Mendengar Nyanyian
J2K08
penjelasan : Dalil orang-orang yang
mengatakan, diharamkan mendengar nyanyian dan jawaban terhadap dalil-dalill
itu.
Mereka itu berdalil dengan firman Allah Ta’ala :
وَمِنَ النَّاسِ
مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ
(Wa minan-naasi man yasytarii lahwal -hadiits).
Artinya : "Dan diantara manusia itu ada orang yang
membeli cerita kosong(S. Luqman, ayat 6).
Ibnu Mas'ud ra., Al-Hasan Al-Bashari ra. dan An-Nakha-'i ra.
mengatakan, bahwa ceritera kosong ialah : nyanyian, 'A-isyah ra. meriwayatkan,
bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
إن الله تعالى
حرم القينة وبيعها وثمنها وتعليمها
(Innallaaha ta-'aala harramal-qainata wa bai-'ahaa wa
tsamanahaa wa ta'-liimahaa).
Artinya : "Bahwa Allah Ta*ala mengharamkan al-qainah'
men jual, harga dan mengajarkannya(1)
Kami berkata, adapun "al-qainah yang dimaksudkan dengan
al-qainah itu, ialah : budak perempuan yang menyanyi untuk laki-laki pada
tempat minuman (bar). Dan telah kami sebutkan bahwa nyanyian wanita ajnabiah
(bukan keluarga yang haram dikawini) untuk orang-orang fasiq dan orang-orang
yang ditakuti akan datang fitnah, adalah haram. Dan tiada mereka maksudkan
dengan fitnah, selainsesuatu yang terlarang.
Adapun nyanyian seorang budak perempuan untuk pemiliknya,
maka tidak terpaham pengharamannya dari hadits ini. Bahkan bagi bukan
pemiliknya boleh mendengar ketika tiada fitnah, berdalilkan apa yang
diriwayatkan pada Ash-Shahihain (Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim), tentang
nyanyian dua budak perempuan di rumah'A-isyah ra.
Adapun membeli cerita kosong dengan Agama menjadi harganya,
sebagai gantian dengan cerita kosong itu, untuk menyesatkan dari jalan Allah,
maka adalah haram yang tercela. Dan tidak ada pada- nya pertikaian pendapat.
Dan tidaklah semua nyanyian itu ganti Agama yang dijualkan dan yang menyesatkan
dari jalan Allah Ta'ala. Dan itulah yang dimaksud pada Ayat di atas. Jikalau
diba- cakan Al-Qur-an untuk menyesatkan dari jalan Allah, niscaya haram juga.
(1) Dirawikan Ath-Thabrani
dari 'A-isyah. dengan isnad dla'if.
|
628
|
Diceriterakan tentang setengah orang-orang munafiq, bahwa ia
meng-imam-i shalat orang banyak dan tidak dibacanya, selain surat "'Abasa".
Karena ada pada surat itu, teguran kepada Ra sulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Lalu 'Umar ra. bercita-cita membunuhnya.
Dan memandang perbuatan munafiq itu haram, menyesatkan. Dari itu, menyesatkan
dengan sya'ir dan nyanyian adalah lebih utama mengharamkannya. Mereka yang
berpendapat demikian mengambil dalil dengan firman Allah Ta'ala
Maka
apakah kamu merasa heran terhadap bacaan ini?
|
أَفَمِنْ
هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ
|
59
|
Dan
kamu mentertawakan dan tidak menangis?
|
وَتَضْحَكُونَ
وَلا تَبْكُونَ
|
60
|
Sedang
kamu melengahkan (nya)?
|
وَأَنْتُمْ
سَامِدُونَ
|
61
|
(Afamin haadzaal-hadiitsi ta'-jabuuna wa tadl-hakuuna wa laa
tabkuuna wa antum saamiduun).
Artinya : "Apakah kamu merasa heran terhadap
bacaan ini? Dan kamu akan tertawa dan tiada menangis? Sedang kamu tiada memperhatikannya?".
(S. An-Najm, ayat 59 - 60 - 61).
Ibnu 'Abbas ra. berkata : "Yaitu ' nyanyian menurut bahasa
Himyar" حمير, Maksudnya,
kata-kata : as-samdu. (1)
Maka kami menjawab, bahwa seyogialah diharamkan juga tertawa dan
tidak menangis. Karena diantara ayat di atas, melengkapi yang demikian.
Jikalau dikatakan, bahwa yang demikian itu khusus dengan
pener- tawaari terhadap kaum musiimin, karena ke-lslam-an mereka. Maka ini juga
khusus dengan sya'ir dan nyanyian mereka, dalam hal memperolok-olokan kaum
musiimin, sebagaimana Allah Ta'ala
berfirman:
Dan
penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang jahat.
|
وَالشُّعَرَاءُ
يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
|
224
|
(Wasy-syu-'araa-u
yattabi- ihumul-ghaawuun).Artinya : "Dan penyair-penyair itu,
di-ikuti oleh orang-orang jahat (S. Asy-Syu'ara, ayat 224).
(1) Pada ayat ketiga di atas,
yang artinya : "Sedang kamu tiada memperhatikannya". Bahasa aslinya
(bahasa Arab) : "Wa antum saamidun". Kata-kata "saamidun’’
berasal dari "as-samdu". Dan "as-samdu" itu, menurut
bahasa suku حمير Himyar,
ialah menyanyi. Sehingga ayat "Wa antum saamidun", mempunyai arti :
"Sedang kamu menyanyi". (Pent.).
|
629
|
Yang dimaksudkan, ialah : penya'ir-penya'ir kafir. Dan tidak
menunjukkan yang demikian kepada pengharaman menyusun sya'ir itu sendiri.
Mereka mengambil dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Jabir ra., bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Adalah Iblis orang
pertama yang menangis dengan memekik-mekik dan orang pertama yang
menyanyi-nyanyi). Dan hadits ini telah mengumpulkan diantara tangisan
dengan memekik-mekik dan nyanyian. Kami menjawab, bahwa tak dapat tidak, sebagaimana
dikecualikan daripadanya tangisan dengan memekik-mekik Daud as. dan tangisan
dengan memekik-mekik orang-orang yang berdosa di atas kesalahan mereka. Maka
demikian juga dikecualikan nyanyian yang dimaksudkan untuk menggerakkan
kegembiraan, kesedihan dan kerinduan, di mana diperbolehkan penggerakan itu.
Bahkan sebagaimana dikecualikan nyanyian dua orang budak wanita pada hari Raya
di rumah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. dan nyanyian kaum wanita ketika tiba Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. di Madinah dengan mengucapkan : Telah
terbitkepada kita bulan purnama raya, dari bukit Tsaniyyatil wada'.
Dan mereka mengambil dalil pula, dengan apa yang diriwayatkan
oleh Abu 'Umamah dari Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., bahwa beliau bersabda : ‘’Tidaklah seseorang
meninggikan suaranya dengan nyanyian, melainkan diutuskan oleh Allah kepadanya
dua sethan di atas kedua bahunya. Kedua sethan itu memukul dada orang tadi
dengan tumitnya, sehingga orang itu berhenti’’ (2)
Kami menjawab, bahwa yang demikian itu ditempatkan kepada
sebagian macam nyanyian yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu : nyanyian yang
menggerakkan hati kepada nafsu-syahwat dan kerinduan orang banyak, yang menjadi
tujuan sethan. Adapun yang digerakkan oleh kerinduan kepada Allah atau oleh
kegembiraain dengan hari raya atau oleh kelahiran anak atau kedatangan orang
dari jauh, maka ini semuanya berlawanan dengan maksud sethan, berdalilkan
kissah dua budak wanita dan orang Habsyi dan hadits-hadits yang kami
nukilkan dari hadits-hadits shahih.
(1) Menurut
Al-Iraqi, beliau .tidak menjumpai hadits ini dari Jabir. Dan diterangkan oleh
Shahibul Firdaus, dari 'Ali bin Abi Thalib dan tidak disebutkan oleh anaknya
tentang masnadnya.
|
(2) Dirawikan
Ibnu Abid-Dun-ya dan Ath-Thabrani, hadits dla'if.
|
630
|
Maka pembolehan pada suatu tempat, adalah menjadi nash
tentang pembolehan (ibahah). Dan pelarangan pada seribu tempat, adaiah suatu kemungkinan
bagi penta’wilan dan suatu kemungkinan bagi penempatan menurut keadaannya.
Adapun perbuatan, maka tak ada mempunyai penta'wilan. Karena
apa yang diharamkan memperbuatnya, sesungguhnya dihalalkan, disebabkan datang
paksaan saja. Dan apa yang diperbolehkan memperbuatnya, akan diharamkan dengan
sebab-sebab mendataing yang banyak, sampai kepada niat-niat dan maksud-maksud.
Dan mereka mengambil dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh 'Uqbah bin 'Amir,
bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Tiap-tiap
sesuatu yang dimainkan oleh laki-laki adalah batil, kecuali mengajari kuda
nya,melempari busurnya dan bermain-main dengan isterinya(1)
Kami menjawab, bahwa sabdanya : batil, tidaklah menunjukkan
kepada haram. Tetapi menunjukkan kepada : tidak berfaedah. Dan kadang-kadang
dapat diterima yang demikian, berdasarkan bahwa bermain-main melihat orang
Habsyi itu adalah diluar dari yang tiga tadi. Dan tidak haram. Bahkan
dihubungkan yang tidak terbatas, dengan yang terbatas, karena di-qias-kan,
seperti sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. : "Tidak halal darah orang Islam, kecuali dengan
salah satu dari tiga sebab". Maka dihubungkan dengan salah satu
dari tiga itu, akan yang ke-empat dan yang kelima. Maka seperti itu juga
bermain-main dengan isterinya. Tak ada faedah padanya, selain kesenangan. Dan
pada ini menunjukkan, Bahwa bersenang-senang di kebun-kebun, mendengar suara
burung dan bermacam-macam permainan yang dimainkan laki-laki, tidaklah
diharamkan suatupun daripadanya, walaupun boleh disifatkan dengan batil.
Dan mereka mengambil dalil dengan perkataan utsman ra. : "Tiada
aku menyanyi, tiada aku berangan-angan dan tiada aku sentuh kemaluanku dengan
tangan kananku, sejak aku bersumpah ta'at setia kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.".
Kami menjawab, maka tentulah berangan-angan dan menyentuh
kemaluan dengan tangan kanan itu haram hukumnya, jikalau itu menjadi dalil
mengharamkan nyanyian. Maka dari manakah dapat ditetapkan, bahwa 'Utsman ra.
tidak meninggalkan selain yang haram?.
(1) Dirawikan oleh
pengarang-pengarang "As-Sunan", seperti "As-Sunan"
karangan At-Tirmidzi dan lain-lain. Dan pada hadits ini terdapat kekacauan
perawi.
|
631
|
Dari mereka mengambil dalil dengan perkataan Ibnu Mas'ud ra.
bahwa : nyanyian itu menumbuhkan nifaq di dalam hati. Dan setengah mereka
menambahkan : seperti air menumbuhkan sayur- sayuran.
Setengah mereka mengatakan bahwa perkataan Ibnu Mas'ud ra. di
atas tadi, berasal dari sabda Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (hadits-marfu’). Dan itu tidak benar (ghairu-shahih).
Mereka mengatakan, bahwa telah datang kepada Ibnu 'Umar ra.
suatu kaum yang sedang ihram hajji. Dan dalam rombongan itu- terdapat seorang
laki-laki yang menyanyi. Maka Ibnu 'Umar ra. berkata : "Ketahuilah!
Kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu! Ketahuilah! Kiranya Allah tidak
memperdengarkan. bagimu!".
Dari Nafi', di mana ia berkata : "Aku berada
bersama Ibnu 'Umar ra. pada suatu jalan. Lalu ia mendengar seruling
penggembala. Maka diletakkannya kedua anak jarinya dalam kedua telinganya.
Kemudian ia berpaling dari jalan itu. Dan selalu ia mengatakan ; "Wahai
Nafi'! Adakah engkau mendengar itu?". Sehingga aku mengatakan :
"Tidak!". Maka barulah ia mengeluarkan kedua anak jarinya. Dan
berkata: "Begitulah akumelihat Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berbuat!".
Al-Fudlail bin 'Iyadl ra. berkata : "Nyanyian itu
perangsang bagi zina". Setengah mereka berkata : "Nyanyian ialah
utusan dari utusan-utusan penzina". Yazid bin Al-Walid berkata :
"Awaslah dari nyanyian!
Sesungguhnya nyanyian itu mengurangkan malu, menambahkan
nafsu-syahwat dan meruntuhkan muruah. Nyanyian itu menggantikan khamar dan
memperbuat apa yang diper- buat oleh mabuk. Jikalau kamu tak boleh tidak
memperbuatnya, maka jauhkanlah nyanyian itu dari-wanita! Karena nyanyian itu
mengajak kepada perzinaan".
Maka kami jawab, bahwa perkataan Ibnu Mas'ud ra.: nyanyian
itu menumbuhkan nifaq, dimaksudkan ialah pada pihak penyanyi. Maka"
nyanyian itu pada pihak si penyanyi menumbuhkan nifaq. Karena seluruh
maksudnya, ialah mempertontonkan dirinya kepada orang lain dan menawarkan
suaranya kepada orang lain. Dan senantiasa ia bersikap munafiq dan berbuat
sayang kepada manusia, agar manusia itu menyukai nyanyiannya. Juga yang
demikian itu tidak mewajibkan pengharaman. Maka sesungguhnya memakai pakaian
yang cantik, mengendarai kuda yang cepat lari, berbagai perhiasan lainnya,
bermegah-megahan dengan tanaman, binatang ternak, tumbuh-tumbuhan dan yang lain
dari itu, adalah menumbuhkan nifaq dan ria di dalam hati. Dan tidaklah secara
mutlak dikatakan haramnya semua itu. Maka tidaklah yang menjadi sebab pada
lahirnya nifaq di dalam hati itu, perbuatan ma'shiat saja. Bahkan perbuatan
mubah yang menjadi tempat sorotan makhluq ramai, adalah lebih banyak membekas-
nya. Karena itulah 'Umar ra. turun dari kudayang cepat* laxi yang sedang
dikendarainya. Dan memotong ekornya, karena ia merasa sombong dalam hatinya
karena bagus larihya kuda itu. Maka nifaq ini termasuk hal-hal mubah.
632
|
Adapun perkataan Ibnu 'Umar ra. : "Ketahuilah!
Kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu", tidaklah menunjukkan
kepada haram dari segi nyanyiannya. Tetapi mereka itu sedang mengerjakan ihram
hajji. Dan tidaklah layak mereka itu bercakap kotor. Dan jelaslah dari khayalan
mereka, bahwa pendengaran mereka tidaklah karena kesan yang mendalam dan
kerinduan hati berkunjung ke Baitullah (Ka'bah). Akan tetapi karena permainan
semata-mata. Maka ditantang yang demikian terhadap para rom- bongan yang sedang
ihram itu. Karena nyanyian itu menjadi perbuatan munkar, dilihat kepada
hal-ihwal mereka dan hal-ihwal ihram. Ceritera-ceritera tentang hal-ihwal
tersebut, banyaklah terdapat segi-segi kemungkinan padanya.
Adapun Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. meletakkan kedua anak jarinya ke dalam kedua teiinganya, maka
ditantang pengharamannya oleh karena Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak menyuruh Naff ra. berbuat yang demikian. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak menentang Nafi' ra.
mendengarkannya. Sesungguhnya beliau berbuat demikian, karena beliau memandang
untuk mensucikan (at-tanzih) pendengaran nya sekarang juga. Dan mensucikan hatinya
dari suara, yang kadang-kadang menggerakkan permainan dan mencegahnya dari
pemikiran yang ada padanya atau dzikir, yang lebih utama lagi dari pemikiran
itu.
Dan seperti itu pula perbuatan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., di mana beliau tidak melarang Ibnu 'Umar
ra., adalah tidak pula menunjukkan kepada pengharamannya. Bahkan menunjukkan,
bahwa yang lebih utama, ialah meninggalkan nyanyian itu. Dan kami berpendapat,
bahwa yang lebih utama ialah meninggalkan nyanyiani itu, pada kebanyakan hal.
Bahkan kebanyakan hal-ihwal dunia yang mubah, yang lebih utama ialah
meninggalkannya, apabila diketahui yang demikian itumembekas dalam hati.
Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. sesudah selesai
dari shalat, membuka kain Abi Jahm. Karena ada padanya gambaran-gambaran
bendera,yang mengganggu hatinya.
633
|
Apakah anda berpendapat, bahwa yang demikian itu menunjukkan
kepada haramnya gambaran-gambaran bendera atas kain? Mungkin Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berada dalam keadaan, di mana bunyi
seruling penggembala mengganggukannya atas keadaan itu, sebagaimana bendera
mengganggukannya dari shalat. Bahkan perlunya mengobar-ngobarkan hal-hal yang
mulia pada hati, dengan jalan mendengar nyanyian itu, suatu keteledoran, bagi
orang yang berkekalan menyaksikan kebenaran. Walaupun ia bersifat sempuma
dibandingkan kepada orang lain.
Karena itulah, Al-Hashri berkata: "Apakah yang akan
aku perbuat dengan mendengar yang terputus, apabila telah mati orang yang
didengarkan nyanyian daripadanya?". Itu adalah suatu isyarat, bahwa
mendengar daripada Allah Ta'ala adalah yang kekal. Nabi- nabi as. berada
terus-menerus pada kesenangan mendengar dan menyaksikan. Mereka tidak
memerlukan kepada menggerakkan- nya dengan sesuatu daya-upaya.
Adapun perkataan Al-Fudlail : nyanyian itu perangsang bagi perzinaan,
dan begitu pula lainnya dari perkataan-perkataan yang mendekati nyanyian, maka
perkataan itu ditempatkan pada pendengaran orang-orang fasiq dan pemuda-pemuda
yang berkobarkobar hawa-nafsunya, walaupun yang demikian itu adalah umum.
Karena apa yang telah didengar dari dua budak wanita pada rumah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Adapun qias (analogi), maka kesudahan apa yang
disebutkan, ialah diqiaskan kepada rebab. Dan telah disebutkan perbedaannva.
Atau dikatakan, bahwa nyanyian itu ialah senda-gurau dan per- mainan. Dan
benarlah yang demikian. Bahkan dunia seluruhnya ialah senda-gurau dan
permainan. 'Umar ra. berkata kepada isterinya : "Engkau sesungguhnya, alat
permainan di sudut rumah". Dan semua permainan bersama wanita adalah
senda-gurau, selain bersetubuh yang menjadi sebab adanya anak. Dan begitu pula
senda-gurau yang tak ada padanya kekejian adalah halal. Dinukilkan yang
demikian dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. dan dari para shahabat, sebagaimana akan datang uraiannya pada
"Kitab Bahaya Lidah", insya Allah.
Dan manakah permainan yang melebihi dari permainan orang
Habsyi dan orang Hitam? Tentang permainan mereka itu, telah jelas dengan nash
pembolehannya. Dan aku mengatakan, bahwa permainan itu menyenangkan bagi hati
dan meringankan beban pikiran. Dan hati apabila dipaksakan, niscaya buta.
Menyenangkan-
634
|
nya adalah pertolongan baginya untuk rajin. Orang yang rajiri
mempelajari ilmu umpamanya seyogialah beristirahat (berlibur) pada hari Jum'ah.
Karena berlibur sehari membangkitkan kerajinan pada hari-hari yang lain. Orang
yang rajin mengerjakan shalat sunat pada waktu-waktu yang lain, seyogialah
berlibur pada sebahagian waktu. Dan karena itulah dimakruhkan shalat pada
sebaha gian waktu.
Maka liburan itu menolong kepada pekerjaan. Dan permainan itu
menolong kepada kesungguhan. Dan tidak adalah yang sabar kepada semata-mata
kesungguhan dan kebenaran yang pahit, selain daripada jiwa (diri) nabi-nabi as.
Maka permainan itu adalah obat bagi hati daripada penyakit
kepa- yahan dan kebosanan. Maka seyogialah permainan itu mubah (diperbolehkan).
Tetapi tiada seyogialah, bahwa memperbanyak permainan, sebagaimaria tiada
memperbanyak obat. Jadi, berdasarkan niat ini jadilah permainan itu qurbah,
(mende- katkan diri kepada Allah Ta'ala). Ini, terdapat orang yang tiada
digerakkan hatinya oleh mendengar nyanyian itu kepada sifat terpuji yang
diminta menggerakkannya. Bahkan tiada baginya, selain daripada kelezatan dan
kesenangan semata-mata. Maka seyogialah disunatkan baginya permainan, untuk
menyampaikan- nya kepada maksud yang telah kami sebutkan itu. Benar, ini
menunjukkan kepada kekurangan dari puncak kesem- purnaan. Karena orang sempurna
(al-kamil), yaitu : orang yarig tiada berhajat menyenangkan dirinya dengan yang
tidak benar. Bahkan kebaikan orang-orang baik menjadi kejahatan'bagi orang-
orang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala).
Dan orang yang mengetahui ilmu pengobatan hati dan cara-cara melembutkannya
untuk membawanya kepada kebenaran, niscaya pasti mengetahui, bahwa
menyenangkan hati dengan hal-hal seperti di atas adalah merupakan obat yang
berman- fa'at, yang tidak boleh tidak.
635
|
bab
kedua : Tentang bekas mendengar
nyanyian dan adab sopan-santunnya.
