Tercelanya Ilmu Yang Tercela
Bab ketiga : Ilmu yang dianggap oleh orang awwam, terpuji dan sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang menyebab-kan sebahagian ilmu itu menjadi tercela dan penjelasan penggantian nama-nama ilmu, yaitu : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah. Dan penjelasan batas terpuji dan batas tercela dari ilmu-ilmu syari'at.
PENJELASAN SEBAB TERCELANYA ILMU YANG TERCELA
Mudah-mudahan anda mengatakan bahwa ilmu, ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu adalah salah satu daripada sifat Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu menjadi ilmu dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang tercela?
Ketahuilah kiranya, bahwa ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab
Sebab Pertama :
Adalah ilmu itu membawa kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri atau bagi orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera-mantera.
Itu memang sebenarnya, karena diakui oleh Al-Qur'an yang demikian. Dan ilmu itu menjadi sebab yang membawa kepada perceraian diantara suami isteri. Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah pemah disihir orang dan sampai sakit karenanya (1). Maka malaikat Jibril as. datang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw. dan mengambil benda sihir itu dari bawah batu pada dasar sumur.
Sihir itu adalah semacam keadaan, yang diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda-benda, disertai dengan hitungan tentang terbit bintang-bintang. Dari benda-benda itu diperbuat suatu boneka menurut bentuk orang yang disihirkan. Dan diintip suatu waktu tertentu dari terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat yang berasal dari kufur dan keji, yang menyalahi syari'at. Dan dengan kalimat-kalimat itu, sampai kepada meminta tolong kepada setan-setan.
1.Hadits tentang Rasulullah صلى الله عليه وسلم disihir orang, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra.
Dari keseluruhan itu, dengan hukum kehendak Allah Ta'ala di luar kebiasaan, terjadilah hal-hal yang luar biasa pada diri orang yang disihirkan.
Dan mengetahui sebab-sebab tersebut dari segi dia itu pengetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia itu membawa kebaikan, selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makhluk Tuhan.
Jalan kepada kejahatan adalah kejahatan. Maka itulah sebab-nya, ilmu sihir itu menjadi ilmu yang tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya, di mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang terjamin, apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh memberitahukannya tetapi wajib berdusta.
Menerangkan tempat persembunyian aulia itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut yang sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa kepada kemelaratan.
Sebab Kedua :
Bahwa ilmu itu menurut kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri, seperti ilmu nujum.
Ilmu nujum itu sendiri tidak tercela, sebab dia terbagi dua :
1. Bahagian hisab. Al-Quran sudah menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab.
Berfirman Allah Ta'ala :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
(Asy-syamsu wal qamaru bihusbaan). Artinya :"Matahari dan bulan itu beredar menurut hisab (perhitungan).(S. Ar-Rahman, ayat 5)
Dan firman Allah Ta'ala :
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
(Wal qamara qaddarnaahu manaazila hattaa 'aada kal-'urjuunil qadiim).
Artinya :"Kami tentukan bulan itu beberapa tempat tertentu sampai kembali dia seperti mayang yang sudah tua ". (S. Yaasiin, ayat 39).
2. Hukum-hukum dan hasilnya kembali kepada membuat dalil atas segala kejadiah dengan sebab-musababnya. Yaitu, menyerupai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya sunnah Allah dan adat kebiasaanNya pada makhlukNya.
Tetapi ilmu tadi dicela agama. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
( إذا ذكر القدر فأمسكوا وإذا ذكرت النجوم فأمسكوا وإذا ذكر أصحابي فأمسكوا )
(Idzaa dzukiral qadaru fa-amsikuu wa idzaa dzukiratin nujuumu fa-amsikuu wa idzaa dzukira ashhaabii fa-amsikuu).
Artinya :"Apabila disebut taqdir, maka peganglah! Apabila disebut bintang maka peganglah! Dan apabila disebut shahabatku, maka peganglah!". (1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Mas'ud, dengan isnad baik.)
Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
(أخاف على أمتي بعدي ثلاثا حيف الأئمة والإيمان بالنجوم والتكذيب بالقدر)
(Akhaafu 'alaa ummatii ba'dii tsalaatsan : haiful a-immati wal iimaanu binnujuumi wat-takdziibu bil qadari).Artinya :"Aku takut atas ummatku sesudahku tiga perkara : kedhaliman imam-imam, percaya kepada bintang-bintang dan pendustaan kepada taqdir. (1)
Berkata Umar bin Al-Khathtbab ra. :
"Pelajarilah dari bintang-bintang itu, apa yang dapat menunjukkan jalan kepadamu didarat dan dilaut, kemudian berpeganglah kepada pengetahuan itu!".
Dilarang pengetahuan tersebut dari tiga segi:
1: Bahwa ilmu itu memberi melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada mereka bahwa hal-hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang-bintang, lalu tumbuhlah anggapan dalam hati mereka bahwa bintang-bintang itu dapat memberi bekas. Dan bahwa bintang-bintang itu Tuhan-Tuhan pengatur, karena dia itu dzat mulia di langit. Dan besarlah kesannya dalam hati, lalu kekallah hati menoleh kepadanya. Dan hati itu melihat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau diharap dari pihak bintang-bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan kepada Allah Ta'ala. Orang yang lemah imannya menunjukkan pandangan-nya kepada perantara-perantara. Seorang berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari, bulan dan bintang itu menuruti perintah Allah Ta'ala.
Pandangan seorang yang lemah iman, kepada adanya cahaya matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika dijadikan baginya akal dan dia berada di atas secarik kertas, lalu memandang kepada kehitaman tulisan yang terus membarii, maka dia beri'tikad bahwa itu perbuatan pena dan tidak meningkat pandangannya kepada memperhatikan anak jari. Kemudian dari jari, kepada tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan tangan itu. Kemudian dari tangan kepada penulis itu sendiri yang bertenaga dan berkemauan. Kemudian dari penulis itu kepada Yang Menjadikan tangan, kemampuan dan kemauan.
Kebanyakan pandangan manusia terbatas pada sebab-sebab yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan kepada yang menyebabkan sebab-sebab itu.Inilah salah satu sebab pejarangan ilmu nujum.
1 . DirawiKan Ibnu Abdil-Barr dari Abi Muhjan, isnad dla'if.
2.Bahwa keputusan-keputusan ilmu nujum itu, adalah terkaan semata-mata. Tidaklah diketahui mengenai hak diri seseorang baik secara yakin atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum itu, adalah keputusan dengan kebodohan.Maka adalah tercelanya di atas dasar ini, dari segi bahwa ilmu nujum itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu pengetahuan.Adalah yang demikian itu suatu mu'jizat bagi Nabi Idris as. menurut yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah lenyap, tersapu dan terhapus.
Apa yang kebetulan benar terjadi dari ahli nujum itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan. Karena kadang-kadang muncul di atas sebagian sebab-sebab. Dan tdk. terjadi akibat di bela-kang sebab-sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak sya-rat-syarat, yang tidak sanggup tenaga manusia mengetahui hakikatnya. Jika sesuai, bahwa Allah Ta'ala mentakdirkan sebab-sebab yang masih ada, maka terjadilah yang benar. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta'ala, maka salahlah dia.
