Tercelanya Marah



KITAB TERCEL ANYA MARAH, DENDAM DAN DENGKI.
Yaitu: Kitab Kelima dari Rubu' Yang Membinasakan dari "KITAB IHYA'- 'ULUMI'DDIN"

Segala pujian bagi Allah yang tidak berpegang kepada kema'afan dan ke- rahmatanNYA, selain orang-orang yang mengharap. Dan tidak takut kepa­da bunik kemarahan dan keperkasaanNYA, selain orang-orang yang takut. Ia yang mengangsur (kearah kebinasaan) hamba-hambaNYA, dimana me­reka tiada mengetahuinya. DIA mengerasi nafsu-syahwat dan menyuruh mereka meninggalkan apa yang menjadi nafsu-syahwat mereka. DIA men- coba mereka dengan kemarahan dan memberatkan mereka menahan ke­marahan itu, mengenai apa yang dimarahi mereka. Kemudian Dia keliiing- kan mereka dengan hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih) dan berbagai macam kesenangan. Dan Ia menangguhkan kepada mereka, untuk la meli- hat, bagaimana mereka itu berbuat. Dan DIA mencoba dengan yang demi­kian, akan kecintaan mereka, untuk diketahuiNYA kebenaran mereka,me­ngenai apa yang didakwakan mereka. DIA memperkenalkan kepada me­reka, bahwa tiada tersembunyi suatupun kepadaNYA, daripada yang dira- hasiakan mereka dan yang dilahirkan mereka.

Dia memperingati mereka, bahwa Ia mengambil mereka dalam sekejap ma- ta (secara tiba-tiba) dan mereka itu tiada mengetahuinya. Ia berfirman:-

(Maa yandhuruuna illaa shaihatan waahidatan, ta'khudzu hum wa hum yakhish-shimuuna, fa laa yastathii-'uuna taushiyatan wa laa ilaa ahlihim jar- ji'uun). y
Artinya: "Tak ada lafgi yang mereka tunggu, melainkan suatu suara keras, yang akan menyiksa mereka, ketika mereka dalam berbantahan sesamanya. Mereka tiada berkesempatan menyampaikan pesan dan tiada pula dapat kembali kepada keluarganya". S.Ya Sin, ayat 49-50.

Rahmat dan sejahtera kepada Muhammad RasulNYA, yang berjalan para nabi-nabi dibawah benderanya.

Dan kepada keluarga dan shahabat-shahabatnya imam-imam yang menun- jukkan jalan dan penghulu-penghulu yang memperoleh kerelaan, rahmat yang seimbang bilangannya dengan bilangan yang ada dari makhluk Allah

144.

dan apa yang akan ada. Dan memperoleh bahagian dengan barakahnya, orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian. Curahilah kesejahteraan dengan sebanyak-banyaknya!

Adapun kemudian, maka sesungguhnya marah itu nyala api, yang diambil dari api neraka Allah, yang dinyalakan, yang naik ke hati. Dan api itu me- netap dalam lipatan hati, sebagaimana menetapnya bara api dibawah abu. Dan akari dikeluarkannya oleh kesombongan yang tertanam dalam hati ti- ap-tiap orang perkasa, yang keras kepala, seperti dikeluarkan oleh batu, a- kan api dari besi. Dan telah tersingkap bagi orang-orang yang memandang dengan nur keyakinan (nurul-yaqin), bahwa manusia itu ditarik oleh urat darahnya kepada setan yang terkutuk. Maka barangsiapa dikejutkan oleh api kemarahan, maka sesungguhnya kuatlah padanya kedekatan setan, di­mana setan itu berkata: "ENGKAU jadikan aku dari api dan Engkau ja­dikan dia (Adam) dari tanah".(l).

Maka sesungguhnya keadaan tanah itu tetap dan tenteram, sedang keadaan api itu menyala-nyala, hilang-timbul, bergerak dan bergejolak. Diantara natijah (hasil) dari marah itu, ialah dendam dan dengki. Dengan dendam dan dengki, binasalah orang yang binasa dan rusaklah orang yang rusak. Dan tempat tinggal dendam dan dengki itu, ialah sekumpul daging (mudl-ghah). Apabila daging yang sekumpal itu baik, niscaya baiklah tubuh yang lain bersamanya.

Apabila dendam, dengki dan marah itu termasuk diantara yang menghalau hamba Allah ke tempat kebinasaan, maka alangkah di perlukannya, mengetahui segala kebinasaan dan keburukan-keburukannya. Supaya ia menjaga yang demikian dan memeliharakannya. Dan menghilangkannya dari hati, jikalau ada dan meniadakannya. Dan mengobatinya, kalau sudah melekat pada hati dan menyembuhkannya. Sesungguhnya orang yang tiada mengenai kejahatan, niscaya akan jatuh ke dalamnya. Dan orang yang me­ngenai kejahatan, maka mengenai saja tidak cukup, sebelum ia mengenai jalan, yang dengan jalan itu, ia menolak kejahatan dan menjauhkannya. Kami akan menyebutkan tercelanya marah dan bahaya-bahaya dendam dan dengki pada Kitab ini. Dan bahaya itu akan dikumpulkan oleh penjelasan tercelanya marah. Kemudian penjelasan hakikat marah: Kemudian, penje­lasan, bahwa marah itu, adakah mungkin dihilangkan asalnya dengan latihan (riadlah) atau tidak ? Kemudian, penjelasan sebab-sebab yang mengobarkan kemarahan. Kemudian penjelasan pengobatan marah sesudah bergejolaknya. Kemudian, penjelasan keutamaan menahan kemarahan. Kemudian, penjelasan keutamaan tidak lekas marah (hilmun). Kemudian, penjelasan kadar perkataan yang boleh untuk menolong diri dan terobat dari kemarahan. Kemudian, pembicaraan tentang arti dendam (al-haqd) dan na­tijah (hasil)nya, keutamaan ma'af dan kasih sayang. Kemudian, pembicara-


(1) Kata setan itu diceritakan dalam Al-Qur-an, surah Al-A'raf, ayat 12.
145.
an mengenai tercelanya dengki, mengenai hakekat dan sebab-sebab serta pengobatannya. Dan tujuan kewajiban pada menghilangkannya. Kemudian, penjelasan sebab tentang banyaknya dengki diantara teman-te­man sebaya, kawan-kawan, saudara-saudara dan diantara anak paman dan famili-famili terdekat.
Dan menguatnya dan sedikitnya pada orang lain dan melemahnya. Kemu­dian, penjelasan obat yang meniadakan penyakit dengki dari hati. Kemu­dian, penjelasan batas yang wajib pada meniadakan dengki dari hati. Wa bi'llahit-taufik. Kiranya memperoleh taufiq dari Allah!.

PENJELASAN: tercelanya marah. Allah Ta'ala berfirman:-

إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا
(Idz-ja'alal-ladziina kafaruu fii quluubi himul-hamiyyata, hamiyyatal-jaahi- liyyati, fa anzalal-laahu sakiinatahu 'alaa rasuulihi wa 'alal-mu'miniina, wa alza-mahum kalimatat-taqwaa wa kanuu ahaqqa bihaa waahlahaa). Artinya: "Perhatikanlah ketika timbul dalam hati orang-orang yang tiada beriman itu, perasaan kebencian (kesombongan) masa jahiliyah. Maka Al­lah menurunkan ketenanganNYA kepada RasulNYA dan kepada orang-o­rang yang beriman dan menetapkan kalimat taqwa (memelihara diri dari kejahatan) untuk mereka dan mereka lebih berhak dan patut untuk itu" - S.Al-Fath, ayat 26.

Tercelanya orang-orang kafir (orang-orang yang tiada beriman), disebab- kan apa yang diperlihatkan mereka, kesombongan yang timbul dari kema­rahan dengan batil. Dan terpujinya orang-orang mu'min, disebabkan ketenangan yang diturunkan oleh Allah kepada mereka. Diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.: "Wahai Rasulu'llah ! Suruhlah aku dengan amal pekerjaan dan se- dikitkanlah !". Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Jangan engkau marah !". Kemudian, orang tadi mengulangi lagi, lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Ja­ngan engkau marah !".(1).
Ibnu 'Umar berkata: "Aku berkata kepada Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.: "Katakanlah kepadaku suatu perkataan dan sedikitkanlah ! Mudah-mudahan aku mema- haminya". Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Jangan engkau marah !". Maka aku ulangiperkataan tadi dua kali kepada Rasulu'llah. Tiap-tiap kali yang demikian, beliau kembali kepada jawaban: "Jangan engkau marah (laa tag-dlab)".(2).


(1)    Dirawikan Al-Bukhari dari Abu Hurairah.
(2)    Dirawikan Abu Ya'la dari Ibnu 'Umar, dengan isnad baik.
146.

Dari Abdullah bin 'Amr, bahwa ia bertanya kepada Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.: "Apakah yang melepaskan aku dari kemarahan Allah ?". Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Jangan engkau marah !".(1).

Ibnu Mas'ud r,a. berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Apakah yang kamu hi- tung membanting pada kamu ?". Lalu kami jawab: "Yang tidak dibanting oleh orang-orang lain".

Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Tidak demikian. Te­tapi yang memiliki (menguasai) dirinya ketika marah".(2). Abu Hurairah r.a. berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Tidaklah orang kuat itu dengan membanting. Sesungguhnya orang kuat, ialah yang memiliki (menguasai) dirinya ketika marah".(3). Ibnu 'Umar berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bgrsabda:-
  من كف غضبه ستر الله عورته
(Man kaffa gha-dlabahu satara'llaahu 'auratahu).
Artinya: "Barangsiapa menahan kemarahannya, niscaya ditutup oleh Allah auratnya (yang malu diketahui orang)".(4).

Nabi Sulaiman bin Daud a.s. berkata: "Hai anakku I Jagalah dirimu dari banyak marah ! Sesungguhnya banyak marah itu meringankan hati orang penyantun".
Dari 'Akramah mengenai firman Allah Ta'ala: (وسيدا وحصورا Wa sayyidan wa hashuuran).
Artinya: "dan pemimpin dan orang suci". S.Aali 'Imran, ayat 39. Maka kata 'Akramah, bahwa sayyidan pada ayat tadi, artinya: orang yang tidak dapat dikalahkan oleh marahnya. Abu'd-Darda'berkata
قلت يا رسول الله دلني على عمل يدخلني الجنة قال لا تغضب
(Qultu ya Rasuula'llaah! Dullanii 'alaa 'amalin yud-khilunial-jannah. Qa- ala: Laa tagh-dlab !).Artinya: "Aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah ! Tunjukkan aku kepada amal yang memasukkan aku ke dalam sorga !". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: لا تغضب "Jangan engkau marah !".(5).

Yahya berkata kepada Isa a.s.: "Jangan engkau marah !". Isa menjawab:

(1)   Dirawikan Ath-Thabran. dari Abdullah bin 'Amr dan Iain-Iain.
(2)   Karena kesabaran hatinya itu membantingkan kemarahannya. Hadits .ini, dirawikan Mus­lim dari Ibnu Mas'ud.
(3)   Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
(4)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ibnu 'Umar.
("5) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Ath-Thabrani dari Abid-Darda, dengan isnad baik. –147.


"Aku tidak sanggup untuk tidak marah. Sesungguhnya aku manusia". Kata Yahya lagi: "Jangan engkau menyimpan harta !". Isa a.s. menjawab: "Ini mudah-mudahan !".
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: الغضب يفسد الإيمان كما يفسد الصبر العسل "Marah itu merusakkan iman, seperti buah pahit me rusakkan madu".(l).                                                  

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: ما غضب أحد إلا أشفى على جهنم "Tiadalah seseorang itu marah, melainkan mendekatkannya kepada neraka jahannam".(2).j3k05

Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.: "Barang apakah yang lebih berat ?". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Kemarahan Allah!". Orang itu bertanya lagi: "Apakah yang dapat menjauhkan aku dari kemarahan Allah ?". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Jangan engkau marah!".(3).

Menurut al-atsar (kata para shahabat dan orang-orang terkemuka), dian­tara lain, ialah: Al-Hasan Al-Bashari berkata: "Hai anak Adam ! Tiap kali engkau marah, maka engkau itu melompat. Dan hampirlah engkau melompat suatu lompatan, maka jatuhlah engkau dalam api neraka". Dari Iskandar Zul-karnain dirawikan, bahwa ia bertemu dengan salah se­orang malaikat, lalu ia berkata: "Ajarilah aku suatu pengetahuan, yang bertambah aku dengan pengetahuan itu, keimanan dan keyakinan!". Ma­laikat itu menjawab: "Jangan engkau marah ' Sesungguhnya setan itu lebih berkuasa atas anak Adam, ketika anak Adam itu marah. Maka tolaklah kemarahan itu dengan menahan marah dan tenangkanlah dia dengan kasih- sayang!. Jagalah dari tergopoh-gopoh ! Sesungguhnya engkau apabila tergopoh-gopoh, niscaya engkau telah menyalahkan keuntungan engkau. Hen­daklah engkau itu mudah, lemah-lembut bagi yang dekat dan bagi yang jauh ! Dan janganlah engkau itu terlalu keras dan keras kepala!". Dari Wahb bin Munabbih, yang meriwayatkan, bahwa seorang pendeta berada di gerejanya. Maka setan bermaksud menyesatkannya. Lalu setan itu tidak sang­gup. Maka setan'tersebut datang kepada pendeta tadi, sehingga mendekatinya. Lalu setan itu berkata kepada pendeta tersebut: "Bukalah !". Pen­deta itu tidak menjawab. Lalu setan itu berkata lagi: "Bukalah ! Sesung­guhnya jikalau aku pergi, niscaya engkau menyesal". Tetapi pendeta itu, tidak juga menoleh kepada setan itu. Lalu setan tadi berkata: "Sesungguh­nya aku ini Al-Masih !" Maka pendeta itu menjawab: '.'Jikalau engkau Al- Masih, maka apa yang akan aku perbuat dengan engkau ? Bukankah eng­kau telah menyuruh kami beribadah dan bekerja sungguh-sungguh ? Dan engkau menjanjikan kepada kami akan hari kiamat ? Kalau engkau datang kepada kami.pada hari ini, dengan yang lain, niscaya kami tiada akan menerimanya dari engkau". Lalu setan itu menjawab: "Sesungguhnya aku ini setan. Aku bermaksud menyesatkan engkau, lalu aku tidak sanggup. Maka aku datang kepada engkau, supaya engkau bertanya padaku apa yang eng kau kehendaki
(1) Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Bahaz bin Hakim, sanad lemah.
(2)Dirawikan AI-Bazzar dan Ibnu 'Uda dari Ibnu Abbas, isnad lemah.
(3)Dirawikan Ahmad dari Abdullah bin 'Amr.
148


Lalu akan aku terangkan kepada engkau". Pendeta itu menjawab: "Aku tidak bermaksud bertanya pada engkau sesuatu". Wahb bin Munabbih meneruskan riwayatnya: maka setan itu berpaling membelakang. Maka pendeta itu bertanya: "Apakah tidak engkau dengar ?".
Setan itu menjawab: "Ada !".
Lalu pendeta itu berkata: "Terangkanlah kepadaku, budi pekerti mana dari anak Adam, yang lebih menolong engkau diatas mereka ?"
Setan itu menjawab: "Kemarahan ! Bahwa seseorang apabila marah, maka akan kami balik-balikkan dia, seperti anak-anak kecil membalik-balikkan bola".

Khaitsamah bin Abdurrahman (seorang tabi'in yang kepercayaan) berkata: "Setan itu berkata: "Bagaimana anak Adam dapat mengalahkan aku. Apa­bila ia rela (setuju), niscaya aku datang, sehingga aku berada dalam hati­nya. Dan apabila ia marah, niscaya aku terbang, sehingga aku berada pada kepalanya".Ja'far bin Muhammad berkata: "Kemarahan itu anak kunci semua kejahat­an".

Sebahagian orang anshar (orang-orang muslim Madinah yang membantu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.) berkata: "Kepala kedunguan itu marah. Panglima kedunguan itu marah. Barangsiapa rela dengan kebodohan, niscaya ia tidak memer­lukan kesantunan. Kesantunan itu hiasan dan kemanfa'atan. Dan kebo­dohan itu kekurangan dan kemelaratan. Dan diam daripada menjawab per­tanyaan orang dungu itu, adalah jawabannya".

Mujahid berkata: "Kata Iblis: "Aku tidak dapat dilemahkan oleh anak Adam. Mereka tidak akan dapat melemahkan aku pada tiga hal:-
1.Apabila salah seorang mereka mabuk, lalu kami ambil dengan talinya. maka kami halau dia kemana kami kehendaki. Dan ia bekerja untuk kami dengan yang kami sukai.
2. Apabila ia marah, niscaya ia berkata dengan apa yang tiada diketahuinya. Dan ia berbuat dengan apa yang disesalinya.
3.ia kikir dengan apa yang ada dalam tangannya dan ia bercita-cita (berangan-angan) dengan apa yang tidak disanggupinya". Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (filosuf): "Apakah yang membuat si Anu dapat memiliki (menguasai) dirinya?". Filosuf itu menjawab: "Apa­bila ia tidak dihinakan oleh nafsu syahwatnya, ia tidak dibanting oleh hawa nafsunya dan ia tidak dikalahkan oleh kemarahannya". Sebahagian mereka berkata: "Awaslah dari kemarahan ! Sesungguhnya marah itu membawa engkau berkesudahan kepada kehinaan meminta ma' af

Ada yang mengatakan: "Jagalah dirimu dari kemarahan,Maka sesung­guhnya kemarahan itu, merusakkan iman, sebagaimana buah pahit merusakkan madu".

Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata: "Perhatikanlah kepada kelemah-lembutan orang ketika marahnya dan amanahnya ketika rakusnya ! Dan apa yang diajarkannya engkau dengan kelemah-lembutannya, apabila ia tidak ma­rah. Dan apa yang diajarkannya engkau dengan amanahnya, apabila ia ti­dak rakus".

Khalifah Umar bin Abdul-aziz r.a. menulis surat kepada karyawannya: "Bahwa engkau tidak menghukumkan seseorang, ketika engkau marah. Maka tahanlah orang itu ! Lalu apabila kemarahan engkau telah tenang, maka keluarkanlah dia dari tahanan ! Lalu hukumkanlah orang itu menurut. dosanya. Dan tidak engkau melewati dari limabelas kali cemeti !". Ali bin Zaid berkata: "Seorang laki-laki dari Quraisy telah berkata begitu kasar kepada Khalifah Umar bin Abdul-aziz. Lalu Umar menekurkan kepalanya pada masa yang lama. Kemudian, ia berkata: "Aku bermaksud, bahwa aku dikejutkan oleh setan, dengan kemegahan kekuasaan. Maka aku memperoleh daripada engkau pada hari ini, apa yang akan engkau pe- roleh dari padaku pada hari esok".

Sebahagian mereka berkata kepada anaknya: "Hai anakku ! Akal itu tidak tetap ketika marah, sebagaimana tidak tetap nyawa orang yang hidup pada dapur roti yang menyalanyala".
Manusia yang paling sedikit marahnya, ialah: orang yang lebih berakal. Maka jikalau ia untuk dunia, niscaya adalah ia cerdik dan tipu-daya. Dan jikalau ia untuk akhirat, niscaya adalah ia lemah-lembut dan berilmu". Ada yang mengatakan: "Marah itu musuh akal dan marah itu hantu (momok) bagi akal".

Adalah Umar r.a. apabila berpidato, niscaya ia mengucapkan dalam pidatonya: "Memperoleh kemenangan dari kamu, orang yang menjaga dirinya dari kerakusan, hawa-nafsu dan kemarahan".

Sebahagian mereka berkata: "Barangsiapa mengikuti nafsu-syahwatnya dan kemarahannya, niscaya dua hal itu menghalaukannya kepada api neraka".

Al-Hasan Al-Bashari r.a. berkata: "Diantara tanda orang muslim, ialah: kuat pada keagamaan, hati-hati pada kelunakan, iman pada keyakinan, ilmu pada kelemah-lembutan, pintar pada berteman, memberi pada kebenaran, sederhana pada kekayaan, berbaik-baik pada kemiskinan, berbuat baik pa­da kekuasaan, menanggung beban pada berteman dan sabar pada kesuka- ran. Ia tidak dikalahkan oleh marah, tidak dilarikan oleh kesombongan, ti­dak dikalahkan oleh nafsu-syahwat, tidak diberi malu oleh perutnya, tidak diringankan oleh kelobaannya dan tidak dipendekkan oleh niatnya. Maka ia menolong orang yang teraniaya. Ia kasih sayang kepada orang yang le­mah. Ia tidak kikir, tidak mubazir, tidak royal (berlebih-lebihan) dan tidak terlalu berhemat terhadap keluarganya. Ia memberi ampunan, apabila ia dianiaya dan memberi ma'af, dari orang bodoh, dimana dirinya dalam kesusahan dan manusia. Iain dalam kemewahan".

Orang berkata kepada Abdullah bin Al-Mubarak: "Terangkanlah kepada kami kesimpulan kebagusan budi-pekerti dalam suatu kata-kata !". Lalu Abdullah menjawab: "Meninggalkan marah".

Salah seorang nabi berkata kepada orang yang mengikutinya: "Siapayang menjamin kepadaku, bahwa ia tidak marah, maka ia bersama aku pada tingkatku. Dan ia sesudahku menjadi khalifahku".
Lalu seorang pemuda dari kaum itu menjawab: "Aku !". Kemudian nabi itu mengulangi lagi pada pemuda tersebut. Lalu pemuda itu menjawab: "Aku akan menepati jaminan itu".
Maka tatkala nabi tersebut meninggal, niscaya pemuda tadi berada pada tingkatnya sesudahnya. Pemuda tadi, ialah: Dzul-kifli namanya.(1). Ia dinamakan dengan nama tersebut, karena ia menjamin dengan: marah dan menepatinya. (2).
Wahb bin Munabbih berkata: "Kufur itu mempunyai empat sendi, yaitu: marah, nafsu-syahwat, bodoh dan loba.


PENJELASAN: hakikat marah.
Ketahuilah, bahwa Allah Ta'ala tatkala menjadikan hewan ( makluk hidup) yang mendatangkan kepada kerusakan dan kebinasaan, dengan sebab-sebab dalam tubuhnya dan sebab-sebab diluar tubuhnya, niscaya Allah Ta'ala mencurahkan ni'mat kepadanya, dengan yang memeliharakannya dari kerusakan dan yang menolaknya dari kebinasaan, sampai kepada masa yang dimaklumi, yang disebutkanNYA dalam KitabNYA. Adapun sebab yang didalam, yaitu: bahwa Allah Ta'ala menyusun kejadian dari panas dan basah.

Dan dijadikanNya diantara panas dan basah itu, permusuhan dan berlawanan. Maka senantiasalah panas itu menghancurkan basah, mengeringkan dan menguapkannya. Sehingga bahagian-bahagiannya menjadi uap, yang naik daripadanya. Maka jikalau tidak disambung dengan basah itu oleh pertolongan makanan, yang akan menggantikan yang hancur dan yang menguap dari bahagian-bahagiannya, niscaya hewan itu rusak. Lalu Allah Ta'ala menjadikan makanan yang sesuai dengan badan hewan. Dan dijadi­kanNya pada hewan itu, nafsu keinginan yang menggerakkannya untuk mengambil makanan, seperti diwakilkan untuk menampalkan apa yang pecah dan menggantikan apa yang rusak. Supaya adalah yang demikian itu penjaganya dari kebinasaan dengan sebab tersebut.

