al Allah Ta'ala.
Dan berkisar atas sepuluh pokok.
Pokok Pertama :
mengetahui bahwa tiap-tiap yang baharu pada 'alam adalah perbuatan (af'al)
Allah, yang dijadikan dan yang diciptakanNya. Tak adalah khaliq bagi alam itu
selain Dia. Tak adalah yang menjadikan makhluk, melainkan Dia. Dia yang
menjadikan makhluk, yang membuatnya dan yang mengadakan qudrah dan gerak bagi
makhluk itu.
Maka
sekalian af'al hambaNya adalah makhlukNya dan bergantung dengan qudrahNya, hal
mana dibenarkan yang demikian pada firmanNya :
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
(Allaahu
khaaliqu kulli syai-in).Artinya :"Allah itu pencipta segala sesuatu
". (S. Ar-Ra'd, ayat 16)!
Dan
pada firmanNya :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا
تَعْمَلُونَ
(Wallaahu
khalaqakum wa maa ta'maluun). Artinya :"Dan sesungguhnya Tuhanlah yang
menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (S. Ash-Shaffat, ayat 96).
Dan
pada firmanNya :
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ
اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
(Wa
asirruu qaulakum awijharuu bihi, innahuu 'aliimun bidzaatish shuduuri. Alaa
yaiamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).Artinya :"Kamu rahasiakan
perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terangan, sesungguhnya Tuhan itu
mengetahui isi hati. Tiadakah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya? Dan
Dia Maha lemah-lembut dan Maha mengerti" (S,Al-Mulk, ayat 13 -14).
DisuruhNya
hambaNya berhati-hati pada pembicaraan, perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena
Ia mengetahui tempat kedatangan segala perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil
atas pengetahuanNya dengan makhlukNya.
Bagaimanakah
tidak Allah itu yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang qudrahNya adalah
maha-sempurna, tak ada kekurangan padanya dan qudrah itu menyangkut dengan
gerak tubuh hambaNya dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan
menyangkut qudrah dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerak itu sendiri?
Maka apakah yang menghambat sangkutannya qudrah dari sebahagian gerak dan tidak
pada sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama? Atau bagaimanakah hewan itu
berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan
hewari-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan
orang-orang yang berfikiran tinggi? Bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya
tanpa Tuhan seru sekalian alam? Padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui secara
terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu!
Wahai
kiranya, hinalah segala makhluk itu! Dia sendirilah yang berkuasa di alam
al-mulki dan di alam al-malakut, maha perkasa mengatur bumi dan langit. (1).
1. Alam al-mulki : ialah alam Ini yang dapat kita
persaksikan dengan pancaindra kita, seperti
: langit, bumi dan lain-lain.
Alam al-malakut: ialah alam yang tidak dapat kita
persaksikan dengan pancaindra kita,
seperti : sorga, neraka, 'arasy dan lain-lain (peny).
Pokok Kedua :
bahwa Allah sendirilah yang maha-suci, menjadikan segala gerak hambaNya, yang
tidak dikeluarkannya gerak-gerak itu dari kekuasaan hambaNya sendiri atas jalan
usaha. Tetapi Allah Ta'ala yang menjadikan qudrah hamba (kuasa) dan yang
dikuasai-nya. Dialah yang menjadikan usaha (ikhtiar) dan yang diusahakan.
Adapun
qudrah adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi Tuhan yang maha suci dan
tidaklah qudrah itu dengan usaha hamba sendiri.
Adapun
gerak maka adalah makhluk bagi Allah Ta'ala, sifat dan usaha bagi hamba. Gerak itu dijadikan, yang
dikuasakan dengan sebab qudrah, di mana ia menjadi sifat bagi
hamba. Gerak itu mempunyai hubungan kepada suatu sifat yang lain, yang
dinamakan qudrah. Lalu gerak tadi dengan memandang kepada hubungan itu,
dinamakan usaha.
Bagaimanakah
gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat diketahui akan
perbedaan, diantara gerak yang diku-asai dan gerak mudah yang biasa? Atau
bagaimanakah usaha itu dijadikan oleh hamba, padahal tidak meliputi ilmunya
dengan segala perincian bahagian gerak-gerak yang diusahakan dan jumlah bilangannya?