Yang demikian itu, adalah seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala dilihatnya awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung-gunung. Lalu keraslah dugaannya, bahwa hujan akan turun. Dan kadang-kadang siang akan panas dengan matahari dan mendung itu hilang.Kadang-kadang terjadi sebaliknya. Semata-mata mendung belum cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak diketahui.
Begitu pula terkaan nakhoda bahwa kapal akan selamat, berpegang kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan tentang angin. Dan angin itu mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang tidak diketahuinya. Sekali ia betul pada terkaannya dan lain kali ia salah. Dan karena sebab inilah, dilarang orang yang kuat imannya dari ilmu nujum.
3.Bahwa tak ada faedahnya ilmu nujum itu. Sekurang-kurahg keadaannya, ialah terperosok ke dalam perbuatan yang sia-sia, yang tak perlu dan membuang-buang umur yang amat berharga bagi manusia, pada yang tak berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم. lalu dekat seorang laki-laki dan orang banyak berkumpul padanya.
Maka bertanya Nabi صلى الله عليه وسلم : "Siapa orang ini?".
Menjawab orang banyak : "Orang yang amat 'alim".
"Tentang apa?", tanya Nabi صلى الله عليه وسلم.
"Tentang sya'ir dan keturunan orang-orang Arab", sahut mereka.
Maka sahut Nabi صلى الله عليه وسلم
ما هذا فقالوا رجل علامة فقال بماذا قالوا بالشعر وأنساب العرب فقال علم لا ينفع وجهل لا يض ر
"Ilmu yang tak bermanfa'at dan bodoh yang tak memberi melarat". (1)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
إنما العلم آية محكمة أو سنة قائمة أو فريضة عادلة
(Innamal 'ilmu aayatun muhkamatun au sunnatun qaaimatun au fariidlatun 'aadilah).
Artinya : "Sesungguhnya ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnah yang tegak atau fardlu yang adil". (2)
Jadi, turut campur dalam ilmu nujum dan yang serupa dengan ilmu nujum, adalah menghadang bahaya dan terperosok ke dalam kebodohan, yang tak ada gunanya. Apa yang ditaqdirkan, itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah tidak mungkin. Kecuali ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan dalil-dalilnya, dapat diselidiki. Dan kecuali juga ilmu menta'birkan mimpi, maka walaupun dia merupakan terkaan, tetapi adalah sebahagian dari empat puluh enam bahagian dari kenabian dan tak ada bahaya padanya.
Sebab Ketiga :
Terjun ke dalam ilmu, yang tidak memberi faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu adalah tercela terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus-halus sebelum yang kasar-kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum ilmu yang terang dan seperti diperbincangkannya tentang rahasia keTuhanan (al-asroril-ilahiyah).
Karena para filosuf dan ulama ilmu kalam telah tampil pada ilmu-ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan al-asroril-ilahiyah dan mengetahui jalan-jalan sebahagian daripadanya, ialah Nabi-Nabi dan aulia-aulia.
1.Dirawikan Ibnu Abdil-Barrdari Abi Hurairah dan dipandangnya hadits ini dla'if.
2.Dirawikan Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin 'Amr.
Maka wajiblah dilarang orang banyak membahas tentang al-asroril-ilahiyah dan dikembalikan mereka kepada yang telah diucapkan oleh syari'at. Yang demikian itu mencukupilah untuk orang yang mendapat taufiq.
Berapa banyak orang yang terjun ke dalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau tidaklah ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah halnya lebih baik dalam agama, daripada apa yang telah terjadi padanya.
Dan tak dapat dibantah, adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia, seumpama melaratnya daging burung dan beberapa macam kuweh yang enak rasanya, kepada bayi yang masih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya kebodohan dalam beberapa hal.
Menurut cerita, bahwa sebahagian orang mengadukan halnya kepada seorang tabib akan kemandulari isterinya. Wanita itu tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut uratnadi. Lalu berkata : "Tak ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab engkau akan mati, sampai empat puluh hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan yang demikian".
Maka gemetarlah wanita itu dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya. Dikeluarkannyalah hartanya, dibagi-bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia tidak makan dan tidak mi-num, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak mati. Maka datanglah suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya tidak mati. Maka menjawab tabib "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang bersetubuhlah!. Ia akan beranak".
Mengapa begitu?", tanya si suami.
Menjawab tabib : "Aku lihat dia sangat gemuk, lemak telah menutupi mulut rahimnya. Aku tahu, bahwa dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada mati. Maka aku takutkan dia dengan demikian, sehingga dia kurus. Dan hilanglah halangan dari beranak".Maka ini memberitahukan engkau kepada merasakan bahaya sebahagian pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau pengertian, sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
نعوذ بالله من علم لا ينفع
(Na'uudzu billaahi min 'ilmin laa yanfa').
Artinya :"Kita berlindung dengan Allah Ta'ala dari ilmu yang tidak bermanfa'at". (1)
1.Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari Yabir dengan sanad baik.
Maka ambillah ibarat dengan ceritera ini! Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik dari ilmu yang dicela Agama dan dilarang daripadanya! Dan haruslah mengikuti para shahabat Nabi saw. dan berpeganglah kepada Sunnah! Keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Nabi. Dan bahaya adalah dalam membahas beberapa perkara dan berdiri sendiri dalam hal itu.
Janganlah diperbanyak membanggakan diri dengan pendapat sendiri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri dan keterangan sendiri dengan mendakwakan : "Bahwa aku mengadakan pembahasan tentang hal-hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya".
Manapun kemelaratan yang timbul dalam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang kembali kepadamu adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan, lalu menimbulkan kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu di akhirat, kalau tidaklah rahmat Tuhan datang membelainya.
Ketahuilah! Sebagaimana seorang tabib yang ahli, mengetahui segala pengobatan, di mana menjauhkan diri daripadanya, orang yang tak mengetahuinya, maka demikian pula para Nabi, tabib hati dan para ulama, yang tahu sebab-sebab hidup keakhiratan. Dari itu, janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunnah mereka dengan akal pikiranmu, maka kamu akan binasa!
Berapa banyak orang yang terkena suatu halangan pada anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya menghendaki untuk memicit anak jari itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang ahli, bahwa obatnya adalah tapak tangan itu dipicit dari bahagian lain dari badan. Orang itu tidak mau menerimanya, karena ia tidak mengetahui percabangan urat dan pertumbuhannya serta cara perlipatannya pada tubuh. Maka begitu juga urusan pada jalan akhirat, pada yang halus-halus dari sunnah agama dan adab-adabnya. Dan mengenai aqidahnya yang menjadi ibadah manusia, mengandung rahasia dan isi yang halus-halus, yang tak sanggup keluasan akal manusia dan kekuatannya mengetahuinya. Sebagaimana pada khasiat batu-batu ada hal-hal yang ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana. Sehingga tidak ada orang yang mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik besi biasa.
Maka keheranan dan keganjilan pada aqidah dan amal, dan menggunakannya untuk menjernihkan, membersihkan, mensucikan, mengadakan perbaikan bagi hati (jiwa) untuk meningkat tinggi di samping Allah Ta'ala dan membawanya bagi anugerah kemurahan Nya, adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang pada obat-obat dan jamu-jamu.
