Adab Uzlah


KITAB ADAB AL UZLAH ( Pengasingan Diri)J2K06

كتاب آداب العزلة

وهو الكتاب السادس من ربع العادات من كتب إحياء علوم الدين

بسم الله الرحمن الرحيم

Iaitu kitab Keenam Dari Rubu Adat Kebiasaan Dari kitab Ihya Ulumuddin

Segala pujian bagi Allah yang amat membesarkan nikmat kepada makhluq-Nya yang terbaik dan terbersih, dengan Ia memalingkan seluruh cita-cita mereka kepada berjinak-jinakan dengan Dia. Ia membanyakkan bahagian mereka daripada bersenang-senangan dengan menyaksikan segala nikmat dan kebesaran-Nya. Ia menyenangkan bathin (asrar) mereka dengan bermunajah (berbisik-bisik) dari berlemah-lembutan dengan Dia.

Ia menghinakan dalam hati mereka untuk melihat kepada harta benda dan kembang dunia. Sehingga bergembiralah dengan 'uzlah itu tiap-tiap orang yang telah terlipatlah hijab (tabir) dari tempat jalan pemikirannya. Maka ia merasa jinak tentram, dengan memba- ca tasbih-tasbih (pujian-suci) bagi wajah-Nya Ta'ala, dalam tempat kesunyiannya. Dan dengan demikian, ia merasa liar hatinya dari " berjinak-jinakan dengan manusia walaupun manusia itu dari yang terkhusus dari yang khusus bagi Allah Ta'ala. Dan shalawat kepada penghulu kita Muhammad, penghulu Nabi-Nabi-Nya dan orang pilihan-Nya. Dan kepada para keluarga dan para shahabatnya, peng­hulu dan imam kebenaran.

Kemudian dari itu, maka sesungguhnya manusia mempunyai ba­nyak perbedaan pendapat tentang pengasingan, diri (al-'uzlah) dan percampur-bauran (at-mukhalatah) dan pengutamaan salah satu daripada keduanya terhadap yang lain, serta masing-masing dari yang dua itu, tidaklah terlepas daripada marabahaya-marabahaya yang harus dijauhi daripadanya dan faedah-faedah yang membawa kepadanya, serta kecondongan kebanyakan hamba dan orang zahid kepada memilih al-'uzlah dan mengutamakannya daripada bercam- pur-bauran (al-mukhalathah). Dan apa yang telah kami sehutkan dahulu pada Kitab Berteman tentang keutamaan bercampur-bauran, persaudara-saudaraan dan berjinak-jinakan, hampirlah kiranya ber- tentangan dengan apa yang telah condong kebanyakan manusia kepadanya. Yaitu : memilih keliaran hati dari orang bariyak dan memilih kesepian.
446

447

448
449
MENYEBUTKAN DALIL-DALIL ORANG-ORANG YANG CEN­DERUNG KEPADA AL-MUKHALATHAH DAN JALAN LEMAH- NYA DALIL-DALIL ITU  ;
450
 (1)     Hadits ini telah disebutkan dahulupada bab pertama dari adab Pershahabatan.
(2)      Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
451
(1)       Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Khaththabi dari Ibnu Abbas dengan sanad baik.
(2)      Dirawikan Abu Dawud dari Abu Hurairah dengan isnad shahih.
(3)      Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas.
(4)  Dirawikan Abu Dawud dari Abu Kharrasy As-Silmi, isnad shahih.
452
(1)
Dirawikan Abu Dawud dari 'A-isyah.
(2)
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim.
(3)
Dirawikan Ibnu 'Uda ddn katanya : bunyi hadits dan isnadnya gharib (tidak texkmal).
(1)      Dirawikan Al-Baihaqi dari'As'as bin Salamah.
(2)      Dirawikan At-Tirmidzi dan Al-Hakim, katanya : hadits baik Han shahih.
(3)      Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dan orang-orang perawinya kepercayaan.
454
 (1)     Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu 'Amr-dla'if.
(2)     Dirawikan Al-Azraqi dari Ibnu 'Abbas, dengan sanad daif.
456
(1)      Dirawikan Musa bin 'Uqbah dari Ibnu Syihab, hadits mursal.
(2)     Diiawikan At-Tirmidzi dari *Uqbah( katanya hadits baik (hasan).
457
(1)      Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Said Al-Khudri.
(2)      Dirawikan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqqash.
(3)      Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Maiah dari Ibnu 'Umar.
458
(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Ummu Mubasysyir.
459
460
 (1) Dirawikan AlBukhari dan Muslim dari 'Aisyah.
461
(1) Dirawikan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
462
463
(1) Bermusyawarah dapat diartikan menurut bahasa  bertetangga dan bergaul rapat Tentu saja di sini dalam pengertian dan istilah para kaumabid dan shufi (Peny.).
464
465
466
467
(1)    Dirawikan At-Tirmidzi dan lain-lain. Kata A t-Tirmidzl’ hadits ini hasan shahih.
(2)    Dirawikan Ibnu Majah dari Abu Sa’id Al-Khudri. dengan isnad baik.
468
469
(1)      Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
(2)     Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
470
471
472
473

(1)
Yaitu : Husain bin Saidina 'Ali, ibunya Fatimah, puteri Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Tegasnya : Husain itu cucu Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(2)
Riwayat ini terkenal dalam sejarah, bahwa Saidina Husain ra. setelah menerima jabatan khalifah, lalu menuju Irak karena mendapat dukungan dan surat tanda kesetiaan dari penduduknya. Ibnu 'Umar ra. melarang sampai beliau berjalan me nyusulinya sejauh tiga hari perjalanan. Tetapi Saidina Husain meneruskan juga perjalanan itu. Akhirnya beliau ditinggalkan oleh orang banyak dan datanglah tentara Bani Uraaiah dari negeri Syam, sampai beliau terbunuh bersama keluarga nya, dalam suatu peristiwa sedih yang penuh ratap tangis, yang selalu diperingati sampai sekarang oleh golongan Syi'ah khususnya (pengikut 'Ali ra.). Kami telah berkunjung tempat tersebut, tempat Saidina Husain dan keluarganya dibunuh, pada tahun 1969. Nama tempat itu, ialah : Karbala. Amat terharu kita melihatnya, demi melihat kaum Syi 'ah, menangisi Husain di tempat tersebut, yang sudah dibuat demi­kian rupa, dengan batu peringatan, yang tampak merah berlumuran darah. (Pent.).
475
 (1) Menurut AlIraqi ini bukan hadits, tetapi ucapan Sufyan bin 'Uyaynah — demikian diriwayatkan Ibnul Juzi.
476
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa.
477
(1) Dirawikan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, sanad dla'if.
478
479
(1)       Sebagai isyarat sangatnya percampurrbauran. (Peny.).
(2)      Dirawikan Abu Dawud dan An-Nasa-i, dengan isnad baik.
480
(1)       Diiawikan Al-Bukhari dari Abu Sa 'id Al-Khudri.
(2)      Hadits.ini sudah diterangkan dulu pada bab nikah.
481
(1) Dirawikan Abu Dawud dan Al-Khathtbabi.
482 –
(1) Maksudnya : mengucapkan : "Selamat pagi! Apa kabar" ganti "Assalaamu'alai- kum". (Pent.).
483
484
485
486
487
488
489
1. Dirawikan Muslim dan Abu Hurairah.
490
491
492
493
494
 (1) Dirawikan Muthayyan dari 'Ali bin Abi Thalib dengan sanad dla'if.
495
496
497
498
499

500
501

 (1) Hadits ini sudah dibicaxakan dahulu.
502
(1)                Hadits ini sudah dipaparkan pada "Adab bershahabat".
503
504
505
(1) Dirawikan Abu Yu'la dari Abu Hurairah dengan sanad dla'if

506

507
(1) Petikan dari Al-Qur-an Suci S. Az-Zumar, ayat 26.
508
509
510
 (1) Hadits ini telah diterangkan dahulu pada "Bab Ilmu".
511
512
513
514
515
(1) Dirawikan Al-Hakim dari Fudlalah bin 'Ubaid dan dipandangnya shahih.
516



Maka menyingkapkan tutup dari kebenaran pada yang demikian itu adalah penting. Dan yang demikian itu berhasil dengan meng gambarkan dua bab :
Bab Pertama: tentang menukilkan aliran-aliran (madzhab-madzhab) dan dalil-dalil (hujjah-hujjah) mengenai yang demikian.
Bab Kedua : tentang menyingkapkan tutup dari kebenaran dengan membatasi faedah-faedah dan marabahaya-marabahaya.

bab pertama: Tentang mehukilkan ucapan ucapan dan menyebutkan dalil dari kedua golongan pada yang demikian itu.

Adapun aliran-aliran (madzhab-madzhab), maka terdapatlah perbedaan paham orang banyak padanya. Dan perbedaan paham ini jelas diantara tabi'in (para pengikut shahabat atau angkatan sesudah para shahabat). Yang beraliran kepada memilih al-'uzlah dari mengutamakan al-'uzlah daripada al-mukhalathah, ialah : Sufyan Ats-Tsurij Ibrahim bin Adham, Daud Ath-Tha-i, Fudlail bin 'Iyadl, Sulaimari Al-Khawwash, Yusuf bin Asbath, Hudzaifah Al-Mar'asyi dan Bisyr Al-Hafi.

Kebanyakan tabi'in berkata : sunatnya al-mukhalathah, membanyakkan kenalan dan teman, berjinak-jinakan hati dan berkasih- sayang dengan orang mu'min, meminta pertolongan kepada mereka tentang agama, karena bertolong-tolongan di atas kebajikan dan taqwa. Dan yang condong kepada aliran ini ialah : Sa'id bin Al- Musayyab, Asy-Sya'bi, Ibnu Abi Laila, Hisyam bin 'Urwah,Ibnu Syibrimah, Syuraih, Suraik bin Abdillah, Ibnu 'Uyainah, Ibnu Mu­barak, Asy-Syafi'i, Ahmad bin Hambal dan banyak lagi. Kata-kata yang dinukilkan dari ulama-ulama terbagi kepada kata-kata mutlaq, yang menunjukkan atas cenderungan kepada salah satu dari dua pendapat itu. Dan kepada : kata-kata yang disertai dengan apa yang menunjukkan kepada sebab dari kecenderung an itu

Marilah kami nukilkan sekarang kata-kata mutlaq itu, untuk mene­rangkan aliran-aliran padanya. Dan apa yang disertai dengan menyebutkan sebab (ilahi), akan kami bentangkan nanti ketika memperkatakan marabahaya dan faedah-faedahnya. Sekarang kami bentangkan!.

Diriwayatkan dari 'Umar ra. bahwa beliau mengatakan : "Ambillah bahagian dari al'uzlah!".
Ibnu Sirin berkata : "Al-'uzlah itu 'Ibadah!".
Al-Fudlail berkata : "Mencukupilah mencintai Allah saja, berjinak-jinakan dengan Al-Qur-an dan mengambil pengajaran dengan mati!"
Ada yang mengatakan : "Ambillah Allah itu teman dan tinggalkanlah manusia itu di samping!".


Abur-Rabi' Az-Zahid berkata pada Daud Ath-Tha-i : "Berilah kepadaku pengajaran!".
Daud Ath-Tha-I menjawab : - 'Puasalah dari dunia;jadikanlah pembukaanmu akherat dan larilah daripada manusia seperti larimu dari singa!".
Al-Hasan ra. berkata : "Kalimat-kalimat yang aku hafal dari Taurat, yaitu : merasa cukuplah anak Adam itu dengan apa yang ada (bersifat al-qana'ah), maka menjadi kayalah dia. Ia mengasingkan diri dari manusia, maka selamatlah dia. Ia meninggalkan nafsu syahwat, maka menjadi merdekalah dia. Ia meninggalkan sifat dengki, maka lahirlah sifat memelihara kehormatan diri (sifat muru-ah). Dan ia bersabar sedikit, maka merasa senanglah ia pada masa yang panjang".

Wahib bih Al-Ward berkata : "Sampai kepada kami bahwa hikmat itu sepuluh bahagian. Sembilan bahagian daripadanya itu pada berdiam diri. Dan yang kesepuluh pada mengasingkan diri daripada manusia".

Yusuf bin Muslim berkata kepada-'Ali bin Bakkar : "Alangkah sabarnya engkau sendirian!". Dan 'Ali bin Bakkar itu selalu di rumah.

Maka 'Ali bin Bakkar itu menjawab : "Adalah aku, sewaktu masih seorang pemuda, lebih banyak lagi sabar dari ini. Aku duduk-duduk bersama orang banyak dan tidak bercakap-cakap dengan mereka".

Sufyan Ats-Tsuri berkata :  'Inilah waktu diam dan terus-menerus di rumah!".

Setengah mereka berkata : "Adalah aku dalam sebuah kapal dan bersama kami seorang pemuda dari keturunan Saidina 'Ali ra. Maka ia berdiam bersama kami tujuh hari. Tiada kami mendengar sepatahpun dari perkataannya. Lalu kami bertanya kepadanya : "Hai saudara! Sesungguhnya kami dan engkau telah dikumpulkan oleh Allah semenjak semingu lamanya. Kami tiada melihat engkau bercampur-baur dengan kami dan tiada berkata-kata dengan kami!". Lalu pemuda itu bermadah :

Sedikit kesusahan,
tak ada anak yang meninggal,
tak ada urusan yang ditakuti akan hilang.........
Sudah ia menunaikan hajat semasa kecil,
telah memfaedahkan pengetahuannya,
maka kesudahannya seorang diri dan diam . . .


Ibrahim An-Nakha-'i berkata kepada seorang laki-laki : "Carilah ilmu fiqh. Kemudian ber-'uzlahlah!". Begitu pula kata Ar-Rabi' bin Khaitsam.



Ibrahim An-Nakha-'i berkata kepada seorang laki-laki : "Carilah ilmu fiqh. Kemudian ber-'uzlahlah!". Begitu pula kata Ar-Rabi' bin Khaitsam.
Ada yang mengatakan, bahwa Malik; bin Anas menghadliri janazah, mengunjungi orang sakit dan memberikan kepada teman-temannya. akan hak-hak mereka. Maka ditinggalkannya yang demikian itu satu demi satu. Sehingga ditinggalkannya semuanya. Dan ia menga­takan : "Tiadalah tersedia bagi manusia untuk menerangkan semua halangan yang ada padanya".
Ada orang yang mengatakan kepada Khalifah 'Umar bin 'Abdil 'Aziz : "Jikalau dapatlah kiranya engkau memberi kelapangan waktu bagi kami!".
Maka beliau menjawab : "Telah hilanglah kelapangan waktu itu. Maka tiada kelapangan waktu lagi, selain pada sisi Allah Ta'ala" Al-Fudlail berkata : "Sesungguhnya aku memperoleh kebaikan seorang laki-laki padaku, apabila ia bertemu dengan aku, bahwa ia tiada memberi salam kepadaku! Dan bahwa apabila aku sakit, bahwa ia tiada mengunjungi aku".

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata : "Di waktu Ar-Rabi' bin Khai- tsam duduk di pintu rumahnya, tiba-tiba datanglah sebutir batu, lalu memukulkan dahinya dengan keras dan melukakannya. Maka beliau menyapu darahnya dan berkata : "Sesungguhnya engkau telah diberi pengajaran, wahai Rabi'!". Lalu beliau bangun dan masuk rumahnya. Dan sesudah itu tiada lagi beliau duduk pada pintu rumahnya, sehingga janazahnya dikeluarkan dari rumah itu". Sa'ad bin Abi Waqqash dan Sa'id bin Zaid selalu tinggal di rumahnya di Al-'Aqiq. Keduanya tidak datang ke Madinah untuk Jum'at dan lainnya, sampai keduanya meninggal di Al-'Aqiq. Yusuf bin Asbath berkata : "Aku mendengar Sufyan Ats-Tsuri berkata : "Demi Allah, yang tiada disembah, melainkan Dia! Sesungguhnya telah halal-lah al-'uzlah".

Bisyri bin 'Abdillah berkata : "Sedikitkanlah berkenalan dengan manusia! Sesungguhnya engkau tiada mengetahui, apa yang akan ada pada hari qiamat. Jikalau engkau dalam keadaan yang buruk, niscaya yang mengenai engkau itu sedikit".

Sebahagian daripada amir masuk ke tempat Hatim Al-Ashaemx, Lalu amir itu bertanya kepada Hatim : "Adakah tuan mempunyai Hajat keperluan?".
Hatim menjawab : "Ada!". "Apakah hajat itu?", tanya amir tadi.
Hatim itu menjawab : "Bahwa engkau tiada melihat aku dan aku tiada melihat engkau dan engkau tiada mengenai aku".

Seorang laki-laki berkata kepada Sahl : "Aku ingin menemani engkau!' Lalu Sahl menjawab : "Apabila mati salah seorang dari kita, maka siapakah temannya yang penghabisan?". Laki-laki itu menjawab : ALLAH!".
Lalu Sahl menyambung : "Maka hendaklah ia berteman dengan Allah itu dari sekarang!".

Ada orang yang mengatakan kepada Al-Fudlail: "Bahwa 'Ali anak­mu mengatakan : "Sesungguhnya aku ingin bahwa aku berada pada suatu tempat, di mana aku melihat manusia dan manusia tiada melihat aku".
Maka menangislah Al-Fudlail dan berkata : "Wahai kiranya Ali Apakah tidak aku sempurnakan kata-kata itu?". Lalu beliau menyambung: "Aku tiada melihat mereka dan mereka pun tiada melihat aku".
Al-Fudlail berkata pula : "Dari kelemahan akal seseorang, ialah ba­nyak kenalannya".

Ibnu Abbas ra. berkata : "Tempat duduk yang lebih utama, ialah di tengah-tengah rumahmu sendiri. Tiada engkau melihat dan tiada engkau dilihat".Maka inilah ucapan orang-orang yang cenderung kepada pengasing an diri (al-'uzlah).


Mereka berdalilkan dengan firman Allah Ta'ala :
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا
(Wa laa takuunuu kalladziina tafarraquu wakhtalafuu). Artinya : "Dan janganlah kamu serupa dengan orang-orang yang telah berpecah-belah dan berselisih". (S. Ali 'Imran, ayat 105).

Dan dengan firman Allah Ta'ala :

فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ
(Fa-allafa bai-na quluubikum) =Artinya : "Maka dipersatukannya hatimu (dalam agama Allah)". (S. 'Ali 'Imran, ayat 103), Allah menganugerahkan nikmat kepada manusia dengan sebab persatuan hati itu. Dalil ini adalah lemah. Karena yang dimaksudkan dengan berpecah belah dan berselisih itu, ialah berpecah belah pendapat dan berselisih aliran (madzhab) tentang pengertian Kitab Allah dan pokok- pokok syari'at.


Yang dimaksudkan dengan persatuan hati ialah mencabut marabahaya dari dada iaitu sebab yang mengobarkan fitnah dan yang menggerakkan permusuhan. Dan al-'uzlah tidaklah meniadakan yang demikian. Dan mereka berdalilkan dengan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :
المؤمن إلف مألوف ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف
(Al-mu'minu ilfun maMuufun walaa khaira fiiman laa ya'-lafu wa- laa yu'-lafu).
Artinya: "Orang mu‘min itu bersatu lagi dipersatukan hatinya (menjinakkan lagi dijinakkan hatinya). Dan tak ada kebajikan pada orang yang tidak berjinak dan tidak dijinakkan hatinya (tidak ber­satu dan dipersatukan hatinya)(1)


Dan dalil ini juga lemah, karena hadits tadi menunjukkan kepada tercelanya keburukan akhlaq, yang tercegah dengan sebab buruk itu, jinak-berjinakan hati. Dan tidaklah termasuk di dalamnya, orang yang berakhlaq bagus, di mana kalau ia bercampur-baur, niscaya berjinak menjinakkan hati. Tetapi ia meninggalkan percampur-bauran itu, karena mengurus dirinya sendiri dan mencari keselamatan dari gangguan prang lain.                                            


Dan mereka berdalilkan dengan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : "Barangsiapa bercerai dari orang ramai sejengkal, niscaya dibukakan tali Islam dari lehernya

Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
من فارق الجماعة شبرا خلع ربقة الإسلام من عنقه وقال من فارق الجماعة فمات فميتته جاهلية
(Man faa-raqal jamaa-'ata famaata famai-tatuhu jaahiliyyah). Artinya : "Barangsiapa bercerai dari orang ramai, lalu ia meninggal, maka matinya itu adalah mati jahiliyah". (2).




Dan dengan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  
من شق عصا المسلمين والمسلمون في إسلام دامج فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه
(Mansyaqqa 'ashal muslimiina wal muslimuuna fii islaamin d-amijin faqad khala-'a ribqatal islaami min 'unuqih).kaum muslimin itu dalam Islam yang gelap, maka sesungguhnya dibukakan tali Islam dari lehernya" (1)


Dalil ini lemah, karena yang dimaksud dengan hadits tadi, ialah orang ramai (jama'ah) yang telah sepakat pendapat mereka atas seseorang imam dengan mengikatkan bai'ah (janji setia dan tunduk). Maka keluar dari kesepakatan itu, adalah melawan imam (memberontak kepada penguasa yang telah disepakati). Dan itu adalah menyalahi pendapat orang banyak dan keluar dari orang ramai. Dan itu dilarang. Karena rakyat memerlukan kepada seorang imam yang dita'ati, yang mengumpulkan pendapat mereka. Dan tidak ada yang demikian, kecuali dengan bai'ah dari golongan yang terbanyak. Maka menyalahi bai'ah, adalah pengacauan yang mengobarkan fitnah. Dan tidaklah pada dalil ini penyinggungan kepada al-'uslah (perigasingan diri).

Dan juga mereka berdalilkan dengan larangan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  daripada tidak bercakap-cakap di atas tiga hari, karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
عن الهجر فوق ثلاث إذ قال من هجر أخاه فوق ثلاث فمات دخل النار (Man hajara akhaahu fauqa tsalaa-tsin famaata dakhalan-naar). Artinya : "Barangsiapa tiada bercakap-cakap dengan saudaranya di-atas tiga hari, lalu ia meninggal, niscaya masuk neraka". (2)

Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : لا يحل لامرئ مسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاث والسابق بالصلح يدخل الجنة
"Tiada halal bagi manusia muslim tiada bercakap-cakap dengan saudaranya di atas tiga hari dan yang dahulu berdamai akan masuk sorga". (3)

Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : "Barangsiapa tiada bercakap-cakap de­ngan saudaranya setahun, maka dia adalah seperti orang yang menumpahkan darah saudaranya itu (membunuh)". (4) Mereka itu mengatakan, bahwa al-'uzlah itu meninggalkan bercakap-cakap secara keseluruhan.

