Adab Berusaha

KITAB ADAB BERUSAHA DAN MENCARI PENGHIDUPAN
Bab Pertama: Tentang kelebihan usaha dan menggerakkan kepada usaha
Bab Kedua: Tentang ilmu berusaha dengan jalan berjualan, riba, pembelian dengan pemesanan, penyewaan, penyerahan modal untuk diperniagakan dan perkongsian. Dan penjelasan syarat-syarat Agama tentang sahnya segala perbuatan itu,yang menjadi tempat berkisarnyasegala usaha pada Agama
Bab Ketiga; Tentang penjelasan keadilan dan penjauhan kezaliman pada mu'amalah
Bab Keempat: Tentang ihsan pada mu'amalah
Bab Kelima: Tentang kasih sayang seorang saudagar kepada agamanya, pada sesuatu yang khusus dengan agama dan yang umum dengan akhirat
بسم الله الرحمن الرحيم


KITAB ADAB BERUSAHA DAN MENCARI PENGHIDUPAN.
Yaitu: kitab ketiga dari "Rubu' Adat-Kebiasaan" dari "Kitab Ihya' Ulumiddin".

Kita memuji Allah sebagai pujian dari yang mengesakanNya, yang tersapu dan menghancurlah dalam ketauhidanNya, selain Yang Maha Esa, yang Maha Benar. Kita mengagungkanNya, sebagai pengagungan dari orang yang menegaskan, bahwa tiap-tiap sesuatu selain Allah itu batil dan tidak suci. Dan sesungguhnya tiap-tiap yang bertempat dilangit dan dibumi, tidak sanggup menjadikan lalar dan kumbang, walaupun mereka berkumpul bersatu padu.
Kita bersyukur kepadaNya, karena ditinggikanNya langit bagi hambaNya, sebagai atap yang dibangun. DisediakanNya bumi, sebagai hambal bagi mereka dan tikar. DijadikanNya malum mengikuti siang, maka dijadikan- Nya malam sebagai pakaian dan siang tempat mencari penghidupan. Agar mereka itu berkembang mencari kurniaNya dan bangun menundukkan segala hajat keperluan.
Kita berselawat kepada RasulNya, dimana orang-orang mu'min keluar dari kolamnya dengan kepuasan, setelah datang kepadanya dengan keha- usan. Dan kepada kaum keluarga dan para shahabatnya yang tidak meninggalkan sejenakpun selalu menolong agamanya dengan terus-menerus dan berkekalan. Anugerahilah kesejahteraan yang banyak kepada mereka!
Adapun kemudian, maka sesungguhnya Yang Maha Memiliki bagi segala yang memiliki dan Yang Mendatangkan sebab bagi segala sebab, menjadi kan aknirat itu negeri balasan dan siksaan dan dunia negeri penempatan, kekacauan, perjalanan cepat dan perusahaan. Dan tidaklah perjalanan cepat itu didunia, terbatas kepada tempat kembali, tidak tempat hidup. Tetapi tempat kehidupan itu, adalah jalan kepada tempat kembali dan yang menolong kepadanya. Didunia adalah kebun akhirat dan tempat masuk kepadanya.


Manusia itu tiga macam: orang yang disibukkan oleh tempat hidupnya dari tempat kembalinya. Maka dia ini sebahagian dari orang-orang yang binasa. Orang yang disibukkan oleh tempat kembalinya dari tempat hidupnya. Maka dia ini sebahagian dari orarig-orang yang memperoleh kemenangan. Dan orang yang lebih mendekati kepada kesederhanaan, yaitu, orang ketiga yang disibukkan oleh tempat hidupnya untuk tempat kembalinya.
7


Orang tersebut, adalah setengah dari orang yang sederhana. Dan tidak akan memperolah tingkat kesederhanaan, orang yang tiada membiasakan mencari penghidupan dengan jalan yang benar. Dan tiada ia tergerak dari dunia, ak'an jalan keakhirat, selama tidak ia beradab-kesopanan pada mencarinya dengan adab-kesopanan syari'at.


Nah, sekarang kami ingin membentangkan adab-kesopanan perniagaan, perusahaan, bermacam-macam usaha dan sunat-sunatnya. Dan kami bermaksud menguraikannya dalam lima bab:


Bab Pertama: tentang kelebihan usaha dan menggerakkan kepada usaha.
Bab Kedua: tentang pengetahuan yang mensahkan jual beli dan mu'ama lah-mu'amalah.
Bab Ketiga: tentang penjelasan keadilan dalam mu'amalah.
Bab Keempat: tentang penjelasan berbuat baik (ihsan) dalam mu'amalah.
Bab Kelima: tentang kasih sayang saudagar terhadap dirinya dan Agama- nya.

J2KO3


BAB PERTAMA: tentang kelebihan usaha dan menggerakkan kepada usaha.


Adapun dari Al-Qur-an, maka firman Allah Ta'ala: وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (Wa ja'alnannahaara ma 'aasyaa). Artinya: "Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan". - S. An- Naba', ayat 11. Maka Allah Ta'ala menyebutkan siang itu untuk tempat memperoleh keni'matan. Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ
(Waja'alnaa lakum fiihaa ma'aayisya qaliilan maa tasykuruun). Artinya: "Dan Kami jadikan dibumi lapangan penghidupanmu, tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih". S. Al-A'raf, ayat 10. Tuhanmu menjadikan bumi itu suatu ni'mat dan la meminta kesyukuran diatas ni'mat itu. Allah Ta'ala berfirman: "Tidaklah mengapa kalau kamu mencari kurnia Tuhanmu (rezeki)" - S. Al-Baqarah, ayat 198. Dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan yang lain sedang berjalan dimuka bumi untuk mencari kurnia Allah" - S. Al-Muzammil, ayat 20.
Dan Allah Ta'ala berfirman:
فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
(Fan tasyiruu fil-ardli wabta-ghuu min fadl-li'llaah).Artinya: "Maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah kurnia Allah" - S. Al-Jumu'ah, ayat 10.


Adapun hadits, maka Nabi صلى الله عليه وسلم , bersabda: "Sebahagian dari dosa ialah dosa yang tiada dihapuskan, melainkan oleh kesusahan pada mencari penghidupan".
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
التاجر الصدوق يحشر يوم القيامة مع الصديقين والشهداء( Attaajirushshaduuqu yuhsyaru yaumal-qiaamati ma'ash-shiddiiqiina wash- shuhadaai).Artinya: "Saudagar yang benar, akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama orang-orang shiddiq dan orang-orang shahid" (1).


1..Dirawikan At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abi Sa'id.
9(J2K03)


Dan Nabi صلى الله عليه وسلم , bersabda: "Barangsiapa mencari dunia secara halal, menjaga diri dari meminta-minta, berusaha untuk keluarga dan menaruh kasih sayang kapada tetangga, niscaya ia menjumpai Allah, sedang mukanya seperti bulan pada malam purnama raya". (1).

Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم . duduk bersama para shahabatnya pada suatu hari, lalu mereka itu melihat seorang pemuda yang tabah dan kuat. Ia pagi-pagi benar pergi berusaha. Maka mereka itu berkata: "Alangkah baiknya, pemuda ini, kalau adalah mudanya dan tabahnya fisabili'llah!"

Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Jangan engkau mengatakan itu! Karena kalau ia berusaha untuk dirinya, supaya ia tercegah dari meminta-minta dan ia tidak  memerlukan kepada pertolongan orang lain, maka dia itu sudah fi sabili'llah. Dan kalau ia berusaha untuk kedua ibu-bapanya yang Iemah atau keturunannya yang lemah, untuk memenuhi dan mencukupkan keperluan mereka, maka ia sudah fi sabili'llah. Dan jikalau ia berusaha untuk membanggakan diri dan membanyakkan harta, maka ia sudah fi sabili'sy-syaithan (pada jalan setan)". (2).
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai hambaNya yang mengambil sesuatu pekerjaan, untuk memperoleh kecukupan, daripada bantuan orang lain. Dan Allah me marahi hambaNya yang mempelajari ilmu pengetahuan, yang diperbuatnya ilmu itu untuk perusahaan". Pada suatu hadits tersebut: "Sesungguhnya Allah Ta'ala mencintai orang mu'min yang berusaha".

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Yang lebih halal, dari apa yang dimakan oleh seseorang, ialah dari usahanya sendiri. Dan segala jual beli itu mempunyai kebajikan".

Dan pada hadits yang lain tersebut: "Yang lebih halal dari apa yang dimakan oleh seorang hamba, ialah usaha dari tangan pekerja apabila ia bekerja, dengan jujur".

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Haruslah kamu bemiaga, karena pada pemiagaan itu, sembilan persepuluh dari rezeki!" Dan diriwayatkan, bahwa 'Isa a.s. melihat seorang laki-laki, lalu bertanya": "Apakah yang engkau kerjakan?"
Laki-laki itu menjawab: "Aku beribadah".
'Isa a.s. bertanya lagi: "Siapakah yang menanggung perbelanjaanmu?"
Laki-laki itu menjawab: "Saudara saya!"
Lalu "Isa a.s. menyambung: "Saudaramu lebih banyak ibadahnya daripada kamu!"

Nabi kita صلى الله عليه وسلم  . bersabda: "Sesungguhnya aku tiada mengetahui sesuatu yang mendekatkan kamu kesorga dan menjauhkan kamu dari neraka, me- lainkan aku suruh kamu dengan dia. Dan sesungguhnya aku tiada mengetahui sesuatu yang menjauhkan kamu dari sorga dan mendekatkan kamu keneraka, melainkan aku larang kamu daripadanya. Sesungguhnya malaikat Jibril menghembuskan kedalam hatiku, bahwa nyawa itu tidak mati,
1. Dirawikan Abusy-Syaikh dan AJ-Baihqqi dari Abu Hurairah, dengan sanad dla'if-
2.Dirawikan Ath-Thabrani dari Kaab bin 'Ajrah, sanad dla'if.
10

sehingga ia memperoleh dengan sempurna akan rezekinya, walaupun terlambat daripadanya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan bertindaklah dengan baik pada mencari!" Nabi صلى الله عليه وسلم . menyuruh dengan tindakan yang baik pada mencari dan beliau tidak mengatakan: Tinggalkanlah mencari!" (1).
Kemudian beliau bersabda pada akhir hadits itu: "Janganlah dibawa kamu oleh kelambatan sesuatu, dari mencari rezeki itu, dengan jalan ma'siat kepada Allah Ta'ala. Karena Allah tiada akan memberi apa yang padaNya dengan mendurhakaiNya".

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Pasar itu adalah hidangan Allah Ta'ala. Maka barang-siapa datang kepasar, niscaya akan memperoleh daripadanya". (2).

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Sesungguhnya diambil oleh seseorang dari kamu akan taiinya, laiu diikatnya kayu bakar pada punggungnya, adalah lebih baik daripada ia mendatangi seseorang yang dikurniai oleh Allah dari kelimpahanNya,lalu dimintanya. Ia beri atau tidak". (3).

Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa membuka kepada dirinya satu pintu dari meminta-minta, niscaya dibukakan oleh Allah kepadanya tujuh- puluh pintu dari kemiskinan". (4).
Adapun atsar (kata-kata yang berhikmah dari orang-orang terdahulu), maka telah berkata Lukmanu'l-hakim kepada puteranya: "Hai anakku! Hendaklah engkau merasa kaya dengan usaha yang halal, dari kemiskinan! Karena sesungguhnya tidaklah sekali-kali, seseorang merasa miskin, melainkan ia ditimpakan tiga perkara: tipis keagamaannya, lemah akalnya dan hilang kehormatan dirinya. Dan yang paling besar dari yang tiga ini, ialah manusia memandang enteng kepadanya".

Umar r.a. berkata: "Janganlah duduk seorang kamu dari mencari rezeki, seraya berdo'a: "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah aku rezeki!" Sesungguhnya kamu mengetahui, bahwa langit itu tidak menurunkan hujan emas dan perak".

Adalah Zaid bin Maslamah bercocok tanam pada tanahnya. Lalu Umar r.a. berkata kepadanya: "Engkau betui! Jadilah engkau tidak memerlu- kan kepada orang, niscaya jadilah dia lebih memelihara akan agama engkau dan lebih mulia engkau pada mereka, sebagaimana kata sahabatmu Uhaihah:Senantiasaiah aku,membenamkan diri pada sumur yang dalam. Bahwa orang yang pemurah itu, dipandang berharta oleh teman-teman.....................

1. Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Al-Hakim dari Ibnu Mas'ud.
2. Menurut Al-Iraqi, dia tidak menjumpai hadits itu marfu'.
3. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
4.Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Kabsyah
11


Ibnu Mas'ud r.a. berkata: "Sesungguhnya aku amat benci melihat orang kosong (tidak bekerja), tidak untuk urusan dunianya dan tidak untuk urusan achiratnya".

Ditanyakan Ibrahim tentang saudagar yang benar: "Adakah engkau lebih suka kepadanya atau orang yang menggunakan seluruh waktunya untuk ibadah?"

Ibrahim menjawab: "Saudagar yang benar, lebih aku sukai. Karena dia dalam perjuangan (jihad), yang didatangi setan, dari jalan sukatan dan timbangan. Dan barangsiapa menerima untuk mengambil dan memberi maka ia berjihad melawan setan".

Al-Hasan Al-Bashri berbeda pendapat dengan Ibrahim dalam hal ini. Dan Umar r.a. berkata: "Tiadalah tempat yang didatangi akan aku oleh kema- tian, yang lebih aku sukai, dari tempat, dimana aku berkedai padanya untuk keluargaku, aku menjual dan membeli".

Al-Haitsam berkata: "Kadang-kadang sampai kepadaku sesuatu dari .orang yang datang kepadaku, lalu aku terangkan, bahwa aku tidak memerlukan kepada barang itu. Maka mudahiah yang demikian kepadaku". Ayyub berkata: "Usaha, dimana dengan usaha itu memperoleh sesuatu, adalah lebih aku sukai daripada meminta-minta pada orang". Berhembuslah angin badai dilaut, lalu bertanyalah anak kapal kepada Ibrahim bin Adham r.a. dimana beliau berada serta mereka didalam kapal itu: "Apakah pikiran tuan tentang kesukaran ini?"

Beliau menjawab: "Apakah kesukaran ini? Sesungguhnya kesukaran itu, ialah suatu keperluan bagi manusia".

Ayyub berkata: "Abu Qallabah berkata kepadaku: "Haruslah engkau terns dipasar! Karena kaya itu dari kesehatan. Ya'ni: kaya, tanpa memerlukan kepada bantuan orang".

Orang menanyakan kepada Ahmad: "Apakah kata tuan, tentang orang yang duduk dirumahnya atau dalam masjid? Dan dia mengatakan: "Aku tidak mengerjakan sesuatu, sehingga datanglah kepadaku rezekiku". Ahmad menjawab: "Itu adalah orang yang tiada mengetahui ilmu penge- tahuan! Tidakkah ia mendengar sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .:
إن الله جعل رزقي تحت ظل رمحي
(Innallaahaja ala rizqii tahta dhilli rumhii).
Artinya: "Sesungguhnya Allah menjadikan rezekiku, dibawah bayang-bayang tombakku". (1).
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  . ketika beliau menyebutkan burung, lalu beliau bersabda: "Dia keluar pagi-pagi dengan tembolok kosong dan pulang sore dengan tembolok berisi". (2).
1. Dirawikan Ahmad dari Ibnu Umar, isnad shahih.
2. Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Umar. Kata At-Tirmidzi, hasan shahih.
12


Lalu menyebutkan, bahwa burung itu keluar pagi-pagi mencari rezekinya. Dan adalah para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم . pergi berniaga didaratan dan dilautan. Mereka bekerja dikebun tamar dan haruslah mengikuti jejak mereka. Abu Qallabah berkata kepada seorang laki-laki: "Sesungguhnya aku melihat engkau mencari penghidupan, adalah lebih aku sukai dari pada melihat engkau disudut masjid".
Menurut riwayat, bahwa AI-Auzu'i bertemu dengan Ibrahim bin Adham r.a. dimana pada bahunya seberkas kayu api. Lalu Al-Auza'i menegur: "Hai Abu Ishaq! Sampai kapan ini? Teman-temanmu merasa puas begini?"
Maka Ibrahim bin Adham menjawab: "Biarkanlah aku begini wahai Abu Amr. Karena sampai kepadaku khabar, bahwa barangsiapa berdiri pada tempat kehinaan, mencari yang halal, niscaya haruslah baginya sorga". Abu Sulaiman Ad-Darani berkata: "Bukanlah bernama ibadah pada kami, bahwa engkau meletakkan kedua tapak kaki engkau berbaris, sedang makananmu diberikan oleh orang lain. Tetapi mulailah dengan dua potong roti engkau! Peliharalah keduanya, kemudian beribadahlah!" Ma'az bin Jabal r.a. berkata: Pada hari kiamat, diserukan oleh penyeru: "Manakah orang yang dimarahi oleh Allah dibumiNya?" Lalu bangunlah peminta dimasjid-masjid".


Inilah celaan Agama kepada meminta-minta dan berpegang kepada bantuan orang lain. Dan orang yang tiada mempunyai harta pusaka, maka tidaklah terlepas yang demikian, kecuali oleh usaha dan perniagaan. Kalau anda berkata, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Tiada diwahyukan kepadiku: supaya engkau mengumpulkan harta dan menjadi saudagar. Tetapi diwahyukan kepadaku, supaya engkau bertasbih dengan memujikan Tuhanmu dan hendaklah engkau orang yang bersujud. Dan sembahlah Tuhanmu, sehingga datanglah kepadamu yakin". (1).


Orang meminta kepada Salman Al-Farisi dengan berkata: "Berilah nasehat kepada kami!" Lalu Salman menjawab: "Barangsiapa sanggup daripadamu meninggal dengan mengerjakan hajji atau berperang atau meramaikan masjid Tuhannya, maka hendaklah berbuat yang demikian! Dan janganlah ia meninggal selaku saudagar dan pengkhianat". Maka jawaban atas pertanyaan anda tadi, sesungguhnya cara mengumpulkan diantara hadits dan keterangan-keterangan itu, jnemeriukan kepada penguraian segala hal keadaan. Maka sekarang kami terangkan: 'Tidaklah kami mengatakan, bahwa berniaga itu lebih utama mutlak dari segala yang lain. Tetapi berniaga itu, adakalanya untuk mencari kecukupan atau kekayaan atau tambahan kepada kecukupan.


Kalau dari perniagaan itu dicari tambahan kepada kecukupan, untuk memperbanyak dan menyimpan harta, bukan untuk dipergunakan kepada jalan kebajikan dan sedekah, maka itu adalah tercela. Karena itu, adalah menghadapkan diri kepada dunia, dimana mencintai dunia itu adalah pokok tiap-tiap kesalahan.
1.Dirawikan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Mas'ud dengan sanad lunak.
13

Kalau bersaina dengan itu. ia berbuat zalim dan berkhianat. maka itu adalah kezaliman dan kefasikan. Dan inilah yang dimaksud oleh Salman dengan katanya: "Janganlah kamu meninggal. sebagai saudagar dan pengkhianat!" Dan beliau maksudkan dengan saudagar, ialah orang yang men- cari tambahan.
Adapun apabila dengan perniagaan itu dicari kecukupan untuk dirinya dan anak-anaknya dan ia sanggup untuk memperoleh kecukupan itu dengan meminta-minta, maka berniaga untuk menjaga diri dari meminta- minta itu. adalah lebih utama. Dan kalau ia tidak memeriukan kepada meminta-niinta, tetapi ia diberikan tanpa meminta-minta, maka berusaha adalah lebih utama. Karena sesungguhnya ia diberikan. adalah karena ia meminta dengan peri hal keadaannya dan mengumandangkan diri antara manusia dengan kemiskinan.
Maka menjaga diri dan menutup diri dari kekurangan, adalah lebih utama dari keperkasaan. Bahkan dari melaksanukan segala ibadah badaniah (amalan peribadatan yang diiaksanakan dengan tubuh). Meninggalkan usaha, adalah lebih utama bagi empat orang: orang yang mengerjakan ibadah badaniyah. Atau orang yang mempunyai perjalanan dengan batin dan amalan dengan hati dalam segala ilmu keadaan dan mukasyafah. Atau orang yang berilmu yang bekerja dengan pendidikan ilmu dhahir, dari apa yang dapat dimanfa'atkan oleh orang banyak pada Agaifianya. seperti: mufti, ahli tat'sir. ahli hadits dan sebagainya. Atau orang yang bekerja untuk kemuslihatan kaum muslimin dan ia menang- gung mengurus segala urusan mereka. seperti. sultan, kadli dan saksi. Maka mereka yang tersebut tadi, apabila memperoleh kecukupan dari harta-harta yang ditujukan bagi segala kemuslihatan itu atau harta-harta waqaf yang diwaqafkan kepada orang-orang miskin atau alim-ulama, maka mereka menghadapkan diri kepada pecbuatan yang mereka laksanakan itu, adalah lebih utama. daripada mereka bekerja dengan berusaha mencari penghidupan.
Dan karena itulah, diwahyukan kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  .: "supaya bertasbihlah kamu dengan memuji Tuhanmu dan hendaklah kamu menjadi orang-orang yang bersujud kepada Allah!"" Dan tidak diwahyukan kepadanya: "supaya adalah kamu dari orang-orang yang berniaga". Karena dengan demikian, adalah mengumpulkan segala pengertian yang empat tadi, kepada tambahan-tambahan vang tidak dapat dihinggakan sifatnya. Dan karena inilah. diisyaratkan oleh para shahabat kepada Abubakar r.a. supaya meninggalkan perniagaan. tatkala beliau menjabat kedudukan Khalifah. Karena perniagaan itu mengganggu beliau dari mengurus segala kemuslihatan umat. Dan be!iau dapat mengambil yang mencukupkan baginya dari harta kepentingan umum. Dan beliau sendiri berpendapat yang demikian itu, adalah lebih utama.
14


Kemudian, tatkala hampir wafat, beliau meninggalkan wasiat, supaya dikembalikan harta itu ke-Baitu'l-mal (kas umum). Tetapi beliau pada mulanya dahulu, berpendapat mengambilnya lebih utama. Dan bagi orang yang empat itu, mempunyai hal yang lain: Hal yang pertama: adalah perbelanjaan yang mencukupkan bagi mereka ketika meninggalkan berusaha, terdapat dari pemberian orang banyak dan apa yang disedekahkan kepada mereka, dari zakat atau sedekah, tanpa memerlukan kepada meminta. Maka meninggalkan usaha dan meneruskan apa yang dikerjakan oleh mereka itu sekarang, adalah lebih utama. Karena padanya menolong manusia kepada kebajikan dan menerima dari mereka apa yang menjadi hak dan yang lebih utama bagi orang yang empat itu
Hal yang kedua: memerlukan kepada meminta-minta. Dan ini memerlukan kepada perhatian. Penegasan-penegasan yang telah kami riwayatkan dahulu tentang meminta-minta serta celaan kepadanya, adalah menunjukkan dengan jelas, bahwa menjaga diri dari meminta-minta, adalah lebih utama. Dan berkata secara mutlak tentang meminta-minta itu, tanpa memperhatikan hal-keadaan dan orang-orangnya, adalah sulit. Bahkan itu diserahkan kepada kesungguhan pemikiran dan perhatian seseorang hamba untuk dirinya, dengan membandingkan apa yang diperolehnya pada me-minta-minta itu, ialah kehinaan dan kerusakan harga diri. Serta memerlukan kepada pemberatan dan permintaan dengan mendetsak, dibandingkan dengan apa yang berhasil, dari kesibukannya dengan ilmu dan amal, yang merupakan paedah untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.
Banyak jugalah orang, yang banyak paedahnya untuk makhluk (orang banyak). Dan paedahnya itu, adalah dalam usahanya dengan ilmu atau amal. Dan mudahluh baginya, dengan sindiran yang sedikit saja pada meminta, untuk memperoleh kecukupan (kifayah).
Kadang-kadang adalah sebaliknya dan kadang-kadang berhadapan dengan yang dicari dan yang diawasi. Maka seharuslah murid (yang menuntut jalan akhirat) itu, meminta fatwa pada hatinya sendiri, meskipun telah di- beri fatwa oleh para mufti yang lain. Karena segala fatwa itu tidak meli- puti dengan segala uraian bentuk dan hal-ikhwal yang halus-halus. Dan adalah dalam golongan salaf dahulu, orang yang mempunyai teman tigaratus enampuluh orang, dimana ia bertempat pada masing-masing mereka itu semalam. Dan sebahagian mereka mempunyai teman tigapuluh orang. Mereka itu mengerjakan ibadah, karena mereka itu tahu, bahwa orang-orang yang dibebani itu, akan merasa memperoleh ni'mat dari penerimaan mereka akan kebajikan-kebajikan dari orang-orang itu. Maka adalah penerimaan mereka segala kebajikan orang-orang itu, merupakan kebajikan tambahan kepada peribadatan mereka.
15


