Kitab Qaidah Qaidah i'tiqad
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi
Maha Penyayang
كتاب قواعد
العقائد
وهو الكتاب
الثاني من ربع العبادات
KITAB
: QAIDAH - QAIDAH I'TIQAD.
Di
dalamnya terdapat empat pasal:
Yang pertama: menguraikan 'aqidah (i'tiqad) Ahlus-sunnah
tentang dua kalimah syahadah, yaitu salah satu dari dasar-dasar Islam. Maka
berkatalah kami dengan memohonkan taufiq dari pada Allah Ta'ala :
Segala
pujian bagi Allah yang menjadikan, yang mengembalikan, yang berbuat barang
sekehendakNya, yang mempunyai 'Arasy mulia, yang gagah perkasa, yang memberi
petunjuk kepada hamba-Nya yang bersih kepada cara yang betul dan jalan benar,
yang memberikan nikmat kepada mereka sesudah pengakuan tauhid dengan terjaga
'aqidahnya dari kegelapan keraguan dan kesangsian, yang membawa mereka kepada
mengikuti RasulNya yang pilihan dan menuruti peninggalan para shahabatnya yang
mulia, yang dikaruniai dengan kekuatan dan kebenaran, yang menampakkan kepada
mereka tentang zatNya dan af'alNya dengan segala sifatNya yang baik, yang tidak
akan mengetahuinya, selain orang yang dilimpahkan pendengaran dan Dia itu yang
menyaksikan, yang memperkenalkan kepada mereka bahwa zatNya itu Esa, tiada
sekutu bagiNya, tunggal tiada yang menyamaiNya, lengkap rakhmatNya, tiada yang
melawaniNya, sendirian tiada yang menyekutuiNya.
Bahwa
Dia itu Esa, qadim tiada bepermulaan, azali tiada berpendahuluan, berkekalan
wujudNya, tiada berkesudahan, abadi tiada berpenghabisan, tegak sendiri tiada
yang menghalangiNya, kekal tiada putusNya, senantiasa dan selalu bersifat
dengan segala sifat kebesaran, tiada habis dengan kehabisan dan pemisahan,
dengan pergantian abad dan musnahnya zaman. Tetapi Dialah yang awal dan yang
akhir, yang dhahir dan yang bathin. Dia amat mengetahui dengan tiap-tiap
sesuatu.
Kemahasucian (tanzih),
Bahwa
Ia tidak dengan tubuh yang merupakan, tidak jauhar (benda atau
barang) yang terbatas dan berhingga. Dia tidak menyerupai dengan segala tubuh,
tidak pada kira-kiraan dan tidak pada dapat dibagi-bagikan.Tidaklah Dia itu
jauhar dan tidaklah Dia ditempati oleh jauhar-jauhar. Tidaklah Dia itu aradl
(sifat yang mengambil tempat) dan tidaklah Dia ditempati oleh aradl-aradl.
Bahkan Dia tidak menyerupai dengan yg ada (maujud) dan tidak suatu yg maujud
pun menyerupai dengan Dia. Tiadalah sepertiNya sesuatu dan tidaklah Dia seperti
sesuatu. Dia tidak dibatasi oleh sesuatu batas dan tidak mengandung sesuatu
jurusan, tidak diliputi oleh pihak, tidak dibatasi oleh bumi dan langit.
Dia beristiwa' di atas 'Arasy menurut firmanNya dan menurut
arti yang dikehendakiNya,
istiwa' yang suci dari tersentuh dengan sesuatu, suci dari tetap dan tenang,
suci dari mengambil tempat dan berpindah. Dia tidak dibawa oleh 'Arasy tetapi
'Arasy dan pembawa-pembawa 'Arasylah yang dibawa dengan kelemah-lembutan
qudrahNya, yang digagahi dalam genggamanNya. Dia di atas 'Arasy dan langit dan
di atas segala-galanya sampai kesegala lapisan bumi, keatasan yang tidak
menambahkan dekatNya kepada 'Arasy dan langit sebagaimana, tidak menambahkan
jauh-Nya dari bumi dan lapisan tanah. Tetapi Dia di tingkat yang maha tinggi
dari 'Arasy dan langit, sebagaimana
Dia
di tingkat yang maha tinggi dari bumi dan lapisan tanah. Dan pada itu, Dia
dekat sekali dengan segala yang maujud (yang ada). Dan maha dekat kepada
hambaNya, lebih dekat dari urat leher hambaNya itu sendiri. Dia menyaksikan
tiap-tiap sesuatu. Tidak menyerupai kehampiranNya dengan kehampiran diantara
tubuh-tubuh, sebagaimana tidak menyerupai zatNya dengan segala zat tubuh-tubuh
itu. Dia tidak bertempat pada sesuatu dan tidak ada sesuatu ber-tempat padaNya.
Maha Suci Ia dari dipengaruhi oleh tempat, sebagaimana la maha suci daripada
dibataskan oleh waktu. Tetapi adalah Dia sebelum dijadikan zaman dan tempat.
Dia sekarang menurut apa yang Dia ada. Dia tidak sama dengan makhlukNya dengan
segala sifatNya. Tiada sesuatu yang sama dengan zatNya dan tidaklah zatNya
menyamai dengan sesuatu.
Dia
maha-suci dari perobahan dan perpindahan. Tidaklah bertempat padaNya segala
kejadian dan tidaklah mempengaruhiNya oleh segala yang mendatang. Tetapi
senantiasalah Dia dalam segala sifat kebesaran-Nya, maha-suci dari kelenyapan
dan senantiasalah Dia dalam segala sifat kesempurnaanNya, tidak memerlukan
kepada penam-bahan kesempurnaan lagi. Mengenai zatNya diketahui adaNya dengan
akal pikiran, dilihat zatNya dengan mata-hati sebagai suatu nikmat daripadaNya
sebagai kasih-sayangNya kepada orang-orang yang berbuat baik dalam negeri
ketetapan nanti dan sebagai suatu kesempurnaan daripadaNya dengan kenikmatan
memandang kepada wajahNya yang mulia.
Hayah (hidup) dan qudrah (kuasa).
Dia
itu hidup, yang kuasa, yang gagah, yang perkasa, tidak ditimpa-kan kepadaNya
oleh kekurangan dan kelemahan,tidak ada padaNya lupa dan tidur, tidak didatangi
oleh kebinasaan dan kematian. Dialah yang mempunyai kerajaan dan kekuasaan,
yang mempunyai kemuliaan dan kebesaran. KepunyaanNya kekuasaan, keperkasaan,
kejadian dan segala urusan. Segala langit itu terlipat dengan kanan-Nya, segala
makhluk itu digagahi dalam genggamanNya. Dia sendirian menjadikan dan
mengadakan. DijadikanNya makhluk dan perbuatannya, ditentukanNya rezeki dan
ajalnya. Tidak terlepas kekuasaan dari genggamanNya dan tidak luput dari
kekuasaanNya segala pertukaran keadaan. Tak terhinggakan yang dikuasaiNya dan
tidak berkesudahan yang diketahuiNya.
Ilmu (mengetahui).
Dia
yang mengetahui segala yang diketahui, yang meliputi dengan apa yang berlaku
dari segala lapisan bumi sampai kepada langit yang tinggi. Dia maha tahu, tidak
luput dari ilmuNya seberat biji sawi sekalipun, di bumi dan di langit, bahkan
Dia mengetahui semut yang hitam, yang berjalan di atas batu yang hitam, dalam
malam yang kelam. Dia mengetahui gerakan yang paling halus di udara terbuka.
Dia tahu rahasia dan yang tersembunyi.
Dan
melihat segala bisikan dalam hati kecil manusia, segala gurisan dan bathin yang
tersembunyi di dalam jiwa, dengan ilmu qadim azali.Senantiasalah Dia bersifat
demikian pada azal-azali. Tidaklah ilmuNya dengan pengetahuan yang membaru,
yang terjadi pada zatNya dengan bertempat dan berpindah.
Iradah (berkehendak).
Dia
itu berkehendak, menjadikan segala yang ada, mengatur segala yang baru. Maka
tidaklah berlaku pada alam yang nyata ini dan yang tidak nyata, sedikit atau
banyak, kecil atau besar, baik atau buruk, bermanfa'at atau melarat, iman atau
kufur, pengakuan atau mungkir, kemenangan atau kerugian, bertambah atau
berkurang, tha'at atau ma'siat, selain dengan qadla dan qadarNya (ketetapan dan
taqdirNya), hikmah dan kehendakNya. Apa yang dikehendakiNya ada. Yang tidak
dikehendakiNya tidak ada. Tak ada yang keluar dari kehendakNya meskipun palingan
muka orang yang memandang dan gurisan hati dari seseorang manusia. Tetapi
Dialah yang memulai dan yang mengulangi, berbuat sekehendakNya, tak ada yang
menolak dari perintahNya dan tak ada yang dapat berbuat akibat bagi
ketetapanNya.
Tak
ada yang dapat melarikan seorang hamba dari kema'siatanNya, selain dengan
taufiq dan rahmatNya. Tak ada kekuatan untuk mentha'atiNya selain dengan
kehendak dan iradahNya. Kalau berkumpullah insan dan jin, malaikat dan setan,
untuk menggerakkan di alam ini sesuatu benda yang kecil saja atau
menempatkannya tanpa iradah dan kehendakNya, maka akan lemahlah mereka itu
daripadanya.
IradahNya
itu berdiri pada zatNya dalam jumlah sifat-sifatNya. Senantiasalah Dia
demikian, bersifat dengan iradah. Dia berkehendak pada azal untuk adanya segala
sesuatu, pada waktu-waktunya yang ditaqdirkanNya. Lalu terdapatlah segala
sesuatu itu pada waktunya, menurut kehendakNya pada azal, tidak terdahulu dan
tidak terkemudian. Bahkan terjadi sesuai dengan ilmu dan iradahNya, tanpa
pertukaran dan perubahan, Dia mengatur segala urusan, tidak dengan tartib
pikiran dan pengaruh zaman Karena itu, tidaklah Dia dipengaruhi oleh apapun
juga.
Sama' dan bashar (mendengar dan melihat).
Dia
yang mendengar lagi yang melihat. Dia mendengar dan melihat, yang tidak luput
dari pendengaranNya yang terdengar, meskipun tersembunyi. Tidak lenyap dari
penglihatanNya yang terlihat, meskipun sangat halus. Tidak menghalangi
pendengaranNya oleh kejauhan. Tidak menolak penglihatanNya oleh kegelapan. Dia
melihat tanpa biji mata dan kelopak mata. Dia mendengar tanpa anak telinga dan
daun telinga, sebagaimana Dia tahu tanpa hati dan bertenaga tanpa anggota badan
dan menjadikan tanpa perkakas. Karena tidaklah sifatNya menyerupai sifat
makhluk, sebagaimana zatNya tidak menyerupai zat makhluk.
Kalam (berkata-kata).
Dia
yang berkata-kata, yang menyuruh dan melarang, yang berjanji balasan baik bagi
orang yang berbuat baik dan yang berjanji balasan buruk bagi orang berbuat
jahat, dengan kalamNya yang azali, qadim, berdiri dengan zatNya, yang tidak
menyerupai dengan kalam makhluk. Tidaklah kalamNya itu dengan suara yang datang
dari pembawaan udara atau penggosokan beberapa benda. Tidak dengan huruf yang
berputus-putus dengan melipatkan bibir atau menggerakkan lidah. Dan
sesungguhnya Al-Qur'an, Taurat, Injil dan Zabur adalah kitab-kitabNya yang
diturunkan kepada para rasulNya as.
Dan
Al-Quran itu dibacakan dengan lidah, dituliskan pada lembar-an-Iembaran kertas
dan dihafalkan di dalam hati. Dalam pada itu, Al-Qur'an itu qadim, berdiri dengan
zat Allah Ta'ala. Tidak menerima pemisahan dan penceraian dengan sebab
berpindah ke dalam hati dan kertas. Nabi Musa as. mendengar kalam Allah, tanpa
suara dan huruf, sebagaimana orang-orang abrar (orang-orang yang selalu berbuat
kebaikan) melihat Allah Ta'ala di akhirat dengan tidak berjauhar dan ber'aradl.
Apabila
segala sifat yang tersebut tadi ada pada zat Allah Ta'ala, maka adalah Allah
Ta'ala itu, yang hidup dengan hidupNya(hayah), yang mengetahui dengan ilmuNya
('ilmun), yang berkuasa dengan qudrahNya, yang berkehendak dengan iradahNya,
yang mendengar dengan sama'-Nya, yang melihat dengan basharNyadan yang
berkata-kata dengan kalamNya. Tidak dengan semata-mata zat.
Af'al (perbuatan-perbuatan).
Tidak
adalah yang maujud selain Dia. Yang lain itu ada dengan perbuatanNya, yang
melimpah dari keadilanNya dengan bentuk yang sebaik-baiknya,
sesempurna-sempurnanya dan seadil-adilnya.
Dia
maha bijaksana dalam segala perbuatanNya, maha adil dalam segala hukumNya. Tak
dapatlah dibandingkan keadilanNya dengan keadilan hambaNya. Karena hamba itu,
tergambar daripadanya kedhaliman, dalam mengurus hak milik orang lain. Dan
tidak tergambar kedhaliman daripada Allah Ta'ala. Sebab tidak dijumpai milik
bagi yang lain, dari Allah, sehingga ada pengurusanNya itu dhalim.
Seluruhnya
yang lain dari Allah, yaitu insan, jin, malaikat, setan, langit, bumi, hewan,
tumbuh-tumbuhan, barang-beku, jauhar, 'aradl, yang diketahui dan yang dirasa,
adalah baharu (haadits), yang dijadikan Allah dari tidak ada dengan qudrahNya
dan yang diciptakan-Nya dari tidak ada sama-sekali. Karena pada azali hanyalah
Dia yang ada yang Maha Esa dan yang lainNya tidak ada. Maka kemudian,
dijadikanNya makhluk, untuk menyatakan qudrahNya, membuktikan bagi yang telah
lalu dari IradahNya dan kebenaran kalimahNya pada azali. Bukan karena Dia
memerlukan dan berhajat kepada yang baharu itu. Dia berkemurahan dengan
menjadikan, menciptakan dan menugaskan, bukan dari kewajiban kepadaNya. Dan
mengeruniakan keni'matan dan perbaikan, bukan suatu keha-rusan kepadaNya.