Ketahuilah, bahwa permulaan derajat mendengar, ialah memahami
yang didengar dan menempatkannya kepada pengertian yang jatuh ke dalam otak
pendengar. Kemudian, pemahaman itu mem- buahkan rasa yang mendalam. Dan rasa
yang mendalam itu mem- buahkan gerak anggota badan. Maka hendaklah diperhatikan
pada tiga tingkat ini:
Tingkat Pertama : tentang pemahaman. Pemahaman itu berlainan
dengan berlainan keadaan pendengar. Dan pendengar itu mempunyai empat keadaan
:
1. Pendengarannya
itu adalah semata-mata tabiat. Artinya : ia tiada mempunyai apa-apa pada
pendengarannya itu, selain dari- pada kelezatan nyanyian dan lagu. Dan ini
diperbolehkan. Dan itu adalah tingkat pendengaran yang paling rendah. Karena
unta dan orang itu sama dalam hal ini. Demikian juga binatang ternak lainnya.
Bahkan tiada yang membawa kepada perasaan ini, selain oleh hidup. Maka
tiap-tiap yang hidup (hewan) mempunyai macam kesenangan dengan suara-suara yang
merdu.
2. Mendengar dengan memahami isinya. Tetapi
menempatkan pemahaman itu kepada bentuk makhluq, adakalanya : sudah ter- tentu
dan adakalanya : tidak tertentu. Yaitu : pendengaran pemu- da-pemuda dan
orang-orang yang kuat nafsu-syahwatnya. Mereka itu menempatkan yang didengarnya
menurut nafsu-syahwatnya dan yang dikehendaki oleh hal-ihwanya sendiri.
Hal ini adalah yang lebih buruk untuk memperkatakannya,
selain menerangkan keburukannya dan melarangkannya.
3. Ia menempatkan apa yang didengarnya kepada
keadaan dirinya pada Muamalahnya dengan Allah Ta'ala. Dan pertukaran hal-
ihwalnya, sekali pada keadaan tetap tenang, dan lain kali pada keadaan yang
dapat dima'afkan.Dan ini pendengaran murid-murid (orang-orang yang menghendaki
jalan Allah). Lebih-lebih yang masih tingkat permulaan (al-mub- tadi-in).
Sesungguhnya, murid itu sudah pasti mempunyai kehendak, yaitu
: yang menjadi maksudnya. Dan maksudnya itu, ialah mengeiial Allah swt.,
bertemu dan sampai kepada-Nya dengan jalan musya- hadah dengan siir
(menyaksikan dengan rahasia) dan terbuka tutup (terbuka hijab).
636
|
Dalam mencapai mak'sudnya, si murid itu mempunyai jalan yang
akan ditempuhnya, mempunyai manafaat yang harus ia bertekun melaksanakarinya dan
mempunyai hal-hal yang dihadapinya pada mu'amalahnya.
Apabila ia mendengar sebutan cacian atau percakapan,
penerimaan atau penolakan, sambungan silaturrahim atau pemutusan silaturrahim,
pendekatan atau penjauhan, kesedihan kepada yang hilang atau kehausan kepada
yang dinanti, kerinduan kepada yang datang atau mengharap atau putus asa, keliaran
hati atau kejinakan hati, penepatan janji atau pelanggaran janji, ketakutan
bercerai atau kesenangan bersambung, ingatan perhatian yang dikasihi dan penolakan
yang mengintip, berlinangnya air-mata atau berturut-turutnya kesedihan, iamanya
perpisahan atau kembalinya persambungan atau yang Iain-lain, tentang hal-hal
yang dikandung penyifatannya oleh syair-syair, maka tak boleh tidak,
sebahagiannya akan bersesuaiian dengan keadaan si murid mengenai yang
dicarinya. Maka berlakulah yang demikian, sebagaimana berlakunya sentuhan api
yang menyalakan urat hatinya.
Lalu dengan demikian, bernyala-nyalalah
apinya, kuatlah yang membangkitkan kerinduan dan berkobar-kobarlah. Dan dengan
sebabnya itu, ia diserang oleh hal-hal yang menyalahi adat-kebiasaannya.
Dan baginya jalan yang lapang pada menempatkan kata-kata di
atas hal-ihwalnya. Dan tidaklah menjadi keharusan bagi pendengar menjaga maksud
penya'ir dari perkataannya. Tetapi tiap-tiap perkataan itu mempunyai beberapa
bentuk. Dan tiap-tiap yang berpaham mempunyai bahagian-bahagian pada pengutipan
pengertian dari perkataan itu. Dan marilah kami berikan contoh-contoh untuk
penempatan- penempatan dan pemahaman-pemahaman itu. Supaya tidak disangka oleh
orang bodoh, bahwa orang yang mendengar beberapa kuntum sya'ir, yang tersebut
padanya : mulut, pipi dan alis, hanya dipahamkan daripadanya dzahiriahnya saja.
Dan kita tidak memerlukan kepada menyebut cara memahami pengertian-pengertian
dari kuntum-kuntum sya'ir itu.
637
|
Maka pada ceritera orang-orang yang ahli mendengar nyanyian
itu, apa yang terbuka dari yang demikian itu. Sesungguhnya diceritakan, bahwa
setengah mereka mendengar seorang penya'ir itu bermadah.
قال
الرسول غدا تزور فقلت تعقل ما تقول
(Qaalar-rasuulu ghadan tazuu-ru fa qultu ta'-qilu ma
taquulu). Artinya : "Utusan itu berkata : 'Besok yang dicintai akan
datang bertamu ,
Lalu aku bertanya : 'Tahukah anda apa yang anda katakan itu’.
Maka lagu dan perkataan itu amat menggembirakan si pendengar
tadi. Ia mendapat kesan yang mendalam, lalu diulang-ulanginya perkataan itu.
Dan ia meletakkan nun pada tempat ta. Sehingga pantun di atas berobah menjadi: قال الرسول غدا
نزور "Qalarrasuulu ghadan nazuuru", (di atas tadi :
tazuuru تزور. Dan نزور nazuuru,
artinya : kami datang bertamu.). Sehingga pendengar itu jatuh pingsan, karena
bersangatan gembira, lazat dan suka-cita. Ketika telah sembuh, lalu ia ditanyakan
tentang perasaannya itu, dari mana datangnya?.
Ia menjawab : Aku teringat akan sabda Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. :
إن
أهل الجنة يزورون ربهم في كل يوم جمعة مرة
(Inna ahlal-jannati yazuuruuna rabbahum fii kulli yaumi
jum-'atin marratan).
Artinya : "Bahwa ahli sorga itu datang mengunjungi
(datang bertamu) kepada Tuhannya pada tiap-tiap hari Jum’ah sekali(1)
Ar-Ruqi menceriterakan dari Ibnud-Darraj, bahwa Ibnud-Darraj
menerangkan : "Aku dan Ibnul-Futhi melalui sungai Tigris (Ad- Dajlah)
antara Basrah dan Ubullah. Tiba-tiba tampak sebuah istana cantik, mempunyai
pemandangan indah. Pada istana itu kelihatan seorang laki-laki. Dihadapannya
seorang budak wanita yang menyanyi dan bermadah :
Tiap-tiap hari,
engkau berwarna
yang bukan mi,
yang lebih cantik bagi anda.
Tiba-tiba seorang pemuda yang berdiri di bawah pemandangan yang indah itu,
ditangannya sebuah tempat air dari kulit dan pada badannya pakaian buruk,
mendengar nyanyian itu. Lalu berkata : "Wahai budak wanita! Demi Allah dan
demi hidup tuanmu! Apakah engkau tidak mau mengulangi pantun ini
kepadaku?".
(1) Pada pantun itu tersebut
perkataan : tazuuru, lalu si pendengar itu teringat kepada hadits'Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. itu, yang
padanya ada tersebut perkataan : yazuuruuna. Dua perkataan yang amat
berdekatan bunyinya- Lalu dari perkataan : tazuuru, yang berarti, bahwa : si
dia yang dicintai itu akan datang menemuinya, berobah kepada perkataan :
yazuuruuna. yang berartrbahwa : ahli sorga itu akan datang mengunjungi
Tuhannya. Dari itulah, maka ia jatuh pingsan. (Pent.). Hadits ini dirawikan
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
|
638
|
Budak wanita itu lalu mengulanginya. Maka pemuda itu berkata
: "Inilah! Demi Allah, engkau warnai aku bersama Allah dalam hal
keadaanku".
Lalu pemuda itu
memekik-mekik dan meninggal dunia.
Ar-Ruqi meneruskan ceriteranya : "Maka kami mengatakan,
sesungguhnya fardlu telah menerima kami . Lalu kami berhenti. Maka berkatalah
yang empunya istana kepada budak wanitanya : "Engkau merdeka karena Allah
Ta'ala".
Ar-Ruqi meneruskan ceriteranya : "Kemudian,
penduduk kota Basrah datang beramai-ramai. Lalu bershalat janazah kepada pemuda
itu. Setelah selesai menguburkannya, maka yang empunya istana itu berkata :
'Aku mengaku dihadapan saudara-saudara, bahwa semua milikku dipergunakan pada
jalan Allah. Semua budakku merdeka. Dan istana ini untuk jalan Allah' ".
Ar-Ruqi meneruskan ceriteranya : "Kemudian yang
empunya istana itu melemparkan semua pakaiannya. Dan ia bersarung dengan
sehelai kain sarung. Dan berselendang dengan sehelai kain lainnya. Dan terus ia
berjalan menuju entah ke mana. Manusia ramai me- mandang kepadanya, sampai
iahilang dari mata mereka. Dan orang. banyak itu semuanya menangis. Maka
tidaklah terdengar kabar apa-apa lagi tentang orang itu kemudian".
Maksudnya, bahwa orang itu telah menghabiskan waktu .dengan
perihal keadaannya serta Allah Ta'ala. Dan mengetahui kelemahan- nya,untuk
tetap di atas bagus kesopanan dalam pergaulan. Dan rasa kekesalannya^di atas
bulak-balik hatinya dan miringnya dari jalan-jalan kebenaran.
Tatkala pendengarannya diketok oleh sesuatu yang bersesuaian
dengan keadaannya, maka didengarnya daripada Allah Ta'ala, seakan-akan Allah
Ta'ala menghadapkan firman-Nya kepadanya dan berfirman :Tiap-tiap hari engkau
berwarna yang bukan ini yang lebih cantik bagi anda.
Dan orang yang ada pendengarannya dari Allah Ta'ala, atas Allah
dan pada Allah, maka seyogialah bahwa orang itu telah memperkuatkan
undang-undang pengetahuan tentang mengenal Allah Ta'ala dan mengenal
sifat-sifat-Nya. Kalau tidak demikian, niscaya tergurislah baginya
pendengaran tentang hak Allah Ta'ala, apa yang mustahil bagi Allah dan yang
mengkafirkannya.
639
|
Maka pada pendengaran murid yang permulaan (murid-mubtadi)
itu, ada bahayanya. Kecuali apabila murid itu tidak menempatkan apa yang
didengarnya, selain di atas hal-ihwalnya, dari segi yang tiada menyangkut
dengan sifat Allah Ta'ala. Dan contoh kesalahan padanya, ialah pantun tadi itu
sendiri. Jikalau ia mendengar pantun itu pada dirinya dan ia menghadap- kan
perkataannya itu kepada Tuhannya 'Azza wa Jalla, maka ia menyandarkan pewarnaan
itu kepada Allah Ta'ala, Lalu menjadi kafirlah dia.
Kadang-kadang ini terjadi semata-mata kebodohan mutlak, yang
tiada bercampur dengan pendalilan kebenaran. Kadang-kadang terjadinya dari
kebodohan yang ditarik oleh semacam pendalilan kebenaran. Yaitu : bahwa ia
melihat pertukaran keadaan hatinya (jiwanya), bahkan pertukaran keadaan-keadaan
alam lainnya, adalah dari Allah. Dan itu adalah benar. Karena sekali Allah
melapang- kan hatinya dan sekali menyempitkannya. Sekali menyinarkannya dan
sekali menggelapkannya. Sekali mengkasarkannya dan sekali melembutkannya.
Sekali menetapkannya di atas mentha'ati-Nya dan menguatkannya di atas
ketha'atan itu. Dan sekali menguasakan akan sethan ke atas hatinya. Supaya
sethan itu memalingkan hatinya dari jalan kebenaran. Ini semuanya adalah
daripada Allah Ta'ala.
Dan orang yang terbit daripadanya hal-hal yang
bermacam-macam, dalam waktu-waktu yang berdekatan, maka kadang-kadang dikatakan
kepadanya menurut kebiasaan, bahwa orang itu : mempunyai bermacam-macam pikiran
dan berbagai warna. Dan mungkin penya'ir dari sya'ir yang tersebut di atas tadi,
tidak bermaksud lain, selain daripada menyandarkan kekasihnya kepada pewarnaan,
tentang penerimaan dan penolakannya, tentang pendekatan dan penjauhannya.
Dan inilah yang dimaksudkan!.
Maka mendengarkan ini seperti yang demikian terhadap Allah
Ta'ala, adalah kufur semata-mata. Tetapi seyogialah hendaknya diketahui, bahwa
Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarnakan dan Ia tiada berwarna. Ia mengobahkan dan
Ia tiada berobah. Kebalikan dari hamba-Nya.
Dan pengetahuan itu berhasil bagi murid dengan : keimanan
secara taqlid (i'tiqad taqlidi imani). Dan berhasil bagi orang yang berma'
rifah, yang bermata hati, dengan : keyakinan terbuka hakikat kebenaran (yaqin
kasyfi haqiqi).
640
|
Dan itu adalah termasuk keajaiban sifat-sifat keiuhanan.
Dialah yang mengobahkan, tanpa Dia sendiri berobah. Dan tiada tergam- bar yang
demikian, selain pada haq Allah Ta'ala. Bahkan tiap-tiap perobah selain Allah,
maka perobah itu tidak dapat merobahkan sesuatu, selamasesuatuitu tiada
berobah.
Diantara orang-orang yang mempunyai perasaan yang berkesan,
ialah orang yang dikerasi oleh sesuatu keadaan, seperti : mabuk yang dahsyat.
Lalu ia melepaskan lidahnya mencerca Allah Ta'ala. Mengingkari keperkasaan-Nya
terhadap hati dan pembahagian-Nya bagi hal-hal yang mulia secara
berlebih-kurang. Sesungguhnya Allah itu yang membersihkan hati orang-orang
shiddiq dan yang menja- uhkan dari rahmat-Nya, hati orang-orang yang ingkar dan
yang ter- tipu. Maka tiadalah yang melarang, apa yang dianugerahkan-Nya. Dan
tiada yang memberi apa yang dilarang-Nya. Tiadalah putus taufiq kepada
orang-orang kafir karena pelanggaran yang terdahulu. Dan tiadalah putus
pertolongan nabi-nabi as. dengan taufiq dan nur-hidayah-Nya, karena wasilah
yang dahulu. Bahkan Ia berfirman:
وَلَقَدْ
سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ
(Wa laqad sabaqat kalimatunaa
li-'ibaadinal-mursaliin).Artinya : "Dan sesungguhnya perkataan Kami
itu telah berlaku atas hamba-hamba Kami yang diutus (S. Ash-Shaffat, ayat 171).
Dan Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
وَلَكِنْ
حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
(Wa laakin haqqal-qaulu minnii la-amla-anna jahannama minal-
jinnati wannaasi ajma-'iin).
Artinya : "Tetapi perkataan daripada-Ku sebenarnya
akan terjadi : sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan
manusia semuanya' (S. Ash-Sajadah, ayat 13).
Allah Ta'ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ
سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
(Innal-ladziina sabaqat lahum minal-husnaa ulaa-ika 'anhaa
mub-'a- duun).
Artinya : uSesungguhnya
orang-orang yang telah lebih dahulu menerima kebaikan dari Kami, mereka
dijauhkan dari neraka (S. Al-Anbia, ayat 101).
641
|
Jikalau terguris dihatimu, mengapakah berbeda yang dahulu,
sedang mereka itu bersekutu pada ikatan perhambaan yang dipanggil dari
perkhemahan keagungan yang tiada melampaui batas adab?
Sesungguhnya Ia (Allah) tidak ditanyakan daripada apa yang di
perbuat-Nya. Sedang mereka itu ditanyakan.
Demi umurku, beradabnya lisan dan dzahiriah adalah sebahagian
dari yang disanggupi oleh kebanyakan orang. Adapun beradabnya bathiniah (sirr)
daripada menyembunyikan hal-hal yang menjauhkan, dengan perbedaan dzahiriah
ini, mengenai : pendekatan dan penjauhan, pencelakaan dan pembahagiaan, serta
kekalnya kebahagiaan dan kecelakaan untuk selama-lamanya, maka tiadalah yang
kuat melaksanakannya, kecuali para ulama yang mendalam penge- tahuannya.
Karena inilah Nabi Khidlir as. menjawab, tatkala beliau
ditanyakan dari hal mendengar dalam tidur : "Bahwa itu adalah keikhlasan
berkasih-kasihan yang menggelincirkan, yang tiada tetap di atasnya, selain
daripada tapak kaki para ulama. Karena pendengaran itu menggerakkan segala
rahasia hati dan segala yang tersembunyi padanya. Mengacaukan hati, sebagaimana
kekacauan yang ditim- bulkan oleh mabuk yang dahsyat, yang hampir membukakan
ikatan adab dari rahasia bathin. Selain dari orang-orang yang dipeliha- rakan
oleh Allah Ta'ala dengan nur-hidayah-Nya dan kelemah- lembutan
pemeliharaan-Nya.
Karena itulah sebahagian mereka berkata : "Moga-moga
kiranya kita terlepas dari pendengaran ini satu demi satu", Maka
pada pendengaran dari macam ini, terdapat bahaya yang lebih daripada bahaya
pendengaran yang menggerakkan nafsu- syahwat. Karena kesudahan yang itu adalah
ma'shiat, sedang kesudahan dari kesalahan itu di sini ialah kufur. Ketahuilah,
bahwa pemahaman kadang-kadang berbeda menurut hal-ihwal yang mendengar. Lalu
mengeraslah perasaan yang ber- kesan kepada dua pendengar sekuntum sya'ir.
Salah seorang dari keduanya benar pahamnya dan yang lain salah. Atau keduanya
benar. Dan keduanya telah memahami dua pengertian yang berlainan, lagi
berlawanan. Tetapi dibandingkan kepada perbedaan hal- ihwal diantara keduanya
adalah tidak berlawanan. Sebagaimana diceriterakan dari 'Atabah Al-Ghallam, di
mana ia mendengar seorang laki-laki bermadah :
642
|
Maha Suci Tuhan Yang
Maha Menguasai langit. Sesungguhnya orang dalam keeintaan berada dalam keadaan
sulit Lalu 'Atabah menjawab : "Benar engkau!". Dan ada seorang
laki-laki lain yang mendengar, lalu menjawab : "Dusta engkau!".
Maka berkata setengah mereka yang bermata-hati : "Keduanya
itu betul!".
Itulah yang benar. Pembenaran itu, perkataan orang yang
bercinta an yang tidak dimungkinkan dari maksud. Bahkan tercegah, yang
memayahkan dengan cegahan dan ditinggalkan. Dan pendustaan itu, perkataan orang
yang merasa kejinakan hati dengan percintaan, merasa enak bagi apa yang
dideritainya. Disebabkan kesangatan cintanya, yang tiada merasa pembekasan
dengan penderitaan itu. Atau perkataan orang yang bercintaan, yang tiada
tercegah dari maksudnya pada waktu sekarang. Dan tiada merasa bahayanya cegahan
itu pada masa yang akan datang. Yang demikian ddalah karena kerasnya harapan
dan baik sangkaan pada hatinya. Maka dengan berlainannya hal-ihwal ini,
berlainanlah paham. Diceriterakan dari Abil-Qasim bin Marwan dan dia telah
menemani Abu Sa'id Al-Charraz ra. Dan meninggalkan menghadliri pendengaran
pantun-pan tun beberapa tahun iamanya. Lalu Abil-Qasim jmenghadliri suatu
undangan. Dan pada undangan tersebut, seorang laki-laki bermadah :
Orang itu berdiri dalam air kehausan.
Tetapi..................................
la tiada minum.
Lalu bangunlah orang banyak dan mempunyai kesan yang menda-
lam. Tatkala orang banyak itu telah tenang, lalu Abil-Qasim bertanya : kepada
mereka, pengertian apa yang telah jatuh ke dalam lubuk hati mereka, dari
pengertian pantun itu. Mereka itu menunjukkan kepada kehausan, akan hal-ihwal
yang mulia (sifat-sifat yang mulia) dan tidak memperoleh sifat-sifat itu,
sedang sebab-sebab untuk memperolehnya ada. Abil-Qasim tiada merasa puas dengan
jawaban tersebut. Lalu mereka itu bertanya kepada Abil-Qasim : "Apakah
yang ada padamu pada pantun itu?".
643
|
Abil-Qasim menjawab : "Bahwa orang itu berada di
tengah-tengah hal-ihwal (sifat-sifat) itu. Dan ia dimuliakan dengan segala
kemu- liaan dan tiada diberikan kepadanya dari kemuliaan-kemuliaan itu sebesar
biji sawi َ pun.
Ini menunjukkari kepada adanya hakikat di balik segala
hal-ihwal dan kemuliaan itu. Dan segala hal-ihwal itu adalah yang mendahului
dari segala kemuliaan. Dan segala kemuliaan itu memperoleh kesempatan pada
permulaannya segala hal-ihwal. Dan hakikat sesudahnya tiada akan sampai
kepadanya.