Maka seharuslah diperhatikan dengan sehalus-halusnya pada segala perso alan tersebut. Karena pahala orang yang mengambii, adalah seperti pahala orang yang memberi, manakala yang mengambii itu memperoleh perto- longan dengan pengambilannya kepada Agama. Dan orang yang memberi, memberikannya dengan baik hati.
Orang yang dapat menoleh kepada segala pengertian tersebut, niscaya memungkinkan kepadanya untuk mengenal akan keadaan dirinya. Dan memperoleh penjelasan dari kalbunya, apakah yang lebih utama baginya, dibandingkan kepada keadaan dan waktunya. Maka inilah keutamaan usaha! Dan hendaklah ikatan (aqad), dimana dengan ikatan itu usaha dijalankan, dapat mengumpulkan empat perkara: kesehatan, keadilan, ihsan dan kasih-sayang kepada Agama. Dan kami akan mengikatkan pada tiap-tiap satu daripadanya, suatu bab. Dan kami mulai menyebutkan sebab-sebab kesehatan pada Bab Kedua ini.
16


BAB KEDUA : tentang ilmu berusaha dengan jalan berjualan, riba, permbelian dengan pemesanan, penyewaan, penyerahan modal untuk diperniagakan dan perkongsian. Dan penjelasan syarat-syarat Agama tentang sahnya segala perbuatan itu, yang menjadi tempat berkisarnya segala usaha pada Agama. Ketahuilah bahwa menghasilkan ilmu pengetahuan bab ini, adalah diwajibkan atas tiap-tiap muslim yang berusaha. Karena menuntut ilmu itu, menjadi kewajiban atas tiap-tiap muslim. Yaitu, menuntut ilmu yang di-perlukan. Dan orang yang berusaha itu, memerlukan kepada ilmu-perusahaan.
Manakala telah memperoleh pengetahuan bab ini, lalu mengetahui segala yang merusakkan mu'amalah. Maka dapatlah menjagakannya. Dan soal- soal yang jarang terjadi, mengenai furu'-furu' yang sulit, lalu terjadilah di- sebabkan kesulitan itu. Maka haruslah berhenti dahulu, sampai memperoleh kesempatan untuk menanyakan kepada orang yang berilmu. Karena apabila tiada tahu akan sebab-sebab fasidnya (batalnya) dengan pengetahuan secara umum, maka tidaklah mengetahui, bilakah harus ia berhenti dan bertanya.
Kalau ada yang berkata: "Tidak aku dahulukan pengetahuan untuk itu, tetapi aku bersabar, sampai terjadilah kejadian itu bagiku. Maka ketika peristiwa itu terjadi. baru aku belajar dan aku meminta fatwa". Maka hendaklah dijawab kepada orang itu: "Dengan apakah engkau ketahui, bahwa peristiwa itu terjadi, manakala engkau tiada mengetahui kumpulan yang merusakkan ikatan-ikatan ('aqad-aqad) itu?" Karena ia terus-mene- rus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu dan menyangka bahwa pekerjaan- pekerjaan itu benar dan diperbolehkan.
Dari itu, haruslah mempunyai sedekar yang diperlukan dari ilmu berniaga. Supaya dapat membedakan, yang diperbolehkan dan yang dilarang, tempat yang mengandung kesulitan dan yang jelas-terang. Dan karena ituiah, diriwayatkan dari 'Umar r.a., bahwa beliau berjalan berkeliling dipasar dan memukul sebagian saudagar dengan cemeti, seraya berkata: 'Tidaklah berjualan dipasar kita ini, selain orang yang berpenge- tahuan ilmu fiqh. Kalau tidak, dia akan memakan riba. Dengan kemauan- nya yang demikian atau tidak dengan kemauannya". Pengetahuan tentang *aqad (berjual-beli dan lainnya) itu, adalah banyak. Tetapi 'aqad yang enam yang tersebut diatas tadi, tidaklah terlepas sese­orang pengusaha daripadanya. Yaitu: berjualan, riba, pembelian dengan pemesanan, penyewaan, perkongsian dan penyerahan modal untuk diperniagakan (al-qiradl ).
17


Maka marilah kami uraikan syarat-syaratnya dibawah ini. 'AQAD PERTAMA: berjualan.
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menghalalkan berjualan. Dan berjualan itu, mempunyai tiga sendi (tiga rukun):
1.'aqid, 2.ma'qud' alaih dan 3.lafadh.
Sendi (rukun) Pertama: 'aqid (yang melakukan "aqad berjual-beli). Seharuslah bagi saudagar. tidak melakukan mu'amalah-penjualbelian dengan empat golongan manusia: anak kecii, orang gila. budak belian dan orang buta. Karena anak kecil itu belum mukallaf (belum dewasa dan berakal). Dan begitu juga orang gila. Berjual-beli dengan keduanya itu batal (tidak sah). Maka tidaklah sah berjual-beli dengan anak kecil, walaupun telah diizinkan oleh walinya, menurut mazhab Asy-Syafi'i. Dan apa yang diambil dari kepunyaan keduanya, maka menjadi tanggungan si pengambi! untuk keduanya. Dan apa yang diserahkan dalam mu'amalah kepada keduanya, lalu hilang dalam tangan keduanya, maka yang bertanggung jawab itulah, yang menghilangkannya.


Adapun budak yang berakal, maka tidak sah menjual dan membeli. kecuali dengan seizin tuannya. Maka haruslah tukang sayur, tukang roti. tukang daging dan lainnya, tidak melakukan mu'amalah dengan budak- budak, selama belum diizinkan oleh tuannya dalam bermu'amalah. Keizin- an itu didengarnya dengan tegas atau tersiar dalam negeri. bahwa kepada budak itu telah diizinkan membeli dan menjual untuk tuannya. Maka bolehlah berpegang diatas berita yang tersiar atau keterangan seorang yang adil, yang menerangkan dengan yang demikian itu. Kalau mengadakan mu'amalah dengan budak, tanpa izin tuannya maka 'aqad itu batal. Dan apa yang diambil dari budak itu, adalah menjadi tanggung jawab sipengambil untuk tuannya. Dan yang diterimanya itu, ji- kalau hilang dalam tangan budak tadi. niseava tidaklah tersangkut pada le- her budak itu. Dan tidak menjadi tanggungan tuannya. Bahkan tuannya tidak dapat menuntut, kecuali apabila budak itu telah merdeka nariti. Adapun orang buta, yang menjual dan membeli apa yang tidak dapat dili- hatnya itu, maka tidaklah sah yang demikian. Maka hendaklah disuruh- nya, dengan cara mewakilkan kepada orang orang yang dapat melihat. Supaya dibeli atau dijualkan untuk dia. Maka sahlah mengwakilkan itu dan sahlah dijual oleh wakilnya.
Kalau saudagar itu mengadakan mu'amalah dengan orang buta itu sendiri. maka mu'amalah itu batal. Dan apa yang diambilnya dari orang buta itu. menjadi tanggungan saudagar itu menurut nilainya. Dan apa yang diserahkannya kepada orang buta itu, menjadi tanggungannya juga menurut nilainya.
Adapun kafir, maka boleh bermua'malah dengan dia. Tetapi tidak dijual kepadanya Al-Qur-an Suci dan budak muslim. Dan senjata, kalau kafir itu dari golongan yang berperang dengan orang muslimin (ahli'l-harb). Kalau diperbuat juga, maka mu'amalah itu ditolak. Dan yang melakukan- nya, telah berbuat ma'siat kepada Tuhannya.
Adapun tentara dari orang-orang Turki. Turkistan, orang Arab, orang Kurdistan, pencuri, penghianat, pemakan riba, orang zalim dan semua orang, yang kebanyakan hartanya haram, maka tidak seharuslah dimiliki sesuatu benda yang dalam tangannya. Karena benda-benda itu. adalah haram. Kecuali telah diketahui. akan suatu barang tertentu. bahwa barang itu halal.
18

Dan akan datang penguraian yang demikian itu nanti pada "Kitab Halal dan Haram".

Sendi Kedua; mengenai ma'qud 'alaih (benda yang dilakukan mu'amalah padanya). Yaitu: harta yang dimaksudkan pemindahannya dari salah seorang 'aqid kepada aqid yang lain, baik harga atau barangnya. Maka mengenai ma'qud 'alaih itu bukan zat najis (najis ‘aini). Maka tidaklah sah menjual anjing, babi, kotoran, berak. gading dan tempat- tempat yang diperbuat dari gading itu. Karena tulang itu bernajis disebab- kan mati. Dan gajah itu, tidak suci dengan disembelih dan tuiangnya tidak suci dengan dibersihkan. Dan tidak dibolehkan menjual khamar dan minyak najis yang diperbuat dari hewan yang tidak dimakan, meskipun dapat dipakai untuk lampu dan cat kapal. Dan tiada mengapa menjual minyak yang zatnya suci, yang telah bernajis dengan jatuh najis atau mati tikus didalamnya. Maka boleh mengambil manfa'at dengan minyak itu pada bukan makan. Karena zat minyak itu tidaklah bernajis. Begitu pula, aku berpendapat tiada mengapa menjual biji ulat sutera. Karena berasal dari hewan yang bermanfa'at. Dan menyerupakannya dengan telur, dimana telur itu adalah asal hewan. adalah lebih utama, dari- pada menyerupakannya dengan berak. Dan boleh menjual kantong kesturi dan dihukum dengan kcsuciannya, apabila bercerai dari kijang, pada waktu sedang hidup.


2. Bahwa ma'qud 'alaih itu bermanfa'at. Maka tidak boleh menjual bina- tang-binatang kecil-merayap (al-hasyarat). tikus dan ular. Dan tidak harus menoleh, atas kemanfa'atan yang diperoleh tukang sunglap dengan ular itu. Dan tidak harus menoleh kepada kemanfa'atan yang diambil oleh orang-orang yang mempunyai binatang ternak dengan mengeluarkannya dari keranjang dan meletakkannya dihadapan orang banyak. Dan boleh menjual kucing, lebah, beruang, singa dan yang patut dipakai untuk berburu atau dapat dimanfa'atkan kulitnya. Dan boleh menjual gajah, untuk membawa barang-barang. Dan boleh menjual tiung, merak, burung-burung yang cantik bentuknya, meskipun tidak dimakan.Karena meni'mati dengan suaranya dan memandang kepadanya, adalah suatu maksud yang dimaksudkan dan diperbolehkan. Dan sesungguhnya anjing, tidak boleh dipelihara, kerena merasa takjub dengan bentuknya, disebabkan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . melarang yang demikian. (1). Dan tidak boleh menjual gitar, begeres, seruling dan alat-alat permainan. Karena tak ada manfa'atnya pada Agama. Begitu pula menjual gambar- gambar yang terbuat dari tanah, seperti gambar binatang-binatang yang
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Umar.
19

dijual pada hari-hari lebaran, untuk mainan anak-anak. Maka wajiblah memecahkannya, menurut Agama. Dan gambar pohon-pohonan diperbolehkan.
Adapun kain dan baki, yang bergambar hewan padanya, maka sah menju- alkannya. Dan begitu pula tabir-tabir. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . bersabda kepada 'A'isyah r.a.:
اتخذي منها نمارق
(Ittakhidzii minhaa namaariqa).Artinya: "Buatlah daripadanya, bantal-bantal kecil" (1). Dan tidak boleh memakai bantal-bantal kecil yang bergambarkan hewan-hewan itu, dengan ditegakkan. Dan boleh secara diletakkan (direbahkan). Dan apabila boleh diambil kemanfa'atannya dari satu segi, niscaya sahlah menjualnya karena segi itu.


3. Bahwa benda yang dilakukan 'aqad padanya, adalah kepunyaan si-'aqid atau orang yang memperoleh keizinan dari sipemilik. Dan tidak boleh membeli dari bukan sipemiliknya, sementara menunggu keizinan dari sipemilik. Bahkan walaupun sipemilik itu menyetujui kemudian, maka wajiblah mengulangi 'aqadnya.
Dan tiada seharuslah membeli dari isteri, harta suami dan tidak dari suami harta isteri. Dan tidak dari bapak, harta anak dan tidak dari anak harta bapak, karena berpegang, bahwa kalau yang mempunyai itu tahu, niscaya menyetujuinya. Karena apabila keizinan itu tidak diperoleh lebih dahulu, niscaya penjualan itu tidak sah. Dan contoh-contoh yang demikian itu, adalah sebahagian yang berlaku dipasar-pasar sekarang. Maka haruslah bagi hamba yang beragama menjaga diri daripadanya.
4. Bahwa adalah ma'qud 'alaih itu sanggup diserahkan menurut Agama dan kenyataan. Maka yang tidak sanggup diserahkan secara kenyataan, niscaya tidaklah sah menjualnya, seperti budak yang sudah hilang, tak tentu kemana perginya (al-abiq), ikan dalam air, anak hewan yang masih dalam kandungan (al-janin) dan bibit keturunan dari hewan jantan. Dan begitu pula, menjual bulu (bulu wol) yang masih dipunggung hewannya dan susu yang masih pada susu hewannya, adalah tidak dibolehkan. Karena sukar menyerahkannya, lantaran bercampur yang tidak dijual dengan yang dijual. Dan yang tidak sanggup menyerahkannya menurut Agama, adalah seperti harta yang tergadai, yang diwaqafkan dan budak perempuan yang beranak dari tuannya. Maka tidak juga sah menjualnya. Begitu pula, menjual induk tanpa anaknya, apabila anak itu masih kecil. Dan juga menjual anak tanpa induknya. Karena dengan penyerahannya nanti, menceraikan antara anak dan induknya. Dan itu adalah haram.
1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Umar.
20


Maka tidak sah menceraikan diantara keduanya dengan penjualan.


5. Bahwa benda yang dijual itu diketahui bendanya, jumlahnya dan sifatnya. Adapun mengetahui bendanya, adalah dengan ditunjukkan kepada benda itu. Kalau penjual mengatakan: "Aku jual kepadamu seekor dari kumpulan kambing itu, artinya: seekor yang engkau sukai dari kambing-kambing itu. Atau aku jual sehelai dari kain-kain ini yang dihadapan engkau. Atau sehasta dari kain kasar ini dan ambillah dari segi mana engkau sukai. Atau sepuluh hasta dari tanah ini dan ambillah dari tepi mana engkau kehendaki". Maka penjualan itu batal. Semuanya itu, adalah termasuk yang dibiasakan oleh orang-orang yang melejigahkan Agama. Kecuali menjual yang bersifat umum (syai'), seperti: menjual setengah barang atau sepersepuluhnya. Maka yang demikian itu, diperbolehkan.
Adapun mengetahui jumlahnya, maka sesungguhnya berhasil dengan sukatan atau timbangan atau melihat kepadanya. Maka kalau sipenjual itu mengatakan: "Aku jual kepadamu kain ini, dengan harga yang dijualkan oleh si Anu kainnya, "sedang keduanya tidak mengetahui yang demikian itu, maka penjualan itu batal. Kalau sipenjual mengatakan: "Aku jual kepadamu dengan harga menurut timbangan alat neraca ini", maka penjualan itu batal, apabila berat neraca itu tidak diketahui. Kalau sipenjual mengatakan: "Aku jual kepadamu kumpulan gandum ini (yang belum disukat atau ditimbang)", maka penjualan itu batal. Atau sipenjual itu mengatakan: "Aku jual kepadamu dengan harga kumpulan dirham ini atau dengan sepotong emas ini". sedang ia melihatnya, niscaya sahlah penjualan itu. Dan taksirannya dengan melihat itu, mencukupilah untuk mengetahui takarannya.
Adapun mengetahui sifatnya, maka berhasil dengan melihat pada benda- benda itu sendiri. Dan tidaklah syah menjual benda jauh, kecuali telah dilihat lebih dahulu sejak beberapa waktu, yang tidak banyak mendatangkan perobahan padanya. Menyifatkan dengan kata-kata, tidaklah sama seperti dilihat dengan mata kepala. Dan ini, adalah salah satu dari dua aliran (salah satu dari dua mazhab). (1).
Dan tidaklah boleh menjual kain dalam tenunannya, karena berpegang kepada angka-angkanya. Dan tidaklah boleh menjual gandum yang masih pada tangkainya. Dan boleh menjual beras yang dalam kulitnya (padi), dimana dia disimpan dalam kulit itu. Dan begitu pula, boleh menjual buah kelapa dan buah lauz (batangnya hampir mendekati batang delima) dalam kulit yang dibawah (tempurung) dan tidak dibolehkan masih dalam kedua kulitnya. Dan boleh menjual buah kacang (baqila') yang belum kering dalam kulitnya, karena sesuatu keperluan. Dan diperbolehkan menjual fuqqa' (minuihan yang diperbuat dari syair), karena telah
1. Ada yang berpendapat, mencukupi dengan disifatkan dengan kata-kata saja, tanpa dilihat –(Pent.)
21


berjalan adat kebiasaan orang-orang yang terdahulu dengan yang demikian. Tetapi kita jadikan itu diperbolehkan, adalah sebagai penukaran (dengan 'iwadl). Kalau dibeli untuk dijual lagi, maka menurut qiasnya, adalah batal. Karena tidaklah ia tertutup dengan tutup kejadiannya. Dan tidak jauh untuk diperbolehkan dengan yang demikian. Karena pada mengeluarkannya, mendatangkan kerusakan, seperti buah delima dan segala apa yang tertutup dengan tutup kejadiannya (kulitnya yang asli sebagai penutup).
6. Bahwa adalah barang yang dijual itu diterima dengan tangan, kalau sudah memperoleh miliknya dengan membayar harganya. Dan ini, adalah syarat khusus. Dan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . telah melarang menjual barang yang tidak bisa diterima dengan tangan. (1).


Sama saja barang itu, barang tetap atau barang yang dapat dipindahkan (barang bergerak).


Maka tiap-tiap yang dibeli atau dijual sebelum diterima dengan tangan, adalah penjualannya batal. Menerima barang yang bisa dipindahkan itu, adalah memindahkannya. Dan menerima barang tetap (barang tidak bergerak), adalah dengan dikosongkan. Dan penei imaan barang yang dibeli, dengan syarat disukat, adalah tidak sempurna penerimaan itu, kecuali dengan disukat.
Adapun penjualan harta pusaka, wasiat, barang sinpanan dan barang-barang yang dimiliki, tidak dengan pembayaran harga maka itu dibolehkan sebelum diterinja dengan tangan.
Sendi Ketiga: lafadh 'aqad. Maka haruslah berlaku ijab dan qabul yang bersambung, dengan lafadh (kata-kata), yang menunjukkan kepada yang dimaksud dan yang dapat dipahami. Adakalanya dengan tegas (sharih) atau tidak tegas (kinayah).


Kalau penjual itu mengatakan: "Aku berikan kepadamu ini dengan itu", sebagai ganti katanya: "Aku jualkan kepadamu", lalu sipembeli itu menjawab: "Aku terima", niscaya boleh, manakala keduanya bermaksud jual- beli. Karena kadang-kadang yang demikian itu, memungkinkan kepada peminjaman, apabila berlaku mengenai dua helai kain atau dua ekor hewan. Maka dengan mat tadi, tertolaklah kemungkinan tersebut. Perkataan yang sharih (tegas) itu, dapat menghilangkan persengketaan. Tetapi kata-kata yang tidak tegas (kinayah), dapat mendatangkan hak milik dan halal juga tentang apa yang dipilihkan itu. Dan tiada seharuslah penjualan itu disertai dengan syarat, yang berlainan dengan yang dimaksudkan oleh 'aqad.


Kalau disyaratkan, supaya ditambahkan sesuatu yang lain atau supaya barang yang dijual itu dibawa kerumah sipembeli atau sipembeli itu membeli kayu api dengan syarat diangkut kerumahnya, maka semuanya itu tidak sah penjualannya. Kecuali apabila disertakan penyewaan pengangkutan itu dengan ongkos tertentu, yang terasing dari pembelian, untuk pengangkutan itu.
1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Umar.
22

Manakala tidak berlaku antara sipenjual dan sipembeli, selain dari beri- memberi dengan perbuatan, tanpa perkataan dengan lisan, niscaya tidaklah sah sekali-kali penjualan itu pada Asy-Syafi'i. Dan pada Imam Abu Hanifah sah, apabila penjualan itu pada barang-barang yang tidak begitu berharga.
Kemudian, menentukan "barang-barang yang tidak begitu berharga" amat sulit pula. Sesungguhnya mengembalikan persoalan kepada adat-kebiasaan, maka manusia itu telah melewati dari "barang-barang yang tidak begitu berharga" dalam beri-memberi itu. Karena-umpamanya- seorang perantara (dallal), datang kepada penjual kain (bazzar), lalu me- ngambil daripadanya, sehelai kain sutera, seharga sepuluh dinar dan diba- wanya kepada seorang pembeli. Kemudian ia kembali kepada pembeli itu dan menerangkan, bahwa sipemiliknya menyetujui dengan harga demikan. Lalu perantara tadi mengatakan kepada sipembeli: "Ambillah sepuluh!"


Maka perantara tersebut, mengambil dari temannya (yang menjadi pembeli) itu uang sepuluh dinar. Dibawanya dan diserahkannya kepada bazzar, pemilik kain sutera tadi. Dan sibazzar itu mengambilnya dan mempergunakan uang tersebut. Dan sipembeli kain sutera itu memotong kannya. Dan tidak berlaku sekali-kali diantara keduanya ijab dan qabul. Dan begitu pula, berkumpul orang-orang yang bersedia membeli, dimuka toko seorang penjual. Lalu penjual itu mengemukakan sebuah barang, dengan harga seratus dinar umpamanya, kepada orang yang mau menambah. Lalu seorang dari mereka itu menjawab: "Ini untuk saya dengan harga sembilan puluh'. Dan yang lain menjawab: "Biar untuk saya dengan harga sembilan puluh lima". Dan yang lain menjawab lagi: "Biar untuk saya dengan harga seratus".
Lalu dikatakan kepada pembeli itu: "Timbanglah!" Maka ia timbang dan menyerahkan harganya. Dan mengambil barang tadi, tanpa ijab dan qabul. Sehingga terus-menerus adat-kebiasaan itu berlaku. Dan ini adalah setengah dari penyakit yang tiada menerima obat, karena kemungkinan-kemungkinannya ada tiga:


Kemungkinan Pertama: adakalanya membuka pintu beri-memberi secara mutlak pada barang yang tidak berharga dan barang yang bernilai tinggi. Dan itu, adalah mustahil. Karena cara yang demikian, adalah pemindahan milik tanpa lafadh yang menunjukkan kepadanya. Dan Allah Ta'ala menghalalkan jual-beli. Dan jual beli itu, adalah nama bagi ijab dan qabul. Dan ijab serta qabul itu tidak dilakukan.
Dan tidaklah berlaku nama jual-beli, dengan semata-mata perbuatan dengan penyerahan dan penerimaan. Maka dengan apakah dihukum pemindahan hak milik dari kedua pihak itu? Lebih-lebih tentang budak-
23


budak wanita dan laki laki, barang-barang tetap, hewan-hewan yang berharga dan barang-barang yang banyak terjadi pertengkaran padanya. Karena bagi yang menyerah dapat meminta kembali, seraya mengatakan: "Aku sudah menyesal dan aku tidak jualkan barang itu. Karena tidak keluar dari padaku, kecuali semata-mata penyerahan. Dan cara yang demikian itu, bukanlah penjualan".
Kemungkinan Kedua: bahwa kita tutup pintu beri-memberi itu secara ke- seluruhan, sebagaimana kata Imam Asy-Syafi'i: batalnya 'aqad dengan cara yang demikian.


Mengenai ini, ada dua segi kemusykilan:
1. Meragukan yang demikian itu pada barang-barang yang tidak berharga, karena telah menjadi kebiasaan pada zaman shahabat r.a. Kalaulah mereka itu memberatkan ijab dan qabul dengan tukang sayur, tukang roti dan tukang daging, niscaya beratlah bagi mereka melaksanakannya. Dan tentulah yang demikian itu menjalar dan berkembang. Dan tentulah ada waktu, yang terkenal meninggalkan adat-kebiasaan tadi secara keselurahan. Sedang masa-masa tentang hal yang seperti itu, berlebih-kurang keadaannya.


2. Bahwa manusia sekarang telah terbenam dalam cara beri-memberi. Orang tidak membeli sesuatu, baik makanan atau lainnya, melainkan mengetahui bahwa sipenjual telah memilikkan barang itu kepada sipembeli dengan cara beri-memberi. Maka apakah paedahnya lagi, melafadhkan pada 'akad itu, apabila pekerjaan sudah sedemikian?


Kemungkinan Ketiga: bahwa dipisahkan diantara barang yang tidak berharga dengan lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Hanifah r.a. Dan dalam hal ini, sukar pula menentukan barang yang tidak berharga itu. Dan kemusykilan cara pemindahan hak milik, tanpa lafadh, menujukkan kepada yang demikian itu.


Dan Ibnu Suraij beraliran kepada mengemukakan perkataan Imam Asy-Syafi'i, dengan menyetujuinya. Dan itu, adalah kemungkinan yang lebih mendekati kepada jalan tengah (al-i'tidal). Maka tiada mengapa kalau kita condong kepadanya, karena kepentingan meminta. Dan karena umum telah berlaku diantara orang banyak. Dan karena telah berat dugaan, bahwa yang demikian itu, telah dibiasakan pada masa-masa pertama dahulu.


Adapun jawaban dari kedua kemusykilan diatas, maka kami mengatakan:


1. Adakalanya penentuan tentang pemisahan diantara barang-barang yang tidak berharga dengan yang berharga. Maka tidaklah itu memberatkan kita untuk menaksir. Karena yang demikian itu, tidaklah mungkin. Tetapi mempunyai dua segi yang jelas. Karena tidaklah tersembunyi bahwa membeli sayur-sayuran dan sedikit buah-buahan, roti dan daging itu, terhitung barang-barang yang tidak berharga, yang tidak dibiasakan padanya, kecuali beri-memberi. Dan yang meminta ijab dan qabul dalam hal yang seperti itu, terhitung orang yang berlebib-lebihan. Dan permintaan untuk itu dipandang dingin dan berat. Dan ia digolongkan kepada orang yang menegakkan timbangan bagi barang yang tak berharga. Dan tak adalah cara yang demikian.
24


Ini, adalah segi barang yang tidak berharga.