Maka
bagiNyalah keutamaan, kebaikan, keni'matan dan kemurahan. Karena Dia berkuasa
menimpakan bermacam-macam 'azab kepada hambaNya dan mencobainya dengan berbagai
kesengsaraan dan malapetaka. Jika dibuatNya demikian, maka adalah itu keadilan
daripadaNya, bukan kekejian dan kedhaliman. Dia memberi pahala kepada hambaNya
yang mu'min atas ketha'atan adalah karena kemurahan dan janjiNya. Bukan karena
menjadi hak dari orang mu'min yang tha'at itu dan bukan suatu keharusan atas
Allah Ta'ala. Karena tidak wajib atasNya berbuat untuk seseorang dan tidak
tergambar daripada Allah sesuatu kedhaliman. Tidak harus ada hak seseorang atas
Allah. Dan hak Allah atas makhluk wajib pada mentha'atiNya, dengan
diwajibkanNya disampaikan oleh lisan para nabiNya. Tidak dengan semata-mata
akal, tetapi Ia mengutuskan rasul-rasul dan melahirkan kebenaran mereka dengan
mu'jizat-mu'jizat yang nyata. Lalu mereka itu menyampaikan perintahNya,
laranganNya, wa'adNya (janji pahala kepada yang berbuat kebajikan) dan wa'idNya
(janji siksa kepada yang berbuat kejahatan). Maka wajiblah atas makhluk
membenarkan rasul-rasul itu, akan apa yang dibawanya.
Arti kalimah kedua, yaitu mengakui kerasulan
rasul-rasul membawa risalah :
Bahwa
Allah Ta'ala mengutuskan seorang nabi yang ummi (tak tahu tulis baca) dari suku
Quraisy, bernama Muhammad saw. membawa risalah kepada seluruh Arab dan 'Ajam
(1), jin dan insan. Maka dengan syari'at yang dibawanya itu, menjadi mansukhlah
segala syari'at yang terdahulu, kecuali hal-hal yang" ditetapkan berlakunya
oleh syari'at yang baru itu. Dan dilebihkanNya Nabi Muhammad saw. atas
nabi-nabi yang lain. DijadikanNya dia menjadi penghulu segala manusia dan tidak
diakuiNya kesempurnaan iman dengan syahadah tauhid saja, yaitu mengucapkan لا إله
إلا الله "LAA
ILAAHA ILLALLAAH" sebelum disambung dengan syahadah rasul. Yaitu
mengucapkan محمد رسول الله "MUHAMMADUR RASUULULLAAH.
DiharuskanNya
seluruh makhluk membenarkan Muhammad saw. itu dalam segala perkhabaran yang
diknabarkannya, tentang urusan dunia dan akhirat. Dan tidak diterimaNya iman
seseorang dari hambaNya, sebelum beriman dengan apa yang dikhabarkan Muhammad
saw. tentang hal-hal sesudah mati. Yaitu yang pertamanya, pertanyaan malaikat
Munkar dan Nakir (2). Kedua malaikat ini adalah dua pribadi yang hebat
menakutkan, mendudukkan dengan baik akan hamba Allah dalam kuburnya dengan ruh
dan jasad. Lalu menanyakan tentang tauhid dan risalah, dengan mengatakan :
"Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?".
1.Ajam ( Bukan Arab )
2.Hadis Berkenaan Pertanyaan Mungkar Dan Nakir Dirawikan At Tirmidzi dari Ibnu Hibban Dari Abi Hurairah
Kedua
malaikat itu adalah pembawa cobaan di dalam kubur. Pertanyaannya tadi, adalah
cobaan yang pertama sesudah mati.Dan bahwa diimani dengan adanya 'azab kubur (1)
Dan Allah itu benar, hukumNya adil menurut sekehendakNya atas tubuh dan ruh.Dan
bahwa diimani dengan adanya neraca timbangan amal yang mempunyai dua daun dan
lidah neraca (2). Tentang besarnya adalah seumpama lapisan langit dan bumi,
yang ditimbang padanya segala amalan dengan qudrah Allah Ta'ala. Yang pokok
pada masa itu, meskipun seberat semut yang kecil dan biji-bijian yang halus,
adalah untuk membuktikan kesempurnaan keadilanNya.
Dan
diletakkan lembaran amal yang baik dalam bentuk yang bagus pada daun neraca
dari nur. Lalu beratlah neraca dengan amalan itu, menurut derajat nya di sisi
Allah Ta'ala dengan karuniaNya, dan dilemparkanlah lembaran amal yang keji
dalam bentuk yang buruk pada daun neraca kegelapan. Maka ringanlah daun neraca
itu dengan keadilan Allah.
Dan
bahwa diimani, bahwa titian A sh-shiraatal-mustaqlim (3) itu benar adanya.
Yaitu titian yang memanjang, melalui neraka jahannam, lebih tajam dari pedang,
lebih halus dari ram but, terpe-leset kaki orang-orang kafir di atasnya dengan
hukum Allah Ta'ala. Lalu mereka jatuh tersungkur ke dalam neraka. Dan tetaplah
di atasnya kaki orang-orang mu'min dengan karunia Allah. Lalu mereka dibawa ke
negeri ketetapan (sorga).
Dan
bahwa diimani dengan al-haudl-al-mauruud. Yaitu kolam Nabi Muhammad saw., di
mana orang-orang mu'min akan minum padanya, sebelum masuk sorga dan sesudah
melewati titian Ash-shiraatal-mustaqiim (4). Barangsiapa meminum padanya sekali
minum, maka tidak akan haus sesudahnya lagi selama-lamanya. Kolam itu lebarnya
seperjalanan sebulan. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari
madu.Sekeliling nyacerek-cerek, jumlah-nya se ban yak bin tang di langit. Dalam
kolam itu terdapat dua pancuran(5)yang memancur padanya air dari sungai
Al-Kausar.
1.Tentang Azab Kubur Dirawikan Al Bukhari dan Muslim Dari Aishah
2.Tentang Neraca timbangan Amal Dirawikan AlBaihaqi,dari Umar dan banyak lain lain perawi
3.Tentang titian ini dirawikan AlBukhari dan Muslim Dari Abu Hurairah.
4.Tentang Kolam Ini Dirawikan dari Muslim dari Anaz
5.Tentang Pancuran ini dirawikan dari Muslim Dari Tsauban
Dan
bahwa diimani dengan hitungan amalan (hisab) dan berlebih kurangnya manusia di
dalam penghisaban itu yang terbagi kepada : orang yang diminta keterangan pada
hisab, yang diperlunak pada hisab dan orang yang masuk sorga tanpa hisab. Yaitu
orang-orang muqarrabun (orang-orang yang mendekati Allah dengan beramalan
banyak).
Maka
Allah menanyakan siapa yang dikehendakiNya dari para nabi tentang penyampaian
risalah dan siapa yang dikehendakiNya dari orang-orang kafir tentang pendustaan
mereka kepada rasul-rasul. Allah menanyakan orang-orang yang berbuat bid'ah
dari sunnah dan menanyakan orang muslim tentang amalan.
Dan
bahwa diimani, bahwa orang-yang bertauhid itu dikeluarkan dari neraka sesudah
habis penyiksaan, sehingga tidak tinggal di dalam neraka jahannam seorangpun
yang bertauhid dengan karunia Allah Ta'ala. Maka tidak ada orang yang bertauhid
kekal di dalam neraka.
Dan
bahwa diimani,akan memperoleh syafa'ah (1) nabi-nabi, kemudian syafa'ah
ulama-ulama, kemudian syafa'ah syuhada', kemudian syafa'ah orang mu'min yang
lain menurut kemegahan dan kedudukannya di sisi Allah Ta'ala. Dan orang mu'min
lainnya, yang tak ada baginya yang memberikan syafa'ah, maka dia dikeluarkan
dari neraka dengan karunia Allah 'Azza wa Jalla. Maka tak ada seorang mu'minpun
yang kekal dalam neraka. Siapa saja yang dalam hatinya seberat biji sawi
keimanan akan dikeluarkan dari neraka itu.
Dan
bahwa diimani kelebihan para shahabat ra. dan urutannya.
Bahwa
manusia yang terutama sesudah Nabi saw., ialah Abu Bakar, kemudian Umar,
kemudian Usman, kemudian Ali, diridhai Allah kiranya mereka itu sekalian. (2)
Dan
sesungguhnya hendaklah berbaik sangka dengan sekalian shahabat Nabi saw. dan
memberi pujian kepada mereka, sebagaimana Allah swt. dan Rasulullah saw.
memberi pujian kepada mereka itu sekalian.
1.Syafaah iaitu meminta kebajikan untuk orang lain
2.Tentang ini Dirawikan Bukhari dari Ibnu Umar.
Semuanya itu, termasuk diantara apa yang dibawakan hadits dan disaksikan oleh kata-kata peninggalan dari shahabat dan orang-orang yang terdahulu (atsar).
Barangsiapa
mempercayai yang demikian itu dengan penuh keyakinan, maka adalah dia diantara
ahli kebenaran, pendukung sunnah, terpisah dari rombongan kesesatan dan
golongan bid'ah.
Kepada
Allah Ta'ala kita meminta kesempurnaan keyakinan dan kebagusan ketetapan dalam
Agama, untuk kita sendiri dan untuk kaum muslimin seluruhnya dengan rakhmat
Allah. Dia amat mengasihani dari segala yang mengasihani. Kiranya Allah
mencu-rahkan rakhmat kepada penghulu kita Muhammad dan kepada segala hambaNya
yang pilihan.
PASAL KEDUA : Tentang cara beransur-ansur memberi petunjuk
dan susunan tingkatan ket'tiqadan.
Ketahuilah
kiranya, bahwa apa yang telah kami sebutkan itu mengenai penjelasan aqidah,
maka sewajarnyalah didahulukan kepada anak-anak pada awal pertumbuhannya.
Supaya dihafalnya dengan baik. Kemudian, senantiasalah terbuka pengertiannya
nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar.
Jadi,
permulaannya dengan menghafal, kemudian memahami, kemudian beri'tiqad,
menyakini dan membenarkan. Dan yang demikian, termasuk hal yang berhasil pada
anak-anak, dengan tidak memerlukan dalil.
Maka
diantara karunia Allah Ta'ala ke dalam hati manusia ialah bahwa terbukanya pada
awal kejadiannya. kepada iman tanpa memerlukan kepada alasan dan dalil.
Bagaimanakah yang demikian itu dapat dibantah? Seluruh i'tiqad orang awwam,
permulaannya adalah ajaran dan taqlid semata-mata.
Memang
i'tiqad yang hasil dengan semata-mata taqlid, tidak luput pada mulanya dari
kelemahan, dengan pengertian mungkin hilang bila datang Iawannya. Dari itu
harus dikuatkan dan ditetap-teguh-kan dalam jiwa anak-anak dan orang awwam,
sehingga meresap dan tidak goyang lagi.
Jalan
menguatkan dan menetapkannya, tidaklah dengan mangajar-kan cara berdebat dan
berilmu kalam. Tetapi adalah dengan memperbanyak pembacaan Al-Qur'an serta
tafsirnya, membaca hadits dan pengertiannya. Dan mengerjakan dengan
sungguh-sungguh segala macam ibadah. Dengan demikian, maka i'tiqad itu
senantiasa bertambah meresap dengan dalil-dalil Al-Qur'an dan hujjahnya, yang
mengetuk anak telinganya. Dan dengan kesaksian hadits dan faedah-faedah yang
terkandung di dalamnya.
Dan
dengan sinaran nur gemilang dari segala ibadah dan tugas-tugasnya. Dan dengan
menjalar kepadanya, dari menyaksikan orang-orang shalih dan duduk-duduk dengan
mereka, tanda, pendengaran dan sikap mereka, pada merendahkan diri, takut dan
ketetapan hati kepada Allah Ta'ala.
Maka
adalah permulaan ajaran keimanan itu, Iaksana penyebaran benih ke dalam dada.
Dan sebab-sebab yang tersebut tadi adalah Iaksana penyiraman dan pemeliharaan
benih itu. Sehingga tumbuh benih itu, kuat dan tinggi, menjadi sepohon kayu
yang baik, kuat, urat tunggangnya di bumi dan cabangnya di langit.
Dan
hendaklah pendengaran anak-anak itu dijaga dengan sebaik-baiknya dari berbantah
dan berilmu kalam. Sebab kekacauan yang ditimbulkan oleh perdebatan itu, lebih
banyak daripada pendidikan yang dihasilkannya. Dan apa yang dirusakkannya,
adalah lebih banyak daripada yang diperbaikinya. Bahkan menguatkan keimanan
dengan perdebatan itu menyerupai dengan memukul batang kayu dengan palu besi,
karena mengharap bertambah kuatnya dengan bertambah banyak
bahagian-bahagiannya.
Dan
kadang-kadang perbuatan itu membinasakan dan merusakkan batang kayu itu. Dan
inilah yang banyak kejadian. Kesaksian membuktikan demikian dengan tegas. Dan
ambillah itu menjadi bukti yang dapat dipersaksikan dengan mata.
Maka
ambillah perbandingan antara aqidah orang-orang shalih dan bertaqwa dari
kebanyakan manusia dengan aqidah orang-orang ahli ilmu kalam dan perdebatan.
Maka akan kita jumpai bahwa i'tiqad orang awwam itu tetap seperti bukityang
tinggi, tidak dapat diumbang-ambingkan oleh angin topan dan halilintar. Dan
aqidah ahli ilmu kalam yang menjaga aqidahnya dengan bermacam-maeam perdebatan,
adalah seumpama seutas benang yang terlepas di udara, ditiupkan angin ke
sana-sini. Kecuali orang-orang yang mendengar dalil i'tiqad dari ahli-ahli ilmu
kalam, lalu dipegangnya secara taqlid. Sebagaimana dipegangnya i'tiqad itu
sendiri secara taqlid, karena tak ada bedanya pada bertaqlid antara mempelajari
dalil atau mempelajari i'tiqad itu tanpa dalil. Maka mempelajari.dalil itu
adalah satu hal dan mencari dalil dengan pemikiran, adalah hal lain pula yang
lebih jauh daripadanya.
Seorang
anak kecil, apabila terjadi dalam perkembangan hidupnya di atas aqidah ini,
jika dia berkecimpung dalam usaha keduniaan, maka tak terbuka baginya selain
dari aqidah tadi. Tetapi ia selamat di akhirat dengan aqidah ahli kebenaran
itu. Sebab, agama itu sendiri tidak memberatkan kepada orang-orang Arab yang
sederhana pengetahuannya, lebih banyak dari membenarkan dengan keyakinan akan
yang jelas-jelas saja dari i'tiqad-i'tiqad itu.
