Mendengar Nyanyian


J2K08

penjelasan : Dalil orang-orang yang mengatakan, diharamkan mendengar nyanyian dan jawaban terhadap dalil-dalill itu.



Mereka itu berdalil dengan firman Allah Ta’ala :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ

(Wa minan-naasi man yasytarii lahwal -hadiits).

Artinya : "Dan diantara manusia itu ada orang yang membeli cerita kosong(S. Luqman, ayat 6).

Ibnu Mas'ud ra., Al-Hasan Al-Bashari ra. dan An-Nakha-'i ra. mengatakan, bahwa ceritera kosong ialah : nyanyian, 'A-isyah ra. meriwayatkan, bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :

إن الله تعالى حرم القينة وبيعها وثمنها وتعليمها

(Innallaaha ta-'aala harramal-qainata wa bai-'ahaa wa tsamanahaa wa ta'-liimahaa).

Artinya : "Bahwa Allah Ta*ala mengharamkan al-qainah' men jual, harga dan mengajarkannya(1)

Kami berkata, adapun "al-qainah yang dimaksudkan dengan al-qainah itu, ialah : budak perempuan yang menyanyi untuk laki-laki pada tempat minuman (bar). Dan telah kami sebutkan bahwa nyanyian wanita ajnabiah (bukan keluarga yang haram dikawini) untuk orang-orang fasiq dan orang-orang yang ditakuti akan datang fitnah, adalah haram. Dan tiada mereka maksudkan dengan fitnah, selainsesuatu yang terlarang.



Adapun nyanyian seorang budak perempuan untuk pemiliknya, maka tidak terpaham pengharamannya dari hadits ini. Bahkan bagi bukan pemiliknya boleh mendengar ketika tiada fitnah, berdalilkan apa yang diriwayatkan pada Ash-Shahihain (Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim), tentang nyanyian dua budak perem­puan di rumah'A-isyah ra.



Adapun membeli cerita kosong dengan Agama menjadi harganya, sebagai gantian dengan cerita kosong itu, untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka adalah haram yang tercela. Dan tidak ada pada- nya pertikaian pendapat. Dan tidaklah semua nyanyian itu ganti Agama yang dijualkan dan yang menyesatkan dari jalan Allah Ta'ala. Dan itulah yang dimaksud pada Ayat di atas. Jikalau diba- cakan Al-Qur-an untuk menyesatkan dari jalan Allah, niscaya haram juga.



(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari 'A-isyah. dengan isnad dla'if.
628



Diceriterakan tentang setengah orang-orang munafiq, bahwa ia meng-imam-i shalat orang banyak dan tidak dibacanya, selain surat "'Abasa". Karena ada pada surat itu, teguran kepada Ra sulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, Lalu 'Umar ra. bercita-cita membunuhnya. Dan memandang perbuatan munafiq itu haram, menyesatkan. Dari itu, menyesatkan dengan sya'ir dan nyanyian adalah lebih utama mengharamkannya. Mereka yang berpendapat demikian mengambil dalil dengan firman Allah Ta'ala

Maka apakah kamu merasa heran terhadap bacaan ini?
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ
59
Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?
وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ
60
Sedang kamu melengahkan (nya)?
وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
61

(Afamin haadzaal-hadiitsi ta'-jabuuna wa tadl-hakuuna wa laa tabkuuna wa antum saamiduun).

Artinya : "Apakah kamu merasa heran terhadap bacaan ini? Dan kamu akan tertawa dan tiada menangis? Sedang kamu tiada memperhatikannya?". (S. An-Najm, ayat 59 - 60 - 61).



Ibnu 'Abbas ra. berkata : "Yaitu ' nyanyian menurut bahasa

Himyar" حمير, Maksudnya, kata-kata : as-samdu. (1)

Maka kami menjawab, bahwa seyogialah diharamkan juga tertawa dan tidak menangis. Karena diantara ayat di atas, melengkapi yang demikian.



Jikalau dikatakan, bahwa yang demikian itu khusus dengan pener- tawaari terhadap kaum musiimin, karena ke-lslam-an mereka. Maka ini juga khusus dengan sya'ir dan nyanyian mereka, dalam hal memperolok-olokan kaum musiimin, sebagaimana Allah Ta'ala

berfirman:

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang jahat.
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
224

 (Wasy-syu-'araa-u yattabi- ihumul-ghaawuun).Artinya : "Dan penyair-penyair itu, di-ikuti oleh orang-orang jahat (S. Asy-Syu'ara, ayat 224).



(1) Pada ayat ketiga di atas, yang artinya : "Sedang kamu tiada memperhatikannya". Bahasa aslinya (bahasa Arab) : "Wa antum saamidun". Kata-kata "saamidun’’ berasal dari "as-samdu". Dan "as-samdu" itu, menurut bahasa suku حمير Himyar, ialah menyanyi. Sehingga ayat "Wa antum saamidun", mempunyai arti : "Sedang kamu menyanyi". (Pent.).
629



Yang dimaksudkan, ialah : penya'ir-penya'ir kafir. Dan tidak menunjukkan yang demikian kepada pengharaman menyusun sya'ir itu sendiri. Mereka mengambil dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Jabir ra., bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Adalah Iblis orang pertama yang menangis dengan memekik-mekik dan orang pertama yang menyanyi-nyanyi). Dan hadits ini telah mengumpulkan diantara tangisan dengan memekik-mekik dan nyanyian. Kami menjawab, bahwa tak dapat tidak, sebagaimana dikecualikan daripadanya tangisan dengan memekik-mekik Daud as. dan tangis­an dengan memekik-mekik orang-orang yang berdosa di atas kesalahan mereka. Maka demikian juga dikecualikan nyanyian yang dimaksudkan untuk menggerakkan kegembiraan, kesedihan dan kerinduan, di mana diperbolehkan penggerakan itu. Bahkan sebagaimana dikecualikan nyanyian dua orang budak wanita pada hari Raya di rumah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dan nyanyian kaum wanita ketika tiba Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. di Madinah dengan mengucapkan : Telah terbitkepada kita bulan purnama raya, dari bukit Tsaniyyatil wada'.

Dan mereka mengambil dalil pula, dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu 'Umamah dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., bahwa beliau bersabda : ‘’Tidaklah seseorang meninggikan suaranya dengan nyanyian, melainkan diutuskan oleh Allah kepadanya dua sethan di atas kedua bahunya. Kedua sethan itu memukul dada orang tadi dengan tumitnya, sehingga orang itu berhenti’’ (2)



Kami menjawab, bahwa yang demikian itu ditempatkan kepada sebagian macam nyanyian yang telah kami sebutkan dahulu. Yaitu : nyanyian yang menggerakkan hati kepada nafsu-syahwat dan kerinduan orang banyak, yang menjadi tujuan sethan. Adapun yang digerakkan oleh kerinduan kepada Allah atau oleh kegembiraain dengan hari raya atau oleh kelahiran anak atau kedatangan orang dari jauh, maka ini semuanya berlawanan dengan maksud sethan, berdalilkan kissah dua budak wanita dan orang Habsyi dan hadits-hadits yang kami nukilkan dari hadits-hadits shahih.



(1)      Menurut Al-Iraqi, beliau .tidak menjumpai hadits ini dari Jabir. Dan diterangkan oleh Shahibul Firdaus, dari 'Ali bin Abi Thalib dan tidak disebutkan oleh anaknya tentang masnadnya.
(2)     Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dan Ath-Thabrani, hadits dla'if.
630



Maka pembolehan pada suatu tempat, adalah menjadi nash tentang pembolehan (ibahah). Dan pelarangan pada seribu tempat, adaiah suatu kemungkinan bagi penta’wilan dan suatu kemungkinan bagi penempatan menurut keadaannya.



Adapun perbuatan, maka tak ada mempunyai penta'wilan. Karena apa yang diharamkan memperbuatnya, sesungguhnya dihalalkan, disebabkan datang paksaan saja. Dan apa yang diperbolehkan memperbuatnya, akan diharamkan dengan sebab-sebab mendataing yang banyak, sampai kepada niat-niat dan maksud-maksud. Dan mereka mengambil dalil dengan apa yang diriwayatkan oleh 'Uqbah bin 'Amir, bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Tiap-tiap sesuatu yang dimainkan oleh laki-laki adalah batil, kecuali mengajari kuda nya,melempari busurnya dan bermain-main dengan isterinya(1)



Kami menjawab, bahwa sabdanya : batil, tidaklah menunjukkan kepada haram. Tetapi menunjukkan kepada : tidak berfaedah. Dan kadang-kadang dapat diterima yang demikian, berdasarkan bahwa bermain-main melihat orang Habsyi itu adalah diluar dari yang tiga tadi. Dan tidak haram. Bahkan dihubungkan yang tidak terbatas, dengan yang terbatas, karena di-qias-kan, seperti sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. : "Tidak halal darah orang Islam, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab". Maka dihubungkan dengan salah satu dari tiga itu, akan yang ke-empat dan yang kelima. Maka seperti itu juga bermain-main dengan isterinya. Tak ada faedah padanya, selain kesenangan. Dan pada ini menunjukkan, Bahwa bersenang-senang di kebun-kebun, mendengar suara burung dan bermacam-macam permainan yang dimainkan laki-laki, tidak­lah diharamkan suatupun daripadanya, walaupun boleh disifatkan dengan batil.



Dan mereka mengambil dalil dengan perkataan utsman ra. : "Tiada aku menyanyi, tiada aku berangan-angan dan tiada aku sentuh kemaluanku dengan tangan kananku, sejak aku bersumpah ta'at setia kepada Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.".



Kami menjawab, maka tentulah berangan-angan dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan itu haram hukumnya, jikalau itu menjadi dalil mengharamkan nyanyian. Maka dari manakah dapat ditetapkan, bahwa 'Utsman ra. tidak meninggalkan selain yang haram?.



(1) Dirawikan oleh pengarang-pengarang "As-Sunan", seperti "As-Sunan" karangan At-Tirmidzi dan lain-lain. Dan pada hadits ini terdapat kekacauan perawi.
631



Dari mereka mengambil dalil dengan perkataan Ibnu Mas'ud ra. bahwa : nyanyian itu menumbuhkan nifaq di dalam hati. Dan setengah mereka menambahkan : seperti air menumbuhkan sayur- sayuran.



Setengah mereka mengatakan bahwa perkataan Ibnu Mas'ud ra. di atas tadi, berasal dari sabda Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (hadits-marfu’). Dan itu tidak benar (ghairu-shahih).



Mereka mengatakan, bahwa telah datang kepada Ibnu 'Umar ra. suatu kaum yang sedang ihram hajji. Dan dalam rombongan itu- terdapat seorang laki-laki yang menyanyi. Maka Ibnu 'Umar ra. berkata : "Ketahuilah! Kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu! Ketahuilah! Kiranya Allah tidak memperdengarkan. bagimu!".



Dari Nafi', di mana ia berkata : "Aku berada bersama Ibnu 'Umar ra. pada suatu jalan. Lalu ia mendengar seruling penggembala. Maka diletakkannya kedua anak jarinya dalam kedua telinganya. Kemudian ia berpaling dari jalan itu. Dan selalu ia mengatakan ; "Wahai Nafi'! Adakah engkau mendengar itu?". Sehingga aku mengatakan : "Tidak!". Maka barulah ia mengeluarkan kedua anak jarinya. Dan berkata: "Begitulah akumelihat Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berbuat!".



Al-Fudlail bin 'Iyadl ra. berkata : "Nyanyian itu perangsang bagi zina". Setengah mereka berkata : "Nyanyian ialah utusan dari utusan-utusan penzina". Yazid bin Al-Walid berkata : "Awaslah dari nyanyian!



Sesungguhnya nyanyian itu mengurangkan malu, menambahkan nafsu-syahwat dan meruntuhkan muruah. Nya­nyian itu menggantikan khamar dan memperbuat apa yang diper- buat oleh mabuk. Jikalau kamu tak boleh tidak memperbuatnya, maka jauhkanlah nyanyian itu dari-wanita! Karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan".



Maka kami jawab, bahwa perkataan Ibnu Mas'ud ra.: nyanyian itu menumbuhkan nifaq, dimaksudkan ialah pada pihak penyanyi. Maka" nyanyian itu pada pihak si penyanyi menumbuhkan nifaq. Karena seluruh maksudnya, ialah mempertontonkan dirinya kepa­da orang lain dan menawarkan suaranya kepada orang lain. Dan senantiasa ia bersikap munafiq dan berbuat sayang kepada manusia, agar manusia itu menyukai nyanyiannya. Juga yang demikian itu tidak mewajibkan pengharaman. Maka sesungguhnya memakai pakaian yang cantik, mengendarai kuda yang cepat lari, berbagai perhiasan lainnya, bermegah-megahan dengan tanaman, binatang ternak, tumbuh-tumbuhan dan yang lain dari itu, adalah menumbuhkan nifaq dan ria di dalam hati. Dan tidaklah secara mutlak dikatakan haramnya semua itu. Maka tidaklah yang menjadi sebab pada lahirnya nifaq di dalam hati itu, perbuatan ma'shiat saja. Bahkan perbuatan mubah yang menjadi tempat sorotan makhluq ramai, adalah lebih banyak membekas- nya. Karena itulah 'Umar ra. turun dari kudayang cepat* laxi yang sedang dikendarainya. Dan memotong ekornya, karena ia merasa sombong dalam hatinya karena bagus larihya kuda itu. Maka nifaq ini termasuk hal-hal mubah.





632



Adapun perkataan Ibnu 'Umar ra. : "Ketahuilah! Kiranya Allah tidak memperdengarkan bagimu", tidaklah menunjukkan kepada haram dari segi nyanyiannya. Tetapi mereka itu sedang mengerjakan ihram hajji. Dan tidaklah layak mereka itu bercakap kotor. Dan jelaslah dari khayalan mereka, bahwa pendengaran mereka tidaklah karena kesan yang mendalam dan kerinduan hati berkunjung ke Baitullah (Ka'bah). Akan tetapi karena permainan semata-mata. Maka ditantang yang demikian terhadap para rom- bongan yang sedang ihram itu. Karena nyanyian itu menjadi per­buatan munkar, dilihat kepada hal-ihwal mereka dan hal-ihwal ihram. Ceritera-ceritera tentang hal-ihwal tersebut, banyaklah terdapat segi-segi kemungkinan padanya.



Adapun Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. meletakkan kedua anak jarinya ke dalam kedua teiinganya, maka ditantang pengharamannya oleh karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak menyuruh Naff ra. berbuat yang demikian. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tidak menentang Nafi' ra. mendengarkannya. Sesungguhnya beliau berbuat demikian, karena beliau memandang untuk mensucikan (at-tanzih) pendengaran nya sekarang juga. Dan mensucikan hati­nya dari suara, yang kadang-kadang menggerakkan permainan dan mencegahnya dari pemikiran yang ada padanya atau dzikir, yang lebih utama lagi dari pemikiran itu.



Dan seperti itu pula perbuatan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., di mana beliau tidak melarang Ibnu 'Umar ra., adalah tidak pula menunjukkan kepada pengharamannya. Bahkan menunjukkan, bahwa yang lebih utama, ialah meninggalkan nyanyian itu. Dan kami berpendapat, bahwa yang lebih utama ialah meninggalkan nyanyiani itu, pada kebanyakan hal. Bahkan kebanyakan hal-ihwal dunia yang mubah, yang lebih utama ialah meninggalkannya, apabila diketahui yang demikian itumembekas dalam hati. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. sesudah selesai dari shalat, membuka kain Abi Jahm. Karena ada padanya gambaran-gambaran bendera,yang mengganggu hatinya.



633



Apakah anda berpendapat, bahwa yang demikian itu menunjukkan kepada haramnya gambaran-gambaran bendera atas kain? Mungkin Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berada dalam keadaan, di mana bunyi seruling penggembala mengganggukannya atas keadaan itu, sebagaimana bendera mengganggukannya dari shalat. Bahkan perlunya mengobar-ngobarkan hal-hal yang mulia pada hati, dengan jalan mendengar nyanyian itu, suatu keteledoran, bagi orang yang berkekalan menyaksikan kebenaran. Walaupun ia bersifat sempuma dibandingkan kepada orang lain.



Karena itulah, Al-Hashri berkata: "Apakah yang akan aku perbuat dengan mendengar yang terputus, apabila telah mati orang yang didengarkan nyanyian daripadanya?". Itu adalah suatu isyarat, bahwa mendengar daripada Allah Ta'ala adalah yang kekal. Nabi- nabi as. berada terus-menerus pada kesenangan mendengar dan menyaksikan. Mereka tidak memerlukan kepada menggerakkan- nya dengan sesuatu daya-upaya.



Adapun perkataan Al-Fudlail : nyanyian itu perangsang bagi perzinaan, dan begitu pula lainnya dari perkataan-perkataan yang mendekati nyanyian, maka perkataan itu ditempatkan pada pendengaran orang-orang fasiq dan pemuda-pemuda yang berkobarkobar hawa-nafsunya, walaupun yang demikian itu adalah umum. Karena apa yang telah didengar dari dua budak wanita pada rumah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.



Adapun qias (analogi), maka kesudahan apa yang disebutkan, ialah diqiaskan kepada rebab. Dan telah disebutkan perbedaannva. Atau dikatakan, bahwa nyanyian itu ialah senda-gurau dan per- mainan. Dan benarlah yang demikian. Bahkan dunia seluruhnya ialah senda-gurau dan permainan. 'Umar ra. berkata kepada isterinya : "Engkau sesungguhnya, alat permainan di sudut rumah". Dan semua permainan bersama wanita adalah senda-gurau, selain bersetubuh yang menjadi sebab adanya anak. Dan begitu pula senda-gurau yang tak ada padanya kekejian adalah halal. Dinukilkan yang demikian dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dan dari para shahabat, sebagaimana akan datang uraiannya pada "Kitab Bahaya Lidah", insya Allah.



Dan manakah permainan yang melebihi dari permainan orang Habsyi dan orang Hitam? Tentang permainan mereka itu, telah jelas dengan nash pembolehannya. Dan aku mengatakan, bahwa permainan itu menyenangkan bagi hati dan meringankan beban pikiran. Dan hati apabila dipaksakan, niscaya buta. Menyenangkan-

634



nya adalah pertolongan baginya untuk rajin. Orang yang rajiri mempelajari ilmu umpamanya seyogialah beristirahat (berlibur) pada hari Jum'ah. Karena berlibur sehari membangkitkan kerajinan pada hari-hari yang lain. Orang yang rajin mengerjakan shalat sunat pada waktu-waktu yang lain, seyogialah berlibur pada sebahagian waktu. Dan karena itulah dimakruhkan shalat pada sebaha gian waktu.



Maka liburan itu menolong kepada pekerjaan. Dan permainan itu menolong kepada kesungguhan. Dan tidak adalah yang sabar kepa­da semata-mata kesungguhan dan kebenaran yang pahit, selain daripada jiwa (diri) nabi-nabi as.



Maka permainan itu adalah obat bagi hati daripada penyakit kepa- yahan dan kebosanan. Maka seyogialah permainan itu mubah (diperbolehkan). Tetapi tiada seyogialah, bahwa memperbanyak permainan, sebagaimaria tiada memperbanyak obat. Jadi, berdasarkan niat ini jadilah permainan itu qurbah, (mende- katkan diri kepada Allah Ta'ala). Ini, terdapat orang yang tiada digerakkan hatinya oleh mendengar nyanyian itu kepada sifat terpuji yang diminta menggerakkannya. Bahkan tiada baginya, selain daripada kelezatan dan kesenangan semata-mata. Maka seyogialah disunatkan baginya permainan, untuk menyampaikan- nya kepada maksud yang telah kami sebutkan itu. Benar, ini menunjukkan kepada kekurangan dari puncak kesem- purnaan. Karena orang sempurna (al-kamil), yaitu : orang yarig tiada berhajat menyenangkan dirinya dengan yang tidak benar. Bahkan kebaikan orang-orang baik menjadi kejahatan'bagi orang- orang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala). Dan orang yang mengetahui ilmu pengobatan hati dan cara-cara melembutkannya untuk membawanya kepada kebe­naran, niscaya pasti mengetahui, bahwa menyenangkan hati de­ngan hal-hal seperti di atas adalah merupakan obat yang berman- fa'at, yang tidak boleh tidak.



635



bab kedua : Tentang bekas mendengar nyanyian dan adab sopan-santunnya.