Adapun sebab-sebab yang di luar, yang didatangi insan, maka ialah, se­perti: pedang, mata tombak dan pembinasa-pembinasa lainnya yang dimaksudkan. Maka insan itu memerlukan kepada kekuatan dan kekerasan yang bergelok dari batiniahnya. Maka tertolaklah pembinasa-pembinasa itu da-



(1)   Dzul-kifli, artinya: mempunyai jaminan. (Pent).
(2)   Maksudnya: ia menjamin tidak marah dan ia menepati jaminannya itu.(Pent).
151.

ripadanya. Maka Allah Ta'ala menjadikan sifat marah itu dari api. Dan dijadikanNya sifat itu menjadi gharizah (instink) pada insan. Dan diramaskanNya dengan Iumpurnya. Maka manakala ia terhambat, dari salah satu hajatnya dan salah satu dari maksudnya, niscaya menyalalah api kema­rahannya. Dan api itu berkobar, yang menjadikan darah hati itu mendidih dan berhamburan pada urat-urat. Dan meninggi ke bahagian badan sebelah atas sebagaimana menmgginya api. Dan sebagaimana meningginya air yang dipanaskan dalam periuk.

Maka karena itulah tertuang kepada muka. Lalu muka dan mata itu merah. Sedang kulit, karena jernihnya, membayangkan warna merah darah di sebaliknya, sebagaimana kaca membayangkan warna barang padanya. Sesungguhnya darah itu mengembang, apabila seseorang memarahi orang di bawahnya dan merasa berkuasa terhadap orang itu. Jikalau kemarahan itu timbul terhadap orang yang di atasnya dan ia berputus asa untuk membalas dendam, niscaya terjadilah kekecutan darah dari permukaan kulit, sampai kepada rongga hati. Dan jadilah ia bergundah hati. Dan karena itulah warna menjadi kuning.

Dan jikalau kemarahan itu terjadi, terhadap orang yang sebanding, yang ragu ia padanya, niscaya darah itu bulak-balik antara kecut dan mengem­bang. Lalu ia berwarna merah, menguning dan menggeletar.
Kesimpulannya: kekuatan marah itu, tempatnya hati. Dan artinya: menggelegak darah hati, untuk menuntut balas. Dan kekuatan itu ditujukan ke­tika berkobarnya, kepada menolak yang menyakitkan, sebelum terjadi. Dan kepada kesembuhan dan menuntut balas, sesudah terjadi. Menuntut balas itu adalah makanan kekuatan tersebut dan keinginannya. Dan pada menuntut balas itu kesenangannya. Ia tidak tenteram, selain de­ngan menuntut balas.

Kemudian, sesungguhnya manusia pada kekuatan ini, terbagi kepada tiga tingkat pada permulaan kejadiannya (fitrahnya): yaitu dari tafrith, ifrath dan i'tidal.


152

Tafrith (sangat berkurang), maka dengan tidak adanya kekuatan ini atau dengan lemahnya. Dan yang demikian itu tercela. Yaitu, yang dikatakan: bahwa orang itu tidak mempunyai kepanasan hati.

Dan karena itulah Imam Asy-Syafi'i r.a. berkata: "Orang yang diperbuat sesuatu untuk marah, lalu ia tidak marah, maka orang itu keledai"

Orang yang tiada mempunyai sedikit pun kekuatan marah dan kepanasan hati, maka orang tersebut itu kurang sekali. Allah S.W.T. menyifatkan shahabat-shahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dengan syiddah (sikap keras) dan kepanasan hati. IA berfirman:-
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
(Muhammadur-rasuulul-Iaahi wal-ladziina ma'aahu, asyid-daa-u'alal-kuffaa- ri, ruhamaa-u baina-hum).Artinya: "Muhammad itu Utusan Allah , Dan orang-orang yang beriman dengan dia, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, bersifat kasih-sayang antara sesama mereka". S. Al-Fath, ayat 29.

Allah Ta'ala berfirman kepada NabiNYA:-
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
(Yaa-ayyuhan-nabiyyu, jaahidil-kuffaara wal-munaafiqiina, wagh-ludh 'alaihim wa ma'waahum jahannamu wa bi' -sal-mashiir). Artinya: "Hai Nabi ! Berjuanglah dengan sungguh-sungguh melawan o rang-orang kafir dan orang-orang munafik (beriman palsu), dan bersikap keraslah terhadap mereka ! Tempat diam mereka adalah neraka jahannam dan itulah tempat kembali yang amat buruk".S.At-Tahrim, ayat 9. Sikap keras dan tegas itu, termasuk diantara bekas-bekas kekuatan kepa­nasan hati.

Yaitu: marah. –

Adapun ifrath (berlebih-lebihan), yaitu, bahwa sifat ini (sifat marah) yang tnenang, sehingga ia keluar dari kebijaksanaan akal, agama dan keta'atan nya.

Dan tidak tinggal lagi bagi manusia itu, penglihatan hati, pandangan dan pi- kiran. Dan tak ada usaha. Tetapi ia menjadi dalam bentuk orang yang ter- paksa.

Sebab kemenangan marah itu, beberapa keadaan gharizah (instink) dan be­berapa keadaan kebiasaan (adat kebiasaan). Maka banyaklah manusia de­ngan fitrahnya, tersedia untuk cepat marah. Sehingga seolah-olah bentuk- ,nya pada fitrahnya (kejadiannya) itu, bentuk orang pemarah. Dan meno- long kepada yang demikian, oleh panas tabiat hati. Karena marah itu dari api, sebagaimana disabdakan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (1). Dan sesungguhnya, dinginnya tabiat itu, memadamkan marah dan meme- cahkan tanda-tandanya.

Adapun sebab-sebab kebiasaan, yaitu: ia bercampur-baur dengan suatu kaum yang menyombong dengan kesembuhan marah dan menta'ati marah. Dan mereka menamakan yang demikian itu: keberanian dan kelaki-lakian. Lalu salah seorang dari mereka mengatakan: "Aku orang yang tidak sa- bar atas penipuan dan kemustahilan. Dan aku tidak tanggung sesuatu urusan dari seseorang". Artinya: "Tak ada akal padaku dan tak ada kelemah-lembutan". Kemudian disebutkannya dalam mengemukakan kesombongan dengan kebodohannya. Maka barangsiapa mendengarnya, niscaya melekat pada dirinya, kebagusan marah dan kesukaan menyerupai dengan kaum
(1) Dirawikan At-Tarmidzi dari Abi Sa'id, dengan sanad dla'if. Yaitu: marah itu dari api. Dan hadits: bahwa marah itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api.
153.
tersebut. Maka dengan demikian kuatlah marahnya. Manakala bersangatan api kemarahan dan kuat menyalanya, niscaya membutakan yang punya api itu dan menulikannya dari setiap pengajaran. Ma­ka apabila ia diberi pengajaran, niscaya tidak didengarnya. Bahkan yang demikian menambahkan kemarahannya. Dan apabila ia memperoleh cahaya dengan nur akalnva dan ia kembali kepada dirinya, niscaya ia tidak sang­gup. Karena nur akalnya padam dan terus tersapu dengan asap kemarahan. Sesungguhnya tambang fikiran itu otak. Dan naiklah asap yang gelap ketika bersangatan marah, dari menggelagaknya darah hati, keotak, yang mengua­sai tambang-tambang pikiran. Dan kadang-kadang ia melampaui kepada tambang-tambang perasaan. Lalu matanya gelap, sehingga ia tidak melihat dengan matanya itu. Dan menghitamlah dunia kepadanya seanteronya. Dan adalah otaknya seumpama gua, yang menggelegak api didalamnya. Lalu udaranya hitam dan tempatnya itu panas. Dan sekelilingnya penuh de­ngan asap. Dan ada padanya lampu yang lemah sinarnya. Lalu terhapus atau padam cahayanya. Maka tidak tetap tapak kaki padanya. Tidak terdengar padanya perkataan. Tidak terlihat padanya suatu bentuk pun. Dan ti­dak sanggup ia memadamkannya, baik dari dalam atau dari luar. Akan te­tapi sayogialah bersabar, sampai terbakar semua yang dapat dibakar. Maka begitulah kiranya, marah itu berbuat dengan hati dan otak. Dan ka­dang-kadang api kemarahan itu kuat. Lalu melenyapkan basah, dimana de­ngan basah itu, hidup hati. Maka matilah yang punya hati, karena kema­rahan. Sebagaimana kuatnya api dalam gua, lalu gua itu runtuh dan pecah bahagian atasnya, keatas bahagian bawahnya. Dan yang demikian itu, ka­rena dirusakkan oleh api, kekuatan sekelilingnya, yang menyikat, yang me­ngumpulkan bahagian-bahagian gua.

Maka beginilah halnya hati ketika marah. Dan pada hakikatnya, sebuah pe­rahu dalam hempasan ombak ketika kekacauan angin, ditengah lautan itu, lebih baik halnya dan lebih besar harapan selamat, dibandingkan dengan jiwa yang kacau, karena kemarahan. Karena dalam perahu itu ada orang yang berdaya-upaya menenteramkan dan mengaturkannya. Dan melihat dan memimpinkannya. Adapun hati, maka dialah yang punya perahu. Dan telah berguguranlah daya-upayanya. Karena ia dibutakan oleh kemarahan dan clitulikannya.

Diantara bekas-bekas kemarahan Ini pada zahir, ialah: berobah warna, kesangatan gementar pada sendi-sendi badan, keluarnya perbuatan, tanpa tertib dan teratur, kacaunya gerak dan perkataan. Sehingga lahirlah buih pada tepi mulut, merahlah bijimata, berbaliklah hidung dan berobahlah bentuk tubuh. Dan jikalau orang yang sedang marah itu melihat kekejian bentuk nya, ketika sedang marah, niscaya akan tenang kemarahannya. Karena malu dari kekejian bentuknya dan perobahan kejadiannya. Dan kekejian batiniyahnya itu lebih besar, dibandingkan dengan kekejian zahiriyahnya. Se­sungguhnya zahiriyah itu, suatu tanda (alamat) bagi batiniyah. Dan yang pertama-tama, sesungguhnya buruk bentuk batiniyah. Kemudian, yang ke­dua berkembang keburukannya kepada zahiriyah. Lalu berobahlah zahiriyah, sebagai buah (hasil perobahan batiniyah)-Maka bandingkanlah antara buah dengan yang membuahkan. Maka inilah bekasnya pada tubuh ! Adapun bekasnya pada lidah, maka yaitu: lancarnya memaki dan berkata keji, dimana orang yang berakal malu daripadanya. Dan oraig yang me- ngatakannya pun, malu ketika kemarahan sudah menurun. Dan yang demi­kian, serta binasanya peraturan dan kacaunya kata-kata. Adapun bekasnya pada anggota badan, maka, yaitu: pemukulan, penye- rangan, pengoyakan pakaian, pembunuhan dan pelukaan, ketika mungkin yang demikian, tanpa ambil pusing. Maka jikalau yang dimarahi itu lari da­ripadanya atau tidak dapat dikejar oleh sesuatu sebab dan orang yang ma­rah itu lemah dari kesembuhan amarahnya, niscaya kemarahan itu kembali kepada yang marah sendiri. Lalu ia mengoyakkan kainnya sendiri dan menempeleng dirinya. Dan kadang-kadang ia memukul lantai dengan tangannya. Dan ia berlari-lari, sebagaimana larinya orang yang terganggu pi- kiran, yang mabuk dan orang yang tercengang keheranan. Kadang-kadang ia jatuh tersungkur, tidak sanggup lari dan bangkit berdiri, disebabkan kesangatan marah. Dan menimpa atas dirinya, seperti pingsan. Kadang-ka­dang ia memukul barang keras dan binatang. Lalu dipukulnya-umpamanya - piling diatas lantai. Kadang-kadang dipecahkannya meja makan, apabila ia marah kepada meja makan. Ia berbuat perbuatan-perbuatan orang gila. Lalu dimakinya binatang dan benda-benda keras. Dan ditujukannya ucapan kepada benda-benda itu. Dan dikatakannya: "Sampai kapan ini dari eng­kau, hai begitu-begitu !". Seolah-olah ia menujukan pembicaraan kepada yang berakal. Sehingga kadang-kadang, ia disepak oleh hewan, lalu ia menyepak hewan itu.


Dan ditantangnya hewan tersebut dengan demikian. Adapun bekasnya pada hati serta orang yang dimarahi, maka, yaitu: den­dam, dengki, menyembunyikan yang buruk, memaki-maki dengan yang jar hat, susah kalau yang dimarahi senang-gembira, bercita-cita membuka raha- sia, merusakkan tabir yang menutup hal-hal yang memalukan yang dima­rahi, mengejek dan kekejian-kekejian yang lain dari yang demikian. Inilah buah (hasil) kemarahan yang bersangatan !

Adapun buah (hasil) kepanasan hati yang lemah, maka, yaitu: sedikitnya sombong daripada yang disombongkan, daripada menyinggung kepada mahram (orang yang haram dikawini), istri dan budak wanita dan me- nanggung kehinaan diperinain-mainkan dengan kezaliman, kecil jiwa dan kehinaan. Dan itu juga tereela. Karena diantara buahnya (hasilnya) ialah: tiada cembura terhadap mahram. Dan itu adalah sifat kewanitaan.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
إن سعدا لغيور وأنا أغير من سعد وإن الله أغير مني
(Inna Sa'dan Ia-ghayuurun wa ana agh-yaru min Sa'din wa innal-laaha agh- yaru minnii).
Artinya: "Sesungguhnya Sa'ad itu pencemburu dan aku lebih cemburu dari Sa'ad. Dan sesungguhnya Allah lebih cemburu daripadaku".(l). Sesungguhnya dijadikan cemburu itu, untuk pemeliharaan keturunan. Jika­lau manusia sangat berlapang dada (bertoleransi) dengan yang demikian, niscaya bercampur-aduklah keturunan. Dan karena itulah dikatakan: tiap- tiap ummat itu diletakkan cpmburu pada laki-lakinya dan diletakkan pen- jagaart diri pada kaum wanitanya.

Sebahagian dari lemahnya kemarahan itu, kelemahan hati dan berdiam diri ketika melihat perbuatan munkar.
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
خير أمتي أحداؤها
(Khairu ummatii ahiddaa-uhaa).Artinya: "Sebaik-baik ummatku itu, orang-orang yang paling keras".(2). Ya'ni: pada agama. Allah Ta'ala berfirman:-
ولا تأخذكم بهما رأفة في دين الله
 (Wa laa ta'khudzkum bi-himaa rafa tun fii diinil-laah). Artinya: "Janganlah sayang kepada keduanya (perempuan dan laki-laki yang berzina) dalam menjalankan (hukum) Allah".S.An-Nur, ayat 2. Bahkan, siapa yang ketiadaan marah, niscaya ia lemah daripada melatih dirinya. Karena tiada sempurna latihan, selain dengan mengeraskan kema­rahan atas nafsu-syahwat. Sehingga ia marah kepada dirinya, ketika cen- derung kepada nafsu-syahwat yang keji.

Maka ketiadaan marah itu tercela. Dan sesungguhnya yang terpuji, ialah marah yang menunggu isyarat (penunjukan) akal dan agama. Lalu m^rah itu bangkit, ketika wajib kepanasan hati dan padam, dimana baik kelemah-Iembutan.

Menjaga marah kepada batas sedang (عتدالi'tidal) itu, ialah: berdiri lurus (استقامة istiqamah) yang diberatkan (di-taklif-kan كلف الله) oleh Allah kepada hambaNYA. Yaitu: ditengah-tengah (الوسط wasath) yang disifatkan oleh Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., di­mana beliau bersabda:

(1)    Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Mughirah.
(2)   Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Ali, dengan sanad dla'if.
156.

خير الأمور أوساطها
(Khairul-umuuri ausaa-thuhaa).Artinya: "Sebaik-baik pekerjaan, ialah: yang ditengah-tengahnya".(l).

Maka siapa yang marahnya cenderung kepada kelesuan, sehingga ia merasa dirinya kelemahan cemburu dan kehinaan diri pada menanggung kehinaan dan kezaliman pada tidak tempatnya, maka sayogialah ia mengobati diri­nya, sehingga kuatlah marahnya. Dan siapa yang cenderung marahnya ke­pada berlebih-lebihan, sehingga menarikkannya kepada sangatnya berani (at-tahawwur) dan melakukan perbuatan-perbuatan keji, maka sayogialah ia mengobati dirinya, supaya berkurang dari tanda kemarahan. Dan berdiri diatas yang tengah-tengah yang benar diantara dua tepi. Maka itulah jalan yang lurus (ash-shiratul-mustaqim).

Dan jalan itulah yang lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari pedang. Maka kalau ia lemah daripadanya, niscaya hendaklah ia mencari kedekatan daripadanya.

Allah Ta'ala berfirman:-
ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة
(Wa lan tasta-thii-'uu an ta'diluu bainan-nisaa-i, wa lau harash-tum, fa laa tamiiluu kullalmaili, fa tadzaruu-haakal-mu'allaqah) Artinya: "Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isterimu,biar kamu sangat ingin (berbuat begitu). Sebab itu, janganlah kamu terlampau miring (dari yang satu), sehingga kamu biarkan dia sebagai tergan- tung". S. An-Nisa', ayat 129.

Maka tidaklah tiap-tiap orang yang lemah daripada berbuat kebajikan seluruhnya, lalu sayogialah berbuat kejahatan seluruhnya. Tetapi, sebahagian kejahatan itu lebih rendah dari sebahagian. Dan sebahagian kebajikan itu lebih tinggi dari sebahagian.

Maka inilah hakikat marah dan tingkat-tingkatnya! Kita meminta pada Al­lah akan kebaikan taufiq, bagi apa yang diridlaiNYA. Sesungguhnya DIA amat berkuasa atas apa yang dikehendakiNYA.


(1) Dirawikan Al-Baihaqi dari Muthrif. hadits mursal.
157.

PENJELASAN: marah, adakah mungkin dihilangkan pokoknya dengan latihan atau tidak ?

Ketahuilah, bahwa disangka oleh orang-orang yang menyangka, bahwa penghapusan marah itu dapat digambarkan secara keseluruhan. Mereka menda'wakan, bahwa latihan dapat ditujukan kepada penghapusan marah

Dan dimaksudkan kepadanya. Dan suatu pihak yang lain menyangka, bah­wa marah itu suatu pokok, yang tidak dapat diobati. Dan ini adalah pendapat orang yang menyangka, bahwa tingkah laku (perangai) itu seperti kejadian tubuh (bentuk tubuh). Keduanya tidak dapat dirobah. Kedua pendapat tadi lemah. Tetapi yang benar, ialah, apa yang kami se­butkan. Yaitu, bahwa: tidaklah kekal manusia itu mencintai sesuatu dan membenci sesuatu. Maka ia tidak terlepas daripada meradang dan marah. Dan selama bersesuaian dengan dia sesuatu dan menyalahi dengan dia, se­suatu yang lain, maka tak boleh tidak, bahwa ia menyukai yang bersesuaian dengan dia dan membenci yang menyalahi dengan dia. Dan marah itu me- ngikuti yang demikian. Sesungguhnya manusia itu, manakala diambil dari­padanya yang disukainya, niscaya sudah pasti-ia marah. Dan apabila ditu- jukan kepadanya yang dibencinya, niscaya sudah pasti-ia marah.

Hanya, apa yang disukai manusia itu terbagi kepada tiga bahagian:-
Pertama: apa yang penting pada hak umumnya manusia, seperti: makanan, tempat tinggal, pakaian dan kesehatan badan. Maka siapa yang mau dipu- kul badannya atau dilukai, maka tidak boleh tidak, ia akan marah. Begitu juga apabila diambil kainnya, yang menutupi auratnya. Dan begitu pu­la, apabila ia dikeluarkan dari rumahnya, yang menjadi tempat tinggalnya. Atau dituangkan airnya, yang digunakan untuk menghilangkan kehausannya.

Maka semua yang tersebut tadi itu penting. Tidak terlepaslah manusia, dari kebencian dengan hilangnya. Dan dari pada meradang (sangat marah) ter­hadap orang yang menyinggungnya.

Bahagian Kedua: apa yang tidak penting bagi seseorang manusia, seperti: ke­megahan, harta banyak, budak belian, dan binatang ternak. Semua yang tersebut ini, adalah disukai, menurut kebiasaan. Dan bodoh, dengan maksudnya hal-hal tersebut. Sehingga, jadilah emas dan perak itu "dicintai pada diri kedua benda tersebut. Lalu keduanya disimpan dan dimarahi orang yang mencurinya. Walau pun ia tidak memerlukan emas dan perak itu, pa­da makanan.


Maka jenis ini, termasuk yang digambarkan, bahwa: manusia dapat terle­pas dari pokok keberangan (kemarahan), kepadanya. Maka apabila ia mem­punyai rum ah yang lebih dari tempat tinggalnya, lalu rumah itu dibongkar oleh orang zalim, maka bolehlah ia tidak marah. Karena boleh ia dapat melihat urusan duniawi. Lalu ia menjadi zahid (orang zuhud), mengenai tambahan dari yang diperlukan. Maka ia tidak marah dengan diambil orang rumah itu. Karena ia tidak menyukai akan adanya. Dan kalau ia menyukai akan adanya, niscaya sesungguhnya, dapat dipahami dengan mudah, ia ma­rah dengan diambil orang rumah tersebut.

Kebanyakan marah manusia itu, pada apa yang tidak penting (yang tidak merupakan hajat hidup yang vital), seperti: kemegahan, suaranya didengar orang, mendapat tempat dimuka dalam majlis, bermegah-megahan dalam
158.

ilmu-pengetahuan. Maka orang yang keras kecintaannya kepada yang ter­sebut itu, tidak mustahil, ia akan marah, apabila didesak oleh orang lain yang mendesaknya, pada tempat dimuka dalam perayaan-perayaan. Dan orang yang tiada menyukai demikian, maka ia tidak perdulikan, walau pun ia didudukkan pada barisan sandal (barisan terakhir). Ia tidak marah, apa­bila orang lain duduk diatasnya.

Kebiasaan yang rendah ini, ialah yang memperbanyakkan manusia suka dan manusia benci. Lalu membanyakkan marahnya. Dan manakala kehendak dan nafsu-keinginan itu, lebih banyak, niscaya adalah yang punya kehendak dan nafsu-keinginan itu, menurun dan mengurang darajatnya. Ka­rena hajat keperluan itu, adalah suatu sifat kekurangan. Maka manakala ha- iat keperluan itu banyak, niscaya banyaklah kekurangan. Dan orang bodoh itu selalu berusaha menambahkan hajat keperluannya dan nafsu-keinginannya. Ia tidak tahu, bahwa ia membanyakkan sebab dukacita dan kegundahan. Sehingga sampailah sebahagian orang-orang bo­doh, dengan adat-kebiasaan yang rendah dan pergaulan dengan teman-te­man jahat, bahwa ia marah, jikalau dikatakan kepadanya: "Bahwa engkau tidak pandai main burung dan main catur. Engkau tidak sanggup minum khamar banyak dan makan makanan banyak". Dan sifat-sifat kehinaan la­in, yang serupa dengan itu.

Maka kemarahan atas jenis ini, tidaklah hal penting.(hal-dlaruri). Karena menyukainya, tidaklah dlaruri.