Adapun
pembahasan, pemeriksaan dan pengaturan dalil-dalil yang berat-berat, maka tidaklah
sekali-kali mereka itu diberatkan.
Jika
ia bermaksud menjadi orang yang menuju ke jalan akhirat dan mendapat
pertolongan taufiq, sehingga ia berbanyak amal, selalu bertaqwa, mencegah diri
dari hawa nafsu, selalu melatih diri dan bermujahadah, niscaya terbukalah
baginya pintu hidayah, tersingkaplah
segala
hakikat dari aqidah ini dengan nur Ilahi yang dicurahkan dalam hatinya dengan
sebab mujahadah itu, untuk pembuktian atas janji Allah 'Azza wa Jalla, dengan
firmanNya :
وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ
(Walladziina
jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innallaaha lama'almuhsiniin).Artinya
:"Dan mereka yang bermujahadah pada Kami, sesungguhnya Kami tunjukkan
jalan Kami kepada mereka. Bahwasanya Allah itu beserta orang yang berbuat baik
(S. Al-Ankabut, ayat 69).Itulah
mutiara yang amat berharga, yang menjadi tujuan dari keimanan orang-orang
shiddiq dan muqarrabin. Dan kepadanyalah diisyaratkan, rahasia kebesaran yang
terpendam dalam dada Abu Bakar Shiddiq ra. sehingga dia terpandang lebih mulia
dari orang-orang lain.
Terbukanya
satu rahasia itu, bahkan semua rahasia-rahasia itu, mempunyai tingkat menurut
tingkat mujahadahnya, tingkat keba-thinannya tentang kebersihan dan kesucian
dari selain Allah Ta'ala dan tentang memperoleh cahaya dengan nur keyakinan,
Dan yang demikian itu, adalah seperti berlebih-kurangnya pengetahuan manusia
tentang rahasia ilmu kedokteran, ilmu fiqih dan ilmu-ilmu yang lain. Karena
berlainan yang demikian dengan berlainannya ijtihad dan fithrah, tentang
kecerdikan dan kepintaran.
Maka
sebagaimana tingkat-tingkat itu tidak terhingga, maka begitu pulalah ini.
Masaalah.
Kalau
anda tanyakan :
mempelajari cara berdebat dan ilmu kalam itu tercela, seperti mempelajari ilmu
bintang atau dibolehkan atau disunatkan?
Maka
ketahuilah, bahwa manusia dalam hal ini, mempunyai hal di luar batas dan
berlebih-lebihan dalam beberapa segi. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa
mempelajari berdebat dan ilmu kalam itu bid'ah dan haram. Dan bahwa hamba Allah
itu jika dia menjumpai Allah dengan seluruh dosanya selain syirik
(mempersekutukan Allah), adalah lebih baik baginya daripada menjumpaiNya dengan
ilmu kalam.
Diantaranya
ada yang mengatakan wajib dan fardiu. Adakalanya secara fardiu kifayah atau
fardiu 'ain. Dan ilmu kalam itu seutama-utama ilmu dan setinggi-tinggi
penghampiran diri kepada Allah. Karena ilmu itu meyakinkan bagi ilmu tauhid dan
mempertahan-kan agama Allah Ta'ala.
Dan
kepada pengharaman, ialah sepanjang madzhab Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin
Hanbal, Sufyan dan seluruh salaf dari ahli hadits. Berkata Ibnu Abdil-A'la ra.
: "Saya mendengar Asy-Syafi'i ra, pada hari dia berdebat dengan
Hafshul-fard seorang ahli ilmu kalam dari golongan Mu'tazilah,mengatakan :
"Lebih baik bagi seorang hamba Allah bertemu dengan Allah dengan segala
dosa selain dari syirik daripada bertemu dengan Allah dengan sesuatu daripada
ilmu kalam ". Dan saya sudah mendengar dari Hafshul-fard tadi, kata-kata yang
tak sanggup saya menceriterakannya".
Berkata
Ibnu Abdil-A'la pula :
"Saya sudah melihat dari ahli ilmu kalam itu, sesuatu yang saya tidak
menyangkanya sama sekali. Dan untuk seorang hamba Allah itu, lebih baik
mendapat percobaan dengan segala yang dilarang Allah selain dari syirik,
daripada me mandang pada ilmu kalam".
Berkata Al-Karabisi ra. : "Bahwa pemah Asy-Syafi'i ra.
ditanyakan orang mengenai sesuatu dari ilmti kalam. Maka beliau marah, seraya
berkata : "Tanyakanlah tentang ini kepada Hafshul-fard dan kawan-kawannya,
orang-orang yang telah dihinakan Tuhan".
Ketika
Asy-Syafi'i ra. sakit,
lalu datang kepadanya Hufshul-fard seraya bertanya kepadanya : "Siapakah
saya ini?".
Maka
menjawab Asy-Syafi'i :
"Hafshul-fard, tidak dipelihara dan dipimpin engkau oleh Allah sebelum
engkau bertobat dari paham yang engkau anut sekarang".
Berkata
Asy-Syafi'i lagi :
"Jikalau tahulah manusia apa yang di dalam ilmu kalam itu dari
bermacam-macam hawa nafsu, maka akan larilah mereka daripadanya seperti larinya
dari singa".
Berkata
lagi Asy-Syafi'i :
"Apabila engkau mendengar seseorang mengatakan : Nama, ialah yang
dinamakan atau bukan yang dinamakan (Al-ismu huwal musammaa au ghairul
musammaa), maka naik saksilah bahwa orang tersebut termasuk ahli ilmu kalam dan
tak ada agama bagi orang itu".
Berkata
Az-Za'farani :
"Kata Asy-Syafi'i : Hukumanku kepada orang-orang ilmu kalam itu, dipukul
dengan pelepah kurma dan dibawa berkeliling pada kabilah-kabilah dan puak-puak.
Dan dikatakan, inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah
dan mengambil ilmu kalam".
Berkata
Ahmad bin Hanbal :
"Orang ilmu kalam itu tidak akan memperoleh kemenangan selama-lamanya.
Hampir kita tidak melihat seorangpun yang memperhatikan ilmu kalam itu,
melainkan di dalam hatinya terdapat keraguraguan".
Begitu
benar Ahmad bin Hanbal mencela ilmu kalam itu, sampai ia tidak mau
bercakap-cakap dengan Al-Harits Al-Muhasibi -seorang yang zuhud dan wara'-.
Karena Al-Harits mengarang sebuah kitab untuk menentang kaum bid'ah. Berkata
Ahmad bin Hanbal kepada Al-Harits itu : "Kasihan saudara! Bukankah saudara
menceriterakan mula-mula kebid'ahan mereka itu? Kemudian saudara menolaknya?
Bukankah saudara dengan karangan saudara itu, membawa manusia kepada membaca
bid'ah dan berpikir kepada yang syubhat? Lalu terbawalah mereka kepada
berpendapat dan membahas?".
Berkata Ahmad ra.: "Ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq"(1)
Berkata Malik ra. : "Tidakkah engkau melihat, bila datang orang yang lebih
pandai berdebat daripadanya, adakah ia meninggalkan agamanya tiap-tiap hari,
untuk agama baru?". Maksud Malik, bahwa perkataan orang-orang yang
bermujadalah itu selalu berlebih-kurang.
Berkata Malik ra. pula : "Tak boleh menjadi saksi ahli
bid'ah dan hawa nafsu". Maka berkata sebahagian temannya dalam menafsirkan
perkataan Malik tadi, bahwa yang dimaksudkannya dengan ahli hawa nafsu itu,
ialah ahli ilmu kalam atas aliran manapun mereka berada.
1.Zindiq =ialah islam pada zahir ,kafir pada batin.
Berkata
Abu Yusuf :
"Barangsiapa mempelajari ilmu kalam, maka ia menjadi zindiq".
Berkata
Al-Hasan : "Janganlah engkau bermujadalah dengan ahli hawa nafsu!
Janganlah duduk-duduk bersama mereka dan janganlah mendengar apa-apa dari
mereka".
Telah
sepakat orang-orang terdahulu dari ahli hadits atas ini. Dan tak terhingga
banyaknya peringatan-peringatan yang keras yang datang dari mereka. Ahli-ahli
hadits itu mengatakan bahwa para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم tidak diam daripadanya, serta mereka
sebetulnya lebih mengetahui hakikat yang sebenarnya dan lebih lancar dengan
penyusunan kata-kata dari orang lain. Tidak lain, melainkan karena mereka
mengetahui apa yang akan terjadi dari berbagai macam kejahatan.
Dari itu Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda :
هلك المتنطعون هلك المتنطعون هلك
المتنطعون(Halakal mutanaththi'uuna, halakal muta naththi'uuna, halakal-mutanath thi 'uuna).
Artinya : "Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik!". (1)
Ahli-ahli
hadits yang terdahulu itu mengemukakan pula alasan, bahwa kalau benar
pembahasan dalam ilmu kalam itu termasuk sebahagian dari agama, tentulah dia
menjadi yang terpenting dari apa yang disuruhkan Nabi صلى الله عليه
وسلم Dan tentu
diajarkan oleh Nabi saw. caranya serta memberi pujian kepada ilmu itu dan
kepada ahli-ahli-nya. Sesungguhnya yang diajarkan oleh Nabi saw. kepada mereka,
ialah cara beristinja' (bersuci dari air kecil dan air besar). Dan di-sunatkan
oleh Nabi saw. kepada mereka mempelajari ilmu faraidl (pembahagian pusaka), dan
memberi pujian kepada mereka yang mempelajari ilmu itu. Dan melarang mereka
memperkatakan tentang qadar (taqdir) dengan sabdanya : "Tahanlah dirimu
dari memperkatakan qadar!".
1.Dirawikan muslim dari ibnu mas”ud Dan penyeledikan di sini dimaksudkan dalam bidang ilmu kalam yang menyangkut dalam ketuhanan
Dan
atas dasar itu, terus-meneruslah para shahabat berpegang. Maka melebihkan dari
guru adalah durhaka dan dhalim. Dan para shahabat itu adalah guru dan ikutan
kita. Dan kita adalah pengikut dan murid mereka.
Adapun
golongan lain, mengemukakan alasan dengan mengatakan, bahwa yang ditakuti dari
ilmu kalam itu, kalau ada, ialah mengenai kata-kata jauhar dan 'aradi Istilah-istilah
yang ganjil ini yang tidak diketahui oleh para shahabat ra., maka persoalannya
dekat saja. Karena ilmu apapun juga, telah diperbuat padanya istilah-istilah
supaya mudah dipahami, seperti hadits, tafsir dan fiqih. Kalau di bentangkan
kepada para shahabat itu, kata-kata : lawan, pecah, susunan, pelampauan
(Ta'diyah), dan rusak letakan (fasadul wadla'), sampai kepada semua persoalan
yang dikemukakan dalam bab qias (dari ilmu logika), tentu tidak dipahami
mereka. Maka membuat kata-kata ('ibarah), untuk memberi dalil kepada kata-kata
tersebut dengan maksud yang benar, samalah halnya seperti membuat tempat-tempat
air dalam bentuk yang baru untuk dipakai pada jalan yang diperbolehkan.
Dan
kalau yang ditakuti itu, adalah maksudnya, maka dalam hal ini kami tidak
bermaksud selain dari mengenai dalil ada baharu alam dan keesaan Khaliq dan
sijat-sifatNya, sebagaimana yang tersebut dalam agama. Maka dari manakah
datangnya haram mengenai Allah Ta'ala dengan dalil?
Dan
kalau yang ditakuti itu yaitu perpecahan, ta'assub (fanatik golongan),
permusuhan, persengketaan dan lainnya yang diakibat-kan oleh ilmu kalam itu,
maka memanglah itu diharamkan. Dan wajiblah menjaga diri daripadanya.
Sebagaimana sombong, 'ujub, ria, ingin jadi kepala dan lainnya yangdiakibatkan
oleh ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Itu semuanya diharamkan dan wajib menjaga
diri daripadanya. Tetapi tidaklah dilarang ilmunya, karena terbawa ke situ.
Bagaimanakah menyebut alasan, mencari alasan dan membahas alasan itu dilarang?
Dan
Allah Ta'ala sendiri berfirman :
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ(Qul haatuu burhaanakum).Artinya : "Katakanlah (Muhammad)! Berikanlah keteranganmu!(S. Al-Baqarah, ayat 111),
Dan
berfirman Allah Ta'ala :
لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ
بَيِّنَةٍ(Liyahlika man halaka 'an bayyinatin wa yahyaa man hayya 'an bayyinatin).
Artinya : "Supaya binasa orang yang binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang yang hidup dengan keterangan yang jelas".(S. Al-Anfal, ayat 42).
Dan
berfirman Allah Ta'ala :
هل
عندكم من سلطان بهذا (Qul hal 'indakum min sulthaanin bihaadzaa).Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Adakah padamu kekuasaan tentang ini?".Yakni: keterangan dan alasan.
Berfirman
Allah Ta'ala :
قُلْ
فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ(Qul falillaahil hujjatul baalighah).Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Allah mempunyai keterangan yang tegas".(S. Al-An'am, ayat 149).
Berfirman
Allah Ta'ala :
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ(Alam tara ilalladzii haajja Ibraahiima fii rabbih).
Artinya :"Tiadakah engkau perhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya?". (S. Al-Baqarah, ayat 258).
sampai kepada firmanNya :
فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ
(Fabuhital ladzii kafa )
Artinya :"Lalu orang kafir itu kehilangan akal". (S. Al-Baqarah, ayat 258).
Karena
dalam ayat ini, disehutkan oleh Allah swt. keterangan Nabi Ibrahim as.
penentangan dan pukulannya kepada musuh sebagai pujian dari Allah Ta'ala kepada
Nabi Ibrahim as.
Berfirman
Allah Ta'ala :
وَتِلْكَ
حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ(Wa tilka hujjatunaa aatainaahaa Ibraahiima 'alaa qaumih).Artinya :"Dan itu adalah keterangan Kami, yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya". (S. Al-An'am, ayat 83).
Berfirman
Allah Ta'ala :
قَالُوا
يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا(Qaaluu yaa Nuuhu qad jaadaltanaa fa-aktsarta jidaalanaa).Artinya :"Mereka berkata : Ya Nuh Sesungguhnya engkau telah bermuja-dalah-dengan kami, maka banyaklah engkau bermujadalah dengan kami itu (S. Hud, ayat 32).