Ketahuilah, bahwa permulaan derajat mendengar, ialah memahami yang didengar dan menempatkannya kepada pengertian yang jatuh ke dalam otak pendengar. Kemudian, pemahaman itu mem- buahkan rasa yang mendalam. Dan rasa yang mendalam itu mem- buahkan gerak anggota badan. Maka hendaklah diperhatikan pada tiga tingkat ini:



Tingkat Pertama : tentang pemahaman. Pemahaman itu berlainan dengan berlainan keadaan pendengar. Dan pendengar itu mempu­nyai empat keadaan :



1.    Pendengarannya itu adalah semata-mata tabiat. Artinya : ia tiada mempunyai apa-apa pada pendengarannya itu, selain dari- pada kelezatan nyanyian dan lagu. Dan ini diperbolehkan. Dan itu adalah tingkat pendengaran yang paling rendah. Karena unta dan orang itu sama dalam hal ini. Demikian juga binatang ternak lain­nya. Bahkan tiada yang membawa kepada perasaan ini, selain oleh hidup. Maka tiap-tiap yang hidup (hewan) mempunyai macam kesenangan dengan suara-suara yang merdu.

2. Mendengar dengan memahami isinya. Tetapi menempatkan pemahaman itu kepada bentuk makhluq, adakalanya : sudah ter- tentu dan adakalanya : tidak tertentu. Yaitu : pendengaran pemu- da-pemuda dan orang-orang yang kuat nafsu-syahwatnya. Mereka itu menempatkan yang didengarnya menurut nafsu-syah­watnya dan yang dikehendaki oleh hal-ihwanya sendiri.

Hal ini adalah yang lebih buruk untuk memperkatakannya, selain menerangkan keburukannya dan melarangkannya.

3. Ia menempatkan apa yang didengarnya kepada keadaan dirinya pada Muamalahnya dengan Allah Ta'ala. Dan pertukaran hal- ihwalnya, sekali pada keadaan tetap tenang, dan lain kali pada keadaan yang dapat dima'afkan.Dan ini pendengaran murid-murid (orang-orang yang menghendaki jalan Allah). Lebih-lebih yang masih tingkat permulaan (al-mub- tadi-in).

Sesungguhnya, murid itu sudah pasti mempunyai kehendak, yaitu : yang menjadi maksudnya. Dan maksudnya itu, ialah mengeiial Allah swt., bertemu dan sampai kepada-Nya dengan jalan musya- hadah dengan siir (menyaksikan dengan rahasia) dan terbuka tutup (terbuka hijab).



636

Dalam mencapai mak'sudnya, si murid itu mempunyai jalan yang akan ditempuhnya, mempunyai manafaat  yang harus ia bertekun melaksanakarinya dan mempunyai hal-hal yang dihadapinya pada mu'amalahnya.



Apabila ia mendengar sebutan cacian atau percakapan, penerimaan atau penolakan, sambungan silaturrahim atau pemutusan silaturrahim, pendekatan atau penjauhan, kesedihan kepada yang hilang atau kehausan kepada yang dinanti, kerinduan kepada yang datang atau mengharap atau putus asa, keliaran hati atau kejinakan hati, penepatan janji atau pelanggaran janji, ketakutan bercerai atau kesenangan bersambung, ingatan perhatian yang dikasihi dan penolakan yang mengintip, berlinangnya air-mata atau berturut-turutnya kesedihan, iamanya perpisahan atau kembalinya persambungan atau yang Iain-lain, tentang hal-hal yang dikandung penyifatannya oleh syair-syair, maka tak boleh tidak, sebahagiannya akan bersesuaiian dengan keadaan si murid mengenai yang dicarinya. Maka berlakulah yang demikian, sebagaimana berlakunya sentuhan api yang menyalakan urat hatinya.



Lalu dengan demiki­an, bernyala-nyalalah apinya, kuatlah yang membangkitkan kerin­duan dan berkobar-kobarlah. Dan dengan sebabnya itu, ia diserang oleh hal-hal yang menyalahi adat-kebiasaannya.



Dan baginya jalan yang lapang pada menempatkan kata-kata di atas hal-ihwalnya. Dan tidaklah menjadi keharusan bagi pendengar menjaga maksud penya'ir dari perkataannya. Tetapi tiap-tiap perkataan itu mem­punyai beberapa bentuk. Dan tiap-tiap yang berpaham mempunyai bahagian-bahagian pada pengutipan pengertian dari perkataan itu. Dan marilah kami berikan contoh-contoh untuk penempatan- penempatan dan pemahaman-pemahaman itu. Supaya tidak disangka oleh orang bodoh, bahwa orang yang mendengar beberapa kuntum sya'ir, yang tersebut padanya : mulut, pipi dan alis, hanya dipahamkan daripadanya dzahiriahnya saja. Dan kita tidak memerlukan kepada menyebut cara memahami pengertian-pengertian dari kuntum-kuntum sya'ir itu.



637

Maka pada ceritera orang-orang yang ahli mendengar nyanyian itu, apa yang terbuka dari yang demikian itu. Sesungguhnya diceritakan, bahwa setengah mereka mendengar seorang penya'ir itu bermadah.

قال الرسول غدا تزور فقلت تعقل ما تقول

(Qaalar-rasuulu ghadan tazuu-ru fa qultu ta'-qilu ma taquulu). Artinya : "Utusan itu berkata : 'Besok yang dicintai akan datang bertamu ,

Lalu aku bertanya : 'Tahukah anda apa yang anda katakan itu’.

Maka lagu dan perkataan itu amat menggembirakan si pendengar tadi. Ia mendapat kesan yang mendalam, lalu diulang-ulanginya perkataan itu. Dan ia meletakkan nun pada tempat ta. Sehingga pantun di atas berobah menjadi: قال الرسول غدا نزور "Qalarrasuulu ghadan nazuuru", (di atas tadi : tazuuru تزور. Dan نزور nazuuru, artinya : kami datang berta­mu.). Sehingga pendengar itu jatuh pingsan, karena bersangatan gembira, lazat dan suka-cita. Ketika telah sembuh, lalu ia ditanyakan tentang perasaannya itu, dari mana datangnya?.

Ia menjawab : Aku teringat akan sabda Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. :

إن أهل الجنة يزورون ربهم في كل يوم جمعة مرة

(Inna ahlal-jannati yazuuruuna rabbahum fii kulli yaumi jum-'atin marratan).

Artinya : "Bahwa ahli sorga itu datang mengunjungi (datang berta­mu) kepada Tuhannya pada tiap-tiap hari Jum’ah sekali(1)

Ar-Ruqi menceriterakan dari Ibnud-Darraj, bahwa Ibnud-Darraj menerangkan : "Aku dan Ibnul-Futhi melalui sungai Tigris (Ad- Dajlah) antara Basrah dan Ubullah. Tiba-tiba tampak sebuah istana cantik, mempunyai pemandangan indah. Pada istana itu kelihatan seorang laki-laki. Dihadapannya seorang budak wanita yang menyanyi dan bermadah :



Tiap-tiap hari,

engkau berwarna

yang bukan mi,

yang lebih cantik bagi anda.



Tiba-tiba seorang pemuda yang berdiri  di bawah pemandangan yang indah itu, ditangannya sebuah tempat air dari kulit dan pada badannya pakaian buruk, mendengar nyanyian itu. Lalu berkata : "Wahai budak wanita! Demi Allah dan demi hidup tuanmu! Apakah engkau tidak mau mengulangi pantun ini kepadaku?".



(1) Pada pantun itu tersebut perkataan : tazuuru, lalu si pendengar itu teringat kepada hadits'Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. itu, yang padanya ada tersebut perkataan : yazuuruuna. Dua perkataan yang amat berdekatan bunyinya- Lalu dari perkataan : tazuuru, yang berarti, bahwa : si dia yang dicintai itu akan datang menemuinya, berobah kepada perkataan : yazuuruuna. yang berartrbahwa : ahli sorga itu akan datang mengunjungi Tuhannya. Dari itulah, maka ia jatuh pingsan. (Pent.). Hadits ini dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
638



Budak wanita itu lalu mengulanginya. Maka pemuda itu berkata : "Inilah! Demi Allah, engkau warnai aku bersama Allah dalam hal keadaanku".

Lalu pemuda itu memekik-mekik dan meninggal dunia.                 

Ar-Ruqi meneruskan ceriteranya : "Maka kami mengatakan, sesungguhnya fardlu telah menerima kami . Lalu kami berhenti. Maka berkatalah yang empunya istana kepada budak wanitanya : "Engkau merdeka karena Allah Ta'ala".

Ar-Ruqi meneruskan ceriteranya : "Kemudian, penduduk kota Basrah datang beramai-ramai. Lalu bershalat janazah kepada pemu­da itu. Setelah selesai menguburkannya, maka yang empunya istana itu berkata : 'Aku mengaku dihadapan saudara-saudara, bahwa semua milikku dipergunakan pada jalan Allah. Semua budakku merdeka. Dan istana ini untuk jalan Allah' ".

Ar-Ruqi meneruskan ceriteranya : "Kemudian yang empunya ista­na itu melemparkan semua pakaiannya. Dan ia bersarung dengan sehelai kain sarung. Dan berselendang dengan sehelai kain lainnya. Dan terus ia berjalan menuju entah ke mana. Manusia ramai me- mandang kepadanya, sampai iahilang dari mata mereka. Dan orang. banyak itu semuanya menangis. Maka tidaklah terdengar kabar apa-apa lagi tentang orang itu kemudian".



Maksudnya, bahwa orang itu telah menghabiskan waktu .dengan perihal keadaannya serta Allah Ta'ala. Dan mengetahui kelemahan- nya,untuk tetap di atas bagus kesopanan dalam pergaulan. Dan rasa kekesalannya^di atas bulak-balik hatinya dan miringnya dari jalan-jalan kebenaran.



Tatkala pendengarannya diketok oleh sesuatu yang bersesuaian dengan keadaannya, maka didengarnya daripada Allah Ta'ala, seakan-akan Allah Ta'ala menghadapkan firman-Nya kepadanya dan berfirman :Tiap-tiap hari engkau berwarna yang bukan ini yang lebih cantik bagi anda.



Dan orang yang ada pendengarannya dari Allah Ta'ala, atas Allah dan pada Allah, maka seyogialah bahwa orang itu telah memperkuatkan undang-undang pengetahuan tentang mengenal Allah Ta'ala dan mengenal sifat-sifat-Nya. Kalau tidak demikian, niscaya tergurislah baginya pendengaran tentang hak Allah Ta'ala, apa yang mustahil bagi Allah dan yang mengkafirkannya.



639



Maka pada pendengaran murid yang permulaan (murid-mubtadi) itu, ada bahayanya. Kecuali apabila murid itu tidak menempat­kan apa yang didengarnya, selain di atas hal-ihwalnya, dari segi yang tiada menyangkut dengan sifat Allah Ta'ala. Dan contoh kesalahan padanya, ialah pantun tadi itu sendiri. Jikalau ia mendengar pantun itu pada dirinya dan ia menghadap- kan perkataannya itu kepada Tuhannya 'Azza wa Jalla, maka ia menyandarkan pewarnaan itu kepada Allah Ta'ala, Lalu menjadi kafirlah dia.



Kadang-kadang ini terjadi semata-mata kebodohan mutlak, yang tiada bercampur dengan pendalilan kebenaran. Kadang-kadang terjadinya dari kebodohan yang ditarik oleh semacam pendalilan kebenaran. Yaitu : bahwa ia melihat pertukaran keadaan hatinya (jiwanya), bahkan pertukaran keadaan-keadaan alam lainnya, ada­lah dari Allah. Dan itu adalah benar. Karena sekali Allah melapang- kan hatinya dan sekali menyempitkannya. Sekali menyinarkannya dan sekali menggelapkannya. Sekali mengkasarkannya dan sekali melembutkannya. Sekali menetapkannya di atas mentha'ati-Nya dan menguatkannya di atas ketha'atan itu. Dan sekali menguasakan akan sethan ke atas hatinya. Supaya sethan itu memalingkan hati­nya dari jalan kebenaran. Ini semuanya adalah daripada Allah Ta'ala.



Dan orang yang terbit daripadanya hal-hal yang bermacam-macam, dalam waktu-waktu yang berdekatan, maka kadang-kadang dikatakan kepadanya menurut kebiasaan, bahwa orang itu : mempunyai bermacam-macam pikiran dan berbagai warna. Dan mungkin penya'ir dari sya'ir yang tersebut di atas tadi, tidak bermaksud lain, selain daripada menyandarkan kekasihnya kepada pewarnaan, tentang penerimaan dan penolakannya, tentang pendekatan dan penjauhannya.

Dan inilah yang dimaksudkan!.



Maka mendengarkan ini seperti yang demikian terhadap Allah Ta'ala, adalah kufur semata-mata. Tetapi seyogialah hendaknya diketahui, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mewarnakan dan Ia tiada berwarna. Ia mengobahkan dan Ia tiada berobah. Kebalikan dari hamba-Nya.



Dan pengetahuan itu berhasil bagi murid dengan : keimanan secara taqlid (i'tiqad taqlidi imani). Dan berhasil bagi orang yang berma' rifah, yang bermata hati, dengan : keyakinan terbuka hakikat kebenaran (yaqin kasyfi haqiqi).



640



Dan itu adalah termasuk keajaiban sifat-sifat keiuhanan. Dialah yang mengobahkan, tanpa Dia sendiri berobah. Dan tiada tergam- bar yang demikian, selain pada haq Allah Ta'ala. Bahkan tiap-tiap perobah selain Allah, maka perobah itu tidak dapat merobahkan sesuatu, selamasesuatuitu tiada berobah.



Diantara orang-orang yang mempunyai perasaan yang berkesan, ialah orang yang dikerasi oleh sesuatu keadaan, seperti : mabuk yang dahsyat. Lalu ia melepaskan lidahnya mencerca Allah Ta'ala. Mengingkari keperkasaan-Nya terhadap hati dan pembahagian-Nya bagi hal-hal yang mulia secara berlebih-kurang. Sesungguhnya Allah itu yang membersihkan hati orang-orang shiddiq dan yang menja- uhkan dari rahmat-Nya, hati orang-orang yang ingkar dan yang ter- tipu. Maka tiadalah yang melarang, apa yang dianugerahkan-Nya. Dan tiada yang memberi apa yang dilarang-Nya. Tiadalah putus taufiq kepada orang-orang kafir karena pelanggaran yang terdahulu. Dan tiadalah putus pertolongan nabi-nabi as. dengan taufiq dan nur-hidayah-Nya, karena wasilah yang dahulu. Bahkan Ia berfirman:

وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ

(Wa laqad sabaqat kalimatunaa li-'ibaadinal-mursaliin).Artinya : "Dan sesungguhnya perkataan Kami itu telah berlaku atas hamba-hamba Kami yang diutus (S. Ash-Shaffat, ayat 171).



Dan Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

(Wa laakin haqqal-qaulu minnii la-amla-anna jahannama minal- jinnati wannaasi ajma-'iin).

Artinya : "Tetapi perkataan daripada-Ku sebenarnya akan terjadi : sesungguhnya Aku akan memenuhkan neraka jahannam dengan jin dan manusia semuanya' (S. Ash-Sajadah, ayat 13).

Allah Ta'ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ

(Innal-ladziina sabaqat lahum minal-husnaa ulaa-ika 'anhaa mub-'a- duun).

Artinya : uSesungguhnya orang-orang yang telah lebih dahulu menerima kebaikan dari Kami, mereka dijauhkan dari neraka (S. Al-Anbia, ayat 101).



641



Jikalau terguris dihatimu, mengapakah berbeda yang dahulu, sedang mereka itu bersekutu pada ikatan perhambaan yang dipanggil dari perkhemahan keagungan yang tiada melampaui batas adab?

Sesungguhnya Ia (Allah) tidak ditanyakan daripada apa yang di perbuat-Nya. Sedang mereka itu ditanyakan.



Demi umurku, beradabnya lisan dan dzahiriah adalah sebahagian dari yang disanggupi oleh kebanyakan orang. Adapun beradabnya bathiniah (sirr) daripada menyembunyikan hal-hal yang menjauhkan, dengan perbedaan dzahiriah ini, mengenai : pendekatan dan penjauhan, pencelakaan dan pembahagiaan, serta kekalnya kebahagiaan dan kecelakaan untuk selama-lamanya, maka tiadalah yang kuat melaksanakannya, kecuali para ulama yang mendalam penge- tahuannya.



Karena inilah Nabi Khidlir as. menjawab, tatkala beliau ditanyakan dari hal mendengar dalam tidur : "Bahwa itu adalah keikhlasan berkasih-kasihan yang menggelincirkan, yang tiada tetap di atasnya, selain daripada tapak kaki para ulama. Karena pendengaran itu menggerakkan segala rahasia hati dan segala yang tersembunyi padanya. Mengacaukan hati, sebagaimana kekacauan yang ditim- bulkan oleh mabuk yang dahsyat, yang hampir membukakan ikat­an adab dari rahasia bathin. Selain dari orang-orang yang dipeliha- rakan oleh Allah Ta'ala dengan nur-hidayah-Nya dan kelemah- lembutan pemeliharaan-Nya.



Karena itulah sebahagian mereka berkata : "Moga-moga kiranya kita terlepas dari pendengaran ini satu demi satu", Maka pada pendengaran dari macam ini, terdapat bahaya yang lebih daripada bahaya pendengaran yang menggerakkan nafsu- syahwat. Karena kesudahan yang itu adalah ma'shiat, sedang kesudahan dari kesalahan itu di sini ialah kufur. Ketahuilah, bahwa pemahaman kadang-kadang berbeda menurut hal-ihwal yang mendengar. Lalu mengeraslah perasaan yang ber- kesan kepada dua pendengar sekuntum sya'ir. Salah seorang dari keduanya benar pahamnya dan yang lain salah. Atau keduanya benar. Dan keduanya telah memahami dua pengertian yang berla­inan, lagi berlawanan. Tetapi dibandingkan kepada perbedaan hal- ihwal diantara keduanya adalah tidak berlawanan. Sebagaimana diceriterakan dari 'Atabah Al-Ghallam, di mana ia mendengar seorang laki-laki bermadah :



642



Maha Suci Tuhan Yang Maha Menguasai langit. Sesungguhnya orang dalam keeintaan berada dalam keadaan sulit Lalu 'Atabah menjawab : "Benar engkau!". Dan ada seorang laki-laki lain yang mendengar, lalu menjawab : "Dusta engkau!".

Maka berkata setengah mereka yang bermata-hati : "Keduanya itu betul!".

Itulah yang benar. Pembenaran itu, perkataan orang yang bercinta an yang tidak dimungkinkan dari maksud. Bahkan tercegah, yang memayahkan dengan cegahan dan ditinggalkan. Dan pendustaan itu, perkataan orang yang merasa kejinakan hati dengan percintaan, merasa enak bagi apa yang dideritainya. Disebabkan kesangatan cintanya, yang tiada merasa pembekasan dengan penderitaan itu. Atau perkataan orang yang bercintaan, yang tiada tercegah dari maksudnya pada waktu sekarang. Dan tiada merasa bahayanya cegahan itu pada masa yang akan datang. Yang demikian ddalah karena kerasnya harapan dan baik sangkaan pada hatinya. Maka dengan berlainannya hal-ihwal ini, berlainanlah paham. Diceriterakan dari Abil-Qasim bin Marwan dan dia telah menemani Abu Sa'id Al-Charraz ra. Dan meninggalkan menghadliri pen­dengaran pantun-pan tun beberapa tahun iamanya. Lalu Abil-Qasim jmenghadliri suatu undangan. Dan pada undangan tersebut, seorang laki-laki bermadah :



Orang itu berdiri dalam air kehausan.

Tetapi..................................

la tiada minum.



Lalu bangunlah orang banyak dan mempunyai kesan yang menda- lam. Tatkala orang banyak itu telah tenang, lalu Abil-Qasim bertanya : kepada mereka, pengertian apa yang telah jatuh ke dalam lubuk hati mereka, dari pengertian pantun itu. Mereka itu menunjukkan kepada kehausan, akan hal-ihwal yang mulia (sifat-sifat yang mulia) dan tidak memperoleh sifat-sifat itu, sedang sebab-sebab untuk memperolehnya ada. Abil-Qasim tiada merasa puas dengan jawaban tersebut. Lalu mere­ka itu bertanya kepada Abil-Qasim : "Apakah yang ada padamu pada pantun itu?".



643



Abil-Qasim menjawab : "Bahwa orang itu berada di tengah-tengah hal-ihwal (sifat-sifat) itu. Dan ia dimuliakan dengan segala kemu- liaan dan tiada diberikan kepadanya dari kemuliaan-kemuliaan itu sebesar biji sawi َ pun.



Ini menunjukkari kepada adanya hakikat di balik segala hal-ihwal dan kemuliaan itu. Dan segala hal-ihwal itu adalah yang mendahului dari segala kemuliaan. Dan segala kemuliaan itu memperoleh kesempatan pada permulaannya segala hal-ihwal. Dan hakikat sesudahnya tiada akan sampai kepadanya.