Dan segi yang kedua, ialah hewan, budak, benda-benda tetap dan kain- kain yang bernilai tinggi. Maka yang demikian, adalah tidak dapat dipandang jauh dari kebenaran, untuk memaksakan ijab dan qabul padanya. Dan diantara yang pertama dan yang kedua itu, hal-hal yang menengah yang meragukan, yang diragukan padanya, tentang dia itu pada tempat yang meragukan.
Maka hak bagi orang yang memegang teguh akan Agama, untuk condong padanya kepada berhati-hati.
Dan semua ketentuan Agama mengenai apa yang diketahui dengan adat-kebiasaan, seperti itu juga, terbagi kepada beberapa segi yang nyata dan hal-hal yang ditengah-tengah yang menyulitkan.
2. Yaitu: mencari sebab untuk pemindahan hak milik. Maka itu adalah menjadikan perbuatan dengan tangan, sebagai mengambil dan menyerah untuk menjadi "sebab". Karena lafadh (kata-kata), tidaklah menjadikan sebab itu sendiri, tetapi hanya menunjukkan kepada sebab itu. Dan perbuatan itu, adalah menunjukkan kepada maksud dari penjualan, suatu penunjukan yang terus-menerus, menurut adat-kebiasaan. Dan ber- campur kepadanya singgungan keperluan, adat-kebiasaan orang-orang dahulu dan banyak terjadinya segala adat-kebiasaan, dengan menerima hadiah-hadiah itu.


Apakah perbedaannya, antara ada pada benda itu 'iwadl (penukaran dengan pembayaran harga) atau tidak ada? Karena hak milik itu tak boleh tidak pula daripada pemindahannya pada hibah (pemberian). kecuali adat-kebiasaan yang dahulu-dahulu, yang tidak membedakan pada hadiah- hadiah itu, antara yang tidak bernilai dan yang bernilai tinggi. Bahkan menuntut adanya ijab dan qabul itu, dipandang kurang baik, betapa pun adanya. Dan pada benda yang dijual itu, tidaklah dipandang keji ijab dan qabul pada barang-barang yang bernilai.


Inilah yang kami lihat lebih adil dari segala kemungkinan-kemungkinan itu. Dan menjadi hak orang yang wara' dan beragama, untuk tidak meninggalkan ijab dan qabul, untuk dapat melepaskan diri dari syubhat khilaf diantara para ulama. Maka tidak wajarlah ia mencegah diri dari ijab dan qabul, Iantaran sipenjual telah memiliki barang yang dijualnya itu dahulu, tanpa ijab dan qabul. Karena yang demikian itu, sebenarnya ia tiada mengetahui akan hakikat yang sebenarnya. Mungkin dibelinya dahulu dengan ijab dan qabul.


Kalau ia hadir ketika dibeli oleh sipenjual itu dahulu atau sipenjual itu mengakui dengan demikian, maka hendaklah ia mencegah diri dari mem-
25

beli pada sipenjual itu. Dan hendaklah membeli pada orang lain. Jikalau barang itu tidak berharga dan la memerlukan kepadanya, maka hendaklah ia melafadhkan dengan ijab dan qabul. Karena yang demikian itu, memberi faedah tidak adanya pertengkaran pada masa depan. Sebab kembali (tidak meneruskan penjualan) sesudah adanya kata-kata ijab dan qabul yang tegas, adalah tidak mungkin. Dan dari perbuatan saja itu mungkin (penerimaan saja, tanpa ijab dan qabul).


Kalau anda bertanya, .bahwa kalau itu mungkin mengenai apa yang dibeli- nya. maka bagaimana ia berbuat, apabila menghadiri suatu jamuan atau hidangan, sedangkan ia mengetahui, bahwa yang mempunyai jamuan atau hidangan itu, mencukupkan dengan beri-memberi saja pada penjualan dan pembelian. Atau ia mendengar dari mereka itu yang demikian atau melihatnya. Adakah wajib ia mencegah diri dari makan? Maka aku menjawab: wajiblah ia mencegah diri dari membeli, apabila burang yang dibeli mereka itu, mempunyai jumlah yang berharga tinggi dan tidak dari barang-barang yang tidak berharga. Adapun makan. maka tidaklah wajib mencegah diri daripadanya. Sesungguhnya aku mengatakan. bahwa ragunya kita. tentang menjadikan perbuatan itu. untuk menunjukkan kepada pemindahan hak milik, maka tiada seharuslah kita tidak menjadikannya penunjukan kepada pemboleh- an. Karena hal pembolehan (ibahah) itu. adalah lebih luas. Dan hal pemindahan hak milik itu, adalah lebih sempit.


Maka tiap-tiap makanan yang berlaku padanya penjualan secara beri-memberi (mu'athah). adalah penverahan sipenjual itu, merupakan keizinan untuk makan. yang diketahui demikian dengan peri keadaan. Seperti keizinan penjaga tempat permandian air panas untuk memasuki tempat permandian. Dan keizinan pada makan bagi orang yang dimaksud oleh pembeli. Maka yang demikian itu dapat ditempatkan pada kedudukan. seumpama kalau dikatakan oleh sipembeli: "Aku perbolehkan kepadamu memakan makanan ini atau engkau beri makan kepada siapa saja yang engkau kehendaki!" maka yang demikian itu menghalalkan baginya.


Dan kalau ditegaskannya., dengan mengatakan: "Makanlah makanan ini! Kemudian bayarlah bagiku iwadlnya (harganya)!", niscaya halallah dimakan. Dan haruslah ia membayar sesudah makan. Ini. adalah qias ilmu-fiqh padaku. Tetap! orang itu. sesudah beri-memberi, adalah memakan hak miliknya dan menghabiskan hak miliknya. Maka haruslah ia menjamin dan jaminan itu adalah dalam tanggung jawabnya. Dan harga yang diserahkannya. kalau harga itu menurut nilainya. maka yang berhak itu telah memperoleh menurut nilai haknya. Maka ia boleh meniilikinya. manakala ia lemah daripada mencari orang yang berkewajiban melunasinya. Dan kalau ia sanggup mencari orang yang harus melunasinya. maka janganlah ia memiliki apa yang diperolehnya
26

dari hak milik orang yang. bertanggung jawah melunas'inya. Karena kadang-kadang ia tidak rela benda itu, untuk diserahkannya pcmbayaran hutangnya. Maka haruslah ia menanyakan kembali kepada yang berkewa- jiban membayar itu.


Adapun dalam hal yang tersebut, ia telah mengetahui akan rela yang mempunyai barang, dengan tanda bukti keadaan, ketika penyerahan itu. Sehingga tidak jauhlah untuk dijadikan perbuatan itu, setagai bukti kepada keizinan, bahwa hutang itu akan diterimanya dengan sempurna, dari harga apa yang diserahkannya itu. Sehingga adalah ia mengambil haknya.


Tetapi dalam tiap keadaan itu pihak sipenjual, adalah lebih kabur. Karena apa yang telah diambilnya, kadang-kadang dikehendaki oleh sipemiliknya, hendak berbuat sesuatu padanya. Dan tiada mungkin ia memiliki apa yang diambilnya itu, kecuali apabila telah rusaklah benda makanannya dalam tangan sipembeli. Kemudian kadang-kadang ia menghendaki kepada pengulangan kembali maksud memiliki. Kemudian adalah ia memiliki itu dengan kerelaan semata-mata, yang diperolehnya dari perbuatan, bukan dari perkataan.

Adapun pihak sipembeli makanan itu, dimana dia tidak bermaksud selain dari makan, maka adalah soal mudah. Karena yang demikian itu, diperbolehkan dengan pembolehan yang dipahami dari peri-hal keadaan. Tetapi, kadang-kadang harus dari musyawarah, bahwa tamu itu menanggung akan apa yang telah dirusakkannya.


Dan tanggungan itu gugur daripada tamu tadi, apabila sipenjual telah memiliki akan apa yang diambilnya dari sipembeli. Maka gugurlah tanggungan itu, seperti orang yang membayar hutangnya dan yang menanggung dari hutang itu.


Maka inilah, apa yang kami lihat tentang kaidah beri-memberi tentang kesulitannya. Dan ilmu yang sebenarnya, adalah pada sisi Allah. Dan yang tersebut itu adalah kemungkinan-kemungkinan dan persangkaan-persangkaan yang telah kami tolak. Dan tidak mungkin men- dasarkan fatwa, selain diatas sangkaan-sangkaan tersebut. Adapun orang wara', maka seharuslah mencari fatwa dari hatinya sendiri dan menjaga diri dari tempat-tempat syubhat (tempat-tempat yang meragukan).


'AQAD KEDUA: 'aqad riba.
Riba itu telah diharamkan oleh Allah Ta'ala. Dan Allah Ta'ala sangat mengeraskan tentang riba itu. Dan haruslah menjaga diri dari riba, atas orang-orang yang pekerjaannya menukar uang, yang melakukan mu'ama- lah atas dua macam uang dan atas orang-orang yang melakukan mu'ama- lah pada makanan-makanan. Karena tak ada riba itu, selain pada uang (naqd) atau pada makanan.

27

Dan haruslah penukar-penukar uang (ash-shairafi, menjaga diri daripada penangguhan dan kelebihan.
Adapun penangguhan, yaitu: ia tidak menjual sesuatu dari zat dua mata uang, dengan sesuatu dari zat dua mata uang itu, kecuali dengan tunai (ya- dan biyadin). Yaitu: bahwa berlaku terima-menerima pada tempat pem- belian itu. Dan inilah artinya penjagaan diri dari penangguhan itu! Penyerahan oleh penukar-penukar uang akan emas kegudang pembikinan uang dan pembelian dinar-dinar yang sudah dibikin menjadi uang, adalah haram dari segi penangguhan. Dan dari segi, bahwa biasanya berlakulah padanya berlebih kurang (tafadlul), karena tidak dikembalikan uang yang sudah dibikin itu, menurut timbangannya semula. Adapun kelebihan, maka haruslah menjaga diri dalam tiga hal:


1. Pada penjualan yang pecah dengan yang tidak pecah. Maka tidaklah harus melakukan mu'amalah pada keduanya, selain bersamaan diantara keduanya.


2. Pada penjualah yang bagus dengan yang buruk. Maka tidaklah wajar membeli yang buruk dengan yang bagus yang berkurang timbangannya atau menjual yang buruk dengan yang bagus yang lebih tinggi timbangannya.Ini, saya maksudkan, apabila menjual emas dengan emas dan perak dengan perak.Kalau kedua jenis itu berlainan, maka tidak mengapa tentang berkelebihan.


3. Pada yang bercampur dari emas dan perak, seperti dinar yang bercam- pur dari emas dan perak. Kalau takaran emas tidak diketahui sama sekali, niscaya mu'amalah itu tidak sah sekali-kali. Kecuali apabila yang demikian itu, adalah uang yang berlaku dalam negeri. Maka kita perbolehkan bermu'amalah dengan uang tersebut, apabila tidak berhadapan dengan se- sama uang.


Begitu pula dirham yang bercampur dengan tembaga; jikalau tidak menjadi uang yang berlaku dalam negeri, niscaya tidaklah sah bermu'amalah dengan dia. Karena yang dimaksud daripadanya, ialah potongan yang dihancurkan dari emas dan perak. Dan potongan itu tidak diketahui. Dan kalau telah menjadi uang yang berlaku dalam negeri, maka kita perbolehkan dalam bermu'amalah. Karena diperlukan dan karena potongan emas dan perak itu, telah keluar daripada dimaksudkan mengeluarkannya dari uang itu.Tetapi tidaklah sekali-kali berhadapan dengan sesama potongan emas dan perak itu.

Begitu pula, tiap-tiap perhiasan yang tersusun dari campuran emas dan perak. Maka tidaklah dibolehkan membelinya, tidak dengan emas dan tidak dengan perak. Tetapi, seharuslah dibeli dengan benda yang lain. Hal itu kalau takaran emas padanya dimaklumi. Lain halnya apabila benda itu

28


dicelup dengan emas, sebagai celupan yang tidak menghasilkan emas yang dimaksud. ketika diletakkan diatas api.
Maka dalam hal ini, bolehlah menjualnya dengan yang sama dari potong- an yang dihancurkan dari emas dan perak itu, dengan apa saja yang dimaksudkan dari yang bukan potongan yang dihancurkan tadi. Dan begitu pula, tidak dibolehkan bagi penukar-penukar uang, membeli kalung. yang ada padanya batu-batu berharga dan emas, dengan emas. Dan tidak boleh juga menjualnya. Tetapi dibolehkan membeli dan menjual itu, bila dibayar dengan perak, dengan tunai, kalau tak ada pada kalung itu perak.
Dan tidak dibolehkan membeli kain yang ditenuni dengan emas, yang berhasil daripadanya emas dimaksud, ketika diletakkan diatas api, dengan pembayarannya emas. Dan dibolehkan bila pembayarannya dengan perak dan lainnya.
Adapun orang-orang yang melakukan mu'amalah tentang makanan-ma- kanan, maka haruslah terima-menerima pada tempat jual-beli itu, berlain- ankah diantara jenis makanan yang dijual dan dibeli atau tidak berlainan. Kalau jenisnya satu, maka haruslah terima-menerima dan menjaga persamaan (al-mumatsalah) .
Dalam hal ini yang dibiasakan, ialah mu'amalahnya tukang daging, dengan diserahkan kepadanya kambing. Dan dengan kambing itu dibelikan daging, secara tunai (naqdan) atau ditangguhkan (nasi-ah). Maka itu adalah haram.
Dan muamalahnya tukang roti, dengan diserahkan kepadanya gandum dan dibelikan dengan gandum itu roti, secara ditangguhkan atau tunai. Maka itu adalah haram.
Dan mu'amalahnya pembuat-pembuat minyak, dengan diserahkan kepadanya biji-bijian, biji simsim dan zaitun, untuk diambil daripadanya minyak. Maka itu adalah haram.


Dan begitu pula mu'amalah tukang susu, yang diserahkan kepadanya .susu, untuk diambilkan daripadanya susu kental, minyak samin, susu keras dan bahagian-bahagian susu yang lain, maka itupun haram. Dan tidak dijualkan makanan dengan makanan yang bukan jenisnya, kecuali dengan tunai. Dan tidak boleh dijualkan dengan yang sejenis, kecuali dengan tunai dan sama.


Dan tiap-tiap yang terbuat dari barang makanan, maka tidak boleh diper- juai-belikan, baik sama atau leJbih-kurang. Sehingga tidaklah dijual tepung roti dan tepung yang paling halus, dengan gandum. Dan tidak diperjual belikan air yang diperas dari buah anggur yang telah dimasak pada api (addibs), cuka dan air yang diperas dari buah anggur, dengan buah anggur kering ('inab) dan tamar. Dan tidak diperjual-belikan minyak samin, susu kental, susu masam, air yang menetes dari susu dan susu yang sudah keras, dengan susu.
29


Dan persamaan (al-mumatsalah), tidaklah mendatangkan faedah, apabila makanan itu tidak ada dalam keadaan sempurna penyimpanannya . Maka tidaklah dijual ruthab (buah anggur yang belum kering) dengan ruthab dan 'inab (buah anggur yang sudah kering) dengan 'inab, baik lebih-ku- rang atau sama.
Maka inilah kumpulan yang kira-kira mencukupi tentang difinisi (ta'rif) penjualan, serta peringatan untuk diketahui oleh saudagar, tempat-tempat yang merusakkan. Sehingga ia mencari fatwa ulama apabila ia ragu dan samar tentang sesuatu daripadanya.
Apabila ini tidak diketahuinya, niscaya ia tidak memperoleh pamahaman bagi tempat-tempat pertanyaan. Lalu berkecamuklah riba dan haram, se- dang ia tidak mengetahuinya.


'AQAD KETIGA: pembelian dengan pemesanan.
Hendaklah saudagar pada pembelian dengan pemesanan ini menjaga sepuluh syarat:

Pertama: modal itu diketahui dengan yang menyamairiya, sehingga jikalau sukar menyerahkan benda yang dipesan itu, niscaya mungkinlah dikemba- likan nilai dari modal itu.
Kalau pemilik modal itu menyerahkan segenggam dirham, tanpa dihitung dan ditimbang, dalam karung gandum, niscaya tidaklah sah menurut salah satu qaul (salah satu pendapat ulama).


Kedua: bahwa modal itu diserahkan dalam majlis 'aqad (tempat diadakan ikatan perjanjian), sebelum perpisahan. Kalau keduanya berpisah, sebelum modal diterima, niscaya perjanjian itu terlepas dengan sendirinya. Ketiga: bahwa yang dipesan itu termasuk barang yang mungkin dikenal sifat-sifatnya, seperti: biji-bijian, hewan, logam, kapas, bulu wol, sutera, susu, daging, benda-benda yang dipergunakan oleh pembuat-pembuat minyak wangi dan Iain-lain sebagainya.


Dan tidak dibolehkan ma'jun, barang yang tersusun bercampur dan yang berlain-Iainan bahagian-bahagiannya, seperti barang-barang bikinan kasar, tombak yang diperbuat, sepatu pansus, alas kaki yang berlainan bahagian dan perbuatannya dan kulit binatang.


Dan boleh pemesanan itu pada roti. Dan apa yang terjadi pada roti tentang berbeda takaran garam dan air dengan banyaknya pemasakan dan sedikitnya, adalah dima'afkan dan tidak diperhitungkan benar. Keempat: bahwa dilakukan penjelasan tentang sifat dari barang-barang yang dapat disifatkan itu dengan seteliti-telitinya. Sehingga tjada tinggal suatu sifat pun, yang menimbulkan berlebih-kurang nilai, dimana tidak ti- pu-menipu manusia dengan hal yang seperti itu, melainkan disebutkannya. Karena penyifatan itu, adalah menyerupai melihat dengan mata, dalam hal penjualan.


Kelima: bahwa lama waktunya diketahui, kalau perjanjian itu memakan waktu. Maka tidaklah ditangguhkan sampai kepada menyabit dan kepada
30
mendapat hasil buah-buahan. Tetapi ditangguhkan kepada beberapa bulan dan hari yang tertentu. Karena mendapat buah-buahan itu kadang-kadang terdahulu dan kadang-kadang terkemudian.


Keenam: adalah benda yang dibeli dengan pesanan itu, dapat diserahkan pada waktunya dan dipercayai adanya pada waktu itu biasanya. Maka tiada wajarlah dilakukan ikatan perjanjian tersebut pada anggur kering finab), sampai kepada waktu yang tidak akan diperoleh. Dan begitu pula buah-buahan yang lain.


Kalau biasanya ada dan datanglah waktu yang ditangguhkan itu, lalu tidak sanggup diserahkan, disebabkan sesuatu bencana, maka boleh diminta tangguh lagi-kalau mau-atau dilepaskan perjanjian dan dikembalikan modal kalau mau.
Ketujuh: bahwa disebutkan tempat penyerahan, mengenai hal yang berlainan maksud dengan tempat itu, supaya tidak mengakibatkan pertengkaran nanti.
Kedelapan: bahwa perjanjian itu tidak tergantung dengan sesuatu yang di- tentukan. Kalau disebutkan: dari gandum tanaman ini atau buah-buahan kebun ini-maka yang demikian itu membatalkan perjanjian tersebut selaku hutang. Tetapi, kalau ditambah: buah-buahan negeri itu atau kampung yang besar itu maka yang demikian itu tidak merusakkan perjanjian tersebut.
Kesembilan: Bahwa tidaklah dilakukan perjanjian itu pada benda yang bernilai tinggi dan sukar didapat, seperti permata yang disifatkan dengan sifat, yang sukar adanya seperti itu atau budak wanita yang sangat cantik bersama anaknya atau yang lain dari itu, yang tidak dapat disanggupi biasanya.
Kesepuluh: bahwa tidak diikat perjanjian ini pada makanan, manakala modal (yang akan menjadi harganya) itu, makanan, sama ada dari yang sejenis atau tidak sejenis. Dan tidak diikat perjanjian itu pada naqad (emas dan perak), apabila modal itu naqad. Dan teiah kami terangkan ini pada "Riba" dahulu,


AQAD KEEMPAT: sewa-menyewa.
Sewa-menyewa mempunyai dua sendi (rukun): sewa dan kemanfa'atan. Adapun 'aqid (yang mengadakan ikatan: penyewa dan yang mempersewa- kan) dan lafadh, maka dipegang apa yang telah kami terangkan dahulu pada: jual-beli. Dan sewa, adalah seperti harga. Maka seharuslah bahwa itu diketahui dan diterangkan sifatnya dengan segala apa yang telah kami syaratkan dahulu pada jual-beli, kalau sewa itu merupakan benda. Dan kalau merupakan hutang, maka seharuslah diketahui sifatnya dan jumlahnya. Dan hendaklah dijaga dari hal-hal yang berlaku sepanjang adat kebiasaan. Yaitu: seperti mempersewakan rumah, dengan membangunnya (memperbaikinya). Maka yang demikian itu, adalah batal.

31

Karena kadar pembangunan iiu tidak diketahui. Kalau ditentukan bebcra- pa dirhani dan disyaratkan kepada sipenyewa, untuk dipergunakannya kepada pembangunan itu. niscaya tidak diperbolehkan. Karena perbuatannya dalam menyerahkan kepada pembangunan itu. adalah tidak diketahui. Dan scbahagian dari yang berlaku menurut adat kebiasaan. ialah menyewa tenaga (mengongkosi) tukang kulit hewan yang disembelih. dengan diambilnya kulit sesudah dikupasnya. Dan menyewa tenaga pembawa bangkai dengan kulit bangkai ongkosnya dan menyewa tenaga tukang tumbuk dengan kulit atau scbahagian tepung untuk ongkosnya, maka itu batal hukumnya.
Dan begitu pula segala sesuatu yang terletak hasilnya dan berpisahnya, atas perbuatan orang yang diongkosi (yang disewakan tcnaganya). Maka tidaklah boleh dijadikan untuk upah.


Dan sebahagian dari yang berlaku menurut adat kebiasaan, ialah menentukan pada sewa-menyewa rumah dan toko, jumlah sewanya. Kalau berkata pemiliknva: "Untuk tiap-tiap bulan, sewanya satu dinar" dan tidak ditentukannya jumlah bulan penyewaan, niscaya adalah lamanya tidak diketahui dan tidaklah sah penyewaan.


Rukun kedua: kemanfa'atan yang dimaksudkan dengan penyewaan. Yaitu perbuatan saja dari orang yang disewakan tenaganya, kalau adalah perbuatan itu diperbolehkan dan diketahui. yang menghubungi pekerja itu pudama sebagai tanggungan. Dan yang membawa kepada kepatuhan sese- orang kepada orang lain. Maka bolehlah disewakan tenaga orang itu. Maka jumlah cabang-cabang dari bab ini. termasuk dibawah ikatan tersebut. Tetapi kami tidak akan memanjangkan uraiannya. Sesungguhnya telah kami memperpanjangkan pembahasannya dalam kitab-kitab fiqh. Sesungguhnya yang kami singgung disini, ialah: kepada persoalan-persoal- an yang merata bahayanya. Maka hendaklah dijaga mengenai pekerjaan dari orang yang disewakan tenaganya, akan lima perkara: 1. Adalah pekerjaan itu bernilai, dengan ada padanya tanggungan dan ke- payahan. Kalau menyewa makanan untuk dihiasi toko atau pohon-pohon- an untuk dikeringkan kain padanya atau uang-uang dirham untuk dihiasi toko, maka tidak diperbolehkan. Karena segala kemanfa'atan tersebut, berlaku seperti sebiji simsim dan sebiji gandum dari benda-benda. Dan yang demikian itu, tidak diperbolehkan penjualannya. Dan adalah itu, seperti memandang pada cermin orang lain, meminum dari sumurnya, bernaung pada dindingnya dan mengambii manfa'at dari apinya. Dan karena inilah, kalau menyewa tenaga seorang penjual, untuk ia berkata-kata dengan kata-kata yang membuat laku barangnya, niscaya tidak diperbolehkan.


Dan apa yang diambil oleh penjual-penjual, untuk menjadi 'iwadl (ganti jerih-payah) dari kepayahan, kemegahan dan penerimaan kata-katanya dalam melakukan benda-benda, maka adalah haram. Karena tiada terbit
32
dari mereka, selain kata-kata yang tak ada keletihan padanya dan tidak bernilai.


Sesungguhnya halai yang demikian itu bagi mereka, apabila mereka penat dengan banyaknya pulang pergi atau dengan banyaknya perkataan pada penyusunan urusan jnu'amalah. Kemudian, dalam pada itu, mereka tidak berhak selain dari ongkos yang patut (ujratu'l-mitsl). Adapun apa yang disepakati oleh para penjual, maka itu, adalah /alim dan tidaklah itu diambil dengan kebenaran.


2. Bahwa penyewaan itu tidak mengandung untuk kesempurnaan suatu benda yang dimaksudkan. Maka tidaklah boleh penyewaan batang anggur karena kemanfa'atannya, penyewaan hewan karena susunya dan penyewaan kebun karena buah-buahannya.Dan bolehlah menyewa seoi -ng wanita penyusu dan adalah susunya menjadi pengikut, karena tidak mungkin memisahkannya.