Dan
berfirman Allah Ta'ala mengenai kisah Fir'aun :
وَمَا
رَبُّ الْعَالَمِينَ(Wa maa rabbul 'aalamiin).Artinya :"Siapakah Tuhan Pemimpin semesta alam itu?".(S. Asy-Syu'ara, ayat 23).
Sampai
kepada firmanNya :
قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ
مُبِينٍ(Qaala awalau ji'tuka bisyai-in mubiin).
Artinya :"Berkata Musa : Dapatkah kamu menerima kalau aku dapat memperhatikan sesuatu (alasan) yang terang?". (S. Asy-Syu'ara, ayat 30)
Kesimpulannya
Al-Quran itu dari permulaannya sampai kepada penghabisannya adalah keterangan
yang jelas menghadapi orang-orang kafir. Maka pegangan dalil bagi ahli-ahli
ilmu kalam itu tentang tauhid ialah firman Allah Ta'ala :
لَوْ
كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).
Artinya :"Jikalau adalah di langit dan di bumi ini beberapa Tuhan selain dari Allah, maka rusakkah langit dan bumi itu". (S. Al-Anbia', ayat 22),
Dan pegangan dalil tentang kenabian ialah firman Allah
Ta'ala :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا
نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ(Wa in kuntum fii raibin mimmaa nazzalnaa 'alaa 'abdinaa fa'tuu bisuuratin mim mitslih).
Artinya :"Jika adalah kamu di dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat saja seperti (Al-Qur'an ) itu ". (S. Al-Baqarah, ayat 23).
Dan pegangan dalil tentang kebangkitan, firman Allah :
قُلْ
يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ(Qul yuhyiihalladzii ansya-ahaa awwala marratin).Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Akan dihidupkannya oleh Yang Men-jadikannya pada pertama kali". (S. Yaa Siin, ayat 79).
Dan
begitulah seterusnya dari ayat-ayat suci dan dalil-dalil yang lain.Dan
rasul-rasul itu selalu menghadapi dengan keterangan akan orang-orang yang
menentang dan mengadakan perdebatan dengan mereka.
Berfirman
Allah Ta'ala :
وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ(Wa jaadilhum billatii hiya ahsan).
Artinya :"Bermujadalahlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya(S. An-Nahl, ayat 125).
Shahabat-shahabat ra. juga selalu mengemukakan alasan-alasan menghadapi orang-orang yang ingkar itu dan melakukan perdebatan. Tetapi itu ketika diperlukan. Dan pada masa mereka, keperluan untuk itu sedikit sekali. Dan orang pertama yang membuat tradisi mengajak orang-orang berbuat bid'ah, kepada kebenaran dengan perdebatan, ialah Ali bin Abi Thalib ra., ketika Ali mengutus Ibnu Abbas ra. menjumpai orang Khawarij dan mengadakan pertukaran pikiran dengan mereka.
Bertanya Ibnu Abbas ra. kepada orang Khawarij itu : "Mengapakah kamu mencaci
Imammu?". Menjawab orang Khawarij itu : "Dia berperang dan dia tidak
mengambil tawanan dan harta rampasan".
Maka membalas Ibnu Abbas : "Cara yang demikian, kalau
berperang dengan kafir. Apakah pendapatmu kalau A'isyah ra. ditawan pada hari
perang jamal? Lalu sebagai tawanan, A'isyah ra. itu termasuk dalam bahagian
salah seorang dari kamu. Apakah kamu menganggap halal dia sebagaimana kamu
menganggap halal dengan budak-budak wanitamu yang lain? Padahal dia ibumu
menurut penegasan Al-Qur'an?".
Maka kaum Khawarij itu menjawab : "Tidak!" Dengan mujadalah yang
dilakukan oleh Ibnu Abbas ra., maka kembalilah menta'ati Ali sebanyak dua ribu
orang dari kaum Khawarij.
Diceriterakan
bahwa Al-Hasan berdebat dengan seorang qadariah. (1) Dengan perdebatan itu,
orang qadariah tadi menarik diri dari paham qadariah. Ali bin Abi Thalib ra.
pernah berdebat dengan seorang qadariah. Abdullah bin Mas'ud ra. pernah
berdebat dengan Yazid bin 'Umairah mengenai keimanan. Berkata Abdullah :
"Kalau engkau mengatakan aku mu'min, maka engkau mengatakan bahwa aku
dalam sorga".
Menjawab
Yazid bin 'Umairah : "Hai shahabat Rasul! Itu adalah suatu kesilapan
daripadamu. Bukankah iman itu, yaitu percaya kepada Allah, kepada malaikatNya,
kitab-kitabNya, rasul-rasulNya percaya kepada kebangkitan, kepada timbangan
amal, mendirikan shalat, berpuasa dan mengeluarkan zakat? Kita mempunyai banyak
dosa.
(1) Qadariah:yaitu aliran yang meletakkan segala-galanya kepada taqdir, sehingga manusia itu, ibarat bulu ayam tergantung, terbang ke mana dibawa angin. (peny).
Kalau
kita ketahui dosa itu diampunkan Tuhan, maka tahu-lah kita bahwa kita itu dari
penduduk sorga. Dari itu, kita mengatakan bahwa kita orang mu'min dan tidak
kita mengatakan bahwa kita dari penduduk sorga".
Maka
menjawab Ibnu Mas'ud : "Benar engkau. Sebenarnya dari ucapan tadi kesilapanku sendiri".
Maka
sewajarnyalah dikatakan, bahwa para shahabat itu mencempelungkan diri ke dalam
perdebatan itu adalah sedikit saja, tidak banyak, pendek saja, tidak panjang
dan ketika diperlukan. Tidak dengan jalan mengarang, mengajar dan membuatnya
sebagai perbuatan mencari rezeki.
Maka
dapat ditegaskan bahwa sedikitnya para shahabat itu mencempelungkan diri ke
dalam perdebatan, adalah karena kurang diperlukan. Sebab tak ada bid'ah yang
timbul pada masa itu.
Mengenai
singkatnya perdebatan yang dilakukan mereka adalah tujuannya menginsafkan
lawan, memberi pengertian, menyingkapkan kebenaran dan menghilangkan keraguan.
Kalau lawan itu memanjangkan persoalan atau penantangan, maka sudah pasti
perdebatan itu menjadi lama. Dan tidaklah para shahabat itu dapat menaksir
dengan timbangan dan sukatan, berapa lama diperlukan perdebatan itu bila telah
mencempelungkan diri ke dalamnya.
Mengenai
tidaknya para shahabat itu mengajar dan mengarang tentang perdebatan itu, maka
begitu pulalah sikap mereka terhadap fiqih, tafsir dan hadits. Maka jikalau
boleh mengarang fiqih dan membuat gam bar-gam bar yang ganjil yang hampir tidak
pernah kejadian, adakalanya untuk disimpan pada waktu terjadinya walaupun
jarang benar terjadi atau untuk pengasah otak. Maka kita juga menyusun cara
bermujadalah karena mungkin diperlukan nanti disebabkan berkobamya hal-hal yang
meragukan. Atau ban gun orang-orang yang membuat bid'ah atau untuk mengasah
otak atau untuk menyimpan keterangan, sehingga bila diperlukan dengan mudah dan
dengan spontan, tidak merasa lemah, seperti orang yang menyediakan alat senjata
sebelum perang untuk dipakai di hari perang.
Inilah
kemungkinan-kemungkinan yang dapat disebutkan untuk kedua golongan itu.
Kalau
anda bertanya : "Manakah pilihan tuan?!'
Ketahuilah
kiranya, bahwa yang benar dalam persoalan tersebut, ialah bahwa mencelanya
secara mutlak dalam segala keadaan atau memujinya dalam segala keadaan, adalah
salah. Tetapi hendaklah dengan penguraian.
Pertama-tama ketahuilah, bahwa sesuatu itu kadang-kadang haram
karena zatnya seperti arak dan bangkai. Maksudku dengan kataku karena zatnya
ialah, bahwa sebab pengharamannya, adalah suatu sifat pada zatnya. Yaitu
memabukkan (pada arak) dan karena mati (pada bangkai).
Mengenai
ini apabila kita ditanyakan, maka dapatlah secara mutlak kita mengatakan haram.
Dan tidak mempengaruhi akan penjawaban tersebut oleh mubahnya memakan bangkai
ketika diperlukan benar. Dan mubahnya meneguk arak apabila tersumbat
kerongkongan dengan suapan makanan dan tidak diperoleh selain dari arak untuk
menghilangkan tersumbat itu.
Dan
ada pula, haramnya tidak karena zatnya seperti menjual atas penjualan sesama
Islam dalam waktu khiar dan seperti berjual-beli ketika adzan (panggilan untuk
shalat Jum'at) dan seperti memakan tanah.
Maka
itu diharamkan karena padanya mendatangkan melarat.
Yang
mendatangkan melarat itu, terbagi kepada : mendatangkan melarat oleh sedikitnya
dan banyaknya. Maka dalam hal ini dapatlah secara mutlak dikatakan bahwa; benda
itu haram, seperti racun, yang membunuh oleh sedikitnya dan banyaknya. Dan
mendatangkan melarat oleh banyaknya saja, maka dalam hal ini secara mutlak
dikatakan mubah (diperbolehkan), seperti madu. Sebab dengan banyaknya,
mendatangkan melarat dengan panas. Dan seperti memakan tanah. Dan menyebutkan
haram tanah dan arak serta halal madu itu, karena melihat kepada keadaan yang
biasanya demikian. Kalau ada sesuatu benda, yang bertentangan padanya beberapa
keadaan, maka yang lebih utama dan lebih terpelihara dari ke ragu-raguan,
hendaklah diuraikan secara terperinci.
Marilah
kita kembali membicarakan ilmu kalam dengan mengatakan bahwa pada ilmu kalam
itu ada manfa'atnya, di samping ada melaratnya.
Maka
ilmu kalam itu dengan memandang kepada manfa'atnya, pada waktu mengambil
manfa'atnya, adalah halal atau disunat-kan atau diwajibkan, menurut keadaan
yang berlaku. Dan dengan memandang kepada melaratnya pada waktu dan tempat
memperoleh itu, adalah haram.
Kemelaratannya
yaitu mengobarkan syubhat, raenggoyangkan 'aqidah dan menghilangkan. keyakinan
dan keteguhan hati. Maka yang demikian itu, termasuk apa yang ada pada
permulaan. Dan mengembalikannya dengan dalil, adalah diragukan.
Hal
itu berbeda menurut keadaan orangnya.
Inilah
melaratnya ilmu kalam itu, terhadap i'tiqad yang benar.
Di
samping itu ada lagi kemelaratannya yang lain. Yaitu dapat meneguhkan i'tiqad
pembuat bid'ah untuk bid'ahnya. Dan dapat menetapkan i'tiqad itu dalam dada
mereka, dengan akan terbangun pengajak-pengajak mereka dan bersangatan
kesungguhan hati mereka untyk menetap terus dalam aqidah itu.
Tetapi
kemelaratan yang tersebut tadi itu, adalah dengan peranta-raan fanatik yang
berkobar dari perdebatan. Dari itu, anda akan melihat pembuat bid'ah yang
bodoh, mungkin hilang i'tiqadnya dalam waktu yang singkat dengan lemah lembut.
Kecuali,
apabila ia berada dalam suatu negeri yang menonjol di dalamnya perdebatan dan
ta'assub. Maka dalam hal ini, kalaupun berkumpul orang yang terdahulu dan
yangterkemudian, tidak akan sanggup mencabut kebid'ahan dari dalam dadanya.
Tetapi hawa nasfulah, ta'assub, kemarahan lawan yang bermujadalah dan partai
yang bertentangan yang akan menguasai hatinya dan mencegahnya dari memperoleh
kebenaran. Sehingga kalaulah dikatakan kepadanya : Inginkah kamu supaya
dibukakan Allah tutup hatimu dan diperkenalkanNya kepadamu dengan nyata, bahwa
kebenaran itu ada di pihak musuhmu, maka bencilah dia yang demikian. Karena dia
takut nanti menang Iawannya:
Inilah
penyakit yang menular, yang beterbangan di dalam negeri dan pada semua hamba.
Yaitu semacam kerusakan yang dihembus-kan oleh orang-orang yang bermujadalah
dengan fanatik.
Inilah
melaratnya ilmu kalam!.!!!
Mengenai
manfa'atnya, maka kadang-kadang ada orang yang menyangka, bahwa kegunaan ilmu
kalam itu ialah membuka hakikat kebenaran dan mengenalinya menurut keadaan yang
sebenarnya.
Wahai
kiranya, tidak adalah dalam ilmu kalam itu yang dapat menyempurnakan tujuan
yang mulia ini. Kerusakan dan kesesatan-lah yang lebih banyak padanya, daripada
keterbukaan dan pengenalan.
Dan
ini apabila anda dengar dari seorang ahli hadits atau seorang yang berbanyak
bunga dalam perkataannya, maka kadang-kadang terguris di hati anda, bahwa
manusia itu adalah musuh apa yang tidak diketahuinya. Maka aku mendengar ini
dari orang yang ber-pengalaman tentang ilmu kalam. Kemudian ia benci, sesudah
pengalaman yang sebenarnya dan sesudah masuk sampai ke tingkat yang terakhir
ahli-ahli ilmu kalam. Dan ia melampaui yang demikian, sampai kepada mendalami
ilmu-ilmu yang lain, yang bersesuaian dengan bahagian ilmu kalam. Dan ia yakin
bahwa jalan ke hakikat ma'rifah dari cara ini, adalah tertutup.
Benar,
ilmu kalam itu senantiasa membuka, memperkenal dan menjelaskan sebahagian
persoalan. Tetapi sedikit sekali dapat dipahami, dalam persoalan-persoalan yang
terang, sebelum lagi mendalami pelajaran ilmu kalam itu. Bahkan manfa'atnya
hanya satu saja. Yaitu menjaga 'aqidah yang telah kami terangkan dahulu
terhadap orang 'awwam dan memeliharanya dari gangguan-gangguan ahli bid'ah
dengan bermacam-macam pertengkaran.
Sesungguhnya
orang 'awwam itu lemah, dapat digertakkan oleh pertengkaran orang bid'ah
walaupun itu merusak. Dan menentang yang merusak dengan yang merusak itu, akan
mendorong kepada kerusakan.