Tiada perbedaan antara pengertian yang dipahaminya dan ;apa yang disebutkan mereka. Selain pada berlebih-kurangnya derajat orang yang kehausan kepadanya. Karena orang yang tiada mem­peroleh hal-ihwal yang mulia atau tiada merasa haus kepadanya, maka jikalau memungkinkan daripadanya, niscaya ia merasa haus kepada yang sebaliknya dari hal-ihwal yang mulia itu. Maka tiadalah perbedaan diantara dua pengertian pada pemahamannya. Tetapi perbedaan diantara dua tingkat (derajat). Asy-Syibli ra. banyak merasa dengan kesan yang mendalam di atas sekuntum sya'ir ini :



Sayangmu itu menjauhkan diri.

Cintamu itu kebencian.

Silaturrahimmu itu memutuskan tali.

Perdamaianmu itu peperangan.



Pantun ini memungkinkan pendengarannya kepada bermacam- macam segi. Sebahagiannya benar dan sebahagian lagi batil. Dan arti yang lebih jelas, ialah memahamkan ini pada makhluq. Bahkan pada dunia keseluruhannya. Bahkan pada semua, yang selain dari Allah Ta'ala. Sesungguhnya dunia itu memperdayakan, menipu, membunuh orang-orangnya, bermusuhan dengan mereka pada bathin dan mendzahirkan rupa kasih-sayang. "Maka tidak memenuhi dunia itu oleh perkampungan kesukaan, melainkan telah memenuhinya oleh gelombang air mata". (1), sebagaimana tersebut pada hadits. Dan sebagaimana Ats-Tsa'labi bermadah pada menyifiatkan dunia :



(1) Dirawikan Ibnul-Mubarak dari 'Akramah bin 'Ammai, dari Yahya bin Abi Katsir, hadits mursal.
644



Sesak suaramu tentang dunia,

maka janganlah berbicara dengan dunia ini!.

Janganlah berbicara,

dengan pembunuh orang yang akan engkau kawini!.

Tiadalah sempurna yang diharap dari dunia,

dengan yang ditakuti padanya.

Yang dibenci dari dunia,

apabila kita perhatikan, adalah kuat adanya.

Orang-orang yang menyifatkan dunia,

telah berkata banyak tentang dunia,

Padaku dunia itu mempunyai suatu sifat saja,

demi umurku, yang lebih patut adanya :

Khamar, kesudahannya pakit.

Kendaraan penuh hawa-nafsu.

Apabila engkau sudah merasa lezat,

maka iapun datang menyerbu.

Orang yang cantik,

disukai manusia oleh kecantikannya.

Tetapi mempunyai rahasia yang pelik,

yang jahat sekali apabila ternyata nantinya



Arti kedua : menempatkan pantun itu ke atas dirinya pada hak Allah Ta'ala. Karena apabila ia bertafakkur, tentang Allah Ta'ala, maka ma*rifahnya itu kebodohan. Karena tiadalah mereka itu dapat menentukan tentang Allah dengan ketentuan yang sebenar nya. Tha'atnya akan Allah itu ria. Karena ia tidak bertaqwa akan Allah dengan taqwa yang sebenarnya: Kecintaannya akan Allah itu berpenyakit, Karena ia tidak meninggalkan suatupun dari hawa- nafsunya pada mencintai Allah. Dan orang yang dikehendaki oleh Allah akan memperoleh kebajikan, niscaya diperlihatkan oleh Allah kepada orang itu segala keaiban (kekurangan) dirinya. Maka orang itu melihat kebenaran pantun tersebut pada dirinya, walaupun ia berderajat tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang lalai.

645

Karena itulah, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :

لا أحصى ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك

(Laa uhshii tsanaa-an 'alaika anta, kamaa atsnaita 'alaa nafsika).Artinya : "Tiada aku hinggakan pujian kepada Engkau, sebagai­mana Engkau pujikan diri Engkau sendiri". (l)



Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda:

إني لاستغفر الله في اليوم والليلة سبعين مرة

(Inni la-astaghfirullaaha fil-yaumi wal-lailati sab-'iina marrah). Artinya : "Sesungguhnya aku meminta ampun pada Allah sehari- semalam tujuh puluh kali". (2)



Istighfarnya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (meminta ampunan) adalah dari hal-ihwal. Yaitu : derajat-derajat yang jauh, dibandingkan kepada hal-ihwal sesudahnya. Walaupun berdekatan dibandingkan kepada hal-ihwal sebelumnya. Tiadalah kedekatan, selain masih ada, dibelakangnya kedekatan, yang tiada berkesudahan. Karena jalan yang dijalani kepada Allah Ta'ala itu tiada berkesudahan. Dan sampai kepada penghabisan derajat kedekatan itu mustahil.



Arti ketiga ; bahwa ia memandang pada permulaan hal-ihwalnya. Maka ia rela dengan hal-ihwal itu. Kemudian ia memandang pada akibat-akibatnya, maka ia menghinakannya. Karena dilihatnya kepada tipuan-tipuan yang tersembunyi padanya. Lalu ia melihat yang demikian itu dari Allah Ta'ala. Maka ia mendengar sekuntum sya'ir pada hak Allah Ta'ala, sebagai pengaduan dari qadla' dan qadar.

Ini adalah kufur, sebagaimana telah diterangkan dahulu. Dan tiada satupun dari pantun, melainkan mungkin menempatkannya di atas beberapa pengertian. Yang demikian itu menurut qadar banyaknya pengetahuan dari yang mendengar dan kebersihan hatinya.



Hal ke-empat : pendengaran orang yang melampaui hal-ihwal dan tingkat-tingkat (al-maqamat). Lalu ia lenyap daripada memahami selain Allah Ta'ala. Sehingga ia lenyap daripada dirinya sendiri, hal-ihwalnya dan pergaulannya. Dia adalah seperti orang keheranan, yang menyelam dalam lautan. "Diri yang Disaksikan" ('Ainusy- syuhud), yang keadaannya menyerupai dengan keadaan para wa­nita yang memotong tangannya pada menyaksikan kecantikan Nabi Yusuf as. Sehingga mereka itu merasa dahsyat sekali dan hilang perasaan pancaindranya.



Dari contoh keadaan ini, kaum shufi meibaratkan, bahwa ia telah fana (lenyap/hilang) dari dirinya sendiri. Manakala telah lenyap dari dirinya sendiri, maka lebih-lebih lagi lenyap dari orang lain.



(1)     Dirawikan Muslim dan hadits ini sudah diterangkan dahulu.
(2)    Telah diterangkan dahulu pada "Bab Dua Tentang Dzikir".
646

Seakan-akan ia telah fana' dari tiap-tiap sesuatu, selain dari Yang Maha Esa yang disaksikannya (Al-wahidul-Masyhud). Dan juga ia telah fana'dari Yang Disaksikan. Karena hati itu juga apabila ber paling kepada Yang Disaksikan dan kepada dirinya sendiri, sebagai yang raenyaksikan, sesungguhnya ia telah lupa daripada Yang Disaksikan. Maka orang yang tenggelam dengan yang dilihatnya tak ada perhatiannya pada waktu tenggelamnya itu kepada peng lihatannya. Dan kepada matanya, yang dengan matanya itu ia melihatnya. Dan kepada hatinya, yang dengan hatinya itu ia merasa lezat.



Maka pemabuk tak ada berita baginya dari kemabukannya. Orang yang merasa kelezatan, tak ada berita baginya dari kelezatannya. Hanya beritanya dari benda yang dirasakan kelezatannya saja. Contohnya : Pengetahuan mengenai sesuatu. Maka pengetahuan itu berlainan bagi pengetahuan dengan ilmu sesuatu itu. Orang yang mengetahui sesuatu, manakala datang kepadanya pengetahuan dengan ilmu sesuatu itu, niscaya adalah ia telah berpaling dari sesuatu itu.



Contoh keadaan ini kadang-kadang datang pada diri makhluq. Dan datang juga pada hak Khaliq. Tetapi menurut biasanya, adalah keadaan itu seperti kilat yang menyambar, yang tidak tetap dan tidak kekal. Dan jikalau-pun kekal, niscaya tidak .disanggupi oleh kekuatan manusia ini. Kadang-kadang ia gementar di bawah berat tekanannya, gementar yang membinasakan dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Abil-Hasan An-Nuri, bahwa ia menghadliri suatu majelis, Lalu mendengar pantun ini:

Senantiasalah aku menempati suatu tempat

dari kasih-sayangmu,

Amat heranlah hati

ketika menampatinya itu.



Lalu Abil-Hasan berdiri, mendapat kesan yang mendalam dan berjalan. dengan tak tentu arah. Maka ia jatuh dalam rumpun bambu yang sudah dipotong. Dan pokok-pokoknya tinggal seperti pedang. Dia beijalan dalam rumpun bambu itu. Dan ia kembali ke rumah besok pagi. Darah keluar dari dua kakinya, sehingga bengkak dua tapak kakinya dan dua betisnya. Dan sesudah itu ia dapat hidup beberapa hari saja dan meninggal dunia. Kiranya Allah merahmatinya!.



647



Inilah derajat orang-orang shiddiq pada pemahaman dan perasaan hati. Itulah derajat yang tertinggi. Karena mendengarkan segala hal-ihwal itu turun dari derajat kesempurnaan. Ia bercampur dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dan itu adalah semacam keteledoran.



Dan sesungguhnya kesempurnaan (al-kamal), ialah bahwa ia fana' secara keseluruhan dari dirinya sendiri dan hal-ihwalnya. Ya'ni : ia lupa akan dirinya. Maka tidak tinggal lagi perhatian kepada dirinya itu, sebagaimana bagi para wanita, tiada lagi perhatian kepada tangannyadan pisau. Maka ia mendengar bagi Allah, dengan Allah, pada Allah dan dari Allah.



Inilah martabat orang, yang masuk ke dalam lautan hakikat. Dan melintasi pantai hal-ihwal dan amal-perbuatan. Bersatu dengan kebersihan tauhid dan meyakini dengan semata-mata ikhlas, Maka tidak sekali-kali tinggal padanya suatupun, kemanusiaannya telah padam secara keseluruhan. Dan terus fana' perhatiannya kepada sifat-sifat kemanusiaannya.



Tidaklah aku maksudkan dengan fana'nya itu fana' tubuhnya. Akan tetapi fana' hatinya. Dan tidaklah aku maksudkan dengan hati itu, daging dan darah. Akan tetapi rahasianya yang halus itu mempunyai bandingan yang tersembunyi kepada hati-dzahir, yang di belakangnya rahasia ruh, di mana rahasia ruh itu termasuk urusan Allah 'Azza wa Jalla. Diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh yang tidak mengetahuinya. Rahasia (sirr) itu mempunyai wujud. Bentuk wujud itu ialah apa yang datang padanya. Apabila datang yang lain, maka seolah-olah tiada wujudnya,selain bagi yang datang itu.



Contohnya, ialah cermin yang terang, karena tiada mempunyai warna pada dirinya. Bahkan warnanya ialah warna benda yang datang padanya. Demikian juga kaca, di mana kaca itu menerang- kan warna barang yang tetap padanya. Dan warnanya ialah warna barang yang datang padanya. Ia tiada mempunyai bentuk pada dirinya. Tetapi bentuknya ialah menerima segala bentuk. Dan warnanya ialah : keadaan persediaan menerima segala warna itu.



648

Dan dilahirkan akan hakikat ini, ya'ni: rahasia hati, dibandingkan kepada yang datang padanya, oleh madah seorang penya'ir :

Haluslah kaca,

haluslah khamar.

Keduanya serupa,

hingga menjadi samar.

Seolah-olah khamar, bukan kaca.

Seolah-olah kaca, bukan khamar             

Inilah maqam (derajat) diantara maqam-maqam ilmu-mukasyafah. Daripadanya jadilah khayalan (fantasi) orang yang menda'wakan hulul dan ittihad (1). Dan mengatakan : Anal-haqq (2). Dan di sekitar perkataan itu, berdengunglah perkataan kaum Nasrani yang menda'wakan : kesatuan Tuhan dengan manusia. Atau berpakaian Tuhan dengan manusia. Atau bertempatnya Tuhan pada manusia. Menurut bermacam-macam perkataan yang dikatakan mereka.



Itu adalah salah semata-mata! Menyerupai salahnya orang yang menetapkan kaca dengan rupa merah. Karena nyata pada kaca itu warna merah dari sebaliknya.



Apabila ini tiada layak dengan ilmu mu’amalah, maka marilah kita kembali kepada maksud! Dan telah kita sebutkan berlebih-kurangnya derajat (tingkat) pada memahami yang didengar. Tingkat kedua: Sesudah memahami dan menempatkan yang dipahami, itulah perasaan yang berkesan. Dan manusia mempunyai perkataan yangpanjang tentang hakikatnya perasaan yang berkesan ( الوجد Al-Wajd). Ya'ni : orang-orang shufi dan para ahli hikmat, yang memandang pada segi kesesuaian pendengaran bagi ruh. Maka marilah kami nukilkan beberapa perkataan dari ucapan mereka. Kemudian kami menyingkapkan tentang hakikat padanya.



Adapun kaum shufi, maka Dzunnun Al-Masri ra. telah berkata tentang pendengaran : Bahwa pendengaran itu yang mendatangkan kebenaran, yang datang mengejutkan hati kepada kebenaran. Maka orang yang mendengarkannya dengan penuh perhatian, dengan kebenaran, niscaya yaqinlah ia dengan penuh keyaqinan. Dan orang yang mendengarkannya dengan jiwa zindiq, maka seolah- olah ia menyeberang dari perasaan yang berkesan itu, dengan terkejutnya hati, kepada kebenaran. Yaitu yang diperolehnya ketika datangnya yang mendatangkan pendengaran. Karena pen­dengaran itu dinamakan : yang mendatangkan kebenaran.



(1)     Hulul  حلول, artinya : bertempatnya Tuhan pada makhluq. اتحاد Ittihad, artinya : bersatunya Tuhan dengan makhluq.
(2)    Anal-haqq, artinya : Aku itu Haq. Haq salah satu dari nama Tuhan Yang Maha Suci. Artinya : Yang Besar. (Pent.).                                                            
649



Abul-Husain Ad-Darraj berkata, sebagai menerangkan apa yang didapatinya pada pendengaran : " الوجد Al-Wajd (perasaan yang diperoleh dari pendengaran), ialah : ibarat dari apa yang diperoleh ketika mendengar Abul-Husain berkata lagi : "Bergoncanglah pendengaran bagiku pada medan keagungan Allah. Lalu pendengaran itu mengadakan bagiku akan wujudnya Al-Haq ketika memberi. Lalu memberi minum akan aku dengan segelas suci-bersih. Lalu aku memperoleh dengan demikian, tempat-tempat kerelaan. Dia mengeluarkan aku ke kebun-kebun tempat istirahat dan lapangan luas".



Asy-Syibli ra. berkata : "Pendengaran itu, dzahirnya fitnah dan bathinnya menjadi ibarat. Barangsiapa mengetahui isyarat, niscaya bertempatlah padanya pendengaran ibarat. Jikalau tidak, maka terpanggillah fitnah dan mendatangkan bencana".



Setengah mereka berkata : "Pendengaran itu makanan ruh bagi ahli ma'r if ah. Karena pendengaran itu suatu sifat yang tergedor dari aipal-perbuatan lainnya. Diketahui dengan kehalusan tabiat karena halusnya. Dengan kemurnian rahasia karena kemurniannya dan kelemah-lembutannya pada ahlinya".

'Amr bin 'Utsman Al-Makki berkata : "Tiadalah terjadi suatu ibarat di atas cara  الوجد Al-Wajd (perasaan yang berkesan). Karena  الوجد Al-Wajd itu rahasia (sirr) Allah pada hamba-Nya yang mu'min, yang berkeyaqinan teguh".



Setengah mereka berkata : " الوجد Al-Wajd itu terbuka (mukasyafah) dari Al-Haq



Abu Sa'id bin Al-A'rabi berkata :" الوجد Al-Wajd itu pengangkatan hijab, penyaksian yang mengintip (ar-raqib الرقيب ), kedatangan pemahaman, perhatian Yang Ghaib الغيب, percakapan dengan rahasia dan berjinakan hati dengan Yang Tiada Dijumpai (Al-Mafqud). Yaitu : fana' engkau di mana saja engkau itu".

Abu Sa'id tadi berkata pula : " الوجد Al-Wajd ialah : permulaan derajat khusus. Yaitu : pusaka pembenaran dengan Yang Ghaib. Manakala mereka telah merasainya dan cemerlang pada hatinya Nur-Nya, niscaya hilanglah dari mereka, setiap sangkaan dan keraguan". Beliau itu berkata pula : "Yang menghijabkan (mendindingkan) dari  الوجد Al-Wajd, ialah melihat bekas-bekas jiwa dan kegantungannya dengan segala gantungan dan sebab-sebab. Karena jiwa itu terdin- ding dengan sebab-sebabnya. Apabila sebab-sebab itu terputus, ingatan bersih, hati jernih, halus dan murni, pengajaran membekas padanya, bertempat dari munajah pada tempat yangdekat, diajak berbicara dan dia mendengar ajakan itu dengan telinga yang nyaring, Hati yang menyaksikan dan rahasia yang nyata, lalu ia menyaksikan apa yang ia kosong daripadanya, maka itulah yang dikatakan :  الوجد Al-Wajd. Karena ia telah memperoleh apa yang tidak ada padanya".



650



Beliau itu berkata pula : " الوجد Al-Wajd, ialah apa yang ada, ketika ingatan mengejutkan, atau takut yang menggoncangkan atau penghinaan atas tergelincir atau percakapan dengan kelemah-lembutan atau isyarat kepada suatu faedah atau rindu kepada yang ghaib atau sedih atas yang hilang atau penyesalan kepada yang lalu atau penarikan kepada sesuatu hal atau memanggil kepada kewajiban atau munajah dengan rahasia. Dan itu, adalah berhadapan dzahir dengan dzahir, bathin dengan bathin, ghaib dengan ghaib, rahasia dengan rahasia (sirr dengan sirr), mengeluarkan apa yang kepunyaan engkau dengan apa yang menjadi kewajiban engkau, daripada apa yang telah lalu bagi engkau, mengusahakannya. Maka dituliskan yang demikian itu lagi engkau, sesudah adanya dari engkau. Maka tetaplah tapak kaki engkau, tanpa tapak kaki. Dan dzikir, tanpa dzikir. Karena adalah Dia yang memulai dengan segala ni'mat dan yang memerintahkannya. Kepada-Nya-lah kembali persoalan seluruhnya".



Itulah dzahiriah ilmu  الوجد Al-Wajd. Perkataan-perkataan kaum shufi, adalah banyak dari jenis ini tentang  الوجد Al-Wajd itu. Adapun kaum hukama(ahli hikmat), setengah mereka berkata : "Dalam hati ada keutamaan yang mulia, yang tidak sanggup kekuatan, berkata-kata, mengeluarkannya dengan perkataan. Lalu dikeluarkan oleh jiwa dengan alunan suara (nyanyian). Manakala nyanyian itu timbul, lalu disukai dan disenangi kepadanya. Maka dengarkanlah dari jiwa! Bermunajahlah (berbisik-bisik) dengan jiwa! Dan tinggalkanlah munajah dzahiriah!". Setengah mereka berkata : "Natijah mendengar ialah membangkit­kan pendapat yang lemah. Menarik pikiran yang hilang. Dan mena- jamkan paham dan pendapat yang tumpul. Sehingga kembalilah barang yang hilang. Bangkitlah barang yang lemah. Bersihlah barang yang keruh. Dan bergembiralah pada semua pendapat dan niat. Lalu ia benar dan tidak salah. Dan ia datang dan tidak terlambat'V Yang lain berkata : "Sebagaimana pikiran mengetuk pengetahuan kepada yang diketahui. maka pendengaran itu mengetuk hati kepada alam ruhani".



651




Setengah mereka menjawab, di mana ia ditanyakan tentang apa sebabnya bergerak anggota badan secara tabiat atas bunyinya lagu dan pengaruhnya suara, lalu menjawab : "Yang demikian itu keasyihan akal. Orang yang asyik akainya tidak memerlukan kepa­da berbicara dengan yang diasyikannya (dirindukannya) dengan alat pembicaraan kebendaan. Tetapi ia berbicara dan berbisik-bisik, dengan senyuman, perhatian, gerakan yang halus dengan bulu kening, pelupuk mata dan isyarat. Dan ini semua, adalah pembicaraan-pembicara. Hanya sifatnya itu, ruhaniah. Adapun orang yang asyik kehewanan, makaia memakai alat tutur yang bertubuh, untuk mengibaratkan dengan demikian, akan buah dzahiriah kerinduannya yang lemah dan keasyikannya yang hina". Yang lain berkata : "Orang yang susah hati, hendaklah mendengar nyanyian! Karena jiwa apabila dimasuki oleh kesusahan, niscaya suramlah cahayanya. Dan apabila gembira, niscaya cemerlanglah cahayanya dan lahirlah kegembiraannya. Maka lahirlah kerinduan, dengan qadar penerimaan yang menerima. Yang demikian itu, dengan qadar bersih dan sucinya daripada penipuan dan pengotoran".