Tiada perbedaan antara pengertian yang dipahaminya dan ;apa
yang disebutkan mereka. Selain pada berlebih-kurangnya derajat orang yang
kehausan kepadanya. Karena orang yang tiada memperoleh hal-ihwal yang mulia atau
tiada merasa haus kepadanya, maka jikalau memungkinkan daripadanya, niscaya ia
merasa haus kepada yang sebaliknya dari hal-ihwal yang mulia itu. Maka tiadalah
perbedaan diantara dua pengertian pada pemahamannya. Tetapi perbedaan diantara
dua tingkat (derajat). Asy-Syibli ra. banyak merasa dengan kesan yang mendalam
di atas sekuntum sya'ir ini :
Sayangmu itu menjauhkan diri.
Cintamu itu kebencian.
Silaturrahimmu itu memutuskan tali.
Perdamaianmu itu peperangan.
Pantun ini memungkinkan pendengarannya kepada bermacam- macam
segi. Sebahagiannya benar dan sebahagian lagi batil. Dan arti yang lebih jelas,
ialah memahamkan ini pada makhluq. Bahkan pada dunia keseluruhannya. Bahkan
pada semua, yang selain dari Allah Ta'ala. Sesungguhnya dunia itu memperdayakan,
menipu, membunuh orang-orangnya, bermusuhan dengan mereka pada bathin dan
mendzahirkan rupa kasih-sayang. "Maka tidak memenuhi dunia itu oleh
perkampungan kesukaan, melainkan telah memenuhinya oleh gelombang air
mata". (1), sebagaimana tersebut pada hadits. Dan sebagaimana Ats-Tsa'labi
bermadah pada menyifiatkan dunia :
(1) Dirawikan Ibnul-Mubarak
dari 'Akramah bin 'Ammai, dari Yahya bin Abi Katsir, hadits mursal.
|
644
|
Sesak suaramu tentang dunia,
maka janganlah berbicara dengan dunia ini!.
Janganlah berbicara,
dengan pembunuh orang yang akan engkau
kawini!.
Tiadalah sempurna yang diharap dari dunia,
dengan yang ditakuti padanya.
Yang dibenci dari dunia,
apabila kita perhatikan, adalah kuat
adanya.
Orang-orang yang menyifatkan dunia,
telah berkata banyak tentang dunia,
Padaku dunia itu mempunyai suatu sifat
saja,
demi umurku, yang lebih patut adanya :
Khamar, kesudahannya pakit.
Kendaraan penuh hawa-nafsu.
Apabila engkau sudah merasa lezat,
maka iapun datang menyerbu.
Orang yang cantik,
disukai manusia oleh kecantikannya.
Tetapi mempunyai rahasia yang pelik,
yang jahat sekali apabila ternyata nantinya
Arti kedua : menempatkan pantun itu ke atas dirinya pada hak
Allah Ta'ala. Karena apabila ia bertafakkur, tentang Allah Ta'ala, maka
ma*rifahnya itu kebodohan. Karena tiadalah mereka itu dapat menentukan tentang
Allah dengan ketentuan yang sebenar nya. Tha'atnya akan Allah itu ria. Karena
ia tidak bertaqwa akan Allah dengan taqwa yang sebenarnya: Kecintaannya akan
Allah itu berpenyakit, Karena ia tidak meninggalkan suatupun dari hawa-
nafsunya pada mencintai Allah. Dan orang yang dikehendaki oleh Allah akan
memperoleh kebajikan, niscaya diperlihatkan oleh Allah kepada orang itu segala
keaiban (kekurangan) dirinya. Maka orang itu melihat kebenaran pantun tersebut
pada dirinya, walaupun ia berderajat tinggi dibandingkan dengan orang-orang
yang lalai.
645
|
Karena itulah, Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
لا أحصى ثناء
عليك أنت كما أثنيت على نفسك
(Laa uhshii tsanaa-an 'alaika anta, kamaa atsnaita 'alaa
nafsika).Artinya : "Tiada aku hinggakan pujian kepada Engkau,
sebagaimana Engkau pujikan diri Engkau sendiri". (l)
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. bersabda:
إني لاستغفر الله
في اليوم والليلة سبعين مرة
(Inni la-astaghfirullaaha fil-yaumi wal-lailati sab-'iina
marrah). Artinya : "Sesungguhnya aku meminta ampun pada Allah
sehari- semalam tujuh puluh kali". (2)
Istighfarnya Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (meminta ampunan) adalah dari hal-ihwal. Yaitu :
derajat-derajat yang jauh, dibandingkan kepada hal-ihwal sesudahnya. Walaupun
berdekatan dibandingkan kepada hal-ihwal sebelumnya. Tiadalah kedekatan, selain
masih ada, dibelakangnya kedekatan, yang tiada berkesudahan. Karena jalan yang
dijalani kepada Allah Ta'ala itu tiada berkesudahan. Dan sampai kepada
penghabisan derajat kedekatan itu mustahil.
Arti ketiga ; bahwa ia memandang pada permulaan hal-ihwalnya. Maka ia rela
dengan hal-ihwal itu. Kemudian ia memandang pada akibat-akibatnya, maka ia
menghinakannya. Karena dilihatnya kepada tipuan-tipuan yang tersembunyi
padanya. Lalu ia melihat yang demikian itu dari Allah Ta'ala. Maka ia mendengar
sekuntum sya'ir pada hak Allah Ta'ala, sebagai pengaduan dari qadla' dan qadar.
Ini adalah kufur,
sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan tiada satupun dari pantun, melainkan
mungkin menempatkannya di atas beberapa pengertian. Yang demikian itu menurut
qadar banyaknya pengetahuan dari yang mendengar dan kebersihan hatinya.
Hal ke-empat :
pendengaran orang yang melampaui hal-ihwal dan tingkat-tingkat (al-maqamat).
Lalu ia lenyap daripada memahami selain Allah Ta'ala. Sehingga ia lenyap
daripada dirinya sendiri, hal-ihwalnya dan pergaulannya. Dia adalah seperti
orang keheranan, yang menyelam dalam lautan. "Diri yang
Disaksikan" ('Ainusy- syuhud), yang keadaannya menyerupai dengan
keadaan para wanita yang memotong tangannya pada menyaksikan kecantikan Nabi
Yusuf as. Sehingga mereka itu merasa dahsyat sekali dan hilang perasaan
pancaindranya.
Dari contoh keadaan ini, kaum shufi meibaratkan, bahwa ia
telah fana (lenyap/hilang) dari dirinya sendiri. Manakala telah lenyap dari
dirinya sendiri, maka lebih-lebih lagi lenyap dari orang lain.
(1) Dirawikan
Muslim dan hadits ini sudah diterangkan dahulu.
|
(2) Telah
diterangkan dahulu pada "Bab Dua Tentang Dzikir".
|
646
|
Seakan-akan ia telah fana' dari tiap-tiap sesuatu,
selain dari Yang Maha Esa yang disaksikannya (Al-wahidul-Masyhud). Dan juga ia telah
fana'dari Yang Disaksikan. Karena hati itu juga apabila ber paling kepada Yang
Disaksikan dan kepada dirinya sendiri, sebagai yang raenyaksikan, sesungguhnya
ia telah lupa daripada Yang Disaksikan. Maka orang yang tenggelam dengan yang
dilihatnya tak ada perhatiannya pada waktu tenggelamnya itu kepada peng
lihatannya. Dan kepada matanya, yang dengan matanya itu ia melihatnya. Dan
kepada hatinya, yang dengan hatinya itu ia merasa lezat.
Maka pemabuk tak ada berita baginya dari kemabukannya. Orang
yang merasa kelezatan, tak ada berita baginya dari kelezatannya. Hanya
beritanya dari benda yang dirasakan kelezatannya saja. Contohnya : Pengetahuan
mengenai sesuatu. Maka pengetahuan itu berlainan bagi pengetahuan dengan ilmu
sesuatu itu. Orang yang mengetahui sesuatu, manakala datang kepadanya
pengetahuan dengan ilmu sesuatu itu, niscaya adalah ia telah berpaling dari
sesuatu itu.
Contoh keadaan ini kadang-kadang datang pada diri makhluq.
Dan datang juga pada hak Khaliq. Tetapi menurut biasanya, adalah keadaan itu
seperti kilat yang menyambar, yang tidak tetap dan tidak kekal. Dan jikalau-pun
kekal, niscaya tidak .disanggupi oleh kekuatan manusia ini. Kadang-kadang ia
gementar di bawah berat tekanannya, gementar yang membinasakan dirinya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Abil-Hasan An-Nuri, bahwa ia menghadliri suatu
majelis, Lalu mendengar pantun ini:
Senantiasalah aku menempati suatu tempat
dari kasih-sayangmu,
Amat heranlah hati
ketika menampatinya itu.
Lalu Abil-Hasan berdiri, mendapat kesan yang mendalam dan
berjalan. dengan tak tentu arah. Maka ia jatuh dalam rumpun bambu yang sudah
dipotong. Dan pokok-pokoknya tinggal seperti pedang. Dia beijalan dalam rumpun
bambu itu. Dan ia kembali ke rumah besok pagi. Darah keluar dari dua kakinya,
sehingga bengkak dua tapak kakinya dan dua betisnya. Dan sesudah itu ia dapat
hidup beberapa hari saja dan meninggal dunia. Kiranya Allah merahmatinya!.
647
|
Inilah derajat orang-orang shiddiq pada pemahaman dan
perasaan hati. Itulah derajat yang tertinggi. Karena mendengarkan segala
hal-ihwal itu turun dari derajat kesempurnaan. Ia bercampur dengan sifat-sifat
kemanusiaan. Dan itu adalah semacam keteledoran.
Dan sesungguhnya kesempurnaan (al-kamal), ialah bahwa ia
fana' secara keseluruhan dari dirinya sendiri dan hal-ihwalnya. Ya'ni : ia lupa
akan dirinya. Maka tidak tinggal lagi perhatian kepada dirinya itu, sebagaimana
bagi para wanita, tiada lagi perhatian kepada tangannyadan pisau. Maka ia
mendengar bagi Allah, dengan Allah, pada Allah dan dari Allah.
Inilah martabat orang, yang masuk ke dalam lautan hakikat.
Dan melintasi pantai hal-ihwal dan amal-perbuatan. Bersatu dengan kebersihan
tauhid dan meyakini dengan semata-mata ikhlas, Maka tidak sekali-kali tinggal
padanya suatupun, kemanusiaannya telah padam secara keseluruhan. Dan terus
fana' perhatiannya kepada sifat-sifat kemanusiaannya.
Tidaklah aku maksudkan dengan fana'nya itu fana' tubuhnya.
Akan tetapi fana' hatinya. Dan tidaklah aku maksudkan dengan hati itu, daging
dan darah. Akan tetapi rahasianya yang halus itu mempunyai bandingan yang
tersembunyi kepada hati-dzahir, yang di belakangnya rahasia ruh, di mana
rahasia ruh itu termasuk urusan Allah 'Azza wa Jalla. Diketahui oleh yang
mengetahuinya dan tidak diketahui oleh yang tidak mengetahuinya. Rahasia (sirr)
itu mempunyai wujud. Bentuk wujud itu ialah apa yang datang padanya. Apabila
datang yang lain, maka seolah-olah tiada wujudnya,selain bagi yang datang itu.
Contohnya, ialah cermin yang terang, karena tiada mempunyai
warna pada dirinya. Bahkan warnanya ialah warna benda yang datang padanya.
Demikian juga kaca, di mana kaca itu menerang- kan warna barang yang tetap
padanya. Dan warnanya ialah warna barang yang datang padanya. Ia tiada
mempunyai bentuk pada dirinya. Tetapi bentuknya ialah menerima segala bentuk.
Dan warnanya ialah : keadaan persediaan menerima segala warna itu.
648
|
Dan dilahirkan akan hakikat ini, ya'ni: rahasia hati,
dibandingkan kepada yang datang padanya, oleh madah seorang penya'ir :
Haluslah kaca,
haluslah khamar.
Keduanya serupa,
hingga menjadi samar.
Seolah-olah khamar,
bukan kaca.
Seolah-olah kaca, bukan
khamar
Inilah maqam (derajat) diantara maqam-maqam ilmu-mukasyafah.
Daripadanya jadilah khayalan (fantasi) orang yang menda'wakan hulul dan ittihad
(1). Dan mengatakan : Anal-haqq (2). Dan di sekitar perkataan itu,
berdengunglah perkataan kaum Nasrani yang menda'wakan : kesatuan Tuhan dengan
manusia. Atau berpakaian Tuhan dengan manusia. Atau bertempatnya Tuhan pada
manusia. Menurut bermacam-macam perkataan yang dikatakan mereka.
Itu adalah salah semata-mata! Menyerupai salahnya orang yang
menetapkan kaca dengan rupa merah. Karena nyata pada kaca itu warna merah dari
sebaliknya.
Apabila ini tiada layak dengan ilmu mu’amalah, maka marilah
kita kembali kepada maksud! Dan telah kita sebutkan berlebih-kurangnya derajat (tingkat)
pada memahami yang didengar. Tingkat kedua: Sesudah memahami dan menempatkan
yang dipahami, itulah perasaan yang berkesan. Dan manusia mempunyai perkataan
yangpanjang tentang hakikatnya perasaan yang berkesan ( الوجد Al-Wajd). Ya'ni : orang-orang shufi dan para ahli hikmat, yang
memandang pada segi kesesuaian pendengaran bagi ruh. Maka marilah kami
nukilkan beberapa perkataan dari ucapan mereka. Kemudian kami menyingkapkan
tentang hakikat padanya.
Adapun kaum shufi, maka Dzunnun Al-Masri ra. telah berkata
tentang pendengaran : Bahwa pendengaran itu yang mendatangkan kebenaran, yang
datang mengejutkan hati kepada kebenaran. Maka orang yang mendengarkannya
dengan penuh perhatian, dengan kebenaran, niscaya yaqinlah ia dengan penuh
keyaqinan. Dan orang yang mendengarkannya dengan jiwa zindiq, maka seolah- olah
ia menyeberang dari perasaan yang berkesan itu, dengan terkejutnya hati, kepada
kebenaran. Yaitu yang diperolehnya ketika datangnya yang mendatangkan pendengaran.
Karena pendengaran itu dinamakan : yang mendatangkan kebenaran.
(1) Hulul
حلول, artinya : bertempatnya Tuhan pada makhluq. اتحاد Ittihad, artinya : bersatunya Tuhan dengan makhluq.
|
(2) Anal-haqq,
artinya : Aku itu Haq. Haq salah satu dari nama Tuhan Yang Maha Suci. Artinya
: Yang Besar. (Pent.).
|
649
|
Abul-Husain Ad-Darraj berkata, sebagai menerangkan apa
yang didapatinya pada pendengaran : " الوجد
Al-Wajd
(perasaan yang diperoleh dari pendengaran), ialah : ibarat dari apa yang
diperoleh ketika mendengar Abul-Husain berkata lagi : "Bergoncanglah
pendengaran bagiku pada medan keagungan Allah. Lalu pendengaran itu mengadakan
bagiku akan wujudnya Al-Haq ketika memberi. Lalu memberi minum akan aku dengan
segelas suci-bersih. Lalu aku memperoleh dengan demikian, tempat-tempat
kerelaan. Dia mengeluarkan aku ke kebun-kebun tempat istirahat dan lapangan
luas".
Asy-Syibli ra. berkata : "Pendengaran itu, dzahirnya fitnah
dan bathinnya menjadi ibarat. Barangsiapa mengetahui isyarat, niscaya
bertempatlah padanya pendengaran ibarat. Jikalau tidak, maka terpanggillah
fitnah dan mendatangkan bencana".
Setengah mereka berkata : "Pendengaran itu makanan ruh bagi
ahli ma'r if ah. Karena pendengaran itu suatu sifat yang tergedor dari
aipal-perbuatan lainnya. Diketahui dengan kehalusan tabiat karena halusnya.
Dengan kemurnian rahasia karena kemurniannya dan kelemah-lembutannya pada
ahlinya".
'Amr bin 'Utsman Al-Makki berkata : "Tiadalah terjadi
suatu ibarat di atas cara الوجد
Al-Wajd
(perasaan yang berkesan). Karena الوجد Al-Wajd itu rahasia (sirr)
Allah pada hamba-Nya yang mu'min, yang berkeyaqinan teguh".
Setengah mereka berkata : " الوجد
Al-Wajd
itu terbuka (mukasyafah) dari Al-Haq
Abu Sa'id bin Al-A'rabi berkata :" الوجد Al-Wajd itu pengangkatan hijab, penyaksian yang mengintip (ar-raqib الرقيب ), kedatangan pemahaman, perhatian Yang Ghaib الغيب, percakapan dengan
rahasia dan berjinakan hati dengan Yang Tiada Dijumpai (Al-Mafqud). Yaitu :
fana' engkau di mana saja engkau itu".
Abu Sa'id tadi berkata pula : " الوجد Al-Wajd ialah : permulaan derajat khusus. Yaitu : pusaka pembenaran
dengan Yang Ghaib. Manakala mereka telah merasainya dan cemerlang pada hatinya
Nur-Nya, niscaya hilanglah dari mereka, setiap sangkaan dan keraguan".
Beliau itu berkata pula : "Yang menghijabkan (mendindingkan) dari الوجد
Al-Wajd,
ialah melihat bekas-bekas jiwa dan kegantungannya dengan segala gantungan dan
sebab-sebab. Karena jiwa itu terdin- ding dengan sebab-sebabnya. Apabila
sebab-sebab itu terputus, ingatan bersih, hati jernih, halus dan murni,
pengajaran membekas padanya, bertempat dari munajah pada tempat yangdekat,
diajak berbicara dan dia mendengar ajakan itu dengan telinga yang nyaring, Hati
yang menyaksikan dan rahasia yang nyata, lalu ia menyaksikan apa yang ia kosong
daripadanya, maka itulah yang dikatakan : الوجد Al-Wajd. Karena ia telah memperoleh apa yang tidak
ada padanya".
650
|
Beliau itu berkata pula : " الوجد
Al-Wajd,
ialah apa yang ada, ketika ingatan mengejutkan, atau takut yang menggoncangkan
atau penghinaan atas tergelincir atau percakapan dengan kelemah-lembutan atau
isyarat kepada suatu faedah atau rindu kepada yang ghaib atau sedih atas yang
hilang atau penyesalan kepada yang lalu atau penarikan kepada sesuatu hal atau
memanggil kepada kewajiban atau munajah dengan rahasia. Dan itu,
adalah berhadapan dzahir dengan dzahir, bathin dengan bathin, ghaib dengan
ghaib, rahasia dengan rahasia (sirr dengan sirr), mengeluarkan apa yang
kepunyaan engkau dengan apa yang menjadi kewajiban engkau, daripada apa yang
telah lalu bagi engkau, mengusahakannya. Maka dituliskan yang demikian itu lagi
engkau, sesudah adanya dari engkau. Maka tetaplah tapak kaki engkau, tanpa
tapak kaki. Dan dzikir, tanpa dzikir. Karena adalah Dia yang
memulai dengan segala ni'mat dan yang memerintahkannya. Kepada-Nya-lah kembali
persoalan seluruhnya".
Itulah dzahiriah ilmu الوجد Al-Wajd. Perkataan-perkataan kaum shufi, adalah
banyak dari jenis ini tentang الوجد
Al-Wajd
itu. Adapun kaum hukama(ahli hikmat), setengah mereka berkata : "Dalam
hati ada keutamaan yang mulia, yang tidak sanggup kekuatan, berkata-kata,
mengeluarkannya dengan perkataan. Lalu dikeluarkan oleh jiwa dengan alunan
suara (nyanyian). Manakala nyanyian itu timbul, lalu disukai dan disenangi
kepadanya. Maka dengarkanlah dari jiwa! Bermunajahlah (berbisik-bisik) dengan
jiwa! Dan tinggalkanlah munajah dzahiriah!". Setengah mereka berkata :
"Natijah mendengar ialah membangkitkan pendapat yang lemah. Menarik
pikiran yang hilang. Dan mena- jamkan paham dan pendapat yang tumpul. Sehingga
kembalilah barang yang hilang. Bangkitlah barang yang lemah. Bersihlah barang
yang keruh. Dan bergembiralah pada semua pendapat dan niat. Lalu ia benar dan
tidak salah. Dan ia datang dan tidak terlambat'V Yang lain berkata :
"Sebagaimana pikiran mengetuk pengetahuan kepada yang diketahui. maka
pendengaran itu mengetuk hati kepada alam ruhani".
651
|
|
Setengah mereka menjawab, di mana ia ditanyakan tentang apa
sebabnya bergerak anggota badan secara tabiat atas bunyinya lagu dan
pengaruhnya suara, lalu menjawab : "Yang demikian itu keasyihan akal.
Orang yang asyik akainya tidak memerlukan kepada berbicara dengan yang
diasyikannya (dirindukannya) dengan alat pembicaraan kebendaan. Tetapi ia
berbicara dan berbisik-bisik, dengan senyuman, perhatian, gerakan yang halus
dengan bulu kening, pelupuk mata dan isyarat. Dan ini semua, adalah pembicaraan-pembicara.
Hanya sifatnya itu, ruhaniah. Adapun orang yang asyik kehewanan, makaia memakai
alat tutur yang bertubuh, untuk mengibaratkan dengan demikian, akan buah
dzahiriah kerinduannya yang lemah dan keasyikannya yang hina". Yang lain berkata
: "Orang yang susah hati, hendaklah mendengar nyanyian! Karena jiwa
apabila dimasuki oleh kesusahan, niscaya suramlah cahayanya. Dan apabila
gembira, niscaya cemerlanglah cahayanya dan lahirlah kegembiraannya. Maka
lahirlah kerinduan, dengan qadar penerimaan yang menerima. Yang demikian itu,
dengan qadar bersih dan sucinya daripada penipuan dan pengotoran".
