Adab Bermusafir
KITAB ADAB BERJALAN JAUH (BERMUSYAFIR)(J2K07)
(Yaitu
: Kitab Ketujuh dari "Bahagian Adat-Kebiasaan (RubuAl-Adat)" dari
"Kitab Ihya' Ulumiddin").
Segala
pujian bagi Allah, yang membuka mata-hati wali-wali-Nya dengan hikmat dan
ibarat. Dan mengikhlaskan cita-cita mereka, untuk menyaksikan keajaiban.
ciptaan-Nya, di tempat tinggal dan; diperjalanan. Maka jadilah mereka itu rela
dengan yang berlatkuj menurut taqdir. Mereka membersihkan hati mereka, daripada
berf paling kepada segala yang disenangi mata, selain di atas jalan meiigr
ambil ibarat dengan apa yang dituangkannya dalam segala petunjvik penglihatan
dan perjalanan pemikiran. Maka samalah pada mereka,. daratan dan lautan,
dataran yang mudah dilalui dan yang menakutkan, desa dan kota.
Dan shalawat kepada Muhammad penghulu
manusia dan kepada keluarganya dan shahabatnya, yang mengikuti jejaknya tentang
budi-pekerti dan perjalanan hidup. Dan anugerahilah kiranya kesejahteraan yang
banyak kepada mereka!.
Amma ba'-du, kemudian dari itu, maka
berjalan jauh (bermusyafir); adalah wasilah (jalan) kepada kelepasan dari
sesuatu, yang kita; melarikan diri daripadanya. Atau sampai kepada sesuatu yang
dicari dan di-ingini kepadanya. Dan berjalan jauh (bermusyafir) itu. dua :
bermusyafir dengan' badan dzahir dari tempat ketetapan dan tanah air ke padang
Sahara dan tanah luas. Dan bermusyafir dengari' jalannya hati dari orang-orang
yang terendah tingkat, kekerajaan langit. .
Dan
yang termulia dari kedua macam perjalanan itu, ialah : perjalanan bathin.
Sesungguhnya orang yang berhenti pada keadaan yang didapatinya sesudah lahir ke
dunia, yang membeku terhadap apa yang diperolehnya, dengan bertaqlid (mengikut
saja) kepada bapa dan nenek moyang, maka orang itu sudah seharusnya inem-,
peroleh rendah deiajat. Merasa cukup dengan kurang pangkat Dan menerima gantian
dari lapangan luas, sorga yang lebarnya langit dan bumi, dengan kegelapan
penjara dan kesempitan tahanan. Dari sungguh benarlah kata penyair :
517
|
Tidaklah aku melihat kekurangan
Pada kekurangan kekurangan manusia
Seperti kekurangan orang orang yang
mempunyai kemampuan,
untuk
memperoleh derajat sempurna.
Kecuali,
bahwa perjalanan ini (perjalanan bathin), manakala yang menghadapinya berada
dalam bahaya yang mengkuatirkan, maka
tidaklah ia mencukupi. tanpa penunjuk jalan dan pelindung. Maka
dikehendaki oleh kekaburan jalan, ketiadaan pelindung dan penunjuk dan perasaan
puas bagi orang-orang yang berjalan itu, dengan nasib yang menurun lagi
sedikit, tanpa bahagian yang banyak, yang telah terhapus jalan-jalannya. Maka terputuslah
teman-teman pada perjalanan itu. Dan sepilah tempat-tempat yang menghiburkan
bagi diri, alarn tinggi dan segeriap penjuru, dari orang-orang yang
berkeliling. Dan kepada perjalanan yang tersebut, diserukan oleh Allah swt.
dengan firman-Nya :
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
(Sanuriihim
aayaatinaa fil-aafaaqi wa fii anfusihim).
Artinya
: "Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti
kebenaran. Kami disegenap penjuru (dunia) ini dan pada diri mereka sendiri(S.
Ha Mim (Fushilat), ayat 53). ,dan dengan firman-Nya:
قَالُوا
كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
قَالَ
فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلُونَ
(Wafilrardli
aayaatun lil-muuqiniina wa fii anfusikum afalaa tub- shiruun).Artinya
: "Dan di bumi ada tanda-tanda untuk orang-orang yang yakin dalam
kepercayaannya. Dan juga pada diri kamu sendiri mehgapa tidak kamu perhatikan. (S. Adz-Dzariyat, ayat 30 - 31). Dan
duduk, tidak melakukan perjalanan ini, ditantang dengan firman-Nya :
وَإِنَّكُمْ
لَتَمُرُّونَ عَلَيْهِمْ مُصْبِحِينَ
وَبِاللَّيْلِ
أَفَلا تَعْقِلُونَ
(Wa innakum latamurruuna 'alaihim mushbihiina
wa bil-laili afalaa ta'quluun).
Artinya
: "Dan sesungguhnya kamu dalam perjalananmu melalui (bekas-bekas)
mereka waktu pagi-pagi. Dan waktu malam. Tiadakah kamu mengerti (S.
Ash-Shaffat, ayat 137 - 138).
518
|
وَكَأَيِّنْ
مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا
مُعْرِضُونَ
(Wa
ka-ayyin min aayatih fis-samaawaati wal-ardli yamUrmmaf 'alaihaa wa hum 'anhaa
mii'-ridluun).Artinya : "Dari banyaklah keterangan-keterangan di langit
dan bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya?(S. Yusuf,
ayat 105).
Maka
orang yang menyenangkannya perjalanan ini, niscaya senentiasa dalam
perjalanannya itu, terhibur dalam sorga, yang lintang nya langit dan bumi. Dia
tetap dengan tubuhnya tiada bergerak menetap di tanah air.
Itulah
perjalanan, yang tiada sempit padanya, tempat-tempat minum dan tempat-tempat
singgahan. Dan tiada memperoleh kemelaratan padanya oleh berdesak-desakan dan
berdatangan orang banyak. Bahkan bertambah dengari banyaknya musyafir-musyafir
itu, harta-harta ghanimah (harta rampasan). Dan berlipat-gandalah; buah dan
faedahnya.
Maka
harta-harta rampasan itu kekal, tiada terlarang. Buahriya bertambah-tambah,
tiada putus-putusnya. Kecuali apabila nyata pada inusyafir itu terputus
perjalanannya dan terhenti gerakannyav Maka Allah tiada akan merobah apa yang
ada pada sesuatu kaum J sehingga mereka itu merobah apa yang ada pada diri
mereka itu sendiri. Dan apabila mereka'berjalan sesat, niscaya disesatkan oleh
Allah hati mereka. Dan tidaklah Allah menganiaya hamba-hamba|; Nya, Tetapi
mereka itu menganiaya dirinya sendiri. Dan orang yang tidak menjadikan dirinya
mengembara pada lapangan ini dan berkeliling pada tempat-tempat penghiburan
dari kebirii ini, kadang-kadang ia bermusyafir dengan badan dzahimya dalam masa
panjang, dalam kilometer yang banyak jumlahnya, di mana ia memperoleh pemiagaan
untuk dunia atau simpanan untuk akhirat . Maka jikalau yang dicarinya itu ilmu
dan agama atau kecukupani untuk pertolongan kepada agama, niscaya adalah ia
dari orang- orang yang berjalan pada jalan akhirat. Dan pada perjalanannya itu
mempunyai syarat-syarat dan adab-adab kesopanan. Jikalau disia- siakannya, niscaya
ia termasuk orang-orang yang berbuat untuk dunia dan pengikut-perigikut
syaitan. Dan jikalau ia rajin di atas syarat-syarat dan adab kesopanan itu,
niscaya perjalanannya tiada terlepas dari faedah-faedah yang menghubungkannya
dengan pekerja pekerja akhirat pada dua bab insyaa Allah Ta'ala.
519
|
Bab
Pertama : tentang adab-adab kesopanan, dari permulaan berangkat sampai kepada
akhir kembalinya, tentang niat perjalanan dan faedahnya. Dan pada Bab ini dua
pasal
Bab
Kedua : tentang hal-hal yang tak boleh tidak bagi seorang musyafir,
mempelajarinya, dari keentengan-keentengan (rukh-shah) perjalanan;
penunjuk-penunjuk qiblat dan waktu-waktu shalat.
BAB PERTAMA Tentang adab dari permulaan berangkat sampai kepada akhir
kembali tentang niat perjalanan dan faedahnya dan pada bab ini dua fasal
pasal
pertama : Tentang faedah
perjalanan, keutamaan dan niatnya.
Ketahuilah,
bahwa bermusyafir (mengadakan perjalanan jauh) adalah semacam
pergerakan badan dan percampur-bauran dengan manusia. Pada perjalanan itu banyak
faedah dan mempunyai bahaya-bahaya, sebagaimana telah kami sebutkan pada
"Kitab Berteman dan "Uzlah". Dan faedah-faedah yang menggerakkan
kepada perjalanan itu, tidaklah terlepas dari lari atau mencari. Maka
sesungguhnya seorang musyafir, adakalanya mempunyai hal yang menakutkan untuk
menetap di tempatnya. Dan jikalau tidak ada yang. menakutkan itu, niscaya ia
tiada mempunyai maksud untuk mengadakan perjalanan tersebut. Dan adakalanya
mempunyai maksud. dan yang dicari.
Melarikan
diri dari tempat tinggal, adakalanya oleh suatu hal yang: merupakan bencana,
pada urusan-urusan keduniaan, seperti : penyakit kolera dan penyakit menular,
apabila timbul di negeri tempat tinggalnya. Atau karena ketakutan, disebabkan
oleh fitniah atau permusuhan atau kemahalan harga.
Dan
yang tersebut itu, adakalanya bersifat umum, sebagaimana yang telah kami
sebutkan. Atau bersifat khus us, umpamanya : orang yang mau dianiaya di suatu
negeri. Lalu melarikan diri dan; negeri itu. Dan adakalanya oleh suatu hal yang
merupakan bencana pada Agama. Umpamanya orang yang dicoba dalam negerinya
dengan : kemegahan, harta dan meluasnya sebab-sebab yarig menghembatkannya
daripada menjuruskan diri kepada Allah. Maka ia; memilih perantauan dan
penyembunyian diri. Ia menjauhkari keluasan hidup dan kemegahan. Atau seperti
orang yang diajak kepada perbuatan bid*ah dengan paksaan. Atau kepada menjabafe
pekerjaan, yang tidak halal menyentuhkannya. Maka ia mencari? jalan untuk
melarikan diri dari hal tersebut.
Adapun
yang dicari, maka adakalanya hal duniawi, seperti harta dan kemegahan diri.
Atau hal keagamaan. Dan keagamaan itu, adakalanya : ilmu dan adakalanya : amal
(perbuatan).
521
|
Dan ilmu itu adakalanya salah satu dari ilmu-ilmu keagamaan.
Dan adakalanya ilmu mengenai akhlaq dirinya sendiri dan sifat- sifatnya di atas
jalan percobaan. Dan adakalanya ilmu tentang tanda-tanda kekuasaan Allah di
bumi dan keajaiban-keajaibannya. Seperti : perjalanan Dzul-Qarnain dan
pengelilingannya pada segala penjuru bumi.
Dan amal (perbuatan) itu, adakalanya ibadah dan adakalanya
ziarah (kunjungan). Ibadah, yaitu : hajji, 'umrah dan jihad (fi sabiliilah).
Dan ziarah juga termasuk amal yang mendekatkan diri kepada Allah. Kadang-kadang
dimaksudkan dengan ziarah itu, tempat. Seperti : Makkah, Madinah, Baitul-maqdis
dan benteng-benteng Maka mengikatkan diri kepada tempat-tempat tersebut, adalah
mendekatkan diri kepada Allah.