Sebagaimana tak sampai akal manusia, mengetahui kegunaan obat-obatan, serta percobaan adalah jalan kepadanya, maka akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang bermanfa'at pada hidup akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya adalah percobaan berjalan ke akhirat, kalau pulanglah kepada kita beberapa orang yang telah mati.Lalu menerangkan kepada kita, amal perbuatan yang diterima, yang bermanfa'at, yang mendekatkan kepada Allah Ta'ala di sisiNya dan dari amal yang menjauh-kan daripadaNya.
Begitu pula, mengenai aqidah. Dan yang demikian itu, termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu, cukuplah kiranya bagi anda dari kegunaan akal, untuk dapat menunjukkan anda, kepada membenarkan Nabi saw. dan memahamkan anda segala sumber isyarat-nya.Kemudian, singkirkanlah akal itu dari penggunaannya dan tetaplah mengikuti Nabi, di mana anda akan selamat dengan jalan itu.
Dari itu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
إ ن من العلم جهلا وإن من القول عيا
(Inna minal 'ilmi jahlan wa inna minal qauli 'iyyan).
Artinya :"Bahwa sebahagian dari ilmu itu, kebodohan dan sebahagian dari perkataan itu tidak menjelaskan". (1) Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu tidaklah kebodohan, tetapi ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada mendatangkan kemelaratan.
1.Dirawikan Abu Daud dr. Buraidah. Dan pada isnadnya ada orang yg. tdk. diketahui.
Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda pula :
قليل من التوفيق خير من كثير من العلم
(Qaliilun minat taufiiqi khairun min katsiirin minal 'ilmi).
Artinya :"Sedikit taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak ilmu". (1)
Nabi Isa as. pernah berkata :
"Alangkah banyaknyapohon kayu dan tidaklah semuanya berbuah. Alangkah banyaknya buah-buahan dan tidaklah semuanya baik dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidaklah semuanya berguna
Penjelasan : Apa yang digantikan dari kata-kata ilmu.
Ketahuilah!!! Bahwa sumber yang menimbulkan keserupaan ilmu yang tercela dengan ilmu syari'at ialah penyelewengan nama-nama yang terpuji, penggantiannya dan pemindahannya, dengan maksud-maksud yang merusakkan kepada pengertian-pengertian yang tidak dikehendaki oleh orang-orang shaleh terdahulu dan abad pertama.
Iaitu lima perkataan : fiqih, ilmu, tauhid, tadzkir dan hikmah. Inilah nama-nama yang terpuji. Orang-orang yang bersifat dengan nama-nama tadi, adalah orang-orang yang berkedudukan ting-gi dalam agama. Tetapi sekarang nama-nama itu sudah dialihkan kepada pengertian-pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari celaan orang-orang yang bersifat dengan pengertian-pengertian itu, karena terkenalnya pemakaian nama-nama itu kepada mereka.
Perkataan Pertama :
FIQIH.
Telah diselewengkan pemakaiannya secara tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena mereka telah menentukan nya pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan furu' (cabang) agama, yang ganjil mengenai fatwa, mengetahui sebab-sebab yang mendalam dari fatwa itu, memperbanyak pembicaraan padanya, menghafal kata-kata yang berhubungan dengan fatwa itu.Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak berbuat kepadanya, disebut "al-afqah " (yang terahli dalam ilmu fiqih).
Pada masa pertama dahulu, adalah nama fiqih itu ditujukan kepada pengetahuan jalan akhirat, kepada mengenai penyakit jiwa yang halus-halus dan yang merusakkan amal, teguh pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepada nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati.
1.Menurut Al-lraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini.
Dibuktikan kepada yang demikian itu oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
(Liyatafaqqahuu fid diini wa liyundziruu qaumahum idzaa raja'uu ilaihim).
Artinya :"”Untuk mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka". (التوبة: 122)
Ilmu yang menghasilkan peringatan dan penakutan, itulah FIQIH namanya. Bukanlah fiqih itu mencabang-cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan, li'an, pesanan barang dan sewa-menyewa. Yang demikian itu, tidaklah mombuahkan peringatan dan penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu, membawa kepada hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita saksikan sekarang pada orang-orang yang menjurus demikian.
Berfirman Allah Ta'ala :
لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا
(Lahum quluubun laa yafqahuuna bihaa). Artinya :"Bagi mereka hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu"(S. Al-A'raf, ayat 179).
Dimaksudkan dengan fiqih ialah, pengertian-pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa.Demi umurku, bahwa kata-kata "al-fiqh" dan "al-fahm" menurut bahasa adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut kebiasaan pemakaian, baik dahulu atau sekarang.
Berfirman Allah Ta'ala :
لأنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِي صُدُورِهِمْ مِنَ اللَّهِ
(La-antum asyaddu rahbatan fii shuduurihim minallaah).
Artinya :"Kamu sangat ditakuti dalam hati mereka, lebih dari Tuhan".(S. Al-Hasyr, ayat 13).
Maka dibawa oleh kurang takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk, sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih).
Lihatlah, adalah itu natijah tidak menghafal pencabangan fatwa-fatwa atau natijah ketiadaan ilmu yang kami terangkan itu. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم علماء فقهاء "Ulama, hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih)", kepada mereka yang diutuskan kepadanya. (1)
Ditanyakan Sa'ad bin Ibrahim Az-Zuhri ra. : "Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham (fiqih)?". Beliau menjawab : "Yang lebih kuat taqwanya kepada Allah Ta'ala". Seakan-akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham (fiqih). Dan taqwa adalah hasil dari ilmu bathin. Bukan hasil dari fatwa dan hukum.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Apakah aku terangkan kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?".
"Ya!", jawab mereka.
Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :ألا أنبئكم بالفقيه كل الفقيه قالوا بلى قال من لم يقنط الناس من رحمة الله ولم يؤمنهم من مكر الله ولم يؤيسهم من روح الله ولم يدع القرآن رغبة عنه إلى ما سواه "Orang yang tidak memutus-asakan manusia dari rahmat Tuhan, yang tidak menyatakan mereka aman dari kutuk Tuhan, yang tiada memutuskan asa mereka dari kasih-sayang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al-Quran lantaran gemar kepada yang lain". (2)
1.Dirawikan Abu Na'im dan Al-Baihaqi dari Suwaid bin Al-Harits, dengan isnad dla'if.
2.Dirawikan Abu Bakar bin Lai dan Abu Bakar bin As-Sunni dan Ibnu Abdil-Barr dari Ali ra.
Sewaktu Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
لأن أقعد مع قوم يذكرون الله تعالى من غدوة إلى طلوع الشمس أحب إلي من أن أعتق
أربع رقاب
(La-an aq'uda ma'a qaumin yadzkuruunallaah ta'aalaa min ghud-watin ilaa thuluu'isy-syamsi ahabbu ilayya min an a'tiqa arba'a riqaabin).Artinya :"Sesungguhnya aku lebih suka duduk bersama kaum yang mengingati Allah Ta'ala dari pagi sampai terbit matahari besok, daripada membebaskan empat orang budak". (1)
Berkata pengarang kitab Al-Quut : "Maka berpalinglah Anas kepada Zaid Ar-Raqqasyi dan Ziyad An-Numairi, seraya berkata :"Tidaklah majlis mengingati Tuhan (berdzikir) itu seperti majlis ini, di mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya kepada teman-temannya dan membawa hadits hadits. Sesungguhnya kami duduk lalu mengingati iman, memahami Al-Qur'an dan berpaham (berfiqih) dalam agama serta menghitung ni'mat Allah Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman (fiqih)".Di sini dinamakan pemahaman AI-Quran dan penghitungan nikmat itu berfiqih (tafaqquh).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
(لا يفقه العبد كل الفقه حتى يمقت الناس في ذات الله وحتى يرى القرآن وجوها كثيرة)
(Laa yafqahul 'abdu kullal fiqhi hattaa yamqutan naasa fii dzaatil-laahi wa hattaa yaraa lil Qur-aani wujuuhan katsiirah).Artinya :"Tidaklah seorang itu berfiqih sebenar-benarnya sebelum mengecam manusia untuk kesucian Dzat Allah Ta'ala dan memandang Al-Qur'an dari segala segi". (2)
Dirawikan pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra. dengan katanya : "Kemudian ia menghadapkan kepada dirinya sendiri lalu mengecamnya pula secara lebih hebat lagi".