Dalil ini adalah lemah. Karena yang dimiksudkan dengan hadits yang tersebut tadi, ialah marah kepada orang banyak. Dan kedengkian kepadanya, dengan memutuskan bercakap-cakap, memutuskan memberi salam dan percampur-bauran yang dibiasakan. Maka tidak­lah masuk ke dalamnya sekali-kali meninggalkan percampur-bauran tanpa marah, sedang tidak bercakap-cakap di atas tiga hari itu diperbolehkan pada dua tempat:

Pertama Bahwa ia melihat pada tiada bercakap itu menambah perbaikan bagi yang tiada dicakapi.
Kedua  Bahwa ia melihat bagi dirinya sendiri keselamatan pada tiada bercakap-cakap itu. Dan larangan itu walaupun bersifat umum, adalah dirempatkan dibalik dua tempat yang dikhususkan itu, berdalilkan apa yang diriwayatkan dari 'A-isyah ra. : "Bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  tiada bercakap-cakap dengan dia ('A-isyah ra.) pada bulan Zul-hijjah, bulan Muharram dan setengah bulan Safar". (1)

Diriwayatkan dari 'Umar ra. : "Bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ber'uzlah (mengasingkan diri) dari isteri-isterinya dan beliau bersumpah daripada mereka, sebulan lamanya. Beliau naik ke kamarnya dan kamar itu adalah tempat beliau menyimpankan segala sesuatu (khazanah). Maka tetaplah beliau di situ dua puluh sembilan hari. Tatkala beliau turun, lalu orang menanyakan kepadanya : "Sesungguhnya engkau di kamar itu dua puluh sembilan hari".Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Sebulan, kadang-kadang sebulan itu dua puluh sembilan hari lamanya". (2)

A-isyah ra. meriwayatkan, bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : "Tiada halal bagi muslim, tiada bercakap-cakap dengan saudaranya di atas tiga hari, kecuali saudaranya itu termasuk orang yang tidak dirasa aman dari kejahatannya ". (3)

Maka hadits ini tegas mengkhususkan yang umum itu. Dan di atas dasar ini, diletakkan kata Al-Hasan ra., di mana beliau mengatakan : "Tiada bercakap-cakap dengan orang dungu itu adalah mendekatkan diri kepada Allah. Karena yang demikian itu berkekalan sampai mati. Sebab kedunguan tiadalah ditunggukan obatnya".

Dan disebutkan, pada Muhammad bin 'Umar Al-Waqidi, seorang laki-laki yang tidak mau bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang lain, sehingga laki-laki itu meninggal. Maka Muhammad bin 'Umar Al-Waqidi menjawab : "Ini adalah perkara yang telah terdahulu padanya orang banyak, yaitu : Sa'ad bin Abi Waqqash tidak bercakap-cakap dengan 'Ammar bin Yasir, sampai ia meninggal. Ustman bin Affan tidak bercakap-cakap dengan Abdur Rahman bin 'Auf. 'A-isyah tidak bercakap-cakap dengan Hafsah. Dan Thaus tidak bercakap-cakap dengan Wahab bin Munabbih, sampai kedua­nya meninggal".

Semunya  itu menurut pendapat mereka membawa kepada keselamatan dengan tidak' bercakap-cakap.
Dan mereka berdalilkan dengan apa yang diriwayatkan : "Bahwa seorang laki-laki datang ke bukit untuk beribadah. Lalu orang itu dibawa kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : Janganlah engkau dan seorangpun daripada engkau, berbuat demikian! Sesungguhnya bersabar seseorang kamu pada setengah negeri Islam, adalah lebih, baik baginya daripada beribadah seorang kamu seorang diri, empat puluh tahun". (1)

Secara dzahir, bahwa ini adalah karena padanya meninggalkan jihad, serta sangat wajibnya jihad itu pada permulaan Islam, dengan dalil yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah, yang mengatakan : "Kami berperang bersama Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Maka kami melalui suatu kaum, di mana padanya ada mata air yang bagus aimya. Lalu seorang dari kaum itu, berkata: 'Jikalaulah aku mengasingkan diri dari manusia ramai! Dan aku tidak berbuat demikian, sehingga aku terarigkan kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ".

Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : "Jangan engkau berbuat yang demikian! Sesungguhnya kedudukan seorang kamu pada perang sabilullah adalah lebih baik daripada shalatnya dalam keluarganya, enam puluh tahun. Apakah kamu tidak menyukai bahwa, Allah mengampunkan dosamu dan kamu masuk ke sorga? Berperanglah, pada sabilullah! Sesungguhnya barangsiapa berperang pada sa­bilullah di atas unta, niscaya ia dimasukkan Allah ke sorga*'. (2)

Dan mereka mendalilkan pula dengan apa yang diriwayatkan Mu'az bin Jabal, bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : "Sesungguhnya syaitan itu, serigala bagi manusia, seperti serigalanya kambing, yang mengambil kambing yang jauh, yang terpencil di suatu sudut dan yang lari dari kumpulannya. Jauhilah berpecah-belah (berfirqah-firqah) dan haruslah kamu dengan rakyat umum, dengan orang banyak (dengan jama'ah) dan dengan masjid!". (3)

Dan dimaksudkan dengan ini, ialah orang yang mengasingkan diri sebelum sempurna pengetahuannya. Dan akan datang keterangan yang demikian dan yang demikian itu dilarang, kecuali karena darurat.




MENYEBUTKAN DALIL-DALIL ORANG-ORANG YANG CENDERUNG KEPADA MENG UTAMA KAN AL-'UZLAH (MENGASINGKAN DIRI)

Mereka itu mengambil dalil dengan firman Allah Ta'ala, yang menceriterakan tentang Nabi Ibrahim as.:
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا
(Wa a'-tazilukum wamaa tad-uuna minduunillaahi wa ad-'uu rabbii asaa allaa akuuna bidu- 'aa-i rabbii syaqiyyaa). Artinya : "Dan aku akan menghindar dari kamu dan dari apa yang kamu sembah; selain dari Allah dan aku memohon kepada Tuhan­ku, mudah-mudahan aku dalam memohonkan do'aku itu tiadalah menjadi orang yang tidak beruntung". (S. Maryam, ayat 48).


Kemudian Allah Ta'ala berfirman .:-
فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلا جَعَلْنَا نَبِيًّا
(Fa-lamma'-tazalahum wa maa ya'-buduuna min duulillaahi wa- habnaa lahuu ishaaqa wa ya*-quuba wa kullan ja-'alnaa nabiyyaa). Artinya : "Setelah ia menghindarkan diri dari mereka dan dari apa: yang mereka sembah selain dari Allah itu Kami berikan kepadanya Ishaq dan Ya*qub dan masing-masing Kami jadikan Nabi (S. Maryam, ayat 49), sebagai isyarat, bahwa yang demikian itu adalah dengan berkat al-'uzlah.

Dalil ini adalah lemah. Karena bercampur-baur dengan orang-orang kafir itu, tiadalah faedah padanya, selain mengajak mereka kepada Agama. Dan ketika putus-asa daripada sambutan (perkenaan) orang-orang kafir tadi, maka tak ada jalan, selain daripada meninggalkan (tiada bercakap-cakap) dengan mereka. Dan sesungguhnya yang diperkatakan di sini ialah tentang bercampur-baur dengan kaum muslimin dan berkat (barakah) yang ada padanya, Karena menurut riwayat, bahwa orang bertanya kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "Wahai Rasulullah! Apakah berwudlu pada kendi yang tertutup lebih engkau sukai atau pada tempat bersuci ini, di mana manusia ber suci padanya?".

Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab;: "Pada tempat-tempat orang bersuci ini, karena mengharap barakah tangan kaum muslimin". (1)
Diriwayatkan : "Bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  tatkala telah selesai dari thawaf, lalu kembali ke sumur Zamzam untuk minum. Tiba-tiba ada tamar (buah kurma kering) yang direndamkan pada tempat mengumpulkan makanan dan sudah dicampur-adukkan orang dengan tangan­nya. Mereka itu mengambil dan meminum airnya. Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  meminta minuman itu dengan bersabda : "Berilah minuman itu kepadaku"

Lalu 'Abbas menjawab : "Bahwa buah nabidz (buah anggur kering) ini adalah minuman yang telah dipermain-main dan dicampuradukkan oleh tangan-tangan orang. Apakah tidak aku bawakan kepadamu minuman yang lebih bersih dari ini, yaitu : dari kendi yang tertutup dalam rumah?".

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Berilah kepadaku minuman dari ini, yang diminum orang banyak daripadanya! Aku mencari barakah tangan orang-orang muslim". Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  minum daripadanya". (2)

Jadi, bagaimanakah mengambil dalil dengan mengasingkan orang- orang kafir dan patung-patung berhala, kepada mengasingkan diri dari kaum muslimin, sedang barakah banyak pada kaum muslimin itu?.Orang-orang yang cenderung kepada mengutamakan al-'uzlah, mengemukakan pula dalil (huj-jah) dengan perkataan Musa as.:
وَإِنْ لَمْ تُؤْمِنُوا لِي فَاعْتَزِلُونِ
(Wa in lam tu'-minuu lii fa'-taziluuni).Artinya : "Dan jikalau kamu tidak percaya kepadaku, ber-'uzlahlah daripadaku! (S. Ad-Dukhan, ayat 21).Sesungguhnya ia menuju kepada al-'uzlah ketika putus-asa dari mereka itu. Dan Allah Ta'ala berfirman tentang orang-orang yang mendiami gua (ash-habil-kahfi):


Sesungguhnya ia menuju kepada al-'uzlah ketika putus-asa dari mereka itu. Dan Allah Ta'ala berfirman tentang orang-orang yang mendiami gua (ash-habil-kahfi):
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ
(Wa idzi'-tazaltumuuhum wa maa ya'-buduuna illallaaha fa-wuu ilal-kahfi yansyur lakum rabbukum min rahmatih).Dan ketika kamu beruzlah dari mereka(meninggalkan mereka) dan apa yang mereka sembah, selain Allah, maka-carilah tempat perlindungan ke dalam gua, nanti Tuhan kamu akan menyebarkan kurnia-Nya kepada kamu". (S. Al-Kahf, ayat 16).
Tuhan menyuruh mereka ber-'uzlah. Dan Nabi kita صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ber-'uzlah (memisahkan diri) dari orang Quraisy, sewaktu mereka menyakiti dan memutuskan silaturrahim dengan beliau.

Beliau masuk ke kalangan rakyat. Dan menyuruh para shahabatnya mengasingkan diri dari orang-orang Quraisy itu dan berhijrah ke negeri Habsyah (Ethiopia). Kemudian, para shahabat tadi menyusuli Nabi saw: ke Madinah sesudah ditinggikan Allah kalimah-Nya. a) Ini juga pengasingan diri dari orang-orang kafir sesudah merasa putus-asa dari orang-orang kafir itu.

Dan sesungguhnya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  tidaklah mengasingkan diri dari kaum muslimin. Dan tidak dari orang-orang kafir yang diharapkan keislamannya. Dan orang-orang yang mendiami gua itu, tidaklah ber-'uzlah sesamanya, satu sama lain, di mana mereka itu adalah orang-orang mu'miri. Dan sesung­guhnya mereka itu mengasingkan diri dari orang-orang kafir. Sesungguhnya yang menjadi perhatian, ialah tentang ber-'uzlah dari orang-orang muslimin. Mereka itu membuat dalil dengan sabda- Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  kepada Abdullah bin 'Amir Al-Jahani, sewaktu ia mena­nyakan : "Wahai Rasulullah! Apakah yang melepaskan dari keja­hatan

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab :
ليسعك بيتك وأمسك عليك لسانك وابك على خطيئتك
(Liyasa'-ka baituka wa am-sik 'alaika lisaanaka wab-ki 'alaa khathiiatika).
Artinya: "Hendaklah rumahmu melapangkan bagimu (maksudnya: hendaklah kamu berdiam dirumahmu), tahanlah lidahmu atas dirimu dan menangislah di atas kesalahanmu". (2) hadits baik (hasan



Diriwayatkan bahwa ditanyakan kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : "Manu­sia manakah yang lebih utama?".
Beliau menjawab : "Orang mu'min yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya pada jalan Allah Ta'ala (fi sabilillah)".
Lalu ditanyakan lagi: "Kemudian, siapa?".
Beliau menjawab : "Orang yang mengasingkan diri (ber-'uzlah)Ke salah satu kampung dan beribadah kepada tuhannya dan meninggalkan manusia dari kejahatannya(1)
إن الله يحب العبد التقي النقي الخفي
(Innallaaha yuhibbul- 'abdal-taqiy y al-ghaniyyal-khafiyya).Artinya : "Sesungguhnya Allah mengasihi hamba yang taqwa, kaya dan menyembunyikan diri". (2)
                                                                                                   

Dalam hal mengambil dalil dengan hadits-hadits tadi, hendaklah ada perhatian. Adapun sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  kepada Abdullah bin 'Amir Al-Jahani, maka tidaklah mungkin menempatkannya, kecuali kepada apa yang telah dikenal oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  dengan nur kenabian tentang keadaannya. Dan tetap berdiam di rumah adalah lebih layak dan lebih menyelamatkannya daripada bercampur-baur. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  tidak menyuruh semua shahabatnya dengan yang demikian. Dan banyaklah orang yang memperoleh keselamatan dalam ber'uzlah, tidak dalam bercampur-baur, sebagaimana kadang-kadang keselamatannya itu ada pada berdiam di rumah. Dan tidak keluar kepada jihad.

Dan itu tidaklah menunjukkan kepada meninggalkan jihad adalah lebih utama. Dan pada bercampur-baur dengan manusia terdapat berjihad dan menanggung kepedihan.

Dan karena itulah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
الذي يخالط الناس ويصبر على أذاهم خير من الذي لا يخالط الناس ولا يصبر على أذاهم
(Alladzi yukhaalithun-naasa wa yashbiru 'alaa adzaahum khairun minal-ladzii laa yukhaalithun-naasa wa laa yashbiru 'ala adzaahum). Artinya : Orang yang bercampur-baur dengan manusia dan ber- sabar atas kesdkitan dari mereka, adalah lebih baik daripada orang yang tidak bercampur-baur dengan manusia dan tidak bersabar atas kesakitan dari mereka". (1)



Dan di atas inilah ditempatkan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "Orang yang beruzlah yang ber'ibadah kepada Tuhannya dan meninggalkan manu­sia daripada kejahatannya". Maka ini adalah isyarat kepada orang yang jahat budi-pekertinya, yang menyakiti manusia dengan ber­campur-baur dengan dia.


Dan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : "Sesungguhnya Allah mengasihi orang yang taqwa, lagi menyem bunyikan diri, adalah isyarat kepada memilihkan lemah suara dan menjaga diri daripada terkenal (asy-syuhrah). Dan itu tidaklah menyangkut dengan al-'uzlah.


Maka berapa banyak rahib (pendeta) yang mengasingkan diri,dikenal olehseluruh manu­sia. Dan berapa banyak orang yang bercampur-baur, yang lemah suaranya (tidak banyak suara), tak ada sebutan dan tak terkenal. Maka ini adalah mengemukakan sesuatu, yang tak menyangkut dengan al-'uzlah.


Orang-orang yang cenderung kepada mengutamakan al-'uzlah, mengemukakan dalil, dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda kepada para shahabatnya : "Tidaklah aku beritahukan kepadamu, tentang manusia yang penuh dengan kebajikan?" Para shahabat menjawab : "Belum,'wahai Rasulullah!". Lalu beliau menunjukkan dengan tangannya ke arah matahari terbenam dan bersabda : "Orang yang mengambil kekang kudanya (mengendarai kuda) fi sabilillah, yang menunggu untuk menyerang atau diserang. Tidakkah aku beritahukan kepadamu, manusia yang penuh dengan kebajikan sesudah itu?". Dan beliau menunjukkan dengan tangannya ke arah negeri Hijaz dan bersabda : "Orang da­lam kawanan kambingnya menegakkan shalat, menyerahkan zakat dan mengetahui hak Allah pada hartanya, mengasingkan diri dari kejahatan manusia(1)


Apabila telah jelas bahwa dalil-dalil tadi tak ada obat padanya dari kedua belah pihak, maka tak dapat tiada daripada menyingkapkan tutup dengan penegasan faedah-faedah al-'uzlah dan mara- bahaya-marabahayanya. Dan membandingkan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain. Supaya jelaslah kebenaran pada­nya.




bab keduA tentang faedah-faedah Al-'Uzlah dan marabahaya-marabahaya dan menying­kapkan kebenaran tentang keutamaannya.


Ketahuilah, bahwa perbedaan pendapat manusia tentang ini, adalah menyerupai dengan perbedaan pendapat mereka tentang keutamaan nikah dan membujang (tidak kawin). Dan telah kami terangkan bahwa yang demikian itu, berbeda dengan berbedanya keadaan dan orang, menurut apa yang telah kami uraikan dahulu dari hal bahaya-bahaya perkawinan dan faedah-faedahnya. Maka begitu pula uraian mengenai persoalan yang sedang kita bicarakan ini. Maka hendaklah mula-mula kami sebutkan faedah-faedah al-'uzlah. Dan itu terbagi kepada faedah-faedah keagamaan dan faedah- faedah keduniaan. Dan faedah-faedah keagamaan itu terbagi kepa­da : apa yang memungkinkan berhasilnya ta'at dalam bersemadi (al-khilwah), rajinnya beribadah, bertafakkur dan pendidikan ilmu pengetahuan. Dan kepada : terlepasnya daripada mengerjakan larangan-larangan yang dikerjakan manusia dengan sebab percam­pur-bauran. Seperti : ria (berbuat sesuatu ingin dilihat orang), mengupat, berdiam diri dari amar-ma ‘ruf dan nahi-munkar, mencuri tabi’at budi-pekerti rendah dan perbuatan keji dari orang-orang ' jahat yang menjadi teman duduk.


Adapun faedah-faedah keduniaan, maka terbagi kepada : apa yang memungkinkan menghasilkan sesuatu, disebabkan persemadian (al-khilwah) itu, seperti : bertekunnya seorang pekerja dalam per- semadiannya kepada pekerjaan yang bersih daripada segala yang dikuatiri, yang datang kepadanya, disebabkan percampur-bauran. Seperti : memandang kepada kembang dunia dan tertujunya hati orang banyak kepadanya. Lobanya pada manusia dan lobanya manusia padanya. Terbukanya tutup kepribadiannya disebabkan percampur-bauran. Merasa sakit disebabkan buruknya akhlaq orang yang duduk dengan dia, tentang rianya atau jahat sangkanya atau sifat lalat merahnya atau dengkinya atau merasa sakit dise­babkan berat gerak-geriknya dan keji bentuknya. Dan kepada inilah semua kembalinya segala kumpulan faedah faedah al-'uzlah. Maka hendaklah kami membatasinya pada enam faedah saja!.


FAEDAH PERTAMA :
Menyelesaikan diri untuk ibadah, bertafakkur dan merasa kejrnakan hati dengan bermunajah (berbisik-bisik) dengan Allah Ta'ala daripada berbisik-bisik dengan makhluq. Menggunakan waktu' dengan menyingkapkan segala sirr (rahasia yang dijadikan) Allah. Ta'ala tentang urusan dunia dan aKhirat, alam langit dan bumi yang tak terlihat oleh pancaindra (alam malakut).

Maka yang demikian itu meminta keselesaian hati daripada kesi bukan. Dan tak ada keselesaian hati itu bersama percampur-bauran. Maka al-'uzlah adalah jalan kepadanya.


Karena inilah, sebahagian hukama (ahli hikmah) berkata : "Tiada bertekunlah seseorang dari al-khilwahnya, kecuali dengan berpegang-teguh dengan Kitab Allah Ta'ala. Orang-orang yang berpegang-teguh dengan Kitab Allah Ta'ala, ialah orang-orang yang merasa tenteram meninggalkan dunia dengan mengingati (berdzikir kepada) Allah. Orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan menyebut Allah itu, hidup dengan mengingati Allah (dzikrullaah), mati dengan mengingati Allah dan menemui Allah dengan dzikir kepada Allah. Dan tak ragu lagi, tentang mereka itu dapat dicegah oleh bercampur-baur dengan manusia daripada bertafakkur dan ber dzikir". Maka mengasingkan diri (al-'uzlah) adalah lebih utama bagi mereka.


Dan karena itulah, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  pada permulaan tugasnya memutus­kan hubungan dengan dunia di Bukit (Gua) Hira dan mengasing­kan dari ke Gua Hira' itu. Sehingga teguhlah Nur Kenabian (Nurun-Nubuwwah) pada diri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Maka makhluq tidaklah menghijabkan (mendidingkan) Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  daripada Allah. Maka ia dengan tubuhnya adalah bersama makhluq dan dengan hatinya ia menghadap kepada Allah Ta'ala. (1)



Sehingga manusia itu menyangka, bahwa Abu Bakar ra. khalilnya (temannya yang paling dicintainya). Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menerangkan tentang seluruh cita-citanya dengan Allah, dengan" sabdanya :
لو كنت متخذا خليلا لاتخذت أبا بكر خليلا ولكن صاحبكم خليل الله
(Lau kuntu mut-takhidzan khaliilan lat-takhadztu abaabakrin khaliilan walakinna shaahibakum khaliihillaah).Artinya : "Jikalau aku mengambil teman yang sangat dicintai (khalil), maka sesungguhnya aku mengambil Abu Bakar menjadi khalil . Tetapi temanmu ini (diri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  sendiri} adalah Khaliilullah"


Dan tidaklah melapangkan jalan untuk mengumpulkan antara bercampur-baur dengan manusia pada dzahirnya dan menghadap kan hati kepada Allah pada bathinnya (sirrnya), melainkan oleh kekuatan Nubuwwah (Kenabian). Maka tidak seyogialah tiap-tiap orang yang lemah itu tertipu dengan dirinya sendiri. Lalu mengharapkan yang demikian. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran bahwa tingkat sebahagian wali-wali itu berkesudahan kepada keadaan yang tersebut tadi.


Dinukilkan dari Al-Junaid, di mana beliau mengatakan : "Aku berkata-kata (berkalam) dengan Allah semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Dan manusia menyangka bahwa aku berkata-kata dengan mereka"

Ini sesungguhnya adalah mudah bagi orang yang membenamkan dirinya untuk mencintai Allah dengan sepenuh-penuhnya. Sehingga tiada tinggal bagi yang lain, tempat yang lapang pada dirinya.

Yang demikian itu tidak dapat dibantah. Maka pada orang-orang yang terkenal dengan mencintai makhluq, terdapat orang yang ber­campur-baur dengan manusia dengan tubuhnya. Dan ia tidak me­ngetahui apa yang dikatakannya dan tidak pula mengetahui apa yang dikatakan orang kepadanya. Karena bersangatan asyiknya kepada yang dikasihinya itu. Bahkan orang yang dipengaruhi oleh suatu malapetaka yang mengganggu salah satu dari urusan dunia nya, kadang-kadang ia ditenggelamkan oleh kesusahan, di mana ia bercampur-baur dengan manusia ramai dan tiada merasa adanya manusia itu dan tiada mendengar suara mereka, karena bersangatan tenggelamnya.  


Dan urusan akhirat adalah lebih besar pada orang-orang yang ber akal. Maka tidaklah mustahil yang demikian padanya. Tetapi yang lebih utama bagi orang banyak, ialah mempergunakan al-uz1ah. Karena itulah, ditanyakan kepada setengah hukama  (ahli hikmah): "Apakah yang mereka maksudkan dengan al-khilwah dan memilih al-uzlah?'Maka ahli hikmah itu menjawab : "Mereka memperoleh dengan demikian kekekalan pemikiran dan ketetapan ilmu dalam hati.