Kadang-kadang dimaksudkan dengan ziarah itu, wali-wali dan
ulama-ulama. Dan mereka itu, adakalanya: sudah meninggal. Maka diziarahilah
kuburannya. Dan adakalanya : masih hidup. Maka diambil barakahlah dengan
melihat wajahnya. Dan diperoleh faedah dari melihat keadaan mereka, akan
kuatnya keinginan mengikuti mereka.
Maka inilah segala bahagian perjalanan jauh itu, Dan
dikeluarkan dari bahagian ini beberapa bahagian : Bahagian Pertama :
bermusyafir pada menuntut ilmu. Dan itu, adakalanya : wajib, Dan adakalanya :
sunat Dan yang demikian itu, menurut keadaan ilmu itu, wajib atau sunat. Dan
ilmu itu, adakalanya : ilmu tentang urusan Agamanya atau akhlaqnya ten tang
dirinya atau tanda-tanda kekuasaan Allah di bumi-Nya. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
من
خرج من بيته في طلب العلم فهو في سبيل الله حتى يرجع
(Man kharaja min baitihi fii thalabil-'ilmi fahuwa fii
sabiilil-laahi hattaa yarji-'a).
Artinya : "Barangsiapa keluar dari rumahnya pada
menuntut ilmu, maka ia pada jalan Allah (fi sabilillah) sehingga ia kembali ke
rumahnya" (1)
(1) Dirawikan At-Tirmidzi
dari Anas, hadits hasan gharib.
|
522.
|
Dan pada hadits lain, tersebut:
من
سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا إلى الجنة
(Man salaka thariiqan yaltamisu fuhi 'ilman sahhalallaahu
lahu thariiqan ilal-jannah).
Artinya : "Barangsiapa berjalan. pada jalan, di
mana ia mencari ilmu padanya, niscaya dimudahkan oleh Allah baginya jalan ke
sorga" (1)
Dan Sa'id bin Al-Musayyab bermusyafir berhari-hari, mencari
satu hadits. Asy-Sya'bi berkata : "Jikalau bermusyafir seorang
laki-laki dari negeri Syam (Syria) ke negeri Yaman yang terjauh, mencari suatu
kalimat yang menunjukkannya kepada petunjuk atau mengembalikannya dari
kerendahan, niscaya tidaklah perjalanannya itu sia-sia".
Jabir bin Abdullah berangkat dari Madinah ke Mesir bersama
sepu luh orang shahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Mereka itu berjalan sebulan lamanya, mencari suatu hadits,
yang sampai kepada mereka, dari Abdullah bin Anis Al-Anshari, yang
diriwayatkannya dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sehingga mereka itu mendengar hadits itu daripadanya. Dan
semua orang yang tersebut dalam ilmu pengetahuan, yang memperoleh ilmu
pengetahuan itu, dari zaman shahabat sampai kepada zaman kita sekarang, bahwa
ia tidak berhasil akan ilmu pengetahuan, itu, selain dengan bermusyafir. Dan ia
bermusyafir karena ilmu pengetahuan itu.
Adapun mengetahuannya tentang dirinya sendiri dan akhlaqnya,
maka yang demikian itu juga penting. Sesungguhnya jalan akhirat, tidak mungkin
menjalaninya, selain dengan membaikkan dan mendidikkan budi Dan orang yang
tiada menoleh kepada rahasia bathinya dan kekejian sifat-sifatnya, niscaya ia
tidak mampu mensucikan hatinya daripadanya. Dan sesungguhnya perjalanan
(safar), ialah yang membuka budi-pekerti (akhlaq) orang. Dan dengan
perjalananlah, dikeluarkan oleh Allah yang tersembunyi pada langit dan bumi.
Dan sesungguhnya perjalanan jauh (safar) disebut dalam bahasa Arab dengan
kata-kata ; safar (di mana arti safar itu : membuka), karena ia membuka akhlaq
orang yang bermusyafir itu. Dan karena itulah Umar ra. bertanya kepada orang
yang mengaku bersih (jujur) sebagian dari saksi-saksi : "Adakah engkau
menemaninya dalam perjalanan (safar) yang dapat menjadi dalil atas kemuliaan
akhlaq (budi-pekertinya)?"
(1) Dirawikan Muslim dan
sudah diterangkan dahulu pada "Bab Ilmu".
|
523.
|
Orang itu menjawab : "Tidak!!".
Lalu 'Umar ra. menyambung : "Maka apakah yang
memperlihatkan engkau mengenal orang itu!".
Bisyr berkata: "Wahai para qari' (ahli membaca
Al-Qur-anul-karim)! Mengembaralah, niscaya kamu menjadi baik! Sesungguhnya air,
apabila mengalir, niscaya baik. Dan apabila lama berhentinya pada suatu tempat,
niscaya ia berobah".
Kesimpulannya, bahwa diri kita di tanah air serta tak adanya
sebab-sebab, maka tidaklah lahir keburukan akhlaqnya. Karena diri kita itu
dapat menjinakkan hatinya dengan yang bersesuaian bagi sifatnya, dari
kebiasaan-kebiasaan yang menjadi kesukaan diri. Maka apabila ia menanggung
kesulitan bermusyafir, ia meninggalkan kesukaannya yang sudah dibiasakan dan
memperoleh percobaan dengan kesukaran di negeri asing, niscaya terbukalah
segala mara- bahayanya. Dan diketahuilah kekurangan-kekurangannya. Lalu
mungkinlah berusaha mengobatinya. Dan telah kami sebutkan pada "Kitab
uzlah" akan faedah-faedah percampur-bauran dengan manusia (mukhalathah).
Dan bermusyafir itu adalah mukhalathah, serta bertambah lagi pekerjaan dan
penanggungan kesulitan. Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah (ayatullah) di bumi-Nya,
maka pada menyaksikannya itu, banyak faedah bagi orang yang mempunyai bashirah
(mata-hati). Pada bumi-Nya itu tempat- tempat yangberdekat-dekatan. Padanya
bukit-bukit, padang Sahara, lautan, berbagai macam hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Dan tidak satu macampun daripadanya, melainkan menjadi saksi bagi Allah dengan
keesaan (wahdaniah). Dan mengucapkan kesucian (tasbih) bagi-Nya, dengan lidah
yang lancar, yang tidak diketahui, selain oleh orang yang mencurahkan
pendengarannya. Dan dia itu me nyaksikannya.
Adapun orang-orang yang ingkar, lalai dan tertipu dengan
kilatan fatamorgana dari kembang dunia, maka orang-orang itu tidak melihat dan
tidak mendengar, Karena mereka itu terasing dari pendengaran. Dan tertutup dari
tanda-tanda Tuhannya. "Mereka mengetahui yang dzahir dari kehidupan
duniawi dan lalai dari akhirat". (1)
Dan tidaklah dimaksudkan dengan pendengaran itu akan pendengaran
dzahir. Karena orang-orang yang dimaksudkan dengan yang demikian, tidaklah
mereka itu terasing dari pendengaran itu. Sesungguhnya yang dimaksudkan ialah :
pendengaran bathin. Dan tidaklah diketahui dengan pendengaran dzahir, kecuali
suara-suara. Dan sama padanya manusia dengan hewan-hewan yang lain,
(1) Sesuai dengan bunyi S. Ar-Rum, ayat 7.
|
524.
|
sungguhnya yang dimaksudkan ialah : pendengaran bathin. Dan
tidaklah diketahui dengan pendengaran dzahir, kecuali suara-suara. Dan sama
padanya manusia dengan hewan-hewan yang lain,
Adapun pendengaran bathin, maka dapat diketahui isi
pembicaraan keadaan (lisanul-hal), di mana itu adalah tuturan, dibalik tuturan
kata yang diucapkan, yang menyerupai perkataan orang yang me- ngatakannya,
sebagai ceritera perkataan tiang dan dinding Dinding itu berkata kepada tiang :
"Mengapakah engkau menyusahkan aku?". Lalu tiang itu menjawab : "Tanyakanlah
kepada orang yang menokokkan aku! Dan tidak ditinggalkannya aku di bela- kangku
oleh batu yang ada di belakangku!"
Dan tidak dari satu dzarrah
(atom)pun di langit dan di bumi, melainkan mempunyai berbagai macam yang
menjadi saksi bagi Allah Ta'ala dengan ke-esaan (wahdaniah). Yaitu :
pengesaannya. Dan berbagai macam yang menjadi saksi bagi Khaliqnya dengan
ke-qudusan, yaitu : tasbihnya, Tetapi mereka itu tiada memahami tasbihnya itu.
Karena mereka tiada bermusyafir dari kesempitan pendengaran dzahir, kelapangan
luas pendengaran bathin. Dan dari ketidak-lancaran lisan pengucapan, kepada
kelancaran lisan keadaan (lisanul-hal).
Jikalau mampulah tiap-tiap orang
yang lemah, kepada perjalanan yang seperti ini, niscaya tidaklah Nabi Sulaiman
as. dikhususkan dengan memahami tuturan burung. Dan sungguh tidaklah Nabi Musa.
as, dikhususkan dengan mendengar firman (kalam) Allah Ta'ala yang wajib
di-qudus-kan dari penyerupaan huruf dan suara.
Dan siapa yang bermusyafir,
untuk menyelidiki kesaksian-kesaksian ini, dan baris-baris yang tertulis,
dengan tulisan-tulisan ke-Tuhan-an (al-khuthut-al-ilahiyah) di atas
lembaran-benda-benda keras (al-ja-madat), niscaya tidaklah lama perjalanannya
itu dengan tubuh. Tetapi ia menetap pada suatu tempat dan menyelesaikan hatinya
untuk bersenang-senang dengan mendengar alunan-suara ucapan tasbih dari
satu-persatu dzarrah (atom). Maka tidak usahlah ia pulang pergi di
sahara-sahara yang luas. Dan ia mempunyai kekayaan di kerajaan langit. Maka
matahari, bulan dan bintang itu tunduk dengan perintah-Nya. Dan matahari, bulan
dan bintang itu, bermusyafir kepada penglihatan orang-orang yang mempunyai
mata-hati (bashirah), beberapa kali dalam sebulan dan setahun. Bahkan ia
merangkak pada geraknya di atas waktu yang datang silih berganti.
525.
|
Maka setengah dari keganjilan, bahwa merangkak pada
mengelilingi satu-persatu masjid, orang yang disuruh oleh Ka'bah, bahwa Ka'bah
mengelilinginya. Dan setengah dari keganjilan, bahwa berkeliling pada segala
sudud bumi, orang yang berkelilinglah padanya segala penjuru langit.
Kemudian, selama orang musyafir itu berkehendak kepada
dilihat oleh alam kebesaran dan kenyataan ('alamul-mulki wasy-syahadah) dengan
mata-dzahir, maka ia terhitung pada tempat pertama, dari tempat-tempat orang
yang berjalan kepada Allah dan bermusyafir ke-hadlirat-Nya. Dan seolah-olah ia
ber'tikaf (berhenti duduk) di atas pintu tanah air, yang tiada membawa ia
berjalan ke angkasa luas. Dan tiada sebab untuk lamanya berdiri pada tempat
ini, selain oleh ketakutan dan keteledoran.
Dan karena itulah, setengah
orang-orang yang mempunyai hatinurani berkata : "Sesungguhnya manusia
mengatakan : 'Bukalah matamu, sehingga kamu dapat melihat!' Dan aku mengatakan
: "Tutuplah matamu, sehingga kamu melihat!".
