Ruku' Dan segala yang berhubungan
RUKU' DAN SEGALA YANG BERHUBUNGAN DENGAN
RUKU'
Kemudian ia ruku ' dan dijaga pada ruku' itu beberapa perkara. Yaitu : bahwa ia
bertakbir bagi ruku', mengangkatkan kedua tangan serta takbir ruku' &
memanjangkantakbir itu sampai kepada ruku'. Meletakkan kedua tapak tangan atas
dua lutut pada ruku' di mana segala anak jarinya dilepaskan menghadap arah ke
qiblat atas sepan-jang betis. Bahwa ia menegakkan kedua lututnya, tidak
dilipatkan. Bahwa ia memanjangkan punggungnya dengan lurus dan adalah lehemya
dan kepalanya lurus menyamai dengan punggungnya seperti sebilah papan. Tidaklah
kepalanya lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Bahwa ia merenggangkan kedua
sikunya daripada kedua lembungnya. Dan bagi wanita merapatkan kedua sikunya
kepada kedua lembungnya.
Dan dibacakan pada ruku tiga kali :
سبحان ربي العظيم
(Subhaana rabbiyal 'adhiim)
Artinya : Maha Suci Tuhanku Yang Maha Besar".
Dan dilebihkan sampai tujuh dan sepuluh
adalah baik, jika ia bukan imam.
Kemudian ia bangkit daripada ruku' kepada
berdiri kembali dan mengangkatkan kedua tangannya, seraya membaca :
سمع الله لمن حمده
(Sami allaahu liman hamidah) =
Artinya : "Didengar oleh A llah akan siapa yang memujiNya ".
Dan berkeadaan tetaplah (berthuma'ninah)
pada i'tidal itu, seraya membaca:
ربنا لك الحمد ملء السموات وملء الأرض وملء ما شئت من شيء
بعد
(Rabbanaa lakalhamdu mil-us samaawaati wa
mil-ul ardli wa mil-u maa syi'-ta min syai-in ba'du).
Artinya : "Hai Tuhan Kami! Bagi Engkau segala pujian, memenuhi segala langit,
memenuhi bumi dan memenuhi apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu sesudahnya".
Dan tidak melamakan berdiri i'tidal ini,
selain pada shalat Tasbih, shalat Kusuf
(shalat gerhana matahari dan bulan) dan shalat
Shubuh. (1)
Dan dibacakan qunut pada shalat Shubuh
pada raka'at kedua sebelum sujud,
dengan kalimah-kalimah do'a yang diperoleh dari hadits-hadits.
SUJUD.
Kemudian ia turun kepada sujud dengan
bertakbir. Maka diletakkannya kedua lututnya di atas lantai. Dan diletakkannya
dahinya, hidungnya dan kedua tapak tangannya dengan terbuka. Ia bertakbir
ketika turun kepada sujud. Dan tidak mengangkatkan kedua tangan pada bukan
ruku'.
Dan seyogialah, yang mula-mula jatuh ke
atas lantai itu, kedua lututnya. Dan diletakkannya sesudah kedua lutut itu,
kedua tangannya, kemudian mukanya. Dan diletakkannya dahi dan hidungnya atas
lantai dan direnggangkannya kedua sikunya daripada kedua lembungnya. Dan wanita
tidak berbuat demikian (artinya tidak merenggangkan kedua sikunya daripada
kedua lembungnya).
Dan direnggangkan diantara kedua kaki dan
wanita tidak berbuat demikian. Dan pada sujud itu, bagi laki-laki berbuat
"takhwiyah" di atas lantai dan bagi wanita tidak berbuat
"takhwiyah".
Takhwiyah,yaitu
: mengangkatkan perut daripada kedua paha dan menjarangkan
diantara kedua lutut.
Dan diletakkan kedua tangan di atas
lantai setentang dengan kedua bahu dan tidak dijarangkan diantara anak-anak
jari kedua tangan itu, tetapi dirapatkan. Dan dirapatkan ibu jari kepada kedua
tangan itu. Dan jika tidak dirapatkan pun, tiada mengapa.
Dan tidak didudukkan kedua lengan di atastlantai
seperti duduk-nya anjing, karena yang demikian itu dilarang. Dan dibacakan di
dalam sujud :
سبحان ربي الأعلى
(Subhaana rabbiyal-a'Iaa). 3 X
Artinya : "Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi". Kalau dilebihkan
dari tiga kali, adalah baik, kecuali ia imam.
Kemudian, bangkit daripada sujud, lalu
duduk dengan tenang (thuma'ninah) dan lurus. Ia mengangkat kepala dari sujud
dengan bertakbir dan duduk di atas kaki kiri serta menegakkan tapak kaki kanan
dan meletakkan kedua tangan di atas kedua paha. Dan segala anak jarinya,
terlepas (tidak tergenggam), tidak diberatkan mera-patkannya dan tidak
merenggangkannya.
Dan membaca
ويقول رب اغفر لي وارحمني وارزقني واهدني واجبرني وعافني
واعف عني
Artinya "Hai Tuhanku! Ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah aku
rezeki, berikanlah aku petunjuk, tutupkanlah kekuranganku, berikanlah aku
kesehatan dan ma'afkanlah aku!'\
Dan tidak dilamakan duduk ini, kecuali
pada sujud shalat sunat tasbih.
Dan dikerjakan sujud kedua seperti yang tadi juga.
Dan duduk dengan lurus sebentar untuk istirahat (istirahah) pada tiap-tiap
raka'at, yang tidak duduk tasyahhud di belakang raka'at itu. Kemudian setelah
duduk sebentar tadi, maka bangun berdiri dengan meletakkan tangan di atas
lantai. Dan tidak mendahulukan salah satu daripada kedua kakinya ketika bangun
berdiri itu, serta memanjangkan takbir sampai habis, diantara tengah-tengah
dari bangkitnya daripada duduk sampai kepada tengah-tengah bangkitnya kepada
berdiri, di mana "ha" dari ucapannya الله "Alla hu" adalah
ketika duduknya sudah lurus. Dan كاف "kaff"
dari أكبر "a
k bar"
ketika ia bertekan dengan tangan untuk berdiri dan را "ra" dari أكبر "akba
r" pada tengah-tengah bangkitnya kepada berdiri. Dan di-mulainya pada
tengah-tengah bangkitnya kepada berdiri, sehingga jatuh takbir itu pada
tengah-tengah perpindahannya. Dan tidak terlepas daripada takbir selain kedua tepi perpindahan itu (permulaan perpindahan dan penghabisan perpindahan dari sujud kepada berdiri). Dan cara yang
demikian adalah lebih mendekati kepada meratakan pembacaan ibadah.
Dan dikerjakan raka'at kedua seperti raka'at pertama dan diulangi pembacaan Auudzu billaah seperti pada permulaan shalat.
TASYAHHUD.
Kemudian membaca tasyahhud pada raka'at kedua
yaitu, tasyahhud pertama. Kemudian membaca selawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم . dan kepada keluarganya. Dan
meletakkan tangan kanan ke atas paha kanan dan menggenggamkan segala anak jari
kanan selain dari telunjuk. Dan tiada mengapa melepaskan ibu jari juga.
Dan diisyaratkan dengan telunjuk kanan
saja ketika mengucapkan إلا
الله "illallaah", tidak ketika mengucapkan لا إله "Laa
ilaaha
Duduk ia pada tasyahhud ini di atas kaki
kiri seperti duduk diantara dua sujud. Dan pada tasyahhud akhir, disempurnakan do'a
yang diterima dari Nabi sesudah membaca selawat kepada Nabi صلى
الله عليه وسلم .
Sunat-sunat pada tasyahhud akhir, adalah
seperti sunat-sunat pada tasyahhud pertama. Hanya pada tasyahhud akhir itu,
duduk ia di atas punggung kiri,
karena ia tidak bangun lagi untuk berdiri tetapi terus tetap menyiapkan
shalatnya.
Dan ditidurkannya kaki kirinya yang
keluar dari bawah dan dite-gakkannya kaki kanannya serta diletakkan ujung ibu
jari kakinya itu ke arah qiblat kalau tiada sukar. Kemudian membaca "السلام
عليكم ورحمة الله Assalaa-mualaikum
wa rahmatullaah
" dan berpaling ke kanan, kira-kira keli-hatanlah pipi kanannya dari
belakang dari sebelah kanan. Dan berpaling ke kiri, begitu pula dan membaca salam kedua.
Diniatkan keluar dari shalat dengan salam itu. Dan diniatkan dengan salam
itu memberi salam kepada siapa yang ada di kanannya, dari para malaikat dan
kaum muslim in pada salam pertama.
Dan diniatkan begitu pula pada salam
kedua.
Dibacakan salam itu dengan dimatikan huruf akhirnya dan tidak dibacakan
dengan suara panjang. Begitulah sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم .
Inilah caranya shalat seorang diri. Ditinggikan suara dengan segala takbir perpindahan (takbir intiqalat),
yaitu sekedar yang dapat didengar oleh dirinya.
Pada shalat
jama'ah, imam itu meniatkan imamah
(menjadi imam shalat) supaya memperoleh kurnia Allah. Jikalau tidak
diniatkan-nya, maka shalat orang ramai yang di belakangnya syah, apabila mereka itu meniatkan ikut imam (menjadi ma'mum). Dan mereka memperoleh pahala
berjama'ah.
Dan dibaca dengan suara halus (sirr) do'a
iftitah dan ta'awwuz (A'uudzu billaah) seperti orang yang bershalat seorang
diri. Dan dibaca dengan suara keras
(jahr) al-fatihah dan surat pada sha -lat Shubuh, dua raka'at
pertama dari shalat 'Isya' dan Maghrib. Dan orang yang bershalat seorang diri
membacanya begitu juga.
Dan dikeraskan membaca "A a m i n" pada, shalat yang di
jahr kan (shalat Shubuh, 'Isya' dan Maghrib). Dan begitu pula ma'mum.
Dan disamakan oleh ma'mum membaca aaminnya, bersama-sama
dengan aamin imam, tidak beriring-iring.
Dan berdiam diri imam sebentar sesudah al-fatihah,
supaya nafasnya normal kembali. Dan ma'mum dapat membaca al-fatihah shalat yang dijahrkan (shalat jahriyah)
pada ketika imam berdiam diri itu, agar ma'mum dapat mendengar pembacaan imam.
Pada shalat
jahriyah, ma'mum tidak membaca surat, kecuali apabila ia tiada mendengar
suara imam.
Imam membaca سمع
الله لمن حمده "Sami 'allaahu liman hamidah " ketika mengangkatkan
kepalanya daripada ruku', Dan demikian juga ma'mum. Dan imam tidak melebihkan
dari tiga kali membaca tasbih ruku' dan
tasbih sujud. Dan tidak menambahkan
bacaan pada tasyahhud pertama sesudah
membaca "Allaahumma shalli 'alaa
Muhammad wa 'alaa ali Muhammad". Dan meringkaskan pada dua raka'at akhir atas al-fatihah saja,
tidak memperpanjangkan, karena menyusahkan bagi para ma'mum.
Dan imam tidak menambahkan do'a pada
tasyahhud akhir melebihi dari sekedar tasyahhud dan selawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم Dan meniatkan ketika salam,
memberi salam kepada orang banyak yang menjadi ma'mum dan kepada para malaikat,
Dan orang banyak pun meniatkan dengan salamnya, menjawab salam imam.
Imam itu tetap pada tempat duduknya
sekejap, sehingga selesai orang ramai dari salam dan ia menghadap kepada mereka
itu dengan wajahnya. Yang lebih utama, imam itu tetap di situ dahulu, kalau di
belakang ma'mum laki-laki ada ma'mum wanita, supaya kaum wanita itu pergi
sebelum bangun imam. Dan tidak seorangpun dari ma'mum bangun berdiri, sebelum
bangun berdiri imam.
Imam itu pergi keluar dari sebelah mana
yang disukainya, dari sebelah kanan atau sebelah kiri. Dan menurut pendapatku,
dari sebelah kanan adalah lebih baik.
Tidaklah imam itu menentukan do'a untuk
dirinya saja pada qunut Shubuh,
tetapi hendaklah ia membaca :اللهم اهدنا "Allaahummah
dinaa", artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami".
(Tidak : Allaahummah dinii, yang
artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah aku!).
Imam itu membaca qunut dengan suara keras
dan para ma'mum mengaminkan, dengan
mengangkatkan tangan tentang dada dan menyapukan muka ketika selesai dari do'a
qunut.
Demikian menurut hadits yang diriwayatkan
tentang itu, Kalau tidak karena hadits, maka secara qias (analogi), tangan itu
tidaklah diangkatkan seperti pada akhir tasyahhud.
LARANGAN-LARANGAN.
Dilarang oleh Rasulullah صلى
الله عليه وسلم .الصفن "ash-shafan" dan الصفد "ash-shafad"
di dalam shalat dan sudah kami terangkan arti keduanya dahulu. Dan dilarang
dari الإقعاء "iq'a", dariالسدل "sadl", dari كفت kaff", dari الاختصار "ikhtishar",
dari الصلب "shalb",dari المواصلة "muwashalah",
dari صلاة الحاقن "shalat al-haqin", dari "haqib", dari
"hadziq", dari "shalat orang lapar", dari "shalat
orang marah" dan dari "shalat orang yang menutup muka".
Adapun الإقعاء iq 'a yaitu -menurut ahli bahasa- artinya : duduk di
atas kedua punggung, menegakkan kedua lutut dan meletakkan kedua tangan ke atas
lantai seperti duduk anjing. Dan
-menurut ahli hadits-ialah : duduk di atas kedua betis dan tiada yang di atas
lantai, selain dari ujung anak-anak jari kedua kaki dan kedua lutut.
Adapun السدل
sadl, yaitu -menurut madzhab ahli hadits-
ialah berselimut dengan kain dan memasukkan kedua tangan dari dalam, lalu ruku'
dan sujud, dalam keadaan yang demikian. Cara yang begini ialah cara Yahudi di
dalam sembahyangnya. Maka dilarang daripada menyerupakan dengan Yahudi.
Baju kemeja searti juga dengan kain itu,
maka tidaklah wajar ruku' dan sujud, sedang kedua tangan di dalam selimutan
kemeja.
Ada yang mengatakan arti السدل sadl, ialah meletakkan tengahan kain sarung di atas kepala dan
melepaskan kedua pinggirnya, dari kanan dan kiri tanpa meletakkannya ke atas
dua bahu. Arti yang pertama tadi adalah lebih mendekati kepada benar.
Adapun الكف kaff, yaitu mengangkatkan kain dari
muka atau dari belakang, apabila mau sujud. Kadang-kadang الكف kaff itu pada rambut kepala. Dari itu, janganlah
dikerjakan shalat, di mana ia menyanggul rambutnya. Larangan ini adalah
terhadap laki-laki. Pada hadits tersebut :
أمرتأن أسجد على سبعة أعضاء
ولا أكفت شعرا ولا ثوبا
(Umirtu an asjuda 'alaa sab-'ati
a'-dlaa-in wa laa akuffu sya'-ran wa laa tsaubaa).
Artinya : "Disuruh aku supaya sujud dengan tujuh anggota badan dan tidak aku
mengangkatkan rambut dan kain waktu sujud".
Ahmad bin Hanbal ra. memandang makruh
berkain sarung di atas baju kurung panjang di dalam shalat dan dipandangnya
sebahagian dari kaff.
Adapun الاختصار
ikhtishar,ialah meletakkan kedua tangan pada
pinggang.
Adapun الصلب shalb, ialah meletakkan kedua tangan
pada pinggang, pada waktu berdiri dan merenggangkan antara kedua lengan pada
waktu berdiri itu.
Adapun المواصلة muwashalah (menyambung), maka ada lima :
Dua atas imam yaitu : imam itu tiada
menyambung bacaannya dengan
takbiratul-ihram dan tiada menyambung ruku'nya
dengan bacaannya. Dua atas ma'mum yaitu ; ma'mum itu tiada menyambung takbiratul-ihramnya dengan takbiratul-ihram
imam dan tiada menyambung salamnya dengan
salam imam. Dan satu lagi di alas keduanya, yaitu : tidak menyambung salam fardiu (salam pertama) dengan salam kedua. Dan hendaklah
dipisahkan diantara kedua salam itu.
Adapun shalat al-haqin, yaitu shalat orang yang mau buang air kecil (mau
kencing). Dan haqib, yaitu shalat
orang yang mau buang air besar (mau berak). Dan hadziq, yaitu orang yang mengerjakan shalat di dalam alas kaki
(muza) yang sempit. Semuanya itu adalah mencegah daripada khusyu'.
Dan searti dengan yang di atas, ialah
orang yang sedang lapar dan susah. Dipahami larangan shalat bagi orang yang
sedang lapar, dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
إذا
حضر العشاء وأقيمت الصلاة فابدءوا بالعشاء
(Idzaa hadlaral'asyaa-u wa
uqiimatish-shalaatu fab da-uu bil'asyaa-i
Artinya : "Apabila datang makanan malam dan di qamatkan shalat, maka mulailah
dengan makanan malam!". (1) Kecuali sempit waktu atau hatinya tenang .
1.Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
|
Pada suatu hadits tersebut :
الخبر لا يدخلن أحدكم الصلاة وهو
مقطب ولا يصلين أحدكم وهو غضبان
(Laa yadkhulanna 'ahadukumush-shalaata wa
huwa muqath-thabun wa laa yushalliyanna ahadukum wa huwa ghadlbaan).
Artinya : "Janganlah seorang kamu melakukan shalat, sedang pikirannya terganggu.
Dan janganlah bershalat seorang kamu, di mana dia sedang marah". (1)
Berkata Al-Hasan : "Tiap-tiap shalat
yang tidak hadlir hati padanya, maka shalat itu lebih mendekati kepada
siksaan".
Pada suatu hadits tersebut : "Tujuh perkara dalam shalat adalah dari
setan : keluar darah dari hidung, datang ngantuk, datang kesangsian hati
(waswas), menguap, menggaruk, berpaling muka dan bermain-main dengan sesuatu".
Dan ditambah oleh setengah mereka : Lupa dan ragu". (2)
Berkata setengah salaf : "Empat
perkara di dalam shalat termasuk bahagian tiada disukai : berpaling muka,
menyapu muka, meratakan batu tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada
jalan orang yang melalui dihadapan engkau".
Dan juga dilarang di dalam shalat
menjerejakkan anak-anak jari atau memukulkan anak-anak jari supaya berbunyi
atau menutup muka atau meletakkan salah satu daripada kedua tapak tangan ke
atas tapak tangan yang satu lagi dan memasukkan kedua tapak tangan itu diantara
kedua paha pada ruku'.
Berkata setengah shahabat ra. :
"Adalah kami berbuat demikian, maka dilarang kami daripadanya".
Dan dimakruhkan juga menghembus ke lantai
ketika sujud untuk membersihkan lantai itu. Dan dimakruhkan juga meratakan batu
dengan tangan, karena segala perbuatan tersebut tadi tidak diperlukan.
Dan tidak diangkatkan salah satu dari
kedua tapak kaki, lalu diletakkan ke atas paha. Dan tidak bersandar ke dinding
waktu berdiri. Kalau bersandar sehingga jikalau dinding itu ditarik, niscaya ia
jatuh, maka pendapat yang lebih kuat batal (tidak syah) shalatnya.
Wallaahu a'lam — Allah yang Maha Tahu!.
1.Menurut Al Iraqi tidak pernah
menjumpai Hadis ini
2.Dirawikan At Tirmidzi dari Uda bin
Tsabit
|
MEMBEDAKAN FARDLU DAN SUNAT.
Sejumlah apa yang telah kami sebutkan
itu, melengkapi kepada : fardiu, sunat,
adab dan cara dari hal-ihwal yang
sewajarnya dipe-lihara seluruhnya oleh seorang murid yang menuju jalan akhirat.
Maka yang fardlu, berjumlah dua belas perkara : niat, takbir, berdiri betul, al-fatihah, membungkuk pada ruku',
sehingga kedua tapak tangannya sampai kepada kedua lututnya, serta thuma'ninah,
i'tidal dari ruku' di dalam keadaan berdiri betul, sujud serta thuma'ninah dan
tiada wajib meletakkan dua tangan, i'tidal dari sujud dengan duduk betul, duduk
untuk tasyahhud akhir, membaca tasyahhud akhir, selawat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . padanya dan salam pertama.
Adapun niat keluar dari shalat, maka
tiada wajib.
Selain dari yang dua belas itu, tiada wajib, tetapi adalah sunat dan menjadi hai-ah (cara) pada melakukan yang sunat itu dan pada melakukan yang fardiu.
Adapun sunat, maka yang termasuk bahagian perbuatan adalah empat :
mengangkat kedua tangan pada takbiratul-ihram, pada ketika turun kepada
rukupada ketika bangun kepada berdiri dan duduk untuk tasyahhud pertama.
Adapun apa yang kami sebutkan, mengenai
cara membuka anak-anak jari dan batas mengangkatkannya, maka itu adalah cara (sunat hai-ah) yang mengikuti sunat
di atas tadi.
Mengenai tawarruk (duduk dengan punggung ke lantai pada duduk tasyahhud
akhir) dan iftirasy (duduk di atas
tumit kaki kiri pada duduk tasyahhud pertama dan lainnya) adalah hai-ah yang
mengikuti bagi duduk itu.
Menundukkan kepala dan meninggalkan
berpaling muka adalah hai-ah bagi berdiri betul. Membaguskan bentuk dan duduk
istirahat, tidaklah terhitung sebahagian daripada pokok-pokok sunat di dalam
perbuatan shalat. Karena dia adalah sebagai pembaikan bagi cara (hai-ah) bangun dari sujud kepada berdiri betul. Dan tidaklah
dimaksudkan untuk istirahat itu sendiri. Dari itu tidak kami asing-kan
menerangkan nya.
Adapun yang sunat dari bacaan-bacaan (adz-kar), maka yaitu : do'a iftitah, kemudian membaca A 'uudzu billah (ta'awwudz), kemudian
membaca aamin, maka itu adalah sunat mu-akkadah (sunat yang lebih
dikuatkan dari sunat lainnya), kemudian membaca surat Al-Qur'an, kemudian takbir-takbir
intiqalat (takbir yang dibacakan waktu berpindah dari rukun ke rukun),
kemudian dzikir (pembacaan tasbih)
pada ruku', sujud dan i'tidal dari keduanya, kemudian tasyahhud pertama dan selawat padanya kepada Nabi صلى
الله عليه وسلم kemudian do'a pada penghabisan tasyahhud akhir, kemudian salam kedua.
Walaupun semuanya yang di atas tadi, kami
kumpulkan di dalam nama sunat, tetapi
mempunyai derajat yang berlebih-kurang. Karena empat daripadanya ditempel
dengan sujud sahwi (sujud karena
lupa) kalau terlupa mengerjakannya.
Adapun yang sunat dari perbuatan shalat, maka adalah satu. Yaitu duduk pertama pada tasyahhud pertama.
Maka duduk pertama ini, adalah
membekaskan pada tata-tertib susunan shalat pada penglihatan orang yang
melihatnya. Karena dengan duduk pertama itu, dikenal apakah shalat itu termasuk
empat raka'at atau tidak. Lain halnya dengan mengangkat dua tangan. Maka
tidaklah membekaskan pada perobahan susunan shalat.
Dari itu, disebut sunat yang menjadi sebahagian dari shalat (sunat ab-'adl). Dan
dikatakan, sunat ab-'adl itu ditempel dengan sujud shawi apabila terlupa
mengerjakannya.
Adapun sunat bacaan-bacaan (adz-kaar)itu, maka seluruhnya tidak
berkehendak kepada sujud sahwi, selain tiga
: qunut, tasyahhud pertama dan selawat
kepada Nabi صلى
الله عليه وسلم, padanya. Lain halnya dengan takbir intiqalat, dzikir pada ruku', pada sujud dan pada i'tidal daripada
keduanya. Karena ruku' dan sujud di dalam bentuknya,' sudah menyalahi daripada
kebiasaan. Dari itu tercapai maksud ibadah dengan ruku' dan sujud itu, walaupun
berdiam diri daripada membaca dzikir dan bertakbir intiqalat. Maka tidak adanya
dzikir-dzikir itu, tidaklah merobah bentuk ibadah.
Adapun duduk bagi tasyahhud pertama, maka
adalah perbuatan biasa. Dan duduk ini tidak ditambahkan melainkan karena
membaca tasyahhud. Dari itu, meninggalkan duduk tasyahhud ini, terang benar
membekasnya.
Adapun do'a iftitah dan membaca surat,
maka meninggalkannya tiadalah membawa pengaruh apa-apa, di mana berdiri itu
sudah terbentuk dengan membacakan al-fatihah.
Dan sudah dapat dibeda-kan dari berdiri biasa, dengan al-fatihah itu,
Begitu pula do'a pada tasyahhud akhir dan qunut,
adalah amat jauh daripada ditempel dengan sujud. Tetapi disuruh melamakan
i'tidal pada shalat Shubuh karena qunut itu. Maka adalah melamakan i'tidal tadi
seperti melamakan duduk istirahat. Karena duduk istirahat itu dengan
melaraakannya serta membaca tasyahhud, menjadi duduk tasyahhud pertama.
Maka tinggallah ini menjadi berdiri yang dilamakan, yang biasa, di
mana tak ada padanya dzikir wajib.
Tentang melamakan berdiri itu adalah
menjaga dari bukan shalat Shubuh. Dan tentang kosongnya dari dzikir wajib,
adalah menjaga dari pokok berdiri di dalah shalat.
Kalau anda bertanya bahwa ; membedakan
sunat daripada fardlu, adalah dapat dipahami. Karena hilangnya syah shalat
dengan hilangnya fardiu. Tidak dengan hilangnya sunat. Dan dihadapkan kepada
siksaan dengan tidak -adanya fardlu, bukan dengan tidak adanya sunat. Adapun
membedakan sunat dari sunat dan semuanya disuruh atas jalan sunat dan tak ada
siksaan dengan meninggalkan segala yang sunat itu. Dan pahala itu ada dengan
mengerjakan semuanya. Maka apakah artinya itu?.
Maka ketahuilah bahwa berserikatnya
fardiu dan sunat pada pahala, siksa dan disukai, tidaklah menghilangkan adanya
berlebih-kurang pada keduanya. Marilah kami terangkan kepada anda yang demikian
itu dengan contoh. Yaitu : bahwa manusia tidaklah bemama manusia, yang ada,
lagi sempurna, melainkan dengan pengertian bathin
dan anggota dhahir.
Pengertian bathin ialah : hidup
dan roh. Dan dhahir ialah segala anggota tubuhnya. Kemudian, sebagian daripada anggota tubuh itu, adalah manusia menjadi tidak
ada dengan tidak adanya seperti : hati, jantung, otak dan semua anggota yang
hilang hidup dengan hilangnya. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dengan
hilangnya, tetapi maksud hidup yang hilang seperti : mata, tangan, kaki dan
lidah. Dan sebahagian,tidaklah hilang
hidup dan maksudnya, tetapi yang hilang ialah kebagusan, seperti : dua alis
mata, janggut, bulu mata dan kebagusan warna kulit. Dan sebahagian lagi,
tidaklah hilang sebab kecantikan dengan tidak adanya, tetapi yang hilang ialah
kesempurnaan kecantikan seperti: melengkung dua alis mata, hitam bulu janggut
dan bulu mata, bersesuaian bentuk anggota dan bercampur merah dengan putih pada
warna kulit. Maka ini semuanya adalah bertingkat-tingkat, yang berlebih-kurang.
Maka seperti itu pulalah ibadah mempunyai bentuk yang dibentuk
oleh Syara' dan kita berbuat ibadah dengan mengusahakan bentuk itu.
Maka nyawa
dan hidup bathinnya ialah : khusyu \niat, hadlir hati dan ikhlas, sebagaimana akan diterangkan
nanti. Dan sekarang kami terangkan bahagian-bahagian dhahirnya.
Maka ruku\
sujud, berdiri dan rukun-rukun
lainnya daripada shalat adalah merupakan hati, kepala dan jantung.
Karena tidak adalah wujud shalat dengan tidak adanya yang tersebut tadi.
Dan segala sunat yang telah kami
sebutkan, dari mengangkatkan kedua tangan, do'a iftitah dan tasyahhud pertama
daripada shalat adalah merupakan dua tangan, dua mata dan dua kaki. Dan
tidaklah hilang syahnya shalat dengan tidak adanya sunat-sunat itu, sebagaimana
tidak hilangnya hidup dengan hilangnya anggota-anggota tadi. Tetapi jadilah
orang dengan sebab hilangnya, memperoleh cacat, dicela dan tidak disukai. Maka
seperti itu pulalah orang yang menyingkatkan kepada yang sedikit dari yang
mencukupi daripada shalat, adalah seperti orang yang mempersembahkan kepada
maharaja, seorang budak yang hidup tetapi tidak bertangan dan berkaki.
Adapun hai-ah, yaitu yang bertingkat di belakang sunat. Maka adalah merupakan
sesuatu yang membawa kepada kecantikan, seperti : dua alis mata, janggut, bulu
mata dan kecantikan warna kulit.
Adapun tugas dzikir pada sunat-sunat itu,
adalah menyempurnakan kecantikan seperti : melengkungnya dua alis mata,
membulatnya janggut dan lainnya.
Maka shalat pada ketika itu, adalah
merupakan pendekatan dan persembahan kehadlirat Raja-Diraja, seperti
persembahan yang dipersembahkan oleh orang yang mencari kedekatan diri, kepada
sultan-sultan.
Persembahan itu dipersembahkan kepada
Allah 'Azza wa Jalla, kemudian dikembalikan kepada kita pada hari pertemuan akbar. Maka terserahlah kepada
kita, untuk membaguskan bentuknya atau menjelekkannya. Kalau kita baguskan,
maka adalah untuk kita sendiri dan kalau kita jelekkan, maka adalah di atas
kita sendiri.
Dan tidaklah layak anda mengambil
bahagian daripada mempelajari fiqih, untuk membedakan
diantara yang fardiu dan yang sunat. Lalu tiada yang melekat pada paham anda
tentang ciri-ciri sunat itu. selain daripada boleh meninggalkannya, lalu anda tinggalkan. Karena yang demikian
itu, serupalah dengan kata dokter bahwa kerusakan mata tidaklah melenyapkan
adanya manusia. Tetapi kerusakan mata itu menolak dibenarkan untuk diterima
oleh sultan, apabila datang kepadanya membawa hadiah yang akan dipersembahkan.
Maka begitulah hendaknya dipahami
tingkat-tingkat sunat, hai-ah dan adab. Sehingga tiap-tiap shalat yang tidak
disempurnakan ruku' dan sujudnya, menjadi musuh pertama kepada yang empunya
shalat itu di mana shalat mengatakan : "Disia-siakan oleh Allah kiranya
engkau, sebagaimana engkau telah menyia nyiakan aku".
Maka perhatikanlah benar-benar, segala
hadits yang telah kami bentangkan mengenai kesempurnaan rukun-rukun shalat,
supaya jelaslah bagimu keadaan yang sebenarnya!.
Bab ketiga ; Mengenai syarat syarat bathiniyah daripada amaf perbuatan hati.
Hendak kami sebutkan pada Bab ini, hubungan shalat dengan khusyu'
dan kehadliran hati. Kemudian kami
sebutkan segala pengertian bathin, batas-batasnya, sebab-sebabnya dan obatnya.
Kemudian hendak kami sebutkan perincian apa yang sewajarnya harus timbul pada
tiap-tiap rukun dari rukun-rukun shalat. Supaya patut untuk perbekalan akhirat.
Penjelasan : pensyaratan khusyu' dan
kehadliran hati :
Ketahuilah kiranya bahwa dalil-dalil yang
demikian itu banyak. Diantaranya firman Allah Ta'ala :وَأَقِمِ الصَّلاةَ
لِذِكْرِي
(Aqimish-shalaata li-dzikrii).
Artinya : "Dirikanlah shalat untuk mengingati Aku". (S.
Thoha, ayat 14).
Yang jelas dari perintah (amr) ialah wajib.
Dan lengah itu berlawanan dengan mengingati. Orang yang lengah (lalai)
dalam keseluruhan shalatnya, bagaimanakah ia mendirikan shalat untuk mengingati
Tuhan? Dan firman Allah Ta'ala :
(Wa laa takun minal ghaafiliin).
Artinya : "Dan janganlah engkau termasuk orang-orang lengah". (S.
Al-A'raaf, ayat 205).
adalah suatu larangan, dan dhahiriyahnya
menunjukkan kepada pengharaman.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :
(Hattaa ta'Iamuu maa taquuluun)
Artinya : "Sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan".(S.
An-Nisa', ayat 43)
adalah alasan bagi larangan meminum minuman yang memabukkan. Dan
memabukkan itu sering terjadi pada orang yang alpa, yang karam dengan
kesangsian dan pikiran-pikiran duniawi. Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
إنما الصلاة تمسكن وتواضع
(Innamash shalaatu tamaskunun
wa-tawaadlu' )
Artinya : "Sesungguhnya shalat itu ialah ketetapan dan kerendahan hati",
adalah pembatasan dengan adanya alif dan lam pada
kata-kata shalaatu itu (yang berarti adanya shalat itu, terbatas dengan adanya
ketetapan dan kerendahan hati). Dan kata-kata innamaa (sesungguhnya), berarti : penegasan dan penguatan, Dan dipahami oleh para ahli fiqih dari
sabda Nabi صلى الله عليه وسلم Sesungguhnya syuf'ah (1) ialah pada benda yang tiada dapat dibagikan
", adalah itu pembatasan, itsbat
(positif) dan nafi (negatif).
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Barangsiapa tidak dicegahkan oleh shalatnya dari perbuatan yang
keji dan mungkar,maka tidaklah ia bertambah dekat, kepada Allah melainkan
bertambah jauh" . Dan shalat orang yang lalai itu, tidaklah mencegah
daripada kekejian dan kemungkaran.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
كم من قائم حظه من صلاته التعب
والنصب
(Kam min qaa-imin, hadhdhuhu min shalaatihit
ta-'abu wan nashabu)
Artinya : "Berapa banyak orang yang menegakkan shalat, memperoleh letih dan
payah saja daripada shalat". (2) Dan tidaklah dimaksudkan oleh Nabi صلى
الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم , dengan ucapannya itu, melainkan orang yang alpa.
1)Syuffah; yaitu : memiliki
bahagian dari hak milik kongsi, dengan menggantikan harganya yang telah
dijualnya kepada orang lain, la boleh menggantikan harganya Itu dengan tampa
izin dan persetujuan dari kongslnya dan dari orang yang membelinya, asal
benda itu benda tetap, tidak bisa dibagi, umpamanya : rumah dan tanah. Maka
ulama fiqih memahami hadits itu-bahwa ia mengandung pembatasan, artinya
terbatas syuf'ah pada yang tidak dapat dibagi saia, mengandung itsbat (positif)
artinya : adanya syuf'ah pada benda yang tidak bisa dibagi (benda tetap) dan
mengandung nafi (negatif), artinya : tidak adanya syuf'ah pada benda yang
bisa dibagi (benda yang bergerak). —Peny.
(2) Dirawikan An-Nasa-i dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah.
|
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
ليس للعبد من صلاته إلا ما عقل
منها
(Laisa lil-'abdi min shalaatihi illaa maa
'aqala minha).
Artinya : "Tiadalah bagi hamba daripada shalatnya, melainkan yang ada akal
pikirannya pada shalat itu". (1)
Dan yang diyakini bahwa orang yang
mengerjakan shalat itu adalah bermunajah dengan Tuhannya 'Azza wa Jalla,
sebagaimana yang tersebut pada hadits. Dan berkata-kata dengan alpa, tidaklah
sekali-kali dapat dinamakan munajah.
Jelasnya, bahwa zakat kalau alpalah manusia daripadanya umpamanya, maka zakat itu
sendiri adalah menyalahi bagi hawa-nafsu dan berat atas diri seseorang.
Demikian juga puasa, yang memaksakan
bagi kekuatan, menghancurkan kekuasaan hawa-nafsu yang menjadi alat bagi setan
musuh Allah. Maka tiadalah jauh bahwa berhasil maksud daripada zakat itu serta
alpa.
Begitu pula hajji, segala amal perbuatannya adalah sulit dan berat. Di dalamnya
dari mujahadah, diperoleh kesakitan, adakah hati itu hadlir beserta segala
perbuatannya atau tidak?
Adapun shalat, maka tak ada padanya selain daripada dzikir, bacaan, ruku',
sujud, berdiri dan duduk.
Adapun dzikir adalah bercakap-cakap dan bermunajah serta Allah Ta'ala.
Maksud daripadanya, adakalanya berhadapan
dan bercakap-cakap. Atau dimaksudkan
daripadanya huruf-huruf dan suara-suara, sebagai ujian bagi lisan dengan amal perbuatan. Sebagaimana diuji
perut dan kemaluan dengan menahan (imsak) pada puasa. Dan sebagaimana diuji
tubuh dengan segala kesulitan waktu mengerjakan hajji. Dan diuji hati dengan
kesulitan mengeluarkan zakat dan melepaskan harta yang dirindukan.
Dan tak ragu lagi bahwa bahagian ini
batal. Sesungguhnya menggerakkan lisan dengan kelengahan, alangkah ringannya
kepada orang yang alpa. Sebab, tak ada padanya ujian dari segi perbuatan. Tetapi yang dimaksudkan ialah huruf-huruf dari segi ia diucapkan. Dan
tidaklah itu dinamakan ucapan,
kecuali apabila melahirkan apa yang terkandung di dalam hati (dlamir). Dan
tidak ada itu dilahirkan, kecuali dengan kehadliran
hati. Maka apakah artinya اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ: "Ihdinash shiraathal mustaqiim"
(Tunjukilah aku jalan yang lurus),
apabila hati itu alpa. Apabila tidak dimaksudkan untuk merendahkan diri dan
berdo'a? Maka manakah kesulitan pada menggerakkan lisan untuk membacanya serta
alpa itu? Apa lagi kalau sudah dibiasakan!.
(1)
Kata Al-lraqi, bahwa la tidak mandapati hadits ini marfu'.
|
Demikian, mengenai dzikir-dzikir
itu. Bahkan aku mengatakan, jikalau bersumpahlah seseorang dengan mengatakan :
"Demi Allah, aku akan mengucapkan terima kasih kepada si Anu, aku puji dia
dan aku mintakan sesuatu keperluan padanya". Kemudian berlakulah kata-kata
yang menunjukkan kepada maksud-maksud itu, dengan lidahnya waktu ia sedang
tidur, maka tidaklah ia terkena dengan sumpah itu. Dan jikalau berlaku
kata-kata itu dengan lidahnya di dalam gelap dan si Anu itu hadlir di situ,
sedang ia tidak mengetahuinya dan tidak melihatnya, maka tidaklah ia terkena
dengan sumpahnya. Karena tidaklah kata-katanya itu ditujukan dan dituturkan
kepada si Anu, selama dia itu tidak hadlir di dalam hatinya.
Jikalau kata-kata itu keluar pada
lidahnya dan si Anu itu hadlir, pada siang hari, di mana yang mengucapkan itu
sedang alpa, karam di dalam kerusuhan, dengan beraneka macam pikiran dan tak
ada maksudnya menghadapkan kata-kata tadi kepada si Anu itu ketika mengucapkannya,
niscaya tidaklah ia terkena pada sumpahnya itu.
Dan tidak syak lagi bahwa yang dimaksud
daripada pembacaan dan dzikir-dzikir itu ialah : pujian, sanjungan, tadlarru' (merendahkan diri) dan do'a.
Dan yang dihadapi dengan pembicaraan itu
ialah Allah 'Azza wa Jalla. Dan hati
orang itu dengan hijab kealpaan, adalah terhijab daripada Allah Ta'ala, tiada
melihat dan tiada menyaksikanNya, bahkan ia alpa daripada Yang Ditujukan itu.
Lidahnya bergerak adalah disebabkan kebiasaan saja.
Maka alangkah jauhnya ini daripada yang
dimaksudkan dengan shalat yang disuruh oleh Agama untuk mengasah hati,
membarukan ingatan kepada Allah Ta'ala dan meneguhkan ikatan iman kepadaNya
Inilah hukum bacaan dan dzikir!.
Kesimpulannya, maka inti ini tiada jalan
untuk menentangnya pada pembacaan dan membedakannya daripada perbuatan.
Adapun ruku' dan sujud,
maka yang dimaksudkan dengan keduanya itu, ialah mengagungkan semata-mata. Jikalau bolehlah meng-agungkan Allah
'Azza wa Jalla dengan perbuatan, sedang ia alpa daripadaNya, maka boleh pulalah
ia mengagungkan patung yang terletak dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya.
Atau mengagungkan dinding tembok yang ada dihadapannya, sedang ia alpa
daripadanya. Dan apabila keluar daripada adanya pengagungan itu, maka tidaklah
tinggal, selain daripada semata-mata gerakan punggung dan kepala. Dan tak ada
padanya kesukaran yang dimaksudkan oleh ujian padanya. Kemudian dijadikan semua
itu tiang agama dan pemisah
diantara kufur dan Islam. Dan didahulukannya dari hajji dan ibadah-ibadah lain dan
diwajibkan bunuh dengan sebab meninggalkannya pada khususnya. Dan aku tidak
melihat bahwa kebesaran yang demikian agung seluruhnya untuk shalat itu, dari
segi amal perbuatan dhahiriyahnya, melainkan karena ditambahkan kepadanya maksud munajah itu, Maka yang
demikian itulah,yang mendahulukannya daripada puasa, zakat, hajji dan lainnya.
Bahkan daripada segala pengorbanan dan kurban, yang menjadi mujahadah dengan
hawa nafsu dengan pengurangan harta. Berfirman Allah Ta'ala :
(Lan yanaalallaaha luhuumuhaa wa laa
dimaa-uhaa wa laakin ya-naaluhut taqwaa minkum).
Artinya : "Tidak akan sampai daging dan darahnya itu kepada Tuhan, hanya yang
sampai kepada Tuhan ialah taqwa (kepatuhan menjalankan kewajiban) dari
kamu".(Al-Hajj ayat 37).
Artinya : suatu sifat yang menguasai
hati, sehingga membawanya kepada menuruti segala perintah yang dituntut,
Maka bagaimana urusannya mengenai shalat
itu, apakah tiada tujuan pada segala amal perbuatannya?
Inilah yang menunjukkan tentang arti
disyaratkan kehadiran hati itu!
Kalau anda mengatakan, bahwa jika kita
tetapkan dengan batal shalat dan kita jadikan kehadliran hati itu menjadi
syarat pada shah shalat, niscaya kita telah
menyalahi ijma' ulama fiqih. Karena mereka itu tiada mensyaratkan
kehadliran hati, selain ketika takbiratul-ihram.
Maka ketahuilah kiranya bahwa telah
diterangkan pada Kitab Ilmu dahulu,
bahwa ulama-ulama fiqih itu tiada mengurus mengenai bathin dan tiada membuka
persoalan hati dan jalan akhirat. Tetapi mereka mem bangun yang dhahir dari
hukum-hukum Agama, pada yang dhahir dari perbuatan-perbuatan anggota badan. Dan
perbuatan-perbuatan dhahir itu, adalah mencukupi untuk tidak dihukum bunuh dan
tidak disiksa oleh sultan (penguasa).
Adapun tentang bermanfa'atnya di akhirat,
maka ini tidaklah termasuk dalam perbatasan ilmu
fiqih, sehingga tidak memungkinkan untuk didakwakan ijma'. Telah dinukilkan
dari Bisyr bin Al-Harits, menurut yang diriwayatkan Abu Thalib Al-Makki dari
Sufyan Ats-Tsuri, bahwa Sufyan Ats-Tsuri berkata : "Siapa yang tiada
khusyu', maka tidak shah shalatnya".
Diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa Al-Hasan berkata :
"Tiap-tiap shalat yang tidak hadlir padanya hati, maka shalat itu lebih
mencepatkan kepada siksaan".
Diriwayatkan dari Ma'az bin Jabal : "Barangsiapa mengenai
orang di kanannya dan di kirinya dengan sengaja, sedang ia di dalam shalat,
maka tak ada shalat baginya".
Dan diriwayatkan pula oleh Ma'az suatu hadits musnad, bahwa Rasulullah صلى
الله عليه وسلم . bersabda :
إن العبد ليصلي الصلاة لا يكتب له
نصفها ولا ثلثها ولا ربعها ولا خمسها ولا سدسها ولا عشرها وكان يقول إنما يكتب
للعبد من صلاته ما عقل منها (Innal'abda layushallish shalaata laa yuktabu lahu sudsuhaa wa
laa 'usyruhaa wa innamaa yuktabu Iil-'abdi min shalaatihi maa 'aqala minhaa).
Artinya : "Bahwa hamba untuk mengerjakan shalat, tidaklah dituliskan baginya
seperenam dari shalat itu dan tidak sepersepuluhnya. Hanya dituliskan bagi
hamba itu daripada shalatnya, apa yang di pergunakan akalnya daripadanya",(1)
Dan ini kalau dinukilkan dari orang lain,
tentu telah dijadikan madzhab. Maka
bagaimanakah tidak menjadi perpegangan?
Berkata Abdul-Wahid bin Zaid : "Telah ijma' (sepakat)
para ulama, bahwa tiada bagi hamba daripada shalatnya, selain apa yang dipergunakannya
akal padanya. Lalu pendapat itu dijadikan ijma'
Apa yang dinukilkan dari sejenis ini,
daripada para ulama fuqaha yang wara' dan para ulama akhirat, adalah lebih
banyak daripada dapat dihinggakan.
(1) Dirawikan Abu Dawud, An-Nasa-i dan Ibnu
Hibban dari 'Ammar bin Yasir.
حديث إن عمار بن ياسر صلى فأخفها فقيل له خففت يا أبا
اليقظان الحديث وفيه إن العبد ليصلي صلاة لا يكتب له نصفها ولا ثلثها إلى آخره
أخرجه أحمد بإسناد صحيح
|
Yang benar, ialah kembali kepada
dalil-dalil syari'at, hadits dan atsar yang jelas mengenai syarat ini. Tetapi
kedudukan fatwa mengenai taklif yang
dhahir itu, diukur menurut ukuran kesanggupan manusia. Maka tidak mungkin
disyaratkan kepada orang banyak, untuk menghadlirkan hatinya di dalam
keseluruhan shalat. Karena yang demikian itu, adalah seluruh manusia lemah
daripadanya, kecuali jumlah yang sedikit.
Apabila tidak mungkin disyaratkan
meratanya kehadliran hati itu, karena kesulitan tersebut, maka tiada jalan
keluar selain daripada disyaratkan sekedar
nama kehadliran hati itu, walaupun pada masa
sekejap saja. Dan masa sekejap yang paling utama itu, ialah detik takbiratul-ihram. Dari itu, kita
singkatkan taklif (dimestikan) dengan yang demikian.
Dalam pada itu, kita mengharap bahwa
tidak adalah keadaan orang yang alpa di dalam keseluruhan shalatnya, seperti
keadaan orang meninggalkan kehadliran hati itu secara keseluruhan. Karena orang yang alpa itu umumnya,
tampil mengerjakannya pada dhahir dan menghadlirkan hatinya sekejap mata. Bagaimanakah tidak demikian? Orang yang mengerjakan shalat, serta
berhadats (tidak berwudlu), karena lupa, maka shalatnya itu batal pada sisi
Allah Ta'ala. Tetapi baginya pahala sekedar perbuatannya, keteledoran dan
halangan yang dihadapinya.
Dan beserta harapan yang di atas tadi,
maka ditakuti keadaan orang yang alpa
itu lebih memburuk dari keadaan orang yang meninggalkan kehadliran hati.
Bagaimana tidak? Orang yang datang melakukan pengkhidmatan dan berbuat sembrono
tiba dihadapan, berkata-kata dengan kata-kata orang
alpa, yang hina, adalah lebih buruk keadaannya dari orang yang tidak melakukan
pengkhidmatan sama sekali.
Dan apabila berlawananlah diantara sebab takut dan sebab harap dan jadilah hal itu berbahaya pada dirinya, maka
terserahlah kepada kita kemudian, memilihnya diantara berhati-hati dan
mempermu-dah-mudahkan. Dan dalam pada itu, tidak diharapkan menyalahi ulama
fiqih, yang berfatwa shahnya shalat serta alpa itu. Karena yang demikian adalah
sebahagian daripada yang penting difatwakan, sebagaimana telah diperingatkan
dahulu.
Siapa yang mengenai
kunci rahasia shalat niscaya mengetahui bahwa kealpaan itu berlawanan dengan shalat. Tetapi telah kami sebutkan
pada "Bab Perbedaan antara Ilmu
Bathin dan Ilmu Dhahir pada Kitab
Qaidah-qaidah 'Aqidah, bahwa kurangnya kesanggupan
manusia adalah
salah satu sebab yang mencegah daripada penegasan segala apa yang terbuka dari
rahasia syari'at.
Maka kami ringkaskan pembahasan sekedar
ini karena mencukupilah kiranya bagi murid yang menuntut jalan akhirat. Tetapi
bagi orang membangkang yang bemiat buruk, maka tiadalah maksud kami menghadapinya
sekarang.
Pendek kata, bahwa kehadliran hati adalah
nyawa shalat. Dan sekurang-kurangnya yang membuat nyawa itu tidak keluar, ialah
hadlir-nya hati itu ketika takbiratul-ihram.
Maka kurang dari itu adalah membinasakan. Dan semakin bertambah lagi, maka semakin
me-ngembang nyawa itu di dalam segala bahagian shalat, Berapa banyak orang yang
hidup yang tidak dapat bergerak lagi, yang mendekati kepada kematian. Maka
shalat orang yang alpa itu, di dalam keselu-ruhannya selain ketika takbir,
adalah seumpama orang hidup yang tak ada geraknya lagi. Kita bermohon kepada
Allah akan pertolong-an yang baik!.