Ucapan-ucapan yang tetap dari ulama-ulama tentang pendengarar dan perasaan yang berkesan dari pendengaran itu ( الوجد Al-Wajd) adalah banyak. Dan tiada arti memperbanyakkan mendatangkannya di sini. Maka marilah kita meneruskan pemahaman maksud dari perkataan  الوجد Al-Wajd itu!.



Kami menerangkan bahwa :  الوجد Al-Wajd, ialah ibarat dari keadaan yang dihasilkan oleh pendengaran. Dan dia itu yang mendatangkan kebenaran baru, sesudah pendengaran, yang diperoleh oleh si pen­dengar dari dirinya. Dan keadaan .itu tiada terlepas daripada dua bahagian. Yaitu: adakalanya, bahwa ia kembali kepada mukasyafah dan musyahadah. Yaitu : dari segi pengetahuan dan peringatan. Dan adakalanya ia kembali kepada perobahan-perobahan dan! hal-ihwal yang tidak termasuk pengetahuan. Bahkan dia itu, seperti: kerinduan, ketakutan, kesedihan, kebimbangan, kegembiraan, kegundahan, penyesalan, kelapangan dan kesempitan hati. Segala hal-ihwal tersebut digerakkan oleh pendengaran dan dikuat- kannya. Jikalau lemah, di mana tidak membekaskan pada meng­gerakkan dzahir atau mendiamkannya atau mengobahkan halnya, sehingga ia bergerak berlainan dari kebiasaannya atau menunduk- kan kepala atau diam dari melihat, berbicara dan bergerak dengan berlainan dari kebiasaannya, niscaya tidak dinamakan :  الوجد Al-Wajd.



652

Dan jikalau tampak di atas dzahiriah, maka dinamakan :  الوجد Al-Wajd. Adakalanya lemah dan adakalanya kuat menurut dzahirnya, pero- bahannya bagi dzahiriah dan penggera kannya menurut kuat datangnya dan penjagaan dzahiriah dari perobahan,- menurut kuat- nya orang yang berperasaan itu dan kemampuannya membatasi anggota tubuhnya.



Kadang-kadang  الوجد Al-Wajd itu kuat pada bathin. Dan dzahir tidak berobah karena kuatnya yang mempunyai  الوجد Al-Wajd itu. Kadang- kadang tiada tampak, karena lemahnya yang datang,pendeknya dari yang menggerakkan dan terbukanya ikatan yang berpegangan satu dengan lainnya.



Kepada pengertian pertama itu di-isyaratkan oleh Abu Sa'id Al- A'rabi, di mana beliau berkata tentang  الوجد Al-Wajd : "Bahwa  الوجد Al-Wajd itu musyahadah bagi yang mengintip (Ar-Raqib), kehadliran pema- haman dan pemerhatian yang Ghaib".



Tiada jauhlah, bahwa pendengaran itu adalah sebab untuk membu- ka sesuatu yang tiada terbuka sebelumnya. Terbukanya (al-kasyaf) itu, berhasil dengan beberapa sebab :

Diantaranya : peringatan (at-tanbih). Dan pendengaran itu memperingatkan.



Diantaranya : berobah hal-keadaan, menyaksikan dan mengetahui- nya. Karena mengetahuinya itu semacam pengetahuan, yang men­datangkan faedah penjelasan hal-hal, yang tidak diketahui sebelum datangnya.



Diantanmya : kebersiHan hati. Dan pendengaran itu membekas pada pembersihan hati. Dan kebersihan itu menyebabkan terbuka (al-kasyaf).



Diantaranya : membangkitnya kerajinan hati dengan kekuatan pendengaran. Maka ia kuat untuk menyaksikan tentang apa yang kurang kekuatannya sebelum itu. Sebagaimana kuatnya keledai membawa apa yang ia tidak kuat sebelumnya. Amalan hati ialah menerima al-kasyaf dan memperhatikan segala rahasia alam malakut. Sebagaimana pekerjaan keledai membawa pikulan-pikulan yang berat-berat. Maka dengan perantaraan sebab- sebab ini, ia menjadi sebab al-kasyaf.



653

Bahkan hati itu apabila telah bersih, kadang-kadang Al-Haq membentuk baginya dalam bentuk musyahadah. Atau dalam kata-kata yang teratur yang mengetuk pendengarannya, yang di-ibaratkan dengan : suara al-haatif apabila ia berada dalam keadaan tidak tidur. (1). Dan dengan mimpi, apabila ia berada dalam keadaan tidur. Dan itu adalah sebagian daripada empat puluh enam bagian dari nubuwwah (kenabian).



Pengetahuan pembuktian yang demikian itu, di luar dari ilmu mu’amalah. Yang demikian sebagaimana diriwayatkan dari Mu­hammad-bin Masruq Al-Baghdadi, di mana beliau berkata : "Pada suatu malam aku keluar di hari-hari aku masih muda remaja dan aku sedang mabuk minum khamar. Dan aku menyanyikan nya­nyian ini,:



Di Torsina ada kebun penuh kayu-kayuan,

aku tiada pernah lalu di situ.

Tetapi aku heran

orang yang meminum airnya itu.

Lalu aku mendengar suara yang tiada kelihatan orangnya, menya­nyikan :

Dalam neraka jahannam ada air, tiada seorangpun yang meminumnya, lalu bisa tinggal sesudah itu, perut panjang dalam rongga tubuhnya.



Muhammad bin Masruq tadi menerangkan : "Itulah yang menjadi sebab tobatku dan seluruh perhatianku kepada ilmu dan ibadah". Perhatikanlah, bagaimana membekasnya nyanyian pada membersihkan hati Muhammad bin Masruq. Sehingga mengumpamakan hakikat kebenaran baginya, tentang sifat neraka jahannam, dalam kata-kata yang dipahami dan bertimbangan. Dan yang demikian itu mengetuk pendengaran dzahiriahnya.



Diriwayatkan dari Muslim Al-Abadani, bahwa beliau menerangkan: "Pada suatu kali, telah datang kepadaku Shalih Al-Marri, 'Atabah Al-Ghallam, Abdul-Wahid bin Zaid dan Muslim Al-Aswari. Mereka itu semuanya bertempat di tepi pantai 'Abadan. Muslim Al-'Aba- dani meneruskan ceriteranya. Maka pada suatu malam, aku me- nyediakan makanan untuk mereka. Lalu aku mengundang mereka makan. Mereka-pun datang. Tatkala aku meletakkan makanan dihadapan mereka, tiba-tiba salah seorang menyanyikan dengan suara tinggi nyanyian ini :



(1) Al-Haatif, artinya : terdengar suaranya dan tiada terlihat orangnya.
654



Engkau dilalaikan dari negeri yang berkekalan  oleh bermacam-macam makanan  Kelezatan jiwa disesatkan, oleh yang tiada mempunyai kemanfa'atan.



Muslim Al-'Abadani menerangkan seterusnya : "Maka 'Atabah Al-Ghallam memekik dengan suara keras. Ia jatuh pingsan. Dan orang banyak tinggal di situ. Aku lalu mengangkat makanan itu. Dan demi Allah, mereka tiada merasakan sesuap-pun daiipadanya". Sebagaimana terdengar suara al-haatif ketika hati bersih, maka terlihat juga dengan mata, rupa Nabi Khidr as. Dia merupakan diri­nya bagi segala orang yang berhati bersih, dengan bermacam-macam bentuk. Dan pada contoh keadaan yang seperti ini, para malaikat merupakan dirinya bagi nabi-nabi as. Adakalanya di atas hakikat bentuknya. Dan adakalanya di atas contoh yang meniru sebahagian bentuknya.



Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melihat Jibril as. dua kali dalam ben­tuknya. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menerangkan bahwa Jibril as. itu menutup- kan tepi langit. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta'ala :

عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
5
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى
6
وَهُوَ بِالأفُقِ الأعْلَى
7

('Al-lamahu syadiidul-quwaa, dzuu mirratin fastawaa, wa huwa bil-ufuqil-a'-laa).Artinya : "Dia diberi pelajaran oleh yang sangat kuat Yang mem­punyai kepintaran. Dan dia cukup sempurna. Sedang dia dibagian yang tinggi dari tepi langit". (S. An-Najm, ayat 5-6-7)sampai akhir ayat-ayat tersebut.



Pada bersihnya hati seperti hal-hal ini, terjadilah penglihatan kepada yang tersembunyi bagi hati. Kadang-kadang di-ibaratkan dari penglihatan itu : mencari firasat (at-tafarrus). Dan karena itu­lah, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda

اتقوا فراسة المؤمن فإنه ينظر بنور الله

(Ittaquu firaasatal-mu'mini, fa innahu yandhuru bi-nuurillaah). Artinya : "Takutilah akan firasat orang mu 'mm. Karena orang mu’min itu melihat dengan nur Allah".



Diceriterakan, bahwa seorang laki-laki beragama majusi (penyembah api) mendatangi orang Islam dan menanyakan : "Apakah arti­nya sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. : ‘Takutilah akan firasat orang mu’min ?

Lalu diterangkan kepada orang majusi itu, tafsir hadits itu. Tetapi tiada memuaskan hatinya penjawaban itu. Sehingga sampailah orang majusi itu kepada sebahagian syaikh shufi. Maka iapun me­nanyakan kepada syaikh shufi itu.

Syaikh shufi itu mengatakan kepadanya: "Maksud hadits itu ialah : bahwa engkau potong benang kekufuran yang terikat pada pinggang engkau, di bawah kain engkau".

Lalu majusi itu menjawab : "Benar engkau! Inilah artinya". Dan orang majusi itupun terus memeluk agama Islam. Dan berkata : "Sekarang aku tahu, bahwa engkau mu'min dan keimanan engkau itu benar".



655



Dan sebagaimana diceriterakan dari Ibrahim Al-Khawwash, yang menceriterakan : "Aku berada di Bagdad dalam rombongan orang- orang fakir dalam masjid jami’ Lalu seorang pemuda yang harum baunya dan cantik wajahnya datang ke depan. Maka aku berkata kepada teman-temanku : "Menurut dugaanku, bahwa pemuda itu orang Yahudi", Lalu semua mereka benci kepada pemuda itu. Maka akupun keluar dan pemuda itupun keluar. Kemudian ia kembali kepada" orang banyak itu dan bertanya : "Apakah kata Syaikh itu terhadap aku?". Mereka itu tidak mau menjawab. Lalu ia, mendesak orang banyak itu. Maka mereka itu berkata kepada­nya : "Syaikh mengatakan, engkau orang Yahudi".



Ibrahim Al-Khawwash meneruskan ceriteranya : "Lalu pemuda itu datang kepadaku, mencium kedua tanganku, memeluk kepalaku dan memeluk Islam seraya berkata : 'Kami dapati dalam kitab- kitab kami, bahwa orang shiddiq itu tidak salah firasatnya. Lalu aku berkata pada diriku, aku uji kaum muslimin. Lalu aku perhati- kan tingkah-laku mereka. Maka aku berkata, jikalau ada orang  shiddiq pada mereka, maka dalam golongan inilah. Karena mereka itu mengatakan hadits-Nya yang maha suci dan membacakan kalam-Nya. Maka ragulah aku di atas mereka itu. Maka tatkala Syaikh itu melihat kepadaku dan mengambil firasat terhadap diriku, maka tahulah aku, bahwa syaikh itu orang shid­diq*



Ibrahim Al-Khawwash meneruskan ceriteranya : "Demi jadilah pemuda itu termasuk orang shufi besar".

656

Dan kepada contoh al-kasyaf inilah, isyaratnya sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.:

لولا أن الشياطين يحومون على قلوب بني آدم لنظروا إلى ملكوت السماء

(Lau-laa annasy-syayaathiina yahuumuuna 'alaa quluubi banii Aadama lanadharuu ilaa malakuutis-samaa-i).Artinya : "Jikalau tidaklah sethan-sethan itu mengelilingi hati anak Adam, niscaya mereka itu memandang kepada alam malakut yang tinggi(1)



Sesungguhnya sethan-sethan itu mengelilingi hati, apabila hati itu, dipenuhi dengan sifat-sifat tercela. Sesungguhnya sifat-sifat tercela itu, tempat gembalaan sethan dan tentaranya. Orang yang mem- bersihkan hatinya dari sifat-sifat itu dan memurnikannya, niscaya sethan tidak berkeliling di keliling hatinya. Dan kepada inilah isyarat firman Allah Ta'ala :

إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

(Illaa 'ibaadaka minhumul-mukhlashiin).Artinya : uSelain dari hamba Engkau yang suci diantara mereka (S. Al-Hijr, ayat 40).

Dan firman Allah Ta'ala :

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ

 (Inna 'ibaadii laisa laka 'alaihim sulthaan).Artinya : "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tiadalah engkau berkuasa atas mereka (S. Al-Hijr, ayat 42).

Pendengaran itu sebab bagi kebersihan hati. Yaitu jala bagi kebe­naran dengan perantaraan kebersihan itu.



Di atas inilah? ditunjukkan oleh apa yang dirawikan, bahwa Dzun- nun Al-Mashri ra. masuk ke Bagdad. Maka berkumpullah padanya suatu golongan dari kaum shufi dan bersama mereka seorang penyanyi. Lalu mereka itu meminta keizinan Dzun-nun, supaya penya'ir tadi bernyanyi sesuatu untuk mereka. Dzun-nun mengizinkan mereka untuk yang demikian itu. Lalu penyanyi tadi bernyanyi :

Kecil hawa-nafsumu,

telah menyiksakan aku.

Maka betapa lagi,

apabila bertambah kuatnya nanti?.

Engkau kumpulkan dalam hatiku,

hawa-nafsu itu.

Sesungguhnya ia dahulu, telah bersekutu.

Tidakkah engkau meratapi,

kepada orang yang berduka-cita

Apabila tertawa orang yang bersenang hati,

lalu ia menangis saja.



(1) Hadits ini telah diterangkan dahulu pada "Bab Puasa".
657



Lalu Dzun-nun berdiri dan jatuh tersungkur. Kemudian berdiri orang lain, seraya berkata: "Dzun-nun yang melihat engkau, ketika engkau bangun berdiri". Lalu orang itu duduk kembali. Yang demikian itu adalah penglihatan dari Dzun-nun kepada hati­nya, bahwa orang itu memberatkan diri, berperasaan yang berkesan itu. Maka Dzun-nun memperkenalkan kepadanya, bahwa orang yang dilihatnya ketika bangun berdiri itu, ialah musuh, dalam berdirinya itu bukan karena Allah Ta'ala. Jikalau orang itu benar, niscaya dia tidak duduk.



Jadi, sesungguhnya hasil  الوجد Al-Wajd itu kembali kepada : mukasyafah dan kepada : hal-hal keadaan. Dan ketahuilah bahwa masing-masing dari keduanya itu terbagi kepada : yang mungkin ditaybirkan (diambil ibarat) ketika sembuh daripadanya. Dan kepada : yang tidak mungkin sekali-kali diambil ibarat daripadanya. Mudah-mudahan engkau dapat menjauhkan hal-keadaan atau pe­ngetahuan yang tiada engkau ketahui akan hakikatnya. Dan tidak mungkin menta'birkan akan hakikatnya. Maka janganlah engkau menjauhkan yang demikian. Sesungguhnya engkau akan mendapati dalam hal-keadaan engkau yang dekat beberapa kesaksian untuk yang demikian.



Adapun pengetahuan, maka banyaklah ahli-fiqh (faqih), yang dike- mukakan kepadanya dua persoalan yang serupa dalam bentuk. Dan diketahui oleh faqih itu dengan perasaannya (dzauq), bahwa dian­tara dua persoalan itu terdapat perbedaan dalam hukum. Dan apabila diberati untuk menyebutkan segi perbedaan, niscaya lidah tidak menolongnya untuk mengatakannya, walaupun faqih tersebut termasuk orang yang paling lancar berbicara. Maka diketahuinya perbedaan itu dengan perasaannya (dzauq) dan tidak mungkin diucapkannya. Dan pengetahuannya akan perbedaan itu, ialah pengetahuan yang diperolehnya dalam hatinya dengan dzauq. Dan ia tidak ragu bahwa mengenai jatuhnya dalam hatinya itu mempunyai sebab. Dan sebab itu mempunyai hakikat pada sisi Allah Ta'ala. Dan tidak mungkin ia menerangkan dari hal sebab itu, bukan karena singkat pada lisannya. Akan tetapi karena halusnya arti pada dirinya, daripada dapat dicapai oleh kata-kata.

658

Dan ini sesungguhnya termasuk diantara yang dapat dipahami dengan mendalam, oleh orang-orang yang rajin memperhatikan hal-hal yang sulit.



Adapun hal-keadaan, maka berapa banyak manusia yang mendapat dalam hatinya akan hal-keadaan, pada waktu ia berada dalam keadaan sempit atau lapang. Dan ia tiada mengetahui sebabnya. Kadang-kadang manusia itu, berpikir tentang sesuatu. Lalu mem- bekas pada jiwanya sesuatu bekas. Maka ia lupa akan sebab itu. Dan tinggallah bekas itu pada jiwanya dan ia merasakan dengan bekas itu.

Kadang-kadang hal-keadaan yang dirasakannya itu suatu kegembi- raan yang tetap pada jiwanya, disebabkan pemikirannya pada suatu sebab yang mengharuskan kegembiraan. Atau suatu kesedihan. Lalu yang berpikir itu lupa padanya. Dan ia merasakan bekas sesudahnya.



Kadang-kadang hal-keadaan itu suatu hal-keadaan yang ganjil, yang tidak dapat dilahirkan dengan kata-kata : kegembiraan atau kese­dihan.



Dan tidak dijumpai baginya kata-kata yang sesuai, yang menjelas- kan maksudnya. Akan tetapi hanya perasaan pantun yang bertimbangan.



Perbedaan antara pantun yang bertimbangan dan pantun yang tidak bertimbangan itu, tertentu mengetahuinya bagi sebagian manusia. Tidak diketahui oleh sebagian yang lain. Yaitu : keadaan yang dapat diketahui oleh orang yang mempunyai dzauq (perasaan), di mana ia tidak ragu padanya. Ya'ni: perbedaan antara yang ber­timbangan dan yang tidak teratur timbangan suaranya. Maka tidak­lah mungkin memperkatakan perbedaan itu dengan sesuatu yang jelas maksudnya, bagi orang yang tidak mempunyai dzauq (perasaan) Dan dalam jiwa itu ada hal-hal yang ganjil, yang ini sifatnya. Bah­kan, pengertian-pengertian yang dikenal dari hal ketakutan, kese­dihan dan kegembiraan, sesungguhnya berhasil pada pendengaran dari nyanyian yang dipahami.



Adapun rebab dan bunyi-bunyian lainnya yang tidak dipahami, maka sesungguhnya memberi bekas pada jiwa yang mena'jubkan. Dan tidak mungkin melahirkan dengan kata-kata dari keajaiban bekas-bekas itu. Kadang-kadang dikatakan dari hal tadi dengan kata-kata i kerinduan. Tetapi kerinduannya itu tiada diketahui oleh yang mempunyainya, akan yang dirinduinya.  Itulah suatu keajaiban!.



659



Orang yang menggeletar hatinya dengan mendengar rebab atau serunai atau yang menyerupainya, tidaklah ia mengetahui kepada apa kerinduannya itu. Ia memperoleh pada dirinya suatu keadaan, seakan-akan menuntut sesuatu, yang tiada diketahuinya apakah sesuatu itu. Sehingga terjadilah yang demikian bagi orang awam dan orang yang tiada keras pada hatinya, baik kecintaan kepada sesama anak Adam atau kecintaan kepada Allah Ta'ala. Dan ini mempunyai rahasia. Yaitu : bahwa tiap-tiap kerinduan mempunyai dua rukun (dua sendi) :



Pertama : sifat yang merindui. Yaitu semacam penyesuaian serta yang dirindui.

Kedua : mengenal yang dirindui dan mengenal caranya sampai kepada yang dirindui.



Jikalau diperoleh sifat yang menjadi kerinduan dan diperoleh pengetahuan akan bentuk yang dirindui itu, niscaya persoalannya jelas. Dan jikalau tidak diperoleh pengetahuan untuk mengetahui yang dirindui dan diperoleh sifat yang merindukan dan sifat itu menggerakkan hati engkau dan menyalakan apinya, niscaya tidak mustahil, yang demikian itu mewariskan kedaftsyatan dan kehe ranan.



Jikalau terjadilah seorang anak Adam itu sendirian, di mana ia tidak melihat rupa wanita dan tidak mengenal bentuk bersetubuh, kemudian ia menghadapi kedewasaan dan nafsu syahwat melandai- nya, niscaya ia merasakan dari dirinya, api nafsu-syahwat. Akan tetapi, ia tidak mengetahui, bahwa ia rindu kepada bersetubuh. Karena ia tidak mengetahui, bentuk bersetubuh itu. Dan tidak mengenal bentuk wanita.