Dan masing-masing dari dua perkataan ini benar. Kecuali,
bahwa yang pertama itu menerangkan tempat pertama yang dekat dari tanah air.
Dan yang kedua itu, menerangkan dari yang sesudahnya, dari tempat-tempat yang
jauh dari tanah air, yang tidak diinjak, selain oleh orang yang melemparkan
dirinya dalam bahaya besar. Dan orang yang lewat ke tempat itu, kadang-kadang
sesat di jalan dan menderita bertahun-tahun. Kadang-kadang ia mengambil taufiq
dengan tangannya. Maka taufiq itu menunjukkannya kepada jalan yang benar. Dan
orang-orang yang binasa pada tempat yang menyesatkan itu, mereka itu kebanyakan
dari orang-orang yang berkendaraan pada jalan ini. Tetapi orang-orang yang
mengembara dengan nur taufiq (nurut-taufiq), niscaya memperoleh kemenangan
dengan kenikmatan dan kerajaan yang tetap. Yaitu : orang-orang yang telah
mendahului bagi mereka, kebaikan daripada Allah. Dan ambillah ibarat akan
kerajaan ini, dengan kerajaan duniawi! Maka sesungguhnya sedikitlah yang
mencari kerajaan ini, diban- dingkan kepada banyaknya makhluq.
Manakala besarlah yang dicari, niscaya sedikitlah yang
membantu. Kemudian, orang yang binasa adalah lebih banyak daripada orang yang
dapat memiliki. Dan tidaklah menghadapkan diri mencari kerajaan itu, orang yang
lemah lagi pengecut. Karena besarnya bahaya dan lamanya kepayahan :
526.
|
Apabila jiwa itu besar.........
maka payahlah tubuh
mencapai maksudnya ...................................................
Dan Allah Ta'ala tiada menyimpankan kemuliaan dan kerajaan
pada Agama dan dunia, selain pada tempat bahaya. Kadang-kadang orang pengecut
dan orang tele dor, menamakan kepengecutan dan keteledoran itu, dengan
hati-hati dan waspada, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair :
Orang-orang pengecut itu melihat, bahwa sifat pengecut adalah
hati-hati Dan itu adalah tipuan bagi sifat, yang terkutuk sekali.Maka inilah hukum perjalanan dzahir, apabila dimaksudkan
kepada perjalanan bathin, dengan membacakan tanda-tanda kebesaran Allah di
bumi,Dan sekarang, marilah kita kembali kepada maksud, yang kita
maksudkan dan marilah kita terangkan :
Bahagian Kedua : yaitu, bahwa ia bermusyafir karena ibadah.
Adakalanya karena mengerjakan hajji atau berjuang fi sabilillah. Dan telah kami
sebutkan keutamaan yang demikian, adab-adabnya dan amalannya, yang dzahir dan
yang bathin pada "Kitab Rahasia Hajji Dan termasuk ke dalam jumlahnya,
berziarah kekuburan nabi-nabi as., berziarah kekuburan shahabat-shahabat, para
pengi- kut shahabat (tabi'in), ulama-ulama yang lain dan wali-wali. Dan semua
orang yang diambil barakah dengan melihatnya pada masa hidupnya, adalah diambil
barakah dengan menziarahi kuburannya sesudah wafatnya. Dan bolehlah melakukan
perjalanan jauh untuk maksud ini. Dan tidaklah terlarang dari maksud ini, oleh
sabda Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. :
لا
تشد الرجال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى
(Laa tusyaddur-rihaalu Ulaa ilaa tsalaatsati masaajida,
masjidil haadzaa, wal-masjidil-haraami wal-masjidil-aqshaa). Artinya : "Tiadalah
diadakan perjalanan jauh, kecuali kepada tiga masjid : Masjidku ini (Masjid
MadinahMasjidil-haram (di Makkah) dan Masjidil-aqsha (di
Baitul-maqdis)"(1)
(1) Hadits ini telah
diterangkan pada "Bab Hajji".
|
527.
|
Karena yang demikian itu mengenai masjid-masjid, maka yang-
tersebut itu, samalah satu dengan lainnya, sesudah masjid-masjid yang tiga
tadi. Jikalau tidaklah begitu, maka tiadalah berbeda antara berziarah kekuburan
nabi-nabi, wali-wali dan ulama-ulama, pada pokok kelebihannya, walaupun yang
demikian itu berlebih kurang' derajatnya dalam batas yang besar, menurut
perbedaan derajat mereka pada sisi Allah,
Kesimpulannya, berziarah kepada orang hidup adalah lebih
utama daripada berziarah kepada orang mati. Faedah dari menziarahi orang hidup,
ialah mencari barakah do'a dan barakah memandang kepada wajahnya. Sesungguhnya
memandang wajah ulama dan orang-orang shalih adalah ibadah. Dan juga padanya
menggerakkan keinginan mengikuti jejaknya, Dan berakhlaq dengan akhlaq dan
adab-kesopanannya.
Ini, selain dari apa yang ditunggu dari faedah-faedah ilmiah,
yang diperoleh faedahnya dari diri dan perbuatan mereka. Bagaimana tidak!
Semata-mata menziarahi teman pada jalan Allah (al-ihwan fillah
الإخوان في الله ),
ada padanya kelebihan, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu, pada "Kitab
Berteman"Dalam Taurat, tersebut : "Berjalanlah empat mil!
Kunjungilah saudaramu pada jalan Allah!Adapun tempat, maka tiadalah arti menziarahinya, selain dari
masjid tiga itu dan selain dari benteng-benteng yang diperkuatkan untuk
menghadapd musuh.Hadits yang tersebut di atas adalah jelas, tentang tidaklah
diadakan perjalanan jauh (safar) untuk mencari barakah tempat, selain kepada
masjid tiga itu. Dan telah kami sebutkan kelebihan dua tanah haram (tanah haram
Makkah dan tanah haram Madinah) pada "Kitab Hajji Dan Baitul-maqdis juga
mempunyai besar kelebihan.
Ibnu 'Umar ra. keluar dari Madinah menuju Baitul-maqdis.
Sehingga ia mengerjakan shalat padanya shalat lima waktu. Kemudian ia kembali
pulang beresoknya ke Madinah.
Nabi Sulaiman as. meminta kepada Tuhannya 'Azza wa Jalla :
"Bahwa orang yang menuju masjid ini (masjid Baitul-maqdis), yang tidak
dipentingkannya, selain bershalat padanya, bahwa : tidak Engkau memalingkan
pandangan Engkau daripadanya, selama ia menetap dalam masjid itu sehingga ia
keluar daripadanya. Dan bahwa Engkau keluarkan dia dari segala dosanya, seperti
hari dila- hirkan oleh ibunya".
Maka Allah Ta'ala
memperkenankan permintaannya yang demikian.
528.
|
Bahagian Ketiga : bahwa perjalanan itu untuk melarikan diri dari suatu sebab
yang mengganggu Agama. Dan yang demikian itu juga baik. Maka lari dari sesuatu
yang tiada disanggupi, adalah termasuk sunnah (jalan yang ditempuh) nabi-nabi
dan rasul-rasul. Setengah dari yang wajib melarikan diri daripadanya, ialah :
diang- kat menjadi anggota pemerintahan, memperoleh kemegahan dan banyak
sangkut-paut dan sebab-sebab dengan orang lain. Karena semuanya itu mengganggu
kekosongan hati. Dan agama itu tidak sempurna, melainkan dengan hati yang
kosong dari selain Allah. Jikalau tidak sempurna kosongnya, maka dengan kadar
kekosongan itulah, tergambar bahwa ia bekerja pada agama. Dan tidaklah
tergambar kekosongan hati dalam dunia, dari segala kepentingan duniawi dan
keperluan-keperluannya yang penting. Tetapi yang tergambar, hanyalah peringanan
dan pemberatannya, Dan terle- paslah dari kebinasaan orang-orang yang memandang
ringan kepentingan dan keperluan duniawi. Dan binasalah orang-orang yang
memandang beratnya (pentingnya). Dan segala pujian bagi Allah yang tidak
menggantungkan kelepasan itu, dengan kekosongan mutlak dari segala dosa dan
pikulan. Tetapi Ia menerima orang yang memandang ringannya kepentingan duniawi,
dengan kurnia dan lengkap keluasan rahmat-Nya.
Dan orang yang memandang ringannya kepentingan duniawi itu,
ialah orang yang tidaklah dunia itu menjadi cita-citanya yang terbesar. Dan
yang demikian tidak mudah di tanah air bagi orang yang meluas kemegahannya dan
banyak hubungannya. Maka tidaklah sempurna maksudnya, selain dengan
mengasingkan dan menyem- bunyikan diri. Memutuskan segala hubungan yang tak
dapat tidak daripadanya. Sehingga ia melatih dirinya pada waktu yang panjang.
Kemudian, kadang-kadang ia ditolong oleh Allah dengan perto- longan-Nya. Lalu
dianugerahkan-Nya nikmat kepadanya, dengan yang menguatkan keyakinannya. Dan
meneteramkan hatinya. Maka samalah padanya di kampung dan diperjalanan. Dan
dekat- mendekatilah padanya, adanya sebab-sebab dan hubungan-hubung- an itu
atau tidak adanya. Maka tiada suatupun yang menghalangi- nya dari apa yang
sedang dilaksanakannya, daripada dzikir kepada Allah.
Dan yang demikian, termasuk hal yang sukar sekali adanya.
Bahkan biasanya pada hati itu, ialah kelemahan. Dan singkatnya dari keluasan
bagi makhluq dan khaliq. Dan sesungguhnya yang berba- hagia dengan kekuatan
ini, ialah nabi-nabi dan wali-wali. Dan sampai kepadanya dengan usaha adalah
sukar sekali, meskipun ada
529.
|
juga jalan masuk untuk bersungguh-sungguh dan berusaha
padanya. Dan contoh lebih kurangnya kekuatan bathiniah padanya, adalah seperti
lebih-kurangnya kekuatan dzahiriah pada anggota badan. Maka kadang-kadang
seorang laki-laki yang kuat, yang mempunyai cukup kekuatan, sempurna bentuk
tubuhnya, kuat urat-uratnya, kokoh bangunan dirinya, dapat membawa sendiri
barang yang timbangannya seribu kati umpamanya.
Jikalau seorang lemah yang sakit bermaksud mencapai
tingkatan- nya, dengan membiasakan membawa dan beransur-ansur padanya
sedikit-sedikit, niscaya tiada akan sanggup kepada yang demikian. Tetapi
membiasakan dan bersungguh-sungguh itu menambahkan kelcuatannya barang
sekadarnya. Dan walaupun demikian itu tiada menyampaikannya kepada tingkat
orang yang tersebut di atas. Maka tiada seyogialah ia meninggalkan kesungguhan
ketika merasa berputus-asa dari tingkat yang tinggi itu. Maka sesungguhnya yang
demikian, adalah bodoh sekali dan sesat benar. Sesungguhnya adalah dari
kebiasaan ulama terdahulu (ulama salaf) direlai Allah kiranya mereka itu,
berpisah dari tanah air, karena takut dari fitnah.
Sufyan Ats-Tsuri berkata : "Ini zaman buruk. Tak dapat
dipercayai pada zaman ini orang yang lemah pikiran. Maka bagaimana pula
terhadap orang-orang yang terkenai? Inilah zaman orang berpindah dari satu
negeri kelain negeri. Tiap kali ia sudah dikenal pada suatu. tempat, lalu
berpindah kelain tempat".