Dan demikian juga, dima'alfan (diberi tasamuh), tinta sipenulis dan benang sipenjahit. Karena keduanya itu tidak dimaksudkan diatas tenaga sipenulis dan sipenjahit itu.


3. Adalah pekerjaan itu sanggup diserahkan pada kenyataan dan Agama. Maka tidaklah sah penyewaan tenaga orang lemah untuk sesuatu pekerjaan yang tidak disanggupinya. Dan tidaklah sah penyewaan tenaga orang bisu untuk mengajar dan Iain-lain sebagainya.


Dan apa yang haram dikerjakan, maka Agama melarang penyerahannya. Seperti menyewa tenaga orang untuk mencabut gigi yang sehat. Atau untuk memotong anggota badan yang tidak diperbolehkan oleh Agama memotongnya. Atau menyewa tenaga wanita yang sedang berhaid untuk menyapu masjid. Atau menyewa seorang guru sihir untuk mengajarkan sihir atau perbuatan keji. Atau menyewa tenaga isteri orang untuk menyusukan anak kecil, tanpa izin suaminya. Atau menyewakan tenaga penggambar .untuk menggambar binatang-binatang. Atau menyewakan tenaga tukang logam untuk membuat bejana-bejana dari emas dan perak. Maka semuanya itu, adalah batal.
4. Adalah perbuatan itu tidak menjadi kewajiban dari orang yang disewa- kan tenaganya. Atau tidaklah termasuk perbuatan yang tidak boleh digantikan dari orang yang menyewa tenaga itu. Maka tidak dibolehkan mengambil upah pada jihad dan segala ibadah yang lain yang tidak boleh digantikan dengan orang lain. Karena perbuatan itu tidak akan terlepas dari yang menyewa tenaga itu. Dan dibolehkan pada hajji, memandikan mait,mengorek kuburan, menguburkan orang mati dan membawa jenazah kepekuburan. ,


Dan mengenai pengambilan ongkos (upah) untuk mengimami shalat tara- wih, untuk melakukan adzan, untuk memberi pengajaran dan mengajari AI-Qur-an maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara para alim ulama.
33


Adapun mengongkosi untuk mengajari sesuatu persoalan tertentu atau mengajari suatu surat dari Al-Qur-an, untuk orang tertentu, maka itu adalah sah.


5. Adalah perbuatan dan kemanfa'atan itu diketahui. Maka penjahit itu diketahui perbuatannya dengan kain dan pengajaran Al-Qur-an diketahui perbuatannya dengan menentukan surat dan batasnya. Dan pembawa hewan itu, diketahui dengan jumlah yang dibawa dan jaraknya. Dan tiap-tiap yang menimbulkan permusuhan menurut adat kebiasaan, maka tidaklah diperbolehkan melengahkannya. Dan penjelasan itu, adalah panjang.


Dan sesungguhnya kami sebutkan sekedar ini, untuk diketahui akan hukum-hukum yang nyata tegas dan dapat diperhatikan pada tempat-tempat yang menimbulkan kesulitan, lalu dapat ditanyakan. Karena sesungguhnya penyelidikan mendalam itu, adalah tugas mufti (yang memberi fat- wa), bukan tugas orang kebanyakan (orang awwam).


"AQAD KELIMA: penyerahan modal untuk diperniagakan (qiradl)
Hendaklah dijaga pada qiradl ini, tiga sendi (rukun):
Sendi Pertama: modal. Syaratnya modal itu naqad (emas dan perak yang telah dijadikan uang), dimaklumi jumlahnya dan diserahkan kepada yang akan mengerjakannya dalam perniagaan Maka tidak diperbolehkan qiradl pada fulus (uang-uang kecil yang diper- buat bukan dari naqad) dan pada barang-barang. Karena perniagaan itu menjadi sempit padanya.


Dan tidak diperbolehkan qiradl pada suatu timbunan dirham. Karena kadar keuntungan, tidak jelas padanya. Dan kalau disyaratkan oleh pemi- lik modal supaya modal itu ditangannya, maka tidak dibolehkan. Karena dengan demikian, menyempitkan jalan perniagaan.


Sendi Kedua: keuntungan. Hendaklah keuntungan itu diketahui pembaha- giannya dengan disyaratkan bagi pemilik modal sepertiga atau seperdua atau berapa yang dikehendakinya.


Kalau pemilik modal itu mengatakan: "Untuk kamu, keuntungan seratus dan sisanya bagiku", niscaya tidak boleh. Karena kadang-kadang keuntungan itu tidak lebih dari seratus. Maka tidak boleh menentukannya dengan jumlah tertentu. Tetapi hendaklah dengan jumlah yang umum. Sendi ketiga: perbuatan yang menjadi tugas yang melaksanakan famil). Dan syaratnya, bahwa adalah perniagaan itu, tidak menyempitkan kepada 'amil, dengan penentuan barang dan waktu. Kalaa disyaratkan, supaya dengan modal itu, dibelikan binatang ternak, untuk mencarikan anaknya. lalu anaknya itu dibagi-bagikan diantara kedua orang yang melakukan perjanjian qiradl. Atau dibelikan gandum untuk dibuat roti, lalu keuntungan dari roti itu dibagi-bagikan diantara keduanya. Maka tidak sah. Karena qiradl adalah diizinkan pada perniagaan, yaitu: jual dan beli dan
34
sesuatu yang menjadi kepentingan yang dua ini saja. Dan yang itu, adalah pekerjaan: ya'ni: membuat roti dan memelihara binatang ternak. Kalau dipersempitkan kepada si-amil dan disyaratkan, bahwa dia tidak membeli, kecuali dari si Anu atau tidak berniaga, kecuali tentang sutera merah atau disyaratkan sesuatu yang menyempitkan pintu perniagaan, niscaya 'aqad qiradl itu batal.


Kemudian. manakala 'aqad itu telah dilaksanakan, maka si-'amil (pekerja pada giradl) itu, adalah merupakan: wakil. Maka dia bekerja dengan gembira. sebagai wakil-wakil dalam perusahaan.


Manakala sipemilik modal bermaksud melepaskan ikatan, maka dia dapat berbuat demikian. Dan apabila perjanjian itu telah dilepaskan pada masa keadaan harta seluruhnya telah menjadi uang tunai, niscaya jelaslah cara membaginya. Dan kalau ketika itu, masih bersipat barang-barang dan tak ada keuntungan padanya, niscaya barang-barang itu dikembalikan kepada sipemilik modal. Dan tiadalah sipemilik modal itu memaksakan si-'amil untuk mengembalikan barang-barang itu kepada uang tunai (naqad). Karena ikatan perjanjiaii telah terlepas dan dia tidak lagi dapat mewajib- kan sesuatu kepada si-'amil.


Kalau 'amil berkata: "Aku jual barang-barang itu!", sedang si pemilik modal menolak, maka yang dituruti, ialah pendapat pemilik modal. Kecuali apabila si-'amil memperoleh tanda-tanda yang jelas ada keuntungan pada modal.


Manakala keuntungan itu ada. maka si-'amil harus menjual sejumlah barang-barang yang berasal dari modal, dengan harga dari jenis modal dahulu. Tidak dengan naqad yang lain (kalau dahulu dengan modal emas, maka dijual dengan emas dan kalau dengan perak, maka dijual dengan perak). Sehingga berbedalah yang lebih itu menjadi keuntungan. Lalu ber- kongsiiah keduanya pada keuntungan itu. Dan tidaklah 'amil itu menjual barang yang lebih dari pembeliannya dengan modal itu. Manakala telah datang akhir tahun, maka haruslah mereka memperhati- kan nilai harta yang diperniagakan itu, untuk menunaikan zakat. Apabila telah menampak sesuatu keuntungan, maka menurut yang lebih sesuai dengan qias, bahwa zakat bahagian. si-'amil itu diatas si-'amil sendiri. Dan si-'amil itu memiliki keuntungan dengan menampaknya keuntungan itu.


Dan tidak boleh si-'amil berjalan jauh dengan membawa harta qiradl, tanpa izin si-pemilik modal. Kalau diperbuatnya juga, niscaya perbuatan- nya itu sah. Tetapi apabila ia meneruskan, maka ia menanggung segala benda bersama dengan harganya seluruhnya. Karena penganiayaannya dengan dibawanya harta qiradl itu, menjalar sampai kepada harga dari barang yang dibawanya.


Kalau si-'amil itu berjalan jauh dengan keizinan sipemilik modal niscaya diperbolehkan. Dan ongkos membawa serta menjaga harta itu, adalah
35
atas harta qiradl. Sebagaimana ongkos timbang, sukat dan angkut yang tiada dibiasakan oleh si-saudagar sendiri akan barang yang seperti itu, adalah terpikul atas modal.


Adapun membuka kain, melipatnya dan pekerjaan yang sedikit yang biasa dilakukan, maka tidaklah boleh si-'amil itu mengeluarkan ongkos, yang terpikul keatas modal.


Dan diatas si-'amil sendiri, perbelanjaan dan tempat tinggalnya bila dine- gerinya sendiri. Dan tidak menjadi kewajibannya, sewa gudang. Dan manakala ia berangkat berjalan jauh untuk harta qiradl, maka perbelan- jaannya dalam perjalanan itu, adalah atas harta qiradl. Dan apabila telah kembali, maka haruslah ia mengembalikan sisa-sisa alat perjalanan, seperti piring, kain alas makanan dan lain-lain sebagainya.


'AQAD KEENAM: perkongsian.
Yaitu: empat macam. Tiga daripadanya batal, yaitu:


Pertama: perkongsian al-mufawadlah, namanya. Yaitu: kedua orang yang berkongsi itu berkata: "Kita berserah-serahan diri, supaya kita berkongsi dalam tiap-tiap sesuatu yang mendatangkan keuntungan bagi kita dan kerugian bagi kita". Dan harta keduanya berbeda. Maka perkongsian yang seperti ini batal.

Kedua: perkongsian al-abdan (tubuh) namanya, yaitu: keduanya mensya-ratkan perkongsian pada upah pekerjaannya. Maka perkongsian inipun batal.

Ketiga: perkongsian al-wujuh (muka) namanya, yaitu: bila salah seorang daripada keduanya disegani orang dan kata-katanya didengar. Maka dari pihaknya menggunakan perkataan. Dan dari pihak yang seorang lagi, bekerja. Maka ini juga batal.

Dan yang sah, ialah ikatan perkongsian yang keempat, yang dinamakan: perkongsian: al-'inan, yaitu: bercampur harta keduanya, sehingga sukar membedakan diantara keduanya, kecuali dengan dibagi. Dan masing-ma- sing mengizinkan kepada temannya untuk melaksanakan usaha pada harta itu. Kemudian, ketetapan dari keduanya, membagikan keuntungan dan kerugian menurut dua harta modal itu.

Dan tidak dibolehkan mengobah yang demikian dengan dibuat syarat. Kemudian, dengan diasingkan dari harta itu, yang tercegah melaksanakan usaha dari harta yang diasingkan. Dan dengan pembagian, yang terpisah kepunyaan yang seorang dari kepunyaan lainnya.

Dan yang sah (ash-shahih), ialah diperbolehkan mengadakan ikatan perkongsian pada barang-barang yang dibeli. Dan tidak disyaratkan naqad (uang tunai dari emas dan perak), kecuali pada qiradl. Maka sekedar ini dari Ilmu fiqh, adalah wajib dipelajari oleh tiap-tiap orang yang berusaha. Kalau tidak, niscaya ia akan terjerumus kepada yang haram, tanpa. disadarinya.


36


Adapun mu'amalah dengan tukang daging, tukang roti dan tukang sayur. maka tidak dapatlah melepaskan diri daripadanya, baik sebagai seorang pengusaha atau bukan pengusaha. Dan kecederaan padanya, adalah dari tiga segi: dari segi melengahkan syarat-syarat berjual-beli. Atau melengahkan syarat-syarat pembelian dengan pemesanan. Atau mencukupkan dengan cara beri-memberi saja. Karena adat-kebiasaan, adalah berlaku dengan menuliskan garis-garis terhadap mereka, berdasarkan keperluan tiap-tiap hari. Kemudian diperhitungkan pada tiap-tiap waktu, lalu diper- kirakan, menurut apa yang terjadi itu dengan rela-merelakan. Dan yang demikian itu, termasuk apa yang kita pandang akan penetapannya dengan diperbolehkan karena kepentingan. Dan penyerahan itu, dianggap untuk membolehkan penggunaan, serta menunggu harganya sebagi tukaran ('iwadl)-nya. Lalu halallah memakannya. Tetapi wajib menjamin pemba- yaran dengan memakan itu. Dan harus membayar menurut nilainya kalau hilang - pada hari kehilangannya. Lalu terkumpulah dalam tanggungan- nya segala harga nilai itu.


Apabila terdapat rela-merelakan dalam jumlah mana pun juga, maka seharuslah diminta dari mereka yang bermu'amalah itu, melepaskan tuntutan secara mutiak. Sehingga tidak ada lagi suatu janjipun, kalau terdapat berlebih-kurang tentang penilaian dibelakang hari. Maka inilah yang harus dirasa mencukupi. Karena memberatkan timbangan harga untuk tiap-tiap keperluan, tiap-tiap hari dan tiap-tiap jam, adalah pemberatan yang berlebih-lebihan. Dan begitu pula pemberatan ijab qabul serta menentukan harga sampai kepada jumlah yang amat sedi- kitpun, adalah menimbulkan kesulitan. Dan apabila banyak dari masing-masing macamnya, niscaya mudahlah menilaikannya. Kiranya Allah mencurahkan taufiqNya kepada kita!
37


BAB KETIGA: tentang penjelasan keadilan dan penjauhan kezaliman pada mu'amalah.
Ketahuilah kiranya, bahwa mu'amalah itu kadang-kadang berlaku diatas cara, yang ditetapkan oleh mufti dengan sah dan berlakunya. Tetapi mengandung kezaliman yang dikerjakan oleh yang melakukannya mu'amalah itu, kerana dimarahi Allah Ta'ala. Sebab, tidaklah tiap-tiap larangan itu menghendaki kebatalan 'aqad (kebatalan ikatan perjanjian). Dan kezaliman- an ini, dimaksudkan, ialah: yang mendatangkan kemelaratan kepada orang lain. Maka kezaliman itu, terbagi kepada: yang umum melaratnya dan kepada: yang khusus kepada yang melakukan mu'amalah saja.
BAHAGIAN PERTAMA: mengenai yang umum melaratnya. Dan yaitu:bermacam-macam.
Macam pertama: ihtikar. Maka penjual makanan, yang menyimpan makanannya, menunggu mahal harganya, adalah kezaliman yang umum. Dan yang melakukan demikian, adalah tercela pada Agama. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . bersabda:

من احتكر الطعام أربعين يوما ثم تصدق به لم تكن صدقته كفارة لاحتكاره
(Manih-takaral adzhiima arba'iina yauman tsumma tashaddaqa bihi lam takun shadaqatuhu kaffaaratan lihti-kaarih).Artinya: "Barangsiapa menyimpan makanan empatpuluh hari, kemudian ia bersedekah dengan makanan itu, niscaya tidaklah sedekahnya itu menjadi kafarat bagi penyimpanan (ihtikar)nya". (1).


Dan Ibnu Umar meriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم . bahwa Nabi bersabda: "Barangsiapa menyimpan makanan empat puluh hari, maka terlepaslah ia daripada Allah dan terlepaslah Allah daripadanya". (2). Dan ada yang mengatakan: "Seolah-olah ia membunuh manusia semuanya". Dan dari Ali r.a.: "Barangsiapa menyimpan makanan empatpuluh hari, niscaya kesat hatinya". Dan dari Ali r.a. juga: "Sesungguhnya dibakar makanan orang yang melakukan ihtikar itu, dengan api neraka". Dan diriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم . tentang keutamaan meninggalkan ihtikar, yang bersabda: "Barangsiapa mendatangkan makanan, lalu menjualkannya dengan harga hari itu, maka seolah-olah ia bersedekah dengan makanan itu". (3).
1.Dirawikan Abu Mansur Ad-Dailami dari Ali dafi Al-Khatib dari Anas, dengan sanad dla'if.
2.Dirawikan Ahmad dan Al-Hakim dengan sanad baik
3.Dirawikan Ibnu Masdawaih dari Ibnu Mas'ud. dengan sanad dla'if.
38


Dan pada kata yang lain: "maka seolah-olnh ia telah mcmerdckakan seorang budak".
Dan ada yang mengatakan, mengenai firman Allah Ta'ala:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
(Wa man yurid fiihi bi-il-haadin bi dhulmin nudziqhu min 'adzaabin aliim). "Dan barangsiapa ingin melakukan kezaliman padanya dengan tidak jujur, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksaan yang pedih" - S. Al-Hajj, ayat 25, bahwa ihtikar, adalah dari kezaliman dan masuk dibawah kezaliman dalam perbuatan yang dijanjikan dengan azab (wa'id). Dan diriwayatkan dari setengah salaf. bahwa beliau ada di Wasith, lalu membawa sekapal gandum ke Basrah. Dan beliau menuliskan kepada wakilnya: "Juallah makanan ini pada hari mcmasuki Basrah dan janganlah engkau lambatkan sampai besok!" Maka sesuailah makanan itu dengan kelapangan tentang harganya. Lalu saudagar-saudagar lain mengatakan kepada sang wakil dari salaf tadi: "Kalau engkau lambatkan sampai hari Jum'at. niscaya engkau akan beroleh keuntungan berlipat-ganda".
Maka wakil itu melambatkannya sampai hari Jum'at. Lalu ia beruntung dengan beberapa kali dari pokok. Maka disuratinya kepada yang punva makanan itu. dengan demikian. Lalu yang mempunyai makanan itu. membalasinya: "Hai Anu! Kami telah merasa cukup dengan keuntungan yang sedikit, serta Agama kami selamat. Dan engkau telah menyalahi. Kami tidak suka memperoleh keuntungan yang berlipat-ganda, dengan kehilangan walau sedikit dari Agama. Sesungguhnya engkau telah menganiaya kami dengan sesuatu penganiayaan. Maka apabila sampai kepadamu suratku ini, lalu ambillah harta itu seluruhnya dan sedekahkanlah kepada orang-orang fakir di Basrah. Dan semoga aku terlepas dari dosa ihtikar, dengan tercegahnya, baik keatas diriku atau terhadap harta milikku". Ketahuilah kiranya. bahwa larangan itu mutlak. Dan pemandangan padanya bergantung kepada waktu dan jenis dari makanan. Mengenai jenis, maka larangan itu datang mengenai segala jenis makanan. Adapun yang bukan makanan dan bukan yang menolong kepada makanan, seperti obat-obatan. jamu-jamuan, za'faran dan lain-lain sebagainya, maka tiada sampailah larangan itu kepadanya, meskipun dia itu barang yang dimakan.
Adapun yang menolong kepada makanan, seperti daging, buah-buahan dan yang dapat menggantikan makanan dalam sebahagian hal keadaan, walaupun tidak mungkin secara terus-menerus, maka ini termasuk hal yang menjadi perhatian.
39


Maka sebagian dari para ulama, ada yang mengemukakan haram ihtikar pada minyak samin, madu, minyak kacang, dadih, minyak zait dan yang berlaku seperti itu.
Adapun mengenai waktu, maka mungkin juga larangan itu datang pada segala waktu. Dan kepadanyalah, dibuktikan oleh ceritera yang telah kami sebutkan tadi, tentang makanan yang memperoleh keluasan harga di Basrah. Dan mungkin juga, waktu itu ditentukan dengan waktu kekurangan makanan dan manusia berhajat kepadanya. Sehingga dengan mengemudi- ankan penjualannya, mendatangkan kemelaratan.
Adapun, apabila makanan itu meluas dan banyak dan manusia tidak me- merlukan kepadanya dan tidak mengingininya, selain dengan harga yang murah, maka yang mempunyai makanan itu dapat menunggu. Dan ia tidak menunggu musim kemarau. Maka dalam hal yang tersebut ini, tidaklah mendatangkan kemelaratan.
Apabila waktu itu musim kemarau, niscaya dengan menyimpan madu, minyak samin, minyak kacang dan lain-lain sebagainya, dapat mendatangkan kemelaratan. Maka seharuslah dihukum dengan haramnya. Dan yang menjadi perpegangan tentang tidaknya haram atau adanya haram itu, adalah berdasarkan kepada mendatangkan kemelaratan. Dan ini dapat dipa- hami benar-benar, dengan penentuan makanan itu.
Dan apabila tak ada kemelaratan, maka tidaklah tersembunyi, tentang kemakruhannya ihtikar makanan. Karena ditunggu oleh dasar-dasar yang membawa kemelaratan. Yaitu: ketinggian harga. Dan menunggu dasar-dasar yang membawa kemelaratan, adalah harus diawasi, seperti menunggu kemelaratan itu sendiri. Tetapi dalam tingkat yang masih dibawah daripadanya.Dan menunggu kemelaratan itu sendiri juga, adalah masih kurang dari kemelaratan. Maka dengan kadar tingkat kemelaratan itu, berlebih kurang- nya deraiat kemakruhan dan keharaman.
Kesimpulannya, berniaga makanan itu, adalah termasuk tidak disunatkan. Karena perniagaan itu, adalah mencari keuntungan. Sedang makanan itu adalah barang pokok, yang dijadikan sebagai tiang kehidupan. Dan keuntungan itu, adalah termasuk tambahan. Maka seharuslah keuntungan itu dicari pada apa yang dijadikan dalam jumlah tambahan yang tidak mendatangkan kemelaratan kepada orang banyak.


Dan karena itulah, setengah tabi'in mewasiatkan kepada seorang laki-laki, seraya berkata: "Janganlah engkau serahkan anak engkau pada dua ma- cam penjualan dan dua macam pekerjaan: menjual makanan dan menjual kain kafan! Karena ia mengharap mahal dan banyak orang mati". Dan dua pekerjaan itu, ialah: menjadi tukang potong. Karena pekerjaan ini mendatangkan kesesatan hati. Atau menjadi tukang emas. Karena yang demikian itu menghiasi dunia dengan emas dan perak. Macam Kedua: melakukan dirham palsu ditengah-tengah naqad (emas dan
40


perak yang sejati). Maka itu. adalah perbuatan zalim. Karena mendatang- kan kemelaratan kepada orang yang melakukan mu'amalah, kalau ia tidak mengetahuinya. Dan kalau ia mengetahuinya, maka akan dilakukan pen- jualannya kepada orang Iain. Maka begitulah, keorang yang ketiga dan keempat. Dan terus-meneruslah pulang-pergi dari tangan-ketangan. Dan umumlah kemelaratannya dan meluaslah kerusakannya. Dan dosa serta bencana semuanya itu, adalah kembali kepadanya. Karena dialah yang membuka pintu tersebut,


Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . bersabda:
من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزرها ومثل وزر من عمل بها لا ينقص من أوزارهم شيئا
(Man sanna sunnatan sayyi-atan fa'amila bihaa man ba'dahu, kaana'alai- hi wizrahaa wa wizru man'amila bihaa, laa yanqushu min auzaarihim syai-aa).Artinya: "Barangsiapa berbuat jalan yang jahat, lalu dikerjakan jalan itu oleh orang yang kemudian daripadanya, niscaya dosa dari kejahatan itu keatas pundaknya dan seumpama dosa orang-orang yang berbuat dengan kejahatan itu, dimana tidak berkurang sedikitpun dari dosa mereka". (1).


Dan berkata setengah ulama: "Berbelanja dengan sedirham palsu, adalah lebih berat dosanya daripada mencuri seratus dirham". Karena mencuri itu, adalah sesuatu kema'siatan. Dan sudah sempurna dan habis sehingga itu saja. Dan berbelanja dengan dirham palsu, adalah suatu perbuatan bid'ah yang menonjol pada Agama dan suatu sunnah (jalan) yang jahat, yang dikerjakan oleh orang-orang sesudahnya. Maka dosa dari kejahatan itu keatasnya, sesudah ia meninggal sampai seratus atau dua ratus tahun. Sehingga lenyaplah dirham itu. Dan adalah tanggung jawabnya dengan kerusakan harta manusia dengan perbuatannya itu. Dan amat baiklah orang, apabila ia mati, lalu matilah bersamanya segala dosanya. Dan azab yang berkepanjangan bagi orang yang mati dan dosanya tinggal terus seratus dan dua ratus tahun atau labih banyak lagi, dimana dia diazabkan dengan dosa itu didalam kuburnya. Dan ia ditanyakan dari dosa itu, sampai kepada akhir kehancuran dari dosa tadi. Allah Ta'ala berfirman:

وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ
(Wa naktubu maaqaddamuu wa aatsaa-rahum).Artinya: "Dan kami tuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas- bekas peninggalan mereka". - S. Ya sin, ayat 12. Artinya: "Kami tuliskan juga apa yang mereka kemudiankan, dari bekas-bekas perbuatan mereka, sebagaimana Kami tuliskan apa yang telah mereka dahulukan mengerjakannya".