Bahagian Ketiga: ialah hal yang menjadi dlaruri pada sebahagian manusia, tidak pada sebahagian manusia lainnya. Umpamanya: huku pada orang yang berilmu. Karena ia memerlukan kepada buku itu, lalu ia mencintai- nya. Maka ia marah kepada orang yang membakar dan yang meneng- gelamkan buku itu dalam air. Begitu pula alat-alat perusahaan pada seo­rang pengusaha, yang tidak mungkin ia memperoleh makanan, selain de­ngan alat-alat tersebut. Maka sesungguhnya, apa yang menjadi jalan (wa- silah) kepada yang dlaruri dan yang dicintai, niscaya menjadi dlaruri dan dicintai. Dan ini berbeda menurut masing-masing orang. Dan kecintaan yang dlaruri, ialah apa yang diisyaratkan oleh Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dengan sabdanya:
من أصبح آمنا في سربه معافى في بدنه وله قوت يومه فكأنما حيزت له الدنيا بحذافيرها
(Man ash-baha aa-minan fii sirbihi mu'aafan fii badanihi wa lahu quutu yaumihi, fa ka-annamaa hiizat lahud-dun-ya bi-hadzaa-fiirihaa). Artinya: "Barangsiapa merasa am an pada dirinya, sehat-afiat pada badan- nya dan mempunyai makanan harinya, maka seakan-akan dikumpulkan du­nia dengan seanteronya baginya".(l).

(1) Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ubaidullah bin Muhshin. Kata At-Tirmidzi, hadits ini hasan gharib.
159.


Orang yang melihat hakikat segala persoalan dan diserahkan kepadanya tiga hal tadi, niscaya tergambarlah, bahwa ia tiada akan marah pada lainnya.

Maka inilah tiga perkara! Kami akan menyebutkan tujuan latihan pada ma­sing-masing daripadanya.

Adapun bahagian pertama, maka tidaklah latihannya untuk meniadakan kemarahan hati. Akan tetapi, supaya ia sanggup untuk tidak menta'ati ma­rah. Dan tidak dipakainya marah itu pada zahiriyahnya, selain pada batas yang disukai oleh Agama dan dipandang baik oleh akal. Dan yang demi­kian itu, mungkin dengan mujahadah (bersungguh-sungguh), menanggung beratnya kelemah-lembutan dan tanggungan, pada suatu tempo. Sehingga kelemah-lembutan dan tanggungan itu, menjadi budi-pekerti yang mantap.

Adapun mengalihkan pokok kemarahan dari hati, maka yang demikian itu, tidaklah kehendak tabiat. Dan itu tidak mungkin. Benar, mungkin memecahkan tandanya dan melemahkannya, sehingga tidak bersangatan menggelegaknya kemarahan pada batin. Dan berkesudahan lemahnya, se­hingga tidak lahir bekasnya pada muka. Tetapi yang demikian itu berat sekali.

Ini hukum bahagian ketiga juga. Karena apa yang menjadi dlaruri pada pi­hak seseorang, maka tidak mencegahnya dari kemarahan, lantaran orang lain tidak memerlukan kepadanya. Maka latihan padanya itu, mencegah berbuat dan melemahkan menggelegaknya pada batin. Sehingga tidak ber­sangatan merasa pedihnya, bersabar pada yang demikian. Adapun bahagian kedua: maka mungkin tercapai dengan latihan, sampai kepada terlepas dari kemarahan. Karena mungkin dikeluarkan kesukaan- nya dari hati. Dan yang demikian itu dengan diketahui oleh manusia, bah­wa tanah airnya itu kuburan dan tempat menetapnya itu akhirat. Dan se­sungguhnya dunia itu, tempat menyeberang, yang akan diseberangi diatas- nya. Dan dicari perbekalan dari dunia itu, sekadar yang penting (perlu). Dan dibalik yang demikian itu, adalah bencana pada tanah airnya dan tem­pat menetapnya. Maka ia menjadi zahid (orang zuhud) di dunia dan ter hapus kecintaan dunia, dari hatinya.

Jikalau adalah seorang insan mempunyai seekor anjing yang tiada dicintainya, niscaya ia tidak marah, apabila anjing itu dipukul orang. Maka marah itu mengikuti kecintaan.

Dan latihan pada ini, berkesudahan kepada mengalihkan pokok kemarah­an. Dan itu jarang sekali. Dan kadang-kadang latihan itu berkesudahan kepada mencegah daripada pemakaian kemarahan dan berbuat dengan yang diwajibkannya. Dan itu lebih mudah.
Kalau anda berkata, bahwa yang penting (yang dharuri) dari bahagian per­tama, ialah: merasa pedih dengan hilangnya barang yang diperlukan, bukan marah. Maka orang yang mempunyai seekor kambing-umpamanya dan
160.

kambing itu menjadi makanannya, lalu mati, niscaya ia tidak akan marah kepada seseorang, walaupun terjadi pada peristiwa itu, hal yang tidak di-sukainya. Dan tidaklah menjadi hal penting, bahwa tiap-tiap yang tidak disenangi itu kemarahan.

Sesungguhnya manusia merasa sakit dengan dibetik dan dibekam dan tidak marah kepada pembetik dan pembekam itu.

Ma­ka orang yang kuat tauhidnya, sehingga ia melihat segala sesuatu itu tangan Allah dan daripada Allah, maka ia tidak marah kepada seseorang daripada makhlukNYA. Karena ia melihat mereka terbuat demikian, dalam genggaman qudrahNYA, seperti pena pada tangan penulis.

Dan orang yang ditanda-tangani oleh raja memotong lehernya itu, tidak marah kepada pena. Maka ia tidak akan marah kepada orang yang menyembelih kambingnya, yang menjadi makanannya. Sebagaimana ia tidak marah atas kematian kambing itu. Karena ia melihat penyembelihan dan kematian itu daripada Allah 'Azza wa Jalla. Lalu tertolaklah kemarahan dengan kuatnya tauhid. Dan tertolak juga kemarahan itu, dengan baik sangka kepada Allah. Yaitu, bahwa: ia melihat, bahwa semua itu dari Allah. Dan Allah tidak mentaqdirkan baginya, selain yang padanya kebaikan. Dan kadang-kadapg ada kebaikan itu, pada sakitnya, laparnya, lukanya dan terbunuhnya. Lalu ia ti­dak marah, sebagaimana ia tidak marah kepada pembetik dan pembekam. Karena ia melihat, bahwa kebajikan itu padanya. Lalu kami mengatakan, bahwa ini atas cara ini, adalah tidak mustahil.

Tetapi kekerasan tauhid sampai kepada batas ini, sesungguhnya adalah se­perti kilat yang menyambar, yang akan keras pada hal-hal yang disambar. Dan tidak berkekalan. Dan hati itu kembali secara tabiat kepada yang ditengah-tengah, yang tidak dapat ditolak.

Jikalau tergambarlah selalu yang demikian bagi manusia, niscaya tergambarlah bagi Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sesungguhnya adalah beliau itu marah, se­hingga merahlah dua biji matanya.(1). Sehingga beliau berdo'a:
اللهم أنا بشر أغضب كما يغضب البشر فأيما مسلم سببته أو لعنته أو ضربته فاجعلها مني صلاة عليه وزكاة وقربة تقربه بها إليك يوم القيامة
(Allaahumma ana basyarun agh-dlabu kamaa yagh-dlabuf-basyaru, fa ayyu- maa muslimin sababtuhu au la'antuhu au dlarabtuhu, faj-'alhaa minnii sha- laatan 'alaihi wa zakaatan wa qurbatan tuqarribuhu bihaa ilaika jaumal-qiyaamah).Artinya: "Wahai Allah, Tuhanku ! Aku adalah manusia pemarah, sebagai­mana marahnya manusia. Maka siapa saja orang muslim, yang aku maki atau aku kutuk atau aku pukul, maka jadikanlah itu daripadaku sebagai shalat kepadanya, sebagai zakat dan pendekatan, yang mendekatkannya kepada ENGKAU pada hari kiamat!".(2). Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah

(1)   Dirawikan Muslim dari Jabir.
(2)   Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
161.

Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash berkata: "Wahai Rasulu'llah ! Tulislah dari engkau, setiap yang engkau ucapkan pada kemarahan dan kerelaan !" La­lu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Tulislah! Demi Allah yang mengutuskan aku dengan kebenaran sebagai nabi! Tiadalah keluar dari ini, selain yang benar". Beliau mengisyaratkan kepada lidahnya. (1).
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak mengatakan: "Bahwa aku tidak marah". Akan tetapi beliau mengatakan: "Bahwa kemarahan itu tidak mengeluarkan aku dari ke­benaran". Artinya: "Aku tidak berbuat, dengan yang dimestikan oleh ke­marahan!'

Pada suatu kali 'A isyah r.a. marah. Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda ke­padanya: "Apakah engkau ini, datang setan engkau kepada engkau ?". 'Aisyah r.a. menjawab: "Apakah bagi engkau setan ?". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab:
بلى ولكني دعوت الله فأعانني عليه فأسلم فلا يأمرني إلا بالخير
(Balaa, walaakinnii da'autullaaha fa-a'aanii 'alaihi, fa-as-lama, fa laa ya'- murunii, illaa bil-khair).
Artinya: "Ya !". Tetapi aku berdo'a kepada Allah, lalu IA menolong aku atas setan. Maka setan itu menyerah, lalu tidak menyuruh aku, selain de­ngan kebajikan ".(2 Dirawikan Muslim dari Aisyah.).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak mengatakan "Tak ada setan bagiku". Dan yang beliau maksudkan: setan kemarahan. Akan tetapi beliau mengatakan: "Ia tidak membawa aku kepada kejahatan".

Ali r.a. berkata: "Adalah Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak marah karena dunia. Apabila beliau menjadi marah oleh kebenaran, niscaya tiada seorang pun yang mengenalinya. Dan tiada bangun sesuatu karena kemarahannya, se­hingga beliau memperoleh kemenangan untuk kebenaran itu".(3 Dirawikan At-Tirmidzi dari Ali r.a). Maka adalah Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. marah diatas kebenaran. Dan jikalau kemarahannya itu karena Allah, maka pada umumnya berpaling kepada yang ditengah-tengah. Bahkan setiap orang yang marah kepada orang yang mengambil makanannya yang penting dan keperluannya, yang tidak boleh tidak pada agamanya, maka sesungguhnya orang itu marah karena Allah. Dan tidaklah mungkin terlepas daripadanya.

Benar, kadang-kadang pokok kemarahan itu tak ada pada apa yang dlaruri, apabila hatinya sibuk, dengan hal dlaruri yang lebih penting daripadanya. Maka tidak adalah dalam hati itu, tempat yang lebih luas bagi kemarahan, karena sibuknya hati dengan yang lain. Maka sesungguhnya tenggelamnya hati dengan sebahagian kepentingan itu, mencegah ia merasa dengan yang

(1)    Dirawikan Abu Daud dari Abdullah bin 'Amr.
(2)    Dirawikan Muslim dari Aisyah.
(3)    Dirawikan At-Tirmidzi dari Ali r.a.
162.

Iain. Dan ini, adalah seperti Salman Al-Farisi r.a. tatkala ia dimaki orang, lalu menjawab: "Jikalau ringanlah timbangan amalanku, maka aku itu lebih jahat daripada yang engkau katakan. Dan jikalau beratlah timbangan amal­anku, niscaya tidak mendatangkan melarat akan aku, oleh apa yang engkau katakan".

Sesungguhnya perhatian Salman waktu itu terarah kepada akhirat. Maka ti­ada membekas hatinya dengan makian.

Begitu pula, Ar-Rabi' bin Khaitsam dimaki orang. Lalu ia menjawab: "Hai saudara ini ! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan engkau. Se­sungguhnya dimuka sorga itu sebuah jalan. Jikalau aku dapat memotongnya, niscaya tidak mendatangkan melarat bagiku oleh apa yang engkau ka­takan. Dan jikalau aku tidak dapat memotongnya, maka adalah aku itu lebih jahat daripada yang engkau katakan".

Seorang laki-laki memaki Abubakar r.a. Lalu beliau menjawab: "Apa yang ditutup oleh Allah dari penglihatan engkau itu lebih banyak". Maka sea- kan-akan beliau sedang sibuk memperhatikan keteledoran dirinya, dari­pada bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan mengenalNya dengan sebenar-benar ma'rifah. Maka tidak membawa ia marah oleh singgungan orang lain akan dirinya dengan kekurangan. Karena ia telah melihat kepada dirinya akan kekurangan itu. Dan yang demikian, karena keagungan darajatn'ya.

Seorang wanita berkata kepada Malik bin Dinar Al-Bashari: "Hai orang ria ".
Lalu Malik menjawab: "Tiada yang mengenai aku, selain engkau". Adalah seolah-olah Malik itu sedang sibuk, meniadakan dari dirinya baha­ya ria. Dan menentang kepada dirinya, akan apa yang dicampakkan oleh setan kepadanya.

Maka ia tidak marah terhadap apa yang dilekatkan kepadanya. Seorang laki-laki memaki Asy-Sya'bi. Lalu Asy-Sya'bi menjawab: "Jikalau engkau benar, maka kiranya Allah mengampunkan dosaku. Dan jikalau engkau dusta, maka kiranya Allah mengampunkan dosa engkau". Maka kata-kata tadi menunjukkan pada zahiriyahnya, bahwa mereka itu ti­dak marah. Karena kesibukan hati mereka dengan kepentingan agama. Dan mungkin, bahwa yang demikian itu sudah membekas pada hati mere­ka. Akan tetapi, mereka tidak Sibuk dengan yang demikian, Dan mereka sibuk, dengan apa yang lebih mengeras pada hati mereka. Jadi, kesibukan hati dengan sebahagian kepentingan itu, tidak jauh, untuk mencegah bergeloknya kemarahan, ketika hilang sebahagian yang dicintai. Jadi tergambarlah hilangnya kemarahan: adakalanya disebabkan kesibukan hati dengan suatu kepentingan atau dengan kerasnya perhatian kepada tau­hid. Atau dengan sebab ketiga, yaitu: bahwa ia mengetahui, sesungguhnya Allah menyukai, bahwa ia tidak marah. Maka dipadamkan oleh kesangatan cintanya kepada Allah, akan .kemarahannya. Dan yang demikian itu tidak mustahil pada hal-hal yang jarang terjadi.

163.

Sesungguhnya dengan yang tersebut diatas, anda telah mengetahui, bahwa jalan untuk terlepas dari api kemarahan, ialah: menghapuskan kecintaan dunia dari hati.

Dan yang demikian, dengan mengetahui bahaya dunia dan tipu-dayanya, sebagaimana akan datang penjelasan pada "Kitah Tercelanya Dunia". Dan orang yang mengeluarkan dari hatinya, kecintaan hal-hal yang berlebihan (hal-hal yang tidak perlu), niscaya ia terlepas dari kebanyakan sebab-sebab kemarahan. Dan apa yang tidak mungkin dihapuskan itu, mungkin dipe cahkan dan dilemahkan. Lalu lemahlah kemarahan dengan sebab yang de­mikian. Dan mudahlah menolaknya.

Kita bermohon kepada Allah, akan kebagusan taufiq, dengan kasih-sayang dan kemurahanNYA. Sesungguhnya DIA mahakuasa atas tiap sesuatu. Dan segala pujian bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa.


PENJELASAN: sebab-sebab yang mengobarkan kemarahan.

Anda sudah mengetahui, bahwa pengobatan tiap-tiap penyakit itu memo- tong bendanya (maddahnya) dan menghilangkan sebab-sebabnya. Maka tak dapat tidak, daripada mengetahui sebab-sebab kemarahan. Bertanya Yahya kepada nabi Isa a.s.: "Barang apakah yang lebih berat?" Isa a.s. men­jawab: "Kemarahan Allah Ta'ala!"
Yahya bertanya lagi: "Apakah yang mendekati dengan kemarahan Allah?". Isa a.s. menjawab: "Yaitu, bahwa engkau marah".
Yahya bertanya pula: "Apakah yang melahirkan kemarahan dan apakah yang menumbuhkannya ?".
Isa a-s. menjawab: "Tekebur, keangkuhan, merasa diri lebih mulia dan ke­panasan hati".

Sebab-sebab yang mengobarkan kemarahan itu, ialah: merasa kemegahan diri (zahwun), 'ujub (mengherani diri), suka bersenda gurau, bermain-main, mengejek, memalukan orang, suka bermusuhan, berlawananK menyalahi janji, sangat loba kepada berlebihan harta dan kemegahan. Semua yang tersebut diatas, adalah budi-pekerti jelek yang tercela pada Agama. Dan tidak akan terlepas dari kemarahan, serta tetapnya sebab-sebab tersebut. Maka tidak boleh tidak, daripada menghilangkan sebab-sebab ta­di dengan lawan-lawannya.

Maka sayogialah anda mematikan perasaan kemegahan diri, dengan perasaan rendah diri (tawadlu'). Dan anda mematikan sifat 'ujub (mengherani diri) dengan anda mengenai diri anda sendiri, sebagaimana akan datang penjelasannya pada "Kitab Tekebur Dan 'Ujub". Anda menghilangkan si­fat membanggakan diri, dengan anda merasa, bahwa anda sejenis dengan budak anda. Karena manusia itu dikumpulkan pada keturunan oleh satu bapa (Adam a.s.). Hanya mereka berbeda dalam pecahan-pecahan tentang

164.

kelebihan. Maka anak Adam itu adalah satu jenis. Dan kesombongan itu, i- alah dengan kelebihan-kelebihan. Sombong, 'ujub dan tekebur itu sifat ke­hinaan yang paling besar. Dan itu adalah pokok dan kepalanya. Apabila sifat-sifat itu tidak terlepas dari engkau, maka tiada kelebihan engkau atas orang lain. Maka mengapakah engkau menyombongkan, pada hal engkau adalah dari jenis budak engkau, dari segi bentuk tubuh, keturunan dan ang- gota badan, lahiriyah dan batiniyah?

Adapun bersenda-gurau, maka anda dapat menghilangkannya dengan me- nyibukkan diri dengan kepentingan-kepentingan agama, yang menghabis- kan umur. Dan anda utamakan dari bersenda-gurau, apabila anda menge­tahui yang demikian.

Adapun bermain-main, maka engkau dapat menghilangkannya dengan kesungguhan mencari keutamaan, budi-pekerti yang baik dan pengetahuan keagamaan, yang menyampaikan engkau kepada kebahagiaan akhirat. Adapun mengejek, maka engkau dapat menghilangkannya, dengan pemuli- aan, dari pada menyakitkan manusia dan dengan menjaga diri daripada engkau diejekkan orang.
Adapun memalukan orang, maka dengan menjaga dari perkataan keji dan menjaga diri dari kepahitan jawaban.

Adapun kesangatan loba kepada kelebihan kehidupan, maka engkau dapat hilangkan dengan sifat merasa cukup (qana'ah), sekadar darurat (perlu), karena mencari kemuliaan sifat tidak memerlukan kepada sesuatu (al - is- tighna') dan mengangkatkan diri dari kehinaan banyak keperluan. Setiap budi-pekerti dari budi-pekerti ini dan sifat dari sifat-sifat ini, me­merlukan pada pengobatannya, kepada latihan dan menanggung kesukar- an. Dan hasil latihannya itu kembali kepada mengenai tipu-dayanya. Supa­ya diri benci dari padanya dan lari daripada kekejiannya. Kemudian, rajin (muwadhabah) kepada melaksanakan lawannya pada jangka waktu yang panjang. Sehingga disebabkan kebiasaan, menjadi sifat yang jinak dan mu- dah bagi diri.

Apabila sifat-sifat itu terhapus dari diri, maka sucilah dia dan bersih dari sifat-sifat kehinaan tersebut. Dan terlepas pula dari kemarahan yang terjadi daripadanya.

Diantara penggerak yang sangat keras kepada kemarahan, pada kebanyak- an orang-orang bodoh, ialah: penanaman mereka kemarahan itu dengan: keberanian, kelaki-lakian, kemuliaan diri dan tinggi cita-cita (kemauan). Dan penggelarannya dengan gelar-gelar (laqab) terpuji, karena kedunguan dan kebodohan. Sehingga cenderunglah diri kepadanya dan memandang- nya baik. Dan kadang-kadang dikuatkan yang demikian, dengan ceritera kesangatan marah orang-orang besar, dalam mengemukakan pujian dengan keberanian. Dan diri manusia itu cenderung untuk menyerupai dengan o- rang-orang besar. Lalu menggelegaklah kemarahan kepada hati, disebab­kan yang demikian.

165.

Penamaan yang tersebut itu kemuliaan diri dan keberanian, adalah bodoh. Bahkan itu, adalah penyakit hati dan kekurangan akal. Dan itu adalah ka­rena kelemahan dan kekurangan diri. Dan suatu tanda, bahwa itu karena kelemahan diri, bahwa orang sakit lebih lekas marah dari orang sehat. Dan wanita lebih lekas marah dari laki-laki. Dan anak kecil, lebih lekas marah dari orang besar. Dan orang tua yang lemah, lebih lekas marah dari orang tua biasa. Orang yang berbudi-pekerti jelek dan sifat-sifat kehinaan yang buruk, lebih lekas marah dari orang yang mempunyai sifat-sifat keutamaan. Orang yang bersifat jelek itu marah, karena nafsu-keinginannya, apabila ia kehilangan sesuap makanan. Dan karena kekikirannya, apabila ia kehilang- an sebiji buah-buahan. Sehingga ia marah kepada keluarganya, anak dan teman-temannya. Akan tetapi, orang kuat, ialah orang yang memiliki (me­nguasai) diri ketika marah, sebagaimana sabda Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.:
ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب
(Laisasy'syadiidu bish-shura'ati, inna-masysyadiidul-ladzii yamliku nafsa- hu 'indal-ghadlabi).
Artinya: "Tidaklah orang kuat itu,dengan membanting. Sesungguhnya orang kuat, ialah orang yang memiliki (menguasai) diri ke­tika marah".(1).
Akan tetapi, sayogialah diobati orang bodoh tersebut, dengan dibacakan kepadanya, ceritera-ceritera orang yang lemah lembut dan pema'af. Dan apa yang dipandang baik dari mereka, tentang menahan kemarahan. Sesungguhnya yang demikian itu dinukilkan dari nabi-nabi, wali-wali, para ahli hikmah (filosuf-filosuf), alim-ulama dan raja-raja besar yang utama. Dan lawan yang demikian itu, dinukilkan dari orang-orang Kurdi, orang-o­rang Turki, orang-orang bodoh dan orang-orang dungu, yang tiada berakal dan tiada mempunyai sifat kelebihan.

 (1) Hadits ini sudah diterangkan dahulu.
166.

PENJELASAN: obat marah sesudah berkobarnya.

Apa yang sudah kami sebutkan itu, ialah: melenyapkan bahan-bahan (maddah) kemarahan dan memotong sebab-sebabnya. Sehingga ia tidak berko- bar. Apabila telah berlaku sesuatu sebab yang mengobarkan kemarahan, maka ketika itu haruslah bersikap tetap.

Sehingga orang marah tersebut, tidak terbawa berbuat kepada cara tercela. Sesungguhnya kemarahan itu diobati ketika berkobar, dengan azimat ilmu dan amal.

Adapun ilmu, maka enam perkara:-
Pertama: bahwa ia bertafakkur pada ceritera-ceritera yang akan kami bentangkan, tentang keutamaan manahan kemarahan, memberi ma'af, lemah- lembut dan menanggung perasaan,Ialu ia gemar pada pahalanya. Maka ia dicegah oleh kesangatan ingin kepada pahala menahan kemarahan, daripa­da kembali kepada marah dan membalas dendam. Dan terpadamlah dari­padanya kemarahan.

Malik bin Aus bin Al-Hadtsan berkata: "Umar r.a. marah kepada seorang laki-laki dan ia menyuruh memukulnya. Lalu aku menjawab: "Hai Amirul- mu'minin !
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
(Khudzil -'afwa wa4mur bil-'urfi wa a'ridl-'anil-jaahiliin). Artinya: Berilah ma'af, suruhlah yang baik dan berpalinglah dari orang-o­rang bodoh!". (Al-A'raf, 199). Maka 'Umar menjawab: "Berilah ma'af, su­ruhlah yang baik dan berpalinglah dari orang-orang bodoh !".(1).
Maka Umar r.a. memperhatikan pada ayat tadi. Dan ia berdiri disisi Kitab Allah Al-Qur-an, manakala dibacakan kepadanya, yang banyak renungan padanya. Maka ia renungkan. Dan laki-laki tadi dilepaskannya.