Abu Na'im berkata : "Aku melihat Sufyan Ats-Tsuri, telah meng- gantungkan
mangkok airnya ditangannya. Dan meletakkan tempat airnya dari kulit, di
punggungnya. Lalu aku bertanya : 'Mau ke mana, wahai Abu Abdillah?' Sufyan
Ats-Tsuri menjawab : "Telah sampai berita kepadaku dari suatu desa, di
mana harga barang-barangnya murah. Aku ingin tinggal di desa itu". Maka
aku bertanya kepadanya : "Apakah akan engkau laksanakan demikian?'".
Sufyan menjawab : "Ya! Apabila sampai kepadamu, bahwa pada suatu desa,
barang-barangnya murah, maka tinggallah di desa itu! Karena yang demikian itu,
lebih menyelamatkan Agama- mu dan lebih menyedikitkan kesusahanmu". Inilah
lari dari kemahaian harga namanya!.
Sirri As-Suqthi berkata kepada drang-orang shufi: "Apabila
datang musim dingin, maka sesungguhnya telah datang bulan Adzar (bulan Maret).
Kayu-kayuan berdaun. Dan baiklah bertebaran. Maka bertebaranlah kamu!".
530.
|
Orang-orang khawwash (orang-orang tertentu, kuat
tha'atnya kepada Allah), tidak bermukim di suatu negeri melebihi daripada empat
puluh hari. Orang-orang itu termasuk orang-orang yang tawakkal. Dan memandang
bermukim itu, berpegang kepada sebab- sebab, yang merusakkan ke-tawakkal-an.
Dan akan datang penjelasan rahasia-rahasia berpegang kepada sebab-sebab, pada
"Kitab- Tawakkal" Insya Allah Ta'ala.
Bahagian Ke-empat : bermusyafir karena lari daripada yang meru sakkan pada
badan, seperti : kolera. Atau pada harta, seperti : kemahalan harga Atau
hal-hal yang berlaku yang seumpama dengan itu. Dan tidaklah berdosa pada yang
demikian. Tetapi, kadang- kadang wajib lari pada setengah tempat. Dan
kadang-kadang di sunatkan pada setengah tempat, Menurut wajibnya dan sunat-
nya,apa yang teratur atasnya, dari faedah-faedahnya. Tetapi, dikecualikan
daripada tadi, ialah penyakit holer a (penyakit tha'un), Maka tiada seyogialah
lari daripadanya, karena datang larangannya*
Berkata Usamah bin Zaid : "Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bersabda : "Bahwa penyakit ini atau bahaya ini adalah
azab. Telah diazabkan sebahagian ummat-ummat sebelum kamu dengan penyakit
tersebut. Kemudian, ia kekal di bumi sesudahnya. Lalu sekali ia hilang dan
datang lagi pada kali yang lain. Maka barangsiapa mendengar penyakit itu pada
suatu negeri, maka janganlah datang ke negeri itu! Dan barangsiapa berada di
suatu negeri, di mana penyakit tersebut ada, maka janganlah ia dikeluarkan oleh
larinya daripadanya(1)
A-isyah ra. berkata :"Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - bersabda :Sesungguhnya kehancuran ummatku, ialah dengan
kena tusukan tombak (tha'n) dan penyakit kolera (tha’un)Lalu aku bertanya : "Tha'n, sesungguhnya sudah kami
ketahui. Maka tha*un itu apa?' Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. menjawab : "Yaitu : suatu penyakit, seperti
penyakit unta, di mana penyakit itu mengambil mereka pada bahagian bawah
perutnya yang halus dan lembut. Muslim yang meninggal daripadanya adalah
syahid. Orang yang menetap di tempat itu, yang mencari pahala daripada Allah,
adalah seperti orang yang mengikatkan dirinya pada jihad fi sabilillah Dan
orang yang lari daripadanya, adalah seperti orang yang lari dari barisan
perang". (2)
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan
Muslim dari Usamah bin Zaid.
|
(2) Dirawikan Ahmad dan Ibnu
Abdil-Bar, dengan isnad baik.
|
531.
|
Dari Makhul, di mana ia meriwayatkan dari Urnmu Aiman, yang
mengatakan : "Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menasehatkan setengah shahabat- nya, dengan bersabda ;
Janganlah engkau mensekutukan Allah dengan sesuatu, walaupun engkau disiksa
atau dibakarI Tha'atilah akan ibu-bapamu! Jikalau keduanya menyuruhkan engkau
supaya keluar dari tiap-tiap sesuatu yang menjadi kepunyaan engkau, maka
keluarlah daripadanya! Janganlah engkau meninggalkan shalat dengan sengaja!
Sesungguhnya barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka terlepaslah
tanggungan Allah daripadanya, Awaslah dari minuman khamar (arak)l Karena
khamar itu kunci tiap-tiap kejahatan. Awaslah dariperbuatan ma'shiat! Karena
perbuatan ma'shiat itu memarahkan Allah, Janganlah engkau lari dari barisan
perang! Jikalau menimpa manusia oleh banyaknya kematian yang mendahsyatkan dan
engkau berada pada merekai maka tetaplah pada mereka itu!
Belanjailah menurut kesanggup- anmu kepada ahli baitmu (keluargamu)! Janganlah
engkau angkat- kan tongkatmu kepada mereka! Takutlah mereka dengan Allaft"{.
Segala hadits tadi menunjukkan kepada lari dari penyakit tha'un itu dilarang.
Dan begitu pula datang kepadanya (1). Dan akan datang uraian itu pada "Kitab
Tawakkal.
Inilah bahagian-bahagin safar (bermusyafir) itu! Dan dipahamkan daripadanya, bahwa safar
itu terbagi kepada : tercela terpuji dan diperbolehkan (mubah).
Yang tercela terbagi kepada : haram. Seperti larinya budak
dari rumah tuannya dan bermusyafir orang yang berbuat kedurhakaan, Dan kepada
makruh, seperti keluar dari negeri yang diserang kolera. Dan yang terpuji
terbagi kepada : wajib. Seperti mengerjakan ibadah hajji dan menuntut ilmu
.yang menjadi wajib atas tiap-tiap muslim. Dan kepada : sunat, seperti
menziarahi ulama dan menziarahi kuburannya.
Dan dari sebab-sebab ini, jelaslah niat pada perjalanan.
Karena arti niat, ialah penggerakan sebab, yang menggerakkan dan pembang- kitan
untuk menyambut panggilannya. Dan hendaklah niatnya itu akhirat dalam segala
perjalanannya. Yang demikian itu dzahir pada: yang wajib dan yang sunat Dan
mustahil pada: yang makruh dan yang terlarang.
(1) Tujuan dilarang
keluar dan datang ke tempat yang diserang wabah Kolera, ialah hikmahnya
dengan keluar itu membawa akibatnya menular ke negeri lain. Dan mendatangi
negeri lain itu, kemungkinan bencana akan semakin meluas. (Pent.).
|
532.
|
Adapun yang diperbolehkan (mubah), maka tempat kembalinya,
ialah kepada niat. Manakala maksudnya mencari harta, umpamanya itu, untuk
memelihara diri daripada meminta-minta dan menjaga untuk menutup kehormatan
diri isteri dan keluarga dan untuk bersedekah dengan yang berlebih daripada
jumlah yang diperlukan, niscaya yang diperbolehkan (mubah) ini, disebabkan niat
itu, men. jadi setengah dari amalan akhirat.
Dan jikalau ia keluar
kepada mengerjakan ibadah hajji dan yang menggerakkannya ialah ria dan ingin
didengar orang (sum'ah), niscaya keluarlah hajji itu dari amalan akhirat.
Karena sabda Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.:
إنما الأعمال بالنيات
(Innamal a’maalu
bin-niyyaati)
Artinya : "Sesungguhnya segala amalan itu dengan
niat".(1)
Maka sabdanya Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, : "Segala amalan dengan niat adalah umum melengkapi pada yang wajib, yang
sunat dan yang diperbolehkan (mubah). Tidak yang dilarang. Karena niat itu
tidaklah mempengaruhi untuk mengeluarkan dari adanya sebagian itu dari yang
diterlarang
Setengah ulama terdahulu (salaf) berkata : "Sesungguhnya
Allah Ta'ala mewakilkan malaikat, dengan orang-orang musyafir, yang akan
memperhatikan maksud mereka. Maka masing-masing akan diberikan menurut niatnya.
Maka orang yang niatnya itu dunia, niscaya ia diberikan dari dunia, Dan
dikurangkan dari akhiratnya beberapa kali lipat. Dan dicerai-beraikan
cita-citanya. Dan diba- nyakkan kesibukannya dengan kelobaan dan kegemaran
kepada dunia. Dan orang yang niatnya akhirat, niscaya ia dianugerahkan dari
mata-hati (bashirah), hikmah dan kecerdikan. Dan dibukakan baginya ingatan dan
pengertian menurut kadar niatnya. Dan di- kumpulkan baginya cita-cita. Berdo'a
baginya para malaikat. Dan para malaikat itu meminta ampunan dosa
baginya". Adapun pandangan tentang : bermusyafirkah yang lebih utama atau
menetap di tempat sendiri, maka menyerupailah yang demikian dengan pandangan,
tentang manakah yang lebih utama, meng- asingkan diri ('uzlah) atau
bercampur-baur (muhalathah). Dan kami telah menyebutkan jalannya pada
"Kitab Al-'Uzlah". Maka hen- daklah dipahami ini dari yang tersebut
itu!.
(1) Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari 'Umar. Dari hadits ini sudah diterangkan dahulu.
|
533.
|
Sesungguhnya perjalanan jauh (safar) itu, adalah semacam
percam pur-bauran dengan manusia, serta tambahan keletihan dan kesu- karan.
Yang mencerai-beraikan cita-cita. Dan menghancur-lumatkan hati pada kebanyakan
orang. Dan yang lebih utama mengenai ini, ialah apa yang lebih menolong kepada
Agama. Dan kesudahan buah Agama di dunia ini, ialah menghasilkan pengenalan
(ma'rifah) Allah Ta'ala. Dan menghasilkan kejinakan hati dengan berdzikir
kepada Allah Ta'ala.Kejinakan hati itu berhasil dengan berkekalan dzikir. Dan ma'rifah
itu berhasil dengan berkekalan fikir, Orang yang tiada mempelajari jalan fikir
dan dzikir, niscaya tiada dapat bertekun pada keduanya.
Dan safar (bermusyafir) itu, ialah penolong kepada
mempelajarinya pada langkah permulaan. Dan menetap di tempat sendiri, ialah
penolong kepada mengamalkan ilmu itu pada langkah perighabisan. (1)
Adapun mengembara di bumi terus-menerus, adalah setengah daripada
yang mengacaukan hati. Kecuali bagi orang-orang kuat. Karena seorang musyafir
itu dan hartanya, berada pada kekacauan, kecuali apa yang dipeliharai Allah.
Maka senantiasalah seorang musyafir itu, berkebimbangan hati. Sekali, dengan
ketakutan ter hadap dirinya sendiri dan hartanya. Sekali, dengan sebab berpisah
dengan apa yang dijinakkan hatinya dan dibiasakannya pada tem patnya sendiri.
Jikalau tidak ada harta yang ditakuti hilangnya, maka seorang
musyafir itu tiada terlepas dari sifat kelobaan dan perhatian kepada orang
lain. Sekali, lemahlah hatinya disebabkan kemiskinan. Sekali, kuatlah dengan
kokohnya sebab-sebab kelobaan. Kemudian, peker- jaannya dengan turun-naik, mengganggu
semua hal-ihwalnya.