Apabila
batillah kedua tepi itu (paksaan semata atau dijadikan oleh hamba sendiri) maka
tidak adalah yang tinggal, selain yang sederhana dalam kei'tiqadan. Yaitu bahwa
gerak itu diqudrahkan dengan qudrah Allah Ta'ala sebagai ciptaan dan dengan
qudrah hamba atas segi yang lain dari hubungan, yang disebut dengan usaha. Dan
tidaklah dengan mudah dipahami, hubungan qudrah dengan yang diqudrahkan itu,
bahwa adanya dengan ciptaan saja. Karena qudrah Allah Ta'ala pada azali telah
ada berhubungan dengan alam. Dan tidaklah ciptaan itu berhasil dengan qudrah,
di mana qudrah ketika ciptaan itu berhubungan dengan alam dalam macam hubungan
yang lain. Maka dengan itu, nyatalah bahwa hubungan qudrah, tiadalah ditentukan
dengan berhasilnya yang diqudrahkan dengan qudrah itu.
Pokok Ketiga :
bahwa pekerjaan hamba meskipun itu adalah usaha hamba sendiri, tetapi tidaklah
keluar dari adanya dengan kehendak Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Maka tidaklah
berlaku dr alam nyata (alam al-mulki)dan alam yang tidak nyata (alam
al-malakut), suatu kerlingan mata, suatu lintasan di hati dan sejenak pandangan
orang yang memandang, melainkan adalah dengan qadha, qudrah, iradah dan
kehendakNya. DaripadaNyalah yang buruk dan yang baik, yang bermanfa'at dan yang
melarat, Islam dan kufur, mengakui dan mengingkari, kemenangan dan kerugian,
kesesatan dan petunjuk, tha'at dan ma'siat, syirik dan iman. Tak ada yang
menolak bagi qadhaNya. Tak ada yang menentang bagi hukumNya. Disesatkan-Nya
akan siapa yang dikehendakiNya daun ditunjukiNya akan siapa yang
dikehendakiNya. Tiadalah Dia ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya, sedang
mereka itu (kita manusia ini) ditanyakan.
Ditunjukkan
kepada yang tersebut, dari dalil naqli (yang dinukilkan) ialah kata ummat
seanteronya : "Apa yang dikehendakiNya ada dan apa yang tidak
dikehendakiNya tidak ada". Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :
أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى
النَّاسَ جَمِيعًا
(An
lau yasyaaullaahu lahadan naasa jamii'aa).Artinya :"Bahwa kalau Allah
berkehendak, niscaya ditunjukiNya manusia seluruhnya". (S. Ar-Ra'd, ayat
31).
Dan
firmanNya :
وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ
نَفْسٍ هُدَاهَا
(Walau
syi'-naa la-aatainaa kulla nafsin hudaahaa).Artinya :" Dan kalau
Kami kehendaki, niscaya Kami berikan pimpinan yang benar kepada setiap diri
" (S. As-Sajadah, ayat 13).
Ditunjukkan
kepada yang tersebut, dari segi 'aqli (dalil akal) ialah, bahwa perbuatan
ma'siat dan dosa adalah Allah membencinya dan tidak menghendakinya. Dan adalah
perbuatan-perbuatan itu berlaku sesuai dengan kehendak musuh Iblis, yang telah
kena kutukan Tuhan, di mana dianya adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai
dengan kehendak musuh adalah lebih banyak daripada yang berlaku atas yang
sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala.
Wahai
kiranya!!, bagaimanakah seorang muslim membolehkan akan menolak kekuasaan Tuhan
Yang Maha Perkasa, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan, kepada derajat, di
mana kalau sekiranya ditolakkan kepadanya pimpinan seorang pemimpin desa,
niscaya tiada mau ia menerimanya! Karena jikalau yang tetap menjadi musuh bagi
pemimpin itu di dalam kampung, lebih banyak daripada yang berdiri di
belakangnya, maka yang banyak itu tidak mau menerima kepemimpinannya. Dan
melepaskan dirinya daripada kekuasaannya.
Perbuatan
ma'siat adalah yang lebih banyak bagi makhluk, Semuanya itu berlaku pada
ahli-ahli bid'ah, menyalahi dengan iradah Allah. Ini adalah menunjukkan paling
lemah dan tiada bertenaga. Maka maha-sucilah Tuhan seru sekalian alam dari
perkataan orang dhalim itu!.Kemudian, manakala telah nyata bahwa
perbuatan-perbuatan hamba itu adalah makhluk Allah, maka shahlah terjadinya
perbuatan-perbuatan itu atas kehendakNya.