Umar bin Abdul-aziz r.a. menyuruh pukul seorang laki-laki.
Kemudian, la­ki-laki itu membaca firman Allah Ta'ala
والكاظمين الغيظ
(Wal-kaadhi-mii nal-qhaidh a).Artinya: " dan yang sanggup menahan marahnya".S.Ali 'Imran, ayat134.
Lalu 'Umar berkata kepada sahayanya: "Lepaskan orang itu !".

Kedua: bahwa ia menakutkan dirinya dengan siksaan Allah. Yaitu, bahwa ia mengatakan: "Kekuasaan Allah atas diriku itu, lebih besar dari kekuasaanku atas manusia ini. Jikalau aku teruskan kemarahanku kepadanya, niscaya aku tidak merasa aman, bahwa Allah akan meneruskan amarah- NYA kepadaku pada hari kiamat. Aku lebih memerlukan kepada kema' afan".

Allah Ta'ala berfirmani pada sebahagian Kitab-kitab Lama: يا ابن آدم اذكرني حين تغضب أذكرك حين أغضب فلا أمحقك فيمن أمحق وبعث "Hai anak Adam ! Ingatlah kepadaKU ketika engkau marah, niscaya AKU akan ingat kepadamu ketika AKU marah. Maka AKU tiada akan menghapuskan eng­kau, dalam golongan orang yang akan AKU hapuskan". Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengutus seorang budak kecil untuk suatu keperluan. Lalu budak tersebut, lambat sekali kembali. Maka tatkala ia datang, lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:

(1) Jawabannya itu, sesuai dengan ayat 199, surat Al-A'raf di atas.
167.

لولا القصاص لأوجعتك
(Laulal-qishaashu la-auja'tuka).
Artinya: "Jikalau tidaklah karena qishash (siksa atau ambil bela), niscaya aku sakiti engkau". (1). Artinya: qishash pada hari kiamat.

Dikatakan, bahwa pada tiap-tiap raja Bani Israil, ada padanya seorang ahli hikmah (filosuf). Apabila raja itu marah, lalu filosuf tersebut memberikan kepadanya selembar kertas, yang isinya: "Kasihanilah orang miskin! Taku tilah mati! Dan ingatilah akhirat !. Maka raja itu membacanya, sehingga tenanglah kemarahannya.

Ketiga: ia mengingatkan dirinya akan akibat permusuhan, pembalasan den­dam, persiapan musuh untuk menghadapinya, usaha menghancurkan. maksud-maksudnya dan perasaan suka dengan mala-petaka yang menimpainya. Dan ia tidak akan terlepas dari mala-petaka itu. Maka ia menakutkan diri­nya dengan segala akibat kemarahan di dunia, jikalau ia tidak takut dari akhirat.

Dan ini kembali kepada penguasaan nafsu-syahwat atas kemarahan. Dan ini tidaklah termasuk amal akhirat dan tiada pahala padanya. Karena ia bu- lak-balik atas keberuntungannya yang segera, yang didahulukannya seba­hagian dari sebahagian. Kecuali bahwa yang ditakutinya itu, mengacaukan- nya didunia, akan perhatiannya kepada ilmu dan amal dan tiada menolongnya kepada akhirat. Maka ia diberi pahala pada yang demikian.

Keempat: bahwa ia berpikir tentang buruk bentuknya ketika marah, de­ngan diingatinya bentuk orang lain waktu sedang marah. Dan ia berpikir tentang kejinya marah pada dirinya. Dan penyerupaan orang yang marah itu, seperti anjing galak dan binatang buas yang menerkam. Dan penyeru­paan orang yang lemah-lembut, yang tenang, yang meninggalkan kemarah­an, dengan nabi-pabi, wali-wali, alim-ulama dan ahli-ahli hikmat (filosuf-fi- losuf). Dan ia memilihkan dirinya, antara menyerupakan dengan anjing-an- jing, binatang-binatang buas dan manusia-manusia hina dan antara menye­rupakan dengan alim-ulama dan nabi-nabi pada adat-kebiasaan mereka. Supaya dirinya cenderung kepada menyukai mengikuti jejak mereka, kalau masih ada padanya sisa akal.

Kelima: bahwa ia berpikir mengenai sebab yang membawanya kepada pembalasan dendam dan mencegahnya dari penahanan marah. Dan tak bo­leh tidak, bahwa ada sebabnya. Umpamanya: kata setan kepadanya: "Bah­wa ini membawa engkau kepada kelemahan, kekecilan jiwa, kerendahan dan kehinaan. Dan engkau menjadi orang hina pada pandangan manusia". Maka hendaklah ia mengatakan kepada dirinya: "Alangkah mengherankan

(l) Dirawikan Abu Yu'Ia dari Ummi Salmah, dengan sanad dla'if.
168.

engkau ini! Engkau melepaskan diri dari tanggungan sekarang dan engkau tidak melepaskan diri dari kehinaan hari kiamat dan terbukanya kekurang­an diri, apabila diambilkan ini, dengan tangan engkau dan diambil balas dendam dari engkau. Engkau jaga diri engkau daripada dipandang kecil oIeh mata manusia dan engkau tidak menjaga dipandang kecil disisi Allah,, malaikat-malaikat dan nabi-nabi".

Manakala kemarahan itu ditahan, maka sayogialah menahannya karena Al­lah. Dan yang demikian, membesarkannya disisi Allah. Maka apalah bagi- nya dan bagi manusia lain! Dan kehinaan orang yang menganiayainya di hari kiamat itu, lebih berat daripada kehinaannya, kalau ia membalas den­dam sekarang. Apakah ia tidak suka, bahwa ia yang berdiri, apabila di­panggil pada hari kiamat: "Hendaklah bangun berdiri orang yang pahala-nya atas Allah!". Lalu tiada yang berdiri, kecuali orang yang mema'afkan. Maka ini dan contoh-contoh lain yang seperti ini, dari ma'rifah keimanan, sayogialah bahwa ia menetapkannya dalam hatinya. Keenam: bahwa ia mengetahui kemarahannya dari ke ta'jubannya (keheranannya kepada diri sendiri) itu, dari berlakunya sesuatu bersesuaian de­ngan kehendak Allah, tidak atas kesesuaian kehendaknya sendiri. Maka ba- gaimana ia mengatakan: "Kehendakku lebih utama dari kehendak Allah ?". Dan hampirlah kemarahan Allah kepadanya itu, lebih besar daripada kemarahannya.

Adapun amal-perbuatan, maka engkau bacakan dengan lidah engkau:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
 "A'uudzu bi'llaahi mina'sy-syaithaani'r-rajiirn (aku berlindung denga Allah, da­ri setan yang terkutuk)".

Beginilah disuruh oleh rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. untuk dibacakan ketika marah.(1). "Adalah Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., apabila 'A isyah marah, rnemegang hidungnya, seraya bersabda:   
يا عويش قولي اللهم رب النبي محمد اغفر لي ذنبي وأذهب غيظ قلبي وأجرني من مضلات الفتن
 (Yaa 'Uwaisyu! Quuli 1-laahumma rabbannabiyyi Muhammadinigh-firlii dzanbii, wa adz-hib ghaidha qalbii wa-ajirnii min mudlillaatil fitan). Artinya: "Hai 'Uwaisy ! Berdo'alah: "Wahai Allah, Tuhanku, Tuhan Nabi Muhammad! Ampunlah bagiku dosaku ! Hilangkanlah kemarahan hatiku dan lepaskanlah aku dari fitnah-fitnah yang menyesatkan !".(2 Dirawikan oieh Ibnus-Sinni dari .'Aisyah). Maka disunatkan engkau membaca yang demikian. "Kalau kemarahan itu ti­dak hilang dengan demikian, maka duduklah, jikalau engkau sedang ber­diri- Dan berbaringlah, jikalau engkau sedang duduk ! Dan dekatilah de­ngan bumi, dimana, dari bumi itu engkau dijadikan. Supaya engkau keta-
(1)   Dirawikan Al-Bukhari dan, Muslim, dari Sulaiman bin Sharad.
(2)  'Uwaisy itu panggilan 'A'isyah. dengan tashghir (seperti kalau dalam b. Belanda untuk Nur, dipanggil: Nuriy'e). Dirawikan oieh Ibnus-Sinni dari .'Aisyah.
169.
hui dengan demikian, akan kehinaan diri engkau. Dan carilah dengan du- duk dan berbarmgitu, akan ketenangan, Sesungguhnya sebab kemarahan itu panas. Dan sebab panas itu bergerak. Maka Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ber­sabda:-
إن الغضب جمرة توقد في القلب
Innal-gha-dlaba jamratun tuuqadu fil-qalbi, a-lam tarau ilan-tifaakhi au- daajihi wa humrati 'ainaihi ? Fa idzaa wajada ahadukum mindzaalika syai- an, fa-in kaana qaa-iman falyajlis wa in kaana jaalisan, fal-yanam). Artinya: "Bahwa marah itu sepotong api yang dinyalakan dalam hati. Tidakkah engkau melihat kepada mengembung urat-urat lehernya dan merah kedua matanya ?. Maka apabila salah seorang kamu mendapati sesuatu da­ri yang demikian, maka jikalau ia sedang berdiri, maka hendaklah ia duduk. Dan jikalau ia sedang duduk, maka hendaklah ia tidur!" (l).

Maka ji­kalau ia senantiasa yang demikian, maka hendaklah ia ber-wudlu' dengan air dingin atau ia mandi. Sesungguhnya api itu, tidak akan padam, selain oleh air. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: -
إذا غضب أحدكم فليتوضأ بالماء فإنما الغضب من النار
(Idzaa gha-dliba ahadukum fal-yatawadl-dla' bil-maa-i. Fa innamal-gha-dla- bu minan-naar).
Artinya: "Apabila marah seseorang kamu, maka hendaklah ia mengambil wudlu' dengan air ! Maka sesungguhnya marah itu dari api-'. (2).
Pada suatu riwayat:
إن الغضب من الشيطان وإن الشيطان خلق من النار وإنما تطفأ النار بالماء فإذا غضب أحدكم فليتوضأ
(Innal-ghadlaba minasy-syaithaani wa innasysyaithaana khuliqa minan-naari wa innamaa tuth-fa-un-naaru bil-maa-i, fa idzaa gha-dliba ahadu-kum fal- yata-wadl-dla').Artinya: "Bahwa kemarahan itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api. Dan api itu dipadamkan dengan air. Maka apabila marah seseorang kamu, maka hendaklah ia mengambil wudlu". Ibnu Abbas berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Sa'id.
(2) Dirawikan Abu Daud dari 'Athiyah As-Sa'di.

وإذا غضبت فاسكت
(Idzaa ghadlibta fas-kut).
Artinya: "Apabila engkau marah, maka diamlah !".(1).

Abu Hurairah berkata: "Adalah Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila marah dati be­liau sedang berdiri, niscaya beliau duduk. Dan apabila marah dan beliau se­dang duduk, niscaya beliau berbaring. Maka hilanglah marahnya".(2).

Abu Sa'id Al-Khudri berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Ketahuilah, bahwa marah itu sepotong api dalam hati anak Adam. Apakah tidak kamu melihat kepada kemerahan dua matanya dan mengembung urat-urat lehernya ? Maka barangsiapa mendapatkan sesuatu dari yang demikian, maka hendak­lah ia melekatkan pipinya dengan bumi".(3). Dan ini adalah isyarat kepada sujud Menetapkan anggota-anggota badan yang termulia pada tempat-tem pat yang terhina.

Yaitu: tanah, untuk dirasakan oleh diri akan kehinaan. Dan menghilangnya dengan demikian, keagungan dan kebanggaan, yang menjadi sebabnya kemarahan.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari Umar r.a. marah. Lalu beliau me­minta air dan terus berkumur-kumur, seraya berkata: "Bahwa marah itu dari setan. Dan ini (air) menghilangkan marah".

Urwah bin Muhammad berkata: "Tatkala aku ditugaskan di Yaman, lalu ayahku bertanya kepadaku: "Apakah engkau sudah diangkat menjadi wali negeri (gubernur)?".

Aku menjawab: "Ya !". Maka beliau berkata: "Apabila engkau marah ma­ka pandanglah ke langit diatas engkau dan ke bumi dibawah engkau! Ke­mudian, agungkanlah KHALIQ langit dan bumi itu !". Diriwayatkan, bahwa: "Abu Dzar berkata kepada seorang laki-laki: "Ya ibna!-hamra-(Hai anak wanita merah)!", dimana ada permusuhan diantara Abu Dzar dan laki-laki itu. Lalu berita itu sampai kepada Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Maka beliau bertanya:
يا أبا ذر بلغني أنك اليوم عيرت أخاك بأمه
(Yaa Abaa Dzarr! Balaghanii annakal-yauma 'ayyarta akhaaka bi-ummih). Artinya: "Hai Abu Dzar! Sampai kepadaku berita, bahwa engkau pada hari ini, engkau hinakan saudara engkau dengan menyebut ibunya". Abu Dzar lalu menjawab: "Ya, benar !",
Maka pergilah Abu Dzar, untuk meminta kerelaan temannya (orang yang dihinakannya) itu. Maka laki-laki itu mendahuluinya memberi salam kepa­da Abu Dzar.

 (1) Dirawikan Ahmad, Al-Baihaqi dan lain-lain dari Ibnu Abbas.
(2) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Hurairah.
(3") Dirawikan At-Tirmidzi dari Abu Sa'id Al-Khudri dan katanya, hadits hasan.
171.

Lalu Abu Dzar menerangkan yang demikian kepada Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ma-
hui dengan demikian, akan kehinaan diri engkau. Dan carilah dengan du­duk dan berbaringitu, akan ketenangan. Sesungguhnya sebab kemarahan itu panas. Dan sebab panas itu bergerak. Maka Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ber- sabda:-
إن الغضب جمرة توقد في القلب
(Innal-gha-dlaba jamratun tuuqadu fil-qalbi, a-lam tarau ilah-tifaakhi au- daajihi wa humrati 'ainaihi ? Fa idzaa wajada ahadukum mindzaalika syai- an, fa-in kaana qaa-iman falyajlis wa in kaana jaalisan, fal-yanam). Artinya: "Bahwa marah itu sepotong api yang dinyalakan dalam hati. Tidakkah engkau melihat kepada mengembung urat-urat lehernya dan merah kedua matanya ?. Maka apabila salah seorang kamu mendapati sesuatu da­ri yang demikian, maka jikalau ia sedang berdiri, maka hendaklah ia du­duk. Dan jikalau ia sedang duduk, maka hendaklah ia tidur!" (l).Maka ji­kalau ia senantiasa yang demikian, maka hendaklah ia ber-wudlu' dengan air dingin atau ia mandi. Sesungguhnya api itu, tidak akan padam, selain oleh air. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: -
إذا غضب أحدكم فليتوضأ بالماء فإنما الغضب من النار
(Idzaa gha-dliba ahadukum fal-yatawadl-dla' bil-maa-i. Fa innamal-gha-dla- bu minan-naar).Artinya: "Apabila marah seseorang kamu, maka hendaklah ia mengambil wudlu' dengan air ! Maka sesungguhnya marah itu dari api (2).

Pada suatu riwayat:

(Innal-ghadlaba minasy-syaithaani wa innasysyaithaana khuliqa minan-naari wa innamaa tuth-fa-un-naaru bil-maa-i, fa idzaa gha-dliba ahadu-kum fal- yatarwadl-dla').Artinya: "Bahwa kemarahan itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api. Dan api itu dipadamkan dengan air. Maka apabila marah seseorang kamu. maka hendaklah ia mengambil wudlu". Ibnu Abbas berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:

(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Sa'id.
(2) Dirawikan Abu Daud dari 'Athiyah As-Sa'di-
وإذا غضبت فاسكت
(Idzaa ghadlibta fas-kut).
Artinya: "Apabila engkau marah, maka diamlah !".(1).

Abu Hurairah berkata: "Adalah Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila marah dah be­liau sedang berdiri, niscaya beliau duduk. Dan apabila marah dan beliau se­dang duduk, niscaya beliau berbaring. Maka hilanglah marahnya".(2).

Abu Sa'id Al-Khudri berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Ketahuilah, bahwa marah itu sepotong api dalam hati anak Adam. Apakah tidak kamu melihat kepada kemerahan dua matanya dan mengembung urat-urat lehernya ? Maka barangsiapa mendapatkan sesuatu dari yang demikian, maka hendak­lah ia melekatkan pipinya dengan bumi".(3). Dan ini adalah isyarat kepada sujud. Menetapkan anggota-anggota badan yang termulia pada tempat-tem- pat yang terhina.Yaitu: tanah, untuk dirasakan oleh diri akan kehinaan. Dan menghilang- nya dengan demikian, keagungan dan kebanggaan, yang menjadi sebabnya kemarahan.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari Umar r.a. marah. Lalu beliau me­minta air dan terus berkumur-kumur, seraya berkata: "Bahwa marah itu dari setan. Dan ini (air) menghilangkan marah".

Urwah bin Muhammad berkata: "Tatkala aku ditugaskan di Yaman, lalu ayahku bertanya kepadaku: "Apakah engkau sudah diangkat menjadi wali negeri (gubernur)?".

Aku menjawab: "Ya !". Maka beliau berkata: "Apabila engkau marah ma­ka pandanglah ke langit diatas engkau dan ke bumi dibawah engkau! Ke­mudian, agungkanlah KHALIQ langit dan bumi itu !". Diriwayatkan, bahwa: "Abu Dzar berkata kepada seorang laki-laki: "Ya ibnal-hamra-(Hai anak wanita merah)!", dimana ada permusuhan diantara Abu Dzar dan laki-laki itu. Lalu berita itu sampai kepada Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Maka beliau bertanya:
يا أبا ذر بلغني أنك اليوم عيرت أخاك بأمه
(Yaa Abaa Dzarr! Balaghanii annakal-yauma 'ayyarta akhaaka bi-ummih). Artinya: "Hai Abu Dzar! Sampai kepadaku berita, bahwa engkau pada hari ini, engkau hinakan saudara engkau dengan menyebut ibunya". Abu Dzar lalu menjawab: "Ya, benar !

Maka pergilah Abu Dzar, untuk meminta kerelaan temannya (orang yang dihinakannya) iiu. Maka laki-laki itu mendahuluinya memberi salam kepa­da Abu Dzar.
Lalu Abu Dzar menerangkan yang demikian kepada Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ma ka beliau menjawab:


( 1) Dirawikan Ahmad, Al-Baihaqi dan lain-lain dari Ibnu Abbas.
(2) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Hurairah.
(3") Dirawikan At-Tirmidzi dari Abu Sa'id Al-Khudri dan katanya, hadits hasan.

يا أبا ذر ارفع رأسك فانظر ثم اعلم أنك لست بأفضل من أحمر فيها ولا أسود إلا أن تفضله بعمل ثم قال إذا غضبت فإن كنت قائما فاقعد وإن كنت قاعدا فاتكيء وإن كنت متكئا فاضطجع
(Yaa Abaa Dzarrir-fa'ra'saka, fan-dhur, tsumma'Iam, annaka lasta bi-afdla la min ahmara fiiha wa laa aswada, illaa an tafdluiahu bi-'amalin-tsumma qaala: idzaa ghadlibta, fa inkunta qaa iman, faq-'ud,wa in kuntaqaa-idan fattaki', wa in kunta muttaki-an fadl-thaji).Artinya: "Hai Abu Dzar! Angkatlah kepalamu, lalu pandanglah! Kemudi­an ketahuilah, bahwa engkau tidaklah lebih utama dari orang yang merah dan yang hitam, kecuali engkau melebihinya dengan amal".
Kemudian be­liau menyambung: "Apabila engkau marah, maka jikalau engkau sedang berdiri, maka duduklah! Dan jikalau engkau sedang duduk, maka melututlah ! Dan jikalau engkau sedang melutut, maka berbaringlah !".(1).

Al-Mu'tamir bin Sulaiman berkata: "Adalah seorang laki-laki dari orang-o­rang sebelum kamu itu marah. Lalu bersangatanlah marahnya. Maka ia me- nulis tiga helai kertas. Tiap-tiap helai itu diberikannya kepada seorang. Ia mengatakan kepada orang pertama: "Apabila aku marah, maka berikanlah ini kepadaku!".
Dan ia mengatakan kepada orang kedua: "Apabila tenang sebahagian kemarahanku, maka serahkanlah ini kepadaku !". Dan ia mengatakan kepada orang ketiga: "Apabila telah hilang kemarahanku, maka serahkanlah ini kepadaku!".

Lalu pada suatu hari, bersangatanlah marahnya. Maka ia diberikan kertas pertama, dimana isinya: "Bagaimanakah engkau dengan kemarahan ini ? Sesungguhnya engkau bukan tuhan Engkau adalah manusia, dimana hampir sebahagian engkau memakan akan sebahagian yang lain". Lalu tenanglah sebahagian kemarahannya.

Lalu diberikan kepadanya lembar kedua, dimana isinya: "Kasihanilah orang dibumi, niscaya engkau akan dikasihani oleh orang di langit!". Kemudian, diberikan kepadanya lembar ketiga, dimana isinya: "Ambillah manusia dengan hak Allah ! Sesungguhnya tiada akan memperbaiki mere­ka, selain dengan yang demikian". Artinya: Tidak dihalangi oleh batas-batas.

Al-Mahdi marah kepada seorang laki-laki, lalu menjawab Syubaib: "Jangan engkau marah karena Allah, dengan lebih berat dari kemarahannya bagi di­rinya sendiri". Lalu Al-Mahdi menjawab: "Berikanlah jalan, supaya ia per-
gir.

(1) Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abu Dzarr, dengan isnad shahih.

KEUTAMAAN MENAHAN KEMARAHAN.
Allah Ta'ala berfirman: (Wal-kaadhimiinal-ghaidha" والكاظمين الغيظ ).
Artinya: "....dan yang sanggup menahan marahnya". S.Ali Tmran, ayat 134.

Allah Ta'ala menyebutkan yang demikian, pada mengemukakan pujian. Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:-
من كف غضبه كف الله عنه عذابه ومن اعتذر إلى ربه قبل الله عذره ومن خزن لسانه ستر الله عورته
(Man kaffa ghadlabahuu kaffa'llaahu'anhu 'adzaabahu wa mani'tadzara ilaa- rabbihi qabila'llaahu 'udzrahuu wa mankhazana lisaanahu satara'llaahu 'au- ratahu).Artinya: "Barangsiapa mencegah kemarahannya, niscaya dicegah oleh Al­lah daripadanya akan azabNYA. Barangsiapa meminta 'udzur (diperke- nankan halangannya) kepada Tuhannya, niscaya Allah menerima 'udzur- nya. Dan barangsiapa menyimpan (tidak menggunakan) lidahnya, niscaya Allah menutupkan auratnya".(l). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
أشدكم من غلب نفسه عند الغضب وأحلمكم من عفا عند القدرة
(Asyaddukum man ghalaba nafsahu 'indal-ghadlabi wa-ahlamukum man 'a- faa 'indal-qudrati).
Artinya: "Yang lebih keras dari kamu, ialah orang yang mengalahkan naf- sunya ketika marah. Dan yang tahan marah dari kamu, ialah orang yang memberi ma'af ketika mampu".(2).
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Barangsiapa menahan marah dan jikalau ia mau meneruskannya, ia dapat meneruskannya, niscaya Allah memenuhkan hati­nya dengan kerelaan pada hari kiamat". Pada suatu riwayat: "Allah meme­nuhkan hatinya keamanan dan keimanan". (3).
Ibnu Umar berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Tiadalah seorang hamba meneguk suatu teguk minuman yang lebih besar pahalanya, daripada seteguk kemarahan, yang ditahannya karena mengharap WAJAH Allah Ta' ala".(4).
(1)   Dirawikan Ath-Tabrani dan Al-Baihiqi dari Anas, dengan isnad dla'if.
(2)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ali dengan sanad dla'if.
(3)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ibnu Umar.
(4)   Dirawikan Ibnu Majah dari Ibnu Umar.
173.