Ucapan-ucapan yang tetap dari ulama-ulama tentang pendengarar
dan perasaan yang berkesan dari pendengaran itu ( الوجد Al-Wajd) adalah banyak. Dan tiada arti memperbanyakkan
mendatangkannya di sini. Maka marilah kita meneruskan pemahaman maksud dari
perkataan الوجد
Al-Wajd
itu!.
Kami menerangkan bahwa : الوجد Al-Wajd, ialah ibarat dari keadaan yang dihasilkan
oleh pendengaran. Dan dia itu yang mendatangkan kebenaran baru, sesudah
pendengaran, yang diperoleh oleh si pendengar dari dirinya. Dan keadaan .itu
tiada terlepas daripada dua bahagian. Yaitu: adakalanya, bahwa ia kembali
kepada mukasyafah dan musyahadah. Yaitu : dari segi pengetahuan dan peringatan.
Dan adakalanya ia kembali kepada perobahan-perobahan dan! hal-ihwal
yang tidak termasuk pengetahuan. Bahkan dia itu, seperti: kerinduan, ketakutan,
kesedihan, kebimbangan, kegembiraan, kegundahan, penyesalan, kelapangan dan
kesempitan hati. Segala hal-ihwal tersebut digerakkan oleh pendengaran dan
dikuat- kannya. Jikalau lemah, di mana tidak membekaskan pada menggerakkan
dzahir atau mendiamkannya atau mengobahkan halnya, sehingga ia bergerak
berlainan dari kebiasaannya atau menunduk- kan kepala atau diam dari melihat,
berbicara dan bergerak dengan berlainan dari kebiasaannya, niscaya tidak
dinamakan : الوجد
Al-Wajd.
652
|
Dan jikalau tampak di atas dzahiriah, maka dinamakan : الوجد
Al-Wajd.
Adakalanya lemah dan adakalanya kuat menurut dzahirnya, pero- bahannya bagi
dzahiriah dan penggera kannya menurut kuat datangnya dan penjagaan dzahiriah
dari perobahan,- menurut kuat- nya orang yang berperasaan itu dan kemampuannya
membatasi anggota tubuhnya.
Kadang-kadang الوجد
Al-Wajd
itu kuat pada bathin. Dan dzahir tidak berobah karena kuatnya yang mempunyai الوجد
Al-Wajd
itu. Kadang- kadang tiada tampak, karena lemahnya yang datang,pendeknya dari
yang menggerakkan dan terbukanya ikatan yang berpegangan satu dengan lainnya.
Kepada pengertian pertama itu di-isyaratkan oleh Abu Sa'id
Al- A'rabi, di mana beliau berkata tentang الوجد Al-Wajd : "Bahwa الوجد
Al-Wajd
itu musyahadah bagi yang mengintip (Ar-Raqib), kehadliran pema- haman dan
pemerhatian yang Ghaib".
Tiada jauhlah, bahwa pendengaran itu adalah sebab untuk
membu- ka sesuatu yang tiada terbuka sebelumnya. Terbukanya (al-kasyaf) itu,
berhasil dengan beberapa sebab :
Diantaranya : peringatan (at-tanbih). Dan pendengaran itu
memperingatkan.
Diantaranya : berobah hal-keadaan, menyaksikan dan
mengetahui- nya. Karena mengetahuinya itu semacam pengetahuan, yang mendatangkan
faedah penjelasan hal-hal, yang tidak diketahui sebelum datangnya.
Diantanmya : kebersiHan hati. Dan pendengaran itu membekas
pada pembersihan hati. Dan kebersihan itu menyebabkan terbuka (al-kasyaf).
Diantaranya : membangkitnya kerajinan hati dengan kekuatan
pendengaran. Maka ia kuat untuk menyaksikan tentang apa yang kurang kekuatannya
sebelum itu. Sebagaimana kuatnya keledai membawa apa yang ia tidak kuat
sebelumnya. Amalan hati ialah menerima al-kasyaf dan memperhatikan segala
rahasia alam malakut. Sebagaimana pekerjaan keledai membawa pikulan-pikulan
yang berat-berat. Maka dengan perantaraan sebab- sebab ini, ia menjadi sebab
al-kasyaf.
653
|
Bahkan hati itu apabila telah bersih, kadang-kadang Al-Haq
membentuk baginya dalam bentuk musyahadah. Atau dalam kata-kata yang teratur
yang mengetuk pendengarannya, yang di-ibaratkan dengan : suara al-haatif
apabila ia berada dalam keadaan tidak tidur. (1). Dan dengan mimpi, apabila
ia berada dalam keadaan tidur. Dan itu adalah sebagian daripada empat puluh
enam bagian dari nubuwwah (kenabian).
Pengetahuan pembuktian yang demikian itu, di luar dari ilmu
mu’amalah. Yang demikian sebagaimana diriwayatkan dari Muhammad-bin Masruq
Al-Baghdadi, di mana beliau berkata : "Pada suatu malam aku keluar di
hari-hari aku masih muda remaja dan aku sedang mabuk minum khamar. Dan aku
menyanyikan nyanyian ini,:
Di Torsina ada kebun penuh kayu-kayuan,
aku tiada pernah lalu di situ.
Tetapi aku heran
orang yang meminum airnya itu.
Lalu aku mendengar suara yang tiada
kelihatan orangnya, menyanyikan :
Dalam neraka jahannam ada air, tiada
seorangpun yang meminumnya, lalu bisa tinggal sesudah itu, perut panjang dalam
rongga tubuhnya.
Muhammad bin Masruq tadi menerangkan : "Itulah yang
menjadi sebab tobatku dan seluruh perhatianku kepada ilmu dan ibadah".
Perhatikanlah, bagaimana membekasnya nyanyian pada membersihkan hati Muhammad
bin Masruq. Sehingga mengumpamakan hakikat kebenaran baginya, tentang sifat
neraka jahannam, dalam kata-kata yang dipahami dan bertimbangan. Dan yang
demikian itu mengetuk pendengaran dzahiriahnya.
Diriwayatkan dari Muslim Al-Abadani, bahwa beliau
menerangkan: "Pada suatu kali, telah datang kepadaku Shalih Al-Marri,
'Atabah Al-Ghallam, Abdul-Wahid bin Zaid dan Muslim Al-Aswari. Mereka itu
semuanya bertempat di tepi pantai 'Abadan. Muslim Al-'Aba- dani meneruskan
ceriteranya. Maka pada suatu malam, aku me- nyediakan makanan untuk mereka.
Lalu aku mengundang mereka makan. Mereka-pun datang. Tatkala aku meletakkan
makanan dihadapan mereka, tiba-tiba salah seorang menyanyikan dengan suara tinggi
nyanyian ini :
(1) Al-Haatif, artinya :
terdengar suaranya dan tiada terlihat orangnya.
|
654
|
Engkau dilalaikan dari negeri yang berkekalan oleh bermacam-macam makanan Kelezatan jiwa disesatkan, oleh yang
tiada mempunyai kemanfa'atan.
Muslim Al-'Abadani
menerangkan seterusnya : "Maka 'Atabah Al-Ghallam memekik dengan suara
keras. Ia jatuh pingsan. Dan orang banyak tinggal di situ. Aku lalu mengangkat
makanan itu. Dan demi Allah, mereka tiada merasakan sesuap-pun
daiipadanya". Sebagaimana terdengar suara al-haatif ketika hati bersih,
maka terlihat juga dengan mata, rupa Nabi Khidr as. Dia merupakan dirinya bagi
segala orang yang berhati bersih, dengan bermacam-macam bentuk. Dan pada contoh
keadaan yang seperti ini, para malaikat merupakan dirinya bagi nabi-nabi as.
Adakalanya di atas hakikat bentuknya. Dan adakalanya di atas contoh yang meniru
sebahagian bentuknya.
Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melihat Jibril as. dua kali dalam bentuknya.
Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menerangkan bahwa
Jibril as. itu menutup- kan tepi langit. Dan itulah yang dimaksudkan dengan
firman Allah Ta'ala :
عَلَّمَهُ
شَدِيدُ الْقُوَى
|
5
|
|
ذُو
مِرَّةٍ فَاسْتَوَى
|
6
|
|
وَهُوَ
بِالأفُقِ الأعْلَى
|
7
|
('Al-lamahu syadiidul-quwaa, dzuu mirratin fastawaa, wa huwa
bil-ufuqil-a'-laa).Artinya : "Dia diberi pelajaran oleh yang sangat
kuat Yang mempunyai kepintaran. Dan dia cukup sempurna. Sedang dia dibagian
yang tinggi dari tepi langit". (S. An-Najm, ayat 5-6-7)sampai
akhir ayat-ayat tersebut.
Pada bersihnya hati seperti hal-hal ini, terjadilah
penglihatan kepada yang tersembunyi bagi hati. Kadang-kadang di-ibaratkan dari
penglihatan itu : mencari firasat (at-tafarrus). Dan karena itulah, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda
اتقوا
فراسة المؤمن فإنه ينظر بنور الله
(Ittaquu firaasatal-mu'mini, fa innahu yandhuru
bi-nuurillaah). Artinya : "Takutilah akan firasat orang mu 'mm.
Karena orang mu’min itu melihat dengan nur Allah".
Diceriterakan, bahwa seorang laki-laki beragama majusi
(penyembah api) mendatangi orang Islam dan menanyakan : "Apakah artinya
sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. : ‘Takutilah akan
firasat orang mu’min ?
Lalu diterangkan kepada orang majusi itu, tafsir hadits itu.
Tetapi tiada memuaskan hatinya penjawaban itu. Sehingga sampailah orang majusi
itu kepada sebahagian syaikh shufi. Maka iapun menanyakan kepada syaikh shufi
itu.
Syaikh shufi itu mengatakan kepadanya: "Maksud hadits
itu ialah : bahwa engkau potong benang kekufuran yang terikat pada pinggang
engkau, di bawah kain engkau".
Lalu majusi itu menjawab : "Benar engkau! Inilah
artinya". Dan orang majusi itupun terus memeluk agama Islam. Dan berkata :
"Sekarang aku tahu, bahwa engkau mu'min dan keimanan engkau itu
benar".
655
|
Dan sebagaimana diceriterakan dari Ibrahim Al-Khawwash, yang
menceriterakan : "Aku berada di Bagdad dalam rombongan orang- orang fakir
dalam masjid jami’ Lalu seorang pemuda yang harum baunya dan cantik wajahnya
datang ke depan. Maka aku berkata kepada teman-temanku : "Menurut
dugaanku, bahwa pemuda itu orang Yahudi", Lalu semua mereka benci kepada
pemuda itu. Maka akupun keluar dan pemuda itupun keluar. Kemudian ia kembali
kepada" orang banyak itu dan bertanya : "Apakah kata Syaikh itu
terhadap aku?". Mereka itu tidak mau menjawab. Lalu ia, mendesak orang
banyak itu. Maka mereka itu berkata kepadanya : "Syaikh mengatakan,
engkau orang Yahudi".
Ibrahim Al-Khawwash meneruskan ceriteranya : "Lalu pemuda itu
datang kepadaku, mencium kedua tanganku, memeluk kepalaku dan memeluk Islam
seraya berkata : 'Kami dapati dalam kitab- kitab kami, bahwa orang shiddiq itu
tidak salah firasatnya. Lalu aku berkata pada diriku, aku uji kaum muslimin.
Lalu aku perhati- kan tingkah-laku mereka. Maka aku berkata, jikalau ada
orang shiddiq pada mereka, maka dalam
golongan inilah. Karena mereka itu mengatakan hadits-Nya yang maha suci dan
membacakan kalam-Nya. Maka ragulah aku di atas mereka itu. Maka tatkala Syaikh
itu melihat kepadaku dan mengambil firasat terhadap diriku, maka tahulah aku,
bahwa syaikh itu orang shiddiq*
Ibrahim Al-Khawwash meneruskan ceriteranya : "Demi
jadilah pemuda itu termasuk orang shufi besar".
656
|
Dan kepada contoh al-kasyaf inilah, isyaratnya sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.:
لولا
أن الشياطين يحومون على قلوب بني آدم لنظروا إلى ملكوت السماء
(Lau-laa annasy-syayaathiina yahuumuuna 'alaa quluubi banii
Aadama lanadharuu ilaa malakuutis-samaa-i).Artinya : "Jikalau
tidaklah sethan-sethan itu mengelilingi hati anak Adam, niscaya mereka itu
memandang kepada alam malakut yang tinggi(1)
Sesungguhnya sethan-sethan itu mengelilingi hati, apabila
hati itu, dipenuhi dengan sifat-sifat tercela. Sesungguhnya sifat-sifat tercela
itu, tempat gembalaan sethan dan tentaranya. Orang yang mem- bersihkan hatinya
dari sifat-sifat itu dan memurnikannya, niscaya sethan tidak berkeliling di
keliling hatinya. Dan kepada inilah isyarat firman Allah Ta'ala :
إِلا
عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
(Illaa 'ibaadaka minhumul-mukhlashiin).Artinya : uSelain
dari hamba Engkau yang suci diantara mereka (S. Al-Hijr, ayat 40).
Dan firman Allah Ta'ala
:
إِنَّ
عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ
(Inna 'ibaadii laisa
laka 'alaihim sulthaan).Artinya : "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku,
tiadalah engkau berkuasa atas mereka (S. Al-Hijr, ayat 42).
Pendengaran itu sebab bagi kebersihan hati. Yaitu jala bagi
kebenaran dengan perantaraan kebersihan itu.
Di atas inilah? ditunjukkan oleh apa yang dirawikan, bahwa
Dzun- nun Al-Mashri ra. masuk ke Bagdad. Maka berkumpullah padanya suatu
golongan dari kaum shufi dan bersama mereka seorang penyanyi. Lalu mereka itu
meminta keizinan Dzun-nun, supaya penya'ir tadi bernyanyi sesuatu untuk mereka.
Dzun-nun mengizinkan mereka untuk yang demikian itu. Lalu penyanyi tadi
bernyanyi :
Kecil hawa-nafsumu,
telah menyiksakan aku.
Maka betapa lagi,
apabila bertambah kuatnya nanti?.
Engkau kumpulkan dalam hatiku,
hawa-nafsu itu.
Sesungguhnya ia dahulu, telah bersekutu.
Tidakkah engkau meratapi,
kepada orang yang berduka-cita
Apabila tertawa orang yang bersenang hati,
lalu ia menangis saja.
(1) Hadits ini telah
diterangkan dahulu pada "Bab Puasa".
|
657
|
Lalu Dzun-nun berdiri dan jatuh tersungkur. Kemudian berdiri
orang lain, seraya berkata: "Dzun-nun yang melihat engkau, ketika engkau
bangun berdiri". Lalu orang itu duduk kembali. Yang demikian itu adalah
penglihatan dari Dzun-nun kepada hatinya, bahwa orang itu memberatkan diri,
berperasaan yang berkesan itu. Maka Dzun-nun memperkenalkan kepadanya, bahwa
orang yang dilihatnya ketika bangun berdiri itu, ialah musuh, dalam berdirinya
itu bukan karena Allah Ta'ala. Jikalau orang itu benar, niscaya dia tidak
duduk.
Jadi, sesungguhnya hasil الوجد Al-Wajd itu kembali kepada : mukasyafah dan kepada
: hal-hal keadaan. Dan ketahuilah bahwa masing-masing dari keduanya itu terbagi
kepada : yang mungkin ditaybirkan (diambil ibarat) ketika sembuh
daripadanya. Dan kepada : yang tidak mungkin sekali-kali diambil ibarat
daripadanya. Mudah-mudahan engkau dapat menjauhkan hal-keadaan atau pengetahuan
yang tiada engkau ketahui akan hakikatnya. Dan tidak mungkin menta'birkan akan
hakikatnya. Maka janganlah engkau menjauhkan yang demikian. Sesungguhnya engkau
akan mendapati dalam hal-keadaan engkau yang dekat beberapa kesaksian untuk
yang demikian.
Adapun pengetahuan, maka banyaklah ahli-fiqh (faqih), yang
dike- mukakan kepadanya dua persoalan yang serupa dalam bentuk. Dan diketahui
oleh faqih itu dengan perasaannya (dzauq), bahwa diantara dua persoalan itu
terdapat perbedaan dalam hukum. Dan apabila diberati untuk menyebutkan segi
perbedaan, niscaya lidah tidak menolongnya untuk mengatakannya, walaupun faqih
tersebut termasuk orang yang paling lancar berbicara. Maka diketahuinya
perbedaan itu dengan perasaannya (dzauq) dan tidak mungkin diucapkannya. Dan
pengetahuannya akan perbedaan itu, ialah pengetahuan yang diperolehnya dalam
hatinya dengan dzauq. Dan ia tidak ragu bahwa mengenai jatuhnya dalam hatinya itu
mempunyai sebab. Dan sebab itu mempunyai hakikat pada sisi Allah Ta'ala. Dan
tidak mungkin ia menerangkan dari hal sebab itu, bukan karena singkat pada
lisannya. Akan tetapi karena halusnya arti pada dirinya, daripada dapat dicapai
oleh kata-kata.
658
|
Dan ini sesungguhnya termasuk diantara yang dapat dipahami
dengan mendalam, oleh orang-orang yang rajin memperhatikan hal-hal yang sulit.
Adapun hal-keadaan, maka berapa banyak manusia yang mendapat
dalam hatinya akan hal-keadaan, pada waktu ia berada dalam keadaan sempit atau
lapang. Dan ia tiada mengetahui sebabnya. Kadang-kadang manusia itu, berpikir
tentang sesuatu. Lalu mem- bekas pada jiwanya sesuatu bekas. Maka ia lupa akan
sebab itu. Dan tinggallah bekas itu pada jiwanya dan ia merasakan dengan bekas
itu.
Kadang-kadang hal-keadaan yang dirasakannya itu suatu
kegembi- raan yang tetap pada jiwanya, disebabkan pemikirannya pada suatu sebab
yang mengharuskan kegembiraan. Atau suatu kesedihan. Lalu yang berpikir itu
lupa padanya. Dan ia merasakan bekas sesudahnya.
Kadang-kadang hal-keadaan itu suatu hal-keadaan yang ganjil,
yang tidak dapat dilahirkan dengan kata-kata : kegembiraan atau kesedihan.
Dan tidak dijumpai baginya kata-kata yang sesuai, yang
menjelas- kan maksudnya. Akan tetapi hanya perasaan pantun yang bertimbangan.
Perbedaan antara pantun yang bertimbangan dan pantun yang
tidak bertimbangan itu, tertentu mengetahuinya bagi sebagian manusia. Tidak
diketahui oleh sebagian yang lain. Yaitu : keadaan yang dapat diketahui oleh
orang yang mempunyai dzauq (perasaan), di mana ia tidak ragu padanya. Ya'ni:
perbedaan antara yang bertimbangan dan yang tidak teratur timbangan suaranya.
Maka tidaklah mungkin memperkatakan perbedaan itu dengan sesuatu yang jelas
maksudnya, bagi orang yang tidak mempunyai dzauq (perasaan) Dan dalam jiwa itu
ada hal-hal yang ganjil, yang ini sifatnya. Bahkan, pengertian-pengertian yang
dikenal dari hal ketakutan, kesedihan dan kegembiraan, sesungguhnya berhasil
pada pendengaran dari nyanyian yang dipahami.
Adapun rebab dan bunyi-bunyian lainnya yang tidak dipahami,
maka sesungguhnya memberi bekas pada jiwa yang mena'jubkan. Dan tidak mungkin
melahirkan dengan kata-kata dari keajaiban bekas-bekas itu. Kadang-kadang
dikatakan dari hal tadi dengan kata-kata i kerinduan. Tetapi kerinduannya itu
tiada diketahui oleh yang mempunyainya, akan yang dirinduinya. Itulah suatu keajaiban!.
659
|
Orang yang menggeletar hatinya dengan mendengar rebab atau
serunai atau yang menyerupainya, tidaklah ia mengetahui kepada apa kerinduannya
itu. Ia memperoleh pada dirinya suatu keadaan, seakan-akan menuntut sesuatu,
yang tiada diketahuinya apakah sesuatu itu. Sehingga terjadilah yang demikian
bagi orang awam dan orang yang tiada keras pada hatinya, baik kecintaan kepada
sesama anak Adam atau kecintaan kepada Allah Ta'ala. Dan ini mempunyai rahasia.
Yaitu : bahwa tiap-tiap kerinduan mempunyai dua rukun (dua sendi) :
Pertama : sifat yang merindui. Yaitu semacam penyesuaian serta
yang dirindui.
Kedua : mengenal yang dirindui dan mengenal caranya sampai
kepada yang dirindui.
Jikalau diperoleh sifat yang menjadi kerinduan dan diperoleh
pengetahuan akan bentuk yang dirindui itu, niscaya persoalannya jelas. Dan
jikalau tidak diperoleh pengetahuan untuk mengetahui yang dirindui dan
diperoleh sifat yang merindukan dan sifat itu menggerakkan hati engkau dan
menyalakan apinya, niscaya tidak mustahil, yang demikian itu mewariskan
kedaftsyatan dan kehe ranan.
Jikalau terjadilah seorang anak Adam itu sendirian, di mana
ia tidak melihat rupa wanita dan tidak mengenal bentuk bersetubuh, kemudian ia
menghadapi kedewasaan dan nafsu syahwat melandai- nya, niscaya ia merasakan
dari dirinya, api nafsu-syahwat. Akan tetapi, ia tidak mengetahui, bahwa ia
rindu kepada bersetubuh. Karena ia tidak mengetahui, bentuk bersetubuh itu. Dan
tidak mengenal bentuk wanita.