Jikalau orang bertanya :-"Bagaimanakah Tuhan melarang apa yang dikehendakiNya
dan menyuruh apa yang tiada dikehendakiNya?".
Maka kami menjawab "Suruh (amar) adalah lain dari kehendak (iradah). Dari
itu, apabila seorang tuan memukul hamba sahayanya, lalu dia dimarahi oleh
sultan atas perbuatannya itu, maka ia mengemukakan alasan bahwa hamba sahayanya
itu melawan kepadanya. Maka ia didustakan oleh sultan, lalu ia bermaksud
menerangkan kebenaran alasannya, dengan menyuruh hamba sahaya itu dengan
sesuatu pekerjaan dan budak itu melawannya dihadapan sultan. Maka berkatalah ia
kepada budak itu : "Pasanglah pelana hewan itu dihadapan sultan",
Maka
disuruhnya budak itu perbuatan yang tidak dikehendakinya supaya budak itu
menurutinya. Kalau tidak disuruhnya maka ke-beratannya tidak diterima oleh
sultan. Dan kalau orang itu berkehendak budak itu menurutinya, maka adalah
orang itu bermaksud membinasakan dirinya sendiri. Dan itu adalah mustahil!.
Pokok Keempat:
bahwa Allah Ta'ala mengurniakan dengan menjadikan dan menciptakan serta
menganugerahkan nikmat, dengan memberikan kewajiban (taklif) kepada hambaNya.
Dan tidaklah menjadikan dan memberikan taklif itu wajib atas Allah.Berkata
golongan Mu'tazilah bahwa yang demikian itu wajib atas-Nya, karena ada
kemuslihatan hamba padanya.
Itu
adalah mustahil, karena
Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan yang melarang. Maka bagaimanakah
ditujukan kepadaNya kewajiban atau didatangkan sesuatu kemestian dan kata yang
ditujukan?
Dan yang dimaksudkan dengan wajib, ialah salah satu daripada
dua: adakalanya perbuatan
yang memberi melarat kalau ditinggalkan. Baik melarat itu pada masa yang akan
datang, umpamanya dikatakan : wajiblah atas hamba berbuat tha'at kepada Allah.
Sehingga dia tidak di'azabkan di akhirat dengan api neraka. Atau melarat itu
pada masa dekat, umpamanya dikatakan .: wajiblah minum atas orang yang haus,
sehingga ia tidak mati. Adakalanya yang dimaksudkan dengan wajib itu, ialah
sesuatu yang membawa kepada mustahil oleh tidak adanya. Umpamanya dikatakan :
adanya yang diketahui itu wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada
mustahil, yaitu jadinya ilmu itu kebodohan.
Kalau
dikehendaki oleh pihak lawan dengan ; bahwa menjadikan itu wajib atas Allah
dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah mendatangkan kepada
melarat. Dan kalau dikehendaki-nya, dengan arti yang kedua, maka dia adalah
seorang muslim. Karena setelah didahulukan oleh ilmu, maka tak boleh tidak, ada
yang diketahui (al-ma'lum). Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang ketiga,
maka itu tidak dapat dipahami.
Mengenai
kata Mu'tazilah : wajib
itu karena ada kemuslihatan hamba padanya, maka perkataan itu adalah
merusakkan. Karena apabila tiada mengandung melarat dengan meninggalkan
kemuslihatan hamba itu, maka tiadalah kewajiban pada sisi Allah itu mengandung
arti apa-apa.
Kemudian,
kemuslihatan hamba dengan dijadikan mereka dalam sorga, maka adakalanya
dijadikannya di dalam negeri yang penuh percobaan dan didatangkan mereka kepada
segala dosa. Kemudian ditujukan mereka kepada siksaan yang berbahaya, huruhara
dan hisab amalan. Dan tidak adalah pada yang demikian itu kegemaran pada
orang-orang yang berakal.