Supaya mereka memperoleh kehidupan yang baik dan merasakan kemanisan ma*rifah (mengenai Tuhan):Ditanyakan kepada setengah pendeta (rahib): "Apakah yang membawa engkau bersabar dengan sendirian?".

Pendeta itu menjawab : "Sebenarnya aku tidaklah sendirian. Aku. adalah duduk bersama Allah Ta'ala. Apabila aku berkehendak, bahwa Ia berbisik-bisik (munajah) dengan aku, maka aku baca Kitab-Nya. Dan apabila aku berkehendak, bahwa aku bermunajah dengan Dia, maka aku mengerjakan shalat". Ditanyakan kepada setengah hukama' : "Kepada apakah kamu dibawa oleh zuhuddanal-khilwah?Ahli hikmah itu menjawab : "Kepada berjinak-jinakan dengan Allah".

Sufyan bin 'Uyainah berkata : " Aku bertemu dengan Ibrahim bin Adham ra. di negeri Syam. Lalu aku berkata kepadanya : "Wahai Ibrahim! engkau telah meninggalkan Khurasan". Ibrahim bin Adham ra. lalu menjawab : "Aku tiada memperoleh! ketenteraman hidup, kecuali di sini. Aku lari bersama agamaku dari bukit ke bukit. Maka barangsiapa melihat aku, lalu mengatakan : "Orang yang diserang penyakit bimbang atau pemikul barang atau penjual garam".

Orang menanyakan Ghazwan Ar-Raqqasyi : "Mengapakah engkau tiada tertawa? Apakah yang melarang kamu daripada duduk-duduk bersama teman-temanmu?".
Ghazwan Ar-Raqqasyi menjawab : "Sesungguhnya aku memper­oleh ketenangan hati duduk-duduk dengan yang ada pada Nya' hajat keperluanku".

Ditanyakan kepada Al-Hasan : "Hai Abu Sa'id! Di sini ada seorang laki-laki yang tiada pernah kami melihat ia duduk, melainkan sendirian saja di belakang tiang".
Al-Hasan menjawab : "Apabila kamu melihat orang itu, maka beri­lah kabar kepadaku!".

Maka pada suatu hari, mereka melihat orang itu. Lalu mereka ber­kata kepada Al-Hasan : "Inilah laki-laki yang kami terangkan kepa­damu!". Dan mereka menunjukkan kepada laki-laki itu. Al-Hasan datang pada laki-laki tadi, seraya berkata : "Hai hamba Allah! Aku melihat engkau telah mencintai al-'uzlah begitu rupa. Apakah yang melarang kamu daripada duduk-duduk dengan manu­sia?".


Orang itu menjawab: Ada urusan yang menghabiskan waktuku daripada bergaul dengan manusia".
Al-Hasan menyambung : "Apakah yang melarang kamu untuk datang kepada laki-laki ini yang bemama Al-Hasan, lalu kamu duduk; bersama dia?".
Orang itu menjawab : "Ada urusan yang menghabiskan waktuku daripada bergaul dengan manusia dan dengan Al-Hasan".

Lalu Al-Hasan bertanya : "Apakah urusan itu? Kiranya Allah mencurahkan rahmat kepadamu!".

Maka laki-laki itu menjawab : "Sesungguhnya aku, pagi hari dan sore hari adalah diantara nikmat dan dosa. Maka aku berpendapat, bahwa aku menyerahkan waktu diriku bersyukur kepada Allah Ta'ala atas nikmat-Nya dan memohonkan ampun daripada dosa". Lalu Al-Hasan berkata kepada orang itu : "Engkau, wahai hamba Allah, lebih berilmu padaku daripada Al-Hasan! Maka teruskanlah apa yang telah engkau kerjakan itu!".                              


Ada yang menceriterakan, bahwa sewaktu Uwais Al-Qarani sedang duduk, tiba-tiba datanglah kepadanya Haram bin Hayyan. Lalu Uwais bertanya kepadanya : "Apakah yang menyebabkan engkau datang kemari?".
Haram bin Hayyan menjawab : "Aku datang untuk berjinak-jinakan hati dengan engkau".
Lalu Uwais menyambung : "Tidaklah aku melihat bahwa seseorang yang mengenal Tuhannya, lalu berjinak-jinakan hati dengan orang Iain".

Al-Fudlail berkata : "Apabila aku melihat malam datang di depanku, maka aku bergembira, seraya aku berkata : "Akan aku bersemadi (berkhilwah) dengan Tuhanku". Dan apabila aku melihat pagi mendapati aku, niscaya kembalilah kebencian berjumpa dengan manusia. Dan bahwa datang kepadaku orang yang mengganggu aku daripada Tuhanku''.
'Abdullah bin Zaid berkata : "Amat baiklah orang yang hidup di dunia dan hidup di akhirat!".
Maka orang bertanya kepadanya : "Bagaimanakah yang demikian itu?".
'Abdullah bin Zaid menjawab :  bermunajah dengan Allah di dunia dan bermujawarah dengan Allah di akhirat. (1)



Berkata Dzun-Nuh Al-Mishri Kegembiraan dan kesenangannya orang mu'min dalam berkhilwah, ialah dengan bermunajah dehgaii Tuhannya".


Berkata Malik bin Dinar : "Barangsiapa tidak merasa berjinak-jinak­an hati dengan bercakap-cakap (muhadatsah) dengan Allah 'Azza wa Jalla, dengan meninggalkan bercakap-cakap dengan makhluq, maka sesungguhnya telah sedikitlah pengetahuannya, telah butalah hatinya dan telah sia-sialah umurnya".

Berkata Ibnul-Mubarak : "Alangkah baiknya keadaan orang yang memutuskan hubungan dengan yang lain, untuk berhubungan de­ngan Allah Ta'ala".

Dan diriwayatkan dari sebahagian orang-orang shalih, yang menga­takan : "Sewaktu aku sedang berjalan di sebahagian negeri Syam (Syria), tiba-tiba aku berjumpa dengan seorang 'abid (yang senan tiasa beribadah kepada Allah Ta'ala), yang keluar dari sebahagian bukit-bukit itu. Maka tatkala ia memandang kepadaku, lalu ia menyingkir ke pokok sebatang kayu dan menutupkan dirinya dengan batang kayu itu.

Lalu aku berkata : "Subhaanallaah (Maha Suci Allah)! Engkau kikir kepadaku untuk memandang kepadamu",
Maka 'abid itu menjawab : "Wahai saudara! Sesungguhnya aku telah menetap di bukit ini dalam waktu yang lama. Aku mengobati hatiku tentang kesabaran dari dunia dan penduduknya. Maka lamalah pada yang demikian itu kepayahanku dan telah lenyaplah padanya umurku. Aku bermohon kepada Allah Ta'ala, kiranya Ia tidak menjadikan bahagianku dari hari-hari kehidupanku pada bermujahadah qalbuku. Maka Allah menenteramkannya daripada kegoncangan dan menjinakkannya sendirian dan seorang. Maka tatkala aku memandang kepadamu, lalu aku takut bahwa aku terjatuh pada urusan yang pertama dahulu. Biarlah engkau jauh, daripadaku. Maka sesungguhnya aku berlindung dari kejahatan engkau dengan Tuhan segala orang yang berma'rifah dan Kecintaan segala orang yang berdo'a".

Kemudian 'abid itu memekik dan pingsan dari lamanya berdiam di dunia.
Kemudian ia memalingkan wajahnya daripadaku.
Kemudian, ia menggerakkan kedua tangannya, seraya berkata : " Biarlah eng­kau jauh daripadaku, wahai dunia, untuk orang selain aku, Maka berhiaslah! Dan untuk keluargamu, maka tipulah mereka!". Kemudian 'abid itu mengucapkan : "Maha Suci Tuhan yang mem­berikan rasa lezatnya pengkhidmatan, ke dalam hati orang-orang yang berma'rifah dan kemanisan sendirian menemani-Nya! Ia tidak melalaikan hati mereka daripada merigingati sorga; dan bidadari yang cantik-cantik. Ia mengumpulkan cita-cita mereka pada meng ingati-Nya. Maka tiadalah suatupun yang lebih'lezat pada mereka, selain daripada bermunajah dengan Dia".Kemudian 'abid itu meneruskan kata-katanya dan berkata : "Qudduusun - Qudduusun (Ia Maha Qudus - Ia Maha Qudus)". Jadi, abid itu dalam bersemadi (al-khilwah) berjinak-jinakan dengan mengingati (berdzikir kepada) Allah dan berbanyak mengertal (ma'rifah kepada) Allah".

Pada contoh yang demikian itu, ada yang bermadah :

Sungguh aku menutupkan diriku dan tidak adalah tutup padaku.
Semoga itu khayalan daripadamu yang bertemu dengan khayalanku.
Aku keluar dari antara orang-orang yang duduk.
Semoga jauh dari engkau aku berbicara,
dengan jiwa secara rahasia bersemadi-sepi.

Karena itulah, berkata setengah hukama: "Sesungguhnya manusia itu merasa liar dari dirinya sendiri, karena kosong pribadinya dari­pada sifat keutamaan. Maka ketika itu ia memperbanyakkari berte­mu dengan manusia. Dan membuang jauh keliaran dari dirinya sendiri, disebabkan adanya bersama manusia itu. Maka apabila dirinya itu bersifat keutamaan, niscaya ia mencari kesendirian, supaya memperoleh pertolongan dengan kesendirian itu kepada pemikiran. Dan dapat mengeluarkan pengetahuan dan hikmah (ilmu yang tinggi-tinggi).

Sesungguhnya ada yang mengatakan, bahwa berjinak-jinakan hati dengan manusia itu adalah setengah dari tanda iflas (dalam keadaan tiada mempunyai apa-apa).

Jadi, inilah faedah yang besar. Tetapi adalah mengenai bahagian setengah orang-orang pilihan tertentu. Dan orang yang mudah bagi­nya beijinak-jinakan hati dengan Allah dengan berkekalan dzikir atau dengan berkekalan pikir mudah berkeyakinan mengenai Allah maka yang lebih utama baginya ialah melepaskan diri dari tiap-tiap yang menyangkut dengan percampur-bauran dengan manusia. Karena tujuan yang terakhir dari ibadah dan buah dari pergaulan hidup (mu'amalah), ialah bahwa manusia itu mati dengan mencintai Allah dan berma'rifah kepada Allah. Dan tiadalah kecintaan itu, selain dengan berjinak-jinakan yang diperoleh dengan berkekalan dzikir. Dari tiadalah ma rifah itu, selain dengan berkekalan pikir. Dan kekosongan hati itu "adalah syarat pada masing-masing dari yang dua tadi. Dan hati itu tiada kosong dengan adanya percampur- bauran dengan manusia.



FAEDAH KEDUA :
Terlepas itu dengan 'uzlah, dari perbuatan-perbuatan ma'shiat (perbuatan yang berdosa) yang biasanya dikerjakan manusia dengan sebab percampur-bauran. Dan selamat daripadanya dalam berkhil­wah. Dan perbuatan-perbuatan ma'shiat itu, EMPAT:: mengumpat, lalat merah (namimah), ria dan diam daripada amar-ma’ruf dan nahi-munkar dan curi-mencuri sifat (karakter) dari akhlaq buruk dan perbuatan keji yang diwajibkan oleh kerakusan kepada dunia.

Adapun mengupat,maka apabila anda mengetahui dari "Kitab Bahaya Lidah dari Bahagian Yang Membinasakan" (Rubu' Al- Muhlikat), segala seginya, niscaya anda mengetahui, bahwa menjaga diri daripada mengupat dalam percampur-bauran adalah sukar sekali. Tidak terlepas daripadanya, selain orang-orang shiddiq. Karena adat kebiasaan manusia pada umumnya, adalah suka mempercakapkan segala hal yang memalukan orang, merasa keenakan dengan yang demikian dan banyak perpindahan dengan kemanisannya. Sehingga mengupat itu menjadi makanan dan kelezatan mereka. Dan kepada mengupat itu mereka menyenangkan diri dari keliaran hati (kesepian) dalam khilwah.

Jikalau anda bercampur-baur dengan mereka dan anda menyetujui perbuatan mereka, niscaya anda berdosa dan anda mendatangi untuk kemarahan Allah Ta'ala. Dan jikalau anda berdiam diri, niscaya anda adalah sekutu.

Dan orang yang mendengar adalah menjadi seorang dari orang- orang yang mengupat. Dan jikalau anda membantah, niscaya mere­ka marah kepada anda. Mereka meninggalkan orang yang diupati itu, lalu mereka mengupati anda. Maka mereka menambahkan upatan kepada upatan. Kadang-kadang mereka menambahkan di atas upatan itu dan mereka berkesudahan kepada memandang ringan dan kepada memaki-maki.

Adapun amar-ma’ruf dan nahi-munkar, adalah setengah daripada pokok-pokok agama. Dan adalah suatu kewajiban sebagaimana akan datangpenjelasannyapada akhir rubu*ini (bahagian perempat darikitab).

Barangsiapa bercampur-baur dengan manusia, maka ia tidak terle- pas daripada menyaksikan kemunkaran-kemunkaran. Kalau ia diain, niscaya ia mendurhakai Allah. Dan kalau ia membantah, niscaya ia mendatangkan dirinya kepada berbagai macam kemelaratan. Karena kadang-kadang ia ditarik oleh mencari kelepasan dari segala macam kemelaratan tadi, kepada segala kema'shiatan yang lebih besar daripada apa yang dilarang pada mulanya. Dan pada 'uzlah itu, terlepaslah dari yang tadi. Maka sesungguhnya amar, pada menyia-nyiakannya itu berat. Dan menegakkannya sukar. Abu Bakar ra. bangun berdiri selaku khathib dan berkata: "Hai manusia! Sesungguhnya kamu membaca ayat ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
(Yaa-ayyuhalladziina aamanuu 'alaikum anfusakum laa yadlur-rukum man dlalla idzah-tadaitum).Artinya : "Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu! Tidaklah, akan membahayakan kepadamu orang yang sesat itu kalau kamu ada menurut jalan yang benar". (S. Al-Maidah, ayat 105), bahwa kamu itu meletakkan ayat tersebut tidak pada tempatnya. Dan sesungguhnya aku mendengar Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
إذا رأى الناس المنكر فلم يغيروه أوشك أن يعمهم الله بعقاب
 (Idzaa ra-annaasul-munkara falam yughayyiruuhu ausyaka an ya- *umma-humuQaahu bi-iqaab).Artinya : "Apabila manusia melihat yang munkar lalu tidak merubahkannya, niscaya hampirlah mereka itu diratakan oleh Allah dengan siksaan*'(1)

Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : "Sesungguhnya Allah menanyakan kepa­da hamba-Nya, sehingga Ia berfirman kepadanya : 'Apakah yang mencegah engkau, apabila melihat yang munkar dalam dunia, untuk menantangnya?'. Maka apabila Allh mengajarkan kepada seorang hamba akan dalil-Nya, niscaya hamba itu berkata : 'Wahai Tuhan! Aku harap dari Engkau dan aku takut kepada manusia". (2) Ini adalah apabila ia takut dari pukulan atau perintah yang tidak disanggupinya. Dan mengenai batas-batas yang demikian itu adalah sukar dan padanya bahaya. Dan pada 'uzlah (mengasingkan diri) itu, terdapat kelepasan. Dan pada-amar-ma’ruf dan-nahi-mungkar itu mengobarkan permusuhan dan inenggerakkan marabahaya-marabahaya bagi hati, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair,

Banyaklah mengandung nasehat,
pada kata-katamu yang membekas.
Kadang-kadang yang memperoleh nasehat itu,
menerima dengan marah yang membatu.



Orang yang mencoba beramar-ma’ruf biasanya menyesal. Amar- ma'ruf itu adalah seperti dinding yang mereng, lalu ada orang yang,. bermaksud meluruskannya. Maka hampirlah dinding itu jatuh di atas dirinya. Apabila jatuh ke atas dirinya, lalu ia berkata : "Wahai kiranya aku tinggalkan dinding itu dalam keadaan mereng!". Ya, jikalau ia memperoleh penolong-penolong yang memegang dinding itu, sehingga ia mengokohkannya dengan tiang, maka dinding itu lurus. Dan pada waktu sekarang engkau tiada akan memperoleh penolong-penolong itu. Dari itu, tinggalkanlah mereka dan lepaslah engkau dengan diri engkau sendiri!.

Adapun ria itu penyakit yang menyusahkan, yang sukar bagi wall-wali dan pemuka-pemuka menjaga diri daripadanya. Tiap-tiap orang yang bercampur-baur dengan manusia, niscaya berlemah-lembut dengan mereka. Dan orang yang berlemah-lembut itu berbuat ria dengan mereka. Dan orang yang berbuat ria dengan' mereka, niscaya jatuhlah ia ke dalam apa yang jatuh mereka ke dalamnya. Dan binasalah ia, sebagaimana mereka itu binasa. Dan sekurang-kurangnya yang harus padanya, ialah si fat nifaq (sifat bermuka-dua).



Sesungguhnya engkau, jikalau bercampur-baur dengan dua orang yang bermusuh-musuhan dan engkau tiada menemui masing-masing daripada keduanya, dengan cara yang sesuai dengan dia, niscaya jadilah engkau orang yang dimarahi keduanya. Dan jikalau engkau berbaik-baikan dengan keduanya, niscaya adalah engkau termasuk manusia yang jahat.


Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
تجدون من شرار الناس ذا الوجهين يأتي هؤلاء بوجه وهؤلاء بوجه
(Tajiduuna min syiraarin-naasi dzal-wajhaim ya'-tii haa-ulaa-i bi- wajhin wa haa-ulaa-i bi-wajhin).Artinya: engkau memperoleh daripada; manusia yang jahat itu orang yang bermuka dua. Dia datang kepada orang-orang ini begini dan kepada orang-orang itu begitu". (1)


 Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
إن من شر الناس ذا الوجهين يأتي هؤلاء بوجه وهؤلاء بوجه
(Inna min syarrin-naasi dzal-wajhaini ya'-tii haa-ulaa-i bi-wajhin wa haa-ulaa-i bi wajhin).
Artinya : Sesungguhnya termasuk manusia yang jahat, ialah orang yang bermuka dua. Dia datang kepada orang-orang ini begini dan kepada orang-orang itu begitu". (2)    


Sekurang-kurangnya yang wajib pada bercampur-baur dengan manusia, ialah melahirkan kerinduan dan bersangatan pada kerinduan itu. Dan yang demikian tidaklah terlepas daripada kedustaan. Adakalanya pada pokok dan adakalanya pada tambahan. Dan melahirkan kasih-sayang dengan menanyakan hal-keadaannya, dengan engkau mengatakan umpamanya : "Bagaimanakah keadaan saudara? Bagaimanakah keadaan keluarga saudara?", sedang eng­kau pada bathinnya, adalah berhati kosong daripada turut berduka- cita dengan dia. Dan ini adalah nifaq semata-mata. Sirri berkata : 'Jikalau masuk ke tempatku saudaraku, lalu aku luruskan janggutku dengan tanganku karena masuknya, niscaya aku takut bahwa aku akan ditulis pada lembaran orang-orang munafiq".
                                                                                         

Adalah Al-Fudlail duduk sendirian dalam Al-Masjidil-haram. Maka datanglah kepadanya saudaranya- Lalu beliau bertanya : "Apakah yang menyebabkan engkau datang kemari?".
Saudaranya itu menjawab : "Untuk berjinak-jinakan hati, wahai Abu 'Ali

Al-Fudlail (yang dipanggil dengan Abu 'Ali tadi) menjawab : "Wa­hai kiranya, berjinak-jinakan itu adalah lebih menyerupai dengan berliar-liaran hati! Adakah engkau kehendaki, selain daripada engkau menghiasi aku (dengan kata-kata) dan aku menghiasi engkau? Engkau berdusta untukku dan aku berdusta untuk engkau. Adakalanya, bahwa engkau bangun meninggalkan aku atau aku bangun meninggalkan engkau".


Berkata setengah ulama : Allah Ta'ala tiada mencintai seorang hamba, melainkan Ia mencintai bahwa tiada merasakan apa apa dengan hamba itu".

Thaus masuk ke tempat Khalifah Hisyam. Lalu bertanya : Bagaimana engkau hai Hisyam?". Maka Hisyam marah kepadanya, seraya berkata : "Mengapa tiada engkau sebutkan aku dengan panggilan "amirul-mu'minin?".

Thaus menjawab : "Karena semua kaum muslimin tidak menyetujui atas kekhalifahanmu. Maka aku takut bahwa aku menjadi.. pendusta".

Orang yang memungkinkan kepadanya, bahwa ia dapat memelihara akan pemeliharaan iniy- maka hendaklah bercampur-baur dengan manusia. Dan jikalau tidak, maka hendaklah ia menyetujui untuk dicantumkan namanya dalam lembaran orang-orang munafiq:


Adalah orang-orang salaf (orang-orang terdahulu) bertemu sesama mereka dan menjaga pada ueapan mereka : "Bagaimana keadaan engkau berpagi hari? Bagaimana keadaan engkau bersore hari? Bagaimana engkau? Bagaimana hal keadaan engkau?". Dan tentang penjawaban dari ucapan itu. Maka pertanyaan mereka itu, adalah mengenai hal keadaan agama, tidak mengenai hal keadaan dunia. Hatim Al-Asham bertanya kepada Hamid Al-Laffaf : "Bagaimana engkau tentang diri engkau?". Hamid menjawab : "Selamat, sehat wal-afiat!". Maka Hatim tiada menyukai penjawaban Hamid itu dan berkata : "Hai Hamid! Selamat itu ialah dari belakang Titian (Ash-Shira- thal-mustaqim) dan sehat wal-afiat itu dalam sorga".

Dan adalah apabila ditanyakan kepada Nabi isa as. : ''Bagaimana engkau berpagi hari?". Lalu ia menjawab : "Aku berpagi hari, tiada memiliki untuk mengemukakan apa yang aku harapkan. Dari tiada sanggup menolak apa yang aku takuti. Dan aku berpagi hari tergadai dengan amalanku. Dan kebajikan seluruhnya pada tangan lain daripada aku. Tiadalah orang faqir, yang lebih faqir daripada aku".
Adalah Ar-Rabi-bin Khaitsam apabila ditanyakan kepadanya : "Bagaimanakah engkau berpagi hari?". Lalu beliau menjawab : "Aku berpagi hari, termasuk orang-orang lemah yang berdosa. Kami mencukupkan rezeki kami dan kami menunggu ajal kami". Adalah Abu'd-Darda' apabila ditanyakan kepadanya : "Bagaimana­kah engkau berpagi hari?". Lalu beliau menjawab : "Aku berpagi hari dengan kebajikan, jikalau aku terlepas dari neraka".



Adalah Sufyan At Tsuri Apabila ditanyakan kepadanya: bagaimanakah engkau berpagi hari?". Lalu beliau menjawab : "Aku berpagi hari, mensyukuri ini kepada ini, mencela ini kepada ini dan lari dari ini kepada ini".Dan Lari  dari ini kepada ini.