Maka seperti itu pula, pada diri anak Adam terdapat
kesesuaian serta alam tinggi dan kelezatan yang dijanjikan pada Sidratul-
Muntaha dan Firdos Tinggi. Hanya ia tidak dapat mengkhayalkan segala hal ini,
kecuali sifat dan namanya. Seperti ia mendengar kata-kata: bersetubuh dan nama
wanita. Dan ia tidak pernah sekali- kali melihat rupa perempuan, rupa laki-laki
dan rupa dirinya sendiri pada cermin, supaya dikenalnya dengan
memperbandingkan. Maka pendengaran itu menggerakkan kerinduan daripadanya. Dan
kebodohan yang bersangatan dan kesibukan dengan duniawi dapat melupakannya akan
dirinya. Melupakannya akan Tuhannya. Dan melupakannya akan tempat kediamannya,
yang dirindui dan dicintainya secara naluri. Maka hatinya ingin menetapkan
sesuatu yang tiada diketahuinya, apakah sesuatu itu? Lalu ia tercengang, heran dan
bergoncang pikirannya. Dan adalah ia seperti orang yang tercekek leher, yang
tiada mengetahui jalan kelepasan daripadanya. Maka inilah dan hal-hal yang serupa
dengan ini, yang tiada diketahui kesempurnaan hakikatnya. Dan tiada mungkin
orang yang ber- sifat dengan hal-hal tersebut, bahwa menjelaskannya.
Sesungguhnya telah jelaslah pembagian الوجد
Al-Wajd
itu kepada : yang mungkin melahirkannya dan kepada : yang tiada mungkin melahir
kannya.
660
|
Dan ketahuilah pula bahwa الوجد Al-Wajd itu terbagi kepada : hajim ( الوجد Al-Wajd itu datang menyerbu, tanpa dengan rasa berat) dan mutakallif
dan dinamakan : at-tawajud ( الوجد Al-Wajd itu datang dengan rasa
berat).
At-tawajud yang dengan rasa berat itu, maka sebahagian
daripadanya tercela. Yaitu yang dimaksudkan dengan demikian itu, ria dan
melahirkan hal-hal yang mulia serta kosong dari sifat-sifat yang mulia itu.
Dan sebahagian daripadanya terpuji. Yaitu : yang menyampaikan
kepada terbawanya hal-hal yang mulia, terusaha dan tertariknya dengan
daya-upaya.
Sesungguhnya usaha itu mempunyai tempat masuk (madkhal) pada
menaiikkan hal-hal yang mulia. Dan karena itulah, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyuruh orang yang tidak datang
tangisnya pada waktu membaca Al-Qur-an, supaya membuat tangis dan membuat
gundah hati ci). Sesungguhnya segala hal-ihwal ini kadang-kadang terasa berat
pada permulaannya. Kemudian menjadi hakikat kenyataan pada akhimya.
Bagaimanakah at-takalluf itu tidak menjadi sebab untuk
menjadi- kan yang'diberati itu sebagai tabiat pada akhirnya? Tiap-tiap orang
yang mempelajari Al-Qur-an, mula-mula menghapalkannya dengan rasa berat. Dan
membacakannya dengan rasa berat serta sempurna- nya perhatian dan kesungguhan
hati. Kemudian yang demikian itu menjadi kebiasaan bagi lidah yang mudah saja
datangnya. Sehingga berjalanlah lidahnya dalam shalat dan lainnya, sedang ia
dalam keadaan lengah. Maka, dibacanya surat Al-Qur-an seluruhnya dan dirinya
kembali kepadanya sesudah selesainya pembacaan itu sampai kepada
penghabisannya. Ia mengetahui bahwa ia membacariya itu dalam keadaan ia sedang
lengah.
1) Hadits ini telah
diterangkan pada "Bab Kedua tentang tilawatil-Qur-an".
|
661
|
Demikian pula penulis yang menulis pada mulanya, dengan
tenaga yang berat. Kemudian tangannya terlatih menulis. Lalu jadilah menulis
itu suatu tabiat baginya. Ia menulis beberapa banyak lem- bar kertas, sedang
hatinya tenggelam dengan pikiran lain. Maka semua sifat yang dibawa oleh jiwa
dan anggota badan, tiada jalan memperolehnya, kecuali pada mulanya dengan rasa
berat dan dibuat-buat. Kemudian dengan dibiasakan, lalu menjadi tabiat. Dan
itulah yang dimaksudkan oleh perkataan setengah mereka : "Adat kebiasaan
itu tabiat yang kelima
Seperti itu pulalah hal-ihwal yang mulia. Tiada seyogialah
bahwa menjadi berputus-asa daripadanya, ketika tidak adanya. Tetapi seyogialah,
bahwa memaksakan diri menariknya dengan pendengaran dan lainnya. Sesungguhnya
dipersaksikan pada adat-kebiasaan orang yang ingin merindukan seseorang dan
belum ia merinduinya. Lalu senantiasalah ia mengulang-ulangi mengingatinya pada
hatinya. Terus-menerus berkekalan memandang kepadanya. Dan me- netapkan pada
dirinya akan sifat-sifat yang disukai dan budi- pekerti yang terpuji pada orang
itu. Sehingga ia merinduinya. Dan melekatlah yang demikian pada hatinya, dalam
keadaan sudah di luar dari batas usahanya. Lalu kemudian, ia ingin melepaskan
diri dari orang itu. Maka tidak dapat terlepas lagi. Maka seperti itu jugalah
mencintai Allah Ta'ala. Rindu menjumpai- Nya. Takut dari kemarahan-Nya. Dan
yang lain-lain dari hal-hal yang mulia. Apabila tiada dipunyai oleh seorang
insan, maka seyogialah memaksakan dirinya menarik sifat-sifat itu, dengan
duduk- duduk bersama orang-orang yang bersifat dengan sifat-sifat terse- but.
Menyaksikan hal-ihwal mereka. Dan memandang baik sifat- sifat mereka pada diri
sendiri. Dan dengan duduk bersama mereka itu pada mendengar segala ucapannya
dan dengan do'a dan merendahkan diri kepada Allah Ta'ala, kiranya Ia
menganugerahkan kepadanya hal tersebut dengan memudahkan baginya segala
sebabnya. Diantara sebab-sebabnya, ialah : mendengar dan duduk bersama
orang-orang shalih, orang-orang yang takut kepada Tuhan, orang- orang yang
berbuat baik, orang-orang yang rindu dan Khusyu' kepada Allah Ta'ala.
662
|
Orang yang suka duduk-duduk dengan seseorang, niscaya berja
lanlah kepadanya sifat-sifat orang itu, tanpa diketahuinya. Dan ditunjukkan
kepada mungkinnya memperoleh kecintaan dan hal- hal lainnya dengan sebab-sebab
itu, oleh sabda Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dalam do'anya :
اللهم
ارزقني حبك وحب من احبك وحب من يقربني إلى حبك
(Allaahuramar-zuqnii hubbaka wa hubba man ahabbaka wa hubba
man yuqarri bunii ilaa hubbika).
Artinya : "Wahai Allah Tuhanku!
Anugerahilah aku mencintai Engkau dan mencintai orang yang mencintai
Engkau dan mencintai orang yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau".(1)
Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. telah bergundah hati kepada berdo'a dalam
mencari kecintaan itu.
Maka inilah penjelasan pembahagian الوجد
Al-Wajd
kepada : mukasyafah dan hal-hal keadaan. Dan pembahagiannya kepada : yang
mungkin menjelaskannya dan kepada ; yang tidak mungkin. Dan pembahagiannya
kepada : al-mutakallaf dan kepada : yang telah menjadi tabiat (al-rriathbu).
(2)
Jikalau engkau bertanya : apa halnya mereka yang tidak lahir الوجد
Al-Wajdnya
ketika mendengar Al-Qur-an. Yaitu : kalam Allah. Dari الوجد
Al-Wajd
itu lahir ketika mendengar nyanyian. Dan itu adalah perkataan
penya'ir-penya'ir. Jikalau yang demikian itu beriar dari kasih- sayangnya Allah
Ta'ala dan tidak batil dari tipuan sethan, niscaya sesungguhnya Al-Qur-an itu
adalah lebih utama dari nyanyian. Kami jawab, bahwa الوجد
Al-Wajd
yang benar, ialah yang terjadi dari bersangatannya mencintai Allah Ta'ala,
benar maksudnya dan rindu menjumpai-Nya. Dan yang demikian itu bergoncang juga
dengan mendengar Al-Qur-an. Dan yang tidak bergoncang dengan mende- dengar
Al-Qur-an, ialah yang mencintai makhluq dan rindu kepadanya.
Yang demikian itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala :
أَلا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(ilaa bidzikrillaahi tathma-innul-quluub).Artinya :
"Ingatlah, bahwa dengan mengingati Allah, hati menjadi tenteram (S.
Ar-Ra'd, ayat 28).
Dan firman Allah Ta'ala : "Allah telah menurunkan pemberitaan
yang sebaik-baiknya, yaitu Kitab (Al-Qurran), isinya serupa dan berulang-ulang.
Seram kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan karenanya, kemudian
itu lembut kulit dan hati mereka untuk mengingati Allah". (S. Az-Zumar,
ayat 23).
1.Hadits ini telah.
diterangkan pada "Bab Do'a".
|
2.Al-Mutakallaf,
yang dikerjakan dengan rasa berat. Al-Matbu’ yang mudah dikerjakan, sebab
telah menjadi tabiatnya.
mks663
|
Semua yang didapati pada jiwa sesudah mendengar, disebabkan'
pendengaran, itulah الوجد
Al-Wajd.
Ketenteraman dan kegoncangan hati, ketakutan dan kelembutan hati, semuanya itu الوجد
Al-Wajd.
Allah Ta'ala
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
(Innamal-mu'-minuunal-ladziina idzaa dzukirallaahu wajilat
quluu-buhum).Artinya : "Sebenarnya orang-orang yang beriman itu,
ialah mereka yang ketika disebut nama Allah hatinya penuh ketakutan(S. Al-
Anfal, ay at 2).
Dan Allah Ta'ala berfirman : "Kalau Al-Qur-an itu
Kami turunkan kepada sebuah gunung, sudah tentu engkau akan melihat gunung itu
tunduk dan belah karena takutnya kepada Allah", (S. Al-Hasyr, ayat 21).
Takut dan khusu' itu adalah الوجد Al-Wajd dari pihak hal-keadaan. Walaupun bukan
dari pihak mukasyafah. Tetapi kadang-kadang, ia menjadi sebab bagi mukasyafah
dan peringatan.
Dan karena inilah Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Hiasilah Al-Qur-an itu dengan suaramu(1)
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. telah bersabda kepada Abu Musa Al-Asy'ari: "Sesungguhnya
telah diberikan kepadanya salah satu daripada seruling kcluarga Nabi Daud
as".
Cerita-cerita yang menunjukkan, bahwa orang-orang yang mempunyai
hati suci itu, banyak yang lahir الوجد
Al-Wajd
kepada mereka ketika mendengar Al-Qur-an. Sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. : ‘’Berubannya aku ialah karena surat Hud
dan surat-surat lain yang serupa dengan surat Hud adalah menerangkan tentang الوجد
Al-Wajd
itu. Karena uban- an itu terjadi dari kesedihan dan ketakutan. Dan itulah الوجد
Al-Wajd.
(2)
(1)
|
Hadits ini sudah diterangkan
dahulu pada "Bab Tilawatil Qur-an".
|
(2)
|
Maksud hadits tersebut, ialah
datangnya ubanan (rambut putih yang menunjukkan tua), dengan membaca surat
Hud dan surat-surat lain yang serupa, di mana di dalamnya tersebut huru-hara
qiyamat, azab, kesusahan dan kepedihan. Karena apabila hal-hal itu memuncak,
maka segeralah orang beruban sebelum waktunya. (Pent.). Hadits itu dirawikan
At-Tirmidzi dari Abi Juhaifah dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas. Kata At-Tirmidzi,
hadits hasan. Dan kata Al-Hakim, shahih menurut syarat hadits yang dirawikan
Al-Bukhari.
|
664
|
|
|
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud ra. membaca dihadapan Rasulullah
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. surat An-Nisa Maka tatkala sampai kepada
firman
فَكَيْفَ
إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ
شَهِيدًا
(Fa kaifa idzaa ji'-naa min kulli ummatin bisyahiidin wa
ji'-naa bika 'alaa ha-ulaa-i syahiidaa).
Artinya : "Bagaimanakah ketika Kami
datangkan kepada ttap ummat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas
ummat ini(S. An-Nisa', ayat 41) — lalu Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Cukup’’ dan kedua matanya
bercucuran air mata,
Pada suatu riwayat Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. membaca ayat ini atau dibacakan orang di sisinya : "Sesungguhnya
di sisi Kami ada rantai yang berat dan api neraka. Dan makanan yang mencekikkan
dan siksa yang pedih". (S. Al-Muzzammil, ayat 12 -13.). Lalu
beliau pingsan.
Pada suatu riwayat Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. membaca : "Kalau mereka Engkau siksa, sesungguhnya
mereka itu adalah hamba-hamba Engkau (S. Al-Maidah, ayat 118. Lalu beliau
menangis. (2)
Adalah Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila telah membaca ayat rahmat (ayat yang isinya tentang
rahmat), lalu beliau berdo'adan bergembira. Kegembiraan itu ialah : الوجد
Al-Wajd.
Dan Allah Ta'ala memuji orang-orang yang mempunyai الوجد
Al-Wajd
(ahlul-wajd) disebabkan Al-Qur-an. Allah Ta'ala berfirman :
وَإِذَا
سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ
الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ
(Wa idzaa sami'-u maa unzila ilar-rasuuli taraa a'-yunahum
tafiidlu minaddam-'i mimmaa 'arafuu minal -haq). Artinya : "Dan
apabila mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau lihat air mata
mereka bercucuran, disebabkan mereka mengenai kebenaran (S, Al-Maidah, ayat
83). Diriwayatkan, bahwa Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengerjakan shalat dan dadanya berbunyi menggelegak seperti
bunyi menggelegaknya periuk.(1)
Adapun yang dinukilkan dari hal alwajd dari para shahabat ra.
dan tabi'in disebabkan Al-Qur-an, banyak sekali. Diantara mereka ada yang
pingsan. Diantara mereka ada yang menangis. Diantara mereka ada yang jatuh
tersungkur. Dan diantara mereka ada yang meninggal dunia pada tersungkurnya
itu.
Diriwayatkan bahwa
Zararah bin Aufa dan dia termasuk golongan tabi'in, menjadi imam shalat orang
banyak dengan penuh rasa malu. Lalu ia membaca ayat:
فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ
(Fa idzaa nuqira fin-naaquur) =
(1) Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
|
(2) Dirawikan
Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr.
|
(3) Dirawikan
Abu Dawud, An-Nasa-i dan At-Tirmidzi dari 'Abdullah bin Asy-Syukhair.
|
665
|
Artinya : "Ketika terompet dibunyikan". (S.
Al-Muddatstsir, ayat 8), maka ia pingsan dan meninggal pada mihrabnya-kiranya
Allah meniminkan rahmat kepadanya. 'Umar ra. mendengar seorang laki-laki
membaca :
إِنَّ
عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
|
7
|
|
مَا
لَهُ مِنْ دَافِعٍ
|
8
|
(Inna 'adzaaba rabbika lawaaqi-'un maa lahuu min
daafi-'in).Artinya: "Sesungguhnya siksaan Tuhan engkau pasti
terjadi. Tiada seorangpun dapat menolaknya" (S. Ath-Thur, ayat 7-8),
lain beliau memekik-mekik dan jatuh tersungkur. Maka beliaupun dibawa pulang ke
rumahnya. Dan terus sakit di rumahnya sebulan lamanya.
Abu Jarir termasuk golongan tabi'in. Shalih Al-Marri
membacakan beberapa ayat Al-Qur-an kepadanya dengan suaranya yang sangat merdu.
Lalu Abu Jarir pingsan dan meninggal dunia. Imam Asy- Syafi-'i ra. mendengar
pembaca Al-Qur-an membaca :
إِنَّ
عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
|
7
|
|
مَا
لَهُ مِنْ دَافِعٍ
|
8
|
(Haadzaa yaumun laa
yanthiquun. Wa laa yu-dzanu lahum fa ya'- tadziruun).Artinya:"Inilah
hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara. Dan kepada mereka tiada
diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan) (S.
Al-Mursalat, ayat 35 - 36), lalu ia jatuh tersungkur.
'Ali bin Al-Fudlail mendengar seorang pembaca Al-Qur-an mem(Yauma
yaquumun-naasu lirabbil-'aalamiin).Artinya : ‘’Dihari manusia berdiri
dihadapan Tuhan semesta alam" (S. Al-Muthaffifin, ayat 6), lalu ia
jatuh. pingsan. Maka Al-Fudlail (ayahnya) berkata : "Allah mengucapkan
terima kasih kepadamu, apa yang diketahui-Nya daripadamu".
666
|
Begitu pula dinukilkan dari segolongan mereka. Dan begitu
pula kaum shufi. Pada suatu malam bulan Ramadlan, Asy-Syibli berada di
masjidnya. Ia mengerjakan shalat di belakang imamnya. Lalu imam itu membaca :
وَلَئِنْ
شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
(Wa lain syi'-naa lanadzhabanna bil-ladzii auhainaa ilaika).Artinya
: "Dan kalau Kami kehendaki niscaya Kami hilangkan (ambil) apa yang
telah Kami wahyukan kepada engkau(S. Al- Isra' ayat 86), maka
Asy-Syibli berteriak-teriak, sehingga orang banyak menyangka bahwa Asy-Syibli
telah terbang nyawanya, merah padam mukanya dan amat takut hatinya. Dia
mengatakan seperti itu, menghadapkan kata-katanya kepada teman-temannya. Dan
banyak kali mengulang-ulanginya yang demikian.
Al-Junaid berkata : "Aku masuk ke tempat Sirri
Al-Suqthi. Aku melihat dihadapannya seorang laki-laki yang telah jatuh
pingsan", Lalu Sirri berkata kepadaku : "Ini adalah orang yang telah
mendengar suatu ayat dari Al-Qur-an, lalu jatuh pingsan". Maka aku
menjawab : "Bacalah kepadanya ayat itu lagi!". Lalu dibacakan, maka
iapun sembuh.
Lalu Sirri bertanya : "Dari manakah sumbernya, maka
engkau mengatakan ini?".
Aku menjawab : "Aku melihat Nabi Ya'qub as. buta matanya
dari karena makhluq. Maka dengan makhluq pula ia dapat melihat kembali. Dan
jikalau butanya dari karena Al-Haq, niscaya ia tidak dapat melihat dengan
sebabnya makhluq". (1) Sirri memandang baik jawaban itu. Dan terhadap apa
yang dikatakan oleh Al-Junaid tadi, ditunjukkan oleh pantun seorang penya'ir :
Segelas khamar aku minum untuk kesenangan. Dan segelas lagi
aku minum untuk pengobatan.
Setengah kaum shufi berkata : "Pada suatu malam aku
membaca ayat ini:
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
(Kullu nafsin dzaa-iqatul-maut)Artinya :
"Tiap-tiap yang bernyawa merasakan kematian (S. 'Ali 'Imran, ayat 185).
Aku ulang-ulangi membacakannya. Tiba-tiba seorang meneriakkan suaranya kepadaku
: "Betapa kalikah engkau sudah mengulang-ulangi ayat itu? Engkau telah
membunuh empat jin, di mana mereka tidak pemah mengangkatkan kepalanya ke
langit, semenjak mereka dijadikan".
(1) Butanya Nabi Ya'qub as.
adalah disebabkan hilangnya Nabi Yusuf as. dan sedih- nya ketika dibawakan kepadanya
baju Nabi Yusuf as. berlumuran darab, Dan kemudian beiiau dapat melihat
kembali dengan dibawakan baju Nabi Yusuf kepadanya. yang menunjukkan Nabi
Yusuf as. masih hidup di Mesir. Dan akan bertemu kembaii dalam waktu dekat.
(Pent.).
|
667
|
Abu 'Ali Al-Maghazili berkata kepada Asy-Syibli: "Kadang-kadang
pendengaranku diketuk oleh suatu ayat dari Kitab Allah Ta'ala. Lalu menghelakan
aku kepada berpaling dari dunia. Kemudian aku kembali kepada hal-keadaanku dan
kepada manusia. Maka aku tiada kekal di atas yang demikian".
Asy-Syibli menjawab : "Apa yang mengetuk
pendengaranmu dari Al-Qur-an, lalu menghelakan kamu kepadanya, adalah
kasih-sayang dari Al-Qur-an kepadamu dan lemah-lembutnya Al-Qur-an kepada- mu.
Apabila ia mengembalikan kamu kepada dirimu sendiri, maka adalah
kasih-sayangnya Al-Qur-an kepadamu, Sesungguhnya tiada yang lebih baik bagimu,
selain daripada memohonkan daya dan upaya untuk menghadapkan diri
kepadanya".
Seorang ahli tashawwuf
mendengar seorang pembaca Al-Qur-an membaca:
يَا
أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
|
27
|
|
ارْجِعِي
إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
|
28
|
(Yaa-ayyatuhannafsul-muthma-innatur-ji-'ii
ilaa rabbiki raadliatan mardliyyah).Artinya : "Hai jiwa yang tenang
tenteram! Kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan)
merasa senang kepadanya(S. Al-Fajr ayat 27 - 28). Lalu meminta pembaca
itu mengulanginya. Kemudian ahli tashawwuf tersebut berkata :
"Berapa kali aku mengatakan kepada jiwa : 'Kembalilah! Dan ia tidak
kembali' ".