1. Dirawikan Muslim dari Jarir bin Abdullah.
41


Dan seumpama itu, firmanNya:
يُنَبَّأُ الإنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ
(Yunabbaul-insaanu yauma-idzin bimaa qaddama wa akhkhar). Artinya: "Dihari itu diberitakan kepada manusia apa yang didahulukan- nya dan apa yang dikemudiankannya" - S. Al-Qiamah, ayat 13. Sesungguhnya yang dikemudiankan, ialah: bekas-bekas perbuatannya dari jalan yang jahat, yang dikerjakan oleh orang lain akan jalan yang jahat itu.
Dan hendaklah dimaklumi, bahwa pada pemalsuan uang itu ada lima hal:

1. Apabila dikembalikan kepadanya sesuatu dari uang palsu itu, maka seharuslah dilemparkannya kedalam sumur, sehingga tidak sampai kepadanya lagi tangan manusia. Dan hendaklah ia menjaga diri, daripada melakukannya lagi pada penjualan lain. Dan kalau dirusakkannya sehingga tidak mungkin menjadi alat penukar lagi, niscaya bolehlah yang demikian.
2. Haruslah saudagar itu mengetahui tentang keuangan, bukan untuk secara mendalam betul bagi dirinya, akan tetapi supaya ia tidak menyerahkan uang palsu kepada seseorang muslim dimana ia tidak mengetahuinya. Sehingga ia berdosa, dengan sebab keteledorannya tentang mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Tiap-tiap perbuatan itu ada pengetahuannya, dimana dengan pengetahuan itu, sempurnalah nasehat bagi kaum muslimin. Dari itu, haruslah berusaha memperoleh nya. Dan karena Seperti inilah, ulama terdahulu mempelajari tanda-tanda uang naqad, (emas dan perak). Karena memandang kepada Agama, bukan karena keduniaan mereka.
3. Kalau diserahkan dan diketahui oleh yang bermuamalah, bahwa itu uang palsu, niscaya ia tidak keluar dari dosa. Karena tidaklali diambilnya itu, selain untuk dilakukannya kepada orang lain dan tidak diberitahukan- nya kepada orang lain itu. Dan kalaulah tidak ia bercita-cita demikian, niscaya ia tidak ingin sekali-kali mengambilkannya. Sesungguhnya ia dapat melepaskan diri dari dosa kemelaratan yang tertentu kepada orang yang melakukan mu'amalah dengan dia saja.
4. Bahwa ia mengambii uang palsu itu, supaya ia dapat berbuat menurut sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  .: "Dikasihi oleh Allah akan manusia, yang memudahkan penjualan dan yang memudahkan pembelian, yang memudahkan pembayaran dan yang memudahkan menerima bayaran". (1).Maka ia termasuk kedalam barakah dari do'a ini, kalau ia bercita-cita mencampakkannya kedalam sumur. Kalau ia bercita-cita untuk melaku- kannya pada mu'amalah yang lain lagi, maka itu adalah kejahatan, yang telah dilakukan setan kepadanya dalam pameran kebajikan. Maka tidaklah ia teimasuk dalam bahagian orang yang memandang enteng pada me-menerima bayaran.

1. Dirawikan Al-Bukhari dari Jabir.
42

5. Kami maksudkan dengan uang palsu, ialah uang yang tak ada padanya perak sekali-kali, tetapi hanya celupan. Atau tak ada padanya emas, ya'ni: pada dinar.
Adapun yang ada padanya perak, kalau bercampur dengan tembaga, maka itu, adalah uang negara (uang yang .dikeluarkan oleh pemerintah). Para ulama berbeda pendapat mengenai mu'amalah dengan uang tersebut. Dan sebagian besar pendapat kita, memberi kesempatan padanya, apabila naqad itu uang negeri itu sendiri. Diketahui jumlah peraknya atau tidak diketahui. Kalau bukan uang negeri itu sendiri, niscaya tidak dibolehkan, kecuali apabila diketahui jumlah peraknya.
Kalau ada dalam hartanya sepotong, yang peraknya kurang dari uang negeri itu sendiri, maka haruslah ia menerangkan yang demikian kepada orang yang dilakukannya mu'amalah. Dan jangan ia melakukan mu'amalah, kecuali dengan orang yang tidak menghalalkan melakukan uang itu dalam jumlah naqad, dengan cara yang tidak tegas (jalan talbis) itu.
Adapun orang yang menghalalkan yang demikian itu, maka menyerahkan kepadanya, adalah pemaksaan terhadap orang itu kepada kebatalan. Maka yaitu, adalah seperti menjual buah anggur kepada orang yang diketahui akan membuatkannya khamar. Dan itu, adalah dilarang, menolong kepada kejahatan dan bersekutu kepada kejahatan. Dan menempuh jalan kebenaran dengan contoh yang seperti ini dalam perniagaan, adalah lebih sukar daripada ber-muadhabah (melaksanakan dengan rajin) segala ibadah sunat dan menjuruskan segala waktu baginya. Karena itulah, setengah ulama berkata: "Saudagar yang benar, adalah lebih utama pada sisi Allah Ta'ala dari seorang yang beribadah banyak". Orang-orang yang terdahulu, amat berhati-hati dalam hal-hal yang seperti ini. Sehingga diriwayatkan dari sebahagian orang-orang yang tampil keme- dan perang sabili'llah, yang mengatakan: "Aku tunggangi kudaku, karena hendak memerangi kafir. Maka kudaku itu tak sanggup, lalu aku kembali. Kemudian kafir itu mendekati aku, lalu aku bangun membawa diri kali kedua. Maka kudaku pun tidak sanggup, lalu aku kembali lagi. Kemudian aku berangkat bangun kali ketiga, maka kudaku itu lari daripadaku, pada- hal aku belum pernah mengalami yang demikian dari kudaku itu. Maka kembalilah aku dengan perasaan sedih duduk menundukkan kepala dan hati yang hancur luluh. Karena aku tidak memperoleh kesempatan memerangi orang kafir dan apa yang telah menampak kepadaku tentang ting- kah laku kuda itu. Maka aku letakkan kepalaku pada tiang rumah dari bulu dan kudaku itu tidur.
Lalu aku bermimpi, seolah-olah* kuda itu berbicara dengan aku dan mengatakan kepadaku: "Demi Allah, engkau bermaksud memerangi kafir tiga kali. Dan engkau kemaren membeli rumput untukku dan engkau
43

bayar harganya dengan dirham palsu, dimana yang demikian itu, hendak- nya jangan sekali-kali terjadi selama-lanmanya".Orang tadi meneruskan ceriteranya: "Maka aku terbangun dengan perasaan gundah. Lalu aku pergi kepada tukang rumput dan aku gantikan dirham itu".

Maka inilah contohnya apa yang umum kemelaratannya itu. Dan hendaklah qiaskan kepada hal yang seperti ini akan lainnya!
BAHAGIAN KEDUA: yang tertentu kemelaratannya kepada yang melakukan mu'amalah.
Maka tiap-tiap yang membawa kemelaratan kepada yang melakukan mu'amalah adalah kezaliman. Dan sesungguhnya ke'adilan, ialah tidak mendatangkan kemelaratan kepada saudara sesama muslim. Dan penen- tuan yang melengkapi tentang keadilan itu, ialah: bahwa ia tidak mencintai saudaranya, selain apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri. Maka tiap-tiap apa saja, kalau ia dimuamalahkan dengan demikian, lalu ia mera sa sukar dan berat pada hatinya, maka seharuslah ia tidak akan bermuamalah orang lain dengan cara yang demikian. Tetapi seharuslah sama padanya, antara dirhamnya sendiri dan dirham orang lain. Sebahagian ulama berkata: "Barangsiapa menjual kepada saudaranya sesuatu dengan harga sedirham dan tidak pantas itu, kalau dibelinya untuk dirinya sendiri selain dengan harga lima danaq 1), maka sesungguhnya ia telah meninggalkan nasehat yang disuruh dalam bermu'amalah. Dan ia tidak mencintai saudaranya, akan apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri". Inilah secara tersimpul (secara global)!

Adapun terperincinya, maka pada empat perkara: tidak memuji barang yang dijualnya itu, dengan apa yang tidak sebenarnya, tidak menyembu- nyikan sekali-kali segala kekurangan dan sifat-sifatnya yang tersembunyi sedikitpun, tidak menyembunyikan timbangan dan jumlahnya sedikitpun dan tidak menyembunyikan harganya, dimana jikalau yang melakukan mu'amalah itu mengetahuinya, niscaya tidak akan meneruskan pembelian itu.


Yang Pertama tadi, yaitu  meninggalkan pujian - maka kalau disifat- kannya benda itu dengan sifat yang tak ada padanya, maka itu adalah bo- hong. Kalau sipembeli menerimanya, maka itu adalah penipuan dan pe- nganiayaan, serta pendustaan. Dan kalau sipembeli itu tidak menerimanya, maka itu adalah pendustaan dan penjatuhan harga diri. Karena pendustaan yang dilakukan itu, kadang-kadang tidak mencederakan harga diri secara dhahir.
Kalau dipujinya barang itu, menurut yang sebenarnya, maka itu adalah kata-kata yang tidak disertakan pikiran yang mumi dan berkata-kata de


1. Satu dirham, adatah enam danaq. Perkataan "danaq" berasal dari bahasa Persia - (Pent).
44

ngan kata-kata yang tidak perlu. Dan ia akan diperkirakan (dihisab) ter hadap tiap-tiap kalimat yang terbit daripadanya, mengapakah ia mengucapkannya. Allah Ta'ala berfirman: "Tiada suatu perkataan yang diucap kan manusia, melainkan didekatnya ada pengawas, siap sedia (mencatat nya)". S. Qaf, ayat 18. Kecuali dipujinya barang yang tidak dikenal oleh sipembeli, kalau tidak disebutkannya, seperti disifatkannya hal-hal yang tersembunyi dari budi-pekerti budak yang pfia dan yang wanita dan hewan. Maka tidak mengapa menyebutkan sekedar yang ada padanya, tanpa berlebih-lebihan dan bertele-tele. Dan hendaklah maksudnya, supaya diketahui oleh saudaranya muslim.

Lalu ia ingin pada barang itu dan sampai hajat-maksudnya disebabkan yang demikian. Dan tiada seharuslah sekali-kali ia bersumpah terhadap yang demikian. Karena kalau ia berdusta, maka ia telah berbuat sumpah yang menjerumuskan dirinya. Dan sumpah itu, adalah termasuk dosa besar, yang menyebarkan kegoncangan, tanpa keberanian dengan kata-kata.
Dan kalau ia benar, maka telah dijadikannya Allah Ta'ala untuk menegakkan sumpahnya. Dan sesungguhnya ia telah berbuat jahat terhadap Allah. Karena dunia adalah lebih keji untuk dimaksudkan melakukannya dengan menyebut nama Allah, tanpa ada dlarurat.


Dan pada hadits tersebut: "Azab neraka bagi saudagar yang mengatakan: "Ya, demi Allah!" dan: "Tidak, demi Allah!". Dan azab neraka bagi tukang, yang mengatakan: "Besok dan Lusa!" (1).


Dan pada suatu hadits, tersebut: "Sumpah palsu adalah menghabiskan barang perdagangan dan menghapuskan keberkatan". (2). Abu Hurairah r.a. meriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم  . dimana beliau bersabda: 'Tiga orang, tidak dipandang oleh Allah kepada mereka pada hari kiamat: orang yang kasar lagi tekebur, orang yang membangkit-bangkit dengan pemberiannya dan orang yang membelanjakan barangnya dengan bersumpah". (3).


Apabila pujian kepada barang dengan benar itu dimakruhkan, dari segi pujian itu hal yang tidak perlu, yang tidak menambahkan rezeki, maka tidaklah tersembunyi beratnya perhatian tentang persoalan sumpah. Diriwayatkan dari Yunus bin 'Ubaid dan dia adalah penjual sutera, bahwa orang mencari sutera daripadanya untuk dibeli. Lalu dikeluarkan oleh bu- daknya yang buruk dan yang baik dari sutera itu. Budak itu memandang kepadanya dan berkata: "Wahai Allah, Tuhanku! Anugerahilah kami rezeki!"


Maka ia berkata kepada budak nya: "Bawalah kembali sutera ini ketempatnya!" Dan tidak dijualnya. Ia takut, bahwa yang demikian itu, sindiran pujian kepada barang yang diperdagangkan itu.
1. Menurut Al-Iraqi, beliau tidak peraah menjumpai hadits ini.
2. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
3. Dirawikan Muslim dari Abu Huarairah.
45


Orang-orang yang seperti mereka ini, ialah mereka yang berniaga didunia dan tidak menyia-nyiakao agamanya dalam perniagaan. Tetapi mereka itu mengetahui bahwa keuntungan akhirat, adalah lebih utama dicari dari keuntungan dunia.
Yang Kedua: ia menyatakan segala kekurangan dari barang yang akan dijual, baik yang tersembunyi atau yang nyata dan tidak menyembunyikan sesuatu daripadanya.


Yang demikian itu, adalah wajib. Kalau disembunyikannya, niscaya adalah ia orang zalim dan penipu. Dan penipuan itu haram dan telah meninggalkan nasehat pada mu'amalah. Dan nasehat itu wajib. Manakala dibukanya salah satu dari dua belahan kain dan disembunyikannya yang sebelah lagi, niscaya dia itu penipu. Begitu pula, apabila diben- tangkannya kain pada tempat yang gelap. Dan begitu pula apabila diper- lihatkannya satu yang terbaik dari sepasang sepatu atau selop dan lain-lain sebagainya.


Dibuktikan haramnya penipuan itu oleh apa yang diriwayatkan: "Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم . melalui pada seorang laki-laki yang menjual makanan. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . merasa tertarik kepada makanan itu. Lalu beliau memasukkan tangannya kedalamnya. Maka beliau melihat basah, lalu bertanya: "Apakah ini?"Laki-laki itu menjawab: "Kena hujan!"
Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menyahut: "Mengapakah tidak kamu letakkan atas makanan, supaya dilihat orang? Barangsiapa menipu kami, maka tidaklah ia daripada kami". (1).


Dibuktikan kepada wajibnya ketegasan dengan menerangkan kekurangan- kekurangan, ialah apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم  . tatkala sudah menerima sumpah setia (bai-'ah) Jurair kepada Islam, lalu beliau pergi hendak meninggalkan tempat itu. Maka beliau tarik kain Jurair kepadanya dan mensyaratkan kepada Zurair supaya tegas dalam berjual beli bagi tiap-tiap orang Islam. Dari itu, Jurair, apabilah bangun menjualkan barang dagangannya, niscaya dilihatnya kekurangan-kekurangannya kemudian diterangkannya.
Kemudian disuruhnya pilih kepada pembeli itu, dengan berkata: "Kalau mau, ambillah dan kalau tidak mau tinggalkanlah!" Lalu orang mengatakan kepadanya: "Kalau engkau berbuat seperti ini, niscaya tidak akan berlangsung penjualanmu!"
Maka beliau menjawab: "Sesungguhnya kami telah bersumpah setia dengan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . untuk menjelaskan dalam pembelian bagi setiap muslim".Adalah Wailah bin Al-Asqa' berhenti di suatu tempat. Lalu seorang laki- laki menjual untanya dengan harga tigaratus dirham. Wailah terlupa dan
1. Dirawikan Muslim dari- Abu Hurairah.
46


laki-Iaki yang membeli telah pergi dengan membawa unta yang dibelinya. Lalu Wailah berjalan cepat dibelakang orang itu dan berteriak memanggil: "Hai yang membeli unta!. Engkau belikan unta untuk dagingnya atau untuk belakangnya (untuk kenderaan)?" Pembeli itu menjawab: Untuk belakangnya!"
Lalu Wailah berkata: "Sesungguhnya pada alas kakinya berlobang. Telah aku lihat lobang itu. Unta itu tidak akan sanggup berjalan terus-menerus".
Maka pembeli itu kembali, lalu mengembalikan unta yang telah dibelinya. Dan oleh penjual lalu mengilrangkan harga unta itu dengan seratus dirham, seraya berkata kepada Wailah: "Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadamu! Engkau telah batalkan terhadapku akan penjualanku". Wailah menjawab: "Sesungguhnya kami telah mengadakan bai'ah dengan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . untuk menegaskan pada jual-beli kepada tiap-tiap muslim". Dan seterusnya ia berkata: "Aku mendengar Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: 'Tidak halal bagi seseorang yang menjual sesuatu penjualan, kecuali menerangkan kekurangannya. Dan tidak halal bagi orang yang mengetahui demikian, kecuali menerangkannya". (1).


Mereka memahami dari nasehat itu, bahwa tidak rela untuk saudaranya, selain apa yang ia rela untuk dirinya sendiri. Dan mereka tidak memper- cayai bahwa yang demikian itu, sebahagian dari amal-perbuatan yang utama dan tambahan kedudukan yang tinggi. Tetapi mereka mempercayai bahwa yang demikian itu, sebahagian dari syarat-syarat Islam yang masuk dibawah bai'ah mereka.


Dan ini adalah hal yang sukar bagi kebanyakan orang. Maka karena itulah mereka memilih menjuruskan diri kepada ibadah dan mengasingkan diri dari manusia ramai. Karena menegakkan hak-hak Allah serta bercampur- baur dan bermu'-amalah, adalah perjuangan (mujahadah) yang tidak bangun menegakkannya, selain oleh orang-orang shiddiq. Dan tidak mudah yang demikian bagi seseorang hamba, kecuali dengan mempercayai dua hal:


1. Bahwa mencampurkan dengan kekurangan-kekurangan dan melakukan benda itu, tidaklah menambah rezeki. Tetapi menghapuskan rezeki dan menghilangkan keberkatannya. Dan apa yang dikumpulkannya dari cam- puran yang bermacam-macam itu, akan dibinasakan oleh Allah dengan sekaligus.


Menurut ceritera, ada seorang laki-laki mempunyai lembu betina yang di- perahnya susunya dan dicampurkannya susu itu dengan air dan dijualkan- nya. Maka datanglah banjir, lalu karamlah lembu betina itu. Maka berkata sebahagian anaknya: "Bahwa air'yang berpisah-pisah yang telah kita tuangkan dahulu kedalam susu itu, telah berkumpul sekaligus dan mengambil lembu betina kita".
1. Dirawikan Al-Hakim dari Wailah dan katanya shahih isnad
47


Bagaimana tidak? Sedangkan Nabi صلى الله عليه وسلم . telah bersabda: "Dua orang yang berjual beli, apabila keduanya benar dan berterus-terang (nasehat- menasehati), niscaya diberkati kepada keduanya dalam ber-jual-beli. Dan apabila keduanya menyembunyikan dan membohong, niscaya dicabut ke- berkatan jual-beli itu". (1).


Pada suatu hadits, tersebut: "Tangan (Qudrah) Allah diatas dua orang yang berkongsi, selama keduanya tidak khianat-mengkhianati. Apabila keduanya khianat-mengkhianati, niscaya Allah mengangkatkan tanganNya daripada keduanya". (2).
Jadi, harta itu tidak akan bertambah dari pengkhianatan, sebagaimana tidak akan berkurang dengan bersedekah. Dan orang yang tidak menge- nali tambahan dan kekurangan, kecuali dengan timbangan, niscaya tidak akan membenarkan hadits diatas tadi. Dan barangsiapa mengetahui, bahwa sedirham saja, kadang-kadang diberkati padanya, sehingga menjadi sebab kebahagiaan manusia didunia dan pada Agama. Dan beribu-ribu yang susun-bersusun, kadang-kadang dicabut oleh Allah akan keberkatan daripadanya. Sehingga menjadi sebab kepada kebinasaan pemiliknya, dimana ia berangan-angan akan memboros dengan uang itu. Dan dipandangnya lebih mendatangkan kemuslihatan baginya dalam beberapa hal. Lalu ia mengetahui akan arti perkataan kami: "Bahwa pengkhianatan itu, tidak menambahkan harta dan sedekah itu tidak mengurangkan harta".
2. Yang tak boleh tidak dari kepercayaan itu, supaya sempurnalah nasehat itu dan menjadi mudah baginya, ialah: bahwa ia tahu keuntungan dan kekayaan akhirat, adalah lebih baik dari kekayaan dunia. Dan segala faedah harta dunia itu akan habis dengan habisnya umur. Dan tinggallah segala kezaliman dan kedosaan. Maka bagaimanakah orang yang berakal itu membolehkan, untuk menggantikan barang yang lebih baik dengan yang lebih buruk? Dan kebaikan seluruhnya, ialah pada keselamatan Agama. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Senantiasalah "Laa ilaaha i'lla'llaah" meno- lak kemarahan Allah dari makhluk, selama mereka tidak melebihkan perbuatan dunianya dari akhiratnya". (3).


Dan menurut kata-kata yang Iain: "Selama mereka tidak memperdulikan akan apa yang kurang dari dunia mereka dengan keselamatan agamanya. Apabila mereka berbuat yang demikian itu dan mengucapkan "Laa ilaaha i'lla'llaah", niscaya Allah Ta'ala berfirman: "Bohong kamu, tidaklah kamu itu benar dengan ucapan itu!"


Dan pada hadits lain, tersebut: "Barangsiapa mengucapkan "Laa ilaaha i'lla'llaah" dengan ikhlas, niscaya ia masuk sorga". Lalu orang bertanya: "Apakah keikhlasannya itu?"
1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hizam.
2. Dirawikan Abu Dawud dan Al-Hakim dari Abu Hurairah.
3. Dirawikan Abu Yu'la dan Al-Baihaqi dari Anas dengan sanad dla'if.
48


Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menjawab: "Bahwa dipeliharanya keikhlasan itu dari- pada apa yang diharamkan oleh Allah". Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم . pula: 'Tidaklah beriman dengan Al-Qur-an, orang yang menghalalkan segala yang diharamkan oleh Al-Qur-an". (1).
Dan orang yang mengetahui, bahwa segala pekerjaan itu merusakkan ke- imanannya dan keimanannya itu adalah modalnya dalam perniagaan pada jalan akhirat, niscaya ia tidak akan menyia-nyiakan modalnya itu, yang tersedia untuk umur yang tak berkesudahan, disebabkan keuntungan yang dimanfa'atinya dalam beberapa hari yang terbilang jumlahnya. Dari sebahagian tabi'in, yang mengatakan: "Kalau aku masuk kemasjid jami' dan masjid itu berdesak-desak dengan pengunjungnya, lalu ditanya- kan kepadaku: "Siapakah yang terbaik dari mereka?" Sesungguhnya aku menjawab: "Siapa yang lebih banyak memberi nasehat kepada mereka. Maka apabila mereka menjawab: "Ini!" niscaya aku menjawab: "Dia itu adalah yang terbaik dari mereka!" Dan kalau ditanyakan kepadaku: "Siapakah yang terjahat dari mereka?" niscaya aku menjawab: "Siapa yang lebih banyak menipu mereka". Maka apabila ada orang yang menga­takan: "Ini!" niscaya aku menjawab: "Dia itu adalah yang terjahat dari mereka".


Penipuan itu haram pada penjualan dan perusahaan seluruhnya. Dan tidak seharuslah seorang tukang mempermudah-mudahkan perbuatannya, diatas cara, jikalau orang lain berbuat demikian terhadap dia, niscaya ia tidak menyetujui untuk dirinya sendiri.Tetapi seharuslah membaguskan dan meneguh-kuatkan perbuatan itu.Kemudian menerangkan kekurangan-kekurangannya, kalau ada padanya kekurangan. Maka dengan demikian, terlepaslah dia.
Seorang laki-laki pembuat sepatu bertanya kepada Bin Salim. Orang itu bertanya: "Bagaimanakah supaya aku selamat dalam menjual selop-selop itu?"Bin Salim menjawab: "Buatlah kedua muka sepatu itu sama! Janganlah engkau lebihkan kanan dari yang lain dan baguskanlah isinya! Dan hendaklah sepatu itu menjadi sebuah benda yang sempurna! Dekatkan dianta­ra lobang-lobangnya dan janganlah engkau tindihkan salah satu dari kedua selop itu keatas yang lain!"
Dan dari bahagian inilah, apa yang ditanyakan orang kepada Ahmad bin Hanbal r.a. dari perbaikan kain, dimana perbaikan itu tidak terang. Imam Ahmad menjawab: "Tidak boleh bagi orang yang menjualnya menyembu- nyikannya". Dan sesungguhnya halal dijual kain yang diperbaiki dengan jahitan itu, apabila diketahui akan diterangkannya. Atau ia tidak bermaksud perbaikan itu untuk menjualkannya".
Kalau anda berkata: "Mu'amalah itu tidak akan sempurna, manakala wa- jib orang menyebutkan segala kekurangan dari barang yang dijual".
1. Dirawikan Ath-Thabrani dari Zaid bin Arqam.
49


Maka aku menjawab: "Bukanlah demikian! Karena syarat saudagar itu, tidaklah membeli untuk dijual, melainkan yang baik yang disenangi untuk dirinya sendiri, jikalau ditahannya (tidak dijualnya). Kemudian, ia merasa puas pada penjualannya dengan keuntungan yang sedikit. Lalu diberkati oleh Allah baginya pada penjualannya. Dan ia tidak berhajat kepada penipuan.
Dan sesungguhnya sukar yang demikian itu. Karena mereka tidak merasa puas dengan keuntungan yang sedikit. Dan tidak selamat yang banyak itu, kecuali dengan penipuan.


Orang- yang membiasakan dirinya yang tersebut diatas itu, niscaya tidak akan menutup yang kekurangan. Kalau jatuh kedalam tangannya yang kekurangan, walaupun yang jarang terjadi, maka hendaklah disebutkannya dan hendaklah ia merasa puas dengan harganya itu. Ibnu Sijin menjual seekor kambing, lalu ia berkata kepada pembelinya: "Aku jelaskan kepadamu kekurangan yang ada pada kambing itu, yaitu: terbalik kuku pada kakinya".
Al-Hasan bin Shalih menjual budak wanita, lalu mengatakan kepada pembelinya: "Budak ini selama pada kami, pada suatu kali ia berdahak darah".