Pokok
Kelima : bahwa jaiz
(tidak wajib dan tidak mustahil) bagi Allah, memikulkan (men-taklif-kan) atas
makhluk, apa yang tidak disanggupinya. Sebaliknya dengan pendapat Mu'tazilah. Jikalau
tidaklah jaiz yang demikian, maka mustahillah permintaan menolaknya. Dan memang
mereka telah meminta yang demikian, dengan mendo'akan :
رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا
طَاقَةَ لَنَا بِهِ
(Rabbanaa
wa laa tuhammilnaa maa laa thaaqata lanaa bih).Artinya :" Hai Tuhan kami!
Janganlah Engkau pikulkan ke atas kami apa yang tidak kami sanggupi !".
(S. Al-Baqarah, ayat 286).
Dan
karena Allah Ta'ala telah menerangkan kepada Nabi saw. bahwa Abu Jahal tidak
akan membenarkannya. Kemudian Allah menyuruh Nabiصلى الله عليه
وسلم supaya menyuruh
Abu Jahal membenarkan-nya pada segala perkataannya. Dan ada dari jumlah
perkataannya, bahwa Abu Jahal itu tidak membenarkan Nabi saw. Bagaimanakah dia
membenarkan pada yang tidak dibenarkattnya? Tidakkah ini selain dari mustahil
adanya?.
Pokok Keenam :
bahwa bagi Allah Ta'ala menyakitkan dan meng-'azabkan makhlukNya tanpa ada dosa
yang terdahulu dan tanpa ada pahala yang akan datang. Sebaliknya dengan
pendapat Mu'tazilah.
Hal
ini, adalah karena Allah Ta'ala bertindak pada milikNya, Dan tidaklah tergambar
bahwa akan melampaui tindakanNya akan milikNya. Dhalim adalah ibarat dari
bertindak pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil atas
Allah. Karena tidaklah dijumpai adanya milik orang lain, sehingga dapat
dikatakan bahwa tindakanNya itu dhalim.
Dibuktikan
kepada bolehnya yang demikian oleh adanya. Sesungguhnya menyembelih hewan
adalah menyakitkan hewan. Dan apa yang menimpa ke atas diri hewan itu dengan
bermacam-macam 'azab dari pihak anak manusia, tidaklah didahului oleh adanya
dosa hewan.
Kalau ada yang mengatakan : bahwa Allah Ta'ala akan mengumpulkan
hewan-hewan itu di padang mahsyar dan akan memberi ganjaran yang sesuai dengan
penderitaan yang dialaminya dan demikian itu wajib atas Tuhan.
Maka atas perkataan itu kami menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas Allah
menghidupkan tiap semut yang terpijak dan tiap binatang kecil yang terbunuh,
sehingga diberikan pahala atas segala -penderitaannya, maka sesungguhnya telah
keluar dari syari'at dan akal. Karena dengan itu dapat dikatakan, menyifatkan
pahala dan mengumpulkan di padang mahsyar itu, menjadi kewajiban atas Allah.
Bila dimaksudkan dengan meninggalkannya membawa kepada melarat, maka itu adalah
suatu yang mustahil Dan jika dimaksudkan yang lain, maka telah diterangkan
dahulu bahwa itu tidak dapat dipahami apabila telah keluar dari
pengertian-pengertian yang tersebut bagi wajib.
Pokok Ketujuh :
bahwa Allah Ta'ala berbuat sekehendakNya dengan hambaNya. Tiada wajib atasNya
menjaga yang lebih baik bagi hambaNya. Karena apa yang telah kami sebutkan
dahulu, bahwa tiada suatupun yang wajib atas Allah. Bahkan kewajiban itu tidak
dapat diterima akal pada hakNya. Sebab Allah tidak ditanyakan daripada apa yang
diperbuatNya dan makhlukNyalah yang ditanyakan.
Alangkah
ganjilnya apa yang diwajibkan oleh golongan Mu'tazilah itu dengan katanya,
bahwa berbuat yang lebih baik adalah wajib atas Tuhan, mengenai persoalan yang
kita majukan kepadanya. Yaitu: diumpamakan terjadi perdebatan di akhirat
diantara seorang anak kecil dan seorang dewasa (baligh), di mana keduanya
meninggal sebagai muslim. Bahwa Allah menambahkan derajat orang yang sudah
dewasa dan melebihkannya dari anak kecil. Karena ia telah payah dengan beriman
dan melakukan ta'at setelah dewasa. Dan yang demikian itu, wajib atas Tuhan
menurut orang Mu'tazilah.