1.Dirawikan Abu Daud dengan isnad baik.
2.Dirawikan Ibnu Abdii-Barr dari Syaddad bin Aus dan katanya, tidak syah hadits itu sebagai hadits marfu
Bertanya Farqad As-Sabakhi kepada Al-Hassan mengenai suatu hal. Maka menjawab Al-Hasan, lalu berkata Farqad "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat dengan kamu".
Kemudian Al-Hasan ra. berkata : "Wahai Farqad yang dikasihi! Adakah kamu melihat seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli fiqih itu adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati kepada agama, kekal beribadah kepada Tuhannya, Wara' mencegah dirinya dari mempercakapkan kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta mereka dan yang menasehati jama'ah mereka".
Dalam keseluruhannya tadi, Al-Hasan tidak menyebut penghafal furu'-furu' fatwa. Dan saya tidak mengatakan bahwa nama "fiqih" itu tidaklah pokok bahasa dan tidaklah untuk fatwa mengenai hukum-hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum dan keseluruhan atau secara diikutsertakan. Maka adalah pemakaian mereka kata-kata "fiqih" kepada ilmu akhirat itu, lebih banyak.
Maka nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebangkitan manusia untuk memakai perkataan "fiqih" semata-mata kepada yang tadi dan berpaling dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk yang demikian penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang dan mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakim-an, kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu bathin. Maka setan memperoleh jalan untuk membaikkan yang tersebut, di dalam hati dengan jalan mengkhususkan nama "fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada syari'at.
Perkataan Kedua :
ILMU.
Perkataan ini dipakai untuk pengetahuan mengenai dzat, ayal-ayat dan perbuatan Allah Ta'ala, terhadap hamba dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu".
Perkataan "ilmu" itu dijadikan isim ma'rifah dengan Alif dan Lam, menjadi "al-ilmu". Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala". Kemudian diputarkan pula oleh mereka perkataan "al-ilmu" itu dengan pengkhususan. Sehingga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang berilmu, ialah orang yang asyik berdebat melawan musuh dalam masalah-masalah fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itulah alim yang sebenarnya.
Dia seorang tokoh ilmu pengetahuan. Orang-orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli ilmu.
Ini juga, suatu tindakan dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan ulama, adalah keba-nyakannya ditujukankepada ulama yang tahu akan Allah, hukum Nya, perbuatan dan sifat-sifatNya. Dan sekarang, secara mutlak dipakai, kepada orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan-pertemuan perdebatan dalam masalah-masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dan lainnya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak dari penuntut-penuntut ilmu.
Perkataan Ketiga :
TAUHID.
Perkataan ini sekarang dipakai untuk menyusun kata-kata, mengetahui cara bertengkar, mengetahui jalan menjatuhkan lawan, sanggup mendesaknya dengan membanyakkan pertanyaan-pertanyaan, dapat membangkitkan keragu-raguan dan dapat menyusun dalil-dalil yang pasti, sehingga oleh golongan-golongannya sendiri, memberinya gelar, ahli adil dan ahli tauhid.
Para ahli ilmu kalam, disebut ulama tauhid, padahal seluruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak terkenal sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian mereka, adalah sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu pertengkaran dan perdebatan.
Adapun isi Al-Qur'an, dari dalil-dalil yang terang, mudah ditangkap oleh pikiran demi mendengarnya, maka adalah semua orang mengetahuinya. Pengetahuan dengan Al-Qur'an adalah merupakan ilmu pengetahuan seluruhnya.Tauhid pada mereka adalah ibarat suatu hal yang tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ilmu kalam. Kalaupun dipahaminya, tetapi mereka tidak bersifat dengan dia.iaitu melihat urusan seluruhnya, adalah daripada Allah Ta'ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan perantara. Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya, melainkan dari pada Allah Yang Maha Mulia.
Maka inilah tingkat yang mulia. Salah satu dari buahnya, ialah tawakkal, sebagaimana akan diterangkan nantrpada KitabTawakkal.Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan kepada makhluk, meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menyerah kepada hukum Allah Ta'ala.
Dan adalah salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika ditanyakan waktu sakitnya "Apakah kami carikan tabib untuk tuan?". Lalu Abu Bakar menjawab : "Tabib itu membawa saya sakit".
Ucapan lain lagi dari Abu Bakar ra. ketika sakitnya, waktu ia ditanyakan : "Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?".Abu Bakar ra. menjawab : "Katanya : bahwa saya berbuat sekehendak saya".
=Akan datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Tauhid dalil-dalil untuk itu.
Tauhid adalah suatu mutiara yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit. Yang satu lebih jauh dari isinya daripada yang lain. Lalu orang mengkhususkan, nama tauhid itu kepada kulit dan membuat penjagaan kepada kulit itu, serta menyianyiakan ISI secara keseluruhan.
KULIT PERTAMA : Iaitu anda mengucapkan dengan lisan لا إله إلا الله
Ini dinamakan tauhid melawan tatslits للتثليث (kepercayaan tiga tuhan oknum), yang ditegaskan oleh orang Nasrani. Tetapi ucapan tersebut kadang-kadang datang dari orang munafiq, yang berlawanan bathinnya dengan lahirnya.
KULIT KEDUA : yaitu tak ada di dalam hati, yang menyalahi dan berlawanan dengan pengertian ucapan tadi. Bahkan yang dhahir dari hati, melengkapi kepada aqidahnya. Dan demikian juga mem-benarkannya. Yaitu tauhid orang awwam. Dan para ahli ilmu kalam sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini dari gangguan golongan bid'ah.
YANG KETIGA : Iaitu ISI. Bahwa ia melihat keadaan seluruhnya daripada Allah Ta'ala dengan tidak menoleh kepada perantaraan. Dan ia beribadah kepadaNya, dengan ibadah yang tunggal kepada-Nya. Tidak ia beribadah (menyembah) yang lain.Dan keluarlah dari tauhid ini, orang-orang yang menuruti hawa nafsu. Maka tiap-tiap orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nasfunya, menjadi Tuhannya.
Berfirman Allah Ta'ala :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
(Afara-aita manit takhadza ilaahahuu hawaah).
Artinya :"Adakah engkau melihat, orang yang mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya?". (S. Al-Jatsiyah, ayat 23).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
(أبغض إله عبد في الأرض عند الله تعالى هو الهوى)
(Abghadlu ilaahin 'ubida fil ardli 'indallaahi ta'aalaa, huwal hawaa).