Ahli tashawwuf itu mendapat kesan yang mendalam ( الوجد Al-Wajd) dan memekik-mekik. Lalu nyawanya keluar.
Bakr bin Ma'adz
mendengar seorang pembaca Al-Qur-an membaca : (Wa andzirhum yaumal-aazifah)
Artinya : "Peringatkanlah kepada mereka akan hari
yang sudah dekat waktunya". (S. Al-Mu'min, ayat 18). Lalu badannya
gemetar. Kemudian berteriak : "Kasihanilah orang yang telah Engkau
memperingatinya dan tidak menghadap kepada Engkau — sesudah peringatan itu —
dengan menta'ati Engkau!". Kemudian ia pingsan.
Ibrahim bin Adham ra. apabila mendengar seseorang membaca :
إِذَا
السَّمَاءُ انْشَقَّتْ
(Idzas-samaa-unsyaqqat)
Artinya : "Ketika langit belah". (S. Al-Insyiqaq, ayat 1),
lalu sendi-sendinya gemetar, sehingga badannya menjadi gempa.
668
|
Dari Muhammad bin Shubaih, yang berkata : "Ada seorang
laki- laki mandi di sungai Al-Furat. Maka lalulah seorang laki-laki di
وَامْتَازُوا
الْيَوْمَ أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ
(Wamtaazul-yauma ayyuhal-mujrimuun).Artinya :
"Bersisihlah kamu pada hari ini, hai orang-orang yang berdosa! (S. Ya Sin,
ayat 59). Maka orang itu terus gemetar, sehingga tenggelam dalam sungai
dan meninggal dunia. Tersebutlah, bahwa Salman Al-Farisi melihat seorang
pemuda, membaca Al-Qur-an. Maka sampailah pada suatu ayat. Lalu gematarlah
kulit pemuda itu. Salman amat menyukai pemuda tersebut dan tiada diketahuinya
ke mana perginya. Lalu ia bertanya tentang pemuda itu. Ada yang menjawab, bahwa
pemuda tersebut sakit. Lalu Salman datang menziarahinya. Tiba-tiba pemuda itu
dalam keadaan mati. Maka pemuda itu berkata kepada Salman : "Wahai Bapak
'Abdullah! Adakah engkau melihat kegoncangan itu yang ada pada badanku?
Sesungguhnya kegoncangan itu telah datang pada diriku dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Ia menerangkan kepadaku, bahwa Allah Ta'ala telah mengampuni
segala dosaku dengan sebabnya".
Kesimpulannya, tidaklah terlepas orang yang mempunyai hati,
dari الوجد
Al-Wajd
Petika mendengar Al-Qur-an. Jikalau Al-Qur-an itu tidak membekas sedikitpuri
padanya, maka dia "adalah sebagai orang yang memanggil apa-apa yang tidak
bisa mendengar, hanya (mendengar) panggilan dan teriakan saja. Mereka tuli,
bisu dan buta, sebab itu mereka tidak mengerti".(1). Tetapi orang yang
mempunyai hati itu, membekas padanya kata hikmat yang didengarnya. Ja'far
Al-Khuldi menerangkan, bahwa seorang laki-laki dari penduduk Khurasan masuk ke
tempat Al-Junaid. Dan di sisi Al-Junaid banyak orang. Lalu laki-laki itu
bertanya kepada Al-Junaid : "Kapankah sama pada hamba itu, antara yang
memujikannya dan yang mencacikannya?".
Lalu setengah dari syaikh-syaikh itu menjawab : "Apabila
hamba itu masuk ke Al-Bimaristan dan di-ikat dengan dua ikatan". (2)
Lalu Al-Junaid menjawab : "Tidaklah ini termasuk
utusanmu!". Kemudian Al-Junaid memandang laki-laki yang bertanya tadi,
seraya berkata : "Apabila hamba itu meyaqini bahwa dia itu makhluq".
(1) Sesuai
dengan ayat 171, surat Al-Baqarah.
|
(2) Al-Bimaristan,
yaitu : nama tempat, yang ditempatkan padanya orang-orang sakit dan ditahan
di situ orang-orang gila.
|
|
|
669
|
Maka pingsanlah laki-laki yang bertanya itu dan meninggal
dunia. Jikalau anda bertanya, bahwa kalau adalah mendengar Al-Qur-an itu memberi
faedah kepada الوجد
Al-Wajd,
maka mengapakah mereka itu berkumpul untuk mendengar nyanyian dari orang-orang
yang mengada-adakan, tidak daripada para pembaca Al-Qur-an? Seyogialah
hendaknya perhimpunan dan perasaan mereka yang mendalam itu pada halqah (1)
para pembaca Al-Qur-an (para qari'). Tidak dalam halqah para penyanyi. Dan
seyogialah dicari seorang qari', tidak seorang yang mengada-adakan,pada
tiap-tiap perhimpunan dalam semua undangan. Maka sesungguhnya, kalam Allah
sudah pasti—adalah lebih utama dari nyanyian. Ketahuilah, bahwa nyanyian
itu,lebih mengobarkan perasaan ( الوجد Al-Wajd), dibandingkan dengan
Al-Qur-an dari tujuh segi : Segi Pertama : bahwa tidaklah sekalian ayat
Al-Qur-an sesuai dengan perihal pendengar. Dan tidaklah patut untuk pemahaman
dan penempatannya, kepada yang mengena bagi dirinya. Orang yang tertimpa ke
atasnya kesedihan atau kerinduan atau penyesalan, maka dari manakah persesuaian
perihalnya dengan firman Allah
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
(Yuushiikumullaahu fii aulaadikum lidz-dzakari mitslu
hadh-dhil- untsayaini).Artinya : uAllah telah menentukan kepada
kamu (tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu : bagian seorang laki-laki
sama dengan bagian dua orang perempuan (S. An-Nisa*, ayat 11).
Dan firman Allah Ta'ala
:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
(Wal-ladziina yarmuunal-muhshanaat).Artinya : ‘Dan
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yangbersih (S. An-Nur, ayat 4).
Begitu pula sekalian ayat, yang padanya penjelasan
hukum-hukum pusaka, talak, hukum pidana dan lainnya.Sesungguhnya penggerak bagi
apa yang dalam hati, ialah apa yang bersesuaian dengan dia. Dan pantun-pantun
itu disusun oleh para penya'ir untuk melahirkan peri hal-ihwal hati. Maka
tidaklah memerlukan pada memahami perihal hati itu, kepada bersusah- susah.
Benar, orang yang dikuasai atas dirinya, oleh siiatu keadaan
(1) Halqah, yaitu : duduk
bersama dalam bentuk suatu lingkungan bundaran.
|
670
|
yang mengeras, lagi memaksa, niscaya tidak tinggal lagi
padanya suatu lapangan untuk lainnya. Sedang ia sadar dan mempunyai kecerdasan
yang tembus, yang dapat meneliti segala pengertian yang jauh dari kata-katanya.
Maka kadang-kadang keluarlah الوجد
Al-Wajd
(perasaannya yang mendalam) kepada tiap-tiap yang didengar. Seperti orang yang
terguris dalam hatinya ketika menyebut firihan
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ
(Yuushiikumullaahu fii aulaa dikum).Artinya :
"Allah telah meneptukan kepada kamu (tentang pembagian pusaka) untuk
anak-anakmu(S. An-Nisa', ayat 11), akan perihal mati yang memerlukan
kepada wasiat. Dan tiap-tiap manusia — tidak boleh tidak — akan meninggalkan
harta dan anaknya.
Dan keduanya itu adalah kekasihnya dari dunia. Maka ditinggal
kannya salah satu dari dua kekasih tadi (harta) untuk kekasih kedua (anak). Dan
ia sendiri meninggalkan kedua-duanya sekali. Maka keraslah ketakutan dan
kegundahan pada dirinya. Atau ia mendengar sebutan nama Allah pada firman tadi,
lalu ia merasa dahsyat dengan semata-mata penyebutan nama, dari apa yang sebelumnya
dan yang sesudahnya. Atau terguris pada hatinya Rahmat Allah dan kasih-sayang-Nya
kepada hamba-hamba-Nya, dengan penyusunan bahagian pusaka mereka oleh Allah
Ta'ala sendiri. Ia (Allah) memandang kepada mereka, pada kehidupan dan kema-
tian mereka. Lalu ia mengatakan : "Apabila Allah memandang kepada
anak-anak kita sesudah mati kita, maka tidak syak wasangka lagi, bahwa Allah
Ta'ala memandang kepada kita". Maka berko- barlah padanya perihal harapan.
Dan yang demikian itu mempu sakakan baginya kegembiraan dan kesukaan. Atau
terguris dalam
لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
(Lidz-dzakari mitslu hadh-dhil-untsayaini). Artinya :
"Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (S.
An-Nisa', ayat 11), akan kelebihan laki-laki, disebabkan dianya laki-laki, di
atas perempuan. Dan kelebihan di akhirat untuk laki-laki itu, janganlah mereka
dilalaikan oleh per- niagaan dan jual-beli daripada mengingati (berdzikir) akan
Allah. Dan orang yang dilalaikan oleh selain Allah Ta'ala daripada mengingati
Allah Ta'ala, adalah ia sebenarnya sebagian dari perempuan. Tidak sebagian
dari laki-laki. Maka ia takut terhijab (terdinding) atau terkemudian pada
memperoleh ni'mat akhirat, sebagaimana terkemudiannya wanita pada harta dunia.
671
|
Hal-hal yang seperti ini, kadang-kadang menggerakkan الوجد
Al-Wajd.
Tetapi bagi orang yang ada padanya dua sifat: Pertama : suatu keadaan yang
mengerasi, yang menenggelamkan dan yang memaksa.
Kedua : kecerdikan yang bersangatan, kesadaran yang
menyampaikan, yang menyempurnakan peringatan segala hal-keadaan yang dekat
kepada pengertian-pengertian yang jauh. Yang demikian termasuk hal yang sukar.
Maka karena itulah, orang meminta bantuan kepada nyanyian, di mana kata-katanya
berse- suaian dengan keadaan. Sehingga lekaslah berkobarnya. Diriwayatkan bahwa
Abul-Husain An-Nuri berada bersama suatu kumpulan orang banyak, pada suatu
undangan. Lalu berjalanlah diantara mereka pembicaraan suatu masalah ilmu. Dan
Abul-Husain itu diam saja. Kemudian ia mengangkatkan kepalanya dan berpan- tun
dihadapan mereka itu :
Banyaklah burung merpati bernyanyi pada
waktu pagi.
Ia bersedih hati lalu bernyanyi pada
ranting yang tinggi.
Ia teringat akan kesayangannya, pada masa
yang lalu.
Ia menangis karena kesedihannya lalu
membangkitkan kesedihanku.
Maka tangisanku kadang-kadang membawa dia
tidak tertidur.
Dan tangisannya kadang-kadang membawa aku
tidak tertidur.
Kadang-kadang aku mengadu
Tetapi aku tidak dapat memberi pengertian
kepadanya.
Kadang-kadang ia mengadu
tetapi kepadaku ia tidak dapat memberi
pengertiannya.
Kecuali akumengenalinya dengan perasaan,
Dan ia juga mengenali aku dengan perasaan
672
|
Abul-Husain mengatakan, bahwa tiada seorangpun dari orang
banyak itu yang tinggal, melainkan bangun berdiri dan meraper- oleh perasaan
yang mendalam. Dan perasaan mendalam tersebut ( الوجد Al-Wajd), tiada menghasilkan bagi mereka pengetahuan, yang telah
dimasukinya tadi. Walaupun pengetahuan itu secara bersungguh- sungguh dan
benar.
Segi Kedua : bahwa Al-Qur-an itu dihafal oleh kebanyakan orang. Dan
berulang-ulang pada pendengaran dan hati. Tiap kali didengar pada pertama kali,
niscaya besar bekasnya pada hati. Dan pada kali kedua, bekasnya menjadi lemah.
Dan pada kali ketiga, hampir- hampir bekas itu hilang.
Jikalau ditugaskan orang yang mempunyai perasaan yang keras,
untuk mendatangkan perasaannya yang mendalam ( الوجد
Al-Wajd)
pada sekuntum sya'ir terus-menerus, pada berkali-kali yang berdekatan waktunya,
dalam sehari atau seminggu, niscaya tidak mungkinlah yang demikian. Dan kalau
diganti dengan sekuntum sya'ir yang lain, niscaya membarulah bekas pada
hatinya. Walaupun sya'ir yang baru ini melahirkan maksud yang sama. Akan tetapi
adanya susun- an dan kata-kata, yang ganjil, dibandingkan dengan pertama itu,
menggerakkan jiwa. Meskipun pengertiannya satu. Dan tidak adalah kesanggupan
seorang qari untuk membaca Al-Qur-an yang ganjil (yang berlainan) pada setiap
waktu dan undangan.
Sesungguhnya Al-Qur-an
itu terbatas, tidak mungkin menambahkannya. Dan semuanya dihafal yang
berulang-ulang. Dan kepada yang telah kami sebutkan itu, diisyaratkan oleh Abu
Bakar Ash-Shiddiq ra., di mana beliau melihat serombongan Arab desa datang ke
Madinah. Maka mendengar Al-Qur-an dan mereka itu menangis. Maka Abu Bakar ra.
berkata : "Adalah kami seperti kamu. Tetapi hati kami telah
kesat".
Janganlah anda menyangka bahwa hati Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
berada lebih kesat dari hati orang-orang Arab desa itu dan hatinya berada lebih
kosong daripada mencintai Allah Ta'ala dan mencintai Kalam-Nya dibandingkan
dengan hati mereka. Akan tetapi berulang-ulang ke atas hatinya itu, membawa
kelemahan kepadanya dan sedikit membekasnya. Karena kejinakan yang diperolehnya
dengan sebab banyak mendengarnya. Karena mustahil menurut adat-kebiasaan, bahwa
seorang pendengar, yang mendengar suatu ayat yang belum didengarnya sebelumnya,
lalu ia menangis. Kemudian terus-menerus ia menangis pada ayat itu sampai dua
puluh tahun. Kemudian diulang-ulanginya ayat itu dan menangis.
673
|
Tidaklah yang pertama itu berbeda dengan yang akhir, selain
yang pertama itu ganjil dan baru. Dan tiap-tiap yang baru enak. Dan tiap-tiap
yang datang menggoncangkan. Dan tiap-tiap yang disukai, lagi menjinakkan hati,
menentang kegoncangan itu. Dan karena inilah, 'Umar ra. bercita-cita melarang
manusia daripada memba- nyakkan thawaf. Beliau berkata : "Aku takut bahwa
manusia mempermudah-mudahkan Rumah (Ka'bah) ini, artinya : mereka
berjinak-jinakkan hati dengan dia".
Orang yang baru datang untuk melakukan ibadah hajji, lalu
melihat Rumah (Ka'bah) itu pada pertama kalinya, niscaya menangis dan pingsan.
Kadang-kadang ia jatuh tersungkur, tatkala matanya memandang Ka'bah.
Kadang-kadang dengan bermukimnya di Makkah barang sebulan,
lalu tiada merasa bekasnya yang demikian itu pada jiwanya. Jadi penyanyi itu,
sanggup menyanyikan beberapa kuntum sya'ir yang ganjil pada setiap waktu. Dan
qarV itu tidak sanggup pada setiap waktu kepada suatu ayat yang ganjil.
Segi Ketiga : bahwa irama perkataan dengan perasaan sya'ir
itu, memberi bekas pada jiwa. Maka tidaklah suara yang berirama yang bagus,
seperti suara yang bagus yang tidak berirama. sesungguhnya berirama yang
bertimbangan hanya terdapat pada sya'ir. Tidak pada ayat-ayat Al-Qur-an.
Jikalau seorang penyanyi melakukan dengan merangkak-rangkak,
pantun yang dinyanyikannya atau diubahnya nyanyian itu atau diselewengkannya
dari batas jalannya pada nyanyian, niscaya ber- goncanglah hati pendengar. Dan
batal perasaan dan pendengarannya. Dan lari tabi'atnya, karena tidak adanya
kesesuaian. Dan apabila tabi'at itu lari, niscaya bergoncanglah hati dan kacau.
Jadi, timbangan suaralah yang memberi bekas. Maka karena demikian, baiklah
sya'ir.
Segi Ke-empat : bahwa sya'ir yang bertimbangan suara, berlainan pengaruhnya
(bekasnya) pada jiwa, dengan nyanyian-nyanyian yang dinamakan : thuraq (jalan
suara yang tidak menurut semesti- nya) dan dastanat (lagu yang tiada teratur).
Sesungguhnya berlainan jalan suara itu, ialah dengan
memanjang- kan yang pendek, memendekkan yang panjang. Berhenti di tengah
kata-kata, memotong dan menyambung pada sebahagiannya. Perlakuan yang demikian
diperbolehkan pada sya'ir. Dan tidak di- perbolehkan pada Al-Qur-an, selain
membaca (tilaawah) sebagaimana diturunkan. Memendekkan, memanjangkan, memberhentikan
suara (waqf), menyambungkan suara (washl) dan memutuskan suara yang berlainan
daripada yang dikehendaki oleh tilaawah, adalah haram atau makruh.
674
|
Apabila Al-Qur-an dibacakan, sebagaimana diturunkan, niscaya
hilanglah bekas, yang sebabnya irama nyanyian. Yaitu sebab tersendiri pada
pembekasan. Meskipun tidak dipahami artinya. Sebagaimana pada rebab, sending,
serunai dan suara-suara lainnya yang tidak dipahami.
Segi Kelima : bahwa nyanyian yang bertimbangan suara itu dikuat kan dan
diteguhkan dengan bentuk nyanyian yang semestinya dan bunyi-bunyian lain yang
berirama, di luar kerongkongan. Seperti memukul tambur, genderang dan lainnya.
Karena perasaan yang lemah, tidak akan berkobar, selain dengan sebab yang kuat.
Dan sebab itu menjadi kuat, dengan berkumpulnya sebab-sebab itu. Masing-masing
sebab tersebut, mempunyai bahagian pada pembekasan.
Dan Al-Qur-an wajib dijaga dari hal-hal yang seperti itu.
Karena bentuknya pada pandangan umum adalah bentuk senda-gurau dan permainan.
Dan Al-Qur-an adalah kesungguhan seluruhnya pada makhluq umumnya. Maka tidak
boleh dicampurkan dengan kebenaran yang sejati, apa yang-menjadi senda-gurau pada
orang awam. Dan bentuknya, bentuk senda-gurau pada orang-orang tertentu.
Walaupun mereka tiada memandang kepadanya dari segi bahwa dia itu senda-gurau.
Tetapi seyogialah Al-Qur-an itu dimuliakan. Maka ia tidak dibacakan pada
jalanan umum. Akan tetapi" pada tempat majelis yang ditempati. Tidak pada
keadaan sedang beijanabat (berhadats besar) dan dalam keadaan tidak suci. Dan
tidak sanggup menyempurnakan hak kehormatan Al-Qur-an dalam segala hal. Kecuali
orang-orang yang selalu memperhatikan hal-keadaannya sendiri.
Maka ia berpaling kepada nyanyian orang-orang yang tiada mempunyai
perhatian dan pemeliharaan tersebut. Dan karena itulah, tidak diperbolehkan
memukul rebana serta membaca Al-Qur-an pada malam perkawinan.
675
|
Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyuruh. memukul rebana pada perkawinan, dengan sabdanya:
"Lahirkanlah perkawinan itu, walaupun dengan memukul rebana!’’. Atau sabda
tadi dengan kata-kata yang seinak- sud dengan hadits di atas. Dan yang demikian
itu, boleh bersama sya'ir. Tidak bersama Al-Qur-an. Dan karena itulah, tatkala
Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk ke rumah
Ar-Rabi' binti Mu'awwadz dan di sisinya beberapa orang budak wanita sedang
menyanyi, lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. mendengar salah seorang dari mereka mengatakan : "Pada
kita sekarang ada Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi besok",
secara nyanyian. Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :’’Tinggalkanlah perkataan ini dan katakanlah
apa yang telah engkau katakan itu!" (1) Perkataan ini yang
diucapkan wanita tadi adalah pengakuan dengan kenabian. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melarangkannya dan mengembalikannya
kepada nyanyian yang bersifat senda-gurau itu. Karena perkataan ini (yang
menyangkut dengan kenabian), adalah perkataan kesungguhan semata-mata. Maka
tidaklah dibaringi dengan bentuk sendagurau.
Jadi disebabkan yang demikian, dima'afkan penguatan
sebab-sebab yang menjadikan pendengaran itu, penggerak bagi hati. Maka wajib pada
penghormatan tadi, berpaling dari Al-Qur-an kepada nyanyian. Sebagaimana wajib
di atas budak wanita itu berpaling dari kesaksian kenabian, kepada nyanyian.
Segi Ke-enam : kadang-kadang penyanyi itu menyanyikan sekun- tum sya'ir, yang
tiada sesuai dengan keadaan pendengar. Lalu pendengaran itu tiada menyukainya
dan melarangkannya dari pada menyanyikannya. Dan meminta yang lain. Maka
tidaklah semua perkataan itu, sesuai dengan semua keadaan. Jikalau ber
kumpullah orang ramai pada da’wah, dengan seorang qari', maka kadang-kadang
qari' tadi membaca ayat yang tiada bersesuaian dengan keadaan mereka. Karena
Al-Qur-an itu obat bagi manusia semua di dalam keadaan mereka yang
berlain-lainan. Maka ayat rahmat itu obat bagi orang yang takut. Dan ayat azab
itu obat bagi orang yang terpedaya, yang merasa aman. Dan penguraian yang
demikian, termasuk yang panjang uraiannya.