Dari itu, maka tiada seyogialah seorang murid (orang yang
mencari jalan akhirat) itu bermusyafir, selain pada menuntut ilmu. Atau melihat
wajah syaikh (guru) yang akan di-ikuti jejaknya. Dan diperoleh faedah kegemaran
pada kebajikan dengan melihat wajah- nya. Karena sesungguhnya, orang yang
bekerja dengan dirinya (dengan terus-menerus dzikir dalam hati), memperoleh
bashirah (mata-hati) padanya dan terbuka baginya jalan fikiran atau amalan,
maka menetap di tempatnya sendiri adalah lebih utama baginya.
(1) Maksudnya :
langkah permulaan ialah, bermusyafir untuk mencari ilmu dan seba gai langkah
penghabisan (langkah berikutnya) ialah, mengamalkan ilmu itu. Dan berada di
tempat sendiri, lebih menolong untuk itu (Pent.).
|
534.
|
Hanya, kebanyakan kaum shufi masa ini, tatkala bathinnya
kosong dari fikiran-fikiran dan amalan-amalan yang halus dan tiada berhasil
baginya kejinakan hati dengan Allah Ta'ala dan dengan dzikir kepada-Nya kepada
khilwah dan mereka itu orang-orang penganggur, tiada berusaha dan bekerja,
mereka telah menyukai pengangguran. Mereka merasa berat bekerja, Merasa sukar
menempuh jalan usaha, Merasa lebih enak meminnta-minta dan meminta pertolongan
pada orang. Merasa lebih baik tinggal di langgar-langgar yang dibangun untuk
mereka di desa-desa, Mereka menggunakan tenaga-tenaga pelayan tanpa upah, di
mana pelayan- pelayan itu bangun menegakkan pengkhidmatan bagi kaum shufi.
Mereka memandang ringan akal pikiran dan agama pelayan-pelayan itu, di mana
maksud mereka dengan menggunakan tenaga pelayan tadi, tidak lain melainkan ria
(memperlihatkan kepada orang), sum’ah (didengar orang), berkembang suara
diantara orang banyak dan memungut harta dengan jalan meminta, beralasan dengan
banyak pengikut, Maka mereka di langgar-langgar itu sebenarnya tiada mempunyai
wewenang yang ditha'ati, pengajaran yang ber manfa'at bagi murid-muridnya dan
pencegahan yang memaksa mereka dari hal yang tiada layak. Mereka memakai
pakaian yang berlapis-lapis, membuat tempat-tempat yang menghiburkan di
pondok-pondok, Kadang-kadang mereka menghapal kata-kata yang terhias, berasal
daripada orang-orang yang berbuat munkar. Lalu mereka memandang kepada dirinya
sendiri dan telah menyerupai dengan kaum shufi pada pakaian, pengembaraan,
kata-kata dan tutur ibarat pada sopan-santun yang dzahir dari perjalanan hidup
mereka.
Maka mereka menyangka dirinya baik. Mereka mengira berbuat
perbuatan yang baik. Dan meyakini bahwa tiap-tiap yang hitam itu biji tamar.
Menyangka bahwa perkongsian pada dzahir itu,mengharuskan memperoleh pembahagian
pada hakikat (bathin), Amat jauhlah yang demikian! Alangkah tebalnya kebodohan
orang yang tidak dapat membedakan, antara lemak dan bengkak. Maka mereka itu
adalah orang-orang yang dimarahi Allah. Sesungguhnya Allah Ta'ala memarahi
pemuda yang kosong waktunya dari peker- jaan. Dan tiada membawa mereka kepada
mengembara, selain oleh kemudaan dan kekosongan waktu dari pekerjaan. Kecuali
orang yang bermusyafir untuk hajji atau 'umrah, dengan tidak ria dan sum'ah.
Atau bermusyafir untuk melihat wajah syaikh, yang akan di-ikuti tentang ilmunya
dan perjalanan hidupnya.
535.
|
Telah sunyilah negeri sekarang dari yang demikian.
Urusan-urusan keagamaan semuanya telah rusak dan lemah, selain tashawwuf
Tashawwuf itu telah tersapu secara keseluruhan dan telah batil. Karena ilmu
pengetahuan itu tidak terbenam. prang yang berilmu (alim), walaupun ia orang
berilmu yang jahat (ulama su'), maka sesungguhnya kerusakannya adalah pada
tindak-tanduknya. Tidak pada ilmu pengetahuannya. Maka ia tetap sebagai seorang
yang berilmu (orang 'alim), yang tiada berbuat menurut ilmunya. Amalan itu,
lain dari ilmu,
Adapun tashawwuf, ialah ibarat dari menjuruskan hati kepada Allah Ta'ala. Dan
memandang hina selain Allah- Hasilnya kembali kepada amalan hati dan anggota
badan,Manakala telah rusak amal-perbuatan, niscaya hilanglah pokokDan pada perjalanan jauh orang-orang shufi itu, ada pandangan
bagi ulama-ulama fiqh, di mana perjalanan itu meletihkan diri, tanpa
faedah.Kadang-kadang dikatakan, bahwa perjalanan orang-orang tashawwuf itu
dilarang Tetapi yang betul pada kami, ialah bahwa menghukumkannya dengan :
dibolehkan (ibahah). Bahwa kesenangan yang diperoleh mereka, ialah memperoleh
kelegaan dari bencana : menganggur dengan menyaksikan berbagai negeri, Dan kesenangan
ini walaupun dia itu buruk, maka jiwa orang-orang yang bergerak untuk
kesenangan ini juga buruk. Dan tiada mengapa melelahkan hewan buruk, untuk
kesenangan buruk yang layak dan yang kembali kepadanya. Maka ia memperoleh
kesakitan dan kelezatan. Dan fatwa itu menghendaki penghancuran orang awwam,
pada pekerjaan-pekerjaan mubah, yang tak.ada manfa'at dan melarat padanya.
Maka orang-orang yang mengembara dalam hal yang tidak
penting, pada Agama dan dunia, tetapi untuk kesenangan semata-mata di dalam negeri-negeri
yang dikunjungi, adalah seperti binatang ternak yang pulang-pergi di padang
sahara. Maka tiada mengapalah pengembaraan mereka itu, selama mereka mencegah
kejahatannya pada manusia. Dan tidak meragukan orang banyak tentang tingkah
lakunya.Sesungguhnya kema'shiatan mereka, ialah pada meragukan itu
dan meminta-minta atas nama tashawwuf Dan memakan harta waqaf yang diwaqafkan
kepada orang shufi. Karena yang dimaksudkan dengan orang shufi ialah : orang shalih,
adil (jujur) pada agamanya,serta sifat-sifat yang lain di belakang ke-shalih-annya itu.
Dan sekurahg-kurang sifat keadaan mereka tadi, ialah memakan harta sultan
(penguasa). Dan'memakan harta haram itu termasuk dosa besar. Maka tak adalah
padanya lagi keadilan dan ke-shalih-an serta memakan haram.
Jikalau dapatlah digambarkan orang shufi yang fasiq, niscaya
dapat pula digambarkan orang shufi yang kafir dan ahli fiqh yang beragama
Yahudi. Dan sebagaimana ahli fiqh (faqih) itu dimaksudkan seorang muslim
tertentu, maka seorang shufipun dimaksudkan seorang adil tertentu. Yang tidak
teledor pada agamanya, di atas kadar yang menghasilkan keadilan.
Begitu pula orang yang memandang kepada dzahiriah mereka dan
tidak mengenal bathiniahnya dan memberikan kepada mereka itu hartanya, di atas
jalan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Ta'ala, niscaya haramlah mereka
itu mengambilnya. Dan adalah yang dimakan mereka itu haram.
536.
|
Dan yang aku maksudkan, ialah apabila yang memberi itu, di
mana jikalau diketahuinya bathiniah keadaan mereka, niscaya tidaklah
diberikannya. Maka mengambilkan harta dengan men-dzahir-kan ke-tashawwuf-an, tanpa bersifat dengan hakikat
ke-tashawwuf-an yang sebenarnya, adalah seperti mengambilkan harta itu, dengan
men-dzahir-kan keturunan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. atas jalan menda'wakan dirinya keturunan Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan barangsiapa menda'wakan dirinya keturunan Saidina 'Ali
ra. dan dia itu membohong dan ia diberikan oleh seorang muslim harta kepadanya,
karena kecintaannya kepada keluarga Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dan jikalau yang memberi itu mengetahui bahwa yang menerima
itu berdusta, niscaya tidak akan diberikannya sedikitpun, maka mengambilkan di
atas cara yang demikian itu haram,
Begitu pula orang shufi. Dan karena inilah, orang-orang yang
berhati-hati menjaga diri daripada memakan dengan nama Agama. Sesungguhnya
orang yang bersangatan berhati-hati untuk Agamanya, senantiasalah pada
bathinnya hal-hal yang harus ditutup (aurat), yang jikalau terbukalah bagi orang
yang ingin menolong nya, niscaya lemahlah keinginan orang itu untuk menolong.
Maka tidak dapat dibantah, adalah mereka itu tidak membeli sesuatu oleh mereka
itu sendiri, Karena takut nanti, mereka itu dima'afkan (tidak diminta harga
atau dikurangi) karena keagamaan mereka. Maka jadilah mereka itu memakan
disebabkan Agama.
537.
|
Mereka itu mewakilkan kepada orang yang akan membelikan untuk
mereka. Dan mereka mensyaratkan kepada orang yang diwakilkan itu, bahwa tidak
menerangkan, untuk siapa dibelinya barang itu.
Ya, sesungguhnya halal mengambil apa yang diberikan orang
karena Agama, apabila yang mengambil itu, jikalau yang memberi mengetahui
bathinnya, akan apa yang diketahui oleh Allah Ta'ala, niscaya tidaklah yang
demikian itu membawa kelemahan pendapatnya tentang orang itu. Dan orang yang
berakal lagi sadar itu, mengeta- hui dari dirinya sendiri bahwa yang demikian
itu terlarang atau soal besar. Dan orang yang tertipu yang bodoh tentang
dirinya, adalah lebih layak, bahwa ia bodoh tentang urusan Agamanya. Maka
sesungguhnya barang yang terdekat kepada bentuknya, ialah hatinya. Apabila
tersembunyi kepadanya keadaan hatinya, maka bagaimanakah terbuka baginya yang
lain?
Orang yang mengenal akan hakikat ini, niscaya, sudah pasti
tidak akan makan, selain dari usahanya sendiri. Supaya ia terpelihara dari
marabahaya ini. Atau ia tidak akan makan, selain dari harta orang yang
diketahuinya dengan pasti, bahwa jikalau terbukalah bagi orang itu bathinnya
yang tersembunyi, niscaya tidak mencegah yang demikian kepada orang itu untuk
menolongnya. Jikalau diperlukan oleh orang yang mencari yang halal dan orang
yang menghendaki jalan akhirat, kepada mengambil harta orang lain, maka
hendaklah ditegaskannya dan dikatakannya kepada orang yang punya harta itu :
"Sesungguhnya jikalau engkau mem berikan kepadaku karena sesuatu yang
engkau percaya padaku dari hal Agama, maka tidaklah aku berhak yang demikian.
Dan jikalau Allah Ta'ala menyingkapkan yang tertutup padaku, niscaya engkau
tidak akan melihat aku dengan mata penghormatan.
Bahkan engkau berkepercayaan, bahwa aku adalah makhluq
yangterjahat atau dari orang-orang yang jahat'
Maka jikalau diberikannya juga serta yang demikian, maka
hendaklah diambilnya! Sesungguhnya kadang-kadang orang itu suka kepadanya akan
keadaan yang begini. Yaitu : pengakuan terhadap dirinya sendiri dengan
kelemahan Agama dan tidak berhaknya apa yang akan diambilnya itu,
Tetapi, di sini pengicuhan bagi diri sendiri yang nyata, dan
peni- puan. Maka hendaklah diperhatikan! Yaitu : kadang-kadang ia mengatakan
yang demikian, untuk mendzahirkan, bahwa ia me- nyerupai dengan orang-orang
shalih, tentang mencela dan menghi- nakan dirinya dan memandangnya dengan mata
cacian dan hinaan.