Maka seperti itu pula, pada diri anak Adam terdapat kesesuaian serta alam tinggi dan kelezatan yang dijanjikan pada Sidratul- Muntaha dan Firdos Tinggi. Hanya ia tidak dapat mengkhayalkan segala hal ini, kecuali sifat dan namanya. Seperti ia mendengar kata-kata: bersetubuh dan nama wanita. Dan ia tidak pernah sekali- kali melihat rupa perempuan, rupa laki-laki dan rupa dirinya sendiri pada cermin, supaya dikenalnya dengan memperbandingkan. Maka pendengaran itu menggerakkan kerinduan daripadanya. Dan kebodohan yang bersangatan dan kesibukan dengan duniawi dapat melupakannya akan dirinya. Melupakannya akan Tuhannya. Dan melupakannya akan tempat kediamannya, yang dirindui dan dicintainya secara naluri. Maka hatinya ingin menetapkan sesuatu yang tiada diketahuinya, apakah sesuatu itu? Lalu ia tercengang, heran dan bergoncang pikirannya. Dan adalah ia seperti orang yang tercekek leher, yang tiada mengetahui jalan kelepasan daripadanya. Maka inilah dan hal-hal yang serupa dengan ini, yang tiada diketa­hui kesempurnaan hakikatnya. Dan tiada mungkin orang yang ber- sifat dengan hal-hal tersebut, bahwa menjelaskannya. Sesungguhnya telah jelaslah pembagian  الوجد Al-Wajd itu kepada : yang mungkin melahirkannya dan kepada : yang tiada mungkin melahir kannya.



660



Dan ketahuilah pula bahwa  الوجد Al-Wajd itu terbagi kepada : hajim ( الوجد Al-Wajd itu datang menyerbu, tanpa dengan rasa berat) dan mutakallif dan dinamakan : at-tawajud ( الوجد Al-Wajd itu datang dengan rasa berat).



At-tawajud yang dengan rasa berat itu, maka sebahagian daripada­nya tercela. Yaitu yang dimaksudkan dengan demikian itu, ria dan melahirkan hal-hal yang mulia serta kosong dari sifat-sifat yang mulia itu.



Dan sebahagian daripadanya terpuji. Yaitu : yang menyampaikan kepada terbawanya hal-hal yang mulia, terusaha dan tertariknya dengan daya-upaya.



Sesungguhnya usaha itu mempunyai tempat masuk (madkhal) pada menaiikkan hal-hal yang mulia. Dan karena itulah, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyuruh orang yang tidak datang tangisnya pada waktu membaca Al-Qur-an, supaya membuat tangis dan membuat gundah hati ci). Sesungguhnya segala hal-ihwal ini kadang-kadang terasa berat pada permulaannya. Kemudian menjadi hakikat kenyataan pada akhimya.



Bagaimanakah at-takalluf itu tidak menjadi sebab untuk menjadi- kan yang'diberati itu sebagai tabiat pada akhirnya? Tiap-tiap orang yang mempelajari Al-Qur-an, mula-mula menghapalkannya dengan rasa berat. Dan membacakannya dengan rasa berat serta sempurna- nya perhatian dan kesungguhan hati. Kemudian yang demikian itu menjadi kebiasaan bagi lidah yang mudah saja datangnya. Sehingga berjalanlah lidahnya dalam shalat dan lainnya, sedang ia dalam keadaan lengah. Maka, dibacanya surat Al-Qur-an seluruhnya dan dirinya kembali kepadanya sesudah selesainya pembacaan itu sampai kepada penghabisannya. Ia mengetahui bahwa ia membacariya itu dalam keadaan ia sedang lengah.



1) Hadits ini telah diterangkan pada "Bab Kedua tentang tilawatil-Qur-an".
661



Demikian pula penulis yang menulis pada mulanya, dengan tenaga yang berat. Kemudian tangannya terlatih menulis. Lalu jadilah menulis itu suatu tabiat baginya. Ia menulis beberapa banyak lem- bar kertas, sedang hatinya tenggelam dengan pikiran lain. Maka semua sifat yang dibawa oleh jiwa dan anggota badan, tiada jalan memperolehnya, kecuali pada mulanya dengan rasa berat dan dibuat-buat. Kemudian dengan dibiasakan, lalu menjadi tabiat. Dan itulah yang dimaksudkan oleh perkataan setengah mereka : "Adat kebiasaan itu tabiat yang kelima



Seperti itu pulalah hal-ihwal yang mulia. Tiada seyogialah bahwa menjadi berputus-asa daripadanya, ketika tidak adanya. Tetapi seyogialah, bahwa memaksakan diri menariknya dengan pendengar­an dan lainnya. Sesungguhnya dipersaksikan pada adat-kebiasaan orang yang ingin merindukan seseorang dan belum ia merinduinya. Lalu senantiasalah ia mengulang-ulangi mengingatinya pada hati­nya. Terus-menerus berkekalan memandang kepadanya. Dan me- netapkan pada dirinya akan sifat-sifat yang disukai dan budi- pekerti yang terpuji pada orang itu. Sehingga ia merinduinya. Dan melekatlah yang demikian pada hatinya, dalam keadaan sudah di luar dari batas usahanya. Lalu kemudian, ia ingin melepaskan diri dari orang itu. Maka tidak dapat terlepas lagi. Maka seperti itu jugalah mencintai Allah Ta'ala. Rindu menjumpai- Nya. Takut dari kemarahan-Nya. Dan yang lain-lain dari hal-hal yang mulia. Apabila tiada dipunyai oleh seorang insan, maka seyo­gialah memaksakan dirinya menarik sifat-sifat itu, dengan duduk- duduk bersama orang-orang yang bersifat dengan sifat-sifat terse- but. Menyaksikan hal-ihwal mereka. Dan memandang baik sifat- sifat mereka pada diri sendiri. Dan dengan duduk bersama mereka itu pada mendengar segala ucapannya dan dengan do'a dan merendahkan diri kepada Allah Ta'ala, kiranya Ia menganugerahkan ke­padanya hal tersebut dengan memudahkan baginya segala sebabnya. Diantara sebab-sebabnya, ialah : mendengar dan duduk bersama orang-orang shalih, orang-orang yang takut kepada Tuhan, orang- orang yang berbuat baik, orang-orang yang rindu dan Khusyu' kepada Allah Ta'ala.



662

Orang yang suka duduk-duduk dengan seseorang, niscaya berja lanlah kepadanya sifat-sifat orang itu, tanpa diketahuinya. Dan ditunjukkan kepada mungkinnya memperoleh kecintaan dan hal- hal lainnya dengan sebab-sebab itu, oleh sabda Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dalam do'anya :

اللهم ارزقني حبك وحب من احبك وحب من يقربني إلى حبك

(Allaahuramar-zuqnii hubbaka wa hubba man ahabbaka wa hubba man yuqarri bunii ilaa hubbika).

Artinya : "Wahai Allah Tuhanku!  Anugerahilah aku mencintai Engkau dan mencintai orang yang mencintai Engkau dan mencintai orang yang mendekatkan aku kepada mencintai Engkau".(1) Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. telah bergundah hati kepada berdo'a dalam mencari kecintaan itu.



Maka inilah penjelasan pembahagian  الوجد Al-Wajd kepada : mukasyafah dan hal-hal keadaan. Dan pembahagiannya kepada : yang mungkin menjelaskannya dan kepada ; yang tidak mungkin. Dan pemba­hagiannya kepada : al-mutakallaf dan kepada : yang telah menjadi tabiat (al-rriathbu). (2)



Jikalau engkau bertanya : apa halnya mereka yang tidak lahir  الوجد Al-Wajdnya ketika mendengar Al-Qur-an. Yaitu : kalam Allah. Dari  الوجد Al-Wajd itu lahir ketika mendengar nyanyian. Dan itu adalah perka­taan penya'ir-penya'ir. Jikalau yang demikian itu beriar dari kasih- sayangnya Allah Ta'ala dan tidak batil dari tipuan sethan, niscaya sesungguhnya Al-Qur-an itu adalah lebih utama dari nyanyian. Kami jawab, bahwa  الوجد Al-Wajd yang benar, ialah yang terjadi dari bersangatannya mencintai Allah Ta'ala, benar maksudnya dan rindu menjumpai-Nya. Dan yang demikian itu bergoncang juga dengan mendengar Al-Qur-an. Dan yang tidak bergoncang dengan mende- dengar Al-Qur-an, ialah yang mencintai makhluq dan rindu kepadanya.

Yang demikian itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala :

أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(ilaa bidzikrillaahi tathma-innul-quluub).Artinya : "Ingatlah, bahwa dengan mengingati Allah, hati menjadi tenteram (S. Ar-Ra'd, ayat 28).

Dan firman Allah Ta'ala : "Allah telah menurunkan pemberitaan yang sebaik-baiknya, yaitu Kitab (Al-Qurran), isinya serupa dan berulang-ulang. Seram kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan karenanya, kemudian itu lembut kulit dan hati mereka untuk mengingati Allah". (S. Az-Zumar, ayat 23).



1.Hadits ini telah. diterangkan pada "Bab Do'a".
2.Al-Mutakallaf, yang dikerjakan dengan rasa berat. Al-Matbu’ yang mudah diker­jakan, sebab telah menjadi tabiatnya.
mks663

                                                                                         

Semua yang didapati pada jiwa sesudah mendengar, disebabkan' pendengaran, itulah  الوجد Al-Wajd. Ketenteraman dan kegoncangan hati, ketakutan dan kelembutan hati, semuanya itu  الوجد Al-Wajd. Allah Ta'ala

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

(Innamal-mu'-minuunal-ladziina idzaa dzukirallaahu wajilat quluu-buhum).Artinya : "Sebenarnya orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang ketika disebut nama Allah hatinya penuh ketakutan(S. Al- Anfal, ay at 2).



Dan Allah Ta'ala berfirman : "Kalau Al-Qur-an itu Kami turunkan kepada sebuah gunung, sudah tentu engkau akan melihat gunung itu tunduk dan belah karena takutnya kepada Allah", (S. Al-Hasyr, ayat 21).



Takut dan khusu' itu adalah  الوجد Al-Wajd dari pihak hal-keadaan. Walau­pun bukan dari pihak mukasyafah. Tetapi kadang-kadang, ia men­jadi sebab bagi mukasyafah dan peringatan.



Dan karena inilah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Hiasilah Al-Qur-an itu dengan suaramu(1)



Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. telah bersabda kepada Abu Musa Al-Asy'ari: "Sesung­guhnya telah diberikan kepadanya salah satu daripada seruling kcluarga Nabi Daud as".



Cerita-cerita yang menunjukkan, bahwa orang-orang yang mem­punyai hati suci itu, banyak yang lahir  الوجد Al-Wajd kepada mereka ketika mendengar Al-Qur-an. Sabda Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. : ‘’Berubannya aku ialah karena surat Hud dan surat-surat lain yang serupa dengan surat Hud adalah menerangkan tentang  الوجد Al-Wajd itu. Karena uban- an itu terjadi dari kesedihan dan ketakutan. Dan itulah  الوجد Al-Wajd. (2)

 (1)
Hadits ini sudah diterangkan dahulu pada "Bab Tilawatil Qur-an".
(2)
Maksud hadits tersebut, ialah datangnya ubanan (rambut putih yang menunjukkan tua), dengan membaca surat Hud dan surat-surat lain yang serupa, di mana di dalamnya tersebut huru-hara qiyamat, azab, kesusahan dan kepedihan. Karena apa­bila hal-hal itu memuncak, maka segeralah orang beruban sebelum waktunya. (Pent.). Hadits itu dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Juhaifah dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas. Kata At-Tirmidzi, hadits hasan. Dan kata Al-Hakim, shahih menurut syarat hadits yang dirawikan Al-Bukhari.
664




Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud ra. membaca dihadapan Ra­sulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. surat An-Nisa Maka tatkala sampai kepada firman

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا

(Fa kaifa idzaa ji'-naa min kulli ummatin bisyahiidin wa ji'-naa bika 'alaa ha-ulaa-i syahiidaa).

Artinya : "Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada ttap ummat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas ummat ini(S. An-Nisa', ayat 41) — lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Cukup’’ dan kedua matanya bercucuran air mata,



Pada suatu riwayat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. membaca ayat ini atau dibacakan orang di sisinya : "Sesungguhnya di sisi Kami ada rantai yang berat dan api neraka. Dan makanan yang mencekikkan dan siksa yang pedih". (S. Al-Muzzammil, ayat 12 -13.). Lalu beliau pingsan.



Pada suatu riwayat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. membaca : "Kalau mereka Engkau siksa, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba Engkau (S. Al-Maidah, ayat 118. Lalu beliau menangis. (2)



Adalah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila telah membaca ayat rahmat (ayat yang isinya tentang rahmat), lalu beliau berdo'adan bergembira. Kegembiraan itu ialah :  الوجد Al-Wajd. Dan Allah Ta'ala memuji orang-orang yang mempunyai  الوجد Al-Wajd (ahlul-wajd) disebabkan Al-Qur-an. Allah Ta'ala berfirman :

وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ

(Wa idzaa sami'-u maa unzila ilar-rasuuli taraa a'-yunahum tafiidlu minaddam-'i mimmaa 'arafuu minal -haq). Artinya : "Dan apabila mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau lihat air mata mereka bercucuran, disebabkan mereka mengenai kebenaran (S, Al-Maidah, ayat 83). Diriwayatkan, bahwa Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengerjakan shalat dan dadanya berbunyi menggelegak seperti bunyi menggelegaknya periuk.(1)



Adapun yang dinukilkan dari hal alwajd dari para shahabat ra. dan tabi'in disebabkan Al-Qur-an, banyak sekali. Diantara mereka ada yang pingsan. Diantara mereka ada yang menangis. Diantara mereka ada yang jatuh tersungkur. Dan diantara mereka ada yang meninggal dunia pada tersungkurnya itu.



Diriwayatkan bahwa Zararah bin Aufa dan dia termasuk golongan tabi'in, menjadi imam shalat orang banyak dengan penuh rasa malu. Lalu ia membaca ayat:

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ

(Fa idzaa nuqira fin-naaquur) =

(1)     Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.
(2)    Dirawikan Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr.
(3)    Dirawikan Abu Dawud, An-Nasa-i dan At-Tirmidzi dari 'Abdullah bin Asy-Syukhair.
665

Artinya : "Ketika terompet dibunyikan". (S. Al-Muddatstsir, ayat 8), maka ia pingsan dan meninggal pada mihrabnya-kiranya Allah meniminkan rahmat kepadanya. 'Umar ra. mendengar seorang laki-laki membaca :

إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
7
مَا لَهُ مِنْ دَافِعٍ
8

(Inna 'adzaaba rabbika lawaaqi-'un maa lahuu min daafi-'in).Artinya: "Sesungguhnya siksaan Tuhan engkau pasti terjadi. Tiada seorangpun dapat menolaknya" (S. Ath-Thur, ayat 7-8), lain beliau memekik-mekik dan jatuh tersungkur. Maka beliaupun dibawa pulang ke rumahnya. Dan terus sakit di rumahnya sebulan lamanya.



Abu Jarir termasuk golongan tabi'in. Shalih Al-Marri membacakan beberapa ayat Al-Qur-an kepadanya dengan suaranya yang sangat merdu. Lalu Abu Jarir pingsan dan meninggal dunia. Imam Asy- Syafi-'i ra. mendengar pembaca Al-Qur-an membaca :

إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
7
مَا لَهُ مِنْ دَافِعٍ
8

 (Haadzaa yaumun laa yanthiquun. Wa laa yu-dzanu lahum fa ya'- tadziruun).Artinya:"Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara. Dan kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan) (S. Al-Mursalat, ayat 35 - 36), lalu ia jatuh tersungkur.



'Ali bin Al-Fudlail mendengar seorang pembaca Al-Qur-an mem­(Yauma yaquumun-naasu lirabbil-'aalamiin).Artinya : ‘’Dihari manusia berdiri dihadapan Tuhan semesta alam" (S. Al-Muthaffifin, ayat 6), lalu ia jatuh. pingsan. Maka Al-Fudlail (ayahnya) berkata : "Allah mengucapkan terima kasih kepadamu, apa yang diketahui-Nya daripadamu".



666

Begitu pula dinukilkan dari segolongan mereka. Dan begitu pula kaum shufi. Pada suatu malam bulan Ramadlan, Asy-Syibli berada di masjidnya. Ia mengerjakan shalat di belakang imamnya. Lalu imam itu membaca :

وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ

(Wa lain syi'-naa lanadzhabanna bil-ladzii auhainaa ilaika).Artinya : "Dan kalau Kami kehendaki niscaya Kami hilangkan (ambil) apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau(S. Al- Isra' ayat 86), maka Asy-Syibli berteriak-teriak, sehingga orang banyak menyangka bahwa Asy-Syibli telah terbang nyawanya, merah padam mukanya dan amat takut hatinya. Dia mengatakan seperti itu, menghadapkan kata-katanya kepada teman-temannya. Dan banyak kali mengulang-ulanginya yang demikian.



Al-Junaid berkata : "Aku masuk ke tempat Sirri Al-Suqthi. Aku melihat dihadapannya seorang laki-laki yang telah jatuh pingsan", Lalu Sirri berkata kepadaku : "Ini adalah orang yang telah mende­ngar suatu ayat dari Al-Qur-an, lalu jatuh pingsan". Maka aku menjawab : "Bacalah kepadanya ayat itu lagi!". Lalu dibacakan, maka iapun sembuh.

Lalu Sirri bertanya : "Dari manakah sumbernya, maka engkau mengatakan ini?".

Aku menjawab : "Aku melihat Nabi Ya'qub as. buta matanya dari karena makhluq. Maka dengan makhluq pula ia dapat melihat kembali. Dan jikalau butanya dari karena Al-Haq, niscaya ia tidak dapat melihat dengan sebabnya makhluq". (1) Sirri memandang baik jawaban itu. Dan terhadap apa yang dikatakan oleh Al-Junaid tadi, ditunjukkan oleh pantun seorang penya'ir :



Segelas khamar aku minum untuk kesenangan. Dan segelas lagi aku minum untuk pengobatan.

Setengah kaum shufi berkata : "Pada suatu malam aku membaca ayat ini:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

(Kullu nafsin dzaa-iqatul-maut)Artinya : "Tiap-tiap yang bernyawa merasakan kematian (S. 'Ali 'Imran, ayat 185). Aku ulang-ulangi membacakannya. Tiba-tiba seorang meneriakkan suaranya kepadaku : "Betapa kalikah engkau sudah mengulang-ulangi ayat itu? Engkau telah membunuh empat jin, di mana mereka tidak pemah mengangkatkan kepalanya ke langit, semenjak mereka dijadikan".



(1) Butanya Nabi Ya'qub as. adalah disebabkan hilangnya Nabi Yusuf as. dan sedih- nya ketika dibawakan kepadanya baju Nabi Yusuf as. berlumuran darab, Dan kemudian beiiau dapat melihat kembali dengan dibawakan baju Nabi Yusuf kepa­danya. yang menunjukkan Nabi Yusuf as. masih hidup di Mesir. Dan akan bertemu kembaii dalam waktu dekat. (Pent.).
667



Abu 'Ali Al-Maghazili berkata kepada Asy-Syibli: "Kadang-kadang pendengaranku diketuk oleh suatu ayat dari Kitab Allah Ta'ala. Lalu menghelakan aku kepada berpaling dari dunia. Kemudian aku kembali kepada hal-keadaanku dan kepada manusia. Maka aku tiada kekal di atas yang demikian".



Asy-Syibli menjawab : "Apa yang mengetuk pendengaranmu dari Al-Qur-an, lalu menghelakan kamu kepadanya, adalah kasih-sayang dari Al-Qur-an kepadamu dan lemah-lembutnya Al-Qur-an kepada- mu. Apabila ia mengembalikan kamu kepada dirimu sendiri, maka adalah kasih-sayangnya Al-Qur-an kepadamu, Sesungguhnya tiada yang lebih baik bagimu, selain daripada memohonkan daya dan upaya untuk menghadapkan diri kepadanya".



Seorang ahli tashawwuf mendengar seorang pembaca Al-Qur-an membaca:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
27
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
28

(Yaa-ayyatuhannafsul-muthma-innatur-ji-'ii ilaa rabbiki raadliatan mardliyyah).Artinya : "Hai jiwa yang tenang tenteram! Kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya(S. Al-Fajr ayat 27 - 28). Lalu meminta pembaca itu mengulanginya. Kemudian ahli tashaw­wuf tersebut berkata : "Berapa kali aku mengatakan kepada jiwa : 'Kembalilah! Dan ia tidak kembali' ".



Ahli tashawwuf itu mendapat kesan yang mendalam ( الوجد Al-Wajd) dan memekik-mekik. Lalu nyawanya keluar.