Manusia
itu beribadah (berpegang teguh) dengan 'aqidah ini yang telah kami terangkan
dahulu. Karena telah datang agama memba-wanya, di mana di dalamnya perbaikan
untuk agama dan dunia. Dan telah sepakat ulama salaf yang saleh. Dan para ulama
itu, beribadah menjaganya pada orang awwam dari gangguan-gangguan tukang
bid'ah. Sebagaimana para sultan menjadi ibadah menjaga harta orang 'awwam, dari
serangan orang-orang dhalirn dan perampokan.
Apabila
telah diketahui kemelaratan dan kemanfa'atan ilmu kalam itu, maka seharusnyalah
orang yang ahli dalam ilmu kalam itu, seperti dokter yang mahir dalam pemakaian
obat yang berbahaya. Karena tidaklah akan diletakkannya selain pada tempatnya.
Yaitu pada waktu perlu dan seberapa perlu.
Penguraiannya
ialah, bahwa orang-orang 'awwam yang bekerja di pertukangan dan diperusahaan,
haruslah dibiarkan keselamatan 'aqidahnya yang diimaninya, bilamana telah
dipelajarinya i'tiqad yang benar yang telah kami sebutkan itu.
Mengajarkan
ilmu kalam kepada mereka adalah melarat semata-mata. Sebab kadang-kadang
menimbulkan ke raguraguan di dalam hatinya dan membuat kegoncangan i'tiqadnya.
Dan tidak mungkin nanti diperbaiki lagi.
Mengenai
orang 'awwam yang ber'aqidah bid'ah, maka seharusnyalah diajak kepada kebenaran
dengan lemah lembut, tidak dengan fanatik. Dengan kata-kata yang halus yang
memuaskan hati, yang membekas ke dalam jiwa, yang mendekati dengan cara
dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits, yang bercampur dengan seni pengajaran dan
peringatan. Cara yang demikianlah yang lebih bermanfa'at, dibandingkan dengan
pertengkaran yang didasarkan kepada syarat orang-orang ilmu kalam. Karena orang
'awwam apabila mendengar yang demikian, lalu meyakini bahwa itu adalah semacam
perbuatan dari mujadalah yang dipelajari oleh ahli ilmu kalam untuk
menjerumuskan orang banyak kepada kepercayaannya. Bila orang 'awwam itu tidak
sanggup menjawabnya, lalu menaksir bahwa ahli-ahli berdebat dari golongannya
juga, akan sanggup menolaknya.
Maka
perdebatan yang seperti ini dan yang pertama itu haram hukumnya.
Begitu
pula orang yang ke ragu-raguan dalam 'aqidah, karena wajiblah dihilangkan ke
ragu-raguannya dengan lemah-lembut, dengan pengajaran dan dalil-dalil yang
dekat, yang dapat diterima, jauh dari mendalami ilmu kalam.
Perdebatan
yang habis-habisan, hanya berguna pada satu tempat saja. Yaitu dalam hal orang
'awwam itu beri'tiqad bid'ah dengan semacam mujadalah yang didengamya. Maka
hendaklah mujadalah itu ditentang dengan mujadalah pula yang serupa. Maka dia
akan kembali kepada 'aqidah yang benar.
Yang
demikian itu, adalah mengenai orang yang menampak baginya kerusakan kepada
bermujadalah, yang merasa tak puas dengan pengajaran-pengajaran dan
peringatan-peringatan yang sesuai bagi orang 'awwam. Orang yang semacam ini
sudah sampai kepada keadaan yang tidak menyembuhkannya kecuali dengan obat
perdebatan. Maka bolehlah disuguhkan kepadanya.
Adapun
pada negeri-negeri yang sedikit sekali bid'ah dan tak ada di situ pertikaian
madzhab, maka mencukupilah dengan pelajaran i'tiqad yang telah kami sebutkan
dahulu. Dan tak usah dibentangkan dalil-dalil dan dijaga dari terjadinya ke
ragu-raguan. Dan kalau timbul ke ragu-raguan itu, barulah dibentangkan
dalil-dalil sekedar perlu saja.
Kalau bid'ah itu sudah tersebar dan dikuatiri anak-anak akan
tertipu, maka tiada mengapa diajarkan sekedar yang telah kami muatkan dalam
kitab "Ar-Risalah al-Qudsiyah", untuk menjadi bahan penolak pengaruh
dari mujadalah tukang-tukang bid'ah itu, bila terjadi di kalangan mereka.
Itulah
batas yang ringkas, yang telah kami simpan di dalam kitab itu secara singkat.
Kalau
ada diantara mereka yang cerdik dan sadar ia kepada persoalan yang dihadapi
karena cerdiknya atau ke ragu-raguannya sudah menggelora dalam dirinya, maka
dalam hal ini, telah timbul sebab yang ditakuti dan telah lahir penyakit. Maka
tiada mengapa pembahasan ilmu kalam itu meninggi lagi sampai kepada batas yang
telah kami terangkan dalam kitab "Al-Iqtishad fil-I'tiqad", yaitu
kira-kira lima puluh lembar kertas.
Isi
kitab tersebut tiada keluar dari pandangan tentang aqidah-aqidah i'tiqad dan
sebagainya dari pembahasan-pembahasan ahli ilmu kalam.
Apabila
buku tersebut memuaskan baginya, maka terpeliharalah dia dari kerusakan
i'tiqad. Dan jika tidak memuaskan maka itu menandakan bahwa penyakit itu sudah
melumpuhkan, sudah mera-ta dan menjalar. Maka dalam hal ini, tabibnya hendaklah
berbelas-kasihan sedapat mungkin dan menunggu taqdir dari Allah Ta'ala,
moga-moga dibukaNya kebenaran sampai orang itu sadar. Atau orang itu
terus-menerus di dalam syak dan ragu, maka dalam hal ini terserah kepada
takdir. Dan isi yang terkandung dalam kitab itu dan dalam karangan-karangan
lain yang sejenis dengan itu, dapat diharapkan kegunaannya.
Adapun yang di luar dari itu, ada dua bahagian :
Pertama : pembahasan yang lain dari qaidah-qaidah i'tiqad, seperti pembahasan tentang pegangan hidup, tentang alam, tentang perasaan dan dari memperkatakan mengenai penglihatan. Adakah dia itu mempunyai lawan, yang dinamakan larangan atau buta?.
Kalau
ada Iawannya, maka adalah satu saja. Yaitu larangan dari semua yang tidak
dilihat atau tetaplah bagi tiap-tiap yang mungkin dilihat, oleh larangan
menurut bilangannya dan hal-hal lain yang batil menyesatkan.
Kedua :
tambahan penetapan dalil-dalil itu, pada bukan qaidah-qaidah i'tiqad dan
tambahan soal dan jawab. Itu juga penyelidikan yang tidak menambahkan kecuali
kesesatan dan kebodohan, terhadap orang-orang yang tiada merasa puas dengan
sekedar itu. Sebab banyaklah perkataan, semakin bertambah diperpanjang
dandiurai, semakin kabur.
Kalau
ada orang yang mengatakan bahwa membahas persoalan perasaan dan pegangan hidup,
ada faedahnya, yaitu mengasah yang terguris di dalam hati. Yang terguris di
dalam hati itu (khathir) adalah alat bagi agama, seperti pedang alat bagi
perang. Maka tak apalah mengasahnya.
Perkataan
yang seperti itu samalah halnya seperti mengatakan, bermain catur itu mengasah
khathir. Jadi termasuk agama juga. Pemikiran seperti itu adalah kurang akal.
Sebab khathir ini terasah dia dengan ilmu-ilmu agama yang lain dan tidak
ditakuti adanya melarat.
Dengan
penjelasan yang tersebut di atas, tahulah anda bahagian yang tercela dan yang
terpuji dari ilmu kalam. Dan keadaan mana yang dicela dan yang dipuji dan orang
mana yang dapat mengambil manfa'at daripadanya dan orang yang tidak dapat mengambil
man-fa'at.
Kalau
anda mengatakan, manakala diakui perlunya ilmu kalam itu untuk menolak ahli
bid'ah dan sekarang bid'ah itu sudah berkembang dan marata bahayanya dan sudah
sangat diperlukan, maka tak dapat tidak menegakkan ilmu kalam termasuk fardiu
kifayah seperti bangun menegakkan penjagaan harta dan hak-hak yang Iain,
seperti memegang jabatan kadli, pemerintahan dan lainnya. Dan apa yang tidak
dikerjakan oleh ulama mengembangkan yang demikian, mengajarkan dan
membahaskannya, maka tidak akan kekal. Dan kalau ditinggalkan keseluruhannya,
maka ilmu kalam itu lenyaplah. Dan tidaklah mencukupi untuk menguraikan syubhat
tukang bid'ah itu dengan semata-mata pembawaan diri saja tanpa dipelajari. Dari
itu, maka seyogialah mengajar dan membahas ilmu kalam itu termasuk dalam fardiu
kifayah juga.
Lain
halnya pada masa para shahabat ra. dahulu. Ketika itu, keperluan untuk itu
belum dirasakan.
Ketahuilah
bahwa sebenarnya haruslah ada pada tiap-tiap negeri, orang yang menegakkan ilmu
kalam ini, berdiri bebas menolak syubhat dari ahli bid'ah yang berkembang dalam
negeri itu.
Hal
itu dapat terus berjalan dengan pengajaran. Tetapi tidaklah betul
mengajarkannya itu pada umumnya seperti mengajarkan fiqih dan tafsir. Ilmu
kalam itu adalah seperti obat dan ilmu fiqih itu adalah seperti makanan.
Melaratnya makanan tidak dikuwatiri, tetapi melaratnya obat dikuwatiri. Karena
apa yang telah kami sebutkan dahulu dari bermacam-macam melaratnya.
Maka
orang yang berilmu, haruslah menentukan dengan mengajarkan ilmu ini kepada
orang yang ada padanya tiga perkara :
Pertama :
haruslah orang itu mempelajari ilmu itu semata-mata dan mempunyai minat
kepadanya. Orang yang bekerja dengan sesuatu pekerjaan, dapat menghalanginya
dari meneruskan pelajaran ilmu kalam itu dan tak dapat menghilangkan ke
ragu-raguan-nya apabila timbul,
Kedua
: haruslah orang itu pandai, cerdik dan lancar berkata-kata. Orang yang dungu
tidaklah dapat dimanfa'atkan dengan pemahaman nya. Dan orang yang lambat
mengerti, tidaklah dapat dimanfa'atkan.
Maka
ditakutkan pada orang itu dari melaratnya ilmu kalam dan tak dapat diharapkan
kemanfa'atan daripadanya.
Ketiga :
bahwa ada pada tabiat orang itu, suka kepada perbaikan, beragama dan taqwa. Dan
tidaklah hawa nafsu mengerasi padanya.
Bahwa
orang fasiq dengan perbuatan syubhat yang paling kurang, akan tercabut dari
agama. Maka yang demikian itu akan terlepas daripadanya dinding yang
menghalangi dan terangkatlah yang ada antara dia dan kelezatan duniawi. Lalu
tak ada lagi perhatiannya untuk menghilangkan syubhat itu, malah direbutnya
supaya terlepas dia dari be ban sebagai seorang mukallaf.
Maka
apa yang dirusakkan oleh pelajar yang seperti ini, adalah lebih banyak, dari
apa yang diperbaikinya.
Apabila
telah dipahami segala pembahagian tersebut, maka jelaslah bahwa keterangan yang
terpuji mengenai ilmu kalam itu, adalah sejenis keterangan-keterangan Al-Quran
; dari kata-kata yang lemah-lembut. yang membekas dalam hati dan yang memberi
kepuasan bagi jiwa, tanpa mendalami tentang pembahagian dan perincian-perincian
yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Dan apabila telah dipahaminya,
lalu dipercayainya bahwa itu adalah suatu pemalsuan dan usaha yang dipelajari
oleh orang yang mempunyainya guna menanamkan keragu raguan. Apabila dijumpainya
seperti itu dalam sesuatu persoalan, maka akan ditentangnya.
Dan
kiranya telah diketahui bahwa Asy-Syafi'i dan umumnya ulama salaf, melarang
berkecimpung di dalam ilmu kalam. Dan menjuruskan perhatian kepadanya
semata-mata, karena menimbulkan melarat yang telah kami peringatkan itu. Dan
apa yang diterima dari Ibnu Abbas ra. tentang perdebatannya dengan kaum
Khawarij dan apa yang diterima dari Ali ra. tentang perdebatan mengenai taqdir
dan lainnya, adakah kata-kata yang jelas lagi terang dan termasuk ke dalam
bahagian yang diperlukan. Dari itu terpuji dalam segala hal.
Memang
kadang-kadang berbeda waktu, antara banyak dan sedikitnya keperluan itu. Dari
itu, tidak jauh dari kebenaran bahwa hukumnya' pun berbeda.Inilah hukumnya
aqidah yang telah menjadi ibadah orang banyak dan hukumnya jalan mempertahankan
dan memeliharakannya.
Adapun
menghilangkan syubhat, membukakan hakikat kebenaran, mengetahui segala sesuatu
menurut yang sebenarnya dan mendalami segala rahasia yang diterjemahkan oleh
yang nyata dari kata-kata aqidah itu, maka kuncinya ialah mujahadah, melawan
segala hawa nafsu, menghadap secara keseluruhan kepada Allah Ta'ala dan selalu
menggunakan pikiran yang bersih dari segala campuran mujadalah!.
Itulah
rakhmat Allah 'Azza wa Jalla yang melimpah kepada orang yang datang menciumi
keharumannya sekedar rezeki, menurut kedatangan, tempat dan kesucian hati. Dan
itulah laut yang tak diketahui dalamnya dan tak terjangkau pantainya.
Masalah
Kalau
anda katakan, bahwa perkataan tersebut menunjukkan kepada segala pengetahuan
itu mempunyai dhahir dan rahasia. Sebahagiannya jelas, yang terang terus
pertama kalinya. Dan sebahagiannya tersembunyi, yang akan terang dengan
mujahadah, melatih diri, mencari benar-benar, berpikiran bersih dan dengan hati
yang kosong dari segala urusan duniawi selain dari yang dicari itu.
Itulah
sebenarnya hampir menyalahi syari'at. Karena bagi syari'at itu tak ada yang
dhahir, yang bathin, yang tersembunyi dan yang nyata.
Tetapi,
adalah yang dhahir, yang bathin, yang tersembunyi dan yang nyata itu, adalah satu
dalam syari'at.
Ketahuilah,
bahwa pembahagian ilmu-ilmu ini kepada yang tersembunyi dan yang nyata,
tidaklah dimungkiri oleh orang yang bermata hati.