Maka begitulah adanya jalan yang ditempuh oleh kaum Agama. Siapa yang tidak sanggup cara yang demikian, maka hendaklah meninggalkan mu'amalah! Atau menempatkan dirinya pada azab akhirat. yang Ketiga: Bahwa tidak menyembunyikan sedikitpun tentang kadarnya. Yang demikian itu, adalah dengan kejujuran timbangan dan berhati-hati padanya dan pada sukatan. Maka seharuslah menyukat sebagaimana mestinya disukatkan.
Allah Ta'ala berfirman:
وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ , الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ , وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
Artinya: "Celaka untuk orang-orang yang mengecuh. Apabila mereka menyukat dari orang lain (untuk dirinya), dipenuhkannya (sukatan). Tetapi apabila mereka menyukat untuk orang lain atau menimbang untuk orang lain, dikuranginya". S. Al-Muthaffifin, ayat 1-2-3.


Dan tidak akan terlepas dari ini, kecuali dengan melebihkan apabila memberi- dan mengurangkan apabila mengambii. Karena keadilan yang sebenarnya, amat sedikitlah tergambar kealam kenyataan. Dari itu, hendaklah keadilan itu dhahir dengan dhahirnya kelebihan dan kekurangan. Maka orang yang meminta benar-benar akan haknya dengan sesempurna mungkin, mungkin akan melampauinya.
50


Sebahagian mereka itu mengatakan: "Aku tidak akan membeli neraka daripada Allah dengan sebutir biji-bijian". Dari itu, apabila ia mengambil, maka dikuranginya setengah biji-bijian. Dan apabila ia memberi, maka ditambahinya sebutir biji-bijian. la mengatakan: "Nerakalah bagi orang yang menjual sorga dengan sebutir biji-bijian, dimana sorga itu, lebarnya langit dan bumi. Maka alangkah meruginya orang yang menjual yang baik dengan neraka!"

Sesungguhnya bersangatan benar mereka menjaga diri dari yang tersebut tadi dan yang menyerupainya, adalah karena semuanya itu perbuatan zalim, yang tidak mungkin berobat daripadanya. Karena ia tidak mengenai lagi pemilik-pemilik dari biji-bijian itu, untuk dapat dikumpulkannya dan diselesaikannya hak-hak mereka.
Dan karena itulah, tatkala Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . membeli sesuatu, lalu berkata kepada yang menimbang, tatkala menimbang menurut harganya: "Timbanglah dan lebihkanlah timbangan itu!"


Fudlail melihat anaknya yang sedang membasuh dinar, yang akan dibe- lanjakannya. Dan anak itu menghilangkan kotoran yang ada pada dinar dan membersihkannya. Sehingga tidak bertambah timbangannya, disebab- kan yang demikian. Maka Fudhlail berkata: "Hai anakku! Perbuatanmu ini adalah lebih utama daripada dua kali hajji dan duapuluh kali 'umrah". Setengah salaf berkata: "Saya heran melihat saudagar dan penjual, bagai- mana ia terlepas. Ia menimbang dan bersumpah pada siang hari dan tidur pada malam hari".


Nabi Sulaiman a.s. bersabda kepada puteranya: "Hai anakku! Sebagaimana masuknya biji-bijian diantara dua batu, maka begitu pulalah masuknya kesatahan diantara dua orang yang berjual-beli". Setengah orang-orang shalih telah melakukan shalat mait kepada seorang yang keperempuan-perempuanan. Lalu ada orang yang mengatakan kepadanya. bahwa orang itu fasiq. Maka orang shalih tadi diam. Kemudian diulangi lagi perkataan tersebut. Lalu beliau menjawab: "Seolah-olah engkau berkata kepadaku: "Adalah orang itu mempunyai dua timbangan. Dia memberi dengan satu timbangan dan dia mengambil dengan timbangn yang lain".


Beliau tunjukkan dengan itu, bahwa fasiq adalah kezaliman antara seseorang dan Allah Ta'ala. Dan ini, adalah setengah dari kezaliman hamba. Toleransi dan pema'afan padanya, adalah lebih jauh. Dan tindakan keras mengenai urusan timbangan itu, adalah besar. Dan melepaskan diri dari padanya, berhasil dengan sebutir dan setengah butir biji-bijian. Dan pada qira-ah (bacaan) Abdullah bin Mas'ud r.a. pada firman Allah Ta'ala:

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ, أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
(ilLaa tathghau filmiizaani we aqiimul-wazna billisaani wa laa tukhsirul- mii-zaan).

51

Artinya: "Supaya kamu jangan melanggar aturan berkenaan dengan neraca (al-mizan). Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adii dan janganlah kamu mengurangi timbangan (al-mizan)" - artinya: jarum dari timbangan (lisanu'l-mizan). S. Ar-Rahman, ayat 8 dan 9. Karena kekurangan dan kelebihan itu, nyata dengan merengnya jarum neraca itu. Kesimpulannya, tiap-tiap orang yang menginsafi untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain, walaupun dalam sepatah kata dan tidak menaruh keinsyafan seperti apa yang diinsyafkannya itu, maka termasuklah dia dalam firman Allah Ta'ala:
 وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ,
(Wai-lun-lil-muthaffifiinal-ladziina idzaktaaluu 'alan-naasi yastaufuun). Artinya: "Celaka untuk orang-orang yang mengecuh. Apabila mereka meyukat dari orang lain (untuk dirinya), dipenuhkannya (sukatan)" - sampai beberapa ayat lagi. S. Al-Muthaf-fifin, ayat 1 dan 2. Pengharaman yang demikian itu pada sukatan, tidaklah karena dia itu sukatan. Tetapi karena ada suatu hal yang dimaksudkan. Yaitu: meninggalkan keadilan dan keinsyafan akan arti keadilan. Maka dia itu zalim pada segala perbuatan yang dilakukannya. Maka yang mempunyai neraca itu berada dalam bahaya neraka.


Tiap-tiap orang mukallaf (yang telah dewasa dan berpikiran sehat), adalah mempunyai neraca dalam segala perbuatan, perkataan dan segala gurisan hatinya. Maka nerakalah baginya, jika ia berpaling dari keadilan dan mereng dari kelurusan.


Dan jikalau tidak sukarlah ini dan mustahilnya, niscaya tidaklah datang- firman Allah Ta'ala:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
(Wa in minkum illaa waariduhaa kaana 'alaa rabbika hatman maqdliyyaa). Artinya: "Dan tiada seorangpun diantara kamu yang tiada masuk kedalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat dihindarkan" - S. Maryam, ayat 71.
Maka senantiasalah hamba itu tidak terpelihara (tidak ma'shum) dan ke- merengan dari kelurusan. Hanya derajat kemerengan itu berlebih-kurang secara besar-besaran. Maka karena itulah, berlebih-kurangnya masa manusia itu menetap dalam neraka sampai kepada masa kelepasan. Sehingga setengah mereka tidak tinggal dalam neraka, melainkan sekedar

52


kafarat sumpah. Dan setengahnya tinggal beribu-ribu tahun. Maka marilah kita bennohon kepada Allah Ta'ala, kiranya mendekatkan kita kepada kelurusan dan keadilan. Sesungguhnya kesulitan diatas titian Ashshirathal-mustaqim, tanpa mereng padanya, adalah tak dapat diharap- kan. Karena titian itu, adalah lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Jikalau tidaklah pertolongan Allah, niscaya orang yang lurus pun tidak akan sanggup melewati jalan yang memanjang diatas titian neraka, yang sifatnya lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang itu. Dan menurut kadar kelurusan diatas Ash-shirathal-mustaqim itu, ringan- lah hamba pada hari kiamat diatas titian itu.


Tiap-tiap orang yang mencampurkan makanan dengan tanah atau lainnya, kemudian disukatinya, maka adalah dia itu orang yang mengecuh (menipu) pada sukatan. Tiap-tiap penjual daging, yang menimbang bersama daging tulangnya, yang tidak berlaku kebiasaan seperti itu, maka dia itu adalah orang yang mengecuh pada timbangan. Dan qiaskanlah kepada yang tersebut ini, perumpamaan-perumpamaan yang Iain, sehingga pada hasta yang dilakukan oleh penjual kain. Karena apabila ia membeli, lalu dilepaskannya kain pada waktu penghastaan. Dan tidak dipanjangkannya menurut semestinya. Dan apabila ia menjualkannya, lalu dipanjangkannya pada penghastaan, supaya menampak berlebih-kurang ukurannya. Maka semua itu, adalah termasuk pembohongan yang orangnya dibawa keneraka.
Yang Keempat: bahwa berkata benar tentang harga barang dan tidak disembunyikannya sesuatu.
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . melarang "tala'qqi'rrukban" dan melarang pula "an-najasy".
Tala'qqi'rrukban: yaitu, menghadapi rombongan yang datang kekota dan menerima barang yang dibawa mereka serta berdusta tentang harga barang dikota.


Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
  لا تتلقوا الركبان
(Laa tatalaqqur-rukbaan).
Artinya: "Janganlah kamu melakukan تلقي الركبان " tala'qqi'rrukban" (1). Dan barangsiapa melakukan yang demikian, maka yang mempunyai barang itu, boleh berkhiar (memilih antara meneruskan atau membatalkan jual-beli), setelah ia datang dipasar.
Pembelian itu sah. Akan tetapi kalau ternyata bohongnya, maka boleh sipenjual itu berkhiar. Dan kalau ia benar, maka tentang khiar itu, terdapat khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama). Karena timbul pertentangan dari umumnya bunyi hadits diatas tadi, serta tak ada padanya penipuan
1. Dirawikan Muslim dari Abi Hurairah.
53

Dan dilarang pula, orang kota menjual untuk orang kampung. Yaitu: orang itu datang kekota dengan membawa barang makanan, dengan maksud mau dijualnya dengan segera. Lalu berkata orang kota kepadanya: "Tinggalkanlah makanan itu padaku, sehingga aku dapat memahalkan harganya dan aku menunggu ketinggian harganya itu!" Cara ini diharamkan pada makanan. Dan mengenai barang-barang lain, terdapat khilaf diantara para ulama. Dan yang lebih terang kepada kebe- naran, diharamkan, karena umumnya larangan itu. Dan karena perbuatan yang tersebut, adalah melambatkan penjualan, untuk menyempitkan orang banyak pada umumnya, tanpa paedah, untuk mencari kelebihan yang menyempitkan.

Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . melarang عن النجش "an-najasy", yaitu: datang kepada sipenjual, yang sedang berhadapan dengan orang yang ingin membeli barang itu. Dan meminta barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi, sedang sebenarnya ia tidak bermaksud membelinya. Hanya ia bermaksud, meng- gerakkan keinginan sipembeli kepada barang itu.


Cara ini, jika tak ada kesepakatan dengan sipenjual, adalah perbuatan haram dari yang melakukan an-najasy. Dan jual beli itu sah. Dan jika ada kesepakatan dengan sipenjual, maka tentang boleh khiar bagi sipembeli, terdapat khilaf diantara para ulama.


Dan pendapat yang lebih utama, boleh sipembeli melakukan khiar. Karena terdapat penipuan dengan perbuatan, yang menyerupai dengan penipuan pada mengikat susu lembu (supaya tidak diminum oleh anaknya, lalu timbul sangkaan bagi sipembeli bahwa binatang itu banyak susunya). Dan menyerupai pula dengan penipuan pada تلقي الركبان "tala'qqi'rrukban. Maka segala larangan tersebut menunjukkan, bahwa tidak diperbolehkan berbuat yang menimbulkan keragu-raguan kepada sipenjual dan sipembeli tentang harga barang diwaktu itu. Dan menyembunyikan sesuatu hal, dimana kalau sipenjual atau sipembeli mengetahuinya, niscaya ia tidak akan mau melakukan jual-beli itu.* Maka perbuatan tersebut, termasuk penipuan yang diharamkan, yang berlawanan dengan nasehat yang diwajibkan dalam jual-beli.


Diceriterakan bahwa seorang dari tabi'in berada di Basrah dan ia mempunyai seorang budak di Sus, yang berusaha menyediakan gula kepadanya. Lalu budak itu menulis surat kepada tabi'in tadi, yang menerangkan: Bahwa batang tebu telah diserang penyakit pada tahun ini. Dari itu, belilah gula!"
Tabi'in itu menerangkan seterusnya. Lalu beliau membeli gula banyak- banyak. Tatkala sampai waktunya, maka beliau beruntung tigapuluh ribu. Lalu pulang kerumahnya. Maka beliau terpikir pada malamnya, seraya berkata: "Aku telah beruntung tigapuluh ribu dan aku telah merugi akan nasehat kepada seorang lelaki muslim".


54

Tatkala pagi hari, terus beliau datang kepada penjual gula itu dan menyerahkan kepadanya uang yang tigapuluh ribu, seraya berkata "Diberkahi Allah kiranya engkau pada uang ini!"


Maka bertanya penjual gula itu: "Dari manakah uang ini untukku?" Tabi'in itu menjawab: "Sesungguhnya aku telah menyembunyikan padamu akan hakikat keadaan yang sebenarnya. Adalah gula telah mahal pada Waktu itu!"
Penjual gula itu menjawab: "Diberi rahmat kiranya oleh Allah akan kamu! Sesungguhnya telah engkau beritahukan sekarang kepadaku dan aku memandang baik uang ini untukmu!" Tabi'in itu meneruskan ceriteranya. Lalu beliau pulang dengan uang itu kerumahnya, berpikir dan semalam-malaman tidak tidur. Dan berkata: "Apakah kiranya, yang telah aku nasehatkan kepadanya? Mungkin ia rnalu kepadaku, maka ditinggalkannya uang itu untukku". Maka pagi-pagi benar, beliau datang lagi kepada penjual gula itu, seraya berkata: "Kiranya Allah mendatangkan sehat-wal'afiat kepadamu! Ambillah hartamu kepadamu! Yang begitu adalah lebih membaikkan bagi hati- ku".


Maka penjual itu lalu mengambil dari tabi'in uang yang tigapuluh ribu itu. Maka hadits-hadits tadi tentang larangan-larangan dan ceritera-ceritera, menunjukkan kepada tidak menunggu kesempatan dan kelengahan dari yang mempunyai barang. Lalu tersembunyilah dari penjual akan mahalnya harga atau dari pembeli untuk menanya-nanyakan berbagai macam harga. Kalau diperbuat yang demikian, maka itu adalah zalim, meninggalkan keadilan dan kenasehatan bagi kaum muslimin.
Manakala sipenjual itu menjual dengan beruntung, dimana ia berkata: "Aku jual dengan apa yang harus atasku atau dengan apa yang aku beli- kan" maka haruslah ia bersikap benar. Kemudian harus ia menerangkan dengan apa yang terjadi sesudah 'aqad, tentang kerusakan atau kekurangan. Dan kalau ia membeli sampai kepada suatu waktu yang di­tangguhkan, niscaya wajiblah diterangkannya.. Dan kalau ia membeli dengan bertoleransi, dari teman atau anaknya, niscaya wajiblah disebut- kannya. Karena orang yang melakukan mu'amalah itu, berpegang kepada adat kebiasaan, pada penyelidikan, dimana ia tidak meninggalkan perhatian untuk kepentingan dirinya sendiri.


Apabila ia meninggalkan yang demikian, disebabkan sesuatu sabab maka haruslah diterangkan. Karena pegangan padanya, adalah kepada amanahnya.
55


BAB KEEMPAT: tentang ihsan pada mu'amalah.
Sesungguhnya Allah Ta'ala menyuruh dengan keadilan dan berbuat ihsan segala-galanya. Keadilan itu adalah sebab kelepasan saja dan berlaku pada perniagaan seperti berlakunya modal. Dan ihsan (berbuat kebaikan), ada­lah sebab kemenangan dan memperoleh kebahagiaan. Dan berlaku pada perniagaan seperti berlakunya keuntungan. Dan tidak terhitung dari orang yang berakal pikiran, orang yang merasa puas pada mu'amalah dunia, dengan modalnya saja. Maka seperti itu pulalah pada mu'amalah akhirai. Tiada seharuslah bagi orang yang beragama, mencukupkan dengan keadilan dan menjauhkan kezaliman saja dan meninggalkan segala pintu ihsan.
Allah Ta'ala berfirman:
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
(Wa ahsin kamaa ahsanallaahu ilaika).Artinya: "Dan buatlah kebaikan, sebagaimana Allah telah berbuat kebaikan kepada engkau". S. Al-qashash, ayat 77. Dan Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
(Innallaaha ya'muru bil'adli wal-ihsaan).Artinya: "Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan dan berbuat kebaikan (ihsan)" S. An-Nahl, ayat 90. Dan Allah  الله ع  berfirman:
إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
(Inna rahmatallaahi qariibun minal-muhsiniin).Artinya: "Sesungguhnya ramat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (berbuat ihsan)". - S. Al-A'raf ayat 56. Dan kami maksudkan dengan إحْسَانِ "ihsan", yaitu: perbuatan yang bermanfa'at kepada orang yang melakukan المعاملة mu'amalah. Sedang perbuatan itu tidak menjadi kewajibannya. Tetapi sebagai perbuatan keutamaan daripadanya. Yang wajib itu masuk dalam bab keadilan dan meninggalkan kezaliman. Dan itu telah kami sebutkan dahulu.


56


Derajat ihsan itu tercapai dengan salah satu dari enam perkara:
1. Pada tipu-daya pada jual-beli المغابنة (al-mughabanah).. Maka seharuslah tidak menipu temannya, dengan apa yang menurut kebiasaannya, dia tidak akan bertipu-daya dengan itu. Adapun pokok penipu-dayaan itu, diizinkanKarena berjual-beli adalah untuk memperoleh keuntungan dan keuntungan itu tidak mungkin, kecuali dengan sesuatu tipu-daya. Tetapi hendaklah dijaga berlebih kurang padanya.


Kalau pembeli memberikan tambahan diatas keuntungan yang biasa, ada kalanya karena bersangatan keinginannya atau bersangatan hajatnya sekarang juga kepada barang itu. Maka seharuslah penjual tidak menolak menerimanya. Maka itu adalah termasuk ihsan.


Manakala tak ada penipuan, niscaya tidaklah mengambil kelebihan itu dinamakan kezaliman. Dan sebahagian ulama beraliran, bahwa yang tipudaya dengan melebihi dari sepertiga modal itu mengharuskan khiar (memilih antara meneruskan aqad itu atau merombaknya). Kami tidak berpendapat demikian. Tetapi sebahagian ihsan itu, ialah mengurangkan tipu-daya itu.


Menurut riwayat, bahwa pada Yunus bin 'Ubaid terdapat pakaian-pakaian yang berbagai macam harganya. Semacam, harga tiap-tiap sehelai daripadanya empat ratus dan semacam harga tiap-tiap sehelai duaratus. Kemudian, Yunus pergi shalat dan ditinggalkannya ditoko anak saudaranya. Maka datanglah seorang Arab dusun dan meminta sehelai kain yang harganya empatratus, Lalu anak itu membentangkan kepada yang ingin membeli tadi, dari kain-kain yang berharga duaratus. Maka Arab dusun itupun menerima dengan baik dan menyetujuinya. Lalu membeli dan terus pergi, sedang kain itu pada tangannya.


Ditengah jalan bertemu dengan Yunus dan beliau mengenai kainnya, seraya bertanya kepada Arab dusun itu: "Berapa saudara beli?" Arab dusun itu menjawab: Empat ratus!"
Beliau menjawab: Tidak sampai melebihi dari duaratus. Mari kembali supaya aku kembalikan yang lebih!"
Arab dusun itu menjawab: "Kain ini sama dinegeri kami, dengan harga limaratus dan saya setuju dengan kain ini dengan harga sekian tadi." Lalu Junus berkata kepada orang Arab dusun itu: "Pergilah, karena nase- hat pada Agama itu, adalah lebih baik dari dunia dengan isinya!" Kemudian orang Arab itu kembali ketoko dan dikembalikan kepadanya uang yang duaratus dirham itu. Dan beliau bertengkar dengan anak saudaranya tentang yang tadi itu dan beliau marahi seraya berkata: "Apakah kamu tidak malu, apakah kamu tidak takut kepada Allah, engkau mengambil keuntungan seperti harga itu dan engkau tinggalkan nasehat untuk kaum muslimin?"
Anak itu menjawab: Demi Allah, tidak dia ambil kain itu, kecuali dia telah setuju!"
Yunus menjawab: "Mengapakah tidak kamu rela untuk dia, dengan apa yang engkau rela untuk dirimu sendiri?"
Dan itu, kalau ada padanya penyembunyian harga dan penipuan, maka itutermasuk dalam pintu kezaliman. Dan telah diterangkan dahulu.
57


Dan pada hadits, tersebut: 'Tipu-daya orang yang melepaskan barangnya itu, haram" (1).


Adalah Zubair bin 'Uda berkata: "Aku mendapati delapan belas orang shahabat, tiada seorangpun dari mereka memandang ihsan, membeli daging dengan sedirham". Maka tipu-daya oleh orang-orang yang melepaskan barang-barangnya itu, adalah zalim. Kalau itu terjadi, tanpa pqpipuan maka termasuklah dalam bahagian meninggalkan ihsan. Dan sedikitlah sempurna ini, kecuali dengan ada semacam penipuan dan penyembunyian harga masa itu.


Dan sesungguhnya yang semata-mata ihsan ialah apa yang dinukilkan dari As-Sirri As-Saqathi, bahwa beliau membeli satu sukatan buah lauz (ham- pir serupa dengan buah delima), dengan harga enampuluh dinar. Beliau menulis pada daftar hariannya, tiga dinar keuntungannya. Seakan-akan beliau telah berpendapat, untuk memperoleh keuntungan se- tengah dinar pada tiap-tiap sepuluh dinar pokoknya. Kemudian lauz itu sudah berharga sembilan puluh dinar. Maka datanglah perantara kepadanya, meminta lauz. Lalu beliau menjawab: "Ambillah!" "Berapa harganya?" tanya perantara (agen barang-barang). Beliau menjawab: "Enampuluh tiga dinar!"
Maka agen itu menjawab dan dia termasuk orang yang shalih: "Harga lauz sekarang sudah sembilan puluh dinar".
As-Sirri menjawab: "Aku telah mengikatkan suatu ikatan, yang tidak akan aku lepaskan, bahwa tidak aku jualkan lauz itu, kecuali dengan enampuluh tiga dinar".
Orang perantara itu menjawab: "Dan aku telah berjanji antara aku dan Allah Ta'ala tidak akan menipu seseorang muslim. Tidak akan aku ambil daripada engkau, kecuali dengan sembilanpuluh dinar". Dan menurut riwayat itu, agen itu tak jadi membeli dari As-Sirri dan As-Sirri tak jadi menjual kepada agen itu.
Maka inilah semata-mata ihsan dari kedua pihak. Sesungguhnya diserta- kan dengan pengetahuan itu akan hakikat keadaan yang sebenarnya. Diriwayatkan dari Muhammad bin Al-Munkadir, bahwa ia mempunyai beberapa potong kain panjang. Sebahagian dengan harga lima dan seba- hagian lagi dengan harga sepuluh. Maka oleh pesuruhnya dijualnya, waktu dia tidak ada, potongan yang harga lima, dengan harga sepuluh. Tatlcala diketahuinya, maka selalulah dicarinya Arab dusun yang membeli barang itu sepanjang hari, sehingga berjumpa. Lalu beliau berkata kepada yang membeli: "Sesungguhnya pesuruhku sudah salah. Dijualnya kepadamu, potongan yang harganya lima, dengan harga sepuluh. Pembeli itu menjawab: "Wahai Tuan! Aku telah setuju yang demikian!" Muhammad bin AI-Munkadir menjawab: "Meskipun kamu rela tetapi aku tidak rela untukmu, kecuali apa yang aku relakan untuk diriku sendiri. Maka pilihlah satu dari tiga perkara: adakalanya engkau ambil potongan


1. Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Amamah dengan sanad dla'if.
58


yang harganya sepuluh dengan dirhammu Itu. Adakalanya kami kembali- kan kepadamu lima dirham. Dan adakalanya kamu kembalikan barang kami dan kamu ambil dirhammu kembali".