Artinya:Tuhan rang disembah di bumi,yang sangat dimarahi Allah Ta'ala ialah hawa nafsu (1)
Dan di atas yang sebenarnya, barang siapa memperhatikan tentu mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya tidaklah ia menyembah berhala. Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena nafsunya itu condong kepada agama nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu kepada kebiasaan-kebiasaan, adalah salah satu pengertian yang diibaratkan dengan hawa nafsu itu.
Dan keluarlah dari tauhid ini, menaruh kemarahan kepada makhluk dan berpaling kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah Ta'ala, bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari itu, tauhid adalah ibarat dari tingkat ini. Yaitu tingkat orang-orang Shiddiq (orang yang mempunyai kepercayaan penuh kepada Tuhan).Dari itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan arti tauhid dan kulit mana yang dirasa puas. Maka bagaimana mereka, mem
1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Amanah, dengan isnad dla'if.
buat ini, menjadi pegangan, pada pemujian dan pembanggaan, dengan apa yang namanya terpuji, serta kosong dari pengertian yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal itu seumpama kosongnya orang yang pagi-pagi benar sudah menghadap qiblat dan membaca:وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا = الأنعام79 Wajjahtu wajhia lilladzii fathara samaawaati wal ardla haniifa". (Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi karena aku memeluk agama yang benar). Dan itu adalah permulaan kedustaan, dia menghadap Allah tiap-tiap hari, sekira-nya wajah hatinya tidak menghadap Allah Ta'ala, secara khusus.Sesungguhnya, jika maksudnya dengan "wajah" itu wajah secara dhahir, maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain jurusan.
Ka'bah tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi, sehingga orang yang menghadap ke Ka'bah berarti menghadap kepada Allah Ta'ala. Maha Suci Allah dari berpihak dan berberdaerah!.
Sekiranya, maksudnya dengan wajah itu " wajah hati" dan memang itulah yang dimaksud oleh tiap-tiap orang yang beribadah, maka bagaimanakah dapat dibenarkan ucapannya sedang kan hatinya bulak-balik pada kepentingan dan keperluan duniawiyahnya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta, kemegahan dan memperbanyak sebab-sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang demikian.Maka bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi?.Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat tauhid. Seorang yang bertauhid, ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak menghadapkan wajahnya, melainkan kepada YANG ESA itu.
Yaitu mengikuti firman Allah Ta'ala :
قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
(Qulillaahu tsumma dzarhum fii khaudlihim yal'abuun). Artinya :"Katakanlah!اللَّهُ Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya (S. Al-An'am, ayat 91).
Tidaklah dimaksudkan dengan " katakanlah " itu "perkataan" dengan lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong. Maka tempat untuk melihat Allah yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati. Hatinya tambang tauhid dan sumbemya.
Perkataan keempat
DZIKIR DAN TADZKIR.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
(Wa dzakkir fainnadzdzikraa tanfa'ul mu'miniin).Artinya :"Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna untuk orang-orang yang beriman ". (S. Adz-Dzariyat, ayat 55).
Banyaklah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang memuji majlis dzikir itu, seperti sabdanya : إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا , "Apabila kamu melewati kebun Sorga, maka bersenang-senanglah di dalamnya!" "Manakah kebun Sorga itu ? 'tanya yang hadlir. قال: مجالس الذكر" Majlis-majlis berdzikir", sahut Nabi saw. (1)
وفي الحديث: إن لله تعالى ملائكة سياحين في الدنيا سوى ملائكة الخلق إذا رأوا مجالس الذكر ينادي بعضهم بعضا ألا هلموا إلى بغيتكم فيأتونهم ويحفون بهم ويستمعون ألا فاذكروا الله وذكروا أنفسكم
Dalam satu hadits tersebut : "Allah Ta'ala mempunyai banyak malaikat yang mengembara di dalam dunia selain dart para malaikat yang ada kubungannya dengan makhluk. Apabila mereka melihat majlis dzikir, lalu mereka panggil-memanggil satu sama lain, dengan mengatakan : Pergilah kepada kesayanganmu masing-masing". Lalu pergilah mereka, mengelilingi dan mendengar. Dari itu, berdzikirlah kepada الله dan peringatilah dirimu sendiri!". (2)
1.Dirawikan At-Tirmidzi dart Anas dan dipandangnya hasan.
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
Oleh kebanyakan juru nasehat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang demikian itu, lalu membiasakan dengan cerita-cerita, sya'ir-sya'ir, do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami (syathah) dan pemutaran perkataan-perkataan agama (thammat).Adapun ceritera-ceritera (al-kisah), maka itu bid'ah. Telah datang dari ulama-ulama yang terdahulu, larangan duduk mengelilingi tukang-tukang cerita itu. Mereka mengatakan, bahwa tak ada yang demikian pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم Dan tidak ada pada masa Abu Bakar ra. dan Umar ra. Sehingga lahirlah fitnah dan timbullah tukang-tukang ceritera.
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra. keluar dari masjid, seraya mengatakan : "Aku dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku tidak keluar".
Berkata Dlamrah : "Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsuri : "Kita terimakah tukang ceritera itu dengan gembira?".
Menjawab Sufyan : "Balikkanlah tukang bid'ah itu ke belakangmu!" Berkata Ibnu 'Aun : "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya : "Hari ini tidak ada kabar?".
Lalu aku jawab : "Amir sudah melaiang tukang-tukang cerita itu bercerita".
Maka menyambung Ibnu Sirin : "Dia sudah. mendapat taufiq ke jalan yang benar".
Al-A'masy masuk ke masjid jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang berceritera dan mengatakan : "Diterangkan hadits kepada kami oleh Al-A'masy".
Maka Al-A'masypun masuk ke tengah-tengah rombongan itu, sambil mencabut bulu ketiaknya.
Maka berkata tukang ceritera itu : "Tuan! Apakah tidak malu?".
Sahut Al-A'masy : "Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan saudara berbuat bohong? Saya ini Al-A'masy dan tidak pernah menceriterakan hadits kepada saudara".
Berkata Ahmad bin Hanbal ra. : "Yang paling banyak berdusta, diantara manusia, ialah tukang ceritera dan peminta-minta".
Ali ra. mengusir tukang ceritera dari masjid jami' Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera al-Hasan Al-Bashri maka tak diusirnya. Karena Al-Hasan memperkatakan tentang ilmu akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri, bahaya amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia meng-ingatkan kepada segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada kealpaan hamba pada mensyukuriNya. Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan kepalsuan janjinya, bahaya akhirat dan huru-haranya.
1.Dirawikan Ibnu Majah dari Umar. dengan isnad Hasan.
Maka inilah tadzkir (peringatan) yang terpuji pada agama, yang meriwayatkan dorongan kepadanya pada hadits yang dirawikan Abu Zar, seperti berikut : "Mengunjungi majelis dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat seribu raka'at. Mengunjungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada mengunjungi seribu orang sakit. Mengunjungi majelis ilmu adalah lebih utama daripada berta'ziah seribu jenazah".
Lalu ditanyakan :يا رسول الله ومن قراءة القرآن، قال: وهل تنفع قراءة القرآن إلا بالعلم "Wahai Rasulullah! Dan dari membaca Al-Qur'an?". Maka Nabi saw. menjawab : "Adakah bermanfa'at membaca Al-Qur'an selain dengan ilmu?". (1)
Berkata 'Atha' ra: "Majelis dzikir itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia (tempat tontonan)".