Yang
memungkirinya ialah orang-orang yang berpaham singkat, yang memperoleh sedikit
pengetahuan pada masa kecilnya dan terus membeku. Tak ada bagi mereka kemajuan
kearah yang lebih tinggi, kedudukan 'alim ulama dan wali-wali.
Dan
itu jelas dari dalil-dalil syari'at. Bersabda Nabi صلى
الله عليه وسلم.
:
إن للقرآن ظاهرا وباطنا وحدا ومطلعا(Inna lil-Qur-aani dhaahiran wa baathinan wahaddan wa mathla'an).
Artinya :"Bahwa Al-Quran itu mempunyai dhahir dan bathin, batas dan pangkal". (1)
Berkata
Ali ra. seraya menunjuk ke dadanya : "Sesungguhnya di sini banyak ilmu
pengetahuan, kalau adalah kiranya orang-orang yang membawanya".
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم :
نحن معاشر الأنبياء أمرنا أن نكلم
الناس على قدر عقو لهمArtinya :"Kami para nabi, disuruh berbicara dengan manusia menurut akal pikiran mereka (2)
(1)Dirawikan Ibnu Hibban dari Ibnu Mas'ud.
(2)Telah diterangkan dulu pada "Kitab ilmu".
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم :
ما حدث أحد قوما بحديث لم تبلغه
عقولهم إلا كان فتنة(Maa haddatsa ahadun qaumanbi hadiitsinlam tabluhghu 'uquulu-hum ilia kaana fitnatan 'alaihim).Artinya :"Tiada berbicara seseorang dengan orang banyak tentang sesuatu pembicaraan yang tidak sampai akal pikiran mereka kepadanya, melainkan pembicaraan itu menjadi fitnah yang merusakkan kepada orang banyak itu". (1)
Berfirman Allah Ta'ala :
وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ(Wa tilkal amtsaalu nadlribuhaa linnaasi wa maa ya'qiluhaa illal 'aalimuun).Artinya :"Demikianlah contoh-contoh itu Kami jadikan bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya selain dari orang-orang yang berilmu ".(S. Al-Ankabut, ayat 43).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم. :
إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه
إلا العالمون بالله تعالى(Inna minal'ilmi kahai at il maknuuni laa ya'lamuhu illal 'aalimuuna billaahi Ta'aalaa).
Artinya :"Sesungguhnya diantara ilmu itu seolah-olah dalam keadaan yang tersembunyi, yang tidak mengetahuinya selain orang-orang yang mengetahui dengan Allah Ta'ala". (2)
Hadits
ini panjang sebagaimana telah kami bentangkan dalam "Kitab Ilmu"
dahulu.
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم :
لو
تعلمون ما أعلم لضحكتم قليلا ولبكيتم كثيرا(Lau ta'lamuuna maa a'lamu ladlahiktum qaliilan wa labakaitum katsiiran).Artinya :"Kalau tahulah kamu apa yang saya ketahui, niscaya kamu tertawa sedikit dan menangis banyak ". (3)
1 Sudah diterangkan dulu pada "Kitab Ilmu".
2 Sudah diterangkan dulu pada "Kitab Ilmu".
3 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari A'isyah dan Anas.
Wahai
kiranya, jika bukanlah itu suatu rahasia yang dilarang menyiarkannya, karena
kesingkatan paham untuk mengetahuinya atau disebabkan oleh yang lain, maka
mengapakah Nabi saw. tidak menyebutkan kepada mereka itu (para shahabat)?
Padahal tidak diragukan bahwa mereka akan membenarkan nya jikalau Nabi saw.
menyebutkannya kepada mereka.
Berkata Ibnu Abbas ra. mengenai firman Allah Ta'ala :
الله
الذي خلق سبع سموات ومن الأرض مثلهن يتنزل الأمر بينهن (Allaahul-ladzii khalaqa sab'a samaawaatin wa minal ardli mistla-hunna, yatanazzalul amru bainahunna).Artinya :"Tuhan yang menciptakan tujuh langit dan bumi serupa itu pula. Di tengah-tengah (semua)nya turunlah perintah Tuhan".(S. Ath-Thalaq, ayat 12).
لو ذكرت
تفسيره لرجمتموني وفي لفظ آخر لقلتم إنه كافر
"Kalau
aku terangkan tafsirnya Ibnu Abbas
selanjutnya, niscaya kamu akan memukul aku sampai mati (merajamkan aku)".
Dan pada lain riwayat : "Tentu kamu akan mengatakan bahwa dia itu
kafir".
Berkata
Abu Hurairah ra. :وقال أبو هريرة رضي الله عنه حفظت من رسول الله صلى الله
عليه وسلم وعاءين أما أحدهما فبثثته وأما الآخر لو بثثته لقطع هذا الحلقوم
"Aku menghafal dari Rasulullah saw. dua bahagian ilmu. Yang satu
aku perkembangkan dan yang satu lagi, jikalau aku perkembangkan, maka putuslah
leher ini".
Bersabda Nabi saw. :
ما فضلكم أبو بكر بكثرة صيام ولا صلاة
ولكن بسر وقر في صدره
(Maa
fadlalakum Ahubakrin bikatsrati shiyaamin wa laa sh alaa tin wa laakin bisirrin
waqara fii shadrih).Artinya
:"Tidaklah Abu Bakar melebihi dari kamu, disebabkan banyak berpuasa dan
bershalat. Tetapi adalah disebabkan oleh suatu sirr (rahasia) yang mulia di
dalam dadanya".
Direlakan
Allah kiranya Abu Bakar! Dan tak syak lagi bahwa sirr itu adalah bersangkutan
dengan qaidah-qaidah agama. Tidak ke luar dari qaidah-qaidah itu!.
**Perhatian**
Dan
apa yang ada dari qaidah-qaidah agama, tidaklah tersembunyi yang dhahiriyahnya,
kepada yang lain dari Abu Bakar ra. dari para shahabat.
Berkata
Sahl At-Tusturi ra. :
"Orang yang berilmu itu mempunyai tiga ilmu : ilmu dhahir yang
diberikannya kepada ahli dhahir, ilmu bathin, yang tak sanggup dilahirkannya
kecuali kepada ahlinya dan ilmu antara dia dan Allah Ta'ala, yang tidak
dilahirkannya kepada seorang juapun".
Berkata
setengah 'arifin :
"Menyiarkan sirr keTuhanan (rubu-biyah) itu kufur". Berkata Setengah
'arifin yang lain : ربوبية
"Rububiyah itu mempunyai sirr سر Kalau dilahirkan, maka batallah nubuwwah وللنبوة
(kenabian). Nubuwwah itu mempunyai sirr, kalau disingkapkan maka batallah ilmu.
Dan ulama Allah itu dengan Allah mempunyai sirr, kalaulah mereka melahirkannya,
maka batallah hukum".
Yang
mengatakan ini, jika tidaklah maksudnya dengan demikian, akan batalnya nubuwwah
di pihak orang-orang yang lemah karena kesingkatan pemahaman mereka, maka apa
yang disebutkannya itu tidaklah benar. Tetapi yang benar, tak adalah padanya
pertentangan. Dan bahwa orang yang kamil (sempurna), ialah orang yang tidak
dipadamkan oleh nur ma'rifahnya akan nur wara'nya. Dan yang memiiiki wara' itu,
ialah nubuwwah.
M a s a a l
l a h
Jikalau
anda mengatakan : "Bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits ini berlaku padanya
penta'wilan-penta'wilan. Dari itu terangkanlah kepada kami, bagaimanakah
perbedaan dhahir dan bathin? Bahwa jikalau bertentangan bathin dengan dhahir,
maka merusakkan syari'at. Ini adalah perkataan dari orang yang mengatakan,
bahwa hakikat yang mcnyalahi syari'at itu kufur. Karena syari'at adalah ibarat
dari dhahir dan hakikat adalah ibarat dari bathin. Apabila tak ada pertentangan
dan perselisihan antara satu dengan lainnya, maka itulah yang dicari. Sehingga
dengan itu hilangkah pembahagian tersebut. Dan tak adalah bagi syari'at sirr
yang tidak disiarkan. Tetapi adalah yang tersembunyi dan yang jelas itu
satu".
Maka
ketahuilah bahwa masalah ini meneetuskan persoalan besar , mendorong kepada
ilmu mukasyafah dan keluar dari tujuan ilmu mu'amalah, yang menjadi maksud dari
Kitab ini.
Sesungguhnya
aqidah-aqidah yang kami sebutkan itu adalah dari amal perbuatan hati. Dan telah
kita berbakti dengan mengajarinya, dengan penerimaan dan pembenaran dengan
seluruh jiwa raga kita.
Tidak
untuk sampai kepada terbukanya bagi kita hakikatnya. Karena yang demikian itu
tidaklah diberatkan kepada seluruh ummat. Kalau bukanlah itu sebahagian dari
amal perbuatan, maka tidaklah kami membentangkannya di dalam Kitab ini. Dan
kalau bukanlah itu amalan dhahir bagi hati, tidak amalan bathinnya, maka
tidaklah kami membentangkannya dalam bahagian pertama dari Kitab ini.
Sesungguhnya
kasyaf hakiki (terbuka yang sebenarnya), adalah sifat sirr hati dan bathinnya.
Tetapi apabila pembicaraan itu telah terdorong kepada menggerakkan khayalan
mengenai pertentangan dhahir bagi bathin, maka haruslah ada pembicaraan yang
singkat saja untuk menguraikannya.
Barangsiapa
mengatakan bahwa hakikat itu menyalahi syari'at atau bathin itu bertentangan
dengan dhahir, maka orang itu lebih dekat kepada kufur dari pada kepada iman.
Bahkan segala Sirr yang khusus untuk orang-orang muqarrabun mengetahuinya, di
mana tidak bersekutu dengan mereka banyak orang mengerjakannya dan mereka
melarang menyiarkannya kepada orang banyak itu, adalah terbagi kepada lima
bahagian :
Bahagian
Pertama : Bahwa sesuatu itu adalah halus pada dirinya, yang menumpulkan
kebanyakan paham pada mengetahuinya. Maka tertentulah mengetahuinya buat
orang-orang Khawwas (orang-orang tertentu) saja. Mereka harus tidak menyiarkannya
kepada bukan ahlinya. Karena dapat menimbulkan fitnah kepada mereka, di mana
pemahamannya pendek dari pada mengetahuinya.
Disembunyikan
rahasia ruh dan dilarang Rasulullah صلى الله عليه وسلم
menerangkannya adalah termasuk dalam bahagian ini (1)kerana sungguhnya
hakikat ruh itu adalah diantara yang menumpulkan pemahaman daripada
mengetahuinya. Dan menyingkatkan sangka waham dari pada menggambarkan keadaan
hakikatnya.
Janganlah
anda menyangka, bahwa itu tidak terbuka jelas bagi Rasulullahصلى
الله عليه وسلم
Sebab orang yang tidak mengenai ruh, maka adalah seolah-olah dia tidak mengenal
akan dirinya. Orang yang tidak
1.Hadits dilarang Rasulullah saw. menerangkan tentang ruh, dirawikan Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
Orang
yang tidak mengenal akan drinya, maka bagaimanakah ia mengenai akan Tuhannya
Yang Maha Suci? Dan tidaklah jauh dari kebenaran bahwa yang demikian itu,
adalah terbuka kepada sebahagian wali-wali dan ulama-ulama," meskipun
mereka itu bukan Nabi. Tetapi mereka beradab sopan dengan adab kesopanan
syari'at. Lalu mereka diam dari apa yang di diamkan Nabi daripadanya. Bahkan
mengenai sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, adalah termasuk yang tersembunyi,
yang singkatlah pemahaman orang banyak untuk mengetahuinya. Dan Rasulullah saw.
tidak menyebutkannya, kecuali yang terang-terang saja bagi segala paham, yaitu
: tentang ilmu, qudrah dan lainnya. Sehingga dapat dipahami oleh orang banyak
dengan cara yang sesuai, yang disangkakannya kepada ilmunya dan qudrahnya
sendiri. Karena merekapun mempunyai sifat-sifat yang dinamakan dengan ilmu dan
qudrak itu. Lalu mereka menyangka bahwa yang demikian itu semacam suatu
perbandingan.
Kalau
disebut dari sifat-sifat Allah, apa yang tidak ada bagi makhluk, dari apa yang
terdapat sebahagian penyesuaian, niscaya mereka tidak akan memahaminya. Bahkan
kelezatan bersetubuh (sex) apabila diterangkan kepada anak kecil atau orang tak
bertenaga (impotent), maka tidak akan dipahaminya. Kecuali dengan menyesuaikah
kepada kelezatan makanan yang dapat diketahuinya, walaupun belumlah itu
pemahaman yang sebenarnya.
Dan
perbedaan antara ilmu Allah dan qudrahNya dengan ilmu makhluk dan qudrahnya,
adalah lebih banyak, dari perbedaan antara kelezatan sex dan makan.
Kesimpulannya
: tidaklah diketahui manusia, selain dirinya dan sifat-sifat dirinya, yang ada
padanya sekarang atau yang telah ada padanya dari sebelumnya. Kemudian dengan
membandingkan kepada yang tersebut tadi, dapatlah ia memahami akan yang lain
daripadanya.
Kemudian,
kadang-kadang ia mempercayai bahwa diantara dia sendiri dan lainnya terdapat
berlebih-kurang tentang kemuliaan dan kesempurnaan. Maka tak adalah dalam
kesanggupan manusia, selain daripada menetapkan bagi Allah Ta'ala apa yang ada
bagi dirinya, dari perbuatan (af'al), ilmun (tahu), qudrah (kuasa) dan
sifat-sifat lainnya, serta membenarkan bahwa yang demikian itu, adalah lebih
sempurna dan lebih mulia bagi Allah.
Maka
yang terbesar peredarannya, adalah kepada sifat-sifat dirinya, tidak kepada
kebesaran yang khusus bagi Tuhan.
Dari itu bersabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
قال صلى الله عليه وسلم لا أحصي ثناء
عليك أنت كما أثنيت على نفسك حديث لا أحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك أخرجه
مسلم من حديث عائشة(Laa ubshii isanaa-an 'alaika anta kamaa atsnaita 'alaa nafsik Artinya :
"Tak dapatlah aku menghinggakan pujian kepadaMu seperti yang Kamu pujikan kepada diriMu sendiri!". (DIRAWIKAN MUSLIM DARI A'ISYAH RA.) (1)
Tidaklah
hadits itu maksudnya :
"Bahwa aku lemah daripada membentangkan akan apa yang aku ketahui",
tetapi adalah pengakuan dengan kesingkatan paham untuk mengetahui akan
hakikat kebesaran Allah.