Ditanya kan Uwais Alqarni, bagaimana engkau berpagi hari?". Lalu beliau menjawab : "Bagaimana berpagi hari seorang laki-laki, di mana apabila ia bersore hari, tiada tahu bahwa ia akan berpagi hari lagi. Dan apabila ia berpagi hari tiada tahu, bahwa ia akan bersore hari lagi".

Ditanyakan Malik bin Dinar : "Bagaimanakah engkau berpagi hari?". Lalu beliau menjawab : "Aku berpagi hari dalam umur yang berkurang dan dosa yang bertambah".

Ditanyakan setengah hukama' : "Bagaimanakah engkau berpagi hari?". Lalu ia menjawab : "Aku berpagi hari, tiada aku rela hidupku untuk matiku dan diriku untuk Tuhanku".

Ditanyakan seorang ahli hikmat : "Bagaimanakah engkau berpagi hari?". Lalu ia menjawab : "Aku berpagi hari memakan rezeki dari Tuhanku dan aku menta'ati musuh-Nya Iblis".

Ditanyakan Muhammad bin Wasi': "Bagaimanakah engkau berpagi hari?". Lalu ia menjawab : "Apakah persangkaanmu tentang seorang laki-laki yang berjalan tiap-tiap hari ke akhirat sehari perja lanan (satu marhalah)?".

Ditanyakan Hamid Al-Laffaf : "Bagaimanakah engkau berpagi hari?". Lalu ia menjawab : "Aku berpagi hari, merindui kesehatan hari itu sampai kepada malamnya". Lalu ditanyakan lagi kepada­nya  "Tidakkah lengkau dalam sehat wal-afiat pada tiap-tiap hari?". Maka beliau menjawab : "Sehat wal-afiat itu ialah hari, di mana aku tiada mendurhakai akan Allah Ta'ala padanya".
Ditanyakan seorang laki-laki dan laki-laki itu dalam keadaan menyerahkan dirinya untuk mati (sakarat) : "Apakah hak keadaan- mu?". Lalu laki-laki itu menjawab : "Apalah halnya keadaan orang yang bermaksud berjalan jauh tanpa perbekalan. Memasuki perkuburan yang meliarkan hati tanpa yang menjinakkan. Dan berjalan kepada Raja Yang Adil tanpa membawa alasan (hujjah)".

Ditanyakan Hassan bin Abi Sannan : "Apakah hal keadaanmu?". Lalu ia menjawab : "Apalah halnya orang yang mati, kemudian dibangkitkan, kemudian dihisab (dihitung amalannya)". ( Ibnu Sirin bertanya kepada seorang laki-laki : "Apakah hal keada­anmu?". Lalu orang itu menjawab .'"Apalah halnya orang yang menanggung hutang sebanyak lima ratus dirham dan orang itu berkeluarga banyak?".

Maka Ibnu Sirin masuk ke rumahnya. Lalu mengeluarkan uang: seribu dirham untuk laki-laki itu. Maka diserahkannya wang itu ke­pada laki-laki tadi, seraya berkata : "Lima ratus bayarkanlah hu tangmu dan lima ratus lagi sediakan untuk dirimu sendiri dan keluargamu!"
Dan tidak ada pada Ibnu Sirin uang yang lain. Kemudian ia berka­ta : "Demi Allah! Aku tiada akan menanyakan selama-lamanya kepada seseorang tentang hal keadaannya".          '

Sesungguhnya Ibnu Sirin berbuat demikian, karena takut pertanyaannya itu adalah dari tidak mementingkan keadaan orang yang ditanyakan. Lalu dengan demikian, ia adalah orang yang ria lagi munafiq.

Maka adalah pertanyaan mereka itu tentang urusan agama dan hal-hal keadaan hati pada ber-mu 'amalah dengan Allah. Dan jikalau mereka menanyakan tentang urusan dunia, maka adalah timbul- nya daripada mementingkan dan bercita-cita menegakkan keperluan yang terang bagi mereka.


Setengah mereka berkata : "Sesungguhnya aku mengenal beberapa kaum, di mana mereka itu tiada pernah bertemu. Jikalau seorang dari mereka menghukum (menetapkan) ke atas diri temannya, untuk mengambil semua yang dimilikinya, niscaya teman itu tiada akan melarangnya. Dan sekarang aku melihat kaum-kaum itujumpa- menjumpai dan tanya-menanyakan, sehingga tentang ayam betina dalam rumah. Dan jikalau salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk mengambil sebutir biji-bijian daripada harta temannya, niscaya temannya itu melarangnya. Maka tidakkah ini, selain ria dan nifaq semata-mata?


Tanda yang demikian itu, ialah : bahwa engkau melihat si Ini me­nanyakan : "Bagaimana keadaan Engkau?", dan yang lain menanya­kan : "Bagaimana keadaan engkau?". Maka yang bertanya tiada menunggu jawaban dan yang ditanya bimbang memikirkan perta­nyaan itu dan tidak menjawab. Dan yang demikian adalah karena. mereka tahu, bahwa itu adalah datangnya dari ria dan memberat- kan diri. Dan kiranya hati tiada terlepas dari khianat dan dengki. Dan lidah hanya mengucapkan pertanyaan.


Al-Hasan berkata : "Sesungguhnya, mereka itu dahulu mengucap­kan : "Assalaamu alaikum, apabila —demi Allah— hati itu telah sejahtera. Adapun sekarang, maka mereka itu mengucapkan  "Yang di sebelah kiri!". Maka mereka mengambil jalan yang di sebelah kiri itu. Maka binasalah dan sesatlah mereka. Dan yang lain duduk dan berhenti, sehingga hilanglah angin dan teranglah jalan. Lalu mereka itu berjalan ............. ".


Maka Sa'ad mengasingkan diri dan suatu rombongan bersama dia, memisahkan diri dari segala fitnah. Dan mereka tidak bercampur- baur, kecuali sesudah hilang segala fitnah itu.


Dari Ibnu 'Umar ra. diriwayatkan, bahwa : tatkala sampai kepada­nya berita bahwa Husain ra. telah menuju Irak, lalu Ibnu 'Umar meiigikutinya. Maka bertemulah ia dengan Husain sesudah berjalan tiga hari lamanya.
Lalu Ibnu 'Umar bertanya kepada Husain : "Kemanakah engkau mau pergi?".
Husain menjawab : "Ke Irak!". Dan bersama Husain lembaran- lembaran keterangan dan surat-surat.
Lalu Husain menyambung : "Inilah surat-surat dan sumpah setia (bai'ah) mereka!".
Lalu' Ibnu 'Umar menjawab : "Janganlah kamu pandang kepada surat-surat mereka dan janganlah kamu datang kepada mereka!".
Husain enggan menerima nasehat Ibnu 'Umar.
Lalu Ibnu 'Umar berkata : "Aku akan menerangkan kepadamu suatu hadits, bahwa : Jibril datang kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Lalu ia menyuruh pilih kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  antara dunia dan akhirat.

Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  memilih akhirat da­ri dunia. Dan engkau itu sesungguhnya, sepotong daging dari tubuh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  (1)
Demi Allah, tiada akan memerintah dunia oleh seseorang dari padamu selama-lamanya. Dan tiada memalingkan dunia daripadamu, melainkan untuk yang lebih baik bagimu".
Husain enggan kembali (ingin meneruskan perjalanannya ke Irak).
Lalu Ibnu 'Umar memeluk Husain dan menangis tersedu-sedu, seraya berkata : "Aku serahkan engkau kepada Allah terbunuh atau tertawan!". (2)


Maka tidaklah manusia itu duduk duduk dalam majlis dengan orang fasiq dalam sekejap waktu, walaupun ia menatang orang fasiq tadi pada bathinnya, melainkan jikalau sekiranya ia membanding akan dirinya kepada masa sebelumnya duduk-duduk itu, niscaya akan diketahuinya   masa itu suatu perbedaan, mengenai larinya hati dari perbuatan yang merusak dan beratnya hati kepada perbuatan yang merusak itu. Karena perbuatap yang merusak itu (perbuatan fasid) disebabkan banyaknya melihat, maka menjadi mudah pada tabi 'at (karakter). Lalu hilanglah kesan dan anggapan besar perbuatan fasid itu bagi orang tersebut, Dan sesungguhnya yang mencegah dari perbuatan fasid tadi, ialah kesangatan kesannya dalam hati. Maka. apabila telah diahggap kebil disebabkan lamanya menyaksikan, niscaya hampirlah kekuatan mencegah itu terlepas dan tertunduklah tabi'at (karakter) untiik cenderung kepada perbuatan fasid itu. Atau kepada yang lebih kurang lagi.


Manakala lamalah menyaksikan dosa besar dari orang lain, niscaya ia memandang Ieceh (tidak berarti) akan segala dosa kecil dari diri­nya sendiri. Dan karena itulah, orang yang selalu melihat kepada orang kaya, lalu memandang ringan akan nikmat Allah kepadanya. Maka membekaslah oleh duduk-duduk dengan orang-orang kaya, kepada memandang kecil akan apa yang ada padanya. Dan membe­kaslah oleh duduk-duduk dengan orang fakir-miskin, kepada mengngaggap besar nikmat yang dianugerahkan kepadanya.                                                 


Begitu pula melihat kepada orang-orang yang tha'at dan orang yang ma'shiat. Inilah membekasnya pada tabi'at (karakter). Maka orang yang menjuruskan penglihatannya kepada memperhatikan keadaan - para shahabat dan tabiin (para pengikut shahabat) tentang ibadah dan membersihkan diri dari dunia, niscaya senantiasalah ia memandang kepada dirinya sendiri dengan pandangan kecil dan kepada ibadahnya dengan pandangan hina. Dan selama ia melihat dirinya itu teledor, maka tidaklah ia terlepas dari panggilan kesungguhan, karena ingin pada penyempumaan dan menyempurnakan untuk  mengikuti jejak para shahabat dan tabi'in itu. Orang yang melihat kepada keadaan yang banyak terjadi pada penduduk zamannya dan berpalingnya penduduk itu dari Allah, menghadapnya kepada dunia dan dibiasakan mereka mengerjakan perbuatan ma'shiat, niscaya orang itu memandang besar keadaan dirinya sendiri, dengan sedikit saja kegemaran kepada kebajikan, yang dijumpainya dalam hatinya.


Yang demikian itu adalah binasa dan memadailah pada merobah kan tabi'at (karakter) oleh semata-mata mendengar kebajikan dan kejahatan, lebih-lebih menyaksikannya


Dan dengan pengertian yang halus ini, dapatlah diketahui rahasia sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عند ذكر الصالحين تنزل الرحمة
('Inda dzikrish-shaalihiina tanzilur-rahmah).
Artinya : "Pada menyebutkan orang-orang shalih itu turunlah rah­mat". (1)

Sesungguhnya rahmat itu ialah masuk sorga dan bertemu dengan Allah. Dan tidaklah turun ketika menyebut itu, yang tersebut tadi. Tetapi yang turun ialah sebabnya. Yaitu membangkitnya kegemar­an dari hati dan bergeraknya keinginan untuk mengikuti orang-orang shalih itu. Dan mencegah daripada apa yang mengkaburkan- riya, dari kurangnya perhatian dan keteledoran. Dan permulaan rahmat ialah berbuat kebajikan. Dan permulaan berbuat kebajikan ialah kegemaran. Dan permulaan kegemaran ialah menyebut hal-ikhwal orang-orang shalih. Maka inilah artinya : turun rahmat.

Dan pengertian dari kandungan perkataan ini pada orang yang cer- dik, adalah seperti pengertian dari kebalikannya. Yaitu : bahwa pada menyebutkan orang-orang fasiq, turunlah laknat (kutukan). Karena dengan banyak menyebutkan mereka, memudahkan kepada tabi'at (karakter manusia), urusan perbuatan-perbuatan ma'shiat. Dan laknat itu ialah : jauh. Dan permulaan kejauhan dari Allah, ialah perbuatan maksiat, berpaling daripada Allah dengan mengha- dapkan diri kepada nasib-nasib baik yang segera dan nafsu syahwat yang menjelma, tidak di atas cara yang disuruh menurut agama. Permulaan perbuatan ma!shiat, ialah hilangnya rasa berat dan rasa kejinya dari hati. Dan permulaan hilangnya rasa berat, ialah terjadi- nya kejinakan hati dengan perbuatan ma'shiat itu, dengan banyak mendengarnya.                  


Apabila ini halnya menyebutkan'orang-orang shalih dari orang- orang fasiq, maka apakah persangkaanmu dengan menyaksikan mereka itu? Bahkan telah ditegaskan dengan demikian oleh Rasul- lullah saw, di mana behau bersabda :
مثل الجليس السوء كمثل الكير إن لم يحرقك بشرره علق بك من ريحه
Artinya : "Teman duduk yang jahat adalah seumpama dapur api tukang besi. Jikalau dapur api itu tiada membakarmu dengan bunga apinya, niscaya melekatpadamu anginnya". (1)


Maka sebagaimana angin itu melekat pada kain dan orang itu tiada merasakannya, maka begitu pula mudahnya kerusakan pada hati dan ia tiada merasakannya.  Dan Nabi saw-bersabda :
مثل الجليس الصالح مثل صاحب المسك إن لم يهب لك منه تجد ريحه
(Matsalul-jaliisish-shaalihi matsalu shaahibil miski in lam yahab laka minhu tajid riihah).
Artinya : Teman duduk yang shalih adalah seumpama orang yang mempunyai kesturi. Jikalau ia tidad memberikan kepadamu dari kesturinya, niscaya engkau akan memperoleh bau-harumnya

Karena inilah aku katakan : bahwa barangsiapa mengetahui dari seorang yang berilmu suatu kesilapan, niscaya haramlah ia menceri- terakannya, karena dua sebab : 

Pertama : bahwa menceriterakan. itu adalah mengupat.
Kedua : dan inilah yang terbesar, bahwa menceriterakannya itu memudahkan kepada para pendengar urusan kesilapan itu. Dan terhapuslah dari hati mereka rasa beratnya mengerjakan kesilapan itu. Lalu yang demikian itu menjadi sebab untuk mempermudahkan perbuatan ma'shiat tadi. Karena sesungguhnya manakala terperosoklah seseorang pada suatu ma'shiat, niscaya ia menantang yang demikian sebagai tantangan untuk penolakan, seraya berkata : "Bagaimanakah menjauhkan ini dari kita, padahal semua kita terpaksa kepada perbuatan yang seperti itu, sehingga para alim-ulama dan orang-orang abid juga?".


Jikalau ia berkepercayaan bahwa perbuatan yang seperti itu tiada akan diperbuat oleh seorang ulama dan tiada akan dijamah oleh seorang yang memperoleh taufiq dan terpandang, niscaya sukarlah baginya tampil dengan alasan tadi. Maka banyaklah orang yang menyerupai anjing terhadap dunia, loba kepada mengumpulkannya,


Menempuh kebiasaan atas kecintaan menjadi kepala dan penghiasannya memudahkan bagi dirinya kekejian menjadi kepala itu dan menda'wakan, bahaya para shahabat ra. tiada membersihkan dirinya daripada kecintaan menjadi kepala. Kadang-kadang ia mencari dalil di atas pendiriannya itu, dengan peperangan yang timbul diantara dalil di atas pendiriannya itu, dengan peperangan yang timbul diantara 'Ali dan Mu'awiah.

Dan ia menerka pada dirinya, bahwa peperangan yang tersebut tadi tidaklah untuk mencari kebe­naran. Tetapi untuk mencari riasah (ingin menjadi kepala). Kepercayaan yang seperti ini salah, yang memudahkan kepadanya urusan riasah dan segala akibatnya yang merupakan perbuatan- perbuatan ma'shiat. Dan tabi'at yang terkutuk itu cenderung kepa­da mengikuti' segala kesalahan dan menolak segala kebaikan. Bahkan kepada mengumpamakan kesalahan pada tempat yang tidak bersa- lah, dengan menempaitkannya, menurut kemauan hawa nafsu, untuk menjadi alasan dengan yang demikian. Dan itu adalah setengah dari godaan syaitan yang halus-halus. Dan karena itulah disifatkan oleh Allah orang-orang yang bermusuhan dengan syaitan dengan firman-Nya :
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
(Alladziina yas-tami-'uunal qaula fayattabi-iuna ahsanah).
Artinya : "Yaitu orang-orang yang mendengarkan kata, lalu menuruti mana yang lebih baik  (S. Az-Zumar, ayat 18).


Dan untuk itu, oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  dikemukakannya suatu perumpamaan, seraya beliau bersabda : "Orang yang duduk mendengar pengetahuan yang tinggi-tinggi (ilmu hikmah), kemudian tiada mengamalkannya, kecuali dengan yang buruk daripada apa yang didengarinya, adalah seumpama seorang yang datang kepada penggem­bala. Lalu berkata kepada penggembala itu : Wahai penggembala! Bawalah kepadaku seekor dari kambingmu. Maka penggembala itu menjawab : "Pergilah dan ambillah kambing yang terbaik dari kawanan kambing itu! Lalu orang itu pergi, maka memegang telinga anjing penjaga kambing". (1)

Dan tiap-tiap orang yang menukilkan kesalahan imam-imam (pemuka-pemuka), maka inilah juga contohnya.

Dan setengah dari dalil yahg menunjukkan kepada hilangnya pengaruh sesuatu dari hati, disebabkan berulang-ulang dan menyaksikannya, ialah bahwa kebariyakan manusia apabila melihat seorang muslim berbuka pada siang hari bulan Ramadlan, niscaya mereka itu menantang yang demikian, yang tantangan itu hampir membawa kepada kepercayaan akan kafimya si muslim yang tiada berpuasa tadi.

Kadang-kadang mereka itu menyaksikan orang yang tidak menger- jakan shalat pada waktunya dan tidaklah lari tabi'at mereka dari orang itu, seperti larinya pada menta'khirkan (mengemudiankan) puasa, sedang satu shalat dengan meninggalkannya dapat menjadi kafir, menurut pendapat segolongan ulama. Dan dapat dibunuh menurut pendapat segolongan Lain. Dari meninggalkan puasa Ra­madlan seluruhnya, tidaklah membawa kepada kekafiran. Dan tiadalah sebab bagi yang demikian, selain karena shalat itu berulang-ulang. Dan mempermudah-mudahkan tentang shalat itu, termasuk hal yang banyak. Maka hilanglah kesannya dari hati dengan menyaksikan itu. Dan yang demikian itu, jikalau seorang ahli-fiqh (al-faqih), memakai kain sutera atau cincin emas atau meminum pada mangkok perak, niscaya jiwa memandang jauh perbu­atan tersebut dan sangatlah menantangnya. Kadang-kadang dapat dipersaksiaan pada suatu sidang (majelis) yang lama, di mana tia­da diperkatakan, kecuali persoalan yang menjadi upatan kepada orang. Dan tidaklah diusahakan menjauhkan yang demikian. Pada- hal mengupat itu lebih berat daripada zina. Maka bagaimana pula, mengupat itu tiada lebih berat daripada memakai sutera? Tetapi karena banyaknya mendengar upatan dan menyaksikan orang-orang yang mengupat, maka hilanglah kesannya dari hati. Dan terpandang mudahlah urusannya pada jiwa. Maka hendaklah anda memperhati- kan benar-benar akan pengertian-pengertian yang halus ini!. Dan larilah dari manusia, sebagaimana larinya anda dari singa! Karena anda tiada akan menyaksikan dari manusia itu, selain hal-hal yang menambahkan kelobaanmu kepada dunia dan melalai- kanmu dari akhirat. Memudahkan kepadamu perbuatan ma'shiat dan melemahkan kegemaranmu kepada perbuatan ta'at. Jikalau engkau memperoleh seorang teman duduk yang mengingatkan engkau kepada Allah dengan melihat wajahnya dan perjalanan hidupnya, maka rapatilah dan janganlah engkau berpisah daripada­nya! Rampaslah hatinya dan janganlah engkau memandang hina kepadanya! Karena itu adalah rampasan bagi orang yang berakal

dan barang hilang bagi orang Mu'min. Dan yakinlah, bahwa teman duduk yang shalih itu, lebih baik daripada sendirian. Dan sendirian itu, lebih baik daripada teman duduk yang jahat. Manakala anda telah memahami segala pengertian ini dan anda memperhatikan akan tabi'at (karakter) anda dan anda menoleh kepada keadaan'orang yang anda kehendaki bercampur-baur dengan dia, niscaya tidaklah tersembunyi bagi anda, bahwa yang lebih utama, menjauhkan diri daripada orang itu, dengan mengasingkan diri ('uzlah). Atau mendekatkan diri kepadanya dengan bercampur- baur. Dan hati-hatilah untuk menetapkan secara mutlaq kepada 'uzlah atau bercampur-baur, dengan menetapkan salah-satunya yang lebih utama. .Karena masing-masing memerlukan kepada penguraian. Makamengatakan secara mutlaq dalam soal ini, dengan : tidak atau ya, adalah menyalahi dari perkataan itu sendiri semata-mata. Dan tidaklah benar pada yang memerlukan kepada uraian, melainkan dengan uraian.

FAEDAH KETIGA :
Terlepas dari segala fitnah dan permusuhan, terpelihara Agama dan jiwa daripada terjerumus ke dalamnya dan dari menghadapi segala bahayanya.

Sedikitlah negeri-negeri yang terlepas dari sifat ta-'ash-shub (fanatik), fitnah dan permusuhan. Maka orang yang mengasingkan diri dari mereka, dapatlah memperoleh keselamatan daripadanya. 'Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash berkata : Tatkala Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menyebutkan fitnah-fitnah itu dan menyifatkannya dan bersabda : Apabila engkau melihat manusia, di mana janjinya tidak ditepati dan amanah yang diserahkan kepadanya tersembunyi-senyap dan mereka itu berada : begini!' dan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjerjakkan diantara anak-anak jarinya a), lalu aku bertanya : liMaka apakah yang engkau suruhkan aku?".

Lalu Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Tetaplah kamu di rumah, milikilah lidahmu atas dirimu, ambilkanlah apa yang kamu pandang ma' ruf dan tinggalkanlah apa yang kamu pandang munkar! Kerjakanlah pekerjaan yang tertentu bagi dirimu dan tinggalkanlah pekerjaan yang umum kepada orang banyak!". (2)



Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda ?
يوشك أن يكون خير مال المسلم غنما يتبع بها شعف الجبال ومواقع القطر يفر بدينه من الفتن من شاهق إلى شاهق
(Yuu-syiku an yakuuna khairu maalil muslimi ghanaman yat-ba-'u bihaa sya-'aqal jibaali wa mawaaqi-'al qathri yafirru bidiinihi minal fitani min syaahiqin ilaa syaahiq).Artinya : "Hampirlah bahwa sebaik-baik harta seorang muslim ialah kambing, yang diikutinya bersama kambing itu ke puncak- puncak bukit dan tempat-tempat iringan unta. Ia lari dengan agama nya dari segala fitnah, dari satu daratan tinggi ke satu daratan ting­gi" (1)
Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda : "Akan datang kepada manusia suatu masa, di mana bagi orang yang beragama tiada akan selamat agamanya, selain orang yang lari, dengan agamanya dari kampung kekampung, dari dataran tinggi ke dataran tinggi dan dari batu ke batu, seperti pelanduk yang pergi ke sana kemari.Lalu ada yang menanyakan kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : "Pabilakah yang demikian itu, wahai Rasulullah?".Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Apabila kehidupan itu tiada diperoleh, kecuali dengan perbuatan ma'shiat kepada Allah Ta'ala. Maka apa­bila masa itu tiba, niscaya halallah membujang (tidak kawin)".