Kalau
anak kecil itu berkata :
"Wahai Tuhan! Mengapakah Engkau tinggikan derajatnya daripada
derajatku?",
Maka
menjawab Tuhan :
"Karena dia telah dewasa dan rajin mengerjakan ta'at".
Lalu
anak kecil itu menjawab :
"Engkau telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah kewajiban Engkau
meneruskan hidupku, sampai aku baligh, maka aku rajin beribadah. Engkau telah
berpagi dari keadilan dengan memberikan kepadanya kelanjutan umur, sedang aku
tidak. Mengapakah dia Engkau Iebihkan?".
Maka
menjawab Allah Ta'ala :
"Karena Aku tahu bahwa kalau tewasalah engkau, niscaya engkau menjadi
musyrik atau pendurhaka. Maka adalah lebih baik bagimu mati sewaktu
kecil".
Ini
dima'afkan oleh orang Mu'tazilah dari Allah 'Azza wa Jalla. Dan ketika itu
orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah daripada neraka berseru,
seraya berkata : "Wahai Tuhan! Apakah Engkau tiada mengetahui bahwa kami
apabila telah dewasa, menjadi orang musyrik? Mengapakah tidak Engkau matikan
kami sewaktu kecil? Kami rela dengan derajat yang lebih rendah daripada derajat
anak kecil muslim itu".
Maka
apakah yang dijawab waktu itu? Dan adakah yang harus ketika itu, selain dari
keputusan bahwa urusan ketuhanan adalah maha-suci dengan keagungan daripada
ditimbang dengan timbangan orang Mu'tazilah itu!.
Kalau
dikatakan, bahwa
manakala ditakdirkan kepada pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian
ditimpakan kepada mereka sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian
itu keji, tak layak dengan kebijaksanaan.Maka kami menjawab bahwa keji
adalah apa yang tidak sesuai dengan maksud. Sehingga kadang-kadang sesuatu itu
adalah keji pada seseorang dan baik pada yang lain, apabila sesuai dengan
maksud salah seorang dari keduanya dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh
orang, dipandang keji oleh teman-temannya dan dipandang baik
oleh-musuh-musuhnya.
Kalau
dimaksudkan dengan keji ialah
sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud Tuhan Yang Maha Suci, maka itu adalah
mustahil, karena tak adalah maksud bagi Tuhan. Maka tidak tergambarlah
daripadaNya keji sebagaimana tidak tergambar daripadaNya dhalim. Karena tidak
tergambar daripadaNya bertindak pada milik orang lain.
Dan
kalau dimaksudkan dengan keji ialah
sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud orang lain, maka mengapakah anda
katakan bahwa yang demikian itu mustahil atas Tuhan? Tidakkah ini selain dari
semata-mata ke raguraguan, yang diakui sebaliknya oleh apa yang telah kami
berikan umpamanya dahulu mengenai permusuhan diantara penduduk neraka?
Kemudian, al-hakiim, artinya : yang mengetahui akan hakikat segala
sesuatu, berkuasa (sanggup) mengerjakannya, sesuai dengan kehendakNya Dan ini,
maka dari manakah mewajibkan pemeliharaan yang lebih baik itu?
Adapun—al-hakiim dari kita (seorang ahli hikmah—yang bijaksana), ia
memelihara yang lebih baik melihat kepada kepentingan dirinya sendiri, untuk
memperoleh faedah pujian di dunia dan pahala di akhirat. Atau untuk menolak
bahaya daripada dirinya. Semuanya itu mustahil bagi Allah Ta'ala.
Pokok Kedelapan : bahwa mengenal (ma'rifah) akan Allah Ta'ala dan berbuat
tha'at kepadaNya adalah wajib. Diwajibkan oleh Allah dan syari'atNya, tidak
oleh akal. Sebaliknya bagi orang Mu'tazilah. Karena akal dan kalaupun dia
mewajibkan tha'at maka tidaklah terlepas, adakalanya dia mewajibkan itu tanpa
faedah.