Bakr bin Ma'adz mendengar seorang pembaca Al-Qur-an membaca : (Wa andzirhum yaumal-aazifah)

Artinya : "Peringatkanlah kepada mereka akan hari yang sudah dekat waktunya". (S. Al-Mu'min, ayat 18). Lalu badannya gemetar. Kemudian berteriak : "Kasihanilah orang yang telah Engkau memperingatinya dan tidak menghadap kepada Engkau — sesudah peringatan itu — dengan menta'ati Engkau!". Kemudian ia pingsan.



Ibrahim bin Adham ra. apabila mendengar seseorang membaca :

إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ

(Idzas-samaa-unsyaqqat) Artinya : "Ketika langit belah". (S. Al-Insyiqaq, ayat 1), lalu sendi-sendinya gemetar, sehingga badannya menjadi gempa.



668

Dari Muhammad bin Shubaih, yang berkata : "Ada seorang laki- laki mandi di sungai Al-Furat. Maka lalulah seorang laki-laki di

وَامْتَازُوا الْيَوْمَ أَيُّهَا الْمُجْرِمُونَ

(Wamtaazul-yauma ayyuhal-mujrimuun).Artinya : "Bersisihlah kamu pada hari ini, hai orang-orang yang berdosa! (S. Ya Sin, ayat 59). Maka orang itu terus gemetar, sehingga tenggelam dalam sungai dan meninggal dunia. Tersebutlah, bahwa Salman Al-Farisi melihat seorang pemuda, membaca Al-Qur-an. Maka sampailah pada suatu ayat. Lalu gematarlah kulit pemuda itu. Salman amat menyukai pemuda tersebut dan tiada diketahuinya ke mana perginya. Lalu ia bertanya tentang pemuda itu. Ada yang menjawab, bahwa pemuda tersebut sakit. Lalu Salman datang menziarahinya. Tiba-tiba pemuda itu dalam keadaan mati. Maka pemuda itu berkata kepada Salman : "Wahai Bapak 'Abdullah! Adakah engkau melihat kegoncangan itu yang ada pada badanku? Sesungguhnya kegoncangan itu telah datang pada diriku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ia menerangkan kepadaku, bahwa Allah Ta'ala telah mengampuni segala dosaku dengan sebabnya".



Kesimpulannya, tidaklah terlepas orang yang mempunyai hati, dari  الوجد Al-Wajd Petika mendengar Al-Qur-an. Jikalau Al-Qur-an itu tidak membekas sedikitpuri padanya, maka dia "adalah sebagai orang yang memanggil apa-apa yang tidak bisa mendengar, hanya (men­dengar) panggilan dan teriakan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, sebab itu mereka tidak mengerti".(1). Tetapi orang yang mempu­nyai hati itu, membekas padanya kata hikmat yang didengarnya. Ja'far Al-Khuldi menerangkan, bahwa seorang laki-laki dari penduduk Khurasan masuk ke tempat Al-Junaid. Dan di sisi Al-Junaid banyak orang. Lalu laki-laki itu bertanya kepada Al-Junaid : "Kapankah sama pada hamba itu, antara yang memujikannya dan yang mencacikannya?".



Lalu setengah dari syaikh-syaikh itu menjawab : "Apabila hamba itu masuk ke Al-Bimaristan dan di-ikat dengan dua ikatan". (2)

Lalu Al-Junaid menjawab : "Tidaklah ini termasuk utusanmu!". Kemudian Al-Junaid memandang laki-laki yang bertanya tadi, seraya berkata : "Apabila hamba itu meyaqini bahwa dia itu makhluq".

(1)     Sesuai dengan ayat 171, surat Al-Baqarah.
(2)    Al-Bimaristan, yaitu : nama tempat, yang ditempatkan padanya orang-orang sakit dan ditahan di situ orang-orang gila.


669

Maka pingsanlah laki-laki yang bertanya itu dan meninggal dunia. Jikalau anda bertanya, bahwa kalau adalah mendengar Al-Qur-an itu memberi faedah kepada  الوجد Al-Wajd, maka mengapakah mereka itu berkumpul untuk mendengar nyanyian dari orang-orang yang mengada-adakan, tidak daripada para pembaca Al-Qur-an? Seyo­gialah hendaknya perhimpunan dan perasaan mereka yang men­dalam itu pada halqah (1) para pembaca Al-Qur-an (para qari'). Tidak dalam halqah para penyanyi. Dan seyogialah dicari seorang qari', tidak seorang yang mengada-adakan,pada tiap-tiap perhim­punan dalam semua undangan. Maka sesungguhnya, kalam Allah sudah pasti—adalah lebih utama dari nyanyian. Ketahuilah, bahwa nyanyian itu,lebih mengobarkan perasaan ( الوجد Al-Wajd), dibandingkan dengan Al-Qur-an dari tujuh segi : Segi Pertama : bahwa tidaklah sekalian ayat Al-Qur-an sesuai de­ngan perihal pendengar. Dan tidaklah patut untuk pemahaman dan penempatannya, kepada yang mengena bagi dirinya. Orang yang tertimpa ke atasnya kesedihan atau kerinduan atau penyesalan, maka dari manakah persesuaian perihalnya dengan firman Allah

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ

(Yuushiikumullaahu fii aulaadikum lidz-dzakari mitslu hadh-dhil- untsayaini).Artinya : uAllah telah menentukan kepada kamu (tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu : bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (S. An-Nisa*, ayat 11).

Dan firman Allah Ta'ala :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ                  

(Wal-ladziina yarmuunal-muhshanaat).Artinya : ‘Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yangbersih (S. An-Nur, ayat 4).

Begitu pula sekalian ayat, yang padanya penjelasan hukum-hukum pusaka, talak, hukum pidana dan lainnya.Sesungguhnya penggerak bagi apa yang dalam hati, ialah apa yang bersesuaian dengan dia. Dan pantun-pantun itu disusun oleh para penya'ir untuk melahirkan peri hal-ihwal hati. Maka tidaklah memerlukan pada memahami perihal hati itu, kepada bersusah- susah. Benar, orang yang dikuasai atas dirinya, oleh siiatu keadaan

(1) Halqah, yaitu : duduk bersama dalam bentuk suatu lingkungan bundaran.
670

yang mengeras, lagi memaksa, niscaya tidak tinggal lagi padanya suatu lapangan untuk lainnya. Sedang ia sadar dan mempunyai kecerdasan yang tembus, yang dapat meneliti segala pengertian yang jauh dari kata-katanya. Maka kadang-kadang keluarlah  الوجد Al-Wajd (perasaannya yang mendalam) kepada tiap-tiap yang didengar. Seperti orang yang terguris dalam hatinya ketika menyebut firihan

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ

(Yuushiikumullaahu fii aulaa dikum).Artinya : "Allah telah meneptukan kepada kamu (tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu(S. An-Nisa', ayat 11), akan perihal mati yang memerlukan kepada wasiat. Dan tiap-tiap manu­sia — tidak boleh tidak — akan meninggalkan harta dan anaknya.



Dan keduanya itu adalah kekasihnya dari dunia. Maka ditinggal kannya salah satu dari dua kekasih tadi (harta) untuk kekasih kedua (anak). Dan ia sendiri meninggalkan kedua-duanya sekali. Maka keraslah ketakutan dan kegundahan pada dirinya. Atau ia mendengar sebutan nama Allah pada firman tadi, lalu ia merasa dahsyat dengan semata-mata penyebutan nama, dari apa yang sebe­lumnya dan yang sesudahnya. Atau terguris pada hatinya Rahmat Allah dan kasih-sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, dengan penyusunan bahagian pusaka mereka oleh Allah Ta'ala sendiri. Ia (Allah) memandang kepada mereka, pada kehidupan dan kema- tian mereka. Lalu ia mengatakan : "Apabila Allah memandang kepada anak-anak kita sesudah mati kita, maka tidak syak wasangka lagi, bahwa Allah Ta'ala memandang kepada kita". Maka berko- barlah padanya perihal harapan. Dan yang demikian itu mempu sakakan baginya kegembiraan dan kesukaan. Atau terguris dalam

لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ

(Lidz-dzakari mitslu hadh-dhil-untsayaini). Artinya : "Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (S. An-Nisa', ayat 11), akan kelebihan laki-laki, disebabkan dianya laki-laki, di atas perempuan. Dan kelebihan di akhirat untuk laki-laki itu, janganlah mereka dilalaikan oleh per- niagaan dan jual-beli daripada mengingati (berdzikir) akan Allah. Dan orang yang dilalaikan oleh selain Allah Ta'ala daripada me­ngingati Allah Ta'ala, adalah ia sebenarnya sebagian dari perempu­an. Tidak sebagian dari laki-laki. Maka ia takut terhijab (terdinding) atau terkemudian pada memperoleh ni'mat akhirat, sebagaimana terkemudiannya wanita pada harta dunia.

671



Hal-hal yang seperti ini, kadang-kadang menggerakkan  الوجد Al-Wajd. Tetapi bagi orang yang ada padanya dua sifat: Pertama : suatu keadaan yang mengerasi, yang menenggelamkan dan yang memaksa.



Kedua : kecerdikan yang bersangatan, kesadaran yang menyampaikan, yang menyempurnakan peringatan segala hal-keadaan yang dekat kepada pengertian-pengertian yang jauh. Yang demikian termasuk hal yang sukar. Maka karena itulah, orang meminta bantuan kepada nyanyian, di mana kata-katanya berse- suaian dengan keadaan. Sehingga lekaslah berkobarnya. Diriwayatkan bahwa Abul-Husain An-Nuri berada bersama suatu kumpulan orang banyak, pada suatu undangan. Lalu berjalanlah diantara mereka pembicaraan suatu masalah ilmu. Dan Abul-Husain itu diam saja. Kemudian ia mengangkatkan kepalanya dan berpan- tun dihadapan mereka itu :



Banyaklah burung merpati bernyanyi pada waktu pagi.

Ia bersedih hati lalu bernyanyi pada ranting yang tinggi.

Ia teringat akan kesayangannya, pada masa yang lalu.

Ia menangis karena kesedihannya lalu membangkitkan kesedihanku.

Maka tangisanku kadang-kadang membawa dia tidak tertidur.

Dan tangisannya kadang-kadang membawa aku tidak tertidur.

Kadang-kadang aku mengadu

Tetapi aku tidak dapat memberi pengertian kepadanya.

Kadang-kadang ia mengadu

tetapi kepadaku ia tidak dapat memberi pengertiannya.

Kecuali akumengenalinya dengan perasaan,

Dan ia juga mengenali aku dengan perasaan                        



672

Abul-Husain mengatakan, bahwa tiada seorangpun dari orang banyak itu yang tinggal, melainkan bangun berdiri dan meraper- oleh perasaan yang mendalam. Dan perasaan mendalam tersebut ( الوجد Al-Wajd), tiada menghasilkan bagi mereka pengetahuan, yang telah dimasukinya tadi. Walaupun pengetahuan itu secara bersungguh- sungguh dan benar.



Segi Kedua : bahwa Al-Qur-an itu dihafal oleh kebanyakan orang. Dan berulang-ulang pada pendengaran dan hati. Tiap kali didengar pada pertama kali, niscaya besar bekasnya pada hati. Dan pada kali kedua, bekasnya menjadi lemah. Dan pada kali ketiga, hampir- hampir bekas itu hilang.



Jikalau ditugaskan orang yang mempunyai perasaan yang keras, untuk mendatangkan perasaannya yang mendalam ( الوجد Al-Wajd) pada sekuntum sya'ir terus-menerus, pada berkali-kali yang berdekatan waktunya, dalam sehari atau seminggu, niscaya tidak mungkinlah yang demikian. Dan kalau diganti dengan sekuntum sya'ir yang lain, niscaya membarulah bekas pada hatinya. Walaupun sya'ir yang baru ini melahirkan maksud yang sama. Akan tetapi adanya susun- an dan kata-kata, yang ganjil, dibandingkan dengan pertama itu, menggerakkan jiwa. Meskipun pengertiannya satu. Dan tidak adalah kesanggupan seorang qari untuk membaca Al-Qur-an yang ganjil (yang berlainan) pada setiap waktu dan undangan.

 Sesungguhnya Al-Qur-an itu terbatas, tidak mungkin menambahkannya. Dan semuanya dihafal yang berulang-ulang. Dan kepada yang telah kami sebutkan itu, diisyaratkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., di mana beliau melihat serombongan Arab desa datang ke Madinah. Maka mendengar Al-Qur-an dan mereka itu menangis. Maka Abu Bakar ra. berkata : "Adalah kami seperti kamu. Tetapi hati kami telah kesat".



Janganlah anda menyangka bahwa hati Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. berada lebih kesat dari hati orang-orang Arab desa itu dan hatinya berada lebih kosong daripada mencintai Allah Ta'ala dan mencintai Kalam-Nya dibandingkan dengan hati mereka. Akan tetapi ber­ulang-ulang ke atas hatinya itu, membawa kelemahan kepadanya dan sedikit membekasnya. Karena kejinakan yang diperolehnya dengan sebab banyak mendengarnya. Karena mustahil menurut adat-kebiasaan, bahwa seorang pendengar, yang mendengar suatu ayat yang belum didengarnya sebelumnya, lalu ia menangis. Kemu­dian terus-menerus ia menangis pada ayat itu sampai dua puluh tahun. Kemudian diulang-ulanginya ayat itu dan menangis.

673

Tidaklah yang pertama itu berbeda dengan yang akhir, selain yang pertama itu ganjil dan baru. Dan tiap-tiap yang baru enak. Dan tiap-tiap yang datang menggoncangkan. Dan tiap-tiap yang disukai, lagi menjinakkan hati, menentang kegoncangan itu. Dan karena inilah, 'Umar ra. bercita-cita melarang manusia daripada memba- nyakkan thawaf. Beliau berkata : "Aku takut bahwa manusia mempermudah-mudahkan Rumah (Ka'bah) ini, artinya : mereka berjinak-jinakkan hati dengan dia".

Orang yang baru datang untuk melakukan ibadah hajji, lalu melihat Rumah (Ka'bah) itu pada pertama kalinya, niscaya menangis dan pingsan. Kadang-kadang ia jatuh tersungkur, tatkala matanya memandang Ka'bah.



Kadang-kadang dengan bermukimnya di Makkah barang sebulan, lalu tiada merasa bekasnya yang demikian itu pada jiwanya. Jadi penyanyi itu, sanggup menyanyikan beberapa kuntum sya'ir yang ganjil pada setiap waktu. Dan qarV itu tidak sanggup pada setiap waktu kepada suatu ayat yang ganjil.

Segi Ketiga : bahwa irama perkataan dengan perasaan sya'ir itu, memberi bekas pada jiwa. Maka tidaklah suara yang berirama yang bagus, seperti suara yang bagus yang tidak berirama. sesungguhnya berirama yang bertimbangan hanya terdapat pada sya'ir. Tidak pada ayat-ayat Al-Qur-an.



Jikalau seorang penyanyi melakukan dengan merangkak-rangkak, pantun yang dinyanyikannya atau diubahnya nyanyian itu atau diselewengkannya dari batas jalannya pada nyanyian, niscaya ber- goncanglah hati pendengar. Dan batal perasaan dan pendengaran­nya. Dan lari tabi'atnya, karena tidak adanya kesesuaian. Dan apabila tabi'at itu lari, niscaya bergoncanglah hati dan kacau. Jadi, timbangan suaralah yang memberi bekas. Maka karena demi­kian, baiklah sya'ir.



Segi Ke-empat : bahwa sya'ir yang bertimbangan suara, berlainan pengaruhnya (bekasnya) pada jiwa, dengan nyanyian-nyanyian yang dinamakan : thuraq (jalan suara yang tidak menurut semesti- nya) dan dastanat (lagu yang tiada teratur).



Sesungguhnya berlainan jalan suara itu, ialah dengan memanjang- kan yang pendek, memendekkan yang panjang. Berhenti di tengah kata-kata, memotong dan menyambung pada sebahagiannya. Perlakuan yang demikian diperbolehkan pada sya'ir. Dan tidak di- perbolehkan pada Al-Qur-an, selain membaca (tilaawah) sebagai­mana diturunkan. Memendekkan, memanjangkan, memberhentikan suara (waqf), menyambungkan suara (washl) dan memutuskan suara yang berlainan daripada yang dikehendaki oleh tilaawah, adalah haram atau makruh.



674



Apabila Al-Qur-an dibacakan, sebagaimana diturunkan, niscaya hilanglah bekas, yang sebabnya irama nyanyian. Yaitu sebab tersendiri pada pembekasan. Meskipun tidak dipahami artinya. Seba­gaimana pada rebab, sending, serunai dan suara-suara lainnya yang tidak dipahami.



Segi Kelima : bahwa nyanyian yang bertimbangan suara itu dikuat kan dan diteguhkan dengan bentuk nyanyian yang semestinya dan bunyi-bunyian lain yang berirama, di luar kerongkongan. Seperti memukul tambur, genderang dan lainnya. Karena perasaan yang lemah, tidak akan berkobar, selain dengan sebab yang kuat. Dan sebab itu menjadi kuat, dengan berkumpulnya sebab-sebab itu. Masing-masing sebab tersebut, mempunyai bahagian pada pembe­kasan.



Dan Al-Qur-an wajib dijaga dari hal-hal yang seperti itu. Karena bentuknya pada pandangan umum adalah bentuk senda-gurau dan permainan. Dan Al-Qur-an adalah kesungguhan seluruhnya pada makhluq umumnya. Maka tidak boleh dicampurkan dengan kebe­naran yang sejati, apa yang-menjadi senda-gurau pada orang awam. Dan bentuknya, bentuk senda-gurau pada orang-orang tertentu. Walaupun mereka tiada memandang kepadanya dari segi bahwa dia itu senda-gurau. Tetapi seyogialah Al-Qur-an itu dimuliakan. Maka ia tidak dibacakan pada jalanan umum. Akan tetapi" pada tempat majelis yang ditempati. Tidak pada keadaan sedang beijanabat (berhadats besar) dan dalam keadaan tidak suci. Dan tidak sanggup menyempurnakan hak kehormatan Al-Qur-an dalam segala hal. Kecuali orang-orang yang selalu memperhatikan hal-keadaannya sendiri.



Maka ia berpaling kepada nyanyian orang-orang yang tiada mem­punyai perhatian dan pemeliharaan tersebut. Dan karena itulah, tidak diperbolehkan memukul rebana serta membaca Al-Qur-an pada malam perkawinan.



675



Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyuruh. memukul rebana pada perkawinan, dengan sabdanya: "Lahirkanlah perkawinan itu, walaupun dengan memukul rebana!’’. Atau sabda tadi dengan kata-kata yang seinak- sud dengan hadits di atas. Dan yang demikian itu, boleh bersama sya'ir. Tidak bersama Al-Qur-an. Dan karena itulah, tatkala Ra­sulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ masuk ke rumah Ar-Rabi' binti Mu'awwadz dan di sisinya beberapa orang budak wanita sedang menyanyi, lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mendengar salah seorang dari mereka mengatakan : "Pada kita sekarang ada Nabi, yang mengetahui apa yang akan terjadi besok", secara nyanyian. Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :’’Tinggalkanlah perkataan ini dan katakanlah apa yang telah engkau katakan itu!" (1) Perkataan ini yang diucapkan wanita tadi adalah pengakuan dengan kenabian. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melarangkannya dan mengembalikannya kepada nyanyian yang bersifat senda-gurau itu. Karena perkataan ini (yang menyangkut dengan kenabian), adalah perkataan kesungguhan semata-mata. Maka tidaklah dibaringi dengan bentuk sendagurau.



Jadi disebabkan yang demikian, dima'afkan penguatan sebab-sebab yang menjadikan pendengaran itu, penggerak bagi hati. Maka wajib pada penghormatan tadi, berpaling dari Al-Qur-an ke­pada nyanyian. Sebagaimana wajib di atas budak wanita itu ber­paling dari kesaksian kenabian, kepada nyanyian. Segi Ke-enam : kadang-kadang penyanyi itu menyanyikan sekun- tum sya'ir, yang tiada sesuai dengan keadaan pendengar. Lalu pendengaran itu tiada menyukainya dan melarangkannya dari pada menyanyikannya. Dan meminta yang lain. Maka tidaklah semua perkataan itu, sesuai dengan semua keadaan. Jikalau ber kumpullah orang ramai pada da’wah, dengan seorang qari', maka kadang-kadang qari' tadi membaca ayat yang tiada bersesuaian dengan keadaan mereka. Karena Al-Qur-an itu obat bagi manusia semua di dalam keadaan mereka yang berlain-lainan. Maka ayat rahmat itu obat bagi orang yang takut. Dan ayat azab itu obat bagi orang yang terpedaya, yang merasa aman. Dan penguraian yang demikian, termasuk yang panjang uraiannya.