Hadits-hadits di atas telah dipergunakan oleh orang-orang yang kotor, untuk alasan kepada membersihkan diri dan mengalih-kan nama "tadzkir" kepada khurafat yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir yang terpuji dan menyibukkan diri dengan ceritera-ceritera yang membawa kepada perselisihan, kepada me-nam bah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera yang ada di dalam Al-Qur'an dan menam bahkan kepadanya.
Di antara ceritera-ceritera itu, ada yang bermanfa'at mendengarnya dan ada yang melarat meskipun benar. Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah antara benar dan bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka dilarang daripadanya.
Karena demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Alangkah berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar" Jika ceritera itu termasuk ceritera Nabi-Nabi as. yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang ceriteranya itu benar dan ceritera-nya tidak salah, maka menurut saya, diperbolehkan.
Dari itu jagalah dari kedustaan, dari ceritera-ceritera keadaan, yang menunjukkan kepada banyak kesalahan atau keteledoran, yang menghambat pemahaman orang awam dari mengetahui maksudnya. Atau menghambatnya dari mengetahui adanya kesalahan, yang jarang terjadi, yang diikuti dengan yang menutupinya, yang dapat diketahui kebaikan-kebaikan yang ditutupkan itu. Orang awam berpegang dengan yang demikian itu, pada segala kealpaan...
.
.
1.Dirawikan Ibnul Jauri dan Ubaidah As-Salmani dari Umar.
dan kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima-'afkan. Dia berasalan, bahwa hal itu telah diceriterakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi, jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang-orang yang lebih besar dari kita telah berbuat ma'syiat.Hal yang tersebut tadi menunjukkan keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar. Maka sesudah menjaga diri dari dua hal yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan demikian. Dan ketika itu, kembali kepada cerita-cerita yang terpuji dan kepada yang terdapat dalam Al-Quran dan kitab-kitab hadits yang shahih.
Sebahagian orang membolehkan membuat cerita-cerita yang menyukakan kepada perbuatan ta'at. Dan mendakwakan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran.Itu sebetulnya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan mengenai dzikir kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, tidak menfciptakan nasehat yang tidak mempunyai dasar kebenaran.
Betapa tidak!!!! Membuat sajakpun tidak disukai dan dipandang yang demikian membuat-buat. Berkata Sa'ad bin Abi Waqqas ra. kepada anaknya Umar, ketika mendengar ia bersajak : "Inilah yang membawa aku marah kepadamu. Tidak akan aku penuhi ke-perluanmu selama-lamanya, sebelum engkau bertobat". Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia datang kepada ayahnya itu. Nabi صلى الله عليه وسلم. telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah, mengenai sajak yang terdiri dari tiga kata :إياك والسجع يا ابن رواحة
(Iyyaaka was-saj'a yabna rawaahah). Artinya :"Awaslah bersajak hai anak Rawahah (1)
Dengan hadits ini, seolah-olah sajak yang harus diawasi, ialah yang lebih dari dua kata. Karena itu, tatkala seorang lelaki mengatakan mengenai diat (2) bayi dalam kandungan : "Bagaimana kah membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak berteriak dan tidak memekik?
1.Menurut Al-lraqi, ia tidak memperoleh bunyi yang demikian, tetapi dengan bunyi lain, yang sama maksudnya.
2.Diat : harta yang dibayar kerana membunuh, yaitu unta atau harganya.
Samakah itu dengan halal darahnya' lalu Nabi bersabda : أسجع كسجع الأعراب "Adakah sajak seperti sajak orang-orang Badui Arab! (1) Adapun sya'ir, maka dicela membanyakkannya dalam pengajaran.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
(Asy syu'araau yattabi'uhumul ghaawuun. Alam tara-annahum fii kulii waadin yahiimuun).
(S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).Artinya :"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang jahat. Tidak kah engkau lihat bahwa mereka mengembara disetiap lembah dengan tak tentu tujuan?".(S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).
Dan berfirman lagi :
وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
(Wa maa 'allamnaahusy syi'ra wa maa yanbaghiilah). Artinya :"Dan kami tiada mengajarkan sya'ir kepadanya (Muhammad) dan sya'ir itu tiada patut baginya" (S. Yaasiin, ayat 69). Kebanyakan sya'ir yang dibiasakan oleh juru-juru nasehat, ialah apa yang menyangkut dengan penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan pedihnya berpisah.
Majlis itu, dikunjungi oleh rakyat banyak yang bodoh-bodoh. Perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak terlepas dari pada menoleh kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak bergerak dari jiwanya, kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa nafsu padanya. Lalu mereka berteriak dan menari nari.
1.Dirawikan Muslim dari Al-Mughirah.
Kebanyakan yang demikian atau seluruhnya, membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu, tidaklah seyogianya dipakai sya'ir kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah untuk jalan petunjuk dan pelunakan hati.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
إن من الشعر لحكمة
(Inna minasy syi'riiahikmah).Artinya :"Sesungguhnya sebahagian dari sya ir itu mengadung hikmah!".(1)
Jika majlis itu dihadliri orang-orang tertentu yang mempunyai perhatian kepada ketenggelaman hati dengan cinta kepada Allah Ta'ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang dhahiriyahnya menunjukkan kepada hubungan sesama makhluk. Karena pendengarnya dapat menempatlah apa yang didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Pendengaran". Dan karena itulah Al-Junaid ra. berbicara kepada lebih kurang sepuluh orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan tidaklah pernah sekali-kali yang menghadliri majlisnya sampai dua puluh orang.
Tentang datang serombongan orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya : "Berbicaralah! Telah datang teman-teman tuan". Ibnu Salim menjawab : "Tidak! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman-teman majlis. Sesungguhnya teman-temanku, ialah orang-orang tertentu (orang-orang al-khawash).
1.Dirawikan Al-Bukhari dari Ubai bin Ka'ab.
Adapun asy-syathah (do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami), maka yang kami maksudkan, ialah dua jenis perkataan, yang diadakan oleh sebahagian kaum shufi.
Yang pertama, ialah do'a-do'a yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama Allah Ta'ala dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah. Sehingga golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al-ittihad (bersatu dengan Allah) terangkat hijab, penyaksian dengan melihat Tuhan dan bercakap-cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka mengatakan : "Dikatakan kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demikian".
Mereka menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur Al-Hallaj yang telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata-kata yang sejenis dengan itu. Dan mereka membuktikan yang demikian dengan ucapan Al-Hallaj : 'Anal-haqq" (akulah al-haqq, yakni : yang maha benar, salah satu dari nama Allah Ta'ala).
Dan dengan apa yang diceritakan dari Abi Yazid Al-Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan : "Subhani-subhani (maha suci aku maha suci aku)".Ini adalah semacam perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awwam. Sehingga segolongan dari kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang tersebut.
Sesungguhnya perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena padanya membatalkan amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa) dengan memperoleh maqam-maqam (derajat-derajat) tinggi dan hal ikhwal yang baik. Maka orang-orang bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian bagi diri mereka dan dari pada menerima kata-kata yang tak berketentuan, yang penuh dengan hiasan kata-kata.
Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak merasa lemah untuk mengatakan : "Ini adalah tan tangan, yang sumbernya ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkaran itu perbuatan diri. Dan pembicaraan ini tidak mengisyaratkan, selain dari bathin dengan terbukanya nur kebenaran".
Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang tersebut itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan dengan sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari pada menghidupkan sepuluh dari padanya.
Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak merasa lemah untuk mengatakan : "Ini adalah tan tangan, yang sumbernya ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkaran itu perbuatan diri. Dan pembicaraan ini tidak mengisyaratkan, selain dari bathin dengan terbukanya nur kebenaran".
Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang tersebut itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan dengan sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari pada menghidupkan sepuluh dari padanya.
Mengenai Abi Yazid Al-Bustami ra. yang tersebut di atas, maka tak benar mengenai apa yang diceriterakan terhadap dirinya.Sekiranya benar ucapan tersebut pernah terdengar daripadanya, maka adalah itu, ia menceriterakan dari Allah 'Azza wa Jalla tentang perkataan yang diulang-ulangiNya pada diriNya. Seumpama bila terdengar ia mengatakan : "lnnanii anallaah, laa ilaaha illaa ana fa'budnii (Sesungguhnya aku adalah aku itu Allah, tiada yang disembah selain aku, maka sembahlah aku) (S. Thaha, ayat 14), maka perkataan tersebut hendaklah dipahamkan, tidak lain daripada pembacaan dari firman Allah Ta'ala.
Yang kedua : dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata-kata yang tidak dipahami, tampaknya menarik, dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada faedahnya sama sekali. Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang mengucapkannya sendiri, karena timbulnya dari gangguan pikiran dan kekacau-balauan khayalan, disebabkan kurang mendalami maksud kata-kata yang menarik perhatiannya itu. Dan inilah yang terbanyak!.
Dan adakalanya dapat dipahami,tetapi tidak sanggup memahaminya dan mendatangkannya dengan kata-kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu maksud dengan susunan kata yang menarik. Perkataan yang semacam inipun tak ada faedahnya, selain daripada mengacau-balaukan jiwa, mengganggu pikiran dan membawa keraguan hati. Ataupun dipahaminya menurut maksud yang sebenarnya, tetapi pemahaman itu didorong oleh hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
ما حدث أحدكم قوما بحديث لا يفقهونه إلا كان فتنة عليهم
(Maa haddatsa ahadukum qauman bihadiitsiin laa yafqahuunahu illaa kaana fitnatan 'alaihim).
Artinya :"Tidaklah seseorang daripada kamu, menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada segolongan manusia yang tiada memahaminya, selain daripada mendatangkanfitnah kepada mereka itu (1)
1.Dirawikan Al-'Uqaili dan Abu Na'im dari Ibnu Abbas, dengan isnad dia'if.
Dan Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
كلموا الناس بما يعرفون ودعوا ما ينكرون أتريدون أن يكذب الله ورسوله
(Kallimunnaasa bimaa ya'rifuuna wa da'uu maa yankiruuna aturii-duuna an yakdziballaahu wa rasuuluh).Artinya : "Berbicaralah dengan orang banyak dengan kata-kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah persoalan yang ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah dan RasulNya (1)
Ini mengenai yang dapat dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami oleh otak yang mende-ngamya. Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri?.Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak oleh yang mendengarnya, maka tidak boleh diucapkan.
Berkata Nabi Isa as, : "Janganlah kamu letakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ilmu hikmah itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang penuh kasih sayang, yang meletakkan obat pada tempatnya penyakit Menurut susunan yang lain,
Sabda Nabi Isa itu berbunyi : "Barang siapa meletakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya, maka dia itu orang bodoh. Dan barang siapa melarang pada ahlinya maka dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu mempunyai hak dan ahlinya. Dari itu berilah kepada semua yang berhak akan haknya".
Adapun thammat (pemutaran perkataan-perkataan agama), maka termasuk di dalamnya apa yang kami sebutkan mengenai syathah. Dan suatu hal lain yang khusus dengan thammat itu, yaitu pemutaran perkataan-perkataan agama dari dhahirnya yang mudah dipahami, kepada urusan bathiii yang tidak ada padanya menonjol faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar-balikkan maksud.
1.Dirawikan Al-Bukhari mauquf (terhenti) sampai kepada Ali.
Ini juga haram dan melaratnya besar. Karena perkataan-perkataan itu apabila diputar dari tujuan dhahiriahnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan dari Nabi saw. dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada perkataan itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam Allah Ta'ala dan kalam RasulNya صلى الله عليه وسلم Lalu apa yang segera terbawa kepada pemahaman, tidaklah dapat dipercayai lagi dan yang bathin itu tak ada ketentuan baginya. Tetapi timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan itu ke dalam beberapa corak. Ini juga termasuk ke dalam bid'ah yang telah berkembang dan besar kerugiannya.
Sesungguhnya tujuan dari orang-orang pembuat thammat itu ialah menciptakan yang ganjil. Karena jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak memperoleh yang ganjil.
Dengan cara yang tersebut, sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan semua syari'at, dengan penta'wilan dhahiriahnya dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu sendiri, sebagaimana telah kami ceriterakan mengenai madzhab-madzhab kaum kebathinan itu dalam kitab 'Al-Mustadhhari' yang dikarang untuk menolak golongan tersebut.
Contoh pemutarbalikan (penta'wilan) golongan thammat itu, di antara lain, kata setengah mereka, tentang penta'wilan firman Allah Ta'ala :
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
(Idzhab ilaa fir'auna innahuu thaghaa) Artinya : "Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia itu durhaka".(S. Thaha, ayat 24).=Bahwa itu adalah isyarat kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah yang dimaksud dengan Fir'aun itu. Dan hatilah yang durhaka pada tiap-tiap manusia.
Dan pada firman Allah Ta'ala :
Lalu perkataan tongkat itu diputar kepada tiap-tiap sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari Allah Ta'ala. Itulah yang harus dicampakkan dan dibuang jauh.
Dan pada sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
تسحروا فإن في السحور بركة
(Tasabharuu fa-inna fis suhuuri barakatan).Artinya :"Bersahurlah kamu! Karena pada sahur itu ada berkatnya".
Lalu diputarkan kepada meminta ampun kepada Tuhan pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur itu sendiri (1)Dan contoh-contoh yang lain, di mana mereka memutar-balikkan Al-Qur'an dari awalnya sampai akhirnya, dari artinya yang dhahir dm dari penafsirannya, yang diterima dari Ibnu Abbas dan ulama-ulama besar lainnya.
Setengah dari pemutar-balikan itu, dapat diketahui batilnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun kepada hati: Karena Fir'aun itu adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang mutawatir sejarah menyatakan adanya, di mana Nabi Musa as. menyerukannya kepada agama seperti Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menyerukan Abu Jahal dan Abu Lahab serta kafir-kafir lain kepada agama Islam. Dan tidaklah Fir'aun itu sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa dilihat dengan pancaindra, sehingga memerlukan pemutaran pada kata-katanya. Dan demikian pula membawa makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi saw. sendiri makan sahur. (2)
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas.
2.Hadits Nabi saw. makan sahur, dirawikan Al-Bukhari dari Anas.
وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ
Artinya : "Dan campaklah tongkatmu". (Wa-an alqi 'ashaaka) (S. Al-Qashash, ayat 31).
Dan bersabda :تسحرو "Bersahurlah!". هلموا إلى الغذاء المبارك Dan "Marilah kita kepada makanan yang mengandung berkat ini'". (1)
Semuanya itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan kebatilannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu yang tidak dapat dipersaksikan oleh pancaindra.