Dari itu berkata setengah mereka : "Tidaklah dikenal akan Allah dengan
hakikatNya selain oleh Allah sendiri". Berkata Abu Bakar shiddiq ra. :
"Segala pujian bagi Allah yang tidak menjadikan bagi makhlukNya jalan
kepada mengenalNya, melainkan kelemahan daripada mengenalNya".
Kami
habiskan pembicaraan mengenai ini dan marilah kita kembali kepada maksud. Yaitu
bahwa salah satu bahagian tadi, ialah apa yang menumpulkan pemahaman daripada
mengetahuinya. Diantara nya, yaitu ruh dan sebahagian dari sifat-sifat Allah
Ta'ala.
Mudah-mudahan
sebagai isyarat kepada contoh tadi ialah yang tersebut pada sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
إن لله سبحانه وتعالى سبعين حجابا من
نور لو كشفها لأحرقت سبحات وجهه كل من أدركه بصره
(Inna
lillaahi subhaanahu sab'iina hijaaban min nuurin lau kasyafa-haa la-ahraqat
subuhaatu wajhihi kulla man adrakahu basharuh).Artinya :"Bahwa bagi Allah
Yang Maha Suci tujuh puluh hijab daripada n u r. Jikalau dibukaNya. niscaya
terbakarlah akan apa yang didapati basharNya oleh kemahasucian wajahNya".
(2)
1 Dirawikan Muslim dari A'isyah ra.
2 Dirawikan ibnu Hibban dari Abu Hurairah.
Bahagian kedua : dari hal-hal yang tersembunyi, yang tidak mau Nabi-nabi dan orang-orang shiddiq menyebutkannya, ialah apayang dapat dipahami pada diri hal itu sendiri, yang tidak menumpulkan pemahaman daripadanya. Tetapi menyebutkannya, membawa melarat kepada bahagian terbanyak dari pendengar dan tidak membawa melarat kepada nabi-nabi dan orang-orang shiddiq. Dan sirr taqdir (qadar) yang dilarang ahli ilmu menyiarkannya adalah termasuk ke dalam bahagian ini.
Maka
tidaklah jauh daripada kebenaran bahwa menyebutkan sebahagian dari hakikat
adalah membawa melarat kepada sebagian makhluk. Seperti membawa melarat cahaya
matahari kepada mata kelelawardan bau harum bunga mawar kepada kepik-bedugal
Mesir.
Bagaimanakah
ini jauh daripada kebenaran? Kata kita, bahwa kufur, zina, perbuatan ma'siat
dan jahat, semuanya dengan qadha' Allah Ta'ala, iradahNya,dan kehendakNya, itu
adalah benar. Dan sesungguhnya memperdengarkan kata-kata tadi, adalah membawa
melarat kepada segolongan orang. Karena menimbulkan sangkaan pada mereka, bahwa
itu menunjukkan kepada kebodohan, berlawanan dengan kebijaksanaan, menunjukkan
rela dengan kekejian dan kedhaliman. Dan Ibnu Ar-Rawandi dan suatu golongan
dari orang-orang hina, telah menjadi ilhad (tidak lagi bertuhan), karena
kata-kata seperti yang tersebut di atas tadi.
Dan
seperti itu pula sirr taqdir (qadar), jikalau disiarkan, maka sesungguhnya
menimbulkan sangkaan pada kebanyakan orang, akan kelemahan. Karena paham mereka
pendek untuk mengetahui apa yang dapat menghilangkan sangkaan itu dari mereka.
Jikalau
berkatalah orang yang berkata : "Bahwa hari qiamat kalau disebutkan
waktunya bahwa ia akan datang sesudah seribu tahun atau lebih banyak atau
kurang dari itu, sesungguhnya dapat dipahami. Tetapi tidak disebutkan, adalah
untuk kemuslihatan hamba Allah itu sendiri dan karena ditakuti akan
kemelaratan.
Semoga
masa kepada hari qiamat itu masih jauh. Maka masih panjanglah waktu. Dan
apabila jiwa itu merasa bahwa masa siksaan masih lama, maka kuranglah
perhatiannya. Dan semoga masa kepada hari qiamat itu dekat dalam ilmu Allah!
Maka kalau disebut niscaya sangatlah ketakutan, berpalinglah manusia dari
pekerjaan dan runtuhlah dunia.
Pengertian ini jika diperhatikan dan benar, maka adalah
contoh bagi bahagian kedua.
Bahagian
ketiga : bahwa sesuatu
itu jikalau disebutkan dengan tegas adalah dapat dipahami dan tidak ada padanya
kemelaratan. Tetapi disebutkan secara kinayah (sindiran tidak terus terang),
secara meminjam kata-kata lain (isti'aarah) dan perumusan. Supaya lebih
mendalam masuknya ke dalam hati si pendengar. Dan si pendengar itu sendiri,
mempunyai kepentingan, supaya besarlah pengaruh hal itu, dalam hatinya.
Seumpama kalau dikatakan oleh orang yang mengatakan : "Aku melihat si Anu
menggantungkan mutiara pada leher babi". Maka dipakai kata-kata kinayah tadi,
terhadap penyi-aran ilmu dan pengembangan hikmah kepada bukan ahlinya.
Kadang-kadang
si pendengar itu terus mendahului kepada pema-hamannya akan yang dhahir dari
kata-kata itu. Dan orang yang berpaham, apabila memperhatikan dan mengetahui,
bahwa manusia tadi, tak ada padanya mutiara dan tak ada pada tempatnya babi,
niscaya menjadi pintar, karena mengetahui sirr dan bathin itu.
Mengenai
hal itu, berlebih-kuranglah manusia. Dan dari inilah berkata seorang penya'ir :
"Dua orang telaki,
seorang penjahit,yang lain penenun.
Keduanya memandang berhadap-hadapan,
kearah dua bintang lazuardi.
Yang satu senantiasa menenuni,
kain koyak, yang membelakang.
Yang temannya menjahitkan,
pakaian kawan yang berhadapan.
Penya'ir
tadi menyusun kata-kata tentang keadaan di langit mengenai menghadap dan
membelakang dengan mengambil ibarat dua orang pekerja. Cara ini membawa kepada
penyusun kata-kata tentang sesuatu pengertian, dengan bentuk yang mengandung
diri pengertian itu sendiri atau contohnya.
Diantara contohnya ialah sabda Nabi sawصلى
الله عليه وسلم
. :
إن
المسجد لينزوي من النخامة كما تنزوي الجلدة على النار
(Innal
masjid a layanzawii minan-nakhaamati kamaa tanzawil jilda-tu 'alan-naar).
Artinya
:"Bahwa masjid itu menjadi kuncup dari dahak manusia, sebagaimana kuncupnya
kulit di atas api".(Manurut Al-lraqi. la tidak pernah menjumpai hadits
ini.) (1)
1.Manurut Al-lraqi. la tidak pernah menjumpai hadits ini..
Anda
dapat melihat, bahwa halaman masjid itu tidaklah kuncup disebabkan oleh adanya
dahak manusia. Tetapi artinya adalah bahwa jiwa masjid itu dihormati. Dan
meludahkan dahak ke dalamnya, adalah penghinaan kepada masjid. Maka
berlawananlah yang demikian dengan pengertian masjid, seperti berlawanannya api
karena bersambung dengan bahagian-bahagian dari kulit itu.
Dan
seperti itu juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم. :
أما
يخشى الذي يرفع رأسه قبل الإمام أن يحول رأسه رأس حمار(Amaa yakhsyalladzii yarfa'u ra'-sahu qablal imaami an yuhawwi-lallaahu ra'-sahu ra'-sa himaar).Artinya:"Apakah tidak takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam di dalam shalat, bahwa akan diubah oleh Allah kepalanya kepada kepala keledai?". (1)
Yang
demikian itu, dari segi bentuk tidaklah ada sekali-kali dan tidak akan ada.
Tetapi dari segi pengertian, itulah yang ada. Karena kepala keledai itu
tidaklah yang sebenarnya, baik keadaan atau bentuknya. Tetapi yang dimaksudkan
ialah sifat yang khusus bagi kepala keledai. Yaitu kebodohan dan kedunguan.Maka
orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, jadilah kepalanya itu kepala
keledai, dalam pengertian bodoh dan dungu.
Itulah
yang dimaksud, bukan bentuknya yang menjadi wadah dari pengertian itu. Karena
dari tujuan kebodohan, ialah berkumpul antara mengikut dan mendahului, di mana
keduanya itu berlawanan.Sesungguhnya diketahui bahwa sirr itu berlawanan dengan
dhahir, adakalanya dengan dalil aqli atau dalil syari'at.
Dengan
dalil aqli (dalil akal), membawanya kepada dhahir yang tidak mungkin, seperti
sabda Nabi صلى الله عليه وسلم. :
قلب المؤمن بين أصبعين من أصابع
الرحمن(Wa qalbul mu'mini baina ashbu'aini min ashaabi'ir-rahmaan).
"Hati mu'min itu diantara dua jari dari jari-jari Tuhan yang Pengasih". (2)
1 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
2 Dirawikan Muslim dari Abdullah bin 'Amr.
Karena
kalaulah kita periksa akan hati mu'min itu, maka tidaklah kita memperoleh di
dalamnya anak jari. Maka di ketahuilah bahwa itu adalah kinayah dari qudrak
yang menjadi sirr dari anak jari dan jiwanya yang tersembunyi.
Dikinayahkan
dengan anak jari itu dari qudrah. Karena dengan cara yang demikian adalah lebih
besar kesannya di dalam memahami kesempurnaan pengertian qudrah.
Dan
termasuk di dalam golongan ini, mengenai kinayah dari taqdir, firman Allah
Ta'ala :
إِنَّمَا
قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ(Innamaa qaulunaa lisyai-in idzaa aradnaahu an naquula lahuu kun fayakuun).Artinya :"Sesungguhnya bila Kami kehendaki sesuatu, Kami hanya mengatakan kepadanya : Jadilah! ( Kun ), Lalu jadilah dia".(S. An-Nahl, ayat 40).
Bahwa
menurut dhahiriyahnya, itu tak bisa jadi. Karena firmanNya KUN, jika ditujukan
kepada sesuatu sebelum adanya, maka itu mustahil. Karena barang yang belum ada
(al-ma'dum) tidak memahami sesuatu perkataan yang ditujukan kepadanya
(al-khitaab), sehingga ia mengikutmya. Dan jika ditujukan kepada sesuatu,
sesudah adanya, maka barang yang sudah ada, tidak memerlukan lagi kepada
diadakan. Tetapi tatkala adalah kinayah itu lebih mendalam di dalam jiwa untuk
memberi pemahaman tujuan dari qudrah, maka dipakailah kinayah itu.
Adapun
yang diperoleh dengan syari'at, maka melakukannya secara dhahir itu mungkin.
Tetapi ada riwayat yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan yang
dhahir, seperti yang diriwayatkan mengenai penafsiran firman Allah Ta'ala :
أَنْزَلَ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا(Anzala minas-samaa-i maa-an fasaalat au diyatun biqadarihaa).Artinya :"Dia yang menurunkan air hujan dari langit (awan), lalu mengalir air itu dilembah-lembah menurut ukurannya".(S. Ar-Ra'd, ayat 17).
Bahwa
yang dimaksudkan dengan air pada ayat tadi ialah Al-Quran. Dan yang dimaksudkan
dengan lembah-lembah itu ialah hati Bahwa sebahagian dari hati itu membawa
banyak hal, sebahagian dari padanya membawa sedikit dan sebahagian lagi tidak
membawa apa-apa. Dan buih itu adalah seumpama kufur dan nifaq. Maka meskipun
dia itu dhahir dan terapung di atas air, tetapi dia tidak tetap. Dan hidayah
(petunjuk) yang bermanfa'at bagi manusia itu tetap.
Dalam
bahagian ini, ada suatu golongan membicarakannya secara mendalam. Lalu
mena'wilkan apa yang datang pada hari akhirat, tentang timbangan amal (mizan),
titian (shirath) dan lainnya. Tindakan tersebut adalah bid'ah karena yang
demikian tak ada riwayatnya. Dan melakukannya di atas dhahir tidaklah suatu yang
mustahil. Dari itu, haruslah diperlakukan secara dhahiriyah.
Bahagian
keempat : Bahwa manusia itu mengetahui sesuatu secara keseluruhan (global).
Kemudian secara terperinci dengan penelitian dan perasaan, dengan jadinya
sesuatu itu bertempat menjadi pakaian baginya.
Maka
berlebih-kuranglah dua ilmu tadi. Yang pertama adalah sebagai kulit dan yang
kedua adalah sebagai isi. Yang pertama adalah sebagai dhahir dan yang kedua
adalah sebagai bathin. Yang demikian itu, adalah seumpama yang menampak pada
mata manusia sesuatu di dalam gelap atau pada tempat yang jauh. Maka
terjadi-lah baginya semacam pengetahuan.
Lalu
apabila dilihatnya pada jarak dekat atau setelah hilangnya gelap, maka tahulah
dia akan perbedaan diantara keduanya. Dan tidaklah yang kemudian itu berlawanan
dengan yang pertama. Akan tetapi menyempurnakan bagi yang pertama. Maka seperti
itu pulalah ilmu, iman dan tashdiq (membenarkan). Karena manusia itu
kadang-kadang membenarkan adanya rindu, sakit dan mati sebelum lagi terjadi.
Tetapi keyakinannya ketika telah terjadi menjadi lebih sempurna dari pada
sebelumnya. Bahkan bagi manusia mengenai syahwat, rindu dan lam-lain hal,
mempunyai tiga keadaan yang berlebih-kurang dan perasaan yang berbeda-beda :
Pertama
: membenarkan dengan
adanya sebelum terjadi.
Kedua
: membenarkan dengan adanya ketika terjadi.Ketiga : membenarkan dengan adanya ketika telah terjadi.
Keyakinan
kita dengan lapar setelah hilangnya, berlainan dengan sebelum lagi hilang. Dan
seperti demikianlah, sebahagian dari ilmu-ilmu agama, ada yang menjadi terasa
betul, lalu sempurnalah dia. Maka adalah yang demikian seperti bathin, bila
dibandingkan kepada keadaan sebelumnya.
Maka
bedakanlah diantara ilmu orang sakit tentang kesehatan dan ilmu orang sehat
mengenai kesehatan itu !.