538.
|
Maka adalah perkataannya itu berbentuk cacian dan hinaan,
sedahg bathin dan jiwanya adalah berbentuk pujian dan sanjungan. Maka berapa
banyak orang yang mencela dirinya sendiri, padahal ia memujinya dengan mata
celaan. Mencela diri dalam khilwah serta sendirian, adalah terpuji. Adapun
mencela diri di hadapan orang banyak, maka adalah : Ria sebenarnya. Kecuali
apabila ia membuat yang demikian, dengan cara yang mendatangkan keyakinanm bagi
pendengar, bahwa ia telah berbuat dosa dan mengakui dosa itu. Dan yang
demikian, termasuk mungkin memahamkannya dengan pertanda-pertanda keadaan. Dan
mungkin meragukannya dengan pertanda-pertanda keadaan. Dan orang yang benar,
diantara ia sendiri dan Allah Ta'ala, mengetahui bahwa penipuannya akan Allah
'Azza wa Jalla atau penipuannya akan dirinya sendiri, adalah mustahil Maka
tiada sukar padanya menjaga diri, daripada hal-hal yang seperti demikian.Maka inilah yang merupakan perkataan tentang bermacam-macam
safar, niat orang yang melakukan safar (orang yang bermusyafir) dan keutamaan
safar!,
Pasal
kedua : Tentang adab orang yang bermusyafir, dari permulaan keberangkatannya,
sampai kepada penghabisan kembalinya.
Yaitu : sebelas perkara :
Pertama : dimulai dengan mengembalikan segala hak orang yartg
diambil dengan kedzaliman, membayar utang-utang dan menyedia- kan perbelanjaan
untuk orang yang harus dibelanjainya. Dan mengembalikan segala simpanan orang
kalau ada padanya. Dan tidak diambilnya untuk perbekalan dalam perjalanan,
selain yang halal dan baik. Hendaklah perbekalan itu dibawa sekadar yang dapat
melapangkan kesulitan bagi teman-temannya. Ibnu 'Umar ra. berkata : "Setengah
daripada kemuliaan seseorang, ialah baik perbekalannya dalam perjalanan
(safarnya)". Tak boleh tidak dalam perjalanan itu, perkataan yang
baik, mem berikan makanan kepada orang yang mendzahirkan kemuliaan budi dalam
perjalanan. Sesungguhnya perjalanan itu mengeluarkan segala yang tersembunyi
dalam bathin.
Siapa yang baik untuk menjadi temah dalam perjalanan, niscaya
ia baik untuk menjadi teman di tempat sendiri (tidak dalam perjalanan).
Kadang-kadang baik di tempat sendiriy orang yang tidak baik dalam
perjalanan. Dan karena itulah dikatakan : "Apabila seseorang
dipujikan oleh orang-orang yang bergaul dengan dia, di tempat tinggalnya dan
oleh teman-temannya dalam perjalanan, maka janganlah kamu ragu-ragu tentang
baiknya!".
539.
|
Safar adalah setengah dari sebab-sebab yang membosankan.
Orang yang baik budi-pekertinya pada waktu yang membosankan, adalah orang yang
baik budi. Kalau tidak demikian, maka ketika memberi pertolongan yang
bersesuaian dengan maksud, niscaya sedikitlah menampak keburukan budi.
Sesungguhnya ada yang mengatakan : "Tiga orang
tidak dicaci pada keadaan yang membosankan, yaitu : orang yang berpuasa, orang
yang sakit dan orang yang bermusyafir". Kesempurnaan baiknya budi
orang yang bermusyafir itu, ialah berbuat baik kepada pelayannya. Menolong
teman dengan segala kemungkinan. Dan berbelas-kasihan kepada semua orang yang
berkeputusan, dengan tidak melewatinya, kecuali dengan memberi pertolongan
kendaraan atau perbekalan atau berhenti karenanya.
Kesempurnaan yang demikian dengan teman-teman ialah dengan
bersenda-gurau dan berbaik-baikan pada sebahagian waktu, tanpa ada kekejian dan
kema'shiatan. Dan hendaklah yang demikian itu untuk obat kejemuan dan kesukaran
safar!
Kedua : bahwa ia memilih teman. Maka janganlah keluar sendirian.
Yang pertama teman, kemudian jalan yang akan ditempuh dalam perjalanan.Hendaklah teman itu orang yang menolongnya kepada Agama, Maka
teman itu yang akan mengingatkannya apabila ia lupa* Yang akan menolong dan
membantunya, apabila ia ingat. Sesungguhnya manusia itu adalah menurut agama
temannya. Dan orang tidak dikenal, kecuali dengan temannya.
Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melarang bermusyafir sendirian(1)
Dan bersabda :
الثلاثة
نفر
(Ats-tsalaa-tsatu nafarun)Artinya : Tiga orang itu satu kumpulan (2)
Dan bersabda pula :
إذا
كنتم ثلاثة في السفر فأمروا أحدكم
(Idzaa kuntum tsalaatsatan fis-safari fa-amirruu ahadakum).Artinya ;Apabila kamu tiga orang dalam perjalanan, maka
angkatlah seorang menjadi kepala (3)
Adalah mereka (para shahabat) berbuat
demikian dan mengatakan: "Inilah amir (kepala) kami, yang diangkat oleh
Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.". (4)
(1) Dirawikan Ahmad dari
Ibnu Umar, dengan sanad shahih.
|
(2) Menurut Al-Iraqi, ini adalah
ucapan 'Ali ra. Dan bukan hadits.
|
(3) Dirawikan Ath-Thabrani dari
Ibnu Mas'ud, dengan isnad baik.
|
(4) Dirawikan AI-Bazzar dan
Al-Hakim dari 'Umar.
|
540.
|
Hendaklah diangkat menjadi kepala yang terbaik akhlaq, yang
lebih belas-kasihan kepada teman, yang lebih cepat bertindak mengutamakan orang
lain dan mencari persetujuan teman. Sesungguhnya diperlukan kepada kepala
(amir), karena pendapat- pendapat itu berlainan pada menentukan tempat, jalan
dan kemus- lihatan perjalanan. Dan tak ada aturan, selain pada sendirian. Dan
tak ada kerusakan, selain pada banyak orang. Dan sesungguhnya teraturlah urusan
alam ini, karena yang mengatur semuanya adalah Esa :
لو
كان فيهما آلهة إلا الله لفسدتا
(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).Artinya :Jikalau ada pada langit dan bumi Tuhan-tuhan,
selain Allah, niscaya rusaklah keduanya" (S. Al-Ambiyaa', ayat 22).
Manakala Yang Mengatur itu Esa, niscaya teraturlah urusan pengaturan. Dan apabila banyak
yang mengatur, niscaya rusaklah urusan di tempat sendiri dan diperjalanan.
Hanya di tempat penetapan (tempat berdomisili), tidaklah kosong dari kepala
umum (amir 'amm), seperti kepala kampung. Dan kepala khusus (amir khash),
seperti pemimpin rumah tangga.
Adapun perjalanan (safar), maka tidaklah tertentu padanya
seorang kepala (amir), melainkan dengan pengangkatan. Karena itulah,
pengangkatan kepala itu wajib. Supaya terkumpullah segala penda- pat yang
bercerai-berai.
Kemudian, menjadi keharusan atas kepala, bahwa ia tidak mem-
perhatikan, selain untuk kepfentingan orang banyak. Dan menjadi- kan dirinya
untuk penjagaan mereka, sebagaimana dinuqilkan dari Abdullah Al-Maruzi, bahwa
ia ditemani oleh Abu *Ali Ar-Ribathi. Lalu ia bertanya : "Bahwa engkau
yang menjadi kepala atau aku?’’. Abu 'Ali Ar-Ribathi menjawab :
"Engkau!".
Maka senantiasalah Abdullah memikul perbekalan untuk dirinya
sendiri dan untuk Abu 'Ali di atas punggungnya. Pada suatu malamturunlah hujan.
Lalu Abdullah berdiri sepanjang malam pada kepala temannya. Dan pada tangannya
kain, di mana ia mencegah hujan daripada temannya itu. Setiap kali Abu 'Ali
Ar-Ribathi berkata kepadanya : "Hai Abdullah, jangan engkau berbuat
demikian!". Lalu Abdullah menjawab : "Apakah tidak engkau mengatakan,
bahwa pimpinan diserahkan kepadaku? Maka janganlah engkau menetapkan sesuka
hatimu atas diriku! Dan janganlah engkau menarik perkataanmu!' Sehingga
berkatalah Abu 'Ali : "Aku ingin bahwa aku matidan tidak mengatakan kepada
Abdullah : 'Engkau kepala!'
541.
|
Maka demikianlah seyogianya kepala itu.
Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
خير
الأصحاب أربعة
(Khairul-ash-haabi arba-'ah) =Artinya : "Sebaik-baik
teman itu empat orang" (1)
Penentuan empat diantara bilangan-bilangan yang lain itu, tak boleh
tidak, padanya ada faedah. Dan yang membekas pada pemikiran, ialah bahwa seorang
musyafir itu, tidaklah terlepas dari seorang laki-laki yang memerlukan kepada
pemeliharaan dan dari keperluan yang selalu diperlukannya.
Jikalau mereka itu tiga orang, niscaya adalah yang mengurus
keperluan kesana-kemari, seorang. Maka ia kesana-kemari dalam perjalanan itu,
tanpa teman. Sehingga ia tidak terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan
hati. Karena ketiadaan kejinakan hati teman.
Jikalau yang kesana-kemari mengurus keperluan itu dua orang,
niscaya yang menjadi penjaga bagi orang itu seorang. Maka tidak juga ia
terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan dada (sesak pikiran).
Jadi, kurang daripada empat orang, tidaklah menyempurnakan
maksud. Dan di atas dari empat orang adalah lebih. Maka mereka tiada dihimpunkan
oleh suatu ikatan. Maka tiadalah terjalin diantara mereka kasih-mengasihani.
Karena orang ke lima itu lebih daripada yang diperlukan. Dan orang yang tiada
diperlukan itu, tidaklah menjurus cita-cita kepadanya. Lalu tiadalah sempurna
pershahabatan bersama dia.
Ya, pada banyaknya teman-teman itu ada faedahnya, untuk kea-
manan daripada segala yang ditakuti. Tetapi empat orang adalah lebih baik bagi
pershahabatan khusus. Tidak bagi pershahabatan umum. Berapa banyak teman di
jalan ketika banyaknya teman, yang tidak bercakap-cakap. Dan tidak
bercampur-baur sampai kepada akhir perjalanan. Karena tidak diperlukan
kepadanya.