Apabila merasa tiada terpelihara, bahwa yang dibaca itu tiada akan bersesuaian dengan keadaan dan akan dibenci oleh hawa-nafsu, maka dengan demikian ia mendatangkan bahaya kebencian kepada Kalam Allah Tayala, di mana ia tiada mendapat jalan untuk mem- pertahankannya. Maka menjaga dari bahaya yang demikian itu adalah kehati-hatian yang menyampaikan kepada maksud dan ke- wajiban yang diperlukan. Karena tidaklah mendapat kelepasan daripadanya, selain dengan menempatkannya menurut yang ber­sesuaian dengan keadaannya. Dan tidak boleh menempatkan Kalam Allah Ta'ala, selain menurut apa yang dikehendaki Allah Ta'ala.

(1) Dirawikan Al-Bukhari.
676

Adapun perkataan penya'ir, maka boleh menempatkannya berlain an dari maksudnya. Lalu padanya bahaya kebencian. Atau bahaya penta'wilan itu kesalahan bagi penyesuaian dengan keadaan. Maka wajiblah memuliakan Kalam Allah dan memeliharakannya dari yang demikian.



Inilah yang membekas pada hatiku, tentang sebab-sebab berpaling- nya para guru (para syaikh) kepada mendengar nyanyian, daripada mendengar Al-Qur-an.



Di sini ada lagi segi ketujuh yang disebutkan oleh Abu Nashar As-Siraj Ath-Thusi, tentang kema'afan dari yang demikian. Beliau berkata : "Al-Qur-an itu Kalam Allah dan salah satu dari sifat- sifat-Nya. Al-Qur-an itu benar, tiada akan sanggup ditiru oleh sifat manusiawi. Karena Al-Qur-an itu bukan makhluq. Maka tiada akan sanggup ditiru oleh sifat-sifat makhluq". Jikalau dibukakan bagi hati sebesar biji صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dari maksud dan kehebatannya, niscaya hati itu merasa pening, dahsyat dan heran. Dan nyanyian-nyanyiari yang merdu itu bersesuaian dengan tabi'at. Hubungannya itu adalah hubungan untung, tidak hubungan hak. Dan pantun itu, hubungannya hubungan untung. Apabila disangkutkan nyanyian dan suara dengan isyarat-isyarat dan pengertian- pengertian yang halus, dengan apa yang ada pada kuntum-kuntum sya'ir, yang sebahagiannya sebentuk dengan sebahagian yang lain, niscaya adalah yang demikian itu lebih mendekati kepada untung dan lebih ringan kepada hati. Karena keserupaan makhluq dengan makhluq.



Maka selama sifat kemanusiaan itu tetap dan kita dengan sifat-sifat dan untung kita merasa ni'mat dengan lagu-lagu yang menyedihkan dan suara yang merdu, maka kegembiraan kita untuk menyaksikan kekekalan untung ini, kepada kasidah-kasidah, adalah lebih utama daripada kegembiraan kita kepada Kalam Allah Ta'ala, yang men­jadi sifat-Nya dan Kalam-Nya, yang daripada-Nya mulai dan kepada-Nya kembali.



Inilah hasil maksud dari perkataan dan permohonan kema'afannya. Diceriterakan dari Abil-Hasan Ad-Darraj, bahwa ia berkata : "Aku bermaksud datang dari Bagdad kepada Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi, untuk berkunjung dan bersalaman dengan dia. Ketika aku masuk kota Ar-Razi, lalu aku bertanya tentang dia. Maka tiap-tiap orang yang aku tanyakan itu menjawab : 'Apakah yang akan engkau perbuat dengan orang zindiq itu?' ".(1)

(1). Zindiq : bathinnya kafir dan lahirnya mu'min.
677

Mereka itu menyempitkan dadaku, sehingga aku berazam untuk pergi. Kemudian, aku berkata pada diriku : "Aku telah melewati jalan ini semua, maka aku tidak mengatakan untuk melihatnya". Maka terus-meneruslah aku menanyakan dia, sehingga aku masuk menemukannya dalam suatu masjid. Dan ia sedang duduk di mihrab. Dihadapannya seorang laki-laki dan ditangannya Al-Qur-an. Dan ia sedang membacainya.

Rupanya ia seorang tua yang cantik, elok paras dan janggutnya. Lalu aku bersalam kepadanya. Maka iapun menghadapkan muka nya kepadaku, seraya berkata : "Dari mana kamu datang?". Aku menjawab : "Dari Bagdad".

Beliau menyambung : "Apakah yang menyebabkan engkau ke mari?".

Aku menjawab : "Aku bermaksud kepada tuan, untuk menyam- paikan salam kepada tuan".

Beliau menjawab : "Jikalau ada pada sebahagian negeri ini, orang yang mengatakan kepadamu: 'Tinggallah pada kami, sehingga akan kami belikan bagimu rumah atau budak wanita!', apakah yang demikian itu membawa engkau duduk, daripada datang kepada kami?".

Aku menjawab : "Tidaklah aku diuji oleh Allah Ta'ala dengan sesuatu daripada yang demikian. Dan jikalau aku diuji, niscaya aku tidak tahu, bagaimana jadinya aku ini".

Kemudian bel au berkata kepadaku : " Adakah engkau merasa baik untuk mengatakan sesuatu?". Aku menjawab : "Ya!'

Lalu beliau berkata : "Keluarkanlah apa yang mau dikatakan itu!. Maka akupun lalu bermadah :

Aku melihat engkau selalu,

membangun kemuliaan dalam kebencianku.

Jikalaulah ada akal bagiku,

tentu aku runtuhkan apa yang engkau bangun itu.

Seolah-olah aku dengan kamu

dan "mudah-mudahan" itu yang terutama perkataanmu.

Ketahuilah, mudah-mudahan beradalah kita itu, karena "mudah-mudahan" saja tidak mencukup- kan sesuatu.

678



Abil-Hasan Ad-Darraj meneruskan ceriteranya : "Lalu Yusuf bin Al-Husain Ar-Razi menutupkan Al-Qur-annya. Dan terus-menerus- lah beliau menangis, sehingga basahlah janggutnya dan kainnya. Sehingga timbullah belas-kasihanku kepadanya lantaran banyak tangisnya. Kemudian, beliau berkata : "Wahai anakku! Engkau mencaci penduduk Ar-Razi ini, yang mengatakan, Yusuf itu zindiq. Inilah aku! Dari shalat pagi aku membaca Al-Qur-an, tiada menitik sebutirpun air-mataku. Dan telah datanglah qiyamat kepadaku, karena dua kuntum sya'ir tadi". Jadi hati itu, meskipun ia terbakar dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala, tetapi sekuntum sya'ir yang ganjil itu, menggerakkan hati, apa yang tidak digerakkaii oleh tilaawah Al-Qur-an.



Yang demikian itu karena bertimbangannya sya'ir dan bersesuaian dengan tabi'at. Dan karena bersesuaiannya dengan tabi'at, maka manusia sanggup menyusun sya'ir.



Adapun Al-Qur-an, maka susunannya adalah di luar dari susunan dan sistemnya kata-kata. Karena itulah, ia mu'jizat, tidak masuk dalam kesanggupan manusia. Karena tiada kesesuaian bagi tabi'at- nya.



Diriwayatkan, bahwa Israfil — guru dari Dzinnun Al-Misri — telah masuk ke tempatnya seorang laki-laki. Lalu laki-laki tersebut meli­hat Israfil memukul-mukul tanah dengan jarinyadan menyanyikan

sekuntum sya'ir.

Lalu laki-laki itu bertanya kepada Israfil: "Pandaikah engkau me­nyanyikan sesuatu?". Israfil itu menjawab : "Tidak!".

Laki-laki itu menyambung : "Engkau itu tanpa hati!", — sebagai isyarat bahwa orang yang mempunyai hati dan mengetahui tabi'at hati, niscaya tahu, bahwa itu digerakan oleh pantun-pantun dan nyanyian-nyanyian, suatu gerakan yang tiada diperoieh pada selain dari pantun dan nyanyian. Lalu memberati diri akan jalan pengge- rakan itu. Adakalanya dengan suaranya sendiri atau dengan lainnya. Dan telafi kami sebutkan hukum tingkat pertama tentang mema­hami yang didengar dan menempatkannya. Dan hukum tingkat kedua tentang kesanyang mendalam ( الوجد Al-Wajd) yang dijumpai dalam hati.



Maka sekarang marilah kami sebutkan bekas  الوجد Al-Wajd itu. Yakni : apa yang tersaring daripadanya kepada dzahir, baik terkejut, tangisan, gerakan badan, pengoyakan kain dan lainnya. Maka kami terangkan :

679



TINGKAT KETIGA DARI PENDENGARAN

Akan kami sebut padanya adab-mendengar, dzahir dan bathin. Dan apa yang terpuji dan apa yang tercela dari bekas-bekas  الوجد Al-Wajd. Adapun adab, yaitu : lima kesimpulan :

Pertama : menjaga zaman, tempat dan teman. Al-Junaid berkata : "Pendengaran itu memerlukan kepada tiga perkara. Jikalau tidak, maka engkau tidak mendengar". Yaitu : zaman, tempat dan teman. Artinya : bahwa sibuk dengan pendengaran, pada waktu datang makanan atau permusuhan atau shalat atau sesuatu yang memaling- kan perhatian dari pendengaran serta kekacauan hati (pikiran), tiada faedah padanya.



Inilah artinya menjaga zaman (masa). Maka pendengaran itu dijaga dalam keadaan selesainya hati untuk mendengar. Adapun tempat, kadang-kadang dijalanan yang dijalani orang atau tempat yang buruk bentuknya atau ada padanya sebab yang raem- bimbangkan hati. Maka hendaklah dijauhkan yang deriiikian. Adapun teman, maka sebabnya ialah apabila datang yang tidak sejenis, dari orang yang menantang pendengaran, yang bersikap dzuhud secara dzahiriah, yang tidak mempunyai perasaan hati yang halus, niscaya adalah yang demikian itu menjadi berat dalam ma- jelis. Dan membimbangkan hati dengan dia. Dan seperti itu juga, apabila datang orang yang bersikap sombong dari golongan dunia- wi, yang memerlukan kepada mengintip "dan memperhatikannya. Atau datang orang yang memberatkan diri, yang membuat-buat  الوجد Al-Wajd, dari ahli tashawwuf, yang bersikap ria dengan  الوجد Al-Wajd, tarian dan pengrobekan kainnya.



Maka semua itu adalah pengganggu-pengganggu pendengaran. Meninggalkan pendengaran ketika tidak adanya syarat-syatat ter- sebut di atas itu lebih utama. Maka pada syarat-syarat itu perhatian kepada pendengar.



Adab Kedua : yaitu perhatian yang hadlir, bahwa syaikh (guru), apabila ada disekelilingnya murid-murid, yang mendatangkan ke- melaratan mendengar bagi mereka, maka tiada seyogialah ia mela­kukan pendengaran pada waktu kehadliran murid-murid itu. Jikalau ia melakukan pendengaran, maka hendaklah murid-murid itu disibukkan dengan kesibukan yang lain.



680

Murid yang mendapat kemelaratan dengan mendengar itu, ialah salah satu dari tiga :



1.  Derajat yang paling kurang, yaitu : yang tiada memperoleh dari jalanan, selain perbuatan dzahiriah. Dan tiada mempunyai pera­saan-pendengaran . Maka kesibukannya dengan pendengaran, ada­lah kesibukan dengan yang tiada berfaedah baginya. Karena ia bukan ahli bersenda-gurau, lalu bersenda-gurau. Tidak dari ahli yang berperasaan, lalu mencari keni'matan dengan perasaan pende­ngaran.Dari itu, maka hendaklah bekerja dengan berdzikir atau berkhidmat (melayani kepentingan umum). Jikalau tidak, maka adalah menyianyiakan waktunya.



2.  Yaitu-: yang mempunyai rasa (dzauq) pendengaran. Tetapi ada padanya sisa bahagian-ketabi 'atan dan perhatian kepada nafsu- syahwat dan sifat kemanusiaan. Dan itu tidak pecah kemudian, yang menjamin keamanan dari hal-hal yang membinasakan. Kadang-kadang pendengaran itu menggerakkan hal yangmemanggil senda-gurau dan nafsu-syahwat. Lalu memotong kepadanya jalan pendengaran. Dan mencegahnya dari kesempumaan.



3. Bahwa orang itu telah hancur nafsu syahwatnya. Telah merasa aman dari hal yang membinasakannya. Telah terbuka matahatinya. Dan telah mempengaruhi pada hatinya, kecintaan kepada Allah Ta'ala. Tetapi, tidak teguh pemahamannya akan ilmu dzahiriah. Tidak mengenai nama Allah dan sifat-sifat-Nya, apa yang jaiz (yang boleh) dan yang mustahil kepada-Nya.

Maka apabila telah terbuka baginya pintu pendengaran, niscaya bertempatlah yang didengarnya itu pada hak Allah Ta'ala, kepada apa yang jaiz dan apa yang tidak jaiz. Maka adalah kemelaratannya dari bahaya-bahaya itu, di mana bahaya-bahayanya itu ialah kekufuran, adalah lebih besar daripada kemanfa'atan pendengaran. Sahl ra. berkata : "Tiap-tiap  الوجد Al-Wajd yang tidak diakui oleh Al- Kitab (Al-Qur-an) dan As-Sunnah, adalah batil. Maka tidaklah patut pendengaran kepada contoh yang seperti ini. Dan tidak bagi orang yang hatinya kemudian, berlumuran dengan kecintaan kepa­da dunia. Kecintaan kepada pujian dan sanjungan. Dan tidak bagi orang, yang mendengar karena kelezatan dan dirasa baik oleh tabi'at. Maka jadilah yang demikian adat-kebiasaan baginya. Dan yang demikian itu mengganggukannya daripada ibadah dan pemeliharaan hatinya. Dan terputuslah jalannya. Maka pendengaran itu menggelincirkan tapak, yang wajib dipelihara daripadanya orang- orang yang lemah.



681

Al-Junaid berkata : "Aku bermimpi melihat Iblis. Lalu aku berta­nya kepadanya: 'Adakah kamu memperoleh sesuatu padashahabat- shahabat kami?

Iblis itu menjawab: "Ada, pada dua waktu : waktu mendengar dan waktu melihat. Maka aku masuk kepada mereka dengan waktu itu".

Maka menjawab setengah syaikh : "Jikalau aku bermimpi melihat Iblis itu, niscaya aku katakan kepadanya : 'Alangkah dungunya engkau! Orang yang mendengar daripadanya apabila mendengar dan orang yang memandang kepadanya apabila memandang, bagai- manakah engkau memperoleh dengan dia?* Al-Junaid menjawab : "Benar engkau!

Adab Ketiga : bahwaa memperhatikan benar-benar kepada apa yang dikatakan oleh orang yang mengatakan, yang berkehadliran hati, yang sedikit menoleh kesegala pihak, yang menjaga diri dari me­mandang kepada muka para pendengar dan apa yang lahir pada mereka dari hal-ihwal  الوجد Al-Wajd. Yang sibuk dengan dirinya sendiri, menjaga hatinya dan mengintip apa yang dibuka oleh Allah Ta'ala baginya dari rahmat pada bathinnya. Yang menjaga dari gerak-gerik yang mengganggu hati para shahabatnya. Akan tetapi, ia tetap dzahiriahnya, tenang sendi-sendinya, menjaga diri dari batuk-batuk dan menguap. Ia duduk menekurkan kepalanya, seperti duduknya dalam pemikiran yang tenggelam untuk hatinya, yang berpegang teguh, tidak bertepuk, menari dan lain-lain gera. kan, secara dibuat- buat, memberatkan diri dan ria. Yang berdiam diri dari berbicara pada waktu sedang berkata-kata, dengan tiap sesuatu yang tidak boleh tidak daripadanya.



Jikalau ia dikerasi oleh  الوجد Al-Wajd dan digerakkannya tanpa pilihan (ikhtiar)nya, maka itu dima'afkan, tiada tercela. Dan manakala telah kembali, kepadanya ikhtiar itu maka hendaklah ia kembali kepada ketenangan dan ketenteram&nnya!. Tiada seyogialah ia berkekalan oleh malunya, daripada dikatakan, bahwa  الوجد Al-Wajdnya akan habis dalam waktu dekat. Dantidak membuat-buat  الوجد Al-Wajd, karena takut akan dikatakan, bahwa dia itu kesat hati, tiada bersih jiwa dan halus perasaan.

Diceriterakan, bahwa seorang pemuda menemani Al-Junaid. Maka apabila pemuda itu mendengar sesuatu dzikir, lalu memekik. L'alu pada suatu hari Al-Junaid berkata kepadanya : "Jikalau engkau perbuat yang demikian sekali lagi, maka engkau jangan lagi menemaniku!".

Lalu sesudah itu, pemuda tadi menekan dirinya, sehingga menitik dari tiap-tiap bulunya titikan air. Dan ia tidak memekik. Kemudian diceriterakan bahwa pada suatu hari tercekik kerongkongannya, karena ia bersangatan menahan diri. Lalu menangis terisak-isak. Maka pecah hatinya dan hilang nyawanya.

682



Diriwayatkan, bahwa Nabi Musa as. berceritera pada kaum Bani Israil. Lalu salah seorang dari mereka, mengoyakkan kainnya atau kemejanya. Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Nabi Musa as. : "Katakanlah kepadanya : 'Koyakkanlah ini untuk-Ku hatimu! Dan jangan engkau koyakkah kainmu!'".



 Abul-Kasim An-Nasrabazi berkata kepada Abi 'Amr bin 'Ubaid : "Aku mengatakan, bahwa apabila berkumpul suatu kaum, lalu seorang penyanyi bersama mereka bernyanyi, adalah lebih baik daripada mereka mengumpat". Lalu Abi 'Amr berkata : "



Ria itu pada pendengaran. Yaitu : bahwa engkau memperlihatkan dari diri engkau, keadaan yang tidak ada pada engkau —, adalah lebih jahat daripada engkau mengumpat tiga puluh tahun atau seumpama dengan itu

Jikalau engkau berkata : bahwa yang lebih utama, ialah yang tidak digerakkan oleh pendengaran dan tidak membekas pada dzahirnya atau yang"dzahir padanya?.

Ketahuilah kiranya, bahwa tiada dzahirnya pada suatu kali adalah karena lemahnya yang mendatang dari  الوجد Al-Wajd. Maka itu adalah kekurangan.



Dan pada suatu kali, adalah ia bersama kuatnya  الوجد Al-Wajd pada bathin. Tetapi tiada dzahir, karena sempurnanya kekuatan mena- han anggota tubuh. Maka itu adalah kesempurnaan. Pada suatu kali, adalah ia karena keadaan  الوجد Al-Wajd mengikuti dan menyertai dalam semua keadaan. Maka tiada terang bagi pende­ngaran, bertambahnya membekas. Dan itu adalah sangat sempurna. Karena yang mempunyai  الوجد Al-Wajd itu dalam kebanyakan hal, tiada kekal  الوجد Al-Wajdnya. Maka orang yang selalu dalam  الوجد Al-Wajd, maka ia terikat bagi kebenaran dan selalu tiada berpisah bagi zat yang dipersaksikannya (ainisy-syuhud).



Maka ini tiada akan dirobahkan oleh jalan-jalannya keadaan. Dan tiada jauh, bahwa isyarat itu adalah dengan ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. : "Adalah kami sebagaimana adanya kamu. Kemu­dian kesatlah hati kami". Artinya : "Telah kuat hati kami dan keras. Lalu sanggup terus-menerus adanya  الوجد Al-Wajd pada semua keadaan".



Maka kita itu dalam mendengar maksud Al-Qur-an terus-menerus. Maka tidaklah Al-Qur-an itu baru terhadap kita, yang datang kepa­da kita. Sehingga kita memperoleh kesan dengan dia.



683



Jadi, kekuatan  الوجد Al-Wajd itu menggerakkan. Dan kekuatan akal dan perpegangan itu menentukan yang dzahir. Kadang-kadang salah satu daripada keduanya lebih keras dari yang lain. Adakalanya lahtaran sangat kuatnya Dan adakalanya lantaran lemah apa yang dihadapinya. Dan adalah kekuraingan dan kesempurnaan itu menu­rut yang demikian tadi.

Maka janganlah engkau menyangka bahwa orang yang membalik- balikkan dirinya di atas tanah itu, lebih sempuma  الوجد Al-Wajdnya dari orang yang tenang dari membalik-balikkan dirinya. Bahkan, banyak orang yang tetap-tenteram itu lebih sempurna  الوجد Al-Wajdnya daripada orang yang membalik-balikkan diri.