Dan
itu adalah mustahil. Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia sia. Dan
adakalanya dia mewajibkan karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu,
tidak terlepas, adakalanya kembali faedah dan maksud itu kepada Tuhan yang
disembah. Dan itu adalah mustahil pada hak Allah Ta'ala. Maka sesungguhnya
Allah maha-suci daripada segala maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, tha'at
dan ma'siat pada pihak Allah Ta'ala, adalah sama. Dan adakalanya kembali yang
demikian itu kepada maksud hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak adalah
maksud bagi hamba itu waktu sekarang. Bahkan ia payah dan menyingkirkan diri
daripada hawa nafsu karenanya. Dan tak adalah pada hari kembali, selain
daripada pahala dan siksa. Dan dari manakah diketahui bahwa Allah Ta'ala akan
memberi pahala di atas perbuatan ma'siat dan tha'at dan tidak menyiksakan di
atas kedua perbuatan tadi, sedang tha'at dan ma'siat pada hak Allah adalah
sama? Karena tidaklah Allah Ta'ala itu condong kepada salah satu daripada
keduanya. Dan tidaklah bagi salah satu daripada keduanya itu mempunyai
kepentingan dengan Allah Ta'ala.
Sesungguhnya
diketahui perbedaan yang demikian itu adalah dengan Agama. Dan telah hinalah
orang yang mengambil ini dari perbandingan diantara Khaliq dan makhluk, di mana
dia membe dakan diantara syukur dan kufur. Karena dia memperoleh kesenangan,
kemuliaan dan kelezatan dengan salah satu daripada keduanya dan tidak dengan
yang Iain.
Kalau
dikatakan, apabila tidak wajib memandang dan mengenai Allah selain dengan
Agama. Dan Agama itu tidak tetap selama orang yang diberati hukum (mukallaf)
tidak menaruh perhatian kepadanya. Maka apabila orang mukallaf itu berkata
kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ,bahwa akal tidaklah mewajibkan kepada memperhatikan dan Agama
tidaklah menetap padaku, selain dengan memperhatikan tadi dan aku tidak tampil
kepada memperhatikan, yang membawa kepada meyakinkan kebenaran Rasul صلى
الله عليه وسلم
Kami
menjawab : bahwa ini menyerupai dengan kata orang yang mengatakan kepada orang
yang berdiri pada salah satu tempat : "Bahwa di belakangmu ada binatang
buas yang menerkam. Kalau tidak engkau berkisar dari tempat itu niscaya akan dibunuhnya
engkau. Dan kalau engkau berpaling ke belakang dan melihat, maka tahulah engkau
akan kebenaranku".
Maka
menjawab orang yang tegak berdiri itu : "Tidak meyakinkan kebenaranmu
selama aku belum berpaling ke belakang. Dan aku tidak akan berpaling ke
belakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata kebenaranmu!".
Maka
ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang menjawab itu dan membawa dirinya
kepada kebinasaan. Dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang memberi
petunjuk dan yang menunjukkan jalan itu.
Maka begitulah Nabi صلى الله عليه
وسلم
yang mengatakan :
"Bahwa di belakang-mu nanti, di sana binatang buas dan api membakar. Kalau
kamu tidak berhati-hati daripadanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan
memperhatikan kepada mu'jizatku, niscaya binasalah kamu. Barangsiapa menaruh
perhatian niscaya mengenal, berhati-hati dan selamatlah dia. Dan barangsiapa
tidak memperhatikan dan terus-menerus demikian, maka binasadan terjerumuslah
dia. Dan tak ada memberi melarat apa-apa kepadaku jikalau manusia seluruhnya
binasa. Sesungguhnya kewajibanku, hanyalah menyampaikan dengan tegas dan
jelas".
Agama
memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan akal
memfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم dan meyakininya dengan kemungkinan apa
yang dikata-kannya pada masa yang akan datang. Dan tabi'at manusia (instinc)
menggerakkan supaya berhati-hati daripada kemelaratan.
Dan
arti bahwa sesuatu itu wajib ialah kalau meninggalkannya mendatangkan
melarat.Dan arti bahwa Agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenalkan akan
kemelaratan yang akan terjadi. Karena akal tiada memperoleh petunjuk untuk
mengetahui kemelaratan sesudah mati, ketika ia menuruti hawa nafsu.
Inilah
arti Agama dan akal serta pengaruh keduanya untuk menilai yang wajib itu.
Jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan meninggalkan apa yang disuruh maka
tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu, kecuali
ada hubungan kemelaratan di akhirat dengan meninggalkannya.