Ketiga : mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman di
tempat, kepada keluarga dan handai-tolan.Dan hendaklah mendo'a ketika berpisah
itu, dengan do'a Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(1) Dirawikan Abu
Dawud dan lain-lain dari Ibnu 'Abbas.
|
542.
|
Setengah mereka itu berkata : "Aku menemani
Abdullah bin 'Umar ra. dari Makkah ke Madinah- dijagakan Allah kiranya Madi-
nah itu. Tatkala aku bermaksud berpisah dengan dia, lalu ia meng- ucapkan
kata-kata perpisahan kepadaku dan berkata : 'Aku men- dengar Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : 'Luqman berkata : 'Bahwa Allah Ta'ala apabila
menerima simpanan akan sesuatu, niscaya dipeliha- rakannya. Dan aku
menyimpankan pada Allah agamamu, amanah- mu dan segala kesudahan amalan mu'(1)
Zaid bin Arqam meriwayatkan dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ* bahwa beliau bersabda :
إذا
أراد أحدكم سفرا فليودع إخوانه فإن الله تعالى جاعل له في دعائهم البركة
(Idzaa araada ahadukum safaran fal-yuwad-di* ikhwaanahu fa-
innallaaha Ta'aalaa jaa-Mlun lahu fii du'aa-ihimul-barakah),Artinya : ''Apabila
bermaksud seseorang dari kamu bermusyafir maka hendaklah mengucapkan selamat
tinggal kepada teman- temannya. Maka sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan
barakah baginya pada doa mereka itu (2)
Dari 'Amr bin Syu'aib,
dari bapaknya, dari neneknya, bahwa Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila mengucapkan selamat jalan kepada seseorang, bersabda:
زودك
الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك إلى الخير
(Zawwadakallaahut-taqwaa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka
ilal-khairi haitsu tawajjahta).Artinya : Diperbekali engkau kiranya oleh Allah dengan
taqwa. Diampunkan-Nya dosa engkau. Dan dihadapkan-Nya engkau kepada kebajikap,
ke mana saja engkau menuju (3)Inilah do'a orang yang tinggal untuk orang yang diucapkan
selamat jalan.
Musa bin Wardan berkata: "Aku datangi Abu Hurairah ra.?
di mana aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya, untuk perjalanan yang aku
maksudkan. Lalu beliau berkata : "Apakah tidak aku ajarkan kamu, wahai
anak saudaraku, sesuatu yang telah diajarkan aku oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ketika mengucapkan kata perpisahan?". Maka aku menjawab :
"Belum!'Maka beliau menyambung : "Katakanlah! Aku petaruhkan
engkau
(1) Dirawikan An-Nasa-i dan Abu
Dawud, isnadnya baik-
|
(2) Dirawikan Al-Kharaithi dari
Zaid bin Arqam, sanad dla'if.
|
(3) Dirawikan Al-Kharaithi dan
Al-Muhamili.
|
543.
|
Inilah do'a orang yang tinggal untuk orang yang diucapkan
selamat jalan.
Musa bin Wardan berkata: "Aku datangi Abu Hurairah ra.?
di mana aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya, untuk perjalanan yang aku
maksudkan.Lalu beliau berkata : "Apakah tidak aku ajarkan kamu,
wahai anak saudaraku, sesuatu yang telah diajarkan aku oleh Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ketika mengucapkan kata perpisahan?"Maka aku menjawab : "Belum!'Maka beliau menyambung : "Katakanlah! Aku petaruhkan
engkau pada Allah, yang tidaklah hilang segala petaruhan pada-Nya". (1)
Dari Anas bin Malik ra., bahwa seorang laki-laki mendatangi
Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. lalu berkata : "Sesungguhnya aku bermaksud bermusyafir,
maka berilah nasehat kepadaku!". Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda kepadanya :
في
حفظ الله وفي كنفه زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيث كنت أو أينما كنت
(Fii hifdhillaahi wafii kanafihi, zawwadakallaahut-taqwaa wa
gha- fara dzanbaka wa wajjahaka lil-khairi haitsu kunta au ainamaa
kunta).Artinya : "Dalam pemeliharaan dan perlindungan Allah! Diberilah
kiranya perbekalan taqwa kepada engkau oleh Allah! DiampunkanNya dosa engkau!
Dihadapkan-Nya engkau kepada kebajikah9 ke mana saja engkau berada
atau di mana saja engkau berada" (2)
Perawi hadits ini ragu, apakah Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengucapkan : ke mana saja atau di mana saja.Seyogialah apabila mempertaruhkan kepada Allah Ta'ala, apa
yang ditinggalkan, bahwa dipertaruhkannya keseluruhan, tidak ditentu- kan
secara khusus. Diriwayatkan, bahwa 'Umar ra. memberikan kepada orang banyak
bermacam-macam pemberian bagi mereka. Ketika datang kepadanya seorang laki-laki
bersama puteranya. Lalu 'Umar ra. berkata kepada orang itu : "Belum pernah
aku melihat seseorang yang serupa dengan seseorang, dari anak ini dengan
engkau!".
Lalu orang itu berkata kepada 'Umar ra. : "Akan aku
terangkan kepada engkau tentang anak ini sesuatu, wahai Amiml-mu'mihin!
Sesungguhnya aku bermaksud bermusyafir dan ibunya waktu itu sedang mengandung
dia. Maka ibunya mengatakan : "Engkau pergi dan meninggalkan aku dalam
keadaan yang begini' Lalu aku menjawab : "Aku pertaruhkan pada Allah, apa
yang dalam perut engkau".
Lalu aku pergi. Kemudian, aku kembali. Rupanya, ibunya telah
meninggal dunia. Maka duduklah kami bercakap-cakap. Tiba-tiba kelihatan"
api di atas kuburannya. Lalu Aku bertanya kepada orang banyak : "Apakah
api itu?". Orang banyak menjawab : "Api itu dari kuburan si Anu, di
mana kami melihatnya tiap-tiap malam".
(1) Hadits dari Abu Hurairah
ini, dirawikan Ibnu Majah dan An-Nasa-i, dengan isnad
|
baik.
|
(2) Hadits ini dari Anas bin
Malik, sudah diterangkan dahulu pada "Bab Hajji".
|
544.
|
Maka aku menyambung : "Demi Allah! Sesungguhnya wanita
itu selalu berpuasa dan menegakkan shalat". Lalu aku mengambil cangkul,
pergi sehingga sampailah kami ke kuburan itu. Lalu kami gali. Tiba-tiba
kelihatan pelita. Dan tiba-tiba budak kecil ini merangkak-rangkak. Maka orang
mengatakan kepadaku ; "Bahwa ini adalah petaruhmu (simpananmu). Jikalau
engkau mempetaruhkan ibunya, niscaya engkau akan mendapatinya". Maka 'Umar
ra. berkata : "Sesungguhnya budak ini amat serupa dengan engkau,
dibandingkan burung gagak dengan burung gagak".
Ke-empat : bahwa ia mengerjakan shalat sebelum bermusafir, selaku shalat istikharah (shalat memohonkan kebajikan pada
Tuhan). Sebagaimana telah kami terangkan pada "Kitab Shalat".
Dan waktu keluar untuk safar itu, dikerjakan shalat karena
safar. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra-, bahwa seorang laki-laki datang
kepada Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,, lalu berkata : "Sesungguhnya aku ber- nadzar akan
bermusafir. Dan telah aku tuliskan wasiatku. Maka kepada siapakah dari orang
tiga, aku serahkan wasiat itu? Kepada puteraku atau kepada saudaraku atau
ayahku?".
Lalu Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab : "Tiadalah seorang hamba meninggalkan pada
keluarganya suatu peninggalan, yang lebih disukai Allah, daripada empat raka'at
shalat, yang dikerjakannya di rumahnya, apabila ia telah mengikatkan kain-kain
perjalanannya. Ia membaca pada raka'at-raka'at itu surat
"Al-Faatihah" dan "Qulhuwalaahu ahad".
Kemudian ia membaca do'a :
اللهم
إني أتقرب بهن إليك فاخلفني بهن في أهلي ومالي فهي خليفته في أهله وماله وحرز حول
داره حتى يرجع إلى أهله
(Allaahumma inni ataqarrabu bihinna ilaika fakh-lufnii
bihinna fii ahlii wa maalii fahiya khalifatuhu fii ahlihi wa maalihi wa hirzun
haula daarihi hattaa yarji-a ilaa ahlih).Artinya : "Wahai Allah
Tuhanku! Sesungguhnya aku menghampirkan diriku kepada-Mu dengan shalat empat
raka'at ini. Maka gantikanlah akan aku dengan dia pada keluargaku dan hartaku!
Maka shalat empat raka'at itu menjadi khalifah (penggantinya) pada keluarganya
dan hartanya. Dan penjagaan keliling rumahnya. Sampai ia kembali kepada
keluarganya" (1)
(1) Dirawikan Al-Kharaithi,
Dan dari perawi-perawinya ada orang yang tidak dikenal.
|
545.
|
Kelima : apabila telah berada di pintu rumah, maka hendaklah
بسم
الله توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله رب أعوذ بك أن أضل أو أضل أو أزل
أو أزل أو أظلم أو أظلم أو أجهل أو يجهل علي
(Bismillaahi tawakkaltu *alallaahi, wa laa haula wa laa
quwwata illaa billaahi, rabbi a-'udzu bika an udlilla au udlalla au uzilla au
uzalla au adh-lima au udh-lama au ujhila au yujhalaalayya).Artinya : "Dengan nama Allah, Aku menyerah diri
(bertawakkal) kepada Allah. Tiada daya dan upaya, melainkan dengan Allah. Wahai
Tuhan! Aku berlindung dengan Engkau bahwa aku akan menyesatkan atau aku
disesatkan. Bahwa aku akan memperosokkan orang atau aku diperosokkan orang.
Bahwa aku akan mendzalimi orang atau aku didzalimi orang. Bahwa aku akan
membodohi orang atau aku dibodohi orang.
Apabila ia berjalan, lalu membaca do'a, yang artinya :
اللهم
بك انتشرت وعليك توكلت وبك اعتصمت وإليك توجهت اللهم أنت ثقتي وأنت رجائي فاكفني
ما أهمني وما لا أهتم به وما أنت أعلم به مني عز جارك وجل ثناؤك ولا إله غيرك
اللهم زودني التقوى واغفر لي ذنبي ووجهني للخير أينما توجهت
"Wahai Allah Tuhanku! Dengan Engkau,
aku berkembang. Kepada Engkau, aku bertawakkal Dengan Engkau, aku berpegang.
Dan kepada Engkau, aku menghadapkan wajahku, Wahai Allah Tuhanku! Engkaulah
kepercayaanku dan Engkaulah harapanku! Maka cukupkanlah akan aku apa yang
penting bagiku dan apa yang tidak aku pentingkan dan apa yang Engkau lebih
mengetahuinya daripadaku. Mulialah tetangga Engkau dan agunglah pujian bagi
Engkau, Dan tiadalah Tuhan selain Engkau! Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah
bagiku perbekalan taqwa! Ampunilah dosaku! Dan hadapkanlah aku kepada
kebajikan, ke mana saja aku menghadap!
Hendaklah do'a ini dibaca pada tiap-tiap tempat, di mana ia
akan berangkat dari tempat itu!
Apabila telah mengendarai kendaraan, maka hendaklah dibaca : بسم
الله وبالله والله أكبر توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم ما
شاءالله كان وما لم يشأ لم يكن سبحان الذي سخر لنا هذا وما كنا له مقرنين وإنا إلى ربنا لمنقلبون "Bismillaah
wabillaah wallaahu akbar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tiada day a dan tiada
upaya, melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Apa yang
dikehendaki oleh Allah, niscaya ada dan ctpa yang tiada dikehendaki-Nya,
niscaya tidak ada. Maha Suci Allah yang telah mengadakan —semua — ini untuk
kita dan kita tak dapat mengendalikannya (hanya dengan kurnia Tuhan). Dan
sesungguhnya kita.akan kembali kepada Tuhan -kita!