Maka sepembeli itu menjawab: "Berikanlah kepadaku lima dirham itu!" Lalu dikembalikan kepadanya lima dirham. Dan Arab dusun itu pergi, sambil bertanya dan berkata: "Siapakah syaikh yang tadi itu?" Lalu orang menjawab kepadanya: "Itulah Muhammad bin Al-Munkadir!" Maka Arab dusun itu menyahut: "Laailaaha i'lla'Ilaah. Itulah kiranya orang yang kita minta air didesa-desa apabila kita dimusim kamarau!" Itulah ihsan, tidak mau ia beruntung dalam sepuluh, kecuali setengah atau satu, menurut kebiasaan yang berlaku pada barang yang seperti itu pada tempat itu. Dan barangsiapa yang merasa puas dengan keuntungan yang sedikit, niscaya banyaklah mu'amalahnya. Dan memperoleh faedah dari berulang-ulangnya mu'amalah akan banyak keuntungan. Dan dengan itu zahirlah keberkatan.
Adalah Ali r.a. berkeliling dipasar Kufah dengan tongkat pemukul ditangannya, seraya berkata: "Wahai para saudagar! Ambillah yang benar, niscaya kamu selamat! Janganlah kamu menolak keuntungan yang sedikit, maka kamu tidak akan memperoleh keuntungan yang banyak!" Ada orang yang menanyakan kepada Abdurrahman bin 'Auf: "Apakah sebabnya maka tuan menjadi kaya?"
Abdurraman bin 'Auf menjawab: "Karena tiga perkara: 'Tiada aku menolak keuntungan sekali-kali. Tiada orang yang meminta padaku hewan, lalu aku lambatkan menjualnya. Dan tidak aku menjual dengan tangguhan pembayaran".
Dan ada yang mengatakan, bahwa Abdurrahman bin 'Auf, menjual seribu ekor untanya, dimana beliau tidak beruntung, kecuali tali pengikatnya. Lalu dijualnya tiap-tiap sehelai tali itu dengan sedirham. Maka ia beruntung seribu dirham. Dan beruntunglah ia dari perbelanjaannya kepada unta itu untuk sehari seribu dirham itu.
2. Pada menanggung tipu-daya pada jual-beli. Maka sipembeli, kalau membeli makanan dari orang yang lemah atau membeli sesuatu dari orang miskin maka tidak apalah ia menanggung tipu-daya itu dan memandang enteng. Dan adalah ia dengan yang demikian, telah berbuat ihsan dan termasuk pada sabda صلى الله عليه وسلم .: "Diberi rahmat kiranya oleh Allah, akan orang yang memudahkan penjualan sebagai mudahnya pembelian". Adapun apabila ia membeli dari saudagar yang kaya, yang mencari keuntungan melebihi dari keperluannya, maka menanggung tipu-daya dari pembelian itu, tidaklah terpuji. Bahkan itu adalah menyia-nyiakan harta, tanpa pahala dan pujian. Telah tersebut pada suatu hadits yang diriwayat- kan dari jalan keluarga Nabi صلى الله عليه وسلم  . (Ahlu'l-bait). yang maksudnya: "Orang yang kena tipu-daya pada pembelian, tidaklah terpuji dan memperoleh pahala".


59


Iyas bin Ma'awiah bin Qurrah - qadli negeri Basrah - seorang tabi'in yang berpikiran cerdas, berkata: "Tidaklah aku ini penipu. Dan penipu itu tidaklah akan menipu aku dan tidak akan menipu Ibnu Sirin. Tetapi akan menipu Al-Hassan dan akan menipu bapakku". Ya'ni: Ma'awiah bin Qarrah. Dan yang sempurna, ialah: pada tidak menipu dan tidak akan tertipu, sebagai mana disifatkan oleh setengah mereka, akan Umar r.a. dengan mengatakan: "Adalah 'Umar orang yang mulia, daripada untuk menipu dan lebih berakal, daripada untuk ditipu".
Al-Hasan dan Al-Husain dan lain-lainnya daripada para salaf pilihan, adalah amat menyelidiki tentang pembelian. Kemudian, mereka berikan bersama yang demikian, akan harta banyak.


lalu ada orang yang menanyakan kepada sebahagian mereka: "Engkau selidiki benar tentang pembelianmu kepada barang yang sedikit. Kemudian engkau berikan yang banyak dan tidak engkau perdulikan yang demikian?"
Maka yang ditanyakan itu, menjawab: "Bahwa yang memberi itu, membe- rikan kelebihannya dan orang yang tertipu itu, tertipu akalnya". Setengah mereka berkata: "Sesungguhnya aku tipu akalku dan pemandanganku. Maka tidaklah mungkin yang menipu daripadanya. Apabila aku memberi niscaya aku memberi karena Allah. Dan tidak aku meminta lebih banyak daripada Allah akan sesuatu".
3. Pada penyempurnaan harga dan hutang-hutang yang lain. Dan ihsan padanya, sekali dengan ma'af-mema'afkan dan mengurangkan sebahagian daripadanya. Sekali dengan menangguhkan dan mengemudiankan. Dan sekali dengan memudahkan (tidak menyulitkan) pada meminta uang yang bagus.
Semuanya itu disunatkan dan dianjurkan. Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda: "Diberi rahmat kiranya oleh Allah akan orang, yang memudahkan penjualan, memudahkan pembelian, memudahkan pembayaran dan memudahkan meminta bayaran". Maka hendaklah memperoleh do'a Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . itu!


Dan Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda:
اسمح يسمح لك
(Ismah yusmah lak). Artinya: "Ma'afkanlah, niscaya kamu pun akan dima'afkan". (1). Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:  "Barangsiapa menangguhkan orang yang sukar membayar hutang atau meninggalkan hutang itu untuknya, niscaya Allah akan menghitung amalannya dengan hisab (hitungan) yang mudah". (2).
1. Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas. Perawi-perawinya orang yang dapat dipercayai.
2.Dirawikan Muslim dari Ka'ab bin Amr, dengan bunyi lain, yang sama maksudnya.
60


dan menurut bunyi yang Iain: "niscaya ia dinaungi oleh Allah dibawah naungan 'Aras Nya, pada hari, yang tak ada naungan, selain daripada naunganNya".


Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . menyebutkan seorang laki-laki yang begitu boros terhadap kepada dirinya sendiri, dimana diperhitungkan amalannya (dihisab), maka tidak diperoleh baginya satu kebaikan pun. Lalu ditanyakan kepadanya: "Adakah kamu kerjakan kebajikan walaupun sekali?" Ia menjawab: 'Tidak! Kecuali aku ini, adalah seorang laki-laki yang mem- perhutangkan manusia lalu aku katakan kepada budak-budakku: "Bermaaf-maaflah kepada orang yang kaya dan tunggulah orang yang miskin!" Dan menurut bunyi yang lain: "Lewatkan yang miskin yang sukar membayar hutang!" Maka Allah Ta'ala berfirman: "Kami lebih berhak dengan yang demikian daripada engkau. Maka Allah melewatkan dari padanya dan mengampunkan dosanya".


Dan Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa memperhutangkan uang sedinar dengan ditangguhkan kepada sesuatu waktu, maka baginya tiap-tiap hari itu menjadi sedekah, sampai kepada waktu pembayarannya. Apabila waktu itu telah datang maka ditunggunya lagi sesudah itu, (karena orang itu belum sanggup juga) maka baginya tiap-tiap hari, menjadi sedekah seperti hutang itu". Dan adalah sebahagian salaf, yang tidak menyukai orang yang berhutang padanya, membayar hutangnya, lantaran hadits tadi. Sehingga adalah ia seperti orang yang bersedekah dengan seluruhnya tiap-tiap hari. Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Aku melihat pada pintu sorga, tertulis sedekah, pahalanya sepuluh kali hutang, pahalanya delapanbelas kali". Lalu ada yang mengatakan tentang pengertian hadits ini, yaitu: bahwa sedekah itu jatuh ketangan orang yang memerlukan dan yang tidak memerlukan. Dan kehinaan berhutang itu, tidak ditanggung, kecuali oleh orang yang memerlukan.


"Nabi صلى الله عليه وسلم . melihat kepada seorang laki-laki yang selalu menghubungi seorang laki-laki Iain dengan berhutang padanya. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . menunjukkan kepada yang mempunyai uang hutang (yang memperhutangkan) itu dengan tangannya: "Letakkanlah setengah!" Lalu orang itu meletakkannya. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda kepada yang berhutang. "Bangun, berikanlah kepadanya!" (1).
Tiap-tiap orang yang menjualkan sesuatu dan meninggalkan harganya di- waktu itu dan tidak memberatkan memintanya, maka itu adalah searti dengan memperhutangkan.
Diriwayatkan, bahwa Al-Hasan Al-Bashri menjual seekor keledai betina kepunyaannya dengan harga empatratus dirham. Maka tatkala telah datang waktu wajib pembayarannya, lalu sipembeli itu berkata kepada Al-Hasan: "Wahai Bapak Sa'id! Ma'afkanlah dulu!" Lalu menjawab Al-Hasan: "Aku telah ma'afkan daripadamu seratus".
1. Dirawikan Al-Bkhari dari Muslim dari Ka'ab bin Malik.
61


Maka menjawab sipembeli: "Engkau telah berbuat ihsan, wahai. Bapak

Lalu Al-Hasan menyambung: "Aku berikan untukmu seratus lagi". Maka Al-Hasan menerima haknya duaratus dirham. Lalu orang itu berkata kepadanya: "Itu adalah setengah harga!" 
Al-Hasan menjawab: "Begitulah adanya ihsan itu. Kalau tidak demikian, maka ihsan itu, tidak ada".
Pada suatu hadits, tersebut: "Ambiilah hakmu dalam penjagaan dan pemeliharaan, sempurna atau tidak sempurna, niscaya dikirakan untukmu oleh Allah dengan kiraan yang mudah". (I).


4. Pada pembayaran hutang. Dan setengah dari ihsan pada pembayaran hutang itu, ialah baik pembayarannya. Yaitu, dengan ia pergi kepada yang mempunyai hak (yang memperhutangkan). Dan tidak memberatkan yang mempunyai hak supaya pergi kepada yang berhutang, yang akan membayar hutangnya.

Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
خيركم أحسنكم قضاء
(Khairukum ahsanukum qadlaa-an).Artinya: "Yang terbaik dari kamu. ialah orang yang terbaik membayar hutangnya". (2).
Manakala telah sanggup membayar hutang. maka hendaklah bersegera membayarnya. walaupun belum waktunya. Dan hendaklah menyerahkan yang terbaik dari apa yang disyaratkan kepadanya dan yang terbagus. Dan kalau belum sanggup, maka hendaklah berniat akan membayarnya, manakala telah sanggup nanti. Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Barangsiapa berhutang dengan sesuatu hutang dan berniat akan membayarnya, niscaya diwakilkan oleh Allah beberapa malaikat yang akan memeliharanya dan mendo'a untuknya, sehingga ia membayar hutang itu nanti". (3). Dan adalah segolongan ulama salaf membuat hutang, tanpa ada keperluan, lantaran hadits tersebut.
1. Dirawikan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
2. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
3. Dirawikan Ahmad dari Aisyah.
62


Dan manakala yang mempunyai hak (yang memperhutangkan) berkata-kata dengan perkataan yang kasar, maka hendaklah ditahannya dan dihadapinya dengan lemah-lembut, karena mengikut Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم .: "tatkala datang kepadanya yang memperhutangkannya, ketika telah sampai waktunya. Dan tidaklah Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم  . dapat melunasinya. Lalu orang itu mengeluarkan kata-kata keras kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . Maka bercita-cita para shahabatnya membalaskannya. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda: "Biarkanlah orang itu! Sesungghnya yang mempunyai hak, berhaklah berkata-kata" (1).


Manakala telah berputar perkataan antara yang berhutang dengan yang memperhutangkan, maka yang ihsan, ialah kecondongan yang lebih banyak bagi golongan yang menengah kepada orang yang berhutang. Karena orang yang memperhutangkan, adalah memperhutangkan dari kekayaan yang ada padanya. Dan orang yang berhutang, adalah berhutang lantaran keperluan.
Dan seperti itu pula, seharuslah ada pertolongan bagi sipembeli yang lebih banyak. Karena sipenjual itu, adalah tidak suka kepada barang, yang ia ingini melakukannya. Dan sipembeli itu berhajat kepada barang tersebut. Ini yang terbaik! Kecuali orang yang berhutang itu melampaui batasnya. Maka ketika itu, menolonginya, ialah mencegahkannya dari pada melampaui batas serta menolong yang memperhutangkannya, karena Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda: "Tolonglah saudaramu, yang menganiaya atau yang teraniaya!" Lalu ada yang menanyakan: "Bagaimanakah kami menolong kalau dia itu yang menganiaya".

Maka Nabi صلى الله عليه وسلم  . menjawab: "Engkau larang dia dari kezaliman, adalah pertolongan kepadanya". (2).
5. Bahwa menerima kembali dari orang yang mengembalikan pembelian- nya. Karena tidaklah menyerahkan kembali* selain orang yang menyesal dan merasa keberatan dengan penjualan itu. Dan tiada seharuslah untuk memperoleh kerelaan bagi dirinya sendiri, lalu menjadi sebab kemelaratan bagi saudaranya.
Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda: "Barangsiapa menerima kembali pembelian dari orang yang menyesal dengan pembelian itu, niscaya diterima kembali oleh Allah akan kesalahannya (diampunkan oleh Allah akan lcesalahannya) pada hari kiamat" (3).

Atau seperti apa yang semaksud dengan itu pada hadits yang lain.

6. Bahwa ia bermaksud dalam melakukan mu'amalah dengan golongan orang-orang miskin, menangguhkan meminta pembayaran. Yaitu, pada waktu itu juga, ia bercita-cita tidak akan meminta bayar pada orang-orang miskin itu, kalau belum menampak kesanggupan mereka. Sesungguhnya pada orang-orang shalih dahulu, ada yang mempunyai dua buku kiraan. Yang satu, penjelasannya tidak diketahui. Hanya didalamnya nama-nama orang lemah dan miskin yang tidak dikenal. Yang demikian ialah: bahwa ada orang miskin yang' melihat makanan atau buah-buahan, maka timbul keinginannya, lalu mengatakan: "Saya berhajat lima kati - umpamanya — dari barang ini dan tidak ada pada saya sekarang uang untuk harganya". JLalu orang shalih penjual itu, menjawab: "Ambillah dan bayarlah harga­nya nanti ketika ada kesanggupan!"
Dan tidaklah itu terhitung sebahagian dari khiar (boleh memilih). Tetapi

1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
2. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas. Dirawikan Abu Dawud dan Ai-Hakim dari Abu Hurairah. Dan katanya shahih, menurut ketentuan Muslim.
63


yang terhitung sebahagian dari khiar, ialah orang yang tidak tercantum namanya sekali-kali dalam buku dan tidak dijadikan itu sebagai hutang. Tetapi disini, ia mengatakan: "Ambillah, apa yang engkau kehendaki! Ka­lau sanggup, bayarlah sekarang! Dan kalau tidak. maka engkau halal me- makannya dan dalam keluasan waktu untuk membayarnya". Inilah jalan-jalan perniagaan, yang ditempuh orang-orang salaf dahulu. Dan jalan-jalan ini sudah terbenam. Dan yang menegakkannya, ialah orang yang menghidupkan sunnah ini!
Kesimpulannya, perniagaan itu adalah perbantahan orang-orang. Dengan perniagaan, dapat diuji Agama dan wara' dari seseorang.


Dan karena itulah, bermadah seorang penyair:
Janganlah tertipu engkau dari manusia,
bajunya kumal berjahit-jahitan,
sarungnya terangkat tinggi diatas tumit,
dahinya menunjukkan bekas sujud yang mengupas,
padanya dirham dan dinar........
Maka......................
Perhatikanlah sesatnya
atau wara'nya............... !


Karena itulah, ada yang mengatakan: "Apabila dipuji seseorang oleh te- tangganya dikampung, oleh teman sahabatnya dalam perjalanan dan oleh orang-orang yang melakukan mu'amalah dengan dia dipasar, maka janganlah'kamu syak wasangka lagi, tentang baiknya orang tersebut". Seorang saksi menjadi saksi pada Umar r.a., lalu beliau berkata: "Datang- kanlah kepadaku orang yang mengenal kamu!"
Maka saksi itu membawa seorang laki-laki, lalu memuji saksi tersebut dengan pujian yang baik. Maka 'Umar r.a bertanya kepada orang itu: "Apakah engkau tetangganya yang terdekat yang mengenal masuk dan keluarnya?"
Orang itu menjawab: "Tidak!"
Umar r.a. bertanya lagi: "Apakah engkau temannya dalam perjalanan, yang membuktikan, dia itu berbudi pekerti mulia?" Orang itu menjawab: "Tidak!"
Umar r.a. bertanya pula: "Apakah engkau telah melakukan mu'amalah ; dengan dia, dengan dinar dan dirham, yang dengan itu menerangkan bahawa dia orang wara'?" Orang itu menjawab: "Tidak!"
Lalu Umar r.a. menyambung: "Aku menyangka, engkau telah melihat dia mengerjakan shalat dalam masjid. Ia membaca Al-Quran dengan suara rendah. Ia merendahkan kepalanya sekali dan mengangkatkannya pada kali yang.lain". Orang itu menjawab: "Ya!"
Maka Umar r.a. berkata: "Pergilah, engkau belum mengenal orang ini!" Dan kepada orang itu, beliau berkata: "Pergilah, bawalah kepadaku orang yang mengenai kamu!"
64


BAB KELIMA: tentang kasih-sayang seorang saudagar kepada agamanya, pada sesuatu yang khusus dengan agama dan yang umum dengan akhirat.
Tiada seharuslah bagi seorang saudagar, diumbang-ambingkan oleh kehidupannya, tanpa mengingati akhiratnya. Maka jadilah umurnya lenyap percuma dan perusahaannya merugi. Dan apa yang tidak diperolehnya dan keuntungan diakhirat, tidak dapat disempurnakan oleh apa yang dica- painya didunia. Maka adalah dia termasuk orang yang membeli kehidupan dunia dengan melepaskan akhirat.


Tetapi, orang yang berakal, seharuslah menaruh kasih-sayang kepada dirinya sendiri. Dan ke-kasih-sayangan kepada diri sendiri itu, ialah dengan memelihara modalnya. Dan modalnya itu, ialah agama dan perniagaannya pada agama.


Berkata setengah salaf: "Barang yang lebih utama bagi seorang yang ber- akal, ialah yang lebih diperlukannya kepada barang itu pada masa yang cepat. Dan yang lebih diperlukan pada masa yang cepat, ialah yang lebih terpuji akibatnya pada masa lambat yang akan datang (masa akhirat)". Berkata Ma'az bin Jabal r.a. dalam wasiatnya: "Sesungguhnya tak boleh tidak bagimu mempunyai bahagian didunia. Dan engkau lebih berhajat lagi kepada bahagianmu diakhirat. Maka mulailah dengan bahagianmu dari akhirat, lalu ambilkanlah! Sesungguhnya engkau akan melalui diatas bahagianmu dari dunia, maka hendaklah engkau mengaturkannya! Allah Ta'ala berfirman:
وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
(Wa laa tansa nashiibaka minad-dun-ya).Artinya: "Dan janganlah engkau lupakan bahagian engkau didunia ini.'" - S. Al-Qashash, ayat 77. Artinya: "Janganlah engkau lupakan dalam dunia ini, akan bahagianmu dari dunia itu untuk akhirat. Karena dunia adalah tempat menanam (kebun) bagi akhirat. Dan dalam dunialah diusa- hakan segala kebaikan.

Sesungguhnya akan sempurna kasih-sayang seorang saudagar kepada agamanya, dengan menjaga tujuh perkara:
1. Baik niat dan aqidah pada permulaan peniagaan. Maka hendaklah berniat dengan perniagaan itu untuk menjaga diri daripada meminta-minta. Dan mencegah daripada mengharap kepada orang lain karena merasa leukup dengan yang halal, tanpa dari orang lain. Dan dapat memperoleh
65


Pertolongan dengan apa yang diusahakan sendiri untuk agama dan menu- naikan kebutuhan kaum keluarga. Supaya ia termasuk kedalam jumlah orang-orang mujahidin. Dan hendaklah berniat untuk nasehat bagi kaum muslimin! Dan bahwa mencintai orang lain, akan apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. Dan hendaklah berniat mengikuti jalan adil dan ihsan pada muamalahnya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dahulu. Dan hendaklah bemiat menyuruh yang ma'ruf dan melarang yang munkar, pada tiap-tiap apa yang dilihatnya dipasar!
Maka apabila ia letakkan dalam jantung hati, aqidah-aqidah dan niat-niat ini, niscaya adalah ia orang yang bekerja pada jalan akhirat. Maka jika ia memperoleh faedah akan harta, niscaya ia memperoleh kelebihan. Dan kalau ia merugi didunia, niscaya ia beruntung diakhirat.


2. Bahwa tujuannya dalam berusaha atau berniaga itu adalah menegakkan salah satu daripada fardhu-kifayah. Sesungguhnya perusahaan dan perniagaan jikalau ditinggalkan, niscaya batallah kehidupan dan binasalah keba- nyakan makhluq. Maka teraturnya urusan semua, adalah dengan tolong- menolong semua. Dan menanggung masing-masing golongan dengan pe- kerjaannya. Dan jikalau semua orang menghadapi suatu perusahaan, niscaya menganggurlah segala perusahaan yang lain dan binasalah semua. Dan kepada inilah, dibawa oleh setengah manusia akan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم .:
اختلاف أمتي رحمة
(Ikhtilaafu ummatii rahmah) Artinya: "Perbedaan umatku, adalah menjadi rahmat". Artinya: perbedaan cita-cita mereka dalam perusahaan dan pekerjaan. Dan sebahagian dari perusahaan itu, ada yang penting dan sebahagian daripadanya, ada yang tidak diperlukan. Karena kembalinya untuk mencari keni'matan dan perhiasan dunia.


Maka bekerjalah pada perusahaan yang penting, supaya dalam mengerja- kannya itu memperoleh kecukupan, tanpa meminta bantuan orang muslimin lainnya dan yang penting pada agama. Dan hendaklah menjauhkan perusahaan membuat ukiran, bertukang emas dan perak dan membangun gedung-gedung dengan batu-batu merah dan segala apa yang menjadi hi- asan dunia. Semua itu tidak disukai oleh orang-orang agama. Adapun segala perbuatan permainan dan alat-alat yang haram memakainya, maka menjauhkan yang demikian itu, termasuk segi meninggalkan kezaliman. Dan termasuk dari jumlah yang demikian, ialah: dijahit oleh tukang jahit pakaian luar (qaba') dari sutera bagi laki-laki, dituang oleh tukang emas kenderaan emas atau cicin emas bagi laki-laki
Maka semua itu, termasuk perbuatan ma'siat. Dan ongkos yang dipungut padanya, adalah haram. Dan karena itulah, kita wajibkan zakat padanya dan walaupun kita tidak mewajibkan zakat pada pakaian. Karena apabila
66


dimaksudkan pakaian itu untuk laki-laki, maka diharamkan. Dan adanya disediakan untuk kaum wanita, tidak akan menghubungkkn dengan pakaian yang mubah, selama tidak dimaksudkan yang demikian, dengan pakaian itu. Maka hukumnya dihasilkan dari maksud. Dan kami telah menyebutkan dahulu, bahwa menjual makanan dan kain kafan, adalah makruh. Karena penjualan itu mengharuskan menunggu orang mati dan memerlukan kepada mahal harganya. Dan dimakruhkan menjadi tukang daging, karena padanya kekesatan hati. Dan dimakruhkan menjadi tukang bekam atau tukang sapu, karena padanya berlumur dengan najis. Dan begitu pula menjadi tukang penyamak kulit dan perbuatan-perbuatan lain yang searti dengan itu.


Ibnu Sirin memandang makruh pekerjaan saudagar perantara (menjadi agen barang-barang). Dan Qatadah memandang makruh upah bagi agen barang itu. Mungkin sebabnya, karena sedikit kemungkinan terlepasnya agen itu daripada membohong dan beriebih-lebihan memuji barang yang diageninya, untuk melakukannya. Dan karena pekerjaan dari agen itu tidak dapat ditentukan. Kadang-kadang sedikit dan kadang-kadang banyak. Dan tidak dipandang pada jumlah ongkosnya kepada pekerjaan, tetapi kepada jumlah harga kain.


Dan ini, adalah kebiasaan dan suatu kezaliman. Tetapi seharuslah diperhatikan kepada keadaan kepayahan tenaga yang dipergunakan. Dan para ulama itu memandang makruh membeli hewan untuk dipernia- gakan. Karena sipembeli tidak suka akan taqdir Allah padanya, yaitu: mati yang akan menimpa terjadinya dan bukan mustahil, pada hewan itu. Dan ada yang mengatakan: بع الحيوان واشتر الموتان "Bi’l-hayawan wa'sytari'lmawatan!" Artinya: "Juallah yang hidup dan belilah yang mati!"