Lalu mereka itu bertanya lagi : "Bagaimanakah yang demikian itu, wahai Rasulullah, sedang engkau menyuruhkan kami kawin?". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Apabila masa itu tiba, adalah kebinasaan seseorang itu pada tangan ibu-bapanya. Jikalau ia tiada beribu-bapa, maka pada kedua tangan isteri dan anaknya. Jikalau itu tidak ada, maka pada kedua tangan keluarganya".
Mereka itu bertanya pula : "Bagaimanakah yang demikian itu, wahai Rasulullah?".
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Mereka menghinakannya dengan menyempitkan tangan (tidak mau memberikan). Lalu terpaksa ia mengerjakan pekerjaan berat, yang tidak disanggupinya. Sehingga yang de­mikian itu mendatangkannya ke tempat-tempat kebinasaan". (2)

Hadits ini, walaupun mengenai; persoalan membujang; tetapi pengasingan diri (uzlah) dapatlah dipahami daripadanya. Karena orang yang berkeluarga tidak dapat menyingkirkan diri dari pengbidupan dan bercampur-bauran. Kemudian, ia tiada memperoleh penghidup- an itu, kecuali dengan berbuat ma'shiat kepada Allah Ta'ala. Dan tidaklah aku mengatakan, bahwa inilah masanya zaman itu. Sesungguhnya masa itu telah ada pada beberapa zaman sebelum masa yang sekarang ini.

Dan karenanya berkata Sufyan : "Wallaahi, demi  Allah, sesungguhnya telah halal mengasingkan diri ('uzlah)". Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menyebutkan hari-hari fitnah dan hari-hari kacau. Lalu aku bertanya : "Apakah hari kacau itu?". Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Ketika orang tidak merasa aman dengan teman duduknya". Lalu aku bertanya lagi: "Apakah yang engkau suruhkan aku jikalau aku ketahui masa itu?". Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Cegahlah dirimu dan tanganmu dan masuklah ke rumahmu!".


Ibnu Mas'ud meneruskan riwayatnya: "Lalu aku bertanya : 'Wahai Rasulullah! Bagaimanakah pendapatmu, jikalau orang itu masuk ke kampungku?".
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Masuklah ke rumahmu!". Lalu aku menyambung lagi: "Jikalau orang itu masuk ke rumahku?"

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  menjawab : "Masuklah ke masjidmu dan perbuatkanlah 'begini! Dan beliau menggenggam pergelangan tangannya. Dan katakanlah : 'Tuhanku Allah', sampai engkau meninggal dunia". (1) Sa'ad berkata tatkala ia diminta keluar dari rumahnya pada hari- hari pemerintahan Mu'awiyah -. "Tidak! Kecuali kamu berikan kepadaku pedang yang mempunyai dua mata yang bisa melihat daa lidahyang dapat mengatakan orang kafir. Lalu aku bunuh kafir itu. Dan dapat mengatakan : orang mu'min. Lalu aku cegah dari orang mu'min itu".
Dan Sa'ad menyambung perkataannya : "Seperti kami dan seperti kamu itu, adalah seperti suatu kaum yang berada di tengah jalan yang putih terang. Maka di waktu mereka itu sedang berjalan demi­kian, tiba-tiba berhembuslah dengan dahsyat angin yang berdebu tebal. Lalu mereka tersesat jalan, sehingga jalan itu meragukan mereka. Lalii setengah mereka berkata : "Jalan itu yang di sebelah kanan!". Maka mereka mengambil jalan yang di sebelah kanan itu. Maka binasalah dan sesatlah mereka. Setengah mereka berkata :



"Bagaimanakah engkau berpagi pagi, kiranya Allah memberikan ke-sehat-wal-afiatan kepada engkau! Bagaimanakah engkau? Kiranya Allah mendatangkan kebaikan kepada engkau!". (1)

Jikalau kita ambil ucapan mereka itu, maka itu adalah bid'ah, bukan penghormatan. Jikalau mereka mau, niscaya mereka boleh marah kepada kita dan jikalau mereka mau, boleh tidak". Sesungguhnya Al-Hasan mengatakan demikian, karena memulai dengan ueapan : "Bagaimana engkau berpagi hari** (kaifa ash-bahta atau selamat pagi), adalah bid*ah.

Seorang laki-laki mengucapkan kepada Abu Bakar bin 'Ayyasy : "Bagaimana engkau berpagi-hari (kaifa ash-bahta)?", maka tidak dijawabnya. Dan beliau berkata : "Tinggalkanlah kami dari bid’ah ini!". Dan beliau menyambung : "Sesungguhnya ini terjadi pada masa berkecambuk penyakit kolera, yang disebut "Kolera *Amwas** di negeri Syam (Syria), dari kematian yang mendahsyat, di mana seorang yang dijumpai temannya pada pagi hari, lalu teman itu mengucapkan : "Kaifa ash-bahta minath-thaun?" (Bagaimana engkau berpagi hari dari penyakit kolera? Dan dijumpai pada sore hari, lalu diucapkan : "Kaifa amsaita?" (Bagaimana engkau bersore hari?).

Maksudnya, bahwa perjumpaan itu pada kebanyakan adat-kebiasa- an, tidaklah terlepas dari bermacam cara yang dibuat-buat, ria dari nifaq. Dan semuanya itu adalah tercela. Sebahagiannya terlarang (haram) dan sebahagiannya makruh. Dan pada ber-'uzlah adalah melepaskan diri daripada yang demikian. Karena orang yang bertemu dengan orang banyak dan tidak berakhlaq dengan akhlaq mereka, niscaya mereka mencacikannya, memandang menjadi beban, mencela dan berkekaian menyakitinya. Maka hilanglah agama mereka padanya dan hilanglah agamanya dan dunianya pada mendendam mereka.

Adapun curi-mencuri tabiat (karakter) daripada apa yang dipersaksikannya, dari segala budi-pekerti dan amal-perbuatan manusia, maka itu adalah penyakit yang sudah tertanam. Sedikitlah orang- orang yang berakal menaruh perhatian padanya, apalagi orang-orang yang lalai.

Dan adalahdalam kalangan stiahabat itu, sepuluh ribu orang banyaknya. Dan fitnah (kekacauan) itu baru meringan, sesudah tinggal hanya lebih dari empat puluh orang.


Thaus duduk di rumahnya, lalu ditanyakan kepadanya tentang yang demikian. Maka ia menjawab : "Kerusakan masa dan kedzaliman imam-imam (pemuka-pemuka)".


Tatkala 'Urwah membangun istananya di 'Uqaiq dan ia selalu di istananya, lalu orang berkata kepadanya : "Engkau selalu di istana dan meninggalkan masjid Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ".Maka 'Urwah menjawab : "Aku melihat masjid-masjidmu itu tem pat bermain, pasar-pasarmu itu tempat yang sia-sia dan perbuatan keji di jalan-jalanmu itu sudah meninggi. Dan pada apa yang di sana itu, di luar dari tempat di mana kamu di dalamnya, adalah sehat dan 'afiat".Jadi, menjaga diri dari permusuhan dan penebaran fitnah adalah salah, satu daripada faedah-faedah'uzlah.



FAEDAH KE-EMPAT : Terlepas dari kejahatan manusia.
Sesungguhnya manusia itu akan menyakitkan kamu, sekali dengan jalan mengumpat, sekali dengan jahat sangka dan tuduhan, sekali dengan saran-saran dan loba yang palsu, yang sulit melaksanakan- nya dan sekali dengan lalat merah (namimah) atau dusta.  


Kadang-kadang mereka itu melihat daripadamu perbuatan atau perkataan, yang tak sampai akal mereka kepada hakikatnya. Lalu mereka mengambil yang demikian itu menjadi simpanan pada mereka. Mereka simpan untuk suatu waktu, yang lahir padanya kesempatan untuk kejahatan.

Maka apabila engkau mengasingkan diri dari mereka, niscaya eng­kau tidak memerlukan kepada menjaga diri dari semua tadi. Karena itulah berkata setengah hukama (ahli hikmat) kepada bukan ahli hikmat: "Aku ajarkan kamu dua kuntum syair, lebih baik daripada aku berikan sepuluh ribu dirham"
Lalu orang itu bertanya : "Manakah dua kuntum syair itu?" Maka ahli hikmat tadi, membacakannya, yang artinya sebagai beri kut:

Kecilkanlah suaramu, jika engkau berbicara dimalam hari! Berpalinglah kekiri-kananmu, sebelum berbicara di siang hari!.Tidaklah perkataan itu, dapat dikembalikan lagi, ketika telah keluar dari mulutmu, baik keji atau bogus sekali.
Dan tidak ragu lagi, bahwa barangsiapa bercampur-baur dengan orang banyak dan bersekutu dengan mereka dalam segala pekerja- annya, maka tidaklah terlepas dari adanya yang dengki dan musuh, yang berjabat sangka. Dan menduga bahwa dia mengadakan persi- apan untuk memusuhinya, menegakkan penipuan terhadapnya dan menanamkan marabahaya di belakangnya.
Maka manusia, betapapun bersangatan lobanya kepada suatu hal, mengira setiap suara keras ditujukan kepadanya. Mereka adalah musuh, maka hendaklah engkau mawas diri terhadap mereka!. Sesungguhnya bersangatan lobanya mereka kepada dunia, lalu mereka tiada menyangka orang lain, melainkan loba juga kepada dunia.


Al-Mutanabbi bermadah:
Apabila jahat perbuatan manusia,
maka jahatlah sangka-sangkanya.
Dan benarlah apa yang dibiasakannya,
selalu dari sangka-waham saja.
Ia memusuhi pencinta-pencintanya,
disebabkan perkataan musuh-musuhnya.
Maka ia berada dalam malam syak-wasangka,
yang amat gelap-gulita


Dan ada yang mengatakan : "Bergaul dengan orang-orang jahat, mewarisi jahat sangka kepada orang yang baik-baik". Macam-macam kejahatan yang banyak, yang ditemui manusia dari kenalannya dan dari orang yang ia bercampur-baur dengan dia. Dan kami tidak memanjangkan uraiannya. Dan pada apa yang telah kami sebutkan, adalah menunjukkan kepada kumpularmya. Dan dengan mengasingkan diri, terlepaslah dari semuanya.

Dan kepada inilah diisyaratkan oleh kebanyakan ulama dari orang orang yang memilih uzlah itu. Abu'd-Darda' berkata : "Ceriterakanlah, sedikitkanlah yang diceriterakan itu!".

Ucapkan dari Abu'd-Darda' tadi, ada yang meriwayatkan itu hadits marfu
Bermadahlah penya'ir:
Orang yang memuji manusia,
dan tidak mencoba manusia yang dipuji itu.
Maka kemudian, manusia itu dicoba,
oleh cela dan orang yang memuji itu.
Dan jadilah ia berjinak-jinakan dengan sendirian saja
Hatinya diliarkan oleh orang yang berdekatan dan yang berjauhan juga. ..............


Umar ra. berkata : "Pada 'uzlah itu memperoleh istirahat dari teman jahat".
Ada orang yang bertanya kepada Abdullah bin Az-Zubair: "Tidak- kah tuan datang ke Madinah?".
Maka beliau menjawab : "Tidak ada lagi di Madinah, selain orang yang dengki kepada nikmat orang atau gembira kepada kesusahan orang".
Ibnus-Sammak berkata : "Seorang teman menulis surat kepada kami, yang isinya sebagai berikut:

"Amma ba-du — adapun kemudian, sesungguhnya manusia itu- adalah obat yang diperobatkan dengan dia. Lalu jadilah mereka itu penyakit, yang tak ada obat bagi penyakit itu. Maka larilah dari mereka itu, sebagaimana larinya engkau dari singa! Adalah setengah Arab dusun selalu berada pada se pohon kayu dan mengatakan: "Pohon kayu itu adalah teman. Padanya tiga perkara: jikalau ia mendengar daripadaku, niscaya ia tidak menyebut-nyebut- kan sebagai lalat merah atasku. Jikalau aku meludah pada muka-nya, niscaya ia menanggung yang demikian daripadaku. Dan jikalau aku berakhlaq buruk kepadanya, niscaya ia tidak marah". Perkataan itu didengar oleh Harunurrasyid, lalu beliau berkata : "Jadikaniah aku ini dzuhud pada teman-teman itul". Adalah setengah mereka selalu pada kumpulan lembaran-lembaran buku dan pekuburan. Lalu ia ditanyakan tentang yang demikian.

Maka ia menjawab: "Aku tiada melihat yang lebih menyelamatkan, selain dan sendirian. Tiada yang lebih memberi pengajaran, selain . dari pekuburan. Dan tiada teman duduk yang lebih menyedapkan,; selain dari lembaran-lembaran buku".

Al-Hasan ra. berkata : "Aku bermaksud menunaikan hajji. Lalu didengar yang demikian oleh Tsabit Al-Bannani. Beliau juga terma­suk waliullah (aulia Allah)

Maka beliau berkata : "Telah sampai kepadaku berita, bahwa engkau bermaksud menunaikan hajji. Maka aku suka benar menemani engkau.
Lalu Al-Hasan menjawab : "Celaka! Biarkanlah kami bergaul de­ngan tabir Allah kepada kami! Aku sesungguhnya takut bahwa kami mempunyai teman. Lalu dilihat oleh satu sama lain dari kami, apa yang kami caci-mencaci terhadap dia".


Ini menunjukkan kepada faedah yang lain lagi pada uzlah. Yaitu kekalnya tabir atas Agama, kepribadian, akhlaq, kemiskinan dan hal-hal lain, yang perlu ditutup (yang menjadi aurat). Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'aala memuji orang-orang yang menutupi hal-hal tadi. Allah Ta'ala berfirman :
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ
(Yahsabuhumul-jaahilu aghniyaa-a minatta-'affuf).Artinya : "Orang-orang yang tidak tahu, mengira bahwa mereka orang-orang kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta)".(S. Al-Baqarah, ayat 273).

Seorang penyair bermadah :
Tidaklah malu jikalau hilang
kenikmatan dari orang merdeka.
Tetapi yang malu ialah hilang keelokan budi bahasa,.......

Tidaklah manusia itu terlepas tentang Agama, dunia, akhlaq, dan perbuatan-perbuatannya dari aurat (yang memalukan kalau ter buka). Yang utama pada Agama dan dunia, ialah menutupi aurat : itu. Dan tidak ada keselamatan dengan membukakannya. Abu'd-Darda' berkata : "Adalah manusia itu dahulu ibarat datang yang tidak beiduri. Maka manusia itu sekarang, adalah ibarat duti yang tidak berdaun".


Apabila ini keadaannya masa Abu'd-Darda-, yaitu : pada akhir abad pertama hijriah, maka tiada seyogialah untuk diragukan, bahwa pada masa yang kemudian dari itu adalah lebih buruk. Sufyan bin. 'Uyaynah berkata : "Berkata kepadaku Sufyan Ats- Tsuri, tentang bangun pada hidupnya dan tentang tidur sesudah meninggalnya : 'Sedikitkanlah mengenai manusia! Karena melepaskan diri daripada mereka itu sukar. Dan aku tiada mengira akan melihat apa yang tiada aku sukai, selain dari orang yang aku kenal'". Setengah mereka berkata : "Aku datang kepada Malik bin Dinar dan beliau,sedang duduk sendirian. Tiba-tiba seekor anjing meletak- kan dagunya atas lututnya. Lalu aku pergi mengusirkan anjing itu. Maka beliau berkata : 'Biarkanlah anjing itu, wahai saudara! Dia tidak mendatangkan melarat dan tidak menyakitkan. Dan dia lebih baik dari teman duduk yang jahat' ".

Ditanyakan kepada setengah mereka : "Apakah yang membawa mengasingkan diri dari manusia ramai?"
Lalu orang itu menjawab : "Aku takut, bahwa aku mencabut aga- maku dan aku tiada merasa".
Ini adalah isyarat kepada curi-mencurikan tabi'at (karakter) dari budi-pekerti teman yang jahat.

Abu'd-Darda' berkata : "Bertaqwalah kepada Allah dan takutilah manusia! Karena manusia itu tiada mengendarai punggung unta, melainkan membelakangi unta itu. Tiada mengendarai punggung kuda yang cepat lari, melainkan melukainya. Dan tiada mengendarai hati mu'min, melainkan merobohkannya".
Berkata setengah mereka : "Sedikitkanlah kenalan! Sesungguhnya yang demikian lebih menyelamatkan agamamu dan hatimu. Dan lebih meringankan untuk gugurnya hak-hak daripada kamu. Karena manakala telah banyak kenalan, niscaya banyaklah hak-hak kenalan itu. Dan sukarlah melaksanakan semuanya". Berkata setengah mereka : "Tantanglah orang yang engkau kenal! Dan janganlah berkenalan dengan orang yang tiada engkau kenal!.



FAEDAH KELIMA :
Bahwa terputuslah harapan manusia daripada engkau dan terputus lah harapan engkau daripada manusia.Adapun terputusnya harapan manusia daripada engkau, maka pada­nya banyak faedah. Karena kerelaan manusia (ingin memperoleh kerelaannya) adalah suatu maksud yang tiada akan tercapai.
Maka mempergunakan waktu untuk memperbaiki diri sendiri adalah lebih utama.


Seenteng-enteng dan semudah-mudahnya, hak kenalan itu ialah menghadliri janazah, mengunjungi orang sakit, mendatangi pesta dan orang kawin. Dan pada semuanya itu menghilangkan waktu dan mendatangkan bencana. Kemudian, kadang-kadang dihalangi dari sebahagiannya oleh penghalang-penghalang. Dan dihadapi rintangan-rintangan padanya. Dan tidaklah mungkin melahirkan tiap-tiap rintangan itu. Lalu mereka mengatakan kepadanya : "Engkau telah laksanakan hak si Anu dan engkau lalaikan tentang hak kami". Dan jadilah yang demikian sebab permusuhan. Ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa tiada mengunjungi orang sakit pada waktu " kunjungan, niscaya ia suka matinya orang itu, karena takut diberi malu, apabila benar ia teledor. Barangsiapa meratakan semua orang dengan tidak memberi, niscaya semuanya senang kepadanya. Dan jikalau ditentukannya sebahagian dengan memberi, niscaya mereka merasa liar hati daripadanya. Dan merata­kan semua mereka dengan segala hak itu, tiada akan sanggup dilaksanakan oleh orang yang menjuruskan perhatiannya untuk itu sepanjang malam dan siang. Maka betapatah lagi bagi orang yang mempunyai kepentingan yang dikeijakannya, mengenai agama dan dunia.

Amr bin Al-'Ash berkata : "Banyaknya teman maka banyaklah orang-orang yang memperhutangkan kita (al-ghurama')".
Ibnur Rumi berkata:Musuhmu mengambil faedah dari temanmu, mak a janganlah engkau memperbanyak teman! Karena kebanyakan penyakit engkau temu,  adalah dari makanan dan minuman.
Asy-Syafi-'i ra. berkata : "Asalnya tiap-tiap permusuhan, ialah berbuat baik kepada orang-orang yang berjiwa kotor. Memutuskan harapanmu dari orang-orang yang berjiwa kotor itu, besar juga faedahnya. Karena orang yang memandang kepada kembang dan perhiasan dunia, niscaya tergeraklah keinginannya dan membangkitlah kelobaannya dengan kuatnya keinginan itu. Dan ia tiada melihat selain kekiecewaan pada kebanyakan hal. Lalu ia menderita dengan yang demikian".

Dan manakala ia mengasingkan diri (ber-'uzlah), niscaya ia tiada menyaksikannya. Dan apabila ia tiada menyaksikannya, nisbaya ia tiada merindui dan mengharapkannya.

Karena itulah, Allah Ta'ala berfirman :
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ
(Wa laa tamuddanna 'ai-nai-ka ilaa maa matta'-naa bihii azwaajan minhum).
Artinya : "Dan janganlah engkau tujukan pemandangan engkau kepada kesenangan sebagai bunga kehidupan -dunia yang telah Kami berikan kepada) beberapa golongan diantara mereka (S. Thaha, ayat 131),



Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
انظروا إلى من هو دونكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم فإنه أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
(Undhuruu ilaa man huwa duunakum, wa laa tandhuruu ilaa man huwa fau-qakum fa-innahu ajdaru ah laa tazdaruu ni'matallaahi 'alaikum).Artinya : "Lihatlah kepada orang yang kurang daripada kamu dan jangan kamu melihat kepada orang yang di atas kamu! Karena yang demikian adalah lebih layak untuk kamu tidak menghinakan nikmat Allah kepadamu". (1)

Aun bin 'Abdullah berkata : "Adalah aku duduk-duduk dengan orang-orang kaya. Maka selalulah aku bersedih hati. Aku melihat kainnya lebih bagus daripada kainku dan kendaraannya lebih rajin daripada kendaraanku. Lalu aku duduk-duduk dengan orang-orang fakir-miskin. Maka aku merasa tenteram".

Diceriterakan bahwa Al-Mazani ra. keluar dari pintu masjid jami Al-Fusthath. Dan datanglah di depannya Ibnu Abdil Hakam dalam rombongannya. Maka amatlah tercengang Al-Mazani akan apa yang dilihatnya dari kebagusan keadaan dan bentuknya dari rombongan itu. Lalu beliau membaca firman Allah Ta'ala :

(Wa ja-'alnaa ba'-dlakum liba'-dlin fitnatan a-tashbiruun). Artinya : "Dan Kami jadikan sebahagian kamu menjadi ujian kepa­da yang lain. Sabarkah kamu (S. Al-Furqan, ayat 20).

Kemudian Al-Mazani berkata : "Ya, saja sabar dan rela". Dan adalah Al-Mazani seorang fakir yang sedikit sekali mempunyai harta. Maka orang dalam rumahnya, tidaklah mendapat percobaan seperti percobaan-percobaan ini.


Maka sesungguhnya orang yang menyaksikan perhiasan dunia, adakalanya untuk ia menguatkan agama dan keyakinannya. Lalu ia bersabar. Maka ia memerlukan kepada meneguk kepahitan sabar. Dan itu adalah lebih pahit dari sabar itu sendiri. Atau membangkit keinginannya. Lalu ia berdaya-upaya mencari dunia. Maka binasa- lah ia untuk selama-lamanya.
Adapun di dunia, maka dengan kelobaan yang mengecewakan dalam kebanyakan waktu. Maka tidaklah tiap-tiap orang yang mencari dunia itu, mudah baginya jalan yang ditempuh.
Adapun di akhirat, maka dengan dipilihnya mata-benda dunia dari­pada berdzikir kepada Allah Ta'ala dan mendekatkan diri kepada- Nya. Dan karena itulah Ibnul A'-rabi bermadah :
Apabila pintu kehinaan, diperoleh dari segi kekayaan.
Maka engkau meninggi kepada ketinggian, dari segi kemiskinah. ... . ....... ...
Beliau isyaratkan kepada kelobaan itu mengharuskan kehinaan pada waktu sekarang juga.