546.
|
Apabila kendaraan telah lurus dibawahnya, maka hendaklah membaca
:
الحمد
لله الذي هدانا لهذا وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله اللهم أنت الحامل على
الظهر وأنت المستعان على الأمور
(Alhamdulillaahil-ladzii hadaanaa lihaadzaa wa maa kunnaa linah- tadia laulaa an hadaanallaatu Allaahumma antal-haamilu 'aladh- dhahri wa antal-musta-'aanu *alal-umuur).Artinya : "Segala pujian bagi. Allah yang menunjukkan kita kepada pekerjaan ini. Dan sesungguhnya tidaklah kita memperoleh petunjuk jikalau tidak ditunjuki oleh Allah. Wahai Allah Tuhanku! Engkaulah yang membawa di atas punggung (kendaraan ini) dan Engkaulah yang menolong atas segala pekerjaan!".
Ke-enam : bahwa bertolak dari rumah pada pagi-pagi hari. Diriwa-
yatkan oleh Jabir : "Bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berangkat pada hari Kamis. Beliau bermaksud keTabuk (1), Dan
berangkat pada pagi-pagi hari.
اللهم
بارك لأمتي في بكورها
(Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa).Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah kiranya barakah bagi ummatku pada ke-pagi-annya!". (2)
Disunatkan memulai keluar bermusyafir pada hari Kamis. Diri-
wayatkan oleh Abdullah bin Ka'b bin Malik dari bapaknya, yang mengatakan :
"Amat sedikitlah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, keluar untuk bermusyafir, selain pada hari Kamis". (3)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berdo'a :
اللهم
بارك لأمتي في بكورها يوم السبت
(Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa yaumas-sabti).
Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah kiranya
barakah bagi ummatku pada ke-pagiannya hari Sabtu Dan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila mengutus suatu pasukan, maka diu- tuskannya pada pagi
hari.
(1) Tabuk : nam a suatu daerah di
negeri Syam (Syria) * Pent.
|
(2) Dirawikan Al-Kharaithi dari
Shakhar Al-*Amiri. Kata At-Tirmidzi, hadits baik.
|
(3) Dirawikan Al-Bazzar dan
Al-Kharaithi, hadits dia'if.
|
547
|
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berdo'a :
اللهم
بارك لأمتي في بكورها يوم خميسها
(Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa yauma
khamiisihaa).Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah
kiranya bagi ummatku barakah pada ke-pagiannya pada hari Kamisnya!(1)
Abdullah bin Abbas berkata : "Apabila engkau
mempunyai suatu keperluan kepada seseorang, maka mintalah keperluan itu
daripadanya, pada siang hari! Dan janganlah engkau minta pada malam hari! Dan
mintalah pada pagi hari! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berdo'a
اللهم
بارك لأمتي في بكورها
: "Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa".
Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah kiranya barakah bagi
ummatku pada ke-pagi-annya. Dan tiada seyogialah bermusyafir sesudah
terbit fajar dari hari Jum'ah. Maka ia menjadi ma'shiat dengan meninggalkan
Jum'ah. Dan harinya disangkutkan kepada Jum'ah. Maka permulaannya hari itu
adalah setengah daripada sebab-sebab wajibnya Jum'ah. Mengantarkan orang
musyafir untuk perpisahan adalah disunatkan. Yaitu sunnah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ. Beliau صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Sesungguhnya bahwa aku mengantarkan
mujahid (pejuang) fi sabilillah, lalu aku mengelilinginya di atas kendaraannya
pada pagi-pagi atau petang- petangy adalah lebih aku sukai dari
dunia dan isinya(2)
Ketujuh : tidak berhenti, sebelum siangnya panas, Dan itu adalah
sunat. Dan adalah kebanyakui perjalanannya itu pada malam. Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Haruslah kamu berjalan pada malam! Sesungguhnya
bumi itu dilipafkan di malam ftari, apa yang tidak dilipatkan di siang hari
Manakala telah dekat kepada tempat perhentian, maka hendaklah
berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Yang memiliki tujuh petala langit dan apa
dinaunginya. Yang memiliki tujuh petala bumi dan apa yang dibawanya. Yang
memiliki sethan-sethan dan apa disesat- kannya. Yang memiliki segala angin dan
apa yang diterbangkannya. Dan Yang memiliki segala laut dan apa yang
dialhkannya. Aku bermohon kepada-Mu akan kebajikan tempat ini dan kebajikan
penduduknya! Aku berlindung dengan-Mu daripada kejahatan tempat ini dan
kejahatan isinya! Singkirkanlah daripadaku kejahatan orang-orang jahat dari
mereka!".
(1) Dirawikan Ibnu Majah dan
Al-Kharaithi, isnad dla'if.
|
(2) Dirawikan Ibnu Majah dari
Mu'adz bin Anas, sanad dia'if.
|
548.
|
Apabila telah bertempat pada suatu tempat, maka hendaklah
mengerjakan shalat dua raka'at.
Kemudian berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku!
Sesungguhnya aku berlindung dengan kalimah-kalimah Allah yang sempurna, yang
tidak akan dilampaui oleh orang baik dan oleh orang jahat, daripada kejahatan
apa yang dijadikan-Nya". Apabila telah datang malam, maka
hendaklah berdo'a : "Wahai bumi Tuhanku! Tuhanmu Allah, Aku
berlindung dengan Allah, daripada kejahatanmu, daripada kejahatan isimu dan
daripada kejahatan apa-apa yang merangkak-rangkak di atasmu. Aku berlindung
dengan Allah, daripada kejahatan tiap-tiap singa dan singa-singa, ular dan kala
jengking, Dan dari kejahatan penduduk negeri, bapa dan anaknya. Kepunyaan
Tuhan, apa yang mendiami pada malam dan siang. Ia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui".
Manakala ia meninggi pada tempat yang tinggi dari bumi pada waktu
perjalanan, maka seyogialah berdo'a : "Wahai Allah Tuhan ku! Bagi
Engkaulah ketinggian di atas tiap-tiap ketinggian! Bagi Engkaulah pujian di atas
tiap-tiap hal-keadaan!' Manakala menurun, niscaya membaca tasbih. Dan manakala
takut kesepian dalam perjalanan, niscaya membaca :
سبحان
الملك القدوس رب الملائكة والروح جللت السماوات بالعزة والجبروت
(Subhaanal-malikil-qudduusi, rabbil-malaaikati war-ruuhi,
jallalatis- samaawaatu biMzzati wal-jabaruut).Artinya : "Maha Suci
Tuhan Yang Memiliki, Yang Maha Suci, Tuhan bagi segala malaikat dan roh,
agunglah segala langit dengan kemuliaan dan keperkasaan"
Kedelapan : bahwa menjaga diri di siang hari, Tidak berjalan sendirian,
keluar dari rombongan (qafilah). Karena kadang-kadang dicuiik atau terputus
dari teman. Dan di malam hari menjaga diri ketika tidur. Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila tidur pada permulaan malam dalam perjalanan, beliau
merebahkan kedua lengannya. Dan kalau beliau tidur pada akhir malam, beliau
menegakkan kedua lengannya dan meletakkan kepalanya pada tapak-tangannya, (1)
Maksudnya yang demikian itu, bahwa beliau tidak tidur
nyenyak. Lalu terbit matahari dan beliau itu tidur tiada mengetahuinya. Lalu
yang luput dari shalat, menjadi lebih utama daripada yang dicarinya dengan
perjalanan.
(1) Hadits ini sudah
diterangkan pada "Bab Hajji" dahulu.
|
549.
|
Disunatkan pada malam hari, berganti-gantian menjaga dengan
teman-teman. Apabila tidur seorang, maka yang lain menjaga. Ini adalah sunnah
Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan manakala musuh bermaksud kepadanya atau binatang buas pada
malam atau siang hari, maka hendaklah, membaca Ayatul-kursi,
Syahidallaahu, surat Al-Ikhlash (Qulhuwallaahu) dan AlMu'awwadzatain (Qui
a-'uudzu birabbil falaq dan Qul a-'uudzu birabbin-naas). Dan
hendaklah membaca; "Bismillaah", dengan nama Allah Apa yang dikehendaki Allah. Tiada kekuatan,
melainkan dengan Allah. Mencukupilah bagiku Allah. Aku bertawakkal kepada
Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang mendatangkan segala kebajikan
melainkan Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang menjauhkan yang jahat,
melainkan Allah. Mencukupilah bagiku Allah dan memadailah. Allah mendengar
siapa yang berdo'a. Tiadalah di belakang Allah tempat kesudahan. Dan tiadalah
pada bukan Allah tempat meminta santunan. Telah ditetapkan oleh Allah.:
"Sesungguhnya Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang! Sesungguhnya Allah Maha
Kuat lagi Maha Kuasa. Aku membentengi diri dengan Allah Yang Maha Agung. Dan
meminta pertolongan dengan Yang Hidup, Yang Berdiri sendiri, yang tidak mati.
Wahai Allah Tuhanku! Jagailah kami dengan mata-Mu yang tiada tidur!
Kelilingilah kami dengan keme gahan-Mu yang tidak dapat dipatahkan! Wahai Allah
Tuhanku! Kasihanilah kami dengan qudrahrMu kepada kami! Maka kami tiada binasa.
Engkaulah kepercayaan dan harapan kami. Wahai Allah Tuhanku! Lembutkanlah
kepada kami hati hamba-hamba- Mu yang laki-laki dan yang wanita, dengan
belas-kasihan dan kasih-sayang! Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari orang-
orang yang pengasih".
Kesembilant : berbelas-kasihan kepada
binatang kendaraan, kalau berkendaraan. Maka tidaklah dipikulkan ke atas
binatang kendaraan itu, yang tidak disanggupinya. Dan tidak dipukul pada
mukanya. Karena yang demikian itu dilarang. Dan tidak tidur di atas binatang
kendaraan. Karena memberatkan dengan tidur dan menyakitkan binatang itu. Dan
orang-orang wara' tidak tidur atas biantang kendaraan, kecuali tidur sejenak.
Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda Janganlah kamu membuat punggung binatang kendaraanmu
menjadi kursi". (1)
(1) Hadits ini sudah
diterangkan pada "Bab Hajji", dahulu.
|
550.
|
Disunatkan turun dari binatang kendaraan pada pagi dan petang
hari, yang menyenangkan binatang kendaraan dengan demikian. Itu adalah sunnah
Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan atsar dari ulama-ulama terdahulu (salaf), tentang itu.
Setengah salaf menyewa binatang kendaraan dari pemiliknya, dengan
syarat dia tidak turun dan menyempurnakan sewanya, Kamudian ia turun, supaya
dengan demikian, ia berbuat ihsan (berbuat baik) kepada binatang kendaraan.
Maka ihsan itu diletakkan pada neraca amalan kebaikannya. Tidak pada neraca
amalan kebaikan orang yang mempersewakan. Dan orang yang menyakiti binatang
dengan pukulan atau beban yang tidak disanggupinya, niscaya dituntut pada hari
qiyamat* Karena pada tiap-tiap jantung yang panas itu pahala.
Abud Darda ra, berkata kepada untanya
ketika unta itu mati : Wahai unta! Janganlah engkau mengadukan aku
kepada Tuhan- Mu! Sesungguhnya aku tidaklah memikulkan atasmu di atas
kesanggupanmu "
Pada turun sesa'at itu, dua sedekah : Pertama : menyenangkan
binatang kendaraan.
Kedua : mendatangkan kesenangan kepada hati orang yang mem
perse wakan.
Dan ada lagi faedah lain. Yaitu : gerak badan, penggerakan
dua kaki dan menjaga dari kekakuan anggota badan, disebabkan lama- nya
berkendaraan. Dan seyogialah ia menetapkan bersama orang yang mempersewakan
kendaraan itu, apa yang akan diperpikul- kannya atas kendaraan itu
satu-