Mereka memandang makruh berusaha dalam bidang tukar-menukar uang. Karena amat sukar menjaga dari riba yang halus-halus. Dan karena tukar-menukar uang itu meminta kepada memperhatikan sifat yang halus-halus, pada apa yang tidak dimaksudkan bendanya. Dan yang dimaksudkan, ialah lakunya. Dan amat sedikitlah bagi shairafi (orang yang kerjanya tukar-menukar uang, ya'ni: menukar uang emas dengan uang perak atau uang dari satu negeri dengan uang dari negeri yang lain) itu, memperoleh- keuntungan. Kecuali dengan berpegang kepada kebodohan orang yang di­lakukan mu'amalah, tentang keadaan yang halus-halus dari keuangan itu. Maka amat sedikitlah shairafi memperoleh keselamatan dari yang demikian, walaupun ia berhati-hati benar.
Dan dimakruhkan bagi shairafi dan lainnya, menghancurkan uang yang sah dan uang-uang dinar, kecuali ketika ragu tentang bagusnya atau ketika darurat.
Berkata Ahmad bin Hanbal r.a.: "Telah datang larangan dari RasuluMlah صلى الله عليه وسلم  . dan para shahabatnya, tentang menghancurkan uang yang sah dan saya memandang makruh menghancurkan itu". Dan seterusnya Ahmad
67


Dan seterusnya Ahmad bin Hanbal r.a. Berkata: "Shairafi itu membeli dengan dinar akan dirham, kemudian membeli dengan dirham akan emas. lalu dihancurkannya". Para ulama memandang sunat berjualan kain. Sa'id bin Al-Musayyab berkata: "Tiadalah perniagaan yang lebih aku sukai, dari berjualan kain, selama tak ada padanya sumpah-menyumpah".
Dan diriwayatkan pada hadits: "Sebaik-baik perniagaan kamu. ialah kain dan sebaik-baik perusahaan kamu, ialah melobangi dan menjahit kulit". Dan pada hadits lain tersebut: "Jikalau berniagalah ahli sorga. niscaya mereka berniaga kain. Dan jikalau berniagalah ahli mereka. niscaya mereka berniaga tukar-menukar wang".
Dan kebanyakan pekerjaan orang-orang pilihan dari salaf, adalah sepuluh macam: menjahit kulit, berniaga, membawa barang, menjahit, membuat alas baki, mencelup kain. membuat sepatu. bertukang besi, bertenun kain, berusaha berburu binatang darat dan menangkap ikan dilaut dan membuat kertas. Dan mengenai membuat kertas,
Berkata Abdulwahhab Al-Warraq: "Bertanya kepadaku Ahmad bin Hanbal: "Apakah usahamu?" Aku menjawab: "Al-wiraqah (membuat dan menjual kertas)".
Lalu Ahmad bi Hanbal menyambung: "Usaha yang baik. Kalau aku bekerja pekerjaan tangan, niscaya aku berusaha seperti perusahaanmu".
Kemudian Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku: "Janganlah engkau menulis, melainkan ditengah dan tingglkanlah pinggir-pinggirnya dan kulit dari tiap-tiap bahagian (juzu') dari buku yang ditulis!"
Empat golongan dari para tukang, tertanda pada orang banyak dengan kelemahan pikiran: tukang tenun, tukang jual kapas pemintal benang bulu dan guru-guru. Mungkin sebabnya, karena yang terbanyak mereka bergaul. ialah dengan kaum wanita dan anak-anak.. Dan bergaul dengan orang- orang yang lemah akal pikiran, adalah melemahkan pikiran, sebagaimana bergaul dengan orang-orang yang berakal pikiran, maka menambahkan akal pikiran.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa Maryam a.s. melalui tempat orang bertenun kain waktu mencari Isa a.s. Maka Maryam menanyakan jalan, lalu mereka menunjukkan yang bukan jalan. Lalu Maryam a.s. berdo'a: "Wahai Allah Tuhanku! Cabutkanlah keberkatan dari usaha mereka dan umat mereka itu miskin-miskin dan hina pada mata manusia!" Maka diperkenankanlah do'a Maryam a.s. itu.
Ulama salaf memandang makruh mengambii upah atas tiap-tiap sesuatu perbuatan dari bagian ibadah dan fardlu-kifayah, seperti memandikan mait dan menguburkannya. Dan begitu pula adzan dan shalat tarawih, walaupun dipandang menurut hukum, sah mengambii upah daripadanya. Dan begitu pula mengajarkan Al-Qur-an dan ilmu agama. Maka itu semuanya, adalah amal, yang haknya diperniagakan untuk akhi- rat. Dan mengambii upah padanya, adalah menggantikan dengan dunia, meninggalkan akhirat. Dan tidaklah disunatkan yang demikian. 3. Bahwa tidak dicegah oleh paLsar dunia dari pasar akhirat. Dan pasar


68


akhirat itu, ialah masjid. Allah Ta'ala berfirman:


رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
(Rijaalun laa tulhiihim tijaaratun wa laa bai'un'an dzikrillaah,wa iqaa- mish-shalaah,wa iitaa-izzakaah).Artinya: "Beberapa orang laki-laki yang tidak lalai oleh karena perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah, mengerjakan shalat dan membayar zakat". - S. An-Nur, ayat 37. Dan Allah Ta'ala berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ
(Fiibuyuutin adzinallaahu an turfa'a wa yudzkara fiihasmuhu). Artinya: "Didalam rumah, yang diizinkan Allah untuk meninggikan dan menyebutkan namaNya padanya". - S. An-Nur, ayat 36.
Maka seharuslah dijadikan permulaan siang sampai kepada waktu masuk pasar, untuk akhiratnya. Ia mengharuskan kemasjid dan rajin mengerjakan segala wirid. Adalah Umar r.a. berkata kepada para saudagar: "Jadi- kanlah permulaan siangmu bagi akhiratmu dan sesudahnya itu bagi duniamu!"
Adalah orang-orang shalih terdahulu menjadikan permulaan siang dan penghabisannya untuk akhirat dan pertengahannya untuk perniagaan. Dan tidaklah yang menjual harisah (makanan yang terbuat dari biji-bijian yang tertumbuk dan daging) dan kepala-kepala kambing pada pagi hari, selain dari anak-anak dan orang dzimmi (orang yang tidak Islam, dibawah naungan pemerintahan Islam). Karena orang-orang shalih itu berada dimasjid semuanya.


Dan pada hadits, tersebut: "Sesungguhnya malaikat apabila menaikkan tembaran amal hamba dan pada lembaran itu pada permulaan siang dan ; pada penghabisannya dzikir kepada Allah dan kebajikan, niscaya ditutup oleh Allah daripadanya diantara kedua waktu tadi, dari segala amal perbuatan jahat". (1).


Dan pada hadits, tersebut: "Berjumpalah malaikat malam dan siang ketika terbit fa jar dan ketika shalat 'Ashar, maka Allah Ta'ala berfirman dan la Mahatahu tentang mereka: "Bagaimanakah kamu meninggalkan hamba-hambaKu?"
Para malaikat itu menjawab: "Kami tinggalkan mereka, dimana mereka ltu sedang mengerjakan shalat dan kami datang kepada mereka dan merekapun sedang mengerjakan shalat".
1. Dirawikan Abu Yu'la dari Anas dengan sanad dla'if.
69


Maka Allah s.w.t. berfirman: "Aku naik saksi kepada kamu semua, bah- wa Aku telah mengampunkan segala dosa mereka". (1). Kemudian, manakala telah mendengar adzan pada tengah hari untuk Dhuhur dan 'Ashar, maka seharuslah tidak menambahkan pekerjaan dan terkejut ditempatnya. Dan hendaklah meninggalkan segala pekerjaan yang sedang dikerjakan. Maka apa yartg tertinggal dari keutamaan takbir perta­ma bersama imam pada permulaan waktu, tidak akan sama oleh dunia dengan isinya. Dan manakala tidak menghadiri shalat jama'ah, niscaya telah berbuat ma'siat, menurut setengah ulama.


Adalah ulama salaf bersegera ketika mendengar adzan. Dan meninggalkan toko-toko untuk anak-anak dan orang-orang dzimmi. Dan mereka mengeluarkan ongkos beberapa dirham untuk penjagaan toko pada waktu shalat. Sehingga yang demikian itu, menjadi penghidupan bagi orang-orang yang menjaga. Dan ada penafsiran firman Allah Ta'ala: "Tidak dila- laikan mereka oleh perniagaan dan jual beli daripada mengingati Allah" - S. An-Nur, ayat 37, bahwa adalah mereka itu tukang besi dan tukang melobangi dan menjahit kulit. Maka adalah seorang dari mereka, apabila mengangkat palu atau melobangi kulit yang hendak dilobangi, lalu mendengar adzan, niscaya ia tidak akan mengeluarkan kulit itu dari alat pelo- bang dan tidak akan menjatuhkan palu keatas besi. Dan terus melemparkannya dan tegak berdiri kepada shalat.


4. Bahwa tidak mencukupkan kepada itu saja, tetapi membiasakan berdzikir kepada Allah s.w.t. ditoko dan mengerjakan tahlil dan tasbih. Maka berdzikir kepada Allah ditoko, diantara orang-orang yang melupakannya. adalah lebih afdlal.


Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda: "Orang yang berdzikir kepada Allah dalam golongan orang-orang yang melupakannya, adalah seperti orang yang berperang dibelakang orang-orang yang lari dan seperti orang yang hidup diantara orang-orang yang mati". Dan pada kata-kata yang lain: "seperti pohon kayu yang hijau diantara yang kering".
Nabi صلى الله عليه وسلم . bersabda:
لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك وله الحمد يحيى ويميت وهو حي لا يموت بيده الخير وهو على كل شيء قدير
"Barangsiapa masuk kepasar, lalu membaca: "La ilaha i'lla'llah, wahdahu la syarika lah, lahu'l mulku wa lahu'l-hamdu yuhyi wa yumitu wa hua hayyun la yamutu bi yadihi'l-khairu wa hua'ala kulli syai-in qadir" (2), niscaya ditulis Allah baginya beribu-ribu kebajikan" Artinya: Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagiNya, milikNya seluruh kerajaan dan bagiNya segala puji, Dia Yang menghidupkan dan Yang mematikan dan Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu.
Adalah Ibnu Umar, Salim bin Abdullah, Muhammad bin Wasi" dan beberapa orang yang lain, masuk kepasar, dengan tujuan untuk memperoleh keutamaan dzikir tadi. Al-Hasan berkata: "Orang yang berdzikir kepada Allah dipasar, akan datang kepadanya pada hari kiamat. cahaya seperti cahaya bulan dan tanda seperti tanda matahari.
Dan barangsiapa meminta ampun kepada Allah dipasar, niscaya diampunkan oleh Allah baginya. menurut bilangan penduduk pasar itu", Adalah Umar r.a. apabila masuk kepasar, lalu membaca: "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari kekufuran
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
2.


حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ الضَّرِيرُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ مَوْلَى آلِ الزُّبَيْرِ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ حِينَ يَدْخُلُ السُّوقَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَبَنَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
Berkata Bisyr bin Mu'adz Adl Dlarir dari Hammad bin Zaid dari Amru bin Dinar -mantan budak keluarga Az Zubair- dari Salim bin Abdullah bin Umar dari Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ketika masuk pasar mengucapkan; "LAA ILAAHA ILLA AALLAHU WAHDAHUU LAA SYARIIKALAH LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYII WA YUMIITU WA HUWA HAYYUN LAA YAMUUTU BIYADIHIL KHAIRU WA HUWA 'ALAA KULLI SYAIIN QADIIR (Tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah semata, tidak ada serikat bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian, yang menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha hidup dan tidak akan mati. Di tangan-Nya segala kebaikan, Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu). Maka Allah akan menuliskan baginya satu juta kebaikan, dihapuskan darinya satu juta keburukan, dan Allah akan membangunkan baginya rumah di surga."- Sunan Ibnu Majah ( Di Nilai Hasan)
70


dan kefasiqan dan dari kejahatan apa yang dilingkungi oleh pasar. Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau daripada sumpah yang zalim dan dari ikatan penjual-belian yang merugi".
Abu Ja far Al-Farghani berkata: "Pada suatu hari kami berada disisi Al Junaid. Maka berlakulah dzikir dari orang-orang yang duduk dalam masjid. Mereka itu menyerupakan dirinya dengan kaum shufi. Dan menyingkatkan sekedar yang wajib diatas mereka dari hak duduk dimasjid dan mereka membusukkan orang-orang yang masuk kepasar. Lalu Al-Junaid berkata: "Berapa banyak orang yang dipasar, hukumnya ia memasuki masjid dan mengambil telinga setengah orang yang ada didalam masjid, lalu mengeluarkannya dan menduduki tempatnya. Dan sesungguhnya aku mengenai orang yang masuk kepasar dan wiridnya tiap-tiap hari tigaratus raka'at dan tigapuluh ribu tasbih".


Abu Ja'far menyambung seterusnya: "Lalu terdahululah kepada sangkaanku, bahwa yang beliau kehendaki, ialah dirinya sendiri". Maka begitulah kiranya, perniagaan orang yang berniaga untuk mencari yang mencukupkan. Bukan untuk bersenang-senang didunia. Maka sesungguhnya orang yang mencari dunia untuk memperoleh pertolongan dengan dunia itu, kepada akhirat, maka bagaimanakah ia meninggalkan keuntungan akhirat? Pasar, masjid dan rumah, baginya sama hukumnya. Dan sesungguhnya kelepasan itu adalah dengan taqwa. Nabi صلى الله عليه وسلم  . bersabda:
اتق الله حيثما كنت
(Ittaqillaahaa haitsu kunta). Artinya: "Bertaqwalah kepada Allah, dimana saja kamu berada!" (1). Tugas taqwa tidaklah terputus dari orang-orang yang menjuruskan hidupnya bagi agama, betapapun bertukarnya keadaan. Dan dengan taqwalah adanya kehidupan dan penghidupan mereka. Karena padanya mereka melihat perniagaan dan keuntungan. Ada ulama yang mengatakan: "Barangsiapa mencintai akhirat, niscaya hiduplah ia dan barangsiapa mencintai dunia, niscaya bodohlah dia. Orang yang dungu, maka berpagi dan bersorelah ia dalam kejatuhan. Dan orang yang berakal, adalah menyelidiki tentang kekurangan diri.


5. Bahwa tidaklah ia terlalu loba kepasar dan kepada perniagaan. Yang demikian, adalah dia itu orang yang pertama masuk dan orang yang peng- habisan keluar. Dia pergi menyeberang lautan untuk perniagaan. Keduanya itu, adalah makruh. Ada ulama yang mengatakan: "Sesungguhnya orang yang menyeberang lautan, telah menghabiskan tenaganya pada mencari rezeki. Dan pada hadits tersebut: "Janganlah lautan itu disebe- rangi, kecuali untuk hajji atau 'umrah atau perang".
1. Dirawikan At-Tirmidzi dari Abu Dzar dan dipandangnya. hadits shahih.
71


Abdullah bin Amr bin AI-'Ash r.a. berkata: "Janganlah engkau orang' yang pertama masuk kepasar dan orang yang penghabisan dari pasar! Karena dipasar itu, setan bertelur dan beranak".
Diriwayatkan dari Ma'az bin Jabal dan Abdullah bin 'Umar: "Bahwa Iblis berkata kepada anaknya Zalanbur: "Pergilah dengan segala pasukanmu.' datangilah orang-orang yang mempunyai toko! Hiasilah bagi mereka kebo- hongan, kesumpahan, penipuan, pendayaan dan pengkhianatan! Dan adalah engkau bersama orang yang permulaan masuk dan yang penghabisan keluar dari pasar itu!" Dan pada hadits, tersebut: "Sejahat-jahat tempat, adalah pasar dan sejahat-jahat penduduknya, ialah yang permulaan masuk dari mereka dan yang penghabisan keluar".
Dan untuk kesempurnaan penjagaan diri daripadanya, ialah memperhati- kan akan waktu kecukupan saja. Apabila waktu kecukupan itu telah ber- hasil, maka tinggalkan pasar itu dan pergilah bekerja dengan perniagaan akhirat.
Begitulah adanya orang-orang shalih terdahulu. Ada diantara mereka, apabila telah memperoleh, keuntungan satu daniq (seperenam dirham), lalu pergi, karena telah merasa cukup dengan demikian. Adalah Hammad bin Salmah menjual sutera dalam tas pada tangannya. Apabila ia telah beruntung seberat timbangan empat biji syair (seperdelapan dinar), maka ia mengangkat tasnya dan pergi.


Ibrahim bin Basysyar berkata: "Aku mengatakan kepada Ibrahim bin Adham r.a. bahwa aku lewatkan hari ini dengan bekerja pada tanah". Lalu Ibrahim menjawab: "Hai Ibnu-Basysyar! Sesungguhnya engkau itu mencari dan yang dicari. Engkau dicari oleh orang yang tidak engkau hilangkan dia dari ingatan engkau. Dan engkau mencari sesuatu yang te­lah engkau menganggap puas kepadanya. Apakah tidak engkau melihat orang loba yang tidak memperoleh apa-apa dan orang lemah yang mendapat rezeki?"Maka aku menjawab: "Sesungguhnya aku mempunyai satu daniq pada tukang sayur".


Lalu beliau berkata: "Aku amat merasa bangga dengan engkau. Engkau mempunyai satu daniq dan engkau mencari amal!" Dan ada dalam golongan mereka, orang yang pergi meninggalkan pasar sesudah Dhuhur. Dan sebagian dari mereka, sesudah 'Ashar. Dan sebagian dari mereka, ada yang tidak bekerja dalam seminggu, kecuali sehari atau dua hari. Dan mereka merasa cukup dengan yang demikian.


6. Bahwa tidak menyingkatkan sekedar menjauhkan yang haram saja, tetapi menjaga diri dari segala tempat syubhat dan tempat-tempat yang menimbulkan sangkaan keraguan. Dan tidak memandang kepada fatwa- fatwa tetapi mintalah fatwa kepada hati sendiri! Maka apabila ia mendapati dalam hatinya itu penyakit, niscaya ia jauhkan. Dan apabila dibawa kepadanya suatu barang, yang meragukannya tentang keadaan barang itu, niscaya ditanyakannya, sehingga dikenalnya. Kalau tidak, niscaya ia akanmakan syubhat.
72




"Sesungguhnya telah dibawa orang kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم . susu. Lalu beliau bertanya: "Dari manakah engkau memperoleh susu ini?" Shahabat itu menjawab: "Dari kambing!"
Maka Nabi صلى الله عليه وسلم  . bertanya lagi: "Dari manakah kamu memperoleh kambing itu?"


Lalu shahabat itu menjawab lagi: "Dari tempat anu!" Barulah Nabi صلى الله عليه وسلم . meminumnya, kemudian bersabda: "Sesungguhnya kami, para nabi, kami disuruh untuk tidak memakan, kecuali yang baik dan tidak berbuat, kecuali yang baik". (1).
Dan beliau menyambung: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menyuruh orang- orang mu'min, dengan apa yang disuruhNya rasul-rasul". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم  . membacakan ayat,:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
(Yaa ayyuhalladziina aamanuu kuluu min thayyibaati maa razaqnaakum). Artinya: "Hai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang Kami be- rikan kepadamu yang baik!" - S. Al-Baqarah, ayat 172. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم  . menanyakan tentang asal sesuatu dan asal dari asal itu dan beliau tidak lebihkan dari itu. Karena dibalik yang demikian, adalah sulit memeriksakannya. Dan akan kami terangkan nanti pada "Kitab Halal dan Haram" tempat wajibnya pertanyaan ini. Karena Nabi صلى الله عليه وسلم  . tidaklah menanyakan tentang semua yang dibawakan kepadanya. (2). Sesungguhnya yang wajib, ialah saudagar itu memperhatikan akan orang yang melakukan mu'amalah dengan dia. Maka tiap-tiap orang yang dise- but zalim atau khianat atau mencuri atau berbuat riba, maka janganlah melakukan mu'amalah dengan orang tersebut. Dan begitu pula tentara dan orang-orang zalim, tidaklah melakukan sekali-kali mu'amalah dengan mereka. Dan tidak melakukan mu'amalah dengan teman-teman dan pcm- bantu-pembantu mereka. Karena dengan demikian ia telah menolong kepada kezaliman. (3).


Diceriterakan dari seorang laki-laki yang ditugaskan membangun tembok untuk suatu benteng pertahanan, dimana orang laki-laki itu bcrceritera .seterusnya: "Lalu terjadilah dalam hatiku sesuatu dari yang demikian itu, walaupun perbuatan itu termasuk perbuatan yang baik. Bahkan termasuk sebagian dari yang fardlu dalam Islam. Tetapi amir yang memerintah pada tempat bepteng tersebut, adalah dari orang zalim".


1. Dirawikan Ath-Thabrani dari Ummu Abdillah dengan sanad dla'if.
2. Dirawikan Ahmad dari Jabir.
3. Diterangkan tidak melakukan muamalah dengan tentara itu menumjukkan akan suasana ketenteraman waktu itu. Tentu tidak dengan tentara yang berdisiplin seperti tentura- tentara pada masa modern ini. (Pent.)
73


Laki-laki tadi meneruskan ceriteranya: "Lalu aku bertanya kepada Sufyan r.a. Maka Sufyan menjawab: "Janganlah engkau menjadi penolong mereka. baik sedikit atau banvak!"
Maka aku menjawab: "Itu. adalah benteng pada sabilu'llah bagi orang muslimin".
Sufyan menjawab: "Ya, benar! Tetapi sekurang-kurangnya yang akan masuk kepadamu. ialah kamu ingin tetapnya mereka. Supaya sempurnalah kamu memperoleh pahala bagimu. Maka adalah kamu telah meneintai tetap bersama orang yang berbuat ma'siat kepada Allah. Dan telah datang pada hadits: "Barangsiapa berdo'a bagi orang zalim dengan tetapnya, maka sesungguhnya ia menyukai berbuat ma'siat kepada Allah dibumiNya". Dan pada hadits. tersebut: "Sesungguhnya Allah marahi, apabila dipuji- kan orang fasiq". Dan pada hadits lain, tersebut: "Barangsiapa memulia- kan orang fasiq. maka sesungguhnya ia telah me no long meruntuhkan Islam".
Sufyan masuk ketempat Al-Mahdi dan ditangannya lembaran putih. Lalu Al-Mahdi berkata: "Hai Sufyan! Berilah kepadaku tinta, sehingga aku menulis".
Sufyan bertanya: "Terangkanlah kepadaku. apakah yang akan engkau tulis! Kalau yang akan ditulis itu benar. niscaya aku berikan kepadamu". Sebahagian amir meminta kepada sebahagian ulama yang terpenjara padanya. untuk memberikan kepadanya tanah liat. Karena ia akan mencap kitab dengan tanah liat itu.
Maka ulama itu menjawab: "Perlihatkanlah lebih dahulu kitab itu kepadaku, sehingga dapat aku melihat isinya!"

Maka begitulah kiranya mereka menjaga diri daripada memberi pertolong- an kepada orang-orang zalim. Dan mengadakan mu'amalah dengan mereka, adalah yang lebih berat, bagi segala macam perbantuan. Maka seharuslah bantuan itu dijauhkan oleh orang-orang yang beragama, selama masih memperoleh jalan keluar.


Kesimpulannya, maka seharuslah bahwa manusia itu terbagi padanya, kepada orang yang akan dilakukan mu'amalah dan orang yang tidak akan dilakukan mu'amalah. Dan hendaklah ada orang yang akan dilakukannya mu'amalah itu, lebih sedikit dari orang yang tidak akan dilakukannya mu'amalah, pada masa sekarang ini. Sebahagian ulama berkata: "Telah datang kepada manusia suatu zaman. dimana orang laki-laki masuk kepa­sar dan bertanya: "Siapakah yang engkau lihat untukku dari manusia* untuk aku melakukan mu'amalah dengan dia?"


Lalu orang menjawab kepadanya: "Lakukanlah mu'amalah itu dengan si- apa saja yang engkau kehendaki!" Kemudian, datang kepada manusia zaman yang lain, dimana mereka itu berkata: "Lakukanlah mu'amalah dengan siapa saja yang engkau kehendaki, kecuali si Anu dan si Anu!" Kemudian datang zaman yang lain lagi, maka dikatakan kepadanya: "Janganlah engkau melakukan mu'amalah dengan seorangpun, selain si
74
Anu dan si Anu! Dan aku takut akan datang zaman, yang akan hilang ini pula".


Seolah-olah adalah yang ditakutinya akan terjadi, ialah: إنا لله وإنا إليه راجعون (Innaa li'llaahi wa innaa ilaihi raajiuun).Artinya: "Sesungguhnya kita ini kepunyaan Allah dan sesungguhnya kita kembali kepadaNya".


7. Seharuslah mengawasi dalam segala perlakuan mu'amalahnya dengan seseorang dari orang-orang yang melakukan mu'amalah dengan dia. Karena sesungguhnya dia itu yang mengawasi dan yang menghitung amalan diri. Maka hendaklah menvediakan jawaban bagi hari perkiraan amal dan penyiksaan, dalam tiap-tiap perbuatan dan perkataan, mengapakah ia tampil mengerjakannya dan karena apa. Sesungguhnya dikatakan, bahwa disuruh berdiri sebentar saudagar itu pada hari kiamat berserta tiap-tiap orang yang telah dijualkannya kepada orang itu sesuatu. Dan diperkirakan dari tiap-tiap seseorang menurut kiraan sebanyak orang yang bermu'ama- tah dengan dia.


Berkata setengah mereka: "Aku bermimpi berjumpa dengan setengah saudagar, lalu aku tanyakan: "Apakah diperbuat oleh Allah kepadamu?" Saudagar itu menjawab: "Dibukakan kepadaku limapuluh ribu halaman, lalu aku bertanya: "Ini semuanya dosa?"


Lalu dijawab: "Ini adalah mu'amalah manusia sebanyak bilangan orang yang engkau adakan mu'amalah dengan dia didunia. Masing-masing orang mempunyai lembaran tersendiri, diantara engkau dan dia, dari permulaan mu'amalahnya, sampai kepada penghabisan".


Maka inilah berdasarkan apa yang diusahakan pada amal-perbuatan dari keadilan, ke-ihsan-an dan ke-kasih-sayangan kepada agama. Kalau dising- katkannya kepada keadilan saja, maka ia termasuk orang yang shalih. Dan kalau ditambahkannya kepada keadilan itu akan ihsan, maka ia ter­masuk orang yang muqarrabin. Dan kalau dijaganya pula bersama itu akan segala tugas agama, sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab Kelima, niscaya ia termasuk orang yang shiddiq.
Wallahu A'lam bi'sh-shawab! Dan Allah Mahatahu dengan yang benar! Telah tammatlah kiranya "Kitab Adab Perusahaan dan Penghidupan" dengan pujian kepada Allah dan keni'matanNya.
75

Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...