Apabila merasa tiada terpelihara, bahwa yang dibaca itu tiada
akan bersesuaian dengan keadaan dan akan dibenci oleh hawa-nafsu, maka dengan
demikian ia mendatangkan bahaya kebencian kepada Kalam Allah Tayala,
di mana ia tiada mendapat jalan untuk mem- pertahankannya. Maka menjaga dari
bahaya yang demikian itu adalah kehati-hatian yang menyampaikan kepada maksud
dan ke- wajiban yang diperlukan. Karena tidaklah mendapat kelepasan
daripadanya, selain dengan menempatkannya menurut yang bersesuaian dengan
keadaannya. Dan tidak boleh menempatkan Kalam Allah Ta'ala, selain menurut apa
yang dikehendaki Allah Ta'ala.
(1) Dirawikan Al-Bukhari.
|
676
|
Adapun perkataan penya'ir, maka boleh menempatkannya berlain
an dari maksudnya. Lalu padanya bahaya kebencian. Atau bahaya penta'wilan itu
kesalahan bagi penyesuaian dengan keadaan. Maka wajiblah memuliakan Kalam Allah
dan memeliharakannya dari yang demikian.
Inilah yang membekas pada hatiku, tentang sebab-sebab
berpaling- nya para guru (para syaikh) kepada mendengar nyanyian, daripada
mendengar Al-Qur-an.
Di sini ada lagi segi ketujuh yang disebutkan oleh Abu Nashar
As-Siraj Ath-Thusi, tentang kema'afan dari yang demikian. Beliau berkata : "Al-Qur-an
itu Kalam Allah dan salah satu dari sifat- sifat-Nya. Al-Qur-an itu benar,
tiada akan sanggup ditiru oleh sifat manusiawi. Karena Al-Qur-an itu bukan
makhluq. Maka tiada akan sanggup ditiru oleh sifat-sifat makhluq".
Jikalau dibukakan bagi hati sebesar biji صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dari maksud dan kehebatannya, niscaya hati itu merasa pening,
dahsyat dan heran. Dan nyanyian-nyanyiari yang merdu itu bersesuaian dengan
tabi'at. Hubungannya itu adalah hubungan untung, tidak hubungan hak. Dan pantun
itu, hubungannya hubungan untung. Apabila disangkutkan nyanyian dan suara
dengan isyarat-isyarat dan pengertian- pengertian yang halus, dengan apa yang
ada pada kuntum-kuntum sya'ir, yang sebahagiannya sebentuk dengan sebahagian
yang lain, niscaya adalah yang demikian itu lebih mendekati kepada untung dan
lebih ringan kepada hati. Karena keserupaan makhluq dengan makhluq.
Maka selama sifat kemanusiaan itu tetap dan kita dengan
sifat-sifat dan untung kita merasa ni'mat dengan lagu-lagu yang menyedihkan dan
suara yang merdu, maka kegembiraan kita untuk menyaksikan kekekalan untung ini,
kepada kasidah-kasidah, adalah lebih utama daripada kegembiraan kita kepada
Kalam Allah Ta'ala, yang menjadi sifat-Nya dan Kalam-Nya, yang daripada-Nya
mulai dan kepada-Nya kembali.
Inilah hasil maksud dari perkataan dan permohonan
kema'afannya. Diceriterakan dari Abil-Hasan Ad-Darraj, bahwa ia berkata :
"Aku bermaksud datang dari Bagdad kepada Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi,
untuk berkunjung dan bersalaman dengan dia. Ketika aku masuk kota Ar-Razi, lalu
aku bertanya tentang dia. Maka tiap-tiap orang yang aku tanyakan itu menjawab :
'Apakah yang akan engkau perbuat dengan orang zindiq itu?' ".(1)
(1). Zindiq : bathinnya kafir
dan lahirnya mu'min.
|
677
|
Mereka itu menyempitkan dadaku, sehingga aku berazam untuk
pergi. Kemudian, aku berkata pada diriku : "Aku telah melewati jalan ini
semua, maka aku tidak mengatakan untuk melihatnya". Maka terus-meneruslah
aku menanyakan dia, sehingga aku masuk menemukannya dalam suatu masjid. Dan ia
sedang duduk di mihrab. Dihadapannya seorang laki-laki dan ditangannya
Al-Qur-an. Dan ia sedang membacainya.
Rupanya ia seorang tua yang cantik, elok paras dan
janggutnya. Lalu aku bersalam kepadanya. Maka iapun menghadapkan muka nya
kepadaku, seraya berkata : "Dari mana kamu datang?". Aku menjawab :
"Dari Bagdad".
Beliau menyambung : "Apakah yang menyebabkan engkau ke
mari?".
Aku menjawab : "Aku bermaksud kepada tuan, untuk menyam-
paikan salam kepada tuan".
Beliau menjawab : "Jikalau ada pada sebahagian negeri
ini, orang yang mengatakan kepadamu: 'Tinggallah pada kami, sehingga akan kami
belikan bagimu rumah atau budak wanita!', apakah yang demikian itu membawa
engkau duduk, daripada datang kepada kami?".
Aku menjawab : "Tidaklah aku diuji oleh Allah Ta'ala
dengan sesuatu daripada yang demikian. Dan jikalau aku diuji, niscaya aku tidak
tahu, bagaimana jadinya aku ini".
Kemudian bel au berkata kepadaku : " Adakah engkau
merasa baik untuk mengatakan sesuatu?". Aku menjawab : "Ya!'
Lalu beliau berkata : "Keluarkanlah apa yang mau
dikatakan itu!. Maka akupun lalu bermadah :
Aku melihat engkau selalu,
membangun kemuliaan dalam kebencianku.
Jikalaulah ada akal bagiku,
tentu aku runtuhkan apa yang engkau bangun
itu.
Seolah-olah aku dengan kamu
dan "mudah-mudahan" itu yang
terutama perkataanmu.
Ketahuilah, mudah-mudahan beradalah kita
itu, karena "mudah-mudahan" saja tidak mencukup- kan sesuatu.
678
|
Abil-Hasan Ad-Darraj meneruskan ceriteranya : "Lalu
Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi menutupkan Al-Qur-annya. Dan terus-menerus- lah
beliau menangis, sehingga basahlah janggutnya dan kainnya. Sehingga timbullah
belas-kasihanku kepadanya lantaran banyak tangisnya. Kemudian, beliau berkata :
"Wahai anakku! Engkau mencaci penduduk Ar-Razi ini, yang mengatakan, Yusuf
itu zindiq. Inilah aku! Dari shalat pagi aku membaca Al-Qur-an, tiada menitik
sebutirpun air-mataku. Dan telah datanglah qiyamat kepadaku, karena dua kuntum
sya'ir tadi". Jadi hati itu, meskipun ia terbakar dalam kecintaan kepada
Allah Ta'ala, tetapi sekuntum sya'ir yang ganjil itu, menggerakkan hati, apa
yang tidak digerakkaii oleh tilaawah Al-Qur-an.
Yang demikian itu karena bertimbangannya sya'ir dan
bersesuaian dengan tabi'at. Dan karena bersesuaiannya dengan tabi'at, maka manusia
sanggup menyusun sya'ir.
Adapun Al-Qur-an, maka susunannya adalah di luar dari susunan
dan sistemnya kata-kata. Karena itulah, ia mu'jizat, tidak masuk dalam
kesanggupan manusia. Karena tiada kesesuaian bagi tabi'at- nya.
Diriwayatkan, bahwa Israfil — guru dari Dzinnun Al-Misri —
telah masuk ke tempatnya seorang laki-laki. Lalu laki-laki tersebut melihat
Israfil memukul-mukul tanah dengan jarinyadan menyanyikan
sekuntum sya'ir.
Lalu laki-laki itu bertanya kepada Israfil: "Pandaikah
engkau menyanyikan sesuatu?". Israfil itu menjawab : "Tidak!".
Laki-laki itu menyambung : "Engkau itu tanpa
hati!", — sebagai isyarat bahwa orang yang mempunyai hati dan mengetahui
tabi'at hati, niscaya tahu, bahwa itu digerakan oleh pantun-pantun dan
nyanyian-nyanyian, suatu gerakan yang tiada diperoieh pada selain dari pantun
dan nyanyian. Lalu memberati diri akan jalan pengge- rakan itu. Adakalanya
dengan suaranya sendiri atau dengan lainnya. Dan telafi kami sebutkan hukum
tingkat pertama tentang memahami yang didengar dan menempatkannya. Dan hukum
tingkat kedua tentang kesanyang mendalam ( الوجد
Al-Wajd)
yang dijumpai dalam hati.
Maka sekarang marilah kami sebutkan bekas الوجد
Al-Wajd
itu. Yakni : apa yang tersaring daripadanya kepada dzahir, baik terkejut,
tangisan, gerakan badan, pengoyakan kain dan lainnya. Maka kami terangkan :
679
|
TINGKAT KETIGA DARI PENDENGARAN
Akan kami sebut padanya adab-mendengar, dzahir dan bathin.
Dan apa yang terpuji dan apa yang tercela dari bekas-bekas الوجد
Al-Wajd.
Adapun adab, yaitu : lima kesimpulan :
Pertama : menjaga zaman, tempat dan teman. Al-Junaid berkata
: "Pendengaran itu memerlukan kepada tiga perkara. Jikalau tidak, maka
engkau tidak mendengar". Yaitu : zaman, tempat dan teman. Artinya : bahwa
sibuk dengan pendengaran, pada waktu datang makanan atau permusuhan atau shalat
atau sesuatu yang memaling- kan perhatian dari pendengaran serta kekacauan hati
(pikiran), tiada faedah padanya.
Inilah artinya menjaga zaman (masa). Maka pendengaran itu
dijaga dalam keadaan selesainya hati untuk mendengar. Adapun tempat,
kadang-kadang dijalanan yang dijalani orang atau tempat yang buruk bentuknya
atau ada padanya sebab yang raem- bimbangkan hati. Maka hendaklah dijauhkan
yang deriiikian. Adapun teman, maka sebabnya ialah apabila datang yang tidak
sejenis, dari orang yang menantang pendengaran, yang bersikap dzuhud secara
dzahiriah, yang tidak mempunyai perasaan hati yang halus, niscaya adalah yang
demikian itu menjadi berat dalam ma- jelis. Dan membimbangkan hati dengan dia.
Dan seperti itu juga, apabila datang orang yang bersikap sombong dari golongan
dunia- wi, yang memerlukan kepada mengintip "dan memperhatikannya. Atau
datang orang yang memberatkan diri, yang membuat-buat الوجد
Al-Wajd,
dari ahli tashawwuf, yang bersikap ria dengan الوجد Al-Wajd, tarian dan pengrobekan kainnya.
Maka semua itu adalah pengganggu-pengganggu pendengaran.
Meninggalkan pendengaran ketika tidak adanya syarat-syatat ter- sebut di atas
itu lebih utama. Maka pada syarat-syarat itu perhatian kepada pendengar.
Adab Kedua : yaitu perhatian yang hadlir, bahwa syaikh
(guru), apabila ada disekelilingnya murid-murid, yang mendatangkan ke-
melaratan mendengar bagi mereka, maka tiada seyogialah ia melakukan
pendengaran pada waktu kehadliran murid-murid itu. Jikalau ia melakukan
pendengaran, maka hendaklah murid-murid itu disibukkan dengan kesibukan yang
lain.
680
|
Murid yang mendapat kemelaratan dengan mendengar itu, ialah
salah satu dari tiga :
1. Derajat yang paling kurang, yaitu : yang tiada
memperoleh dari jalanan, selain perbuatan dzahiriah. Dan tiada mempunyai perasaan-pendengaran
. Maka kesibukannya dengan pendengaran, adalah kesibukan dengan yang tiada
berfaedah baginya. Karena ia bukan ahli bersenda-gurau, lalu bersenda-gurau.
Tidak dari ahli yang berperasaan, lalu mencari keni'matan dengan perasaan pendengaran.Dari
itu, maka hendaklah bekerja dengan berdzikir atau berkhidmat (melayani
kepentingan umum). Jikalau tidak, maka adalah menyianyiakan waktunya.
2. Yaitu-: yang mempunyai rasa (dzauq)
pendengaran. Tetapi ada padanya sisa bahagian-ketabi 'atan dan perhatian kepada
nafsu- syahwat dan sifat kemanusiaan. Dan itu tidak pecah kemudian, yang
menjamin keamanan dari hal-hal yang membinasakan. Kadang-kadang pendengaran itu
menggerakkan hal yangmemanggil senda-gurau dan nafsu-syahwat. Lalu memotong
kepadanya jalan pendengaran. Dan mencegahnya dari kesempumaan.
3. Bahwa orang itu telah hancur nafsu syahwatnya.
Telah merasa aman dari hal yang membinasakannya. Telah terbuka matahatinya. Dan
telah mempengaruhi pada hatinya, kecintaan kepada Allah Ta'ala. Tetapi, tidak
teguh pemahamannya akan ilmu dzahiriah. Tidak mengenai nama Allah dan
sifat-sifat-Nya, apa yang jaiz (yang boleh) dan yang mustahil kepada-Nya.
Maka apabila telah terbuka baginya pintu pendengaran, niscaya
bertempatlah yang didengarnya itu pada hak Allah Ta'ala, kepada apa yang jaiz
dan apa yang tidak jaiz. Maka adalah kemelaratannya dari bahaya-bahaya itu, di
mana bahaya-bahayanya itu ialah kekufuran, adalah lebih besar daripada
kemanfa'atan pendengaran. Sahl ra. berkata : "Tiap-tiap الوجد
Al-Wajd
yang tidak diakui oleh Al- Kitab (Al-Qur-an) dan As-Sunnah, adalah batil. Maka
tidaklah patut pendengaran kepada contoh yang seperti ini. Dan tidak bagi orang
yang hatinya kemudian, berlumuran dengan kecintaan kepada dunia. Kecintaan
kepada pujian dan sanjungan. Dan tidak bagi orang, yang mendengar karena
kelezatan dan dirasa baik oleh tabi'at. Maka jadilah yang demikian
adat-kebiasaan baginya. Dan yang demikian itu mengganggukannya daripada ibadah
dan pemeliharaan hatinya. Dan terputuslah jalannya. Maka pendengaran itu
menggelincirkan tapak, yang wajib dipelihara daripadanya orang- orang yang
lemah.
681
|
Al-Junaid berkata : "Aku bermimpi melihat Iblis. Lalu
aku bertanya kepadanya: 'Adakah kamu memperoleh sesuatu padashahabat- shahabat
kami?
Iblis itu menjawab: "Ada, pada dua waktu : waktu
mendengar dan waktu melihat. Maka aku masuk kepada mereka dengan waktu
itu".
Maka menjawab setengah syaikh : "Jikalau aku bermimpi
melihat Iblis itu, niscaya aku katakan kepadanya : 'Alangkah dungunya engkau!
Orang yang mendengar daripadanya apabila mendengar dan orang yang memandang
kepadanya apabila memandang, bagai- manakah engkau memperoleh dengan dia?*
Al-Junaid menjawab : "Benar engkau!
Adab Ketiga : bahwaa memperhatikan benar-benar kepada apa
yang dikatakan oleh orang yang mengatakan, yang berkehadliran hati, yang
sedikit menoleh kesegala pihak, yang menjaga diri dari memandang kepada muka
para pendengar dan apa yang lahir pada mereka dari hal-ihwal الوجد
Al-Wajd.
Yang sibuk dengan dirinya sendiri, menjaga hatinya dan mengintip apa yang
dibuka oleh Allah Ta'ala baginya dari rahmat pada bathinnya. Yang menjaga dari
gerak-gerik yang mengganggu hati para shahabatnya. Akan tetapi, ia tetap
dzahiriahnya, tenang sendi-sendinya, menjaga diri dari batuk-batuk dan menguap.
Ia duduk menekurkan kepalanya, seperti duduknya dalam pemikiran yang tenggelam
untuk hatinya, yang berpegang teguh, tidak bertepuk, menari dan lain-lain gera.
kan, secara dibuat- buat, memberatkan diri dan ria. Yang berdiam diri dari
berbicara pada waktu sedang berkata-kata, dengan tiap sesuatu yang tidak boleh
tidak daripadanya.
Jikalau ia dikerasi oleh الوجد Al-Wajd dan digerakkannya tanpa pilihan
(ikhtiar)nya, maka itu dima'afkan, tiada tercela. Dan manakala telah kembali,
kepadanya ikhtiar itu maka hendaklah ia kembali kepada ketenangan dan
ketenteram&nnya!. Tiada seyogialah ia berkekalan oleh malunya, daripada
dikatakan, bahwa الوجد
Al-Wajdnya
akan habis dalam waktu dekat. Dantidak membuat-buat الوجد
Al-Wajd,
karena takut akan dikatakan, bahwa dia itu kesat hati, tiada bersih jiwa dan
halus perasaan.
Diceriterakan, bahwa seorang pemuda menemani Al-Junaid. Maka
apabila pemuda itu mendengar sesuatu dzikir, lalu memekik. L'alu pada suatu
hari Al-Junaid berkata kepadanya : "Jikalau engkau perbuat yang demikian
sekali lagi, maka engkau jangan lagi menemaniku!".
Lalu sesudah itu, pemuda tadi menekan dirinya, sehingga
menitik dari tiap-tiap bulunya titikan air. Dan ia tidak memekik. Kemudian
diceriterakan bahwa pada suatu hari tercekik kerongkongannya, karena ia
bersangatan menahan diri. Lalu menangis terisak-isak. Maka pecah hatinya dan
hilang nyawanya.
682
|
Diriwayatkan, bahwa Nabi Musa as. berceritera pada kaum
Bani Israil. Lalu salah seorang dari mereka, mengoyakkan kainnya atau
kemejanya. Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as. :
"Katakanlah kepadanya : 'Koyakkanlah ini untuk-Ku hatimu! Dan jangan
engkau koyakkah kainmu!'".
Abul-Kasim
An-Nasrabazi berkata kepada Abi 'Amr bin 'Ubaid : "Aku mengatakan, bahwa
apabila berkumpul suatu kaum, lalu seorang penyanyi bersama mereka bernyanyi,
adalah lebih baik daripada mereka mengumpat". Lalu Abi 'Amr berkata :
"
Ria itu pada pendengaran. Yaitu : bahwa engkau memperlihatkan
dari diri engkau, keadaan yang tidak ada pada engkau —, adalah lebih jahat
daripada engkau mengumpat tiga puluh tahun atau seumpama dengan itu
Jikalau engkau berkata : bahwa yang lebih utama, ialah yang
tidak digerakkan oleh pendengaran dan tidak membekas pada dzahirnya atau
yang"dzahir padanya?.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiada dzahirnya pada suatu kali
adalah karena lemahnya yang mendatang dari الوجد Al-Wajd. Maka itu adalah kekurangan.
Dan pada suatu kali, adalah ia bersama kuatnya الوجد
Al-Wajd
pada bathin. Tetapi tiada dzahir, karena sempurnanya kekuatan mena- han anggota
tubuh. Maka itu adalah kesempurnaan. Pada suatu kali, adalah ia karena keadaan الوجد
Al-Wajd
mengikuti dan menyertai dalam semua keadaan. Maka tiada terang bagi pendengaran,
bertambahnya membekas. Dan itu adalah sangat sempurna. Karena yang mempunyai الوجد
Al-Wajd
itu dalam kebanyakan hal, tiada kekal الوجد
Al-Wajdnya.
Maka orang yang selalu dalam الوجد
Al-Wajd,
maka ia terikat bagi kebenaran dan selalu tiada berpisah bagi zat yang
dipersaksikannya (ainisy-syuhud).
Maka ini tiada akan dirobahkan oleh jalan-jalannya keadaan.
Dan tiada jauh, bahwa isyarat itu adalah dengan ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq
ra. : "Adalah kami sebagaimana adanya kamu. Kemudian kesatlah hati
kami". Artinya : "Telah kuat hati kami dan keras. Lalu sanggup
terus-menerus adanya الوجد
Al-Wajd
pada semua keadaan".
Maka kita itu dalam mendengar maksud Al-Qur-an terus-menerus.
Maka tidaklah Al-Qur-an itu baru terhadap kita, yang datang kepada kita.
Sehingga kita memperoleh kesan dengan dia.
683
|
Jadi, kekuatan الوجد
Al-Wajd
itu menggerakkan. Dan kekuatan akal dan perpegangan itu menentukan yang dzahir.
Kadang-kadang salah satu daripada keduanya lebih keras dari yang lain.
Adakalanya lahtaran sangat kuatnya Dan adakalanya lantaran lemah apa yang
dihadapinya. Dan adalah kekuraingan dan kesempurnaan itu menurut yang demikian
tadi.
Maka janganlah engkau menyangka bahwa orang yang membalik-
balikkan dirinya di atas tanah itu, lebih sempuma الوجد
Al-Wajdnya
dari orang yang tenang dari membalik-balikkan dirinya. Bahkan, banyak orang
yang tetap-tenteram itu lebih sempurna الوجد
Al-Wajdnya
daripada orang yang membalik-balikkan diri.