Ibnu Abbas berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Sesungguhnya neraka jahan- nam itu mempunyai sebuah pintu, yang tidak memasukinya, selain orang yang sembuh kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada Allah Ta'- ala".(l).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: 'Tiada seteguk minuman yang lebih disukai Allah Ta'ala, daripada seteguk kemarahan, yang ditahan oleh seorang hamba. Dan tiada ditahan oleh seorang hamba seteguk kemarahan itu, melainkan Allah memenuhkan hatinya dengan keimanan".(2).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Barangsiapa menahan marah dan ia sanggup me- laksanakannya, niscaya ia dipanggil oleh Allah dihadapan manusia ramai dan ia disuruh memilih, diantara bidadari yang dikehendakinya".(3). Adapun al-atsar (kata para shahabat dan orang-orang terkemuka), dian­tara lain, kata Umar r.a.: "Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya tidak sembuh marahnya (karena Allah). Barangsiapa takut kepada Allah, niscaya ia tidak berbuat sekehendaknya. Dan jikalau tidaklah hari kiamat, ni$caya adalah yang tidak akan engkau lihat".

Lukman berkata kepada anaknya: "Hai anakku! jangan engkau hilangkan air mukamu dengan meminta ! Jangan engkau sembuhkan kemarahanmu dengan perbuatan keji yang engkau kerjakan! Dan kenalilah tingkat eng­kau, niscaya akan bermanfa'at kepada engkau kehidupan engkau". Ayyub bin Abi Taimiyah As-Sakhtiany berkata: "Tidak lekas marah satu sa'at itu, akan menolak banyak kejahatan",

Sufyan Ats-Tsauri, Abu Khuzaimah Al-Yarbu'i dan Al-Fudlail bin 'lyadl berkumpul pada suatu tempat. Lalu mereka bertukar-pikiran (bermudzaka- rah) tentang zuhud. Maka mereka sepakat, bahwa amal yang paling u- tama, ialah: lemah lembut ketika marah dan sabar ketika susah. Seorang laki-laki berkata kepada Umar r.a.: "Wa'llahi, demi Allah, engkau tidak menghukum dengan adil dan tidak memberi banyak". Maka marahlah Umar, sehingga diketahui yang demikian pada wajahnya. Lalu laki-laki tadi berkata kepada Umar r.a.!" Hai Amirul-mu'minin! Tidakkah engkau men­dengar, bahwa Allah Ta'ala berfirman :-

(Khudzil-afwa wa'mur bil-'urfi wa-a'ridl 'anil-jaahiliin). Artinya: "Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang ba­ik dan tinggalkanlah orang-orang yang tidak berpengetahuan itu!".S:Al- a'raf, ayat 199.

(1)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ibnu Abbas.
(2)   Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Ibnu Abas, pada hadits ini ada kelemahan.
(3)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Mu'adz bin Anas. Dan juga dirawikan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi dan lain-lain.
174

Maka (saya) ini termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". Lalu Umar r.a. menjawab: "Benar engkau! Seolah-olah ada api, lalu di- padamkan''.
Muhammad bin Ka'ab berkata: "Tiga perkara, barangsiapa ada padanya tiga perkara itu, sempurnalah imannya kepada Allah. Yaitu: apabila ia senang, niscaya kesenangannya itu tidak memasukkannya pada yarig batil, apabila ia marah, niscaya kemarahannya itu tidak mengeluarkannya dari ke­benaran dan apabila ia berkuasa niscaya ia tidak akan mengambil yang bu­kan haknya".
Seorang laki-laki datang kepada Salman AI-Farisi r.a. Lalu laki-laki itu ber­kata: "Hai ayah Abdullah ! Berilah aku wasiat (nasehat) !". Salman menjawab: "Jangan engkau marah !". Laki-laki itu menjawab: "Aku tidak sanggup !".
Lalu Salman menjawab: "Jikalau engkau marah, maka tahanlah lidah eng­kau dan tangan engkau !".


PENJELASAN: keutamaan tak lekas marah (hilmun).
Ketahuilah, bahwa hilmun itu lebih utama daripada menahan kemarahan. Karena menahan kemarahan itu ibarat dari tahallum. Artinya: memaksakan diri dengan hilmun (tak lekas marah). Dan tidak perlu kepada menahan kemarahan, selain orang yang menggelagak kemarahannya. Dan ia memerlukan pada menahan kemarahan itu, kepada mujahadah yang ke­ras. Akan tetapi, apabila telah membiasakan diri dengan yang demikian pada masa tertentu, niscaya yang demikian itu menjadi kebiasaan. Maka tidaklah akan bergejolak kemarahan lagi. Dan jikalau bergejolak juga, ma­ka tidaklah payah pada menahannya. Dan itulah: tidak lekas marah yang sudah menjadi tabiat (menjadi sifat pribadi). Yaitu: menunjukkan kesem- purnaan akal, berkuasanya akal, pecahnya kekuatan marah dan tunduknya kepada akal. Akan tetapi permulaannya, ialah: tahallum dan menahan kemarahan dengan rasa berat. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
إنما العلم بالتعلم والحلم بالتحلم ومن يتخير الخير يعطه ومن يتوق الشر يوقه
(Innamal-'ilmu bit-ta'allumi wal-hilmu bit-tahallumi wa man yatakhayya- rul-khaira yu'thahu wa man yatawaq-qasy-syarra yuuqahu). Artinya: "Sesungguhnya ilmu itu dengan belajar (ta'allum) dan tidak lekas marah (hilmun) itu dengan tahallum (memaksakan diri dengan tidak lekas marah). Barangsiapa bersungguh-sungguh memperoleh kebajikan, niscaya ia akan diberi oleh Allah Ta'ala. Dan barangsiapa menjaga dirinya dari ke­jahatan, niscaya ia dipelihara oleh Allah Ta'ala daripadanya".(1).

(1) Dirawikan Ath-Thabrani dan Ad-Daraquthni dari Abid-Darda',dengan sanad dla'if.
175.
Pengan sabdanya tadi, diisyaratkannya, bahwa usaha untuk tidak lekas ma­rah, jalannya, ialah pertama-tama: tahallum dan memaksakannya, sebagai­mana usaha untuk memperoleh ilmu, jalannya, ialah: ta'allum (belajar, me­nuntut ilmu).Abu Hurairah berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
اطلبوا العلم واطلبوا مع العلم السكينة والحلم لينوا لمن تعلمون ولمن تتعلمون منه ولا تكونوا من جبابرة العلماء فيغلب جهلكم حلمكم

(Uth-lubul-ilma wath-lubuu ma'al ilmis-sakiinata wal-hilma.Liinuulimantu- allimuuna wa liman tata'allamuuna minhu wa laa takuunuu min jabaa- biratil-'ulamaa-i, fa yagh-liba jahlulum hilmakum).Artinya: "Tuntutlah ilmu dan tuntutlah bersama ilmu itu, ketenangan dan hilmun (tidak lekas marah)! Lemah-lembutlah kepada orang yang kamu ajar (kepada muridmu) dan kepada orang, dimana kamu belajar padanya (kepada gurumu)! Janganlah kamu termasuk kaum ulama yang gagah perkasa! Maka kebodohanmu akan mengalahkan ke-tidak-lekas-marahan- mu".(l).

Dengan sabdanya ini, diisyaratkannya, bahwa tekebur dan ke-gagah-perka- saan, adalah yang mengobarkan kemarahan dan mencegah dari ke-tidak le­kas marahan (hilmun) dan ke-lemah-lembutan. Adalah diantara do'a Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. :-
اللهم أغنني بالعلم وزيني بالحلم وأكرمني بالتقوى وجملني بالعافية
(Allahumma agh-ninii bil-'ilmi wa zayyinii bil-hilmi wa akrimnii bit-taqwa wa jammilnii bil'aafiati).
Artinya: "Wahai Allah, Tuhanku! Kayakanlah aku dengan ilmu. Hiasilah aku dengan tidak lekas marah!. Muliakanlah aku dengan taqwa. Dan elok- kanlah aku dengan sehat wal-a'fiat".(2). Abu Hurairah berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:.
ابتغوا الرفعة عند الله
(Ibtaghur-rif-'ata 'indal-laahi).
Artinya: "Carilah ketinggian pada sisi Allah !". Para shahabat bertanya: "Apakah ketinggian itu, wahai Rasulu'llah ?". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab:
(1)    Dirawikan Ibnus-Sinni dari Abu Hurairah, dengan sanad dla'if.
(2)   Menurut Al-Iraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini.
176.

تصل من قطعك وتعطي من حرمك وتحلم عمن جهل عليك

(Tashilu man qatha-'aka wa tu'thii man haramaka wa tahlumu 'amman jahala 'alika).
Artinya: "Engkau sambung silaturrahim dengan orang yang memutuskan silaturrahim dengan engkau. Engkau berikan kepada orang yang mengha- ramkan pemberian (tidak mau memberi) kepada engkau. Dan engkau tak lekas marah kepada orang yang congkak kepada engkau" (1). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
خمس من سنن المرسلين الحياء والحلم والحجامة والسواك والتعطر
(Khamsun min sunanil-mursaliina al-hayaa-u-wal-hilmu wal-hijaamatu was- siwaaku wat-ta'aththuru),
Artinya: "Lima perkara tenpasuk sunnah rasul-rasul, yaitu: malu, tak lekas marah, berbekam, bersugi dan memakai bau-bauan".(2). Ali r.a. berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
إن الرجل المسلم ليدرك بالحلم درجة الصائم القائم وإنه ليكتب جبارا عنيدا ولا يملك إلا أهل بيته
(Innar-rajulal-muslima la-yudriku bil-hilmi darajatash-shaaimil-qaa-imi wa innahula-yuktabu jabbaaran 'aniidan wa laa yamliku illaa ahla baitihi). Artinya: "Sesungguhnya laki-laki muslim itu, akan mendapat dengan tidak lekas marahnya (hilmun) akan tingkat orang yang berpuasa, yang bangun malam mengerjakan shalat. Dan sesungguhnya ia akan dituliskan sebagai orang perkasa, yang keras. Dan ia tidak memiliki kecuali keluarga". (3). Abu Hurairah berkata: "Seorang laki-laki bertanya: "Wahai Rasulu'llah ! Sesungguhnya aku mempunyai famili, yang aku sambung silaturrahim de­ngan mereka. Dan mereka memutuskan silaturrahim dengan aku. Aku ber­buat baik kepada mereka dan mereka berbuat jahat kepadaku. Mereka cong­kak (berbuat bodoh) kepadaku dan aku tak lekas marah kepada mereka". Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: jikalau benar seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menyiramkan mereka airhujan (al-mallu). Dan senantiasalah ada yang menolong engkau dari Allah, selama engkau selalu bersifat demikian". (4).

(1)   Dirawikan Al-Hakim dan Al-Baihaqi.
(2)  Dirawikan Abubakar bin Abi 'Ashim dan At-Tirmidzi dan dipandangnya hadits baik (hasan).
(3)  Dirawikan Ath-Thabrani dari Ali r.a., dengan sanad dla'if.
(4)  Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
177.

Al-mallu, dimaksudkan, ialah: ar-ramalu (sedikit hujan). Seorang laki-laki muslim berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku ! Tidak ada pa- daku sedekah, yang dapat aku sedekahkan kepada orang. Maka siapa pun yang menyinggung sesuatu dari kehormatanku, maka itu sedekah kepada­nya". Lalu Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.: "Sesung­guhnya AKU telah mengampunkan-dosanya".(l).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
أيعجز أحدكم أن يكون كأبي ضمضم قالوا وما أبو ضمضم قال رجل ممن كان قبلكم كان إذا أصبح يقول اللهم إني تصدقت اليوم بعرضي على من ظلمني
(A ya'jizu ahadukum an yakuuna ka-Abi Dlamdlam?-Qaaluu-wa maa Abuu Dlamdlam?-Qaala: Rajulun mim-man kaana qablakum, kaana idzaa ash- baha yaquulu: innii tashad-daqtul-yauma bi-'irdlii, 'alaa man dhalamanii). Artinya: "Adakah salah seorang kamu lemah untuk menjadi seperti Abu Dlamdlam?". Lalu para shahabat bertanya: "Siapakah Abu Dlamdlam i- tu?". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Seorang laki-laki dari orang-orang sebelum kamu, dimana pada waktu pagi hari, ia berdo'a: "Wahai Allah, Tuhanku ! Sesungguhnya aku pada hari ini, bersedekah dengan kehormatanku kepada orang yang berbuat zalim kepadaku". (2). Ditanyakan tentang firman Allah Ta'ala:-
(Wa laakin kuunuu rabbaaniyyiin".
Artinya: "Tetapi, hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbaaniyyiin". S. Ali Imran, ayat 79. رَبَّانِيِّينَRabbaaniyyiin, artinya: orang-orangyang'tidak lekas ma­rah, lagi berilmu.

Ditanyakan kepada Al-Hasan Al-Bashari r.a. mengenai firman Allah Ta'- ala:-
(Wa idzaa khaa-thabahumul-jaahiluuna, qaaluu: sa laamaa). Artinya: "Dan apabila orang-orang yang bodoh menghadapkan pertanyaan kepada mereka, dijawabnya: Selamat !".S.A1-Furqan, ayat 63. Lalu Al-Ha­san menjawab: "Orang-orang yang tidak lekas marah (hulama'). Kalau o- rang berbuat bodoh (berbuat tidak pantas) kepada mereka, niscaya mereka tidak berbuat bodoh kepada orang itu". 'Atha' bin Abi Rabah berkata, tentang firman Allah Ta'ala:-

1) Dirawikan Abu Na irn dan Al-Baihaqi dan perawi-perawi lain.
(2) Hadits ini telah diterangkan dahulu pada "Bab Bahaya lidah".

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْنًا
(Wa 'ibaadur-rahmaanil-ladziina yamsyuuna 'alal-ardli haunan). Artinya: "Dan hamba-hamba Tuhan Yang Pemurah, ialah mereka yang berjalan dibumi dengan haunan ". S.Al-Furqan, ayat 63. Haunan, artinya: tidak lekas marah (hilmun).

Ibnu Abi Habib berkata tentang firman Allah 'Azza wa Jalla:
(Wa kahlan) S.Ali 'Imran, ayat 46. Berkata Ibnu Abi Habib, Kahlan itu
artinya: sangat tidak lekas marah.
Mujahid berkata, bahwa firman Allah Ta'ala:-

وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
(Wa idzaa marruu bil-laghwi, marruu kiraaman).
Artinya: "Dan apabila mereka melalui perkara yang omong-kosong, mere­ka berlalu dengan hormatnya".S.Al-Furqan, ayat 72. Artinya: apabila mereka disakiti, niscaya mereka mema'afkannya. Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud melalui dengan berpaling muka dari hal omong-kosong. Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
أصبح ابن مسعود وأمسى كريما
(Ash-bahab-bnu-mas-'uudin wa amsaa kariiman).
Artinya: "Jadilah Ibnu Mas'ud itu pagi dan sore, orang yang muiia".(l). Kemudian, Ibrahim bin Maisarah, perawi hadits tadi, membaca firman Al­lah Ta'ala S.Al-Furqan, ayat 72 tadi (Wa idzaa marruu bil-laghwi marruu kiraaman).
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda, dengan do'anya: "Wahai Allah Tuhanku ! Tiada ki­ranya dijumpai aku dan tidak aku menjumpainya oleh suatu masa, dimana mereka (ummat) tiada mengikuti orang berilmu padanya dan tiada merasa malu kepada orang yang tidak lekas marah. Hati mereka itu hati orang 'A- jam (bukan Arab) dan lidah mereka itu lidah Arab". (2). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
(1)  Dirawikan Ibnul-Mubarak dari Ibrahim bin Maisarah.
(2) Dirawikan Ahmad dari Sahal bin Sa'ad,'dengan sanad dla'if.

Artinya: "Hendaklah mendekati aku dari kamu, orang-orang yang tidak le­kas marah dan orang-orang yang berakal. Kemudian, mereka yang mende­kati mereka. Kemudian, mereka yang mendekati mereka ! Janganlah kamu berselisih, maka berselisihlah hatimu ! Jagalah dirimu dari fitnah pasar

Diriwayatkan, bahwa Al-Asyaj diutus menghadap Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Lalu ia memperhentikan kenderaannya(unta yang dikenderainya), kemudian ditambatkannya. Dan ia membuka dua helai pakaian yang dipakainya. Dan di- keluarkannya dua helai pakaian yang baik dari bungkusannya. Lalu di­pakainya. Dan yang demikian itu dihadapan Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dimana be­liau melihat apa yang diperbuat oleh Al-Asya Kemudian, ia berjalan kehadapan Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.-bersabda: "Sesungguhnya pada engkau, hai Asyaj, dua akhlak yang disukai Allah dan RasulNYA". Al-Asyaj bertanya: "Demi ayahku dan ibuku, wahai Rasulu'llah ! Apakah akhlak yang dua itu ?".

Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Tidak lekas marah dan tidak tergesa-gesa". Lalu Al-Asyaj berkata: "Kedua sifat ini aku berbuat akhlak dengan kedu­anya atau dua akhlak yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadaku untuk bersifat dengan keduanya?".

Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Tetapi dua akhlak itu, telah dianugerahkan oleh Allah menjadi sifatmu".
Maka Al-Asyaj menjawab: "Segala pujian bagi Allah yang telah meanuge- rahkan kepadaku dua akhlak itu, yang disukai oleh Allah dan Rasul- Nya".(2).
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
إن الله يحب الحليم الحي الغني المتعفف أبا العيال التقي ويبغض الفاحش البذي السائل الملحف الغبي
(Innal-laaha yuhib- bul-halimal-hayiyyal-ghaniy-yal-muta'affifa, abal-iyaa- lit-taqiyya wa yab-ghadlul-faahi syal badziyyas-saa-ilal-mulhifal-ghabiyya). Artinya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menyukai orang yang tidak lekas ma­rah, yang pemalu, yang merasa cukup, yang menjaga diri dari meminta, bapak keluarga, yang bertaqwa. Dan Allah marah orang yang keji perbu- atannya, buruk lidahnya, suka meminta (pengemis) yang memaksakan dar yang kurang cerdik".(3).
Ibnu Abbas berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Tiga perkara, barangsiapa
(1)    Dirawikan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
(2)   Hadits ini dirawikan Al-Bukhari dan Muslim.
(3)   Dirawikan Ath-Thabrani dari Sa'ad.

tidak ada padanya salah satu dari yang tiga perkara itu, maka jangan kamu hitung sedikitpun dari amainya: taqwa yang menghalanginya dari perbua­tan maksiat kepada Allah 'Azza wa J alia, tidak lekas marah yang mencegahnya jadi orang yang jahat perangai dan kelakuati baik yang dapat ia hidup dalam kalangan manusia banyak".(1).

Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Apabila dikumpulkan oleh Allah makhluk pada hari kiamat, lalu penyeru menyerukan: "Manakah orang utama?". Lalu manusia bangun dan mereka itu sedikit jumlahnya. Mereka lalu ber- jalan dengan cepat ke sorga. Maka bertemulah mereka dengan malaikat. Lalu para malaikat itu berkata kepada mereka: "Sesungguhnya kami meli­hat kamu bersegera ke sorga". Mereka itu menjawab: "Kami orang uta­ma". Maka para malaikat bertanya kepada mereka: "Apakah keutamaan itu ?". Lalu mereka menjawab: "Adalah kami, apabila kami dianiaya o- rang, niscaya kami sabar. Apabila orang berbuat jahat kepada kami, nis­caya kami ma'afkan. Dan apabila orang-berbuat bodoh (masa bodoh) ke­pada kami, niscaya kami tidak lekas marah".
Lalu dikatakan kepada mereka: "Masuklah sorga ! Maka pahala yang baik bagi orang-orang yang beramal".(2).

Adapun al-atsar, maka diantara Iain, kata 'Umar r.a.: "Belajarlah ilmu!. Dan belajarlah untuk ilmu itu, ketenangan dan tidak lekas marah!". Ali r.a. berkata: "Tidaklah kebajikan itu, bahwa banyak hartamu dan anakmu. Tetapi kebajikan itu, bahwa banyak ilmumu dan besar hilmun-mu (tidak lekas marahmu).

Dan bahwa engkau tidak membanggakan pada manusia dengan ibadahmu kepada Allah. Apabila engkau berbuat baik, niscaya engkau memujikan Allah Ta'ala. Dan apabila engkau berbuat jahat, niscaya engkau meminta ampun pada Allah Ta'ala".

AI-Hasan Al-Bashari r.a. berkata: "Tuntutlah ilmu dan hiasilah ilmu itu de­ngan kesopanan dan tidak lekas marah!".
Aktsam bin Shaifi berkata: "Tiang akal itu tidak lekas marah dan kum- pulan urusan itu sabar".
Abud-Darda' berkata: "Aku dapati manusia itu daun yang tidak berduri. Lalu mereka menjadi duri yang tidak berdaun. Jikalau kamu kenal mereka, niscaya mereka mengecam (mengkritik) kamu. Dan jikalau eng­kau tinggalkan mereka, niscaya mereka tidak akan meninggalkan engkau". Lalu mereka bertanya: "Bagaimana kami perbuat ?". Abud-Darda' menjawab: "Engkau hutangkan mereka dengan harta benda engkau untuk hari kemiskinan engkau".
Ali r.a. berkata: "Bahwa yang pertama-tama, yang digantikan bagi orang yang tidak lekas marah, dari ke-tidak-lekas marahannya. ialah bahwa manu-

(1) Dirawikan Abu Na'im dari Ibnu Abbas dengan isnad dla'if.
(2) Dirawikan Al-Baihaqi dari 'Amr bin Syu'aib, dengan isnad dla'if.
181.

sia semua menjadi penolongnya atas orang bodoh (yang berbuat jahat kepa­danya)".
Mu'awiyah berkata: "Tiada akan sampai seorang hamba tempat sampainya pikiran, sebelum ke-tidak lekas marah-annya mengalahkan kebodohannya, kesabarannya mengalahkan nafsu-syahwatnya. Dan yang demikian itu tidak akan sampai, selain dengan. kekuatan ilmu".
Mu'awiyah bertanya kepada 'Amr bin Al-Ahtsam: "Laki-laki mana yang lebih berani ?".
Al-Ahtsam menjawab: "Orang yang menolak kebodohannya dengan keti- dak lekas marah-annya".
Mu'awiyah bertanya lagi: "Laki-laki mana yang lebih pemurah ?". Al-Ahtsam menjawab: "Orang yang memberikan dunianya, untuk keba­ikan agamanya".

Anas bin Malik berkata, mengenai firman Allah Ta'ala:-
ا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
(Fa-idzal-ladzii, bainaka wa bainahu 'adaa-watun, ke-annahu waliyyun ha- miim. Wa maa yalaqqaahaa illalladziina shabaruu, wa maa yulaqqaahaa il- laa dzuu hadh-dhim 'adhiim ?.
Artinya: "....sehingga orang yang bermusuhan antara engkau dengan dia, akan menjadi sebagai teman yang setia. Dan perbuatan itu tiada diberikan kepada siapapun, selain dari orang-orang yang berhati teguh dan tiada pula diberikan, melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar".S.Ha Mim سورة فصلت As-Sajadah, ayat 34-35. Yaitu: orang yang dimaki oleh saudaranya. Lalu ia menjawab: "Kalau engkau dusta, kiranya Allah meng­ampunkan dosa engkau. Dan kalau engkau benar kiranya Allah mengam­punkan dosaku".

Sebahagian mereka berkata: "Aku maki si Anu dari penduduk Basrah, ma­ka ia tidak marah kepadaku. Lalu dengan demikian, ia memperbudakkan aku (menjadi dibawah pengaruhnya) beberapa waktu lamanya". Mu'awiyah bertanya kepada 'Urabah bin Aus: "Dengan apa engkau me- mimpin kaum engkau, hai 'Urabah ?".
'Urabah menjawab: "Wahai Amirul-mu'minin! Aku tidak lekas marah ke­pada yang bodoh dari mereka. Aku berikan kepada yang meminta dari me­reka. Dan aku usahakan untuk memenuhi keperluan mereka. Siapa yang berbuat seperti perbuatanku, maka ia seperti aku. Dan siapa yang me- lampaui aku perbuatannya, niscaya ia lebih utama daripadaku. Dan siapa yang kurang perbuatannya daripadaku, maka aku lebih baik daripadanya". Seorang laki-laki memaki Ibnu Abbas r.a. Maka sesudah selesai, lalu Ibnu Abbas berkata: "Hai 'Akramah (nama pembantu Ibnu Abbas) ! Apakah laki-laki itu mempunyai keperluan ? Kalau ada, akan kita tunaikan".

182.

Laki-laki tersebut menundukkan kepalanya dan malu.
Seorang laki-laki mengatakan kepada Umar bin Abdul-aziz r.a.: "Aku naik
saksi, bahwa engkau termasuk orang fasik".

Lalu Umar bin Abdul-aziz menjawab: "Tiada akan diterima kesaksianmu". Dari Ali bin Al-Husain bin Ali t.a., diriwayatkan, bahwa ia dimaki oleh se­orang laki-laki. Lalu dilemparinya orang itu dengan sepotong pakaian yang ada padanya.

Dan disuruhnya supaya diberikan kepada orang itu uang seribu dirham. Sebahagian mereka berkata: "Barangsiapa terkumpiil padanya lima perka­ra yang terpuji, yaitu: tidak lekas marah, meninggalkan yang menyakiti te­mannya, melepaskan orang yang menjauhkannya daripada Allah 'Azza wa Jalla, membawanya kepada penyesalan dan taubat dan mengembalikannya kepada memuji sesudah mencela, niscaya semua yang demikian, ia belikan dengan sesuatu yang sedikit dari dunia".

Seorang laki-laki berkata kepada Ja'far bin Muhammad: "Bahwa telah ter­jadi di antara aku dengan suatu kaum, percekcokan dalam suatu hal. Aku bermaksud meninggalkannya, lalu aku takut dikatakan kepadaku: "Bahwa engkau tinggalkan dia itu suatu penghinaan". Lalu Ja'far menjawab: "Yang hina, ialah: orang yang zalim". Al-Khalil bin Ahmad berkata: "Adalah dikatakan, bahwa barangsiapa ber­buat jahat, lalu ia dibalas dengan perbuatan yang baik, maka sesungguhnya telah diperbuat dinding dari hati orang tersebut, yang menakutkannya un­tuk berbuat kejahatan yang serupa dari yang telah diperbuatnya". Al-Ahnaf bin Qais berkata: "Tidaklah aku ini orang yang tidak lekas marah (orang haalim),tetapi aku memaksakan diriku dengan tidak lekas marah". Wahab bin Munabbih berkata: "Barangsiapa mengasihani, niscaya dikasihani. Barangsiapa diam, niscaya selamat. Barangsiapa membodohkan diri, niscaya dikalahkan. Barangsiapa terburu-buru, niscaya salah. Barangsiapa loba kepada kejahatan, niscaya tidak selamat. Barangsiapa tidak meninggal­kan ria, niscaya dimaki orang. Barangsiapa tidak benci kepada kejahatan, niscaya berdosa. Barangsiapa benci kepada kejahatan, niscaya terpelihara. Barangsiapa mengikuti nasehat Allah, niscaya terjaga. Barangsiapa takut ke­pada Allah, niscaya am an. Barangsiapa berpaling dari pada Allah, niscaya tidak diberikan. Barangsiapa tiada meminta pada Allah, niscaya akan mis- kin. Barangsiapa merasa aman dari percobaan Allah, niscaya akan hina. Dan barangsiapa meminta tolong pada AUah, niscaya akan mendapat". Seorang laki-laki berkata kepada Malik bin Dinar: "Sampai kepadaku be­rita, bahwa engkau menyebutkan aku jahat".

Malik bin Dinar menjawab: "Jadi, engkau lebih mulia daripadaku, dari di­riku. Sesungguhnya, apabila benar aku berbuat demikian, niscaya aku ha- diahkan semua kebaikanku kepadamu".
Sebahagian ulama berkata: "Tidak lekas marah (al-hilmun) itu, lebih tinggi dari akal. Karena Allah Ta'ala dinamakan dengan: Al-haliim (Tidak lekas Marah)".

183.

Seorang laki-laki berkata kepada sebahagian ahli hikmat (filosuf): "Demi Allah, sesungguhnya aku memakimu dengan suatu makian, yang akan ma­suk ia bersama kamu dalam kuburanmu".
Ahli hikmat itu lalu menjawab: "Bersama kamu ia masuk, tidak bersama a- ku".
Isa Al-Masih putera Maryam a.s. melintasi suatu kaum Yahudi. Lalu kaum Yahudi itu mengatakan jahat kepada Isa Al-Masih a.s. Lalu Isa a.s. me­ngatakan baik kepada mereka.
Isa a.s. lalu ditanyakan: "Bahwa mereka mengatakan: jahat dan engkau mengatakan: baik".
Maka Isa a.s. menjawab: "Masing-masing membelanjakan apa yang ada padanya".
Luqman berkata: "Tiga golongan, tidak akan dikenal, selain pada tiga hal: tiada akan dikenal orang yang tidak lekas marah (al-haliim), selain ketika marah, tiada akan dikenal, orang yang berani, selain ketika perang dan ti­ada akan dikenal saudara, selain ketika diperlukan kepadanya". Masuk ke tempat sebahagian ahli hikmat seorang temannya. Lalu ia mem- persembahkan makanan kepada ahli hikmat itu. Maka keluarlah isteri ahli hikmat tadi. Dan wanita itu buruk akhlak. Lalu diangkatnya hidangan ter­sebut dan dihadapkannya kepada memaki ahli hikmat itu. Teman tersebut lalu keluar dengan marah. Lalu diikuti oleh ahli hikmat itu dan berkata kepada temannya: "Engkau ingat pada suatu hari, dimana kami berada di- rumahmu. Kami diberi makan. Lalu jatuh seekor ayam atas hidangan. Ma­ka ayam itu merusakkan apa yang atas hidangan. Lalu seorang pun dari ki­ta tiada yang marah".
Teman itu menjawab: "Ya, tiada yang marah".
Ahli hikmat tadi menyambung: "Aku kira, bahwa dia ini (isterinya) seperti ayam itu".
Maka hilanglah dari laki-laki tadi kemarahannya. Dan terus ia pergi, sambil berkata: "Benar ahli hikmat itu. Tidak lekas marah adalah obat dari tiap- tiap kesakitan".
Seorang laki-laki memukul tapak kaki seorang ahli hikmat, sehingga menyakitkannya,
Tetapi ahli hikmat itu tidak marah. Lalu ditanyakan tentang yang demikian kepadanya. Maka ia menjawab: "Aku tempatkan orang itu pada tempat batu, yang terpeleset aku dengan dia. Maka aku sembelih (hilangkan) ke­marahan itu".
Mahmud Al-Warraq bermadah:-
Aku haruskan diriku, -mema'afkan setiap yang berdosa, walau pun banyak atasku,
kesalahan yang dikerjakannya.
Tiadalah manusia, selain satu, dari tiga: yang mulia dan yang hina dan yang sepertiku, yang sama.
Orang yang diatasku, maka aku kenal tingkatnya. Akan aku ikut kebenaran dan kebenaran itu harus adanya.
Orang yang dibawahku, kalau ia berkata,
aku jaga dari jawabannya kehormatanku, walaupun dicela oleh pencela.
Adapun orang. yang sepertiku,
kalau ia telanjur atau salah,
aku bersikap utama, karena keutamaan itu,
adalah hakim dengan tidak lekas marah.

184.

PENJELASAN: kadar perkataan yang boleh, untuk menuntut beta dan terobat dari kemarahan.
Ketahuilah, bahwa tiap-tiap kezaliman yang datang dari seseorang, tidak boleh dihadapi dengan serupa. Tidak boleh dihadapi umpatan dengan um- patan, memata-matai dengan memata-matai (tajassus) dan makian dengan makian. Begitu juga perbuatan-perbuatan maksiat lainnya. Sesungguhnya, menuntut bela dan denda adalah menurut kadar yang da­tang dari Agama (hukum syari'at). Dan telah kami uraikan dalam Ilmu Figh.
Adapun makian, maka tidak boleh dihadapi dengan serupa. Karena Ra­sulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
إن امرؤ عيرك بما فيك فلا تعيره بما فيه حديث إن امرؤ عيرك بما فيك فلا تعيره بما فيه أخرجه أحمد
(Inim-ru-un 'ayyaraka bimaa fiika, fa laa tu'ayyirhu bimaa fiih). Artinya: "Kalau seorang manusia memalukan engkau, dengan apa yang ada pada engkau, maka janganlah engkau memalukannya dengan apa yang ada padanya".(1). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
(1) Dirawikan Ahmad dari Jabir bin Muslim.
185.
(Al~ mustabbaani maaqaalaa,fa huwa'alal-baa di-i, maalam ya'tadil-madh- luum).
Artinya: "Dua orang yang maki-memaki itu, ialah: apa yang dikatakan oleh keduanya. Maka makian itu tanggung jawab yang memulai, selama yang teraniaya (yang dimaki) itu, tiada melewati batas". Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
المستبان شيطانان يتهاتران
(Al-mustabbaani syaithaanaani yatahaa-taraani).
Artinya: "Dua orang yang maki-memaki itu, adalah dua setan yang sedang maki-memaki"(l).
Seorang laki-laki memaki Abubakar Ash-Shiddiq dan Abubakar itu diam saja.
Tatkala ia mulai menuntut bela, lalu Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bangun berdiri. Ma­ka ujar Abubakar: "Adalah engkau tadi diam tatkala orang itu memaki a- ku. Maka se waktu aku berbicara, lalu engkau bangun berdiri". Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab:
لأن الملك كان يجيب عنك فلما تكلمت ذهب الملك وجاء الشيطان فلم أكن لأجلس في مجلس فيه الشيطان
(Li-annal-malaka kaana yujiibu 'anka, falammaa takallamta dzahabal-mala- ku wa jaa-asy-syaithaanu, fa lam akun li-ajlisa fii majlisin fiihisy-syaithaan). Artinya: "Karena malaikat menjawab dari pihak engkau. Maka tatkala engkau berbicara, malaikat itu pergi dan datanglah setan. Maka aku tidak mau duduk pada majlis, yang padanya ada setan".(2). Kata suatu kaum (dari ahli ilmu): boleh dihadapi dengan yang tak ada kedustaan padanya. Yang dilarang oleh Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., ialah: menghadapi dimalukan dengan yang sama, sebagai: larangan tanzih (larangan membersihkan diri dari kekotoran akhlak).

Dan yang lebih utama, ditinggalkan. Tetapi tidak merupakan perbuatan maksiat dengan perbuatan itu.
Yang diperbolehkan, ialah: bahwa engkau katakan: "Siapa engkau? Ada­kah engkau dari keturunan si Anu? Sebagaimana kata Sa'ad kepada Ibnu Mas'ud: Adakah engkau dari Bani Hudzail (keturunan Hudzail)?

Dan kata Ibnu Mas'ud: Adakah engkau dari Bani Ummaiyah? Dan seperti perkataan: "Hai Dungu !". Muthrif bin Abdullah (seorang ta- bi'in yang kepercayaan) berkata: "Setiap manusia itu dungu (ahmaq), me­ngenai sesuatu diantara dia dan Tuhannya. Hanya sebahagian manusia ku- rang sedikit ke-dungu-annya, dari sebahagian yang lain".

(1)   Hadits ini telah diterangkan dahulu.
(2)   Dirawikan Abu Daud dari Abu Hurairah. Hadits ini bersambung dan mursal.
186.

Ibnu Umar berkata pada suatu hadits yang panjang: "Sehingga engkau melihat semua manusia itu dungu mengenai Zat Allah Ta'ala".(1). Dan seperti itu juga, perkataan: "Hai bodoh !". Karena tiada seorang pun, sekalian ada padanya kebodohan. Maka ia menyakitkan orang yang dikatakannya bodoh itu, dengan tidak bohong.

Begitu pula perkataan: "Hai buruk perangai ! Hai tebal muka ' Hai pencela kehormatan!". Dan yang demikian itu, ada pada orang terse! ut. Begitu juga katanya: "Jikalau padamu ada malu, tentu kamu tidak berkata demikian!. Alangkah hinanya engkau pada mataku, dengan apa yang eng­kau perbuat! Dihinakan oleh Allah kiranya engkau dan aku akan membalas dendam pada engkau".

Adapun fitnah, umpatan, dusta dan memaki ibu-bapa, maka itu haram de­ngan sepakat para ulama. Karena dirawikan, bahwa ada pembicaraan an­tara Khalid bin Al-Walid dan Sa'ad. Lalu seorang laki-laki menyebutkan hal Khalid pada Sa'ad. Maka Sa'ad menjawab: "Diamlah ! Bahwa apa yang diantara kami, tiada sampai kepada agama kami".

Ya'ni: bahwa akan berdosa sebahagian kami pada sebahagian. Ia tidak terdengar kejahatan, maka bagaimana boleh ia mengatakannya ?". Dalil atas bolehnya yang tidak dusta dan tidak haram, seperti yang diban­dingkan kepada zina, kekejian dan makian, ialah: apa yang diriwayatkan oleh 'A isyah r.a. bahwa para isteri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengutus Fatimah kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Maka datanglah Fatimah kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., seraya berkata: "Wahai Rasulu'llah ! Aku diutus oleh isteri-isteri engkau kepada engkau. Mereka meminta pada engkau keadilan tentang anak perempuan Abi Quhafah"(2).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. waktu itu sedang tidur. Lalu beliau menjawab: "Hai puteriku ! Adakah engkau sayang, akan apa yang aku sayang ?"" Fatimah menjawab: "Ya!".
Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyambung: "Yang lebih aku sayang, ialah: i n i ('Aisyah)".
Maka kembalilah Fatimah kepada para isteri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dan menceritera- kan yang demikian kepada mereka. Lalu mereka itu menjawab: "Tiada sedikitpun engkau membawa manfa'at kepada kami". Lalu mereka mengutus Zainab binti Jahsyin. 'Aisyah r.a. mengatakan: "Zainab itu mengalahkan aku tentang kecintaan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.". Maka datanglah Zainab, lalu ia berkata: "Anak perempuan Abubakar anak perempuan Abubakar". 'Aisyah meneruskan ceriteranya: "Maka senantiasalah disebutnya aku. Dan aku diam saja. Aku menunggu diizinkan oleh Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bagiku untuk menjawab. Lalu beliau mengizinkan

(1). Hadits ini telah diterangkan pada "Bab Ilmu" dahulu.
(2). Maksudnya: "Aisyah binti Abubakar bin Abi Quhafah, salah seorang isteri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Mereka menuduh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. lebih banyak bersama 'Aisya r.a. Maka itu tidak adil-kata mereka. (Pent).
187.

bagiku. Maka aku maki Zainab itu, sampai kering lidahku. Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:"Jangan! Sesungguhnya dia itu puteri Abubakar".(l). Ya'ni: jangan lawan dia sekali-kali pada perkataan. Kata 'A isyah r.a.: "Aku maki dia", tidaklah maksudnya keji. Tetapi ada­lah jawaban dari perkataan Zainab dengan kebenaran dan menghadapinya dengan kebenaran. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
المستبان ما قالا فعلى الباديء منهما حتى يعتدي المظلوم
(Al-mustabbaani maa qaalaa, fa'alal-baadi-i minhu-maa hattaa ya'tadi-yal- madh-luu-mu).
Artinya: "Dua orang yang maki-memaki itu, ialah apa yang dikatakan oleh keduanya. Tanggung jawab adalah atas yang memulai, sehingga yang ter- aniaya itu melewati batas".(2).
Maka diakui adanya hak bagi yang teraniaya membela diri, sampai ia mele­wati batas. Maka kadar inilah yang diperbolehkan oleh mereka (golongan yang memperbolehkan dihadapi makian itu). Dan itu suatu keringanan (pembolehan) pada menyakitkan orang, sebagai balasan atas menyakitkan yang terdahulu dari si penganiaya itu.

Dan keringanan (pembolehan) tersebut, tidak jauh (tidak melebihi) pada kadar tadi. Akan tetapi, yang lebih utama, ialah: meninggalkan pembalasan itu. Karena akan menghela kepada yang sebaliknya. Dan tidak mungkin menuntut bela itu terbatas menurut kadar yang benar. Berdiam diri dari ja­waban yang pokok itu, semoga lebih mudah daripada memasuki pada ja­waban dan berhenti atas batas syara' (agama) padanya. Akan tetapi sete­ngah manusia, tidak sanggup menahan diri tentang cepatnya marah. Bah- kan marah itu kembali dengan segera. Dan setengah manusia, dapat men­cegah dirinya dari kemarahan pada permulaan. Akan tetapi ia akan den­dam untuk selama-lamanya.

Dan manusia itu mengenai kemarahan ada empat macam: sebahagian me­reka seperti batang half a' (menyerupai pelepah kurma), lekas terbakar dan. lekas padam. Sebahagian mereka seperti batang ghadla (tumbuh dipergu- nungan dan kayunya sangat keras), lambat terbakar dan Iambat padam. Se­bahagian mereka, lambat terbakar dan lekas padam. Dan itu terpuji, selama tidak berkesudahan kepada lunturnya kepanasan hati dan cemburu. Dan sebahagian mereka, lekas terbakar dan lambat pa­dam. Inilah yang terjahat dari mereka. Dan pada hadits, tersebut:


(1). Diriwayatkan oleh Muslim dari 'A isyah r.a.
(2). Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
188.
المؤمن سريع الغضب سريع الرضي
Artinya: "Orang mu'min itu lekas marah dan lekas rela (mema'afkan)".(1). Maka ini dengan itu".
Asy-Syafi'i r.a. berkata: "Barangsiapa dibuat orang supaya marah, tetapi ia tidak marah, maka itu keledai. Dan barangsiapa dibuat orang supaya rela, tetapi tidak rela, maka itu setan".
Abu Sa'id Al-Khudri berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
وشرهم السريع الغضب البطيء الفيء
Artinya: "Ketahuilah, bahwa anak Adam itu dijadikan dalam tingkat yang bermacam-macam. Setengahnya, lambat marah dan lekas kembali (tidak marah lagi). Setengahnya, lekas marah dan lekas kembali. Maka itu dengan itu Setengahnya, lekas marah dan lambat kembali. Maka ketahuilah, bah­wa yang baik dari mereka, ialah: lambat marah dan lekas kembali. Dan yang buruk dari mereka, ialah: lekas marah dan lambat kembali". (2).

Manakala kemarahan itu berkobar dan membekas pada setiap manusia, niscaya wajiblah atas penguasa (sultan), tidak menjatuhkan hukuman ter­hadap seseorang, pada waktu ia sedang marah. Karena yang demikian itu kadang-kadang akan melampaui yang seharusnya. Dan karena yang demi­kian itu kadang-kadang ia sedang marah kepada orang tersebut. Maka hu­kuman itu untuk menyernbuhkan kemarahannya dan menyenangkan diri­nya dari kepedihan maranTMaka ia dalam hal yang demikian, mempunyai kepentingan. Dan sayogialah kiranya pembalasan dendam dan pembelaan diri itu, karena Allah Ta'ala. Tidak karena dirinya sendiri. Umar r.a. melihat seorang pemabuk. Maka ia bermaksud mengambil orang tersebut dan menghukumnya. Lalu pemabuk itu memaki Umar r.a.. Maka Umar .r.a. pun pulang. Lalu ditanyakan kepadanya: "Hai Amirul-mu'- minin! Tatkala orang itumemaki engkau, mengapa engkau tinggalkan dia?". Umar r.a. menjawab: "Karena dia itu telah membuatku marah. Jikalau aku hukum dia, niscaya adalah yang demikian, karena kemarahanku bagi diriku sendiri. Dan aku tidak suka, memukul seorang muslim karena ke­pentingan diriku sendiri".

(1)   Hadits ini sudah diterangkan dahulu.
(2)   Hadits ini dirawikan dari Abi Sa'id Al-Khudri. Dan telah diterangkan dahulu.
189.

Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata kepada seorang laki-laki yang membuat- nya marah: "Jikalau tidaklah engkau telah membuat aku marah, niscaya aku hukum engkau".



PEMBICARAAN: tentang arti dendam dan natijah (hasilnya) dan keuta­maan ma'af dan kasih-sayang.

Ketahuilah, bahwa marah itu apabila harus ditahan, niscaya akan lemah dari kesembuhannya dalam seketika. Ia kembali kedalam dan tertahan disi- tu. Lalu, menjadi: dendam.
Arti dendam, ialah: hati itu terus merasa berat, marah dan lari hati dari orang yang didendam. Yang demikian itu terus-menerus dan berkekalan. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
المؤمن ليس بحقود
(Al-mu'minu laisa bi haquudin).
Artinya: "Orang mu'min itu tidak pendendam".(l).
Maka dendam itu buah marah. Dan dendam itu membuahkan delapan perkara:-

Pertama: dengki. Yaitu: engkau dibawa oleh dendam untuk bercita-cita hilangnya nikmat, dari orang yang didendamkan. Maka engkau berduka-cita dengan nikmat yang diperoleh oleh orang yang didendamkan. Dan engkau bergembira dengan musibah (mala-petaka) yang turun kepada orang yang didendamkan.

Dan ini termasuk perbuatan orang-orang munafiq. Dan akan datang pen­jelasan tercelanya, insya Allah Ta'ala.

Kedua: bahwa anda menambahkan penyembunyian dengki dalam batin an­da. Maka anda gembira dengan bahaya yang menimpa orang yang diden­damkan.

Ketiga: bahwa anda tidak berbicara dan berteguran dengan orang yang an­da dendamkan. Dan anda memutuskan silaturrahim dengan dia, walaupun ia meminta dan datang kepada anda.

Keempat: yaitu kurang dari yang tadi. Anda berpaling muka dari orang itu, untuk menghinakannya.
Kelima: anda memperkatakan tentang orang itu, dengan yang tidak halal, dari kedustaan, umpatan, membuka rahasia, merusak yang harus ditutup dan lain-lain.

Keenam: anda meniru tingkah-lakunya untuk mengejek dan menghina. Ketujuh: menyakitinya dengan memukul dan dengan apa yang menyakit­kan badannya.

Kedelapan: anda larang dia dari haknya, yaitu: pembayaran hutang atau silaturrahim atau menolak kezaliman. Dan semua itu haram. Darajat dendam yang paling kurang, ialah: anda menjaga dari bahaya de­lapan perkara terseouv Dan anda tiada keluar dengan sebab dendam itu

(1) Hadits ini sudah diterangkan dahulu, pada "Bab Ilmu".
190.

kepada perbuatan, dimana anda berbuat maksiat kepada Allah dengan per­buatan itu. Akan tetapi, anda pikul beratnya itu pada batin anda. Dan ti­dak anda larang hati anda daripada memarahinya. Sehingga dengan itu, an­da tercegah dari perbuatan tathawwu' (amal perbuatan sunat yang mempe­roleh pahala), seperti: bermanis muka, kasih-sayang, menolong, bangun melaksanakan keperluan orang yang didendamkan. duduk-duduk bersama orang tersebut untuk berdzikir kepada Allah Ta'ala, tolong-menolong atas kemanfa'atan bagi orang itu. Atau dengan meninggalkan berdo'a dan memuji kepada orang tersebut.

Atau dengan meninggalkan penggerakan kepada perbuatan kebaikan dan pertolongan bagi orang yang didendamkan.

Maka yang tersebut ini semuanya, termasuk yang mengurangkan darajat engkau pada Agama. Dan yang mendidingkan antara engkau dan keuta­maan besar dan pahala banyak, walaupun tidak akan mendatangkan eng­kau kepada siksaan Allah.

Tatkala Abubakar r.a. bersumpah tidak akan memberi belanja (bantuan nafkah) lagi, kepada Musattah bin Anasah dan Musattah ini adalah kera- batnya (karena ibu Musattah anak perempuan mak-cik (khaalah) Abubakar).Karena Musattah itu suka memperkatakan peristiwa palsu (waqi'atul-ifki)- (1). Maka turunlah firman Allah Ta'ala:-
وَلا يَأْتَلِ أُوْلُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
 (Wa laa ya'tali ulul-fadl-li minkum was-sa'ati, an yu'tuu ulil-qurbaa wal- masaakiina wal - muhaa jiriina fi sabiilil-laahi, wal-ya'fuu wal-yash-fahuu, a-laa tuhibbuu-na-an yagh-firal-Iaahu lakum).
Artinya: "Orang-orang yang mempunyai kekayaan dan kelapangan dianta­ra kamu, janganlah bersumpah, bahwa mereka tiada akan memberi kepada kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang berpindah di jalan Al­lah, tetapi hendaklah mereka suka mema'afkan dan berlapang dada ! Ti- adakah kamu suka Allah akan memberikan ampunan kepada kamu !".S.An-Nur, ayat 22.

Lalu Abubakar r.a. berkata: "Ya! Kami suka yang demikian". Dan ia kem­bali memberi belanja kepada Musattah. (2).
Yang lebih utama, bahwa terus berkekalan kepada apa yang telah ada. Ka­lau mungkin ditambahkannya berbuat ihsan (berbuat baik) karena ber jihad untuk jiwa dan memaksakan setan. Itulah maqam (kedudukan) orang-o-
(1)   Waqi'atul-ifki (peristiwa palsu), yaitu: berita bohong dan palsu yang disiarkan orang, bahwa 'Aisyah isteri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berbuat serong. Berita itulah yang suka diperkatakan oleh Musattah itu. (Pent).
(2). Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a.
191.
rang shiddiq (yang membenarkan Allah dan RasulNya). Dan itu terinasuk amal utama bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Bagi orang yang didendamkan mempunyai tiga hal, ketika sanggup:- Pertama: bahwa ia mengambil dengan sempurna haknya yang dimustahak- kannya, tanpa lebih dan kurang. Dan itulah keadilan. Kedua: bahwa ia berbuat ihsan (berbuat baik) kepada pendendam, dengan mema'afkan dan bersilaturrahim. Dan yang demikian, adalah keutamaan. Ketiga: bahwa ia berbuat zalim kepada pendendam, dengan yang tidak di- mustahakkannya.

Dan iiu adalah kezaliman. Dan itu adalah usaha orang-orang yang terpan- dang hina. Dan yang nomor dua diatas, adalah usaha orang-orang shiddiq. Dan yang nomor satu tadi, adalah darajat penghabisan bagi orang-orang sa­lih. Dan akan kami terangkan sekarang, keutamaan memberi ma'af dan berbuat ihsan.


KEUTAMAAN: memberi ma'af dan berbuat ihsan.
Ketahuilah, bahwa arti ma'af (memberi ma'af) ialah; bahwa ia berhak akan sesuatu hak. Lalu hak tersebut digugurkannya (dihilangkannya)dan dilepas- kannya dari orang yang harus menunaikan hak tersebut, seperti: qishash (ambil bela) atau denda.
Dan itu bukan tidak lekas marah dan menahan kemarahan. Maka karena itulah, kami sendirikan menjelaskannya. Allah Ta'ala berfirman:-
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
(Khudzil-'afwa wa'mur bil-urfi wa-a'ridl'anil-jaahiliin). Artinya: "Hendaklah engkau pema'af dan menyuruh mengerjakan yang ba­ik dan tinggalkanlah orang-orang yang tidak berpengetahuan itu!".S.A'raf, ayat 199.

Allah Ta'ala berfirman :-
وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
(Wa-an-ta'fuu aqrabu lit-taqwaa).
Artinya: "Dan kalau kamu ma'afkan, ma'af itu lebih dekat kepada kepa-
tuhan kepada Tuhan".S.Al-Baqarah, ayat 237.

Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
ثلاث والذي نفسي بيده لو كنت حلافا لحلفت عليهن ما نقص مال من صدقة فتصدقوا ولا عفا رجل عن مظلمة يبتغي بها وجه الله إلا زاده الله
(Tsalaa-tsun waHadzii nafsii bi-yadihi, lau kuntu hallafan la-halaftu 'alai- hinna, ma naqasha maalun min shadaqatin fa-tashaddaquu, wa laa 'afaa ra-julun 'an madhlamatin, yabtaghii bihaa wajhal-Iaahi, illaa zaadahul-laahu

192.

Artinya: 'Tiga perkara, demi Allah yang nyawaku dalam kekuasaanNYA, Jikalau aku bersumpah, niscaya akan aku bersumpah atas kebenaran yang tiga perkara itu. Yaitu: tiada berkurang harta dari bersedekah, maka ber- sedekahlah! Tiada dima'afkan oleh seseorang dari kezaliman, yang dica- rinya akan WAJAH ALLAH, melainkan ia ditambah oleh Allah akan ke­muliaan pada hari kiamat. Dan tiada dibuka oleh seseorang atas dirinya pintu meminta-minta, melainkan dibuka oleh Allah kepadanya pintu kemis- kinan".(l).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Tawadlu' (merendahkan diri) itu, tidak menambahkan bagi hamba Allah, melainkan ketinggian. Maka bertawadlu'lah, niscaya kamu akan ditinggikan oleh Allah! Memberi ma'af tiada akan me- nambahkan harta, melainkan banyak. Maka bersedekahlah, niscaya kamu akan dicurahkan rahmat oleh Allah".(2).

'Aisyah r.a. berkata: "Tiada pernah sekali-kali aku melihat Rasulu'llah- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. membela diri dari kezaliman yang dizalimi orang, selama tidak me- langgar segala yang diharamkan oleh Allah. Apabila melanggar sesuatu yang diharamkan oleh Allah, niscaya Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. yang paling marah pada yang demikian. Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tiada memilih diantara dua perkara, melainkan beliau pilih yang lebih mudah diantara kedua perkara tersebut, selama tidak mendatangkan dosa".(3).
'Uqbah bin 'Amir Al-Jahni r.a. berkata: "Pada suatu hari aku bertemu de­ngan Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Maka bersegeralah aku mengambil tangannya atau ia bersegera mengambil tanganku, seraya beliau bersabda:
يا عقبة ألا أخبرك بأفضل أخلاق أهل الدنيا والآخرة تصل من قطعك وتعطي من حرمك وتعفو عمن ظلمك
(Yaa 'Uqbatu! a-laa ukh-biruka bi-af-dlali akh-laaqi ahlid-dun-ya wal-aa- khirati? Tashilu manqatha 'aka wa tu'thii man haram aka wa ta'fuu 'am man- dhalamaka).Artinya: "Hai 'Uqbah ! Apakah tidak aku terangkan kepadamu, akhlak penduduk dunia dan akhirat yang paling utama?. Yaitu: engkau menyam­bung silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dengan engkau. Engkau meinberikan kepada orang yang mengharamkan (tiada mau memberikan) kepada engkau. Dan engkau memberi ma'af kepada orang yang berbuat zalim kepada engkau".(4).

(1)   Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Kabsyah AI-Anmari. Muslim dan AbiDaudmenrawikan seperti itu dari Abu Hurairah.
(2)   Dirawikan Al-Ashfihani dan Abu Mansur Ad-Dailani dari Anas, dengan sanad dla'if.
(3)  Dirawikan At-Tirmidzi dari 'A isyah. Dan Muslim merawikan dengan kata-kata yang lain.
(4)  Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Ath-Thabrani dari 'Uqbah bin 'Amir, dengan sanad dla'if.
193.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Nabi Musa a.s. bertanya kepada Tuhan: "Hai Tu­hanku! HambaMU yang mana yang lebih mulia pada sisiMU ?". Allah Ta'­ala berfirman: "Yaitu: orang, apabila ia sanggup membalas, lalu mema'af kan".(l).

Begitu pula, Abud-Darda' r.a. ditanya orang, tentang manusia yang termulia, maka ia menjawab: "Yang mema'afkan, apabila ia sanggup membalas. Maka ma'afkanlah, niscaya kamu akan dimuliakan oleh Allah!". Seorang laki-laki datang kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., mengadu tentang kezaliman yang dialaminya. Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyuruhnya duduk, sedang ia bermak­sud hendak mengambil orang zalim itu dengan sebab kezalimannya.

Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
إن المظلومين هم المفلحون يوم القيامة
(Inrtal-madh-luumiina humul-muflihuuna yaumal-qiyaa-mah). Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang dizalimi, mereka itulah yang memperoleh kemenangan pada hari kiamat".(2). Maka orang tersebut, enggan mengambil balasan kezaliman itu ketika mendengar hadits tadi. 'A isyah r.a. berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Barangsiapa berdo'a (dengan yang tidak baik) atas orang yang berbuat zalim kepadanya maka ia telah membela diri".

Dari Anas, yang berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Apabila Allah membangkitkan para makhluk pada hari kiamat, lalu menyerulah penyeru dari bawah 'Arasy dengan tiga suara: "Hai golongan orang-orang yang meng-esa-kan Tuhan (golongan tauhid)! Sesungguhnya Allah sudah memaafkan dosamu, maka ma'afkanlah sebahagian kamu dari sebahagian yang lain!".(3).

Dari Abi Hurairah, bahwa: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tatkala membuka Makkah (menaklukkan Makkah), berta'af (mengelilingi tujuh kali) Baitu'llah dan mengerjakan shalat dua raka'at. Kemudian, beliau mendatangi ka'bah, lalu memegang dua kayu dari kedua pinggir pintunya, seraya bersabda: "Apakah yang kamu katakan ? Apakah yang kamu sangka?". Lalu mereka ^ menjawab: "Kami mengatakan: Saudara, Anak paman, yang tidak lekas marah, yang pengasih". Mereka mengatakan yang demikian: tiga kali. Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab:
أقول كما قال يوسف لا تثريب عليكم اليوم يغفر الله لكم وهو أرحم الراحمين
(Aquulu ka-maa qaala Yuusufu: laa tats-riiba alaikumul-yauma, yagh-firul- laahu lakum wa huwa arhamur-raahimiin).
(1).      Dirawikan Al-Kharaithi dari Abu Hurairah.
(2).      Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Abi Shaiih AI-Hanfi, hadits mursal.
(3);       Dirawikan Abu Said Ahmad bin Ibrahim dari Anas, isnad dia-'if.
194.
Artinya: "Aku berkata, sebagaimana Yusuf berkata: "Tiada pencelaan atas kamu pada hari ini. Adah mengampunkan dosa kamu.- IA Mahapengasih dari yang pengasih". (S.Yusuf, ayat 92)-(l).

Abu Hurairah mengatakan: "Lalu orang banyak keluar, seolah-oleh mereka keluar dari kuburan. Maka mereka lalu masuk Agama Islam". Dari Suhail bin 'Amr, yang berkata: "Tatkala Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. datang di Makkah, ialu beliau meletakkan dua tangannya atas pintu Ka'bah dan ma- nusia banyak dikelilingnya.
Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, mengucapkan:-
لا إله إلا الله وحده لا شريك له صدق وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده
(Laa ilaaha i'lla 'llaahu wahdahu laa syariika lahu, shadaqa wa'dahu wa nashara 'abdahu wa hazama'l-ahdzaaba wahdah).Artinya: "Tiada Tuhan yang disembah, selain Allah Tuhan Yang Maha E- sa, yang tiada mempunyai sekutu. IA benarkan (tepati) janjiNYA. IA tolong hambaNYA. Dan IA hancurkan kelompok-kelompok musuh, DIA Yang Maha Esa".
Kemudian, Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
يا معشر قريش ما تقولون وما تظنون
(Yaa ma'syara Quraisyin, maa taquuluuna wa maa tadhunnuun). Artinya: "Hai jama'ah Qurasy! Apa yang kamu katakan dan apa yang ka­mu sangka?".
Suhail bin 'Amr tadi berkata: "Lalu aku menjawab: "Wahai Rasulu'llah ! Kami katakan yang baik dan kami menyangka yang baik. Saudara yang mu- lia dan anak paman yang kasih sayang dan engkau sanggup (mempunyai kekuasaan)".
Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Aku akan mengatakan sebagaimana saudaraku Yusuf mengatakan: "Tiada pencelaan atas kamu pada hari ini. Allah akan mengampunkan dosa kamu". (S.Yusuf, ayat 92 yang tersebut diatas).(2).
Dari Anas, yang mengatakan: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
إذا وقف العباد نادى مناد ليقم من أجره على الله فليدخل الجنة
(Idzaa waqafal-'ibaadu, naadaa munaadin, liyaqum man ajruhu'alal-laahi- fal-yad-khulil-jannah).

(1)   Dirawikan Ibnu-Juzi, hadits dla'if.
(2). Yang dimaksud deiigan jawaban Suhail bin 'Amr itu, ialah: pujian kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.. sewaktu penaklukan Mekkah itu. dimana Rasulu'llah berkuasa untuk membalas dendairt. oleh sikap-sikap mereka dahulu terhadap Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dan kaum muslimin, sehingga Nabi s a.w. berpindah ke Medinah.(Pent).
195.

Artinya: "Apabila hamba-hamba Allah bangun berdiri nanti pada hari ki­amat, lalu penyeru menyerukan: "Hendaklah berdiri orang, yang pahala- nya pada Allah! Maka hendaklah ia masuk ke sorga!". Lalu Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ditanyakan: "Siapakah kiranya orang yang mem­punyai pahala pada Allah ?". Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab:
العافون عن الناس فيقوم كذا وكذا ألفا فيدخلونها بغير حساب
(Al-'aafuuna 'anin-naasi fa-yaquumu kadzaa wa kadzaa alfan, fa-yad-khu- luunahaa bi-ghairi hisaab).
Artinya: "Orang-orang yang mema'afkan kesalahan orang. Lalu orang-orang tersebut, berdiri, sekian ribu, sekian ribu banyaknya. Mereka itu masuk ke sorga, dengan tanpa perkiraan amaiannya (tanpa hisaab)". (1). Ibnu Mas'ud berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Tiada sayogialah bagi seorang penguasa suatu urusan (pemerintah atau hakim), yang dibawa ke­padanya suatu perkara untuk dihukum, melainkan ia menegakkan hukuman (melaksanakan hukuman) itu. Dan Allah Maha Pema'af, yang menyukai kem a'afan ".(2).

Kemudian Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. membaca ayat:-
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
(Wal-ya'fuu wal-yash-fahuu a laa tuhibbuuna an yagh-firal-laahu lakum wal- laahu ghafuurun rahiim).
Artinya: "Dan hendaklah mereka suka mema'afkan dan berlapang dada ! Ti- adakah kamu suka Allah akan memberikan ampunan kepada kamu ? Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang".S.An-Nur, ayat 22. Jabir bin Abdullah Al-Anshari r.a. berkata: "Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Tiga perkara, barangsiapa mendatangkan (melaksanakan) tiga perkara itu, serta keimanan, niscaya ia masuk sorga dari pintu mana saja yang dikehen- dakinya. Dan ia dikawinkan dengan bidadari, yang mana saja yang dikehen- dakinya. Yaitu: orang yang membayar hutangyang tersembunyi (kepada yang ber hak, yang tiada mengetahui lagi piutangnya), orang yang membaca di- belakang tiap-tiapshalat yang lima: Qulhua'llaahu ahad- sepuluh kali dan orang yang mema'afkan pembunuhnya (ia dibunuh, lalu mema'afkan pembunuh- nya, sebelum ia mati)"
Lalu Abubakar r.a. bertanya: "Atau satu saja, wahai Rasulu'llah ?".
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab: "Atau satu saja dari yang tiga itu".(3).
Menurut al-aatsaar, diantara lain, kata Ibrahim At-Taimi: "Sesungguhnya
(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Anas.
(2)   Dirawikan Ahmad dan Al-Hakim dan dipandangnya shahih.
(3)   Dirawikan Ath-Thabrani dari Jabir, dengan sanad dla'if.
196.
seorang laki-laki yang berbuat zalim kepadaku, maka aku akan kasih-sayang kepadanya".
Ini adalah ihsan (berbuat baik), dibalik mema'afkan. Karena laki-laki ter­sebut mempekerjakan hatinya, mendatangkan perbuatan maksiat kepada Al­lah Ta'ala, dengan kezaliman. Dan ia akan dituntut pada hari kiamat, lalu ia tiada mempunyai jawaban.

Setengah mereka berkata: "Apabila Allah berkehendak menganugerahkan hadiah kepada seorang hambaNYA, niscaya dikuasakanNYA seseorang yang akan berbuat zalim kepada hamba itu".

Seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul-aziz r.a. Laki-laki itu lalu mengadu kepada khalifah tadi, bahwa ada orang yang berbuat zalim kepa­danya dan memperkatakannya (dengan yang tidak baik). Lalu Umar men­jawab kepada laki-laki itu: "Sesungguhnya engkau, jikalau engkau bertemu dengan Allah dan kezaliman yang diperbuat orang kepada engkau begitu a- danya, adalah lebih baik engkau daripada engkau bertemu dengan Allah dan engkau sudah mengambil bela atas kezaliman tersebut". Yazid bin Maisarah berkata: "Kalau engkau senantiasa berdo'a (yang tidak baik) terhadap orang yang berbuat zalim atas engkau, maka Allah Ta'ala ber­firman: "Sesungguhnya orang lain akan berdo'a terhadap engkau, bahwa engkau berbuat zalim atas dia. Jikalau engkau kehendaki, niscaya KAMI terima untuk engkau dan KAMI terima yang atas engkau. Dan kalau engkau kehendaki, niscaya AKU kemudiankan kedua engkau sampai hari kiamat. Ma­ka akan melapangkan kedua engkau oleh kema'afanKU". Muslim bin Yassar berkata kepada seorang laki-laki yang berdo'a terhadap orang yang berbuat zalim kepadanya: "Setiap orang zalim itu kepada ke- zalimannya. Maka orang zalim itu lebih cepat kepada kezalimannya, dari do'a engkau atasnya. Kecuali, disusulinya dengan amalan yang baik dan ia ber­maksud tidak memperbuatnya".

Dari Ibnu Umar, yang diterimanya dari Abubakar, dimana Abubakar r.a. berkata: "Sampai kepada kami berita dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., bahwa Allah Ta'ala menyuruh penyeru pada hari kiamat. Lalu penyeru itu menyerukan: "Ba­rangsiapa mempunyai sesuatu pada Allah, maka hendaklah ia bangun berdiri !". Maka bangunlah berdiri orang-orang yang mema'afkan kesalahan orang. Lalu mereka diberi balasan oleh Allah, dengan apa yang ada, dari kema'afan mereka kepada manusia".

Dari Hisyam bin Muhammad, yang mengatakan: "An-Nu'man bin Al-Munzir datang dengan dua orang laki-laki, yang mengatakan: "An-Nu'man bin Al- Munzir datang dengan dua orang laki-laki. Yang seorang telah berbuat dosa besar, lalu dima'afkannya. Dan yang seorang lagi berbuat dosa ringan, lalu disiksanya, seraya ia bermadah:-
Raja-raja itu mema'afkan,dari dosa-dosa besar,

197.

disebabkan limpahan kurnianya. Pada dosa yang sedikit ia menyiksakan, dan bukanlah yang demikian, karena kebodohannya...................................
Tetapi, supaya dikelahui, ke-tidak lekas marah-annya. dan supaya ditakuti,akan sangat tipu-dayanya.
Dari Mubarak bin Fadl-dlalah, yang mengatakan: "Diutus Sawwar bin Ab­dullah dalam suatu rombongan dari penduduk Basrah kepada Abi Ja'far". Mubarak mengatakan: "Aku berada disisi Abi Ja'far, ketika seorang laki-laki dibawa kepadanya, lalu disuruhnya supaya dibunuh. Maka aku bertanya: "Dibunuh seorang laki-laki dari kaum muslimin, sedang aku hadlir disitu ?". Lalu aku menyambung: "Hai Amirulmu'minin ! Apakah tidak aku terangkan kepada engkau suatu hadits, yang aku dengar dari Al-Hasan Al-Bashari ?". Abi Ja'far menjawab: "Apakah hadits itu?".
Aku berkata: "Aku mendengar Al-Hasan berkata: "Apabila telah ada hari kiamat, lalu Allah 'Azza wa Jalla mengumpulkan manusia pada suatu dataran tinggi, dimana mereka didengar oleh pemanggil dan tambus pemandangan kepada mereka oleh penglihatan. Lalu penyeru berdiri, seraya berseru: "Si- apa yang mempunyai tangan pada sisi Allah, maka hendaklah berdiri!". Lalu tiada yang berdiri, selain orang yang mema'afkan kesalahan orang lain. Lalu Abi Ja'far menjawab: "Wa'llahi, demi Allah ! Aku sudah mendengarnya dari Al-Hasan".
Maka aku menjawab: "Wa'llahi, demi Allah ! Aku sudah mendengarnya dari Al-Hasan".
Lalu Abi Ja'bar menyambung: "Kita lepaskan orang itu". Mu'awiyah berkata: "Kamu harus hilmun (tidak lekas marah) dan rae- nanggung penderitaan ! Sehingga memungkinkan bagimu kesempatan. Apa­bila kesempatan memungkinkan bagimu, maka haruslah kamu berlapang da- da dan berbuat keutamaan!".
Diriwayatkan, bahwa seorang rahib (pendeta) masuk ketempat Hisyam bin Abdulmalik. Lalu Hisyam bin Abdulmalik bertanya kepada rahib tadi: "A- pakah pendapat engkau tentang Zulkarnain ? Apakah ia seorang nabi ?".
Pendeta itu menjawab: "Tidak ! Akan tetapi ia diberikan, apa yang telah diberikan, disebabkan empat perkara yang ada padanya. Yaitu: Apabila ia berkuasa, niscaya ia mema'afkan. Apabila ia berjanji, niscaya ia tepati. Apa­bila ia berbicara, niscaya ia benar.
Dan ia tidak mengumpulkan pekerjaan hari ini untuk besok".
Sebahagian mereka berkata: "Tidaklah orang yang tidak lekas marah (orang halim) itu, orang yang dianiaya, lalu tidak lekas marah, sehingga apabila ia mampu maka ia membalas dendam, tetapi orang Halim Ialah orang yang di aniaya aniaya, lalu tidak lekas marah. Sehingga apabila ia mampu, maka ia me­ma'afkan".
198

Zayyad berkata: "Kekuasaan itu menghilangkan al-hafiidhah. Ya'ni: dendam dan marah.
Dibawa kepada Hisyam bin Abdulmalik, seorang laki-laki, yang sampai ke­pada Hisyam, ada urusan yang tidak disenangi oleh Hisyam. Tatkala laki-laki tersebut disuruh berdiri dihadapan Hisyam, lalu ia berbicara dengan mengemukakan alasan (hujjah), Maka Hisyam berkata kepada orang tadi: "Eng­kau berbicara pula?".
Orang itu menjawab: "Wahai Amirul-mu'minin ! Allah 'Azza wa Jalla ber­firman :-
يَوْمَ تَأْتِي كُلُّ نَفْسٍ تُجَادِلُ عَن نَّفْسِهَا َ
(Yaurna ta'tii kullu nafsin tujaa-dilu 'an nafsihaa).
Artinya: " (Ingatlah) akan hari dimana tiap-tiap diri datang membela dirinya sendiri". S.An-Nahl, ayat 111. Apakah kita akan membela diri dihadapan Al­lah Ta'ala dan tiada berkata-kata, sepatah katapun dihadapan engkau ?". Hisyam menjawab: "Ya, berbicaralah !".

Diriwayatkan, bahwa seorang pencuri masuk ke khemah 'Ammar bin Yasir di Shiffin. Lalu orang mengatakan kepada 'Ammar: "Potonglah tangannya! Ka­rena dia termasuk musuh kita".
Lalu 'Ammar menjawab: "Bahkan akan aku tutup perbuatannya.Mudah-mudahan Allah akan menutup dosaku pada hari kiamat". Ibnu Mas'ud duduk pada sebuah toko, akan membeli makanan. Lalu di- belinya. Kemudian, dicarinya dirham dan dirham itu ada dalam surbannya. Maka didapatinya surban itu sudah terbuka, lalu ia berkata: "Aku tadi duduk dan dirham itu bersama aku".

Maka orang banyak berdo'a (yang tidak baik) terhadap orang yang mengam­bil dirham itu. Mereka berdo'a: ""Wahai Allah Tuhanku! Potonglah tangan pencuri yang mengambil uang dirham itu ! Wahai Allah Tuhanku ! Buatlah demikian pada orang itu !".

Lalu Abdullah Ibnu Mas'ud tadi berdo'a: "Wahai Allah Tuhanku ! Jikalau yang mendorong orang itu kepada mengambilnya oleh suatu keperluan, maka anugerahilah barakah bagi orang itu kepada mengambilnya oleh suatu ke­perluan, maka anugerahilah barakah bagi orang itu pada dirham tersebut ! Dan jikalau yang mendorongnya oleh keberanian kepada berbuat dosa, maka jadikanlah dosa itu, sebagai dosanya yang terakhir!". Al-Fudlail berkata: "Aku belum pernah melihat orang yang lebih zuhud, dari seorang laki-laki dari penduduk Khurasan, yang duduk dekat aku di Masjidil- haram. Kemudian, ia berdiri untuk mengerjakan thawaf. Lalu dicuri orang uang dinar yang ada padanya. Maka membuat ia menangis. Lalu aku bertanya: "Adakah engkau menangis atas hilangnya dinar itu ?".

199.

Maka ia menjawab: 'Tidak! Tetapi dinar itu menyakitkan aku dan orang itu dihadapan Allah 'Azza wa Jalla. Lalu hampirlah akalku kepada membatalkan bajinya.

Maka tangisanku adalah rahmat (kasih sayang) bagi pencuri itu". Malik bin Dinar berkata: "Pada suatu malam kami datang ke tempat Al- Hakam bin Ayyub. Dan ia adalah amir (penguasa) Basrah. Dan datanglah Al- Hasan dan dia itu dalam ketakutan. Lalu kami masuk bersama Al-Hasan. Ma­ka tidak adalah kami bersama Al-Hasan, selain seperti anak ayam kecil-kecil. Lalu Al-Hasan menerangkan kissah Nabi Yusuf a.s. dan apa yang diperbuat oleh saudara-saudaranya. Diantara lain, mereka menjual Yusuf dan melemparkannya dalam sumur. Lalu Al-Hasan berkata: "Mereka menjual sauda- ranya dan mereka menggundahkan ayahnya". Dan disebutkan oleh Al-Ha­san, apa yang dialami Yusuf,'tentang tipuan wanita dan dipfenjarakan. Kemu- dian Al-Hasan menyambung: "Hai Amir! Apakah yang diperbuat oleh Allah dengan Yusuf ? Allah menjadikan masa itu beredar bagi Yusuf dari mereka. Allah mengangkat sebutan Yusuf, meninggikan namanya dan menjadikannya menguasai gudang-gudang makanan di bumi. Apakah yang diperbuat oleh Yusuf, ketika telah sempurna urusannya dan berkumpul semua keluarganya ? Yusuf a.s. berkata:-
قَالَ لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
(Qaala: laatats-riiba alaikumul-yauma, yagh-firullaahu lakum, wa huwa arha- mur-raahiimiin).
Artinya: "Dia (Yusuf) berkata: "Pada hari ini tidak ada pencelaan (penyesalan) apa-apa kepada kamu. Allah kiranya mengampuni kesalahan kamu. Dan dia Maha Pemurah dari segala orang-orang yang pemurah".S.Yusuf, a- yat 92.

Al-Hasan mengemukakan kepada Al-Hakam, untuk mema'afkan teman-temannya.
Al-Hakam menjawab: "Maka aku mengatakan: "Pada hari ini tidak ada pen­celaan (penyesalan) apa-apa kepada kamu. Jikalau tiada aku peroleh, selain kainku ini, niscaya akan aku tutupkan kamu dibawahnya". Ibnul-Muqaffa' menulis sepucuk surat kepada temannya, dimana ia meminta ma'af dari kesalahan sebahagian teman-temannya, yang isinya diantara lain: "Si Anu lari dari kesalahannya kepada kema'afan engkau, yang merasa enak dari engkau, dengan engkau. Dan ketahuilah, bahwa dosa itu tidak bertambah besar, melainkan kema'afan itu bertambah keutamaan". Dib^wa orang Asara bin Al-Asy'ats kepada khalifah Abdul-malik bin Marwan.

Lalu Abdul-Malik bertanya kepada Raja' bin Haiwah: "Apa pendapatmu ?". Raja' menjawab: "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memberikan kepada engkau kemenangan yang engkau sukai. Maka berikanlah kepada Allah kema'afan yang disukaiNYA".

200.

Lalu Abdul-malik bin Marwan mema'afkan mereka.
Diriwayatkan, bahwa Ziyad (guberaur Irak) mengambil (menangkap) seo­rang laki-laki dari golongan khawarij. Lalu laki-laki itu lepas melarikan diri dari tahanan. Maka Ziyad menangkap saudara dari laki-laki tadi, seraya ber­kata kepadanya: "Jikalau engkau bawa saudaramu, maka engkau akan bebas. Jikalau tidak, maka akan aku pukul (potong) lehermu". Laki-laki yang ditangkap itu menjawab: "Bagaimana pendapat engkau, jika­lau aku bawa kepada engkau surat dari Amirul-mu'minin, apakah engkau a kan melepaskan aku ?". Ziyad menjawab: "Ya!".
Laki-laki tadi lalu berkata: "Maka aku akan membawa kepada engkau surat (kitab) dari Yang Mahakuasa lagi Yang Mahabijaksana. Dan akan aku tegakkan dua saksi: Ibrahim dan Musa". Kemudian, laki-laki tersebut, memba­ca ayat:-
أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى
وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
(Am lam yunabba'bi-maa fii shuhufi Muusaa wa Ibraahiimal ladzii waffaa Allaa taziru waaziratun wizra ukh-raa).Artinya: "Atau belumkah diberitakan kepadanya apa yang didalam suratsu- rat Musa. Dan Ibrahim yang memenuhi (kewajibannya)? Yaitu, bahwa seorang pemikul beban tiada dapat memikul beban orang lain".S.An-Najm, ayat 36-37-38.

Lalu Ziyad berkata: "Lepaskan jalannya ! Ini laki-laki telah mengajarkan hujjahnya (alasannya)".
Ada yang mengatakan, bahwa tertulis dalam Injil, yang maksudnya: "Ba­rangsiapa meminta ampun bagi orang yang berbuat zalim kepadanya, maka ia telah mengalahkan setan".

KEUTAMAAN BELAS KASIHAN.
Ketahuilah, bahwa belas kasihan itu terpuji. Dan lawannya, ialah: kasar dan tabiat tajam (keras). Tabiat kasar itu hasil (natijah) marah dan jahat perangai. Belas kasihan dan lemah lembut itu hasil kebagusan akhlak dan penurut (mudah dan tidak kaku). Kadang-kadang, sebab tabiat tajam (keras) itu, ialah: marah. Dan kadang-kadang sebabnya, ialah: sangat loba dan berkuasanya loba itu (pada hati), dimana mencengangkannya, tanpa berpikir dan mence- gahkannya dari tetapnya pendirian.
Maka belas kasihan dalam segala urusan itu buah (hasil), yang tidak dibu- ahkan (dihasilkan), selain oleh kebagusan akhlak. Dan akhlak itu tidak akan bagus, selain dengan mengekang kekuatan marah dan kekuatan nafsu-syah­wat. Dan menjaganya pada batas sederhana. Dan karena inilah, Rasulu'llah

201.
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. memuji kelemah-lembut-an dan bersangatan pujinya. Seraya beliau bersabda:-
(Yaa 'Aa-isyatu, innahuu man u'thia hadh-dhahuu minar-rifqi qad u'thia- hadh-.dhahuu min khairid-dun-ya wal-aakhirati wa man hurima hadh-dhahuu minar-rifqi fa qad hurima hadh-dhahuu min khairid-dun-ya wal-aakhirati). Artinya: "Hai Aisyah ! Sesungguhnya, barangsiapa diberikan bahagiannya dari kelemah-lembutan, maka sesungguhnya ia telah diberikan bahagiannya dari kebajikan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa diharamkan (tiada di- beranikan) bahagiannya dari kelemah-lembutan, maka ia telah diharamkan (tiada diberikan) bahagiannya, dari kebajikan dunia dan akhirat".(1).

Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
  إذا أحب الله أهل بيت أدخل عليهم الرفق
(Idzaa ahabbal-laahu ahla baitin, ad-khala 'alaihimur-rifqa) Artinya: "Apabila Allah mengasihi keluarga suatu rumah tangga, niscaya di- masukkanNYA kepada mereka sifat belas-kasihan".(2).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
  إن الله ليعطي على الرفق ما لا يعطي على الخرق وإذا أحب الله عبدا أعطاه الرفق وما من أهل بيت يحرمون الرفق إلا حرموا محبة الله  تعالى  
(Innal-laaha la-yu'thii 'alar-rifqi maa laa yu'thii 'alal-khurqi, wa idzaa ahab­bal-laahu 'abdan, a'thaa-hur-rifqa, wa maa min ahli baitin yuhra-muunar- rifqa illaa hurimuu mahabbatal-laahi Ta'aalaa).Artinya: "Sesungguhnya Allah akan memberikan diatas belas-kasihan, apa yang tidak diberikanNya, diatas perbuatan yang tidak ada belas kasihan (khurqun). Dan apabila Allah mengasihi seorang-hamba, niscaya diberikan- NYA kepada hamba itu belas kasihan. Dan suatu keluarga suatu rumah tangga yang tidak diberikan belas kasihan, maka mereka diharamkan (tidak diberikan) kasih sayang Allah Ta’ala".(3).

Aisyah r.a. berkata: "Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
(Innal-laaha ra fiiqun yuhibbur-ra-fiiqa wa yu'thii 'alaihi ma laa yu'thii'alal- unfi).
(1)    Dirawikan Ahmad dan Al-'Uqaili dari 'Aisya r.a.
(2)  Dirawikan Ahmad dengan sanad baik dan Al-Baihaqi dengan sanad dla'if dari 'Aisyah r.a.
(3)    Dirawikan Ath-Thabrani dari Jarir dengan isnad dla'if.
202.

إن الله رفيق يحب الرفق ويعطي عليه ما لا يعطي على العنف
Artinya: "Sesungguhnya Allah itu sangat belas-kasihan. yang sangat menyu­kai belas kasihan. Dan memberikan apa yang tidak diberikanNYA atas kekasaran".(l).
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Hai 'A isyah! Belas-kasihanilah! Sesungguhnya Allah Ta'ala apabila berkehendak kemulian (karamah) kepada keluarga suatu ru­mah tangga, niscaya mereka ditunjukiNYA pintu belas-kasihan".(2). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Barangsiapa mengharamkan (tiada memberikan) be­las-kasihan, niscaya ia di haramkan (tiada diberikan) kebajikan semua- nya".(3).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
  أيما وال ولي فرفق ولان رفق الله  تعالى  به يوم القيامة
(Ayyumaa waalin wu li-ya fa rafaqa wa laana ra-faqal-laahu ta'aalaa bihi yaumal-qiy aamah).Artinya: "Wali (penguasa pada suatu golongan) manapun, yang memerintah. Lalu ia belas-kasihan dan lemah-lembut, niscaya ia dikasihani oleh Allah Ta'­ala pada hari kiamat".(4).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: تدرون من يحرم على النار يوم القيامة كل هين لين سهل قريب "Tahukah kamu orang yang diharamkan (tidak dimasukkan) ke neraka pada hati kiamat? Yaitu: tiap-tiap orang yang tidak kaku. lemah-lembut, mudah berurusan dan bersifat mendekati".(5).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: الرفق يمن والخرق شؤم "Sifat belas kasihan itu suatu nikmat dan sifat tidak be­las kasihan itu suatu sifat serakah".(6).

 Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:
التأني من الله والعجلة من الشيطان
(At-ta-annii minal-laahi wal-'ajalatu minasy-syaithaani). Artinya: "Pelan-pelan itu dari Allah dan tergopoh-gopoh itu dari setan".(7). Diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. didatangi oleh seorang laki-laki. Lalu orang itu berkata: "Wahai Rasulu'llah ! Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memberkahi sekaliankaum muslimin pada engkau. Maka khususkaniah (ten- tukanlah) kebajikan bagiku dari engkau !".

Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. membaca: الحمد لله "Alhamdulil-laah"-dua kali atau tiga kali. Kemudian Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menghadapkan pertanyaannya kepada orang itu, se­raya bersabda: "Adakah engkau meminta wasiat (nasehat) Dua kali atau tiga kali, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menanyakannya. Orang itu menjawab: "Ya !".


(1).   Dirawikan Muslim dari 'Aisyah r.a.
(2).   Dirawikan Ahmad dari 'Aisyah r.a.
(3).   Dirawikan Muslim dari Jarir.
(4)    Dirawikan Muslim dari 'Aisyah r.a.
(5)    Dirawikan At-Tirmidzi dari Ibni Mas'ud.
(6)    Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibni Mas'ud dan Al-Baihaqi dari 'Aisyah r.a.
(7)    Dirawikan Abu Yu'la dari Anas dan dirawikan At-Tirmidzi dari Sahl bin Sa'ad.
203.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. lalu bersabda:
إن أردت أمرا فتدبر عاقبته فإن كان رشدا فأمضه وإن كان سوى ذلك فانته
(Innaa arad-ta amran fa tadabbar'aaqibatahu, fa in kaana rusydan fa-amdli- hi, wa in kaana si-waa dzaalika, fan-tahi).Artinya: "Apabila engkau menghendaki suatu urusan, maka pikirkanlah a- kibatnya! Kalau baik, maka teruskanlah! Dan jikalau tidak demikian, maka hentikanlah !".(1).

Dari 'A isyah r.a.: "Bahwa 'A isyah ada bersama Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dalam suatu perjalanan, atas unta yang sukar dikendalikan. Lalu 'A isyah r.a. memalingkan unta itu ke kanan dan ke kiri. Maka Rasulu'llah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda: "Hai 'A isyah! Engkau harus belas-kasihan! Sesungguhnya belas kasihan apabila masuk pada sesuatu, niscaya ia akan menghiasi sesuatu itu. Dan bila tercabut belas-kasihan dari sesuatu, maka akan merusakkan sesuatu tersebut".(2).

Al-atsar, diantara lain, ialah: telah sampai berita kepada Umar bin AlKhattab r.a., bahwa suatu jama'ah dari rakyatnya, menyampaikan pengaduan dari hal karyawan-karyawan Umar. Lalu Umartmenyuruh mereka bertemu de­ngan Umar. Tatkala mereka datang kepada Umar, maka Umar bangun ber­diri. Lalu beliau memuji Allah dan menyanjungNYA. Kemudian, beliau ber­kata; "Hai manusia! Hai rakyat ! Sesungguhnya kami mempunyai hak pada kamu: menasehati dengan yang jauh dan tolong-menolong diatas kebajikan. Hai para pemimpin rakyat! Sesungguhnya rakyat mempunyai hak atas kamu. Maka ketahuilah, bahwa tiada suatupun yang paling disukai Allah dan yang paling mulia, daripada tidak lekas marahnya imam (kepala) dan belas-kasihannya.

Dan tiada kebodohan yang paling dimarahi Allah dan yang paling menduka- citakan, daripada bodohnya imam (kepala) dan tidak lekas belas kasihannya Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa mengambil dengan sehat pada orang yang ditengah-tengahnya, maka ia akan dianugerahkan sehat dari orang yang dibawahnya".
Wahab bin Munabbih berkata: "Belas kasihan itu buah (hasilnya) tidak lekas marah".
Pada hadits mauquf dan marfu', tersebut:
العلم خليل المؤمن والحلم وزيره والعقل دليله والعمل قيمه والرفق والده واللين أخوه والصبر أمير جنوده
(Al-'ilmu khaliilul-mu'mini, wal-hilmu waziiruhu, wal-'aqlu daliiluhu, wal- 'amalu qayyimuhu, war-rifqu waaliduhu, wal-layyinu akhuuhu wash shabru amiiru junuudihi).

(1)    Dirawikan Ibnul-Mubarak dari Abi Ja'far, hadit dla'if sekali.
(2)    Dirawikan Muslim dari 'Aisyah r.a.
204.

Artinya: "Ilmu itu teman orang mu'min, tidak lekas marah itu menterinya, akal itu penunjuknya, amal itu yang menilaikamiya. belas kasihan itu ba- paknya, lemah-lembut itu saudaranya dan sabar itu panglima tentara-tenta- ranya".(l).

Sebahagian mereka berkata: "Alangkah bagusnya iman, yang dihiaskan oleh ilmu ! Alangkah bagusnya ilmu, yang dihiaskan oleh amal! Alangkah bagus­nya amal, .yang dihiaskan oleh belas-kasihan ! Tiada ditambahkan sesuatu kepada sesuatu, seperti tidak lekas marah (hilmun) kepada ilmu". 'Amr bin Al-'Ash bertanya kepada anaknya Abdullah.-. "Apakah belas-kasihan itu ?".

Abdullah menjawab: "Bahwa engkau mempunyai tetap pendirian. Lalu eng­kau berlemah'lembut dengan wali-wali negeri (penguasa-penguasa)". 'Amr bertanya lagi: "Apakah tidak belas-kasihan itu?". Abdullah menjawab: "Bermusuh-musuhan dengan imam (kepala) engkau dan menantang orang yang sanggup mendatangkan melarat atas engkau". Sufyan bin Uyaynah bertanya kepada sahabat-sahabatnya: "Tahukah kamu, apakah belas-kasihan itu ?".

Mereka itu menjawab: "Terangkanlah, hai Ayah Muhammad (panggilan ke­pada Sufyan)!".
Sufyan menjawab: "Bahwa engkau meletakkan segala perkara pada tem­patnya. Keras pada tempatnya. Lemah-lembut pada tempatnya. Pedangpada tempatnya. Dan cemeti pada tempatnya''.

Ini suatu isyarat, bahwa tak boleh tidak dari bercampurnya kekasaran dengan ke-lemah-Iembut-an dan ke-jahatan perangai dengan belas kasihan, sebagai­mana dikatakan pada suatu madah:-
Meletakkan embun, pada tempat pedang dengan ketinggian, itu melarat, seperti meletakkan, pedang pada tempat embun.

Maka yang terpuji, ialah pertengahan, antara keras dan lemah-lembut, se­bagaimana pada akhlak-akhlak lainnya. Akan tetapi, tatkala tabiat itu lebih cenderung kepada keras dan tajam, niscaya keperluan itu lebih banyak ke­pada menggemarkan pada segi belas kasihan. Maka karena itulah, pujian agama banyak kepada segi belas kasihan, tidak kepada sifat keras, walau pun sifat keras itu baik pada tempatnya. Sebagaimana sifat belas kasihan itu baik pada tempatnya. Maka apabila yang harus itu sifat keras, niscaya sesung­guhnya telah bersesuaian kebenaran dengan hawa-nafsu. Dan itu lebih enak dari susu dadih yang dicampurkan dengan madu putih. Dan begitulah sete rusnya...

(1). Dirawikan Abusy-Syaikh dari Anas dengan sanad dla'if. Dan dirawikan Al-Oadha'i dari Abid-Darda' dan Abi Hurairah, Dan keduanya dla'if.
205.

Umar bin Abdul-aziz r.a. berkata: "Diriwayatkan, bahwa 'Amr bin Al-'ash meriulis surat kepada Mu'awiyah, yang dicelanya tentang: sangat pelan-pelan dalam tindakan (at-taanni). Maka Mu'awiyah menulis balasannya kepada 'Amr bin Al-'ash:-
"Adapun kemudian, maka sesungguhnya pemahaman pada kebajikan itu menambah petunjuk. Dan orang yang memperoleh petun juk, ialah: orang yang memperoleh petunjuk dari tergopoh-gopoh. Dan sesung­guhnya orang yang kecewa, ialah: orang yang kecewa dari tetap pen- dirian. Dan orang yang tetap pendirian itu, ialah: orang yang mem­peroleh kebenaran atau mendekati ia memperoleh kebenaran. Dan se­sungguhnya orang yang terburu-buru itu orang yang salah atau men­dekati ia menjadi orang yang salah. Dan sesungguhnya orang yang ti­dak bermanfa'at baginya belas kasihan, maka akan mendatangkan melarat baginya oleh tidak belas kasihan. Dan orang yang tidak ber­manfa'at baginya pengalaman, niscaya ia tidak akan mencapai ke- tinggian".

Dari Abi 'Aun Al-Anshari, yang berkata: "Tiadalah manusia berkata-kata dengan kata-kata yang sukar, melainkan disampingnya ada kata-kata yang le­bih lemah-lembut dari kata-kata itu, yang berjalan pada jalannya". Abu Hamzah Al-Kufi berkata: "Janganlah engkau mengambil dari pembantu (yang membantu mengurus rumah tangga),selain yang tak boleh tidak dari- padanya.

Sesungguhnya bersama setiap manusia itu, ada setan. Dan ketahuilah, bahwa mereka tiada akan memberikan sesuatu kepada engkau dengan kekerasan, melainkan mereka akan memberikan kepada engkau dengan lemah-lembut, apa yang lebih utama daripadanya".

Al-Hasan AI-Bashari r.a. berkata: "Orang mu'min itu tetap pendirian, lagi ti­dak terburu-buru. Ia tidak seperti orang yang mengumpulkan kayu api di ma- lam hari".

Maka inilah pujian ahli ilmu kepada belas kasihan. Dan yang demikian, ka- rena itu terpuji dan memberi faedah pada kebanyakan hal dan kebiasaan u- rusan. Dan kadang-kadang terdapat perlunya kepada sikap keras. Akan te­tapi itu jarang terjadi. Dan sesungguhnya orang yang sempurna, ialah: orang yang dapat membedakan tempat yang harus belas kasihan, dari tempat yang harus bersikap kasar. Maka diberikan masing-masing urusan akan haknya. Kalau ia pendek penglihatan atau menjadi kesulitan kepadanya suatu hukum dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka hendaklah kecenderungannya ke­pada belas-kasihan. Karena pada kebanyakannya, kemenangan itu bersama belas kasihan.

206.





Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...