Maka
pada bahagian-bahagian yang empat itu, berlebih-kuranglah dia diantara manusia.
Dan tak adalah pada satupun daripadanya, yang bathin itu bertentangan dengan
yang dhahir. Tetapi adalah menyempurnakan dan mencukupkan, seperti isi
menyempurnakan akan kulit. Sekian!!!!.
Bahagian kelima : Bahwa diperkatakan tentang sesuatu itu, dengan kata-kata,
tidak dengan keadaan. Maka orang yang berpaham singkat, lalu tegak kepada yang
dhahir dan berkeyakinan kepada yang diucapkan itu. Tetapi bagi orang yang
memandang kepada hakikat itu, mengetahui akan rahasia yang terpendam di
dalamnya.
Ini
adalah seperti perkataan dari orang yang mengucapkan : berkata dinding kepada
tiang : "Mengapakah engkau menyusahkan akan aku?".Menjawab tiang : "Tanyakanlah kepada orang yang menokoknokokkan aku! Mengapakah dia membiarkan di belakangku batu yang ada di belakangku?".
Ini
adalah penyusunan kata-kata keadaan dengan kata-kata yang diucapkan.
Dari
inilah, firman Allah Ta'ala :
ثُمَّ
اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا
طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
(Tsummas-tawaa
ilassamaa-i wahiya dukhaanun faqaala lahaa wa lil-ardli'tiyaa thau'an au
karhan, qaalataa atainaa thaa-i'iin).Artinya :'Kemudian itu Dia menuju ke
langit, ketika itu berupa asap. Tuhan berfirman kepadanya dan 'kepada bumi :
"Datanglah engkau keduanya dengan suka rela atau terpaksa! Keduanya
menjawab : "Kami datang dengan suka rela (patuh)'.'(S. Al fushshilat ayat
11).
Orang
yang jahil itu memerlukan untuk memahamkan ini, kepada penentuan bahwa langit
dan bumi itu hidup, berakal dan mengerti kepada ucapan dan ucapan itu, ialah
suara dan huruf yang didengar oleh langit dan bumi. Lalu keduanya menjawab
dengan huruf dan suara, dengan mengatakan : "Kami datang dengan suka
rela".
Dan orang yang bermata hati, tahu bahwa yang demikian itu, adalah kata-kata
keadaan (lisanul-hal). Dan menerangkan bahwa langit dan bumi itu diuntukkan
dengan sendirinya kepada yang demikian. Dan menuruti kepada yang diuntukkan itu
dengan mudah. Dan dari inilah, firman Allah Ta'ala :
وَإِنْ
مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ(Wa in min syai-in illaa yusabbihu bihamdihi).Artinya :"Dan tak ada sesuatupun, melainkan semata-mata memuji Tuhan dengan kemuliaanNya " (S. Al-Isra', ayat 44).
Orang
yang Jahil itu, memerlukan pada memahaminya kepada penentuan bahwa benda-benda
beku itu mempunyai hidup, akal dan tutur kata dengan suara dan huruf. Sehingga
dapat ia mengatakan : Subhaanallaah (Maha Suci Allah), supaya benar-benarlah
pengucapan tasbih itu. Dan orang yang bermata hati, tahu bahwa tidaklah
dimaksudkan dengan itu pengucapan dengan lisan. Tetapi adanya benda itu
merupakan pengucapan tasbih kepada wujud Allah, berqudus kepada zatNya dan naik
saksi kepada keEsaanNya , seperti yang dikatakan oleh seorang penyair :
"Pada segala sesuatu,
mempunyai pertanda,
yang menunjukkan,
Dia itu Esa
Sebagaimana
dikatakan, dunia yang kokoh kuat ini menjadi saksi bahwa Penciptanya itu
mempunyai kebagusan pengaturan dan kesempurnaan pengetahuan. Tidaklah itu
mempunyai pengertian bahwa dunia yang kokoh kuat ini mengucapkan : "Aku
naik saksi" dengan kata-kata. Tetapi adalah pengakuan itu dengan dirinya
sendiri dan keadaan yang meliputinya.
Begitu
pula : Tiada suatupun,
melainkan memerlukan pada dirinya kepada Pencipta yang menciptakannya, yang
mengekalkannya, yang menetapkan sifat-sifat dan yang membuatnya berkembang di
dalam segala peredaran masa.
Maka
sesuatu itu dengan memerlukan kepada yang tersebut tadi, lalu naik saksi dengan
pengqudusan kepada Khaliqnya, di mana kenaik-saksian itu diketahui oleh
orang-orang yang bermata hati. Tidak oleh orang-orang yangmembeku yang
berpegang kepada dhahir saja. Karena itu berfirman Allah Ta'ala :
وَلَكِنْ
لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ(Wa laakin laa tafqahuuna tasbiihahum).
Artinya :'' Tetapi sayang kamu tidak mengerti pujian mereka itu".(S. Al-Isra', ayat 44).
Adapun
orang-orang yang singkat fikiran, maka tidak dapat memahaminya sekali-kali. Dan
orang-orang muqarrabun dan ulama-ulama yang mendalam pengetahuannya, tidak akan
dapat memahami akan hakikat dan kesempurnaan sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu
itu mempunyai kenaik-saksian yang bermacam-macam untuk mengquduskan Allah dan
memujikanNya. Masing-masing dapat mengetahuinya sekedar akal dan mata hatinya.
Menghitung-hitung kenaik-saksian itu, tidaklah wajar dengan ilmu mu'amalah. Dan
juga pengetahuan ini termasuk diantara pengetahuan yang berlebihkurang dari
ahli-ahli dhahir dan ahli-ahli bashirah (bermata hati) pada mengetahuinya. Dan
kelihatanlah padanya, perbedaan bathin dengan dhahir.
Di
dalam maqam (kedudukan) ini, bagi ahli-ahli maqam itu mempunyai keroyalan dan
ke sederhanaan. Dari yang bersifat keroyalan itu, mengenai penyingkapan yang
dhahir, sampailah dia kepada mengobah segala yang dhahir itu beserta
dalil-dalilnya atau mengo-bah sebagian besar daripadanya. Sehingga mereka
membawa firman Allah Ta'ala :
وَتُكَلِّمُنَا
أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ(Wa tukallimunaa aidiihim wa tasyhadu arjuluhum).Artinya :"Tetapi tangan mereka berkata kepada Kami dan kaki mereka menjadi saksi".(S. Yaa Siin, ayat 65).
Dan
firman Allah Ta'ala :
وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ
شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ(Wa qaaJuu Jijuluudihim lima syahidtum 'alainaa, qaaluu anthaqa-nallaahul ladzii anthaqa kulla syai-in).Artinya :"Mereka berkata kepada kulit nya : Mengapa kamu menjadi saksi bagi kami? Jawabnya : Tuhan yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata. Itulah yang menjadi kami pandai berkata".(S. Al fushilat, ayat 21).
Dan
seperti itu pula soal jawab yang terjadi dari malaikat Munkar dan Nakir,
mengenai timbangan amal, titian dan hitungan amal (hisab). Dan perdebatan
antara penduduk neraka dan penduduk sorga, dalam perkataan mereka :
أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاءِ
أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ(Afiidluu 'alainaa minal maa-i au mimmaa razaqakumullaah).Artinya :"Limpahkanlah kepada kami air sedikit atau berilah (sedikit) rezeqi makanan yang diberikan Tuhan kepada kamu ".(S. Al-A'raaf, ayat 50).
Mereka
mendakwakan bahwa itu semua adalah dengan lisanul-hal. Dan segolongan lain,
bersangatan menutup pintu penta'wilan. Diantaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang
melarang penta'wilan firman Allah Ta'ala : "Kun fayakun".
(Adalah engkau! Lalu ia ada)'.'Golongan ini mendakwakan bahwa itu adalah
pengucapan dengan huruf dan suara yang wujud pada Allah, setiap detik dan
ketika, menurut bilangan banyaknya ada seluruh yang ada. Sehingga aku mendengar
sebahagian Shahabat Imam Ahmad mengatakan bahwa : Imam Ahmad itu menutup rapat
pintu penta'wilan selain pada tiga hadits Nabi صلى الله عليه وسلم :
1.Hajar-aswad itu tangan kanan Allah dibumiNya". (1)
2.Hati mu 'min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih"(2)
3.Sesungguhnya aku memperoleh diri Tuhan Yang Maha Pengasih dari pihak kanan". (3)
Dan
orang-orang yang berpegang kepada dhahiriyah, cenderung kepada menutup rapat
pintu penta'wilan.Sangkaan yang baik kepada Ahmad bin Hanbal, ialah bahwa
beliau tahu bahwa "istiwa'(bersemayam) itu, tidaklah maksudnya
menetap dan "nuzul" (turun) itu, tidaklah maksudnya berpindah.
Tetapi ia (Imam Ahmad) melarang dari penta'wilan itu, adalah menutup pintu,
demi menjaga kemuslihatan orang banyak. Karena apabila pintu penta'wilan itu
terbuka, maka meluaslah keretakan dan keluarlah keadaan dari ketentuan dan
melewatilah batas kesederhanaan. Karena batas yang melampaui kesederhanaan itu,
tidaklah dapat ditentukan.Dari itu, tak apalah dengan larangan ini.
Dan
diakui akan demikian oleh riwayat perjalanan hidup ulama-ulama yang terdahulu.
Mereka itu mengatakan : "Lalukanlah sebagaimana yang datang".
Sehingga Imam Malik ra. menjawab ketika ditanyakan kepadanya tentang istiwa' : "Istiwa'
itu dimaklumi, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya diwajibkan dan
bertanya tentang istiwa' itu bid'ah".
Segolongan
lagi beraliran kepada kesederhanaan, dan membuka pintu penta'wilan mengenai
sesuatu yang berhubungan dengan sifat Allah. Dan mereka membiarkan atas
dhahiriyah, apa yang berhubungan dengan akhirat. Dan mencegah penta'wilah
padanya. Golongan ini ialah golongan "Asy 'ariyah ".
Golongan
Mu'tazilah menambahkan di atas golongan Asy'ariyah. Sehingga mereka
menta'wilkan ru'yah daripada sifat Allah Ta'ala.
1 Dirawikan Al-Hakim dari Abdullah bin 'Amr.
2 Dirawikan Muslim dari Abdullah bin 'Amr.
3 Dirawikan Ahmad dari Abi Hurairah.
Mereka menta'wilkan adanya Allah Ta'ala mendengar dan melihat. Mereka menta'wilkan mi'raj dan mendakwakan bahwa mi'raj itu tidaklah dengan tubuh (jasad). Mereka menta'wilkan 'azab qubur, neraca amal (mizan), titian (shirath) dan banyak lagi dari hal keadaan akhirat. Tetapi mereka mengakui adanya pengumpulan segala jasad (dihari mahsyar), sorga dan kelengkapan sorga dengan makanan-makanan, bau-bauan, wanita-wanita yang dikawini dan segala macam kesenangan yang dirasakan. Mereka mengakui adanya neraka dan ke lengkapannya, atas tubuh yang terlihat nyata terbakar, yang membakarkan kulit dan menghancurkan minyaknya.
Dan
termasuk meningginya mereka kepada batas ini, ialah ditambahi oleh kaum
filosuf. Maka mereka menta'wilkan tiap-tiap yang datang mengenai akhirat dan
mengembalikan semuanya itu kepada penderitaan-penderitaan pikiran dan jiwa
('aqliah dan ruhaniah) dan kesenangan-kesenangan pikiran (lazat 'aqliah).
Mereka
itu (para filosuf) mengingkari pengumpulan segala jasad (pada hari mahsyar) dan
mengatakan dengan kekalnya nyawa. Dan nyawalah yang di'azab atau diberi nikmat,
dengan 'azab dan nikmat yang tidak dapat dilihat dengan pancaindra.
Merekalah (para filosuf ) itu , orang-orang yang
berlebih-lebihan.,Batas
kesederhanaan, diantara keseluruhan kelonggaran ini dan bekunya
pengikut-pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, adalah demikian halus dan kabur, yang
tidak dapat dilihat, kecuali oleh mereka yang memperoleh taufiq, yang
mengetahui segala keadaan dengan nur Ilahi. Tidak dengan mendengar.
Kemudian,
apabila terbukalah bagi mereka, rahasia (sirr) dari segala keadaan, menurut
keadaannya yang sebenarnya, niscaya mereka memperhatikan kepada pendengaran dan
kata-kata yang datang. Maka apa yang sesuai dengan apa yang dipersaksikannya
dengan nurul-yaqin (nur yakin), niscaya ditetapkannya. Dan apa yang menyalahi,
niscaya dita'wilkannya.
Adapun
orang yang mengambil ma'rifat (pengenalan) segala keadaan ini, dari pendengaran
semata-mata, maka tidaklah teguh pendiriannya dan tidaklah tentu tempat
tegaknya. Dan yang lebih wajar bagi orang yang menyingkatkan kepada pendengaran
semata-mata ialah maqam (pendirian) Imam Ahmad bin Hanbal ra.
Sekarang,
maka pembukaan tutup dari batas kesederhanaan, mengenai segala keadaan itu,
adalah termasuk di dalam ilmu mukasyafah. Dan pembicaraan mengenainya itu akan
panjang. Dari itu maka tidaklah kita mencemplungkan diri ke dalamnya.
Maksud
sekarang ialah menerangkan penyesuaian bathin dengan dhahir dan bathin itu
tidak bertentangan dengan dhahir. Maka dengan lima bahagian yang tersebut itu
telah terbukalah banyak hal.
Apabila
kita berpendapat untuk menyingkatkan sekedar mencukupi bagi orang awwam, di
atas penjelasan 'aqidah yang telah kami urai-kan dan mereka tidak diberati lain
dari itu pada tingkat pertama, kecuali apabila ditakuti gangguan, karena
berkembangnya bid'ah, maka dinaikkan pada tingkat kedua, kepada 'aqidah, di
mana di dalamnya bersinar cemerlang dengan dalil-dalil yang ringkas, tanpa mendalam.
Dari itu, hendaklah kami bentangkan di dalam Kitab ini, dalil-dalil yang
cemerlang itu. Dan hendaklah kami ringkaskan sekedar yang telah kami uraikan
untuk ahli-qudus (golongan yang mengquduskan Tuhan). Dan kami namakan
"Risalah Qudsiyah" mengenai Qaidah-qaidah I'tiqad. Dan itu semuanya
tersimpan di dalam pasal ketiga kitab ini.
374