Semua yang diterangkan tadi adalah haram hukumnya, menyesatkan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun daripadanya diterima dari shahabat, dari tabi'in dan dari Al-Hasan Al-Bashri, yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak.
Maka bagi sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
(Man fassaral Qur-aana bira'yihi falyatabawwa' maq'adahu minan naar).
Artinya :"Barangsiapa menafsirkan Al-Quran menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu tempat dari api neraka ", (2) tiada jelas pengertiannya selain dari cara inilah! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan membuktikan sesuatu, lalu menarik penyaksian Al-Qur'an kepadanya serta membawa Kitab Suci di luar petunjuk kata-kata, baik menurut bahasanya atau menurut yang dinukilkan (naqliah).
Tiada seyogialah dipahamkan dari penjelasan di atas tadi, bahwa Al-Qur'an tidak boleh ditafsirkan, dengan menggunakan pemahaman yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat-ayat suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai lima, enam dan sampai tujuh pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari Nabi saw. Kadang-kadang ada yang berlawanan, yang tidak dapat menerima pengumpulan (disatukan maksud).Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan maksud yang baik dan mendalam.
1.Dirawikan Abu Dawud, An-Nasa'i dan Ibnu Hibban dari Al-'lrbadl bin Sariyah.
2.Dirawikan At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas dan dipandangnya hasan (baik).
ولهذا قال صلى الله عليه وسلم لابن عباس رضي الله عنه : اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل
Dari itu berdo'alah Nabi saw. kepada Ibnu Abbas ra. : "Ya Allah Tuhanku! Berilah kepadanya (Ibnu Abbas) paham dalam agama dan ajarilah dia penta'wilan (penafsiran)! (1)
Barang siapa membolehkan dari golongan thammat, menggunakan pemutar-balikan seperti itu serta diketahuinya bahwa yang demikian tidaklah yang dimaksud dengan perkataan-perkataan itu dan mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia kepada Tuhan, maka sikap yang demikian itu, samalah halnya dengan orang yang membolehkan membuat-buat dan mengada-adakan sesuatu terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم. karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti orang yang mengada-adakan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم. dalam suatu persoalan yang dipandangnya benar..
Tindakan yang seperti itu, adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan Nabi صلى الله عليه وسلم yang dipahami dari sabdanya :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
(Man kadzaba "alayya muta'ammidan fal yatabawwa maq'adahu minannaar).Artinya : "Barang siapa berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari api neraka". (2)
Bahkan adalah amat besar kejahatan dengan memutarbalikkan kata-kata itu. Sebab menghilangkan kepercayaan kepada kata-kata itu sendiri dan melenyapkan jalan untuk memperoleh faedah dan pemahaman dari Al-Quran keseluruhannya.
Maka tahulah kita betapa setan itu memutar-balikkan alat-alat da'wah dari ilmu yang terpuji kepada yang tercela. Semuanya itu adalah perbuatan ulama-ulama jahat dengan menggantikan maksud kata-kata itu.
Jika anda mengikuti mereka karena berpegang kepada nama yang termasyhur itu, tanpa memperhatikan kepada apa yang diketahui pada masa pertama dari Islam, maka adalah anda seumpama orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan ilmu hikmah, lalu mengikuti siapa saja yang bemama ahli hikmah. Sedang nama ahli hikmah dipakai untuk tabib, penyair dan ahli nujum pada masa sekarang. Dan itu adalah disebabkan kelengahan, dari penukaran kata-kata itu.
1.Dirawikan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas.
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah, Ali dan Anas.
Perkataan kelima
HIKMAH.
Nama ahli hikmah (al-hakim) ditujukan kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang memutar-mutarkan undian pada tangan di tepi jalan besar.
Hikmah ialah suatu hal yang dipuji Allah Ta'ala dengan firmannya :
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
(Yu'til hikmata man yasyaa-u wa man yu'tal hikmata faqad uutiya khairan katsiira).
Artinya : "DianugerahiNya Hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siaph dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi banyak kebajikan ".
(S. Al-Baqarah, ayat 269).
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
كلمة من الحكمة يتعلمها الرجل خير له من الدنيا وما فيها
(Kalimatun minal hikmati yata'allamuharrajulu khairun minaddun-yaa wa maa fiihaa).
Artinya :"Satu kalimat dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya daripada dunia serta isinya(1).
Perhatikanlah, apakah yang diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan! Kemudian bandingkanlah dengan kata-kata yang lain! Dan jagalah diri dari tertipu dengan keragu-raguan yang dibuat oleh ulama-ulama jahat! Karena kejahatan mereka kepada agama adalah lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan perantaraan ulama-ulama jahat itu, setan beransur-ansur mencabut agama dari hati orang banyak.
1.Disebutkan hadits ini terhenti (mauqu') pada Al-Hasan Al-Sashari.
Karena itulah, tatkala ditanyakan kepada Nabi sawصلى الله عليه وسلم . tentang orang yang paling jahat, beliau enggan menjawab seraya berdo'a : اللهم اغفر "Allaahumma ghafran" (Ya Tuhan! Ampunilah!). Sehingga setelah berkali-kali ditanyakan, lalu beliau menjawab : "Mereka itu ialah ulama jahat هم علماء السوء (ulamaus su') ". (1)
Maka tahulah sudah anda akan ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela serta yang meragukan diantara keduanya. Dan terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri anda sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan penipuan lalu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf).
Segala ilmu yang mendapat kerelaan dari ulama salaf, sudah tertimbun. Dan apa yang menjadi perpegangan manusia sekarang, sebahagian besar dari padanya adalah bid'ah yang diada-adakan.
Benar lah kiranya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم.
بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء فقيل ومن الغرباء قال الذين يصلحون ما أفسده الناس من سنتي والذين يحيون ما أماتوه من سنتي (Bada-allslaamu ghariiban wa saya uudu ghariiban kamaa bada'a fa-thuubaa lilghurabaa-i).Artinya :"Mulanya Islam itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah kepada orang-orang asing itu!". (2)
Maka ditanyakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم : "Siapakah orang-orang asing itu?".
Nabi menjawab : "Mereka yang memperbaiki apa yang telah dirusakkan manusia dari sunnahku dan mereka yang menghidupkan apa yang telah dimatikan manusia dari sunnahku".
Pada hadits yang lain tersebut :
هم المتمسكون بما أنتم عليه اليوم
Orang-orang asing itu, berpegang teguh dengan apa yang kamu pegang sekarang".
Pada hadits lain lagi tersebut :
الغرباء ناس قليل صالحون بين ناس كثير ومن يبغضهم في الخلق أكثر ممن يحبهم
"Orang-orang asing itu adalah manusia yang sedikit jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia banyak. Yang memarahi mereka lebih banyak daripada yang mencintainya". (3)
1.Dirawikan Ad-Oarimi dari Ai-Ahwash bin Hakim, dari ayahnya, hadits mursal.
2.Dirawikan Muslim dari Abi huralrah.
3.Dirawikan Ahmad dari Abdullah bin 'Amr.
Ilmu-ilmu itu telah menjadi asing. Orang yang mengingatinya dimaki.
Karena itu, berkatalah Ats-Tsuri ra, : "Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka ketahuilah bahwa dia itu bercampur. Karena jika kebenaran yang dikemukakannya maka dia akan dimarahi".