Adalah Al-Junaid bergerak-gerak pada mendengar pada permulaan- nya. Kemudian tiada bergerak-gerak lagi. Lalu ia ditanyakan orang, tentang yang demikian, maka ia membaca :

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ

(Wa taral -jibaala tahsabuhaa jaamidatan wa hiya tamurru marras- sahaabi shun-'allaahil-ladzii atqana kulla syai-in).Artinya : "Engkau melihat gunung-gunung, engkau kira bahwa dia tetap (tiada bergerak  padahal dia berjalan kencang, sebagai awan berjalan. Begitulah perbuatan Allah yang membuat segala sesuatu dengan kokohnya". (S. An-Naml, ayat 88), sebagai pertanda bahwa hati itu bergerak, berputar dalam alam tinggi (alam malakut) dan anggota tubuh bersikap dengan adab tenteram pada dzahirnya. Abul-Hasan Muhammad bin Ahmad berkata dan ketika itu dia berada di Basrah : "Aku menyertai Sahl bin Abdillah enam puluh tahun lamanya. Tiada aku melihat dia berobah pada suatupun yang didengarnya, baik dzikir atau Al-Qur-an". Maka tatkala ia pada akhir umumya (hidupnya), seorang laki-laki membaca dihadapan- nya ayat:

فَالْيَوْمَ لا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

(Fal-yauma la yu'-khadzuminkum fidyatun wa laa minalladziina kafaruu, maSwaakumun-naaru, hiya maulaakum wa bi'-sal-mashiir).Artinya : "Sebab itu, di hari ini tiada diterima tebusan dari kamu dan tiada pula dari orang-orang yang kafir. Tempat diam kamu ialah neraka, itulah tempat kamu berlindung dan tempat tujuan yang amat buruk!" (S. Al-Hadid, ayat 15). Lalu aku melihat dia gemetar dan hampir jatuh ke lantai. Maka

684

tatkala telah kembaii kepada keadaannya semula, lalu aku tanya- kan dari yang demikian. Maka ia menjawab : "Benar, wahai teman- ku, aku telah lemah".

Begitu pula pada suatu kali ia mendengar firman Allah Ta'ala :

الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ

(Al-mulku yauma-idzinil-haqqu lirrahmaan).Artinya : "Kerajaan yang sebenarnya pada hari itu kepunyaan (Tuhan) Yang Maha Pemurah(S. Al-Furqan, ayat 26).



Lalu ia gemetar. Maka ditanyakan oleh Ibnu-Salim. Dan Ibnu Salim itu termasuk shahabatnya.

Sahl bin Abdillah menjawab : "Aku lemah.".

Lalu orang bertanya kepadanya : "Jikalau ini sebahagian dari kelemahan, maka apakah kekuatan keadaan itu?".

Ia menjawab : "Bahwa tidak datang kepadanya apa yang datang, melainkan ia menemuinya dengan kekuatan keadaannya. Maka apa yang datang itu, tidak mengobahkannya, walaupun yang datang itu kuat".



Sebabnya mampu mengekang dzahiriahnya serta adanya  الوجد Al-Wajd, ialah melurusnya segala hal-keadaan, disebabkan tiada putus-putus- nya penyaksian (mulazamatusy-syuhud). Sebagaimana diceritera- kan dari Sahl ra., yang mengatakan : "Keadaanku sebelum shalat dan sesudahnya ialah satu". Karena ia memeliharakan hatinya, hadhir  ingatan kepada Allah Ta'ala pada semua keadaan. . , Maka begitu pula ia sebelum mendengar dan sesudahnya. Karena  الوجد Al-Wajdnya kekal selalu. Kehausannya terus bersambung dan minumnya terus berkekalan, di mana pendengaran itu tidaklah membekas pada tambahannya. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Mimsyad Ad-Dainuri mendekati suatu jama'ah (kumpulan orang ramai), yang dalam jama'ah itu ada seorang penyanyi. Lalu mereka itu diam semuanya.



Maka berkata Mimsyad : "Kembalilah kepada keadaanmu tadi!. Jikalau dikumpulkan segala permainan dunia pada telingaku, niscaya tiada akan mengganggu cita-citaku. Dan tidak akan me- nyembuhkan setengah apa yang ada padaku".



Al-Junaid ra. berkata : "Tiada akan mendatangkan kemelaratan oleh kurangnya  الوجد Al-Wajd,serta lebihnya pengetahuan. Dan lebihnya pengetahuan adalah lebih sempurna daripada lebihnya  الوجد Al-Wajd". Jikalau engkau mengatakan, bahwa orang yang seperti itu tidak menghadliri pendengaran (untuk mendengarkan sesuatu).



685

Ketahuilah kiranya, bahwa diantara mereka ada orang yang meninggalkan mendengar itu pada waktu tuanya. Ia tidak menghadliri pendengaran itu, kecuali jarang sekali, untuk menolong salah seorang temannyadan memasukkan kegembiraan ke dalam hatinya. Kadang-kadang ia hadlir, supaya diketahui oleh kaum itu kesem­purnaan kekuatannya. Lalu mereka itu mengetahui bahwa tidaklah kesempurnaan itu dengan  الوجد Al-Wajd dzahiriah. Maka mereka itu mem- pelajari daripadanya pengekangan dzahiriah, tanpa memaksakan diri. Walaupun mereka tidak sanggup mengikutinya, pada men- jadikannya tabi'at (sifat yang tetap) bagi mereka. Jikalau bersesuaian kehadliran mereka itu, bersama bukan putera- bangsanya, maka adalah mereka itu bersama mereka dengan badan- tubuh saja. Dan jauh dari mereka dengan hati dan bathin. Sebagai­mana mereka duduk tanpa mendengar, bersama bukan bangsa mereka. Disebabkan oleh sebab-sebab yang mendatahg, yang menghendaki duduknya bersama mereka.



Sebahagian mereka dinukilkan daripadanya, meninggalkan mende­ngar. Dan diduga bahwa sebabnya meninggalkan pendengaran itu, ialah karena tiada memerlukan kepada pendengaran, disebabkan apa yang telah kami sebutkan dahulu. Dan setengah mereka terdiri dari orang-orang dzuhud.Dan tiada mempunyai untung kerohanian pada pendengaran itu. Dan ia tidak dari golongan senda-gurau. Maka ia meninggalkan mendengar itu, supaya tidak habis waktunya dengan apa yang tidak penting. Dan setengah mereka meninggalkan pendengaran itu, karena ketiadaan teman-teman. Ditanyakan kepada setengah mereka : "Mengapa engkau tidak mendengar?".

Lalu menjawab,: "Dari siapa dan bersama siapa?".



Adab Ke-empat : bahwa ia tidak berdiri dan tidak meninggikan suaranya dengan menangis. Ia sanggup membatasi diri. Tetapi jikalau ia menari atau membuat-buat menangis, maka diperbolehr kan (mubah), apabila ia tidak bermaksud dengan demikian, untuk ria. Karena membuat-buat menangis itu menarik kepada kesedihan. Dan menari itu sebab pada menggerakkan kegembiraan dan kera jinan.

Semua kegembiraan itu mubah. Boleh menggerakkannya. Jikalau menggerakkan kegembiraan itu haram, niscaya 'A-isyah ra tidak melihat orang-orang Habsyi bersama Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., di mana orang-orang Habsyi itu menari. (1)

(1) Hadits ini telah diterangkan dahulu.
686

' Itulah perkataan 'A-isyah ra. pada setengah riwayat!. Diriwayatkan dari suatu jama'ah dari shahabat ra., bahwa mereka itu- melompat-lompat kegirangan, tatkaia datang kepada mereka kegembiraan yang mengharuskan demikian. Yaitu : mengenai kisah anak perempuan Saidina Hamzah, tatkaia timbul perteng- karan antara 'Ali bin Abi Thalib dan saudaranya Ja'far dan Zaid bin Haritsah. Ketiganya bertengkar tentang siapa yang lebih berhak mendidik puteri Saidina Hamzah itu (namanya Amamah).

Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda kepada 'Ali : "Engkau daripadaku dan aku daripada engkau". Lalu'Ali melompat-lompat kegembiraan.

Kepada Ja'far, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Engkau" serupa dengan bentukku dan budi-pekertiku" Lalu ia melompat-lompat kegi­rangan di belakang 'Ali melompat-lompat.

Kepada Zaid, Beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda : "Engkau saudara kami dan kekasih kami, Lalu Zaid melompat-lompat kegirangan di belakang Ja'far melompat-lompat.

Kemudian Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Puteri itu untuk Ja'far. Karena saudara-ibunya yang perempuan (khalahnya) adalah di bawah Ja'far. Dan khalah itu ibu". (1)



Pada suatu riwayat, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda kepada 'A-isyah ra. : "Sukakah engkau melihat tarian (zafan) orang Habsyi?". Zafan dan hajal ialah raqash (menari). Dan yang demikian adalah karena kesenangan atau kerinduan. Hukumnya ialah hukum yang membangkitkannya, jikalau kesenangan itu terpuji. Dan tarian itu menanibahkan dan menguatkan kesenangan tadi. Maka tarian itu terpuji. Jikalau kesenangan itu mubah, maka tarian itu mubah. Dan jikalau kesenangan itu tercela, maka tarian itu tercela. Ya, tiada layak membiasakan yang demikian dengah kedudukan orang-orang besar dan orang-orang yang menjadi jikutan orang banyak. Karena kebanyakan tarian icu adalah dari senda-gurau dan permainan. Dan apa yang mempunyai bentuk permainan dan senda-gurau pada pandangan orang banyak, seyogialah dijauhkan oleh orang yang menjadi ikutan orang banyak. Supaya ia tidak menjadi kecU pada pandangan manusia. Lalu ia ditinggalk&n, tidak di-ikuti lagi.

Adapun pencabikan kain, maka tidak diperbolehkan. Kecuali ketika terjadi hal itu, tanpa ikhtiar (kemauannya). Dan tidak-jauh dari kebenaran, bahwa keraslah  الوجد Al-Wajd itu, di mana ia mencabik



(1)  Dirawikan Abu Dawud dari 'Ali, dengan isnad baik.    
687

kainnya. Dan ia tidak tahu, karena kesangatan mabuknya  الوجد Al-Wajd atas dirinya. Atau ia tahu. Tetapi ia berada seperti orang yang terpaksa, yang tidak sanggup mengekang diri. Dan adalah bentuk- nya itu bentuk orang yang terpaksa. Karena ada baginya pada gerakan atau pencabikan kain itu penafasan. Maka ia memerlukan kepadanya, seperti orang sakit memerlukan kepada pengeluhan. Jikalau diberati menahan diri (bersabar) dari yang demikian, niscaya ia tidak sanggup, sedang perbuatan itu adalah perbuatan ikhtiari (perbuatan berdasarkan kemauan atau pilihan sendiri). Maka tidaklah tiap-tiap perbuatan, yang terjadi dengan kemauan (iradah) itu, manusia sanggup meninggalkannya. Bernafas adalah perbuatan yang terjadi dengan kemauan. Jikalau manusia diberati menahan nafas satu jam, niscaya dipaksakan oleh bathinny a kepada mengusahakan bernafas. Maka begitu pula berteriak dan mencabik kain. Kadang-kadang ada seperti yang demikian. Maka itu tidak disifatkan dengan pengharamanI Disebutkan pada As-Sirri berita  الوجد Al-Wajd yang sangat keras, yang mengalahkan kesadaran. Maka beliau menjawab : "Ya, orang itu memukul mukanya dengan pedang dan ia tidak tahu (tidak sadar)". Lalu beliau dimintameninjau kembali tentang penjawabannya tadi. Dan dirasa jauhlah dari kejadian, bahwa  الوجد Al-Wajd akan sampai kepa­da batas itu. Tetapi beliau tetap pada penjawabannya dan tidak mau ruju' dari jawaban itu.



Maksudnya, bahwa pada setengah keadaan, kadang-kadang sampai kepada batas tadi pada sebahagian orang.



Jikalau engkau bertanya : "Apakah kata anda mengenai orang- orang shufi yang mengoyakkan kain-kain bam, sesudah tonangnya  الوجد Al-Wajd dan selesai dari mendengar? Mereka itu mengoyak-ngoyak- kan kainnya menjadi potongan kecil-kecil. Dan membagi-bagikan- nya kepada orang banyak. Dan mereka menamakan potongan- potongan kain itu al-khirqah (sobekan kain)". Ketahuilah, bahwa yang demikian itu mubah, apabila dipotong, potongan empat persegi, yang patut bagi pengepingan kain dan sajadah (kain tempat shalat). Sesungguhnya kain tebal dirobekkan, sehingga dapat dijahitkan kemeja. Dan yang demikian tidaklah menyia-nyiakan harta. Karena pengoyakan itu untuk suatu maksud. Demikian pula pengepingan kain, yang tidak mungkin, selain dengan potongan kecil-kecil. Dan itulah maksudnya. Dan pemba- gian kepada semua orang, supaya meratai kebajikan itu, adalah suatu maksud yang mubah.



688



Masing-masing pemilik memotong kainnya seratus potong. Dan memberikannya kepada seratus orang miskin. Akan tetapi seyogia­lah semua potongan itu mungkin dimanfa'atkan pada tiap-tiap sobekannya.

                                                                                                  ,

Sesungguhnya kami larang pada mendengar itu, akan pengoyakan yang merusakkan kain, yang menghancurkan sebahagiannya, di mana tidak tinggal yang dapat dimanfa'atkan. Maka itu penyia- nyiaan semata-mata, yang tidak diperbolehkan dengan pilihan sendiri (ikhtiar).



Adab Kelima : bersesuaian dengan orang banyak pada berdiri, apabila berdiri salah seorang dari mereka pada  الوجد Al-Wajd yang benar. Tanpa ria dan memberatkan. Atau berdiri dengan pilihan sendiri, tanpa melahirkan  الوجد Al-Wajd dan lalu berdiri untuk itu orang banyak. Maka tak boleh tidak daripada penyesuaian. Itulah sebahagian dari adab berteman!.



Begitu pula, jikalau berlaku adat-kebiasaan suatu golongan, dengan menanggalkan syurban, atas sepakat orang yang mempunyai al- wajd itu, apabila jatuh syurbannya. Atau menanggalkan pakaian apabila jatuh kainnya, disebabkan pengoyakan. Maka kesepakatan dalam segala hal ini, adalah sebahagian dari kebagusan berteman dan bergaul. Karena perselisihan itu meliarkan hati.. Dan masing-masing golongan mempunyai yang resmi. Dan haruslah bertingkah-laku dengan manusia, menurut tingkah-laku mereka, sebagaimana tersebut pada hadits. <d. Lebih-Iebih lagi apabha tingkah-laku itu. adalah tingkah-laku yang padanya bagus pergaulan, berbaik-baikan dan pembaikan hati dengan tolong- menolong.



Perkataan orang yang mengatakan, bahwa yang demikian itu bid'ah, tidak ada pada shahabat. Maka tidaklah semua yang dihu- kum (ditetapkcJi) dengan pembolehan (ibahah) itu dinukilkan dari para shahabat ra. Sesungguhnya yang dijaga, ialah mengerjakan bid'ah yang berlawanan dengan sunnah yang dinukilkan. Dan tidak dinukilkan larangan suatupun dalam hal ini.



Berdiri ketika masuk orang yang masuk ke suatu majelis, tidaklah termasuk sebahagian dari adat-kebiasaan orang Arab. Bahkan para shahabat ra. tidak berdiri untuk Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. pada setengah hal-keadaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas ra. (2)



(1)     Dirawikan AI-Hakim dari Abi Dzar. Katanya hadits shahih, menurut syarat al- Bukhari dan Muslim.
(2)     Dirawikan Anas, sebagaimana telah diterangkan pada "Bab Adab Bershahabat".
689



Tetapi, apabila tidak ada padanya larangan umum, maka kami ber- pendapat tiada mengapa pada negeri-negeri yang berlaku adat- kebiasaan padanya, memuliakan orang yang masuk ke suatu majelis, dengan berdiri. Karena yang dimaksud ialah penghormatan, pemuliaan dan pembaikan hati dengan berdiri itu. Begitu pula segala macam tolong-menolong yang lain. Apabila dimaksudkan pembaikan hati dan telah dipandang patut oleh orang banyak,Maka tiada mengapa bertolong-tolongan di atas yang demi­kian. Bahkan lebih baik bertolong-tolongan, kecuali mengenai apa yang telah datang larangan padanya, yang tidak menerima penta wilan.



Setengah dari adab-kesopanan ialah : bahwa tidak berdiri untuk menari bersama kaum (golongan) yang dirasakan berat tariannya dan tidak mengacau keadaan mereka. Karena tarian tanpa melahir- kan  الوجد Al-Wajd yang dipaksakan, itu mubah (diperbolehkan).  الوجد Al-Wajd yang dipaksakan, ialah : yang menampakkan bagi orang banyak kesan dipaksakan. Dan orang yang bangun berdiri dari perasaan. yang benar, tidak dirasakan berat oleh tabi'at. Maka hati orang yang hadlir itu, apabila mereka dari orang-orang yang mempunyai hati bersih, dapat menunjuk kebenaran dan rasa-dipaksakan. Setengah mereka ditanyakan tentang  الوجد Al-Wajd yang sebenarnya, lalu menjawab : " الوجد Al-Wajd yang sebenarnya, ialah : benarnya diterima oleh hati segala orang yang hadlir bagi  الوجد Al-Wajd itu, apabila mereka itu berada dalam bentuk yang tidak berlawanan". Jikalau anda bertanya : bagaimana keadaannya tabi'at yang lari dari tarian- dan mendahului kepada sangkaan, bahwa tarian itu perbuatan batil, senda-gurau dan menyalahi Agama? Lalu orang yang mempunyai kesungguhan pada Agama, tidak memandang akan tarian itu, melainkan menantangnya.



Ketahuilah, bahwa kesungguhan tidaklah melebihi di atas kesung­guhan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan sesungguhnya beliau itu melihat orang- ortJig Habsyi menari dalam masjid. Dan tidak menantangnya, karena adanya tarian itu pada waktu yang layak. Yaitu Hari Raya. Dan dari orang yang layak, yaitu orang Habsyi. Benar, tabi'at (sifat) manusia lari dari tarian itu. Karena melihat biasanya tarian* itu disertai dengan senda-gurau dan permainan. Senda-gurau dan permainan itu mubah (diperbolehkan). Tetapi untuk orang-orang awam dari orang-orang hitam, orang-orang Hab­syi dan yang menyerupai dengan mereka. Dan makruh bagi orang- orang yang mempunyai kedudukan. Karena tiada layak bagi mereka.



690



Dan apa yang dimakruhkan karena tiada layak dengan kedudukan orang yang -mempunyai kedudukan, maka ,tiada boleh disebut haram, Siapa yang meminta pada orang fakir sesuatu, laiu diberi- kannya sepotong roti, maka yang demikian itu adalah iha'at (iba- dah) yang baik. Dan jikalau orang itu meminta pada seorang raja, lalu diberikannya sepotong atau dua potong roti, mal,a yang demi­kian itu munkar (mendapat tantangan) dari manusia seluruhnya. Dan tertulis dalam sejarah berita-berita, dari sejumlah kejahatan- kejahatannya dan memalukan anak-anaknya dan pengikut-pengikut- nya. Dan dalam pada itu, tidak boleh dikatakan, bahwa apa yang diperbuat raja tadi adalah haram. Karena dari segi ia memberikan roti itu kepada orang fakir, adalah perbuatan baik. Dan dari segi dibandingkan kepada kedudukannya, seperti tidak memberikan, dibandingkan kepada orang fakir itu, dipandang keji. Maka demikian pulalah tarian dan apa yang berlaku seperti tarian itu, dari perbuatan-perbuatan mubah lainnya. Perbuatan mubah bagi orang awam, menjadi perbuatan buruk bagi orang baik-baik (al-abrar). Perbuatan baik bagi orang baik-baik, menjadi perbuatan buruk bagi orang muqarribin (orang yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala).



Ini adalah dari segi menoleh kepada kedudukkan . Adapun apabila dipandang kepada perbuatan itu sendiri, niscaya wajiblah dihukum bahwa perbuatan itu sendiri tak ada pengharaman padanya. Allah Maha Tahu.



Sesungguhnya hal itu telah keluar dari jumlah penguraian yang lalu, di mana pendengaran itu kadang-kadang adalah haram semata-mata. Kadang-kadang mubah. Kadang-kadang makruh. Dan kadang- kadang sunat.



Adapun haram adalah bagi kebanyakan manusia dari pemuda- pemuda dan orang-orang yang keras padanya keinginan dunia. Maka pendengaran itu tidak menggerakkan pada mereka, kecuali apa yang mengerasi pada hatinya, dari sifat-sifat tercela. Adapun makruh, maka yaitu bagi orang yang tidak menempatkan- nya di atas bentuk makhluq. Akan tetapi membuatkannya selaku suatu kebiasaan pada kebanyakan waktu di atas jalan senda-gurau. Adapun mubah, maka yaitu bagi orang yang tiada mengambil keun- tungan daripadanya, selain keiezatan dengan suara merdu. Adapun sunat (mustahab), maka yaitu bagi orang yang mengerasi kepadanya kecintaan kepada Allah Ta'ala. Dan tiada yang mengge­rakkan pendengarannya, kecuali oleh sifat yang terpuji. Segala pujian bagi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dan Allah meng- anugerahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarganya!.



691




Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...