Pokok Kesembilan : bahwa tidaklah mustahil pengutusan nabi-nabi as. Sebaliknya
bagi kaum Brahma yang mengatakan bahwa tak adalah faedahnya mengutus
nabi-nabi itu. Karena pada akal cukup mendapat kesempatan tanpa mereka. Sebab
akal tidaklah memperoleh petunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang melepaskan
diakhirat, sebagaimana tidaklah memperoleh petunjuk kepada obat-obat yang
memberi faedah bagi kesehatan.
Keperluan
makhluk kepada nabi-nabi adalah seperti keperluan mereka kepada dokter-dokter.
Tetapi dikenal kebenaran dokter dengan percobaan dan dikenal kebenaran nabi
dengan mu'jizat.
Pokok Kesepuluh : bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi
Muhammad صلى الله عليه وسلم., kesudahan segala nabi dan pembatal (nasikh) syari'at-syari'at
sebelumnya : syari'at Yahudi, Nasrani dan majusi. Allah Ta'ala menguatkan Nabi صلى
الله عليه وسلم
itu dengan mu'jizat mu'jizat yang nyata dan tanda-tanda yang jelas seperti
terbelah bulan (1) bertasbih batu (2) berbicara hewan (3) dan terpancarnya air
diantara jari-jari Nabi.(4) صلى
الله عليه وسلم
Diantara
tanda-tanda yang jelas ialah keagungan Al-Qur'an Suci menghadapi tentangan
orang Arab, di mana orang-orang Arab itu terkenal dengan fasih dan lancar
berbicara. Bermaksud hendak menawan, menangkap, membunuh dan mengusir Nabi صلى
الله عليه وسلم
. sebagaimana diceriterakan Tuhan tentang tujuan mereka itu. Tetapi mereka
tidak mampu mendatangkan seperti Al-Qur'an, karena tidak dalam kemampuan
manusia terkumpul diantara kebagusan susunan Al-Qur'an dan teraturnya.
Ini
serta isinya Al-Qur'an dengan memberitakan berita-berita orang terdahulu di
mana Nabi صلى الله عليه وسلم adalah ummi (tak tahu tulis baca), tidak pernah memegang buku. Dan menceriterakan hal-hal yang ghaib
mengenai keadaan-keadaan di masa depan yang diyakini kebenarannya, seumpama
firman Allah Ta'ala :
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
(Latad-khulunnal
masjidal haraama in-syaa-AUaahu aaminiina mu halliqiina ru-uusakum wa
muqash-shiriin).Artinya
:" Bahwa kamu akan memasuki Masjid Suci, jika Tuhan menghendaki,
dengan perasaan tenteram bercukur dan bergunting rambut ".(S.
Al-Fath, ayat 27).
1 Hadits terbelah bulan, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim.
2 Dirawikan Al-Baihaqi dari Abi Dzar.
3 Dirawikan Ahmad dan Al-Baihaqi dengan isnad shahih dari
Yu'la bin Murrah.
4 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas dan lain-lain.
Dan
seumpama firman Allah Ta'ala :
الم
غُلِبَتِ الرُّومُ
فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ
بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ
مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ
(Alif-laam-miim.
Ghulibatir ruum, fii adnal ardli wa hum mim ba'di ghalabihim sayaghlibuun, fii
bidl-'i siniin).Artinya
:"Alif ,Lam, Mim. Dikalahkan Kerajaan Rum. Dinegeri yang dekat dan
mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam beberapa tahun".
(S.Ar-Rum,ayat1s/d 4).
Cara
mu'jizat menunjukkan kepada kebenaran rasul-rasul itu, ialah tiap-tiap apa yang
tidak disanggupi oleh manusia, maka itu tak lain daripada af'al Allah semata. Manakala
afal itu menyertai dengan pertahanan
atas kebenaran Nabi saw. maka itu seakan-akan Allah berfirman : "Benar
Engkau !". Tak ubahnya seperti seorang yang berdiri dihadapan raja, dengan
mendakwakan dirinya kepada rakyat bahwa dia adalah utusan raja itu kepada
mereka.
Maka
manakala ia berdatang sembah kepada raja : "Jika adalah hamba ini benar
maka sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat peristirahatan tiga kali dan
sudilah kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku!".
Lalu
raja itu berbuat demikian, sehingga berhasillah bagi segala yang hadir melihat
itu pengetahuan dlaruri (pengetahuan mudah tanpa memerlukan pemikiran). Maka
perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda : "Benar kamu!
".