Mengetahui sifat-sifat Allah.

RUKUN KEDUA: mengetahui sifat-sifat Allah.

Dan berkisar kepada sepuluh pokok.
Pokok Pertama : mengetahui bahwa yang menciptakan alam ini adalah Maha Kuasa. Bahwa Allah Maha Besar dengan firmanNya :
 وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(Wa huwa "alaa kulli syai-in qadiir).Artinya :"Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (S. Al-Maidah, ayat 120).
Karena alam ini kokoh di dalam pembuatannya, teratur di dalam kejadiannya.


Barangsiapa melihat sehelai kain sutera yang baik tenunan dan susunannya, teratur bunga dan pinggirnya, lalu menyangka bahwa tenunan itu datangnya dari orang mati yang tidak bertenaga atau dari seorang manusia yang tak berdaya, maka orang yang melihat tadi adalah telah tercabut dari sifat berakal dan telah terjerumus ke dalam rantai kebodohan dan kedunguan.


Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu ke duanya menjadi rusak binasa


Pokok Kedua : mengetahui bahwa Allah Ta'ala Maha Tahusegala yang maujud (yang ada), meliputi ilmuNya dengan segala makhluk. Tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawipun, baik di bumi atau di langit.
Maha benarlah Allah dengan firmanNya :
 وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(Wa huwa bikulli syai-in 'aliim). Artinya :"Dan Dia Maha Tahu atas segala sesuatu ". (S. Al-Baqarah, ayat 29).
Dan ditunjukkan kepada kebenaranNya oleh firmanNya :
 أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
(Alaa ya'lamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir). Artinya :"Tidakkah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya? Dan Dia mengenal  hal yang halus-halus dan cukup mengerti".(S. Al-Mulk, ayat 14).


Tuhan memberi petunjuk kepada kita, kepada membuat dalil dengan makhlukNya, dengan mengetahui bahwa kita tidak menaruh keraguan, tentang mendalilkan makhluk yang halus dan kejadian yang dihiasi dengan teratur itu, walau pada benda yang hina lemah sekalipun untuk membuktikan atas maha-tahu Penciptanya cara menyusun dan mengatur.
Maka apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala itu adalah petunjuk dan pengenal yang amat mendalam.


Pokok Ketiga : mengetahui bahwa Allah Ta'ala itu hidup. Barangsiapa ada ilmunya dan tenaganya, tentu saja ada hidupnya.
Jikalau tergambarlah seorang yang bertenaga, berilmu, berbuat dan pengatur tanpa ada ia hidup, maka bolehlah diragukan mengenai hidupnya hewan-hewan, ketika ia bulak-balik bergerak dan berdiam diri. Bahkan mengenai hidupnya ahli-ahli tehnik dan perusahaan.

Hal yang seperti itu adalah membenamkan diri ke dalam lembah kebodohan dan kesesatan.


Pokok Keempat : mengetahui bahwa Allah Ta'ala berkehendak (beriradah) bagi segala af'alNya. Maka tak adalah yang maujud melainkan bersandar kepada kehendakNya dan datang dari iradahNya. Dialah yang menjadikan dan mengembalikan, yang berbuat sekehendakNya.

Bagaimanakah Dia tak ada berkehendak? Tiap-tiap perbuatan yang datang daripadaNya, mungkin bahwa datang Iawannya. Dan yang tak ada Iawannya, maka mungkin datang itu sendiri sebelumnya atau sesudahnya. Dan qudrah itu adalah bersesuaian bagi dua yang berlawanan dan bagi dua waktu sebagai suatu kesesuaian. Maka tak boleh tidak daripada iradah untuk menentukan qudrah itu kepada salah satu daripada dua yang akan dihubungi qudrah tadi.


Kalau mencukupi ilmu saja tanpa iradah, untuk menentukan sesuatu yang diketahui (al-ma'lum), sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh pada waktu yang mendahului ilmu dengan wujudnya, maka sesungguhnya boleh pula mencukupi tanpa qudrah. Sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh tanpa qudrah, karena telah mendahului ilmu dengan wujudnya.


Pokok Kelima : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha mendengar, melihat, tidak luput daripada penglihatanNya segala yang terlintas di dalam hati, sangka dan pikiran yang tersembunyi. Dan tidak jauh daripada pendengaranNya bunyi langkah semut hitam di dalam malam yang gelap, di atas batu yang hitam pekat.


Betapakah Ia tidak mendengar, lagi melihat, sedang mendengar dan melihat itu tak ada tempat untuk dibantah adalah kesempurnaan dan bukan kekurangan? Maka bagaimanakah makhluk itu berada lebih sempuma daripada Khaliq? Yang dibuat itu lebih tinggi dan lebih sempuma daripada Yang Membuat? Bagaimanakah lurusnya pembagian, manakala kekurangan ada pada Tuhan dan kesempurnaan ada pada makhluk dan pada perbuatanNya? Atau bagaimanakah lurusnya keterangan Ibrahim as. menghadapi ayahnya karena ayahnya itu menyembah berhala karena kebodohan dan kedunguan? Lalu bersabdalah Ibrahim as. kepadanya :
يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
(Yaa-abati lima ta'budu maa laa yasma'u wa laa yubshiru wa laa yughnii 'anka syai-aa).Artinya :"Hai bapaku Mengapa engkau sembah barang yang tidak mendengar, tidak melihat dan tiada memberikan pertolongan kepada engkau barang sedikitpun (S. Maryam, ayat 42).


Jikalau terbaliklah yang demikian itu, kepada Dzat yang disembah Ibrahim, maka sesungguhnya keterangannya menjadi hancur dan dalilnya, menjadi gugur. Dan menjadi tidak benarlah firman Allah Ta'ala :
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
(Wa tilka hujjatunaa aatainaahaa lbraahiima 'alaa qaumih).Artinya :"Dan itulah alasan-alasan yang Kami berikan kepada Ibrahim menghadapi kaumnya  (S. Al-An'aam, ayat 83).


Sebagaimana dipahami dengan akal, bahwa Allah Ta'ala berbuat tanpa anggota, mengetahui tanpa hati dan otak, maka hendaklah dipahami pula bahwa Allah Ta'ala melihat tanpa biji mata dan mendengar tanpa telinga. Karena tak adalah perbedaan diantara ke duanya.


Pokok Keenam : bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata-kata (mutakallim) dengan kata-kata. Yaitu suatu sifat yang berdiri pada DzatNya, tidak dengan suara dan huruf. Bahkan tiada serupa kalam (kata-kata) Allah dengan kata-kata lainNya, sebagaimana tidak serupa wujudNya dengan wujud lainNya.


Kata yang sebenarnya ialah kata hati. Suara itu ialah yang mengeluarkan huruf-huruf untuk menunjukkan kepada yang dimaksud, sebagaimana ditunjukkan kepadanya sekali dengan gerak dan isya-rah, Bagaimanakah maka ini sampai meragukan kepada segolongan orang yang bodoh. Dan tidak meragukan kepada penyair-penyair yang bodoh, dimana telah bermadah seorang diantara mereka yang mengatakan ;


"Sungguhlah kata-kata itu di dalam hati,
dan memang lidah dijadikan...................
untuk menunjukkan..............................
apa yang ada di dalam hati..................


Orang yang tidak diikat oleh akalnya dan tidak dilarang oleh otaknya daripada mengatakan : " Lidah ku itu baharu, tetapi apa yang datang padanya dengan qudrahku yang baharu itu adalah qadim", maka putuskanlah harapanmu mengenai akalnya. Dan cegahkanlah lidahmu daripada berhadapan dengan dia.


Orang yang tiada dapat memahami bahwa qadim itu adalah ibarat daripada apa yang belum ada sebelumnya sesuatu dan bahwa بَ ba adalah sebelum س sin dalam bacaan kita "Bismillah", maka tidak adalah س sin yang terkemudian daripada بَ  ba  itu qadim. Maka bersih-kanlah hatimu daripada menoleh kepadanya..............!!!.


Allah Subhaanahu wa Ta'ala mempunyai sirr (rahasia) pada menjauhkan sebahagian daripada hambaNya —"Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tak ada yang memberi petunjuk kepadanya"—. Barangsiapa merasa sangsi bahwa Musa as. mendengar di dunia ini kalam yang tidak dengan suara dan huruf, maka tentulah ia menentang akan melihat di akhirat Yang Maujud, yang tidak dengan jisim dan warna.


Dan kalau diterima oleh akalnya bahwa ia akan melihat apa yang tiada dengan warna, jisim, batas dan ukuran, sedang ia sampai sekarang belum melihatnya, maka hendaklah ia berpikir mengenai pancaindra pendengaran akan apa yang dapat dipikirkannya mengenai pancaindra penglihatan itu.


Jika dapat dipikirkannya bahwa bagi Allah satu 'ilmun (pengetahuan yang satu), yaitu mengetahui segala yang ada (maujudat), maka hendaklah dipikirkannya akan suatu sifat bagi Dzat yaitu kalam (sifat berkata-kata), dengan segala apa yang ditunjukkan oleh semua penuturan kepadanya.


Jika dapatlah ia berpikir akan keadaan langit yang tujuh, keadaan sorga dan neraka yang tertulis pada selembar kertas yang kecil dan terhafal di dalam suatu batas yang halus daripada hati dan bahwa semuanya itu dapat terlihat di dalam batas biji mata hitam, tanpa bertempat semua langit itu, bumi, sorga dan neraka di dalam mata hitam, hati dan kertas, maka hendaklah ia berpikir keadaan kalam itu yang dibaca dengan lisan, dihafal di dalam hati dan tertulis di dalam mas-haf, tanpa bertempat dzat kalam di dalamnya. Karena jikalau bertempatlah pada kitab Allah dzat kalam di atas kertas, niscaya bertempatlah Dzat Allah dengan menuliskan namaNya pada kertas. Dan bertempatlah dzat api neraka dengan menuliskan na-manya pada kertas dan terbakarlah kertas itu.


Pokok Ketujuh : bahwa kalam yang berdiri dengan sendirinya itu qadim dan begitu pula sekalian sifat Allah. Karena mustahUlah bahwa ada Dia itu tempat bagi segala yang baharu, yang masuk di bawah pengaruh perobahan. Tetapi wajiblah bagi sekalian sifat dari sifat-sifat qadim akan apa yang wajib bagi dzat. Maka tidaklah di datangi oleh perobahan dan tidaklah ditempati oleh segala yang haadits (yang baharu). Tetapi senantiasalah pada qidamNya, bersifat dengan segala sifat yang terpuji dan tetaplah di dalam keabadianNya, seperti itu, maha-suci dari segala perobahan keadaan. Karena sesuatu yang menjadi tempat bagi segala yang baharu, maka tidaklah dia itu terpisah daripada yang baharu. Dan sesuatu yang tidak terpisah daripada segala yang baharu, maka adalah dia itu baharu. Dan sesungguhnya tetaplah sifat baharu itu bagi jisim, di mana dia didatangi perobahan dan pertukaran bagi sifat-sifatnya.


Maka bagaimanakah Khaliq itu bersekutu dengan segala yang baharu dalam menerima perobahan? Dan berdasarkan kepada ini, maka seyogialah bahwa kalam Allah itu qadim, berdiri dengan dzatNya. Dan yang baharu itu ialah suara-suara yang menunjukkan kepadanya.


Sebagaimana dipahami, tegaknya tuntutan dan kemauan belajar pada diri seorang ayah untuk anaknya, sebelum anak itu dilahirkan, sehingga apabila anak itu telah lahir dan berakal serta dijadikan oleh Allah baginya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang ada di dalam hati ayahnya dahulu, dari tuntutan belajar, niscaya menjadi suruhan dengan tuntutan itu yang telah bangun pada diri sang ayah. Dan tetap adanya sampai kepada waktu anaknya mengenal akan hal itu. Maka hendaklah dipahami pula akan tegaknya tuntutan yang ditunjukkan kepadanya oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :
 إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
Artinya : "Bukalah kedua terompahmu". (S. Thaha, ayat 12).
Dengan DzatNya dan jadinya Musa ditujukan dengan firman itu setelah adanya. Karena telah dijadikan kepada Musa ma'rifah dengan tuntutan itu dan didengamya untuk itu kalam qadim.


Pokok Kelapan : bahwa ilmu Allah itu qadim, maka senantiasalah Ia mengetahui dengan DzatNya, sifatNya dan apa yang terjadi dengan makhlukNya.
Manakala telah jadilah makhluk, maka tidak datanglah bagi Allah ilmu mengenai makhluk itu, tetapi hasillah segala makhluk itu terbuka bagiNya dengan ilmuNya yang azali. Karena jikalau dijadikan bagi kita pengetahuan untuk mengetahui dengan kedatangan si Zaid ketika terbit matahari dan berkekalan pengetahuan tadi— diumpamakan— sampai terbit matahari, maka sesungguhnya kedatangan si Zaid ketika terbit matahari itu menjadi pengetahuan bagi kita dengan pengetahuan itu tanpa pembaharuan pengetahuan yang lain. Maka begitu pulalah seyogianya dipahami akan qidam ilmu Allah Ta'ala.


Pokok Kcsembilan : bahwa iradah Allah itu qadim. Iradah itu pada qidamnya bersangkutan dengan menjadikan segala yang baharu pada waktunya yang layak, sesuai dengan kedahuluan ilmu Allah yang azali. Karena jikalau iradah itu baharu, niscaya jadilah Allah itu tempat bagi yang baharu. Dan jikalau terjadilah segala yang baharu daripada bukan dzatNya, niscaya tak adalah Dia yang beriradah padanya. Sebagaimana tidaklah engkau yang bergerak dengan sesuatu gerakan, yang tidak ada gerakan itu daripada diri engkau.


Sebagaimana dikatakan iradah itu baharu, maka berhajatlah kebaharuannya itu kepada iradah yang lain. Dan begitu pula iradah yang lain itu berhajat kepada iradah yang lain lagi. Dan tali bertalilah (tasalsul) hal itu kepada tiada berkesudahan.
Jikalau boleh Allah mendatangkan iradah dengan tanpa iradah maka boleh pulalah Ia mendatangkan alam dengan tanpa iradah.


Pokok Kesepuluh : bahwa Allah Ta'ala mengetahui dengan ilmun hidup dengan hayah berkuasa dengan qudrah, berkehendak dengan iradah, berkata-kata dengan kalam, mendengar sama' dan melihat dengan bashar.
Semua sifat ini bagi Allah Ta'ala adalah sifat-sifat yang qadim. Perkataan orang yang mengatakan : orang berilmu tanpa ilmu samalah seperti katanya orang kaya tanpa harta, ilmu tanpa orang yang berilmu dan orang berilmu tanpa ada yang diketahui. Sebab ilmu, yang diketahui (yang dimaklumi) dan yang berilmu ('alim) adalah bertaut satu sama lainnya, seperti pembunuhan, yang dibunuh dan pembunuh.


Sebagaimana tidak tergambar adanya pembunuh, tanpa ada pembunuhan dan yang dibunuh dan tidaklah tergambar adanya yang dibunuh, tanpa ada pembunuh dan pembunuhan, maka seperti itu pulalah tidak tergambar adanya orang yang berilmu tanpa ilmu, adanya ilmu tanpa ada yang dimaklumi dan adanya yang dimaklumi tanpa ada yang berilmu ('alim). Sebab yang tiga ini bertaut satu sama lainnya pada akal. Tidak terlepas sebahagian daripadanya daripada sebahagian yang lain.


Barangsiapa membolehkan terlepasnya orang berilmu daripada ilmu, maka hendaklah ia membolehkan terlepasnya daripada yang diketahuinya dan terlepasnya ilmu daripada yang mengetahuinya. Karena tak adalah perbedaan diantara sifat-sifat yang tersebut tadi.

Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...