FAEDAH KE-ENAM :
Terlepas daripada menyaksikan orang-orang yang berat perangainya dan kurang akal pikirannya. Dan terlepas daripada kekasaran kebo dohan dan budi pekerti orang-orang itu. Karena melihat orang yang berat perangainya itu, adalah buta kecil.
Ditanyakan Al-A'-masy : "Dari apakah yang membutakan kedua matamu?".
Al-A'-masy menjawab : "Dari karena memandang kepada orang- orang yang berat perangainya".

Diceriterakan, bahwa Imam Abu Hanifah masuk ke tempat Al-A'-masy. Lalu beliau mengatakan, bahwa tersebut pada hadits : "Sesungguhnya barangsiapa dicabut oleh Allah kedua matanya, niscaya digantikan oleh Allah kedua matanya itu dengan yang lebih baik dari kedua mata itu . Maka apakah yang digantikan oleh Allah pada engkau?


Al-A'-masy menjawab : "Pada mengemukakan yang baik-baik itu maka Allah Ta'ala m enggan mengantikan kepadaku dan kedua mata itu, dengan mencukupkan bagiku melihat orang-orang yang berat pera­ngainya. Dan" engkau adalah setengah dari orang-orang itu". Ibnu Sirin berkata : "Aku mendengar seorang laki-laki berkata : 'Pada suatu kali aku memandang kepada orang yang berat perangai­nya, maka pitamlah aku".

Jalinus berkata: "Tiap-tiap sesuatu itu ada demamnya. Dan demam jiwa ialah memandang kepada orang-orang yang berat perangainya". Asy-Syafi-'i ra. berkata : "Tiada aku duduk-duduk dengan orang yang berat perangainya, melainkan aku dapati bahagian badanku yang lebih dekat kepadanya, seakan-akan lebih berat kepadaku dari pada bahagian yang lain' ".

Faedah-faedah ini, selain dari dua yang pertama, adalah bersang- kutan dengan maksud-maksud keduniaan yang sekarang. Tetapi juga menyangkut dengan agama. Karena manusia itu manakala merasa disakiti dengan melihat orang yang berat perangainya, niscaya tidak akan merasa aman, bahwa orang itu akan mengupatinya. Dan akan mengingkari apa yang dijadikan oleh Allah. Maka apabila ia merasa sakit dari orang lain, dengan upatan atau jahat sangkaan atau dengki-mendengki atau lalat-merah atau lain dari itu, niscaya ia tidak akan dapat bersabar daripada membalasinya. Dan semua yang demikian itu menghela kepada kerusakan agama. Dan dengan meng­asingkan diri (ber-'uzlah) memperoleh keselamatan dari semua itu. Maka hendaklah dipahami!.


BAHAYA UZLAH

Ketahuilah, bahwa setengah daripada maksud-maksud keagamaan dan keduniaan, ialah apa yang diperoleh faedahnya dengan menda­pat pertolongan orang lain. Dan tidaklah berhasil yang demikian itu, selain dengan bercampur-baur. Maka tiap-tiap yang diperoleh fae­dahnya daripada bercampur-baur, akan hilang dengan mengasingkan diri ('uzlah). Dan hilangnya itu adalah setengah daripada bahaya 'uzlah.

Maka perhatikanlah kepada faedah-faedah bercampur-baur dan apa-apakah yang memanggil kepadanya. Yaitu : mengajar dan belajar, memberi manfa'at dan mengambil manfa'at. Mengajar adab sopan-santun (ta'dib) dan belajar. adab sopan santun (ta-addub). Memperoleh kejinakan hati dan menjinakkan hati. Memperoleh pahala dan menghasilkan pahala pada menegakkan hak-hak orang.

Membiasakan kerendahan diri. Dan mengambil faedah dari pengalaman-pengalaman, dengan menyaksikan hal-hal dan mengambil: ibarat dengan hal-hal itu.

Maka marilah kami uraikan yang demikian! Sesungguhnya semua itu termasuk sebahagian dari faedah-faedah bercampur-baur. Yaitu : tujuh :           

FAEDAH PERTAMA : mengajar dan belajar.
Sesungguhnya telah kami sebutkan keutamaan keduanya itu pada "Kitab Ilmu" dahulu. Dan keduanya itu ibadah yang terbesar dalam dunia. Dan tidaklah tergambar yang demikian itu,selain dengan bercampur-baur.

Kecuali bahwa ilmu pengetahuan itu banyak. Sebahagiannya luas dan sebahagiannya penting di dunia. Maka orang yang memerlukan kepada mempelajari apa yang wajib ke atas dirinya, adalah menjadi orang ma'shiat (berdosa) dengan mengasingkan diri. Jikalau ia telah mempelajari yang fardlu (yang wajib) dan tidak mungkin ia mencempelungkan diri ke dalam bidang ilmu pengeta­huan dan ia melihat akan kegunaan waktunya dengan ibadah, maka hendaklah ia ber'uzlah (mengasingkan diri). Dan jikalau ia sanggup muncul dalam lapangan ilmu syari'at dan ilmu akal (eksak), maka pengasingan diri terhadap dirinya sebelum belajar, adalah rugi sekali. :

Dan karena inilah, An-Nakha-'i dan lainnya berkata : "Belajarlah fiqh’(tuntutlah ilmu), kemudian asingkanlah diri! Dan barangsiapa mengasingkan diri sebelum belajar, maka orang itu pada kebanyak annya, menyianyiakan waktu dengan tidur atau berfikir pada tepian gila".

Dan kesudahannya, ia menghabiskan waktu dengan wirid-wirid yang dilengkapinya. Dan senantiasalah ia pada segala amalannya dengan tubuh dan hati, dengan berbagai macam tipu-daya yang menyia-nyiakan usahanya. Dan membatalkan amalannya, di mana ia tiada mengetahuinya. Dan senantiasalah keimanannya (i'tiqad- nya) mengenai Allah dan sifat-Nya dengan sangkaan-sangkaan yang disangkainya. Dan hatinya jinak dengan sangkaan-sangkaan itu. Dan dengan gurisan-gurisan yang buruk yang menimpa dirinya. Maka adalah ia dalam kebanyakan halnya itu, tertawaan bagi sethan. Dan ia melihat dirinya setengah daripada orang-orang yang beribadah kepada Allah.

Jadi, ilmu itu adalah pokok agama. Maka tiadalah kebajikan pada mengasingkan diri bagi orang-orang awam dan orang-orang bodoh.
Ya'ni : orang yang tiada pandai beribadah pada tempat khilwah. . Dan ia tiada mengetahui semua yang harus baginya pada tempat khilwah itu.

Maka jiwa itu adalah seperti orang sakit, yang memerlukan kepada dokter yang lemah-lembut, yang akan mengobatinya. Maka orang sakit yang bodoh, apabila bersemadi sendirian dari dokter, sebelum mempelajari ilmu kedokteran, maka tidaklah inustahil penyakitnya bertambah berlipat-ganda.

Dari itu, maka tidaklah layak mengasingkan diri, kecuali orang yang berilmu. Adapun mengajar, maka padanya pahala besar, manakala benarlah niat yang mengajar dan yang belajar. Manakala maksudnya itu menegakkan kemegahan dan memperbanyakkan teman dan pengikut, maka itu membinasakan agama. Dan sudah kami sebut- kan cara yang demikian itu pada "Kitab Ilmu" dahulu Dan hukumnya orang yang berilmu pada masa ini, ialah mengasing­kan diri jikalau ia menghendaki keselamatan agamanya. Karena ia tiada akan melihat orang yang memperoleh faedah, yang mencari faedah itu untuk agamanya. Tetapi tak adalah pelajar itu, melain­kan untuk kata-kata yang berhias, untuk menarik orang awam (orang kebanyakan) pada penonjolan pengajaran. Atau untuk jter- tengkaran, yang berbelit-belit, yang menyampaikannya kepada mengalahkan teman dan mendekatkannya kepada sultan (penguasa). Dan mempergunakannya pada penonjolan berlomba-lombaan dan bermegah-megahan. Dan yang terdekat ilmu pengetahuan yang di-ingini, ialah mhdzhab. Dan biasanya tidak dicari, kecuali untuk menyampaikan kepada penampilan ke depan di atas teman-teman sebaya, memerintahi wilayah-wilayah dan menarik harta kekayaan. Maka mereka itu semua, menurut apa yang dikehendaki oleh Agama dan penjagaan diri dari kebinasaan, ialah mengasingkan diri dari mereka itu. Jikalau dijumpai seorang pelajar karena Allah dan yang mendekatkan dirinya kepada Allah dengan ilmu pengetahuannya, maka dosa yang terbesarlah mengasingkan diri daripadanya dan menyembunyikan ilmu daripadanya.

Dan ini tiada akan dijumpai pada suatu negeri besar, lebih banyak dari seorang atau dua. Itupun kalau dijumpai. Dan tiada seyogialah manusia itu tertipu dengan ucapan Sufyan : "Kami mempelajari ilmu karena selain Allah, maka ilmu itu enggan untuk ada ia, kecu­ali karena Allah". Maka sesungguhnya para ulama fiqh (fuqaha') itu mempelajari ilmu karena selain Allah. Kemudian mereka itu kembali kepada Allah. Dan lihatlah akhir usia kebanyakan mereka


Dan ambillah ibarat bahawa mereka itu meninggal, bahawa mereka itu binaisa mencari dunia! Dan sangatlah lobanya kepada dunia atau benci kepada dunia dari zuhud pada dunia. Dan tidaklah berita itu seperti disaksikan dengan mata kepala!. Ketahuilah, bahwa ilmu yang di-isyaratkan oleh Sufyan tadi, ialah" : ilmu hadits, tafsir Al-Qur-an, mengenai sejarah nabi-nabi dan para shahabat. Karena padanya membawa kepada penakutan dan peringatan. Dan itu adalah sebab untuk mengobar-ngobarkan takut kepada Allah. Jikalau tidak membekas pada masa sekarang, niscaya akan membekas pada masa yang akan datang.

Adapun ilmu kalam dan fiqh yang semata-mata berhubungan de­ngan fatwa-fatwa bahagian mu 'amalah dan penyelesaian persengketaan itu adalah madzhab daripadanya dan perbedaan pendapat. Tidaklah kembali orang yang gemar padanya karena dunia, kepada Allah. Tetapi senantiasalah terus-menerus pada kelobaannya sampai kepada akhir usianya;


Semoga apa yang kami simpan itu ialah Kitab ini. Jikalau dipelajari oleh pelajarnya karena mengingini dunia, maka bolehlah ia diberi kesempatan karena diharapkan memperoleh peringatan (pengajaran) dengan Kitab ini pada akhir usianya. Karena Kitab ini penuh de­ngan menakutkannya kepada Allah, menggemarkannya kepada akhirat dan memperingatkannya dari bahaya dunia. Dan yang de­mikian, adalah setengah daripada apa yang dijumpai dalam hadits-... hadits dan tafsir Al-Qur-an. Dan tidak dijumpai pada ilmu kalam, pada masalah khilafiah dan pada madzhab.


Maka tiada seyogialah manusia itu menipu dirinya sendiri. Sesung­guhnya orang yang teledor, yang mengetahui dengan keteledoran nya itu, berkeadaan yang lebih berbahagia, dari seorang bodoh yang. terpedaya atau berbuat-buat bodoh yang berpikiran lemah. Dan setiap orang yang berilmu yang bersangatan kelobaannya kepada mengajar, hampirlah dapat dikatakan, bahwa maksudnya itu, untuk diterima orang dan kemegahan. Dan bahagiannya ialah memperoleh kelezatan jiwa pada masa sekarang, dengan bersem- boyankan dapat menunjuk orang-orang bodoh dan menyombongkan diri terhadap orang-orang bodoh itu.

Maka bahaya ilmu ialah : kesombongan, sebagaimana dikatakan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  (1) Dan karena itulah, diceriterakan dari Bisyr, bahwa Bisyr menanamkan tujuh belas peti kitab-kitab hadits, yang didengarinya dan tidak dihaditskannya (diriwayatkannya);Dan Bisyr mengatakan: ''Saya bernafsu meriwayatkan hadits itu kepada orang lain. Maka karena itulah, saya tiada meriwayatkannya. Dan jikalau saya bernafsu untuk tiada meriwayatkannya, nis­caya saya riwayatkan".

Dan karena itulah Bisyr berkata : "Diriwayatkan hadits kepada kami oleh suatu  pintu dari pintu-pintu dunia. Dan apabila orang mengatakan : 'Riwayatkan hadits kepada kami!', maka sesungguh­nya orang itu mengatakan : 'Lapangkanlah jalan dunia bagi kami! ". Rabi'ah Al-'Adawiah berkata kepada Sufyan Ats-Tsuri: "Sebaik- baik orang adalah engkau, jikalau tidaklah keinginan engkau pada dunia".
Maka Sufyan bertanya : ''Pada apakah aku inginkan?". Rabi'ah menjawab : "Pada hadits!".

Dan karena itulah Abu Sulaiman Ad-Darani berkata : "Barangsiapa kawin atau mempelajari hadits atau menghabiskan waktunya de­ngan bermusyafir, maka sesungguhnya ia telah cenderung kepada dunia".
Maka inilah bahaya-bahaya, yang telah kami mintakan perhatian kepadanya pada "Kitab Ilmu " dahulu. Berhati-hati, ialah menjaganya dengan 'uzlah. Dan meninggalkan berbanyak teman sedapat mungkin. Bahkan orang yang mencari dunia dengan memberi pela­jaran dan mengajarinya, maka yang betul baginya, jikalau ia orang yang berakal, pada zaman yang seperti ini, ialah meninggalkannya. Sesungguhnya benarlah Abu Sulaiman Al-Khaththabi, di mana beliau berkata : "Tinggalkanlah orang-orang yang gemar pada menemanimu dan belajar padamu! Maka tiadalah bagimu daripada mereka itu harta dan keelokan. Teman-teman dzahir itu musuh- musuh secara rahasia. Apabila mereka menjumpai kamu, niscaya mereka berminyak-minyak air kepada kamu (tamalluq). Dan apa­bila kamu jauh dari mereka, niscaya mereka menyakitkan kamu. Siapa saja yang datang dari mereka kepada kamu, adalah dia itu pengintip. Dan apabila ia keluar, niscaya ia menjadi juru pidato orang munafiq, lalat merah, dengki dan tipu. Maka janganlah kamu tertipu dengan berhimpunnya mereka kepada kamu! Tidaklah maksud mereka itu ilmu pengetahuan, tetapi kemegahan dan harta. Mereka mengambilkan kamu menjadi tangga kepada keperluan dan maksud mereka. Dan menjadi keledai pada hajat keperluan mereka. Jikalau engkau teledor pada suatu maksud dari maksud-maksud mereka, niscaya mereka menjadi musuh yang terbesar bagi engkau.

Kemudian mereka hitung puiang-perginya kepada engkau, sebagai dalil yang menunjukkan atas engkau. Dan mereka memandang yang demikian itu suatu hak yang wajib pada sisi engkau. Dan mereka mengharuskan di atas engkau menyerahkan kehormatan engkau, kemegahan dan agama engkau bagi mereka. Maka engkau bermusuh dengan musuh mereka. Engkau menolong kerabat, pela- yan dan wali mereka. Dan engkau bangkit untuk kepentingari mereka selaku orang bodoh, padahal engkau adalah seorang yang mengerti. Dan jadilah engkau seorang pengikut yang hina bagi mereka, sesudah engkau berada selaku orang yang di-ikuti, yang mengepalai.
Dan karena itulah dikatakan, bahwa mengasingkan diri dari orang awam adalah suatu kehormatan diri (muru-ah) yang sempurna. Ma­ka inilah maksudnya perkataan Abu Sulaiman Al-Khaththabi itu. Walaupun ia menyalahi dengan sebahagian dari kata-katanya. Dan itu adalah hak dan benar. Sesungguhnya engkau melihat guru- guru itu dalam perbudakan yang berkekalan, di bawah hak yang lazim dan omelan yang berat, dari orang-orang yang pulang pergi kepada mereka. Seakan-akan orang itu menghadiahkan hadiah- hadiah yang berharga kepada guru-guru itu. Dan melihat haknya menjadi suatu kewajiban di atas pundak guru-guru. Dan kadang- kadang orang itu tidak pulang-pergi kepada guru, selama ia tidak menanggung perbelanjaannya dengan terus-menerus. Kemudian guru yang miskin, kadang-kadang lemah daripada melaksanakan yang demikian itu dari hartanya. Maka senantiasalah ia pulang- pergi ke pintu-pintu rumah penguasa dan merasa pedihnya kehina­an dan kesulitan, sebagaimana dirasakan oleh seorang hina-dina. Sehingga dituliskan baginya di atas setengah cara-cara harta haram : akan harta haram. Kemudian senantiasalah pegawai penguasa itu memperbudakkannya, menggunakannya untuk pelayan, menghinakannya dan melecehkannya, sampai kepada diserahkan oleh pega­wai itu, kepada guru tadi, apa yang ditentukan jumlahnya sebagai nikmat yang berulang-ulang daripadanya yang menjadi tanggungan nya.

Kemudian berkekalan pula guru itu dalam menghadapi kesulitan membagi dari apa yang diterimanya itu, kepada teman-temannya. Jikalau disamakannya pembahagian diantara mereka, niscaya ia dikutuk oleh teman-temannya yang memperoleh hak-hak istimewa. Dan mereka itu menggolongkan guru itu kepada kedunguan, kurang dapat membeda-bedakan dan keteledoran daripada dapat melaksanakan kelebihan dan menegakkan bahagian-bahagian hak

dengan keadilan; Dan jikakudilebih-kurangkarinya diantara- teman- temannya itu, niscaya ia disakiti oleh orang-orang bodoh dengan lidah-lidah tajam. Dan mereka bangkit kepadanya, sebagai bangkit- nya sosok-sosok tubuh dan singa-singa. Maka senantiasalah guru itu -dalam kekasaran mereka di dunia ini dan dalam tuntutan apa yang diambilnya dan dibagikannya kepada mereka di akhirat. Dan yang mengherankan, bahwa bersama bencana ini semua, guru itu membahayakan dirinya dengan segala kebatilan dan mengikatkannya dengan tali ketipuan. Dan ia mengatakan kepada dirinya : "Jangan engkau ada-adakan dari perbuatanmu! Sesungguhnya engkau dengan apa yang engkau kerjakan itu adalah menghendaki Wajah Allah Ta'ala.

Dan menyiarkan syari'at Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  Mengembangkan pengetahuan Agama Allah dan menegakkan ke­pentingan para penuntut ilmu dari hamba-hamba Allah. Dan harta sultan-sultan itu tak ada pemiliknya. Dan adalah tempat pengintipan bagi kepentingan umum. Dan manakah kepentingan umum yang lebih besar daripada memperbanyak ahli ilmu pengetahuan? Maka dengan ahli ilmu pengetahuanlah, Agama itu muncul dan bertaqwa ahlinya.

Dan jikalau tidaklah guru itu menjadi bahan tertawaan syaitan, nis­caya ia mengetahui dengan sedikit saja pemikiran, bahwa kerusakan masa sekarang, tidaklah sebabnya, selain karena banyaknya orang- orang seperti ahli-ahli fiqh (fuqaha') itu, yang memakiji apa saja yang diperolehnya. Dan tidak memperbedakannya diantara halal dan haram. Lalu mereka itu diperhatikan oleh mata orang-orang bodoh. Dan orang-orang bodoh itu menjadi berani melakukan kema'shiatan, disebabkan keberanian mereka. Karena mengikuti mereka dan menuruti jejak mereka. Dan karena itulah, dikatakan bahwa tidaklah rusak rakyat, melainkan disebabkan rusaknya raja-raja (penguasa-penguasa). Dan tidaklah rusak raja-raja, melain­kan disebabkan rusaknya para ulama. Maka berlindunglah kita dengan Allah, dari ketipuan dan kebutaan. Karena itu adalah penyakit yang tak ada obatnya.


FAEDAH KEDUA : memberi manfa'at dan mengambil manfa'at.
Adapun mengambil manfa'at dengan manusia, adalah dengan usaha dan mu'amalah (mengadakan hubungan dengan jual-beli dan lain- lain).       Yang demikian itu, tidak mungkin, kecuali dengan bercampur-baur. Dan orang yang memerlukan kepada yang demikian itu, memerlu­kan kepada meninggalkan pehgasingan diri Lalu beradalah ia dalam  jihad (perjuangan) dari bercampur-baur itu, jikalau ia mencari penyesuaian Agama padanya, sebagaimana telah kami terangkaii dahuhi pada "Kitab Usaha".

Maka jikalau ada padanya harta, jikalau ia merasa cukup puas de­ngan harta itu, niscaya puaslah ia dengan harta itu. Maka mengasingkan diri ('uzlah) adalah lebih utama baginya, apabila tertutup dalam kebanya kan hal, segala jalan usaha, selain dari yangv ma'shiat. Kecuali adalah maksudnya berusaha itu untuk bersedekah.                      

Apabila ia berusaha dari cara yang tersebut dan ia mengeluarkan sedekah dengan usahanya itu, maka itu lebih utama daripada meng­asingkan diri. Karena menggunakan waktunya itu dengan amalan sunat.

Dan tidaklah itu yang lebih utama daripada mengasingkan diri, karena menghabiskan waktunya untuk mencari dalil (tahaqquq) tentang mengenai Allah dan ilmu-ilmu Agama. Dan tidaklah yang: lebih utama, daripada menghadapkan jiwa dengan seluruh cita-cita kepada Allah Ta'ala. Dan menjuruskannya untuk mengingati Allah. Ya'ni siapa yang berhasil memperoleh kejinakan hati dengan munajah dengan Allah, dengan kasyaf (terbuka hijab) dan dengan mata hati. Tidak dengan sangka-waham dan khayalan-khayalan yang batil.      '
Adapun memberi manfa'at, yaitu : memberi manfaat kepada manusia. Adakalanya dengan hartanya atau dengan tenaga badannya. Ia bangun menunaikan hajat keperluan manusia itu, di atas' jalan mengharapkan pahala. Maka pada bangkit menunaikan hajat keperluan kaum muslimin, ada pahalanya. Dan yang demikian, tidaklah tercapai, selain dengan     bercampur-baur. Dan orang yang sanggup bercampur-baur dengan manusia, serta dapat menegakkan batas-batas hukum syari'at, maka bercampur-baur itu lebih utama baginya dari 'uzlah, jikalau dalam 'uzlahnya itu, ia tidak mengerjakan selain shalat-shalat sunnat dan amalan-amalan yang dilaksanakan dengan badan (aymal badaniah). Dan jikalau ia termasuk orang yang terbuka baginya jalan amalan dengan hati, dengan berkekalan dzikir atau tafakkur, maka yang demikian, tidaklah sekali-kali dapat disamakan oleh yang lain.




FAIDAH KETIGA : mengajar adab sopan-santun (ta'dib) dan belajar adab (ta-addub).
Kami maksudkan dengan yang demikian, ialah memperoleh latihan disebabkan kekasaran manusia. Dan berjuang menahan kesakitan dari manusia, untuk menghancurkan nafsu dan memaksakan segala keinginan (nafsu syahwat). Dan itu adalah setengah dari faedah- faedah yang diperoleh dengan bercampur-baur. Dan bercampur- baur itu, lebih utama daripada mengasingkan diri, terhadap orang yang tidak terdidik budi-pekertinya dan tidak tunduk hawa nafsu- nya kepada batas-batas Agama.

Dan karena inilah, diperkenankan pelayan-pelayan kaum shufi di pondok-pondok (langgar-langgar). Lalu kaum shufi itu bercampur-baur dengan manusia, dengan pelayanan mereka. Dan dengan orang-orang pasar, untuk meminta sesuatu dari mereka. Untuk menghancurkan kebebalan diri dan mencari pertolongan dari barakah do'a orang-orang shufi, yang mengarahkan seluruh cita-citanya kepada Allah swt.

Dan ini adalah pangkal bertolak (mabda*) pada masa-masa yang lampau. Sekarang sesungguhnya telah dicampur-baurkan oleh maksud-maksud yang batil. Dan telah mereng yang demikian itu, dari undang-undang (qanun), sebagaimana telah mereng simbul- simbul agama yang lain. Lalu jadilah, dicari daripada merendahkan diri (tawadlu') itu dengan pelayanan, akan memperbanyak ikutan, bersangatan mengumpulkan harta dan menampakkan dengan ba­nyak pengikut.

Jikalau inilah yang menjadi niat, maka mengasingkan diri ('uzlah) itu lebih baik daripada yang demikian, walau kepekuburan sekalipun. Dan jikalau adalah niat itu melatih jiwa, maka itu adalah lebih baik daripada 'uzlah, terhadap orang yang memerlukan kepada latihan. Dan yang demikian adalah termasuk setengah daripada yang dihajati pada permulaan kehendak tadi. Maka setelah berhasil latihan, seyogialah dipahami bahwa hewan tidaklah dicari dari latihannya itu, akan diri latihan. Tetapi yang dimaksudkan dari­padanya, ialah untuk membuat hewan itu menjadi kendaraan, yang dapat menempuh perjalanan berhari-hari dan memendekkan jalan di atas punggung kendaraan itu.

Dan badamadalah hewan kendaraan bagi hati, yang dikendarainya untuk berjalan ke jalan akhirat. Dan pada kendaraan itu ada hawa- nafsu. Jikalau tidak dihancurkan, niscaya ia akan melawan dijalanan.

Orang yang menggunakan waktunya sepanjang umur dengan latihan, niscaya adalah seperti orang yang menggunakan waktu sepamjang umur hewan kendaraannya itu dengan melatihkannya. Dan tidak pemah mengendarainya. Maka ia tidak mengambil faedah daripada hewan kendaraan itu, selain terlepasnya pada waktu itu dari gigitan, sepakan dan terjangan hewan kendaraan tersebut.

Demi sebenarnya, itu adalah faedah yang dimaksudkan! Tetapi faedah yang seperti itu dapat diperoleh dari binatang mati. Dan sesungguhnya hewan kendaraan itu dimaksudkan untuk faedah yang dihasilkan dari hidupnya.

Maka seperti itu pula, terlepasnya dari kepedihan nafsu-syahwat di waktu itu, dapat dihasilkan dengan tidur dan mati. Dan tiada seyogialah dicukupkan dengan yang demikian. Seperti pendeta yang dikatakan kepadanya : "Hai pendeta!". Lalu ia menjawab : "Bukanlah aku ini pendeta. Sesungguhnya aku adalah anjing galak. Aku penjarakan diriku, sehingga aku tidak menggigit manusia". Dan ini adalah baik, dibandingkan dengan orang yang melukakan manusia. Tetapi tidak seyogialah, disingkatkan kepada itu saja. Karena orang yang membunuh diri, juga tidak melukakan manusia. Tetapi seyogialah menoleh kepada tujuan yang dimaksudkan de­ngan demikian. Dan siapa yang memahami akan demikian dan mendapat petunjuk kepada jalan dan sanggup kepada menjalani jalan itu, niscaya teranglah baginya bahwa 'uzlah itu, lebih menolong kepadanya, dibandingkan dengan bercampur-baur (mukhalathah), Maka yang lebih utama bagi orang yang seperti ini ialah mukhalathah pada awalnya dan 'uzlah pada akhirnya. Adapun mengajar adab sopan-santun (ta'dib), maka sesungguhnya yang kami kehendaki dengan ta’dib itu, ialah melatih orang lain.' Dan itu adalah keadaan guru (syaikh) kaum shufi bersama kaum shufi. Guru itu tidak sanggup mendidik mereka, kecuali dengan bercampur-baur dengan mereka. Dan hal-ikhwal syaikh itu ialah hal-ikhwal guru. Dan kedudukannya pun adalah kedudukan guru. Dan berjalanlah padanya pada yang berjalan pada penyiaran ilmu, dari bahaya-bahaya yang halus dan ria. Kecuali bahwa tempat- tempat sangkaan mencari dunia dari murid-murid yang belajar untuk memperoleh latihan itu, adalah lebih jauh dari bahaya- bahaya dari para penuntut ilmu.
Karena itulah tampak pada mereka itu sedikit orangnya dan pada penuntut ilmu itu banyak. Maka seyogialah, bahwa dibandingkan apa yang mudah baginya dari khilwah (bersemadi), dengan apa yang mudah baginya dari mukhalathah (bercampur-baur) dan mendidik orang banyak. Dan hendaklah dihadapkan yang satu dengan lain- nya. Dan hendaklah dipilih yang lebih utama (al-afdlal). Dan yang demikian dapat diketahui dengan ijtihad yang halus dan berlainan menurut keadaan dan orang. Maka tidaklah mungkin menetapkah. hukumnya secara mutlak, dengan tidak (nafi) dan ya (istbat).


FAEDAH KEEMPAT : memperoleh kejinakan dan menjinakkan hati.

Itu adalah maksud orang yang menghadliri peralatan, undangan, tempat-tempat pergaulan dan kejinakan hati. Dan ini pada waktu itu juga, kembali kepada bahagian jiwa.

'Terkadang ada yang demikian itu, di atas jalan haram, dengan ber jinak-jinakan hati dengan orang yang tidak boleh berjinak-jinakan hati. Atau di atas jalan muhah (cara yang diperbolehkan). Dan terkadang disunnahkan yang demikian, karena urusan agama. Dan yang demikian, mengenai orang yang diperoleh kejinakan hati, dengan menyaksikan hal-ikhwalnya dan perkataan-perkataannya tentang Agama. Seperti kejinakan hati dengan syaikh-syaikh yang selalu menuruti jalan taqwa. Dan terkadang cara itu bersangkutan dengan bahagieji jiwa. Dan disunatkan, apabila maksudnya adalah menyenangkan hati untuk menggerakkan panggilan kerajinan pada ibadah. Sesungguhnya hati itu apabila dipaksakan, niscaya ia buta. Dan manakala di waktu sendirian merasa kesepian dan waktu du­duk-duduk dengan teman, merasa kejinakan yang menenteramkan hati, maka duduk-duduk itu lebih utama. Karena pelan-pelan pada ibadah adalah setengah dari kehati-hatian bagi ibadah. Dan karena itulah,
Nabi saw bersabda :                  
إن الله لا يمل حتى تملوا
(Innallaaha laa yamallu hattaa tamalluu).Artinya : "Sesungguhnya Allah tidak bosan, sehingga kamu bosan (l)

Ini'adalah keadaan yang tidak dapat dilepaskan. Karena jiwa itu, tidaklah merasa jinak dengan kebenaran terus-menerus, selama ia tidak ditenteramkan (di-istirahatkan). Dan pada memberatkan jiwa yang terus-menerus itu, meminta sejenak waktu untuk istirahat. Dan inilah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :
إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق
 (Inna haadzad-diina matiinun fa aughil fiihi birifqin). |
Artinya : "Bahwa Agama ini kokoh-kuat, maka masukkanlah kedalamnya dengan pelan-pelan

Memasukkan ke dalamnya dengan pelan-pelan, adalah sifat orang- orang yang bermata-hati. Dan karena itulah Ibnu 'Abbas berkata;: "Jikalau tidaklah takut kepada was-was, niscaya tidaklah aku duduk-duduk dengan manusia".

Sekali Ibnu 'Abbas mengatakan : "Sesungguhnya aku masuki negeri-negeri, yang tidak ada orang yang menjinakkan hati padanya. Adakah yang merusakkan manusia, selain dari manusia?".

Jadi, maka tidaklah. merasa cukup orang yang ber'uzlah itu, tanpa teman yang merasa kejinakari hati dengan melihat dan bercakap- cakap sesa'at dalam sehari semalam. Maka hendaklah bersungguh- sungguh mencari orang yang tidak akan merusakkannya pada sa'atnya itu, akan sa'at-sa'atnya yang lain!. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda :
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
 (Al-mar-u 'alaa diini khaliilihi fal-yandhur ahadukum man yukhaa- lil). ..
Artinya : Manusia itu menurut agama temannya. Maka: hendaklah seseorang kamu melihat akan orang yang mau diambil menjadi teman!". (1)

Dan hendaklah berusaha supaya adalah pembicaraannya ketika bertemu, mengenai urusan Agama, menceritakan hal-ikhwal hati, pengaduan dan keteledoran hati dari ketetapan di atas kebenaran dan petunjuk kepada jalan yang benar.
Maka pada yang demikian, memperoleh kelegaan dan menenteramkan bagi jiwa. Dan padanya itu jalan yang lapang bagi tiap-tiap orang yang sibuk dengan memperbaiki dirinya. Sesungguhnya, tidaklah terputus pengaduan hati, walaupun diberi usia yang panjang. Dan orang yang rela tentang dirinya,sudah pasti tertipu,

Maka kejinakan hati yang semacam ini, pada sebagian waktu siang, kadang-kadang lebih utama daripada 'uzlah terhadap sebahagian orang. Maka carilah padanya pertama-tama hal-ikhwal hati dan : hal-ikhwal teman duduk!. Kemudian barulah duduk-duduk bersama!.




FAEDAH KELIMA : tentang memperoleh pahala dan menghasil kan pahala bagi orang lain.

Adapun memperoleh pahala, ialah dengan menghadliri janazah, mengunjungi oiang sakit dan datang pada shalat dua hari Raya (hari raya 'Idil-nthri dan hari raya 'Idil-adlha). Adapun datang pada shalat Jum'ah, adalah tak boleh tidak. Dan menghadliri shalat  jama'ah pada shalat-shalat yang Iain juga, tidak diberi kelonggaran untuk meninggalkannya. Kecuali karena takut kepada kesukaran yang nyata, yang menggantikan pahala jama'ah yang hilang bahkan menambahkan lagi di atas yang hilang itu. Dan yang demikian, tidaklah terjadi, kecuali jarang sekali.

Dan seperti itu pula, pada menghadliri perkawinan dan undangan, akan memperoleh pahala, di mana pada kehadliran tersebut mema- sukkan kegembiraan pada hati muslim.


Adapun menghasilkan pahala bagi orang lain, maka yaitu : bahwa ia membuka pintu supaya manusia berkunjung kepadanya. Atau supaya manusia, berta'ziah (berbela-sungkawa) kepadanya, waktu mendapat musibah. Atau menyampaikan ucapan tahniah (ucapan selamat) waktu ia memperoleh nikmat. Sesungguhnya dengan de­mikian, orang itu akan memperoleh pahala.

Dan seperti itu pula, apabila ia dari golongan ulama dan meng- izinkan bagi orang banyak berziarah kepadanya, niscaya orang banyak akan memperoleh pahala berkunjung. Dsn dengan me­mungkinkan yang demikian, ia menjadi sebab pada pahala itu. Maka seyogialah ditimbang akan pahala bercampur-baur ini dengan bahaya-bahayanya yang telah kami sebutkan dahulu. Dan ketilca itu, kadang-kadang 'uzlah yang kuat. Dan kadang-kadang mukhalathah (bercampur-baur) yang kuat.

Diceriterakan dari segolongan salaf (ulama terdahulu), seperti Malik dan lainnya, tidak mau memperkenankan undangan, mengunjungi orang sakit dan menghadliri janazah: Bahkan, adalah mereka selalu di rumahnya. Mereka tidak keluar, kecuali ke Jum'ah atau ziarah kubur. Dan setengahny a meninggalkan kota dan menuju ke puncak-puncak bukit, untuk menyelesaikan diri bagi ibadah. Dan lari dari segala yang menyibukkan.


FAIDAH KE-ENAM :

Dari mukhalathah (bercampur-baur) itu lahirlah tawadlu* (meren­dahkan diri). Sifat tawadlu' adalah setengah dari tingkat yang paling utama. Dan tidak sanggup melaksanakan tawadlu' pada waktu sendirian. Kadang-kadang adalah takabur (kesombongan) itu, menjadi sebab memilih 'uzlah. Diriwayatkan dalam ceritera orang-orang Bani Isra'il, bahwa seorang ahli hikmat dari para ahli hikmat, mengarang tiga ratus enam puluh buku tentang hikmat (filsafah). Sehingga ia menyangka* bahwa ia telah memperoleh suatu tempat (derajat) pada sisi Allah". Maka Allah Ta'ala mewahyukan kepada nabi-Nya : "Katakanlah kepada si Anu : 'Bahwa engkau telah memenuhkan bumi ini dengan nifaq (kemunafiqan). Dan Aku tidak menerima dari kemunafiqanmu akan sesuatu '". Nabi tersebut berkata : "Lalu ahli hikmat itu menyembunyikan diri dan tinggal sendirian dalam suatu lobang di bawah tanah. Dan berkata : 'Sekarang sampailah aku kepada kerelaan Tuhanku' ". Maka Allah mewahyukan kepada nabi-Nya : "Katakanlah kepada­nya : 'Bahwa engkau belum sampai kepada kerelaan-Ku, sehingga engkau bercampur-baur dengan manusia dan sabar atas kesakitan yang diperbuat mereka'

Maka ahli hikmat itu keluar. Lalu masuk ke pasar-pasar, bercam­pur-baur dengan manusia, duduk-duduk dengan mereka, bantu- membantu sesama mereka, memakan makanan diantara mereka dan berjalan di pasar-pasar bersama mereka.Maka Allah Ta'ala mewahyukan kepada Nabi-Nya : "Sekarang ia telah sampai kepada kerelaan-Ku".


Maka berapa banyak orang yang ber-'uzlah (mengasingkan diri) dalam rumahnya dan yang menjadi penggeraknya ialah : takabur. Dan yang mencegahnya untuk datang keperayaan-perayaan, ialah bahwa : ia tidak dimuliakan atau tidak didahulukan..Atau ia meli­hat dengan tidaknya bercampur-baur dengan orang banyak itu, lebih meninggikan tempatnya (derajatnya). Dan lebih mengekalkan kebaikan sebutannya diantara manusia. Kadang-kadang ia meng­asingkan diri, karena takut daripada diperlihatkan keburukan-keburukannya, jikalau ia bercampur-baur. Maka janganlah engkau berkeyakinan, bahwa padanya zuhud dan sibuk dengan ibadah. Ia mengambil rumahnya untuk menutupi segala keburukannya, untuk mengekalkan keyakinan manusia tentang kezuhudannya dan banyak ibadahnya, tanpa menghabiskan waktu dalam khilwah, dengan dzikir atau tafakkur.


Dan tanda orang-orang tersebut tadi, ialah, bahwa mereka suka dikunjungi. Dan tidak suka mengunjungi. Mereka merasa gembira dengan mendekatnya orang-orang awam dan sultan-sultan kepada mereka. Mengumpulnya orang-orang itu pada pintu dan jalan mereka. Dan orang-orang itu mencium tangan mereka atas jalan barakah.

Jikalau kesibukan sendiri yang tidak menyukakannya untuk ber­campur-baur dan berkunjung kepada orang lain, niscaya kunjungan orang lain pun kepadanya tidak menyukakannya. Sebagaimana telah kami ceriterakan. hal Al-Fudlail, di mana ia berkata : "Adakah engkau datang kepadaku, kecuali untuk aku berhias bagimu dan kamu berhias bagiku?".


Dari Hatim Al-Ashamm, bahwa beliau mengatakan kepada 'amir yang berkunjung kepadanya : "Hajatku ialah : bahwa aku tiada melihat engkau dan engkau tiada melihat aku". Maka orang yang tiada sibuk beserta jiwanya dengan berdzikir kepada Allah, maka pengasingan dirinya dari manusia banyak, sebabnya ialah bersangatan terganggu pikirannya dengan orang banyak itu. Karena hatinya menjurus kepada menoleh kepada pandangan mereka kepadanya, dengan pandangan kemuliaan dan kehormatan.

Mengasingkan diri dengan sebab ini, adalah bodoh, dari beberapa segi :

Pertama : bahwa merendahkan diri dan bercampur-baur, tiadalah mengurangkan kedudukan orang yang menyombongkan diri, de­ngan ilmunya atau agamanya. Karena 'Ali ra. membawa kurma kering (tamar) dan garam pada kain dan tangannya. Dan beliau bermadah :
Tidaklah kurang orang sempurna,
 dari kesempurnaannya ................
oleh apa yang ia bawa,
yang berguna kepada keluarganya......................


Abu Hurairah, Hudzaifah, Ubai dan Ibnu Mas'ud, -diridlai Allah kiranya mereka sekalian- membawa ikatan kayu api dan karung tepung di atas bahu mereka. Adalah Abu Hurairah ra. berkata dan ia adalah wali negeri Madinah dan kayu api di atas kepalanya : "Berilah jalan bagi amirmu!". Dan penghulu segala rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  raembeli sesuatu, lalu dibawanya sendiri ke rumahnya. Maka berkata shahabatnya kepadanya : "Berilah kepadaku untuk aku bawa". Lalu menjawab Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  :
صاحب الشيء أحق بحمله
(Shaahibusy-syai-i ahaqqu bihamlih).
Artinya: "Yang punya barang itu, lebih berhak membawanya". (1)

Al-Hasan bin 'Ali ra. lalu di suatu tempat untuk menanyakan sesuatu. Dan di tangan orang-orang yang dilalui itu, daging yang sedang dimakan. Maka mereka itu mengajak makan : "Marilah makan siang, wahai putera Rasulullah!

Maka Al-Hasan turun dari duduk di atas jalan. Dan makan bersama mereka. Kemudian berkendaraari dan berkata : "Bahwa Allah tiada menyukai orang-orang yang takabur".


Segi kedua : bahwa orang yang menyibukkan dirinya mencari kerelaan manusia kepada dirinya dan membaguskan kepercayaan mereka kepadanya, adalah tertipu. Karena, jikalaulah ia mengenal Allah dengan sebenar-benar ma'rifah, niscaya ia tahu bahwa makh­luq itu, tiada mencukupi baginya sesuatu, selain dari Allah. Bahwa kemelaratan dan kemanfa'atannya adalah di tangan Allah .Tiadalah yang mendatangkan manfa'at dan melarat selain dari Allah. Bahwa orang yang mencari kerelaan dan kecintaan manusia dengan kemarahan Allah, niscaya ia dimarahi Allah. Dan Allah mendatangkan kemarahan manusia kepadanya. Bahkan kerelaan manusia itu ada­lah suatu maksud yang tidak akan tercapai. Maka kerelaan Allah yang lebih utama dicari.


Karena itulah, Asy-Syafi-'i ra. berkata kepada Yunus bin 'Abdul A'la : "Demi Allah; aku tiada mengatakan kepadamu, melainkan nasehat. Sesungguhnya tiada jalan kepada keselamatan dari manu­sia. Maka perhatikanlah apa yang membaikkan kepadamu, lalu kerjakanlah!".

Dan karena itulah, bermadah seorang penya'ir :
Barangsiapa mengintip-intip orang,
niscaya ia mati kesedihan.
Dan dengan kelezatan, menang
orang yang penuh keberanian.

Sahl melihat kepada salah seorang shahabatnya, lalu berkata kepa­danya : "Berbuatlah begini-begini untuk sesuatu yang aku suruhkan!".                                                     
Maka shahabatnya itu menjawab : "Wahai Ustadz! Saya tidak sanggup karena manusia".
Lalu Sahl menoleh kepada teman-temannya dan berkata : "Tidak­lah seorang hamba itu memperoleh hakikat dari pekerjaan ini sehingga ia mempunyai salah satu dari dua sifat : hamba yang jatuhlah manusia daripandangannya. Laluia tidak melihat di dunia, selain Penciptanya (khaliqnya). Dan sesungguhnya seorangpun tiada sanggup mendatangkan melarat dan manfa'at kepadanya. Dan hamba yang jatuhlah nafsunya dari hatinya. Lalu ia tiada memperdulijdan keadaan apapun yang dilihat mereka padanya". ,



Asy-Syafi-'i ra. berkata :"Tiadalah seorangpun, melainkan mem­punyai yang menyukainya dan yang memarahinya. Apabila ada yang demikian, maka hendaklah engkau berada bersama orang yang ta'at kepada Allah ! ".

Ada orang yang berkata kepada Al-Hasan : "Hai Abu Sa'id! Se­sungguhnya orang banyak (kaum) itu datang ke majelismu. Tiada­lah tujuan mereka, selain mencari ketelanjuran perkataanmu dan memberatkanmu dengan pertanyaan".

Maka Al-Hasan tersenyum dan berkata kepada yang berkata tadi : "Ringankanlah atas dirimu sendiri! Maka sesungguhnya aku memperkataan akan diriku sendiri dengan penempatan sorga dan ber— dekatan dengan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka aku amat meng- harapkan. Dan tidak aku memperkatakan akan diriku dengan keselamatan dari manusia. Karena aku sesungguhnya mengetahui- bahwa Yang Menjadikan mereka, Yang Menganugerahkan Rezeki kepada mereka, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan mereka, tidak selamat dari mereka".
Musa as. berdo'a : "Wahai Tuhanku! Tahankanlah dariku lidah manusia!".
Maka Tuhan berfirman : "Hai Musa! Itu adalah hal yang tidak Aku pilihkan untuk diri-Ku sendiri. Maka bagaimanakah Aku memperbuatkannya dengan kamu?".


Dan Allah swt. mewahyukan kepada 'Uzair : "Jikalau tidak engkau membaguskan jiwa engkau, dengan Aku jadikan engkau karet dalam mulut penggigit-penggigit, niscaya tidak Aku tuliskan engkau pada-Ku dari orang-orang yang tawadlu' (yang merendahkan diri)'. Jadi, orang yang menahankan dirinya dalam rumah, untuk mem­baguskan anggapan dan perkataan manusia kepadanya, maka dia adalah dalam tanggungan yang berat sekarang di dunia dan sesung­guhnya azab akhirat adalah lebih besar jikalau mereka mengetahui-(1)) Jadi, tidaklah disunatkan 'uzlah, kecuali bagi orang yang mengha- biskan waktu dengan Tuhannya, dengan berdzikir, bertafakkur, beribadah dan berilmu, di mana jikalau orang banyak bercampur- baur dengan dia, niscaya hilanglah waktunya dan banyaklah baha- yanya. Dan kacau-balaulah ibadah-ibadahnya. Inilah marabahaya-marabahaya yang tersembunyi dalam memilih 'uzlah itu, yang seyogialah dijaga. Karena dia adalah : membinasakan (muhlikat) dalam bentuk : melepaskan (munjiat) dari kebinasaan.



FAEDAH KETUJUH : percobaan (perigalaman)

Percobaan ,(pengalaman) itu diperoleh dari bercampur-baur dengan manusia dan dari jalan berlakunya hal-ikhwal mereka. Dan 'aqal- gharizi (buah-pikiran yang merupakan sifat asli) tidaklah mencu- kupi pada memahami kepentingan-kepentingan Agama dan dunia. Dan kepentingan-kepentingan itu dapat diperoleh dengan pengala- man dan pelaksanaan. Dan tak adalah kebajikan pada 'uzlahnya orang yang tidak diperkuatkan oleh pengalaman-pengalaman. Maka anak kecil apabila mengasingkan diri, niscaya tinggallah ia dalam kebodohan. Tetapi seyogialah ia menuntut ilmu pengetahuan. Dan dapatlah ia menghasilkan pada masa belajar itu, apa yang dihajati- nya, dari percobaan-percobaan (pengalaman-pengalaman). Dan mencukupilah baginya yang demikian itu. Dan pengalaman-penga­laman yang lain berhasil, dengan mendengar bermacam hal. Dan tidak memerlukan kepada bercampur-baur.

Setengah dari percobaan-percobaan yang terpenting, ialah mencoba dirinya sendiri, tingkah-laku (akhlaqnya) dan sifat-sifat bathiniah- nya. Yang demikian itu, tidak dapat disanggupi dalam khilwah (persemadian). Maka sesungguhnya, bahwa tiap-tiap orang yang melakukan percobaan dalam kesepian itu, ia akan rahasiakan. Dan tiap-tiap orang yang marah atau yang busuk hati atau yang dengki, apabila ia bersemadi sendirian, tidaklah tersaring daripadanya kekejiannya.

Sifat-sifat tersebut itu membinasakan menurut sifat-sifat itu sendiri, yang wajib dijauhkan dan dipaksakan. Dan tidaklah memadai menenangkannya dengan menjauhkan daripada apa yang mengge rakkan sifat-sifat itu.

Hati yang dipenuhi dengan sifat-sifat keji tersebut, adalah seum­pama bisul yang berisi penuh dengan nanah bercampur darah dan nanah. Kadang-kadang yang sakit itu sendiri tidak merasa dengan kesakitannya, selama ia tidak bergerak atau disentuh oleh orang lain. Jikalau tidak ada baginya tangan yang menyentuhkannya atau mata yang melihat bentuknya dan tidak ada bersama orang yang sakit itu, orang yang menggerakkannya, niscaya kadang- kadang ia 'menyangka sendiri selamat. Dan tidak merasa dengan bisul itu pada dirinya. Dan ia berkeyakinan dengan tidak adanya bisul itu.

Tetapi jikalau digerakkan oleh suatu penggerak atau dikenakan pisau pembekam, niscaya terpancarlah daripadanya nanah. Dan Terbitlah nanah itu seperti terbitnya sesuatu yang tertutup apabila ditahan daripada terlepas. Maka begitu pula, hati yang dipenuhi dengan kebusukan hati, kebakhilan, kedengkian, kemarahan dan budi-pekerti tercela lainnya. Terpancarlah dari hati itu, kekejian-kekejiannya apabila digerakkan.

Dan dari inilah, orang-orang yang berjalan ke jalan akhirat, yang mencari pensucian hati, mencoba dirinya. Barangsiapa merasa pada dirinya sifat takabur, niscaya ia berusaha menjauhkannya. Sehingga setengah mereka membawa ember air di atas punggungnya dihadapan manusia. Atau ikatan kayu api di atas kepalanya dan ia bulak-balik di pasar. Untuk mencoba dirinya dengan yang demikian. Karena marabahaya-marabahaya nafsu dan tipuan-tipuan syaitan itu tersembunyi. Sedikitlah orang yang memperhatikannya. Karena itulah, diceriterakan dari setengah mereka, di mana ia berkata : "Telah menjadi kebiasaan bagiku mengerjakan shalat tiga puluh tahun lamanya, di mana aku mengerjakannya pada baris pertama (shaf pertama). Tetapi pada suatu hari, aku terkebelakang disebabkan suatu halangan. Maka aku tiada mendapat tempat pada shaf pertama. Lalu aku berdiri pada shaf kedua. Maka aku dapati pada diriku perasaan malu, dilihat orang banyak kepadaku. Dan orang sudah mendahului aku kepada shaf pertama. Maka tahulah aku bahwa semua shalatku yang aku kerjakan, adalah bercampur dengan ria. Bercampur dengan kesenangan, dilihat orang banyak kepadaku. Dan mereka melihat aku dalam rombongan orang-orang yang mendahului kepada kebajikan".

Maka bercampur-baur itu mempunyai faedah yang jelas dan besar pada mengeluarkan segala kekejian dan mendzahirkannya. Dan karena itulah, ada orang yang mengatakan : "Bermusyafir ialah bermusyafir dari akhlaq* Karena bermusyafir itu semacam dari bercampiur-baur yang terus-menerus. Dan akan diterangkan mara­bahaya-marabahaya dan yang halus-halus dari pengertian-pengertian tersebut pada Rubu * Muhlikat (Bahagian Yang Membinasakan). Maka sesungguhnya, disebabkan kebodohan tentang segala yang merusakkan itu, membatalkan banyak amalan. Dan dengan mengetahuinya, sucilah amalan yang sedikit. Jikalau tidak demikian, niscaya tidaklah dilebihkan ilmu dari amal. Karena mustahil, bahwa pengetahuan mengenai shalat dan pengetahuan itu tidak dimak- sudkan, selain untuk shalat itu, lebih utama daripada shalat sendiri. Pan kita mengetahui, bahwa apa yang dimaksudkan untuk lainnya, maka yang lain itu, adakalanya lebih mulia daripadanya. Dan syara (agama) telah menetapkan, dengan melebihkan orang ber­ilmu ('alim) daripada orang beribadah ('abid).

Nabi ; saw:! Bersabda
فضل العالم على العابد كفضلى على أدنى رجل من أصحابي
(Fadl-lul-'aalimi 'alal-'aabidi kafadl-lii 'alaa adnaa rajulin min ash- haabii).
Artinya : "Kelebihan orang berilmu (alim) dari orang beribadah ('abid) adalah seperti kelebihanku dari orang yang paling rendah dari shahabat-shahabatku (1)           ;

Pengertian melebihkan ibnu itu, kembali kepada tiga segi: Pertama : apa yang telah kami sebutkan;

Kedua : meratanya manfa'at, karena menjalar faedahnya. Dan perbuatan (amal) itu, tiada menjalar faedahnya. Ketiga ; bahwa yang dimaksudkan dengan pengetahuan itu ialah pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya dan af'al-Nya. (perbuat­an-Nya). Maka yang demikian itu, lebih utama dari tiap-tiap amal (perbuatan). Bahkan yang dimaksud dari segala perbuatan itu, ialah memalingkan hati dari makhluq, kepada khaliq. Supaya hati itu bangkit sesudah berpaling kepada-Nya, untuk mengenai dan men- cintai-Nya. Maka amal dan ilmu bagi amal itu, keduanya dimak­sudkan bagi ilmu ini. Dan ilmu ini adalah tujuan bagi murid-murid, Dan amal adalah seperti syarat baginya. Dan kepadanyalah di-isya- ratkan dengan firman Allah Ta'ala :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
 (Ilaihi yash-'adul-kalimuth-thayyibu wal-'amalush-shaalihu yarfa- 'uh).
Artinya : "Kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang baik itu dimuliakan oleh Allah". (S. Fathir, ayat 10).



Maka perkataan yang baik, yaitu : ilmu ini. Dan amal adalah se­perti : pembawa yang' mengangkatkannya kepada maksudnya. Maka yangdiangkat adalah lebih utama daripada yang mengangkat. Dan ini adalah perkataan yang diselipkan (interupsi), yang tidak layak dengan perkataan ini.


Marilah kita kembali kepada yang dimaksud. Maka kami berkata :

Apabila anda telah mengetahui faedah-faedah 'uzlah dan marabahaya-marabahaya, niscaya anda mendapat bukti bahwa menetap kan 'uzlah itu secara mutlak, dengan melebihkannya, dengan nafi (tidak) dan itsbat (ya), adalah salah. Tetapi, seyogialah dipandang (diperhatikan) kepada orang dan hal ikhwalnya. Kepada yang dicampur-bauri dan hal-ikhwalnya. Kepada penggerak untuk ber­campur-baur dengan dia. Dan kepada yang hilang, disebabkan per­campur-bauran itu, dari faedah-faedah yang tersebut. Dan dibandingkan yang hilang dengan yang berhasil, Maka ketika itu, nyatalah yang hak (yang benar) dan jelaslah yang lebih utama.

Dan ucapan Asy-Syafi-'i ra. itu menguraikan apa yang ditujukan itu. Karena beliau berkata : "Hai Yunus! Berhijrah (meninggalkan bergaul) dengan manusia itu us;tha permusuhan. Dan mengulurkan tangan kepada mereka (merapatkan pergaulan) itu, menghela kepa­da teman-teman jahat. Maka hendaklah engkau diantara meninggal­kan pergaulan dan merapatkan pergaulan itu!". Karena itu, haruslah itidal (dalam keadaan di tengah) diantara mukhalathah (bercampur-baur) dan "uzlah (mengasingkan diri). Dan berbedalah yang demikian itu, menurut keadaan. Dan dengan memperhatikan faedah-faedah dan bahaya-bahaya, maka jelaslah yang lebih utama. Dan inilah kebenaran yang tegas. Dan semua yang telah disebutkan selain dari ini, adalah tidak lengkap. Yaitu : menerangkan tiap sesuatu dari keadaan khusus yang ada padanya. Dan tidaklah boleh menetapkan keadaan khusus itu, kepada yang lain, yang berbeda keadaannya.

Dan perbedaan antara orang 'alim (orang berilmu) dan orang shufi tentang ilmu dhahir, adalah kembali kepada yang disebutkan tadi. Yaitu, bahwa orang shufi, tidak berkata-kata, selain dari keadaan­nya sendiri. Maka tidaklah disangsikan, bahwa jawaban-jawaban mereka itu berbeda dalam segala persoalan. Dan orang 'alim, ialah orang yang mengetahui kebenaran menurut hakikat yang sebenarnya. Dan ia tidak memandang kepada keadaan dirinya sendiri. Maka terbukalah kebenaran padanya.

Dan yang demikian, termasuk hal yang tidak diperselisihkan lagi. Karena kebenaran (al-haq) itu satu untuk selama-lamanya. Dan yang tidak sampai kepada kebenaran adalah banyak, tidak terhing- ga. Karena itulah, ditanyakan pada orang-orang shufi, tentang kemiskinan. Maka tiada seorang pun, melainkan menjawab dengan jawaban yang berlainan dengan jawaban yang lain. Dan semua itu benar, berdasarkan kepada keadaannya. Dan tidaklah benar menu­rut yang sebenarnya. Karena kebenaran itu tidaklah ada, selain satu. Dan karena itulah, Abu 'Abdillah 'Al-Jalla berkata dan beliau itu ditanyakan tentang kemiskinan. Lalu menjawab : "Pukulkanlah dengan kedua lengan bajumu akan dinding! Dan katakanlah 'Tuhanku Allah'. Maka itulah kemiskinan (kefakiran)".

Al Junaid mengatakan , Orang fakir ialah orang yang tidak meminta kepada seseorang dan tidak tatang menatang, jikalau orang menatang maka ia DIAM.

Sahl bin-Abdullah berkata. : "Orang faqir ialah orang yang tidak meminta dan tidak menyimpan. Dan orang lain mengatakan .: 'Tidaklah itu untuk engkau. Jikalau untuk engkau, maka.tidaklah untuk engkau, di mana tidaklah itu untuk engkau"'. Ibrahim Al-Khawwash berkata : "Kemiskinan, ialah meninggalkan mengadu dan mendzahirkan bebas bela beneara (bebas-percobaan)": Maksudnya, ialah kalau ditanyakan kepada mereka seratus perta­nyaan, niscaya didengar dari mereka seratus penjawaban yang berlainan. Sedikitlah kesesuaian dua daripada jawaban-jawaban itu. Dan itu semua adalah benar dari satu segi. Sesungguhnya itu, berita masing-masing tentang keadaannya dan apa yang menguasai hati- nuraninya. Dan karena itulah, kita tidak melihat dua orang pun dari mereka, yang salah seorang dari keduanya mengakui temannya , berdiri teguh dalam tashawwuf. Atau memujikannya. Tetapi masing-masing mereka menda'wakan, bahwa dia yang sampai kepa­da kebenaran. Dan yang berdiri di atas kebenaran. Karena banyak-nya keragu-raguan mereka, menurut kehendak keadaan yang datang kepada hati mereka. Maka mereka tiada berbuat, selain dengan diri mereka itu sendiri. Dan tiada menoleh kepada orang lain. Dan sinar ilmu itu apabila terbit, niscaya meliputi semua. Menyingkap- kan tutup dan membuangkan perselisihan.

Dan contoh pandangan orang-orang shufi itu, adalah apa yang anda lihat dari pandangan suatu kaum tentang dalil yang menunjukkan zawal (tergelincirnya matahari) dengan memandang pada bayang-bayang: Setengah mereka berkata, bahwa pada musim panas, bayang-bayang itu dua tapak kaki panjangnya. Dan diceriterakan dari orang lain, bahwa bayang-bayang itu setengah tapak kaki. Dan yang lain meno­lak yang demikian. Dan bahwa bayang-bayang itu, pada musim dingin, tujuh tapak kaki panjangnya. Dan diceriterakan dari-yang lain, bahwa bayang-bayang itu, lima tapak kaki. Dan yang lain menolak yang demikian.

Maka ini, menyerupai jawaban-jawaban dan perselisihan pendapat orang-orang shufi. Sesungguhnya masing-masing mereka, mene­rangkan keadaan bayang-bayang yang dilihatnya di negerinya sendiri. Maka benarlah ia tentang perkataannya itu. Dan salahlah ia tentang menyalahkan temannya. Karena ia menyangka bahwa Dunia itu semua ialah seperti negerinya sahaja,Atau seperti yang negerinya sahaja Sebagaimana orang shufi tidak menetapkankeadaan orang lain yang berilmu (orang 'alim), kecuali menurut keadaan dirinya sendiri. Dan orang 'alim, yang berilmu tentang zawal, ialah orang yang mengetahui sebab panjang dan pendeknya bayang-bayang dan sebab perbedaannya di masing-masing negeri. Lalu ia menerangkan hukum-hukum yang berlainan, pada negeri-negeri yang berlainan. Ia mengatakan pada setengah negeri-negeri itu„ bayang-bayangnya tidak tetap. Pada setengahnya panjang dan pada setengahnya pendek.

Maka inilah apa yang kami maksudkan menyebutkannya dari keutamaan uzlah dan mukhalathah!:


Jikalau anda bertanya : "Bagi orang yang memilih 'uzlah dan memandangnya lebih utama dan lebih menyelamatkan baginya, maka apakah adabnya mengenai 'uzlah itu,?''. Kami menjawab, bahwa sesungguhnya panjanglah pandangah tentang adab-mukha- lathah. Dan kami telah sebutkan pada "kitab Adab Berteman'*, dahulu.

Adapun Adab-'uzlah, maka tidaklah diperpanjangkan. Maka seyogialah bagi orang yang ber'uzlah, bahwa berniat dengan 'uzlah- nya itu, pertaina, mencegah kejahatan dirinya dari manusia. Kedua, mencari keselamatan dari kejahatan orang-orang jahat. Kemudian ketiga, melepaskan diri daripada bahaya keteledoran daripada menegakkan hak-hak kaum muslimin. Kemudian ke-empat, men- jiiruskan diri dengan hakikat cita-cita bagi beribadah kepada Allah. Inilah adab-adaib niatnya! Kemudian, hendaklah dalam persema- diannya itu rajin kepada ilmu, amal, dzikir dan tafakkur!. Supaya dapat memetik buah (hasil) dari 'uzlah. Dan hendaklah melarang orang banyak, mendatangi dan mengunjunginy a! Maka akan meng- gaiiggu kebanyakan waktunya. Dan hendaklah ia mencegah dirinya daripada menanyakan tentang berita mereka itu dan daripada mendengar berbagai berita bohong yang tidak baik di dalam negeri dan apa yang membawa manusia sibuk dengan dia! Sesungguhnya semua itu akan tertanam dalam hati. Sehingga membangkit pada waktu sedang shalat atau tafakkur, di mana ia tiada menyangka sama sekali.

Jatuhnya berita dalam pendengaran, adalah seperti jatuhriya bibit dalain tanah. Maka tak dapat tidak akan tumbuh dan bercabang urat dan rantingnya. Dan sambung-menyambung satu sama lain. Dan salah satu yang pentirig bagi orang ber'uzlah, ialah menghilang- kan segala was-was hati, yang memalingkannya daripada berdzikir kepada Allah. Dan berita-berita itu adalah sumber dan pokok dari segala was-was hati.

Dan hendaklah ia mencukupkan dengan yang sedikit dari penghidupan ,jikalau tidak nescaya ia memerlukan kepada berlapang lapang dengan manusia. Dan ia berhajat kepada ber campur-baur dengan; mereka:
Dan hendaklah ia penyabar di atas apa yang dijumpainya, daripada kesakitan oleh tetangga! Dan hendaklah ia menyumbat pende-;j ngarannya daripada mendengar apa yang diperkatakan orange! tentang pujian kepadanya disebabkan 'uzlah itu! Atau cacian kepadanya disebabkan meninggalkan mukhalathah. Karena tiap tiap yang demikian, membekas dalam hati, walaupun pada masa yang sedikit saja.

Dan keadaan terpengaruhnya hati dengan yang tadi,. tak dapat tidak, membawa ia berhenti,. daripada perjalanan ke jalan akhirat. Sesungguhnya perjalanan itu, adakalanya dengan rajin mengerjakan wirid dan dzikir, bersama dengan kehadliran hati. Adakalanya1 dengan tafakkur tentang keagungan Allah, sifat-sifat-Ny a, af'al-Nya, kerajaan langit dan bumi-Nya. Dan adakalanya dengan memperhatikan amal-perbuatan yang halus-halus, perbuatan-perbuatan. yang merusakkan hati dan mencari jalan penjagaan daripadanya.  Semuanya itu meminta kekosongan waktu. Dan mendengar dengaai ' penuh perhatian sekalian yang tersebut itu, adalah setengah 'dari­pada yang terus mengganggukan hati.

Dan kadang-kadang baru-membaru ingatannya itu dalam berkekar Ian berdzikir, di mana ia tiada menduga sama sekali. Dan hendaklah orang yang ber-'uzlah itu, mempunyai isteri yang shalih atau teman duduk yang shalih! Supaya tenteramlah hatinya dalam sehari sejam, daripada kepayahan rajinnya beribadahl Maka  pada' yang demikian itu, menolong kepada jam-jam selebihnya.; Dan tidaklah sempuma kesabaran dalam 'uzlah itu, selain dengan menghilangkan kerakusan kepada dunia. Dan tidaklah manusia itu bersungguh-sungguh pada sabar. Dan tidaklah hilang kerakusannya, selain dengan memendekkan (mengecilkan) angan-angan, dengan tidak mehtakdirkan dirinya berumur panjang. Tetapi ia berpagi-hari - dengan tidak memikirkan akan bersore nariti. Dan ia bersore hari dengan tidak akan berpagi hari lagi. Maka mudahlah baginya bersa: bar sehari. Dan tidaklah mudah baginya ber-'azam (bercita-cita) untuk sabar dua puluh tahun, jikalau ia mentakdirkan ajalnya akan lambat tiba.                                                                                   .


Hendaklah membanyakkan ingatan kepada mati dan sendirian di dalam kubur.

Dan hendaklah ia membuktikan dengan keyakinan bahawa orang yang tidak berhasil dalam hatinya ingatan(dzikir) kepada Allah dan  mengetahui apa yang menjinakkan hatinya dengan dzikir itu, .maka ia tidak akan sanggup menahan keliaran seridiriari sesudah mati. Dan orang yang merasa kejinakan hati dengan dzikir dan ma'rifah kepada Allah, maka tidaklah mati itu menghilangkan kejinakan hatinya. Karena tidaklah mati itu merobohkan tempat kejina kan hati dan ma'rifah (mengenai Allah). Tetapi kejina kan' hati itu kekal hidup dengan ma'rifah dan kejina kannya. Karena geinbira dengan kurnia dan rahmat Allah kepadanya. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman tentang orang-orang syahid
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
(Wa laa tahsabannal-ladziina qutiluu fii sabiilillaahi amwaatan, bal ahyaa-un 'inda rabbihim yurzaquuna, farihiina bimaa aataahu- mullaahu min fadl-lih). Artinya : "Janganlah kamu menganggap mati orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu! Tidak! Mereka itu hidup, mereka mendapat rezeki dari sisi Tuhan. Mereka gembira karena kumia yang- telah-diberikan oleh Allah kepada mereka". (S. 'Ali Imran, ayat 169 - 170). .

وكل متجرد لله في جهاد نفسه فهو شهيد مهما أدركه الموت مقبلا غير مدبر فالمجاهد من جاهد نفسه وهواه حديث المجاهد من جاهد نفسه وهواه أخرجه الحاكم من حديث فضالة بن عبيد وصححه دون قوله وهواه وقد تقدم في الباب الثالث من آداب الصحبة كما صرح به رسول الله صلى الله عليه وسلم والجهاد الأكبر جهاد النفس كما قال بعض الصحابة رضي الله عنهم رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر يعنون جهاد النفس تم كتاب العزلة ويتلوه كتاب آداب السفر والحمد لله وحده
Dan tiap-tiap orang yang semata-mata karena Allah dalam perjuangan dirinya, maka dia itu syahid, manakala ia menemui mati, menghadapkan hati kepada Allah, bukan membelakang. Maka orang. yarig berjihad (berjuang), ialah orang yang berjuang melawan nafsu dan keinginannya, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  (1)Dan perjuangan besar (jihad-akbar) ialah jihad melawan hawa-nafsu, sebagaimana dikatakan oleh setengah shahabat ra.: "Kami kembali dari jihad kecil kepada jihad besar". Mereka maksudkan : jihad melawan hawa-nafsu.
Telah tammat "Kitab 'Uzlah" dan di-iringi oleh "Kitab Adab Berjalan-jauh". Dan segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. '


Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...