Adalah Al-Junaid bergerak-gerak pada mendengar pada permulaan-
nya. Kemudian tiada bergerak-gerak lagi. Lalu ia ditanyakan orang, tentang yang
demikian, maka ia membaca :
وَتَرَى
الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ
الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ
(Wa taral -jibaala tahsabuhaa jaamidatan wa hiya tamurru
marras- sahaabi shun-'allaahil-ladzii atqana kulla syai-in).Artinya : "Engkau
melihat gunung-gunung, engkau kira bahwa dia tetap (tiada bergerak padahal dia berjalan kencang, sebagai awan
berjalan. Begitulah perbuatan Allah yang membuat segala sesuatu dengan
kokohnya". (S. An-Naml, ayat 88), sebagai pertanda bahwa hati itu
bergerak, berputar dalam alam tinggi (alam malakut) dan anggota tubuh bersikap
dengan adab tenteram pada dzahirnya. Abul-Hasan Muhammad bin Ahmad berkata dan
ketika itu dia berada di Basrah : "Aku menyertai Sahl bin Abdillah enam
puluh tahun lamanya. Tiada aku melihat dia berobah pada suatupun yang
didengarnya, baik dzikir atau Al-Qur-an". Maka tatkala ia pada akhir
umumya (hidupnya), seorang laki-laki membaca dihadapan- nya ayat:
فَالْيَوْمَ
لا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ
هِيَ مَوْلاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
(Fal-yauma la yu'-khadzuminkum fidyatun wa laa minalladziina
kafaruu, maSwaakumun-naaru, hiya maulaakum wa bi'-sal-mashiir).Artinya :
"Sebab itu, di hari ini tiada diterima tebusan dari kamu dan tiada pula
dari orang-orang yang kafir. Tempat diam kamu ialah neraka, itulah tempat kamu
berlindung dan tempat tujuan yang amat buruk!" (S. Al-Hadid, ayat 15).
Lalu aku melihat dia gemetar dan hampir jatuh ke lantai. Maka
684
|
tatkala telah kembaii kepada keadaannya semula, lalu aku
tanya- kan dari yang demikian. Maka ia menjawab : "Benar, wahai teman- ku,
aku telah lemah".
Begitu pula pada suatu kali ia mendengar firman Allah Ta'ala
:
الْمُلْكُ
يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ
(Al-mulku yauma-idzinil-haqqu lirrahmaan).Artinya :
"Kerajaan yang sebenarnya pada hari itu kepunyaan (Tuhan) Yang Maha
Pemurah(S. Al-Furqan, ayat 26).
Lalu ia gemetar. Maka ditanyakan oleh Ibnu-Salim. Dan Ibnu Salim
itu termasuk shahabatnya.
Sahl bin Abdillah menjawab : "Aku lemah.".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Jikalau ini sebahagian
dari kelemahan, maka apakah kekuatan keadaan itu?".
Ia menjawab : "Bahwa tidak datang kepadanya apa yang
datang, melainkan ia menemuinya dengan kekuatan keadaannya. Maka apa yang
datang itu, tidak mengobahkannya, walaupun yang datang itu kuat".
Sebabnya mampu mengekang dzahiriahnya serta adanya الوجد
Al-Wajd,
ialah melurusnya segala hal-keadaan, disebabkan tiada putus-putus- nya
penyaksian (mulazamatusy-syuhud). Sebagaimana diceritera- kan dari Sahl ra.,
yang mengatakan : "Keadaanku sebelum shalat dan sesudahnya ialah
satu". Karena ia memeliharakan hatinya, hadhir ingatan kepada Allah Ta'ala pada semua
keadaan. . , Maka begitu pula ia sebelum mendengar dan sesudahnya. Karena
الوجد
Al-Wajdnya
kekal selalu. Kehausannya terus bersambung dan minumnya terus berkekalan, di
mana pendengaran itu tidaklah membekas pada tambahannya. Sebagaimana
diriwayatkan, bahwa Mimsyad Ad-Dainuri mendekati suatu jama'ah (kumpulan orang
ramai), yang dalam jama'ah itu ada seorang penyanyi. Lalu mereka itu diam
semuanya.
Maka berkata Mimsyad : "Kembalilah kepada
keadaanmu tadi!. Jikalau dikumpulkan segala permainan dunia pada telingaku,
niscaya tiada akan mengganggu cita-citaku. Dan tidak akan me- nyembuhkan
setengah apa yang ada padaku".
Al-Junaid ra. berkata : "Tiada akan
mendatangkan kemelaratan oleh kurangnya الوجد
Al-Wajd,serta lebihnya pengetahuan. Dan lebihnya pengetahuan adalah
lebih sempurna daripada lebihnya الوجد Al-Wajd". Jikalau engkau
mengatakan, bahwa orang yang seperti itu tidak menghadliri pendengaran (untuk
mendengarkan sesuatu).
685
|
Ketahuilah kiranya, bahwa diantara mereka ada orang yang
meninggalkan mendengar itu pada waktu tuanya. Ia tidak menghadliri pendengaran
itu, kecuali jarang sekali, untuk menolong salah seorang temannyadan memasukkan
kegembiraan ke dalam hatinya. Kadang-kadang ia hadlir, supaya diketahui oleh
kaum itu kesempurnaan kekuatannya. Lalu mereka itu mengetahui bahwa tidaklah
kesempurnaan itu dengan الوجد
Al-Wajd
dzahiriah. Maka mereka itu mem- pelajari daripadanya pengekangan dzahiriah,
tanpa memaksakan diri. Walaupun mereka tidak sanggup mengikutinya, pada men-
jadikannya tabi'at (sifat yang tetap) bagi mereka. Jikalau bersesuaian
kehadliran mereka itu, bersama bukan putera- bangsanya, maka adalah mereka itu
bersama mereka dengan badan- tubuh saja. Dan jauh dari mereka dengan hati dan
bathin. Sebagaimana mereka duduk tanpa mendengar, bersama bukan bangsa mereka.
Disebabkan oleh sebab-sebab yang mendatahg, yang menghendaki duduknya bersama
mereka.
Sebahagian mereka dinukilkan daripadanya, meninggalkan mendengar.
Dan diduga bahwa sebabnya meninggalkan pendengaran itu, ialah karena tiada
memerlukan kepada pendengaran, disebabkan apa yang telah kami sebutkan dahulu.
Dan setengah mereka terdiri dari orang-orang dzuhud.Dan tiada mempunyai untung
kerohanian pada pendengaran itu. Dan ia tidak dari golongan senda-gurau. Maka
ia meninggalkan mendengar itu, supaya tidak habis waktunya dengan apa yang
tidak penting. Dan setengah mereka meninggalkan pendengaran itu, karena
ketiadaan teman-teman. Ditanyakan kepada setengah mereka : "Mengapa engkau
tidak mendengar?".
Lalu menjawab,: "Dari siapa dan bersama siapa?".
Adab Ke-empat : bahwa ia tidak berdiri dan tidak meninggikan suaranya dengan
menangis. Ia sanggup membatasi diri. Tetapi jikalau ia menari atau membuat-buat
menangis, maka diperbolehr kan (mubah), apabila ia tidak bermaksud dengan
demikian, untuk ria. Karena membuat-buat menangis itu menarik kepada kesedihan.
Dan menari itu sebab pada menggerakkan kegembiraan dan kera jinan.
Semua kegembiraan itu mubah. Boleh menggerakkannya. Jikalau
menggerakkan kegembiraan itu haram, niscaya 'A-isyah ra tidak melihat
orang-orang Habsyi bersama Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., di mana orang-orang Habsyi itu menari. (1)
(1) Hadits ini telah
diterangkan dahulu.
|
686
|
' Itulah perkataan 'A-isyah ra. pada setengah riwayat!.
Diriwayatkan dari suatu jama'ah dari shahabat ra., bahwa mereka itu- melompat-lompat
kegirangan, tatkaia datang kepada mereka kegembiraan yang mengharuskan
demikian. Yaitu : mengenai kisah anak perempuan Saidina Hamzah, tatkaia timbul
perteng- karan antara 'Ali bin Abi Thalib dan saudaranya Ja'far dan Zaid bin
Haritsah. Ketiganya bertengkar tentang siapa yang lebih berhak mendidik puteri
Saidina Hamzah itu (namanya Amamah).
Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda kepada 'Ali : "Engkau daripadaku dan aku
daripada engkau". Lalu'Ali melompat-lompat kegembiraan.
Kepada Ja'far, Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Engkau" serupa dengan bentukku dan
budi-pekertiku" Lalu ia melompat-lompat kegirangan di belakang
'Ali melompat-lompat.
Kepada Zaid, Beliau صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda : "Engkau saudara kami dan kekasih kami,
Lalu Zaid melompat-lompat kegirangan di belakang Ja'far melompat-lompat.
Kemudian Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Puteri itu untuk Ja'far. Karena
saudara-ibunya yang perempuan (khalahnya) adalah di bawah Ja'far. Dan khalah
itu ibu". (1)
Pada suatu riwayat, Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda kepada 'A-isyah ra. : "Sukakah engkau melihat
tarian (zafan) orang Habsyi?". Zafan dan hajal ialah raqash (menari). Dan
yang demikian adalah karena kesenangan atau kerinduan. Hukumnya ialah hukum
yang membangkitkannya, jikalau kesenangan itu terpuji. Dan tarian itu
menanibahkan dan menguatkan kesenangan tadi. Maka tarian itu terpuji. Jikalau
kesenangan itu mubah, maka tarian itu mubah. Dan jikalau kesenangan itu
tercela, maka tarian itu tercela. Ya, tiada layak membiasakan yang demikian
dengah kedudukan orang-orang besar dan orang-orang yang menjadi jikutan orang
banyak. Karena kebanyakan tarian icu adalah dari senda-gurau dan permainan. Dan
apa yang mempunyai bentuk permainan dan senda-gurau pada pandangan orang
banyak, seyogialah dijauhkan oleh orang yang menjadi ikutan orang banyak.
Supaya ia tidak menjadi kecU pada pandangan manusia. Lalu ia ditinggalk&n,
tidak di-ikuti lagi.
Adapun pencabikan kain, maka tidak diperbolehkan. Kecuali
ketika terjadi hal itu, tanpa ikhtiar (kemauannya). Dan tidak-jauh dari
kebenaran, bahwa keraslah الوجد
Al-Wajd
itu, di mana ia mencabik
(1) Dirawikan Abu Dawud dari 'Ali, dengan isnad
baik.
|
687
|
kainnya. Dan ia tidak tahu, karena kesangatan mabuknya الوجد
Al-Wajd
atas dirinya. Atau ia tahu. Tetapi ia berada seperti orang yang terpaksa, yang
tidak sanggup mengekang diri. Dan adalah bentuk- nya itu bentuk orang yang
terpaksa. Karena ada baginya pada gerakan atau pencabikan kain itu penafasan.
Maka ia memerlukan kepadanya, seperti orang sakit memerlukan kepada pengeluhan.
Jikalau diberati menahan diri (bersabar) dari yang demikian, niscaya ia tidak
sanggup, sedang perbuatan itu adalah perbuatan ikhtiari (perbuatan berdasarkan
kemauan atau pilihan sendiri). Maka tidaklah tiap-tiap perbuatan, yang terjadi
dengan kemauan (iradah) itu, manusia sanggup meninggalkannya. Bernafas adalah
perbuatan yang terjadi dengan kemauan. Jikalau manusia diberati menahan nafas
satu jam, niscaya dipaksakan oleh bathinny a kepada mengusahakan bernafas. Maka
begitu pula berteriak dan mencabik kain. Kadang-kadang ada seperti yang
demikian. Maka itu tidak disifatkan dengan pengharamanI Disebutkan pada
As-Sirri berita الوجد
Al-Wajd
yang sangat keras, yang mengalahkan kesadaran. Maka beliau menjawab : "Ya,
orang itu memukul mukanya dengan pedang dan ia tidak tahu (tidak sadar)".
Lalu beliau dimintameninjau kembali tentang penjawabannya tadi. Dan dirasa
jauhlah dari kejadian, bahwa الوجد
Al-Wajd
akan sampai kepada batas itu. Tetapi beliau tetap pada penjawabannya dan tidak
mau ruju' dari jawaban itu.
Maksudnya, bahwa pada setengah keadaan, kadang-kadang sampai
kepada batas tadi pada sebahagian orang.
Jikalau engkau bertanya : "Apakah kata anda mengenai
orang- orang shufi yang mengoyakkan kain-kain bam, sesudah tonangnya الوجد
Al-Wajd
dan selesai dari mendengar? Mereka itu mengoyak-ngoyak- kan kainnya menjadi
potongan kecil-kecil. Dan membagi-bagikan- nya kepada orang banyak. Dan mereka
menamakan potongan- potongan kain itu al-khirqah (sobekan kain)".
Ketahuilah, bahwa yang demikian itu mubah, apabila dipotong, potongan empat
persegi, yang patut bagi pengepingan kain dan sajadah (kain tempat shalat).
Sesungguhnya kain tebal dirobekkan, sehingga dapat dijahitkan kemeja. Dan yang
demikian tidaklah menyia-nyiakan harta. Karena pengoyakan itu untuk suatu
maksud. Demikian pula pengepingan kain, yang tidak mungkin, selain dengan
potongan kecil-kecil. Dan itulah maksudnya. Dan pemba- gian kepada semua orang,
supaya meratai kebajikan itu, adalah suatu maksud yang mubah.
688
|
Masing-masing pemilik
memotong kainnya seratus potong. Dan memberikannya kepada seratus orang miskin.
Akan tetapi seyogialah semua potongan itu mungkin dimanfa'atkan pada tiap-tiap
sobekannya.
,
Sesungguhnya kami larang pada mendengar itu, akan pengoyakan
yang merusakkan kain, yang menghancurkan sebahagiannya, di mana tidak tinggal
yang dapat dimanfa'atkan. Maka itu penyia- nyiaan semata-mata, yang tidak diperbolehkan
dengan pilihan sendiri (ikhtiar).
Adab Kelima : bersesuaian dengan orang banyak pada berdiri,
apabila berdiri salah seorang dari mereka pada الوجد
Al-Wajd
yang benar. Tanpa ria dan memberatkan. Atau berdiri dengan pilihan sendiri,
tanpa melahirkan الوجد
Al-Wajd
dan lalu berdiri untuk itu orang banyak. Maka tak boleh tidak daripada
penyesuaian. Itulah sebahagian dari adab berteman!.
Begitu pula, jikalau berlaku adat-kebiasaan suatu golongan,
dengan menanggalkan syurban, atas sepakat orang yang mempunyai al- wajd itu,
apabila jatuh syurbannya. Atau menanggalkan pakaian apabila jatuh kainnya,
disebabkan pengoyakan. Maka kesepakatan dalam segala hal ini, adalah sebahagian
dari kebagusan berteman dan bergaul. Karena perselisihan itu meliarkan hati..
Dan masing-masing golongan mempunyai yang resmi. Dan haruslah bertingkah-laku
dengan manusia, menurut tingkah-laku mereka, sebagaimana tersebut pada hadits.
<d. Lebih-Iebih lagi apabha
tingkah-laku itu. adalah tingkah-laku yang padanya bagus pergaulan, berbaik-baikan
dan pembaikan hati dengan tolong- menolong.
Perkataan orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu
bid'ah, tidak ada pada shahabat. Maka tidaklah semua yang dihu- kum
(ditetapkcJi) dengan pembolehan (ibahah) itu dinukilkan dari para shahabat ra.
Sesungguhnya yang dijaga, ialah mengerjakan bid'ah yang berlawanan dengan
sunnah yang dinukilkan. Dan tidak dinukilkan larangan suatupun dalam hal ini.
Berdiri ketika masuk orang yang masuk ke suatu majelis,
tidaklah termasuk sebahagian dari adat-kebiasaan orang Arab. Bahkan para
shahabat ra. tidak berdiri untuk Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. pada setengah hal-keadaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas
ra. (2)
(1) Dirawikan AI-Hakim
dari Abi Dzar. Katanya hadits shahih, menurut syarat al- Bukhari dan Muslim.
|
(2) Dirawikan
Anas, sebagaimana telah diterangkan pada "Bab Adab Bershahabat".
|
689
|
Tetapi, apabila tidak ada padanya larangan umum, maka kami
ber- pendapat tiada mengapa pada negeri-negeri yang berlaku adat- kebiasaan
padanya, memuliakan orang yang masuk ke suatu majelis, dengan berdiri. Karena
yang dimaksud ialah penghormatan, pemuliaan dan pembaikan hati dengan berdiri
itu. Begitu pula segala macam tolong-menolong yang lain. Apabila dimaksudkan
pembaikan hati dan telah dipandang patut oleh orang banyak,Maka tiada mengapa
bertolong-tolongan di atas yang demikian. Bahkan lebih baik
bertolong-tolongan, kecuali mengenai apa yang telah datang larangan padanya,
yang tidak menerima penta wilan.
Setengah dari adab-kesopanan ialah : bahwa tidak berdiri
untuk menari bersama kaum (golongan) yang dirasakan berat tariannya dan tidak
mengacau keadaan mereka. Karena tarian tanpa melahir- kan الوجد
Al-Wajd
yang dipaksakan, itu mubah (diperbolehkan). الوجد Al-Wajd yang dipaksakan, ialah : yang menampakkan
bagi orang banyak kesan dipaksakan. Dan orang yang bangun berdiri dari
perasaan. yang benar, tidak dirasakan berat oleh tabi'at. Maka hati orang yang
hadlir itu, apabila mereka dari orang-orang yang mempunyai hati bersih, dapat
menunjuk kebenaran dan rasa-dipaksakan. Setengah mereka ditanyakan tentang الوجد
Al-Wajd
yang sebenarnya, lalu menjawab : " الوجد Al-Wajd yang sebenarnya, ialah
: benarnya diterima oleh hati segala orang yang hadlir bagi الوجد
Al-Wajd
itu, apabila mereka itu berada dalam bentuk yang tidak berlawanan".
Jikalau anda bertanya : bagaimana keadaannya tabi'at yang lari dari tarian- dan
mendahului kepada sangkaan, bahwa tarian itu perbuatan batil, senda-gurau dan
menyalahi Agama? Lalu orang yang mempunyai kesungguhan pada Agama, tidak
memandang akan tarian itu, melainkan menantangnya.
Ketahuilah, bahwa kesungguhan tidaklah melebihi di atas
kesungguhan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. Dan sesungguhnya beliau itu melihat orang- ortJig Habsyi
menari dalam masjid. Dan tidak menantangnya, karena adanya tarian itu pada
waktu yang layak. Yaitu Hari Raya. Dan dari orang yang layak, yaitu orang
Habsyi. Benar, tabi'at (sifat) manusia lari dari tarian itu. Karena melihat
biasanya tarian* itu disertai dengan senda-gurau dan permainan. Senda-gurau dan
permainan itu mubah (diperbolehkan). Tetapi untuk orang-orang awam dari
orang-orang hitam, orang-orang Habsyi dan yang menyerupai dengan mereka. Dan
makruh bagi orang- orang yang mempunyai kedudukan. Karena tiada layak bagi
mereka.
690
|
Dan apa yang dimakruhkan karena tiada layak dengan kedudukan
orang yang -mempunyai kedudukan, maka ,tiada boleh disebut haram, Siapa yang
meminta pada orang fakir sesuatu, laiu diberi- kannya sepotong roti, maka yang
demikian itu adalah iha'at (iba- dah) yang baik. Dan jikalau orang itu meminta
pada seorang raja, lalu diberikannya sepotong atau dua potong roti, mal,a yang
demikian itu munkar (mendapat tantangan) dari manusia seluruhnya. Dan tertulis
dalam sejarah berita-berita, dari sejumlah kejahatan- kejahatannya dan
memalukan anak-anaknya dan pengikut-pengikut- nya. Dan dalam pada itu, tidak
boleh dikatakan, bahwa apa yang diperbuat raja tadi adalah haram. Karena dari
segi ia memberikan roti itu kepada orang fakir, adalah perbuatan baik. Dan dari
segi dibandingkan kepada kedudukannya, seperti tidak memberikan, dibandingkan
kepada orang fakir itu, dipandang keji. Maka demikian pulalah tarian dan apa
yang berlaku seperti tarian itu, dari perbuatan-perbuatan mubah lainnya.
Perbuatan mubah bagi orang awam, menjadi perbuatan buruk bagi orang baik-baik
(al-abrar). Perbuatan baik bagi orang baik-baik, menjadi perbuatan buruk bagi
orang muqarribin (orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala).
Ini adalah dari segi menoleh kepada kedudukkan . Adapun
apabila dipandang kepada perbuatan itu sendiri, niscaya wajiblah dihukum bahwa
perbuatan itu sendiri tak ada pengharaman padanya. Allah Maha Tahu.
Sesungguhnya hal itu telah keluar dari jumlah penguraian yang
lalu, di mana pendengaran itu kadang-kadang adalah haram semata-mata.
Kadang-kadang mubah. Kadang-kadang makruh. Dan kadang- kadang sunat.
Adapun haram adalah bagi kebanyakan manusia dari pemuda- pemuda
dan orang-orang yang keras padanya keinginan dunia. Maka pendengaran itu tidak
menggerakkan pada mereka, kecuali apa yang mengerasi pada hatinya, dari
sifat-sifat tercela. Adapun makruh, maka yaitu bagi orang yang tidak
menempatkan- nya di atas bentuk makhluq. Akan tetapi membuatkannya selaku suatu
kebiasaan pada kebanyakan waktu di atas jalan senda-gurau. Adapun mubah, maka
yaitu bagi orang yang tiada mengambil keun- tungan daripadanya, selain
keiezatan dengan suara merdu. Adapun sunat (mustahab), maka yaitu bagi orang
yang mengerasi kepadanya kecintaan kepada Allah Ta'ala. Dan tiada yang menggerakkan
pendengarannya, kecuali oleh sifat yang terpuji. Segala pujian bagi Allah Tuhan
Yang Maha Esa. Dan Allah meng- anugerahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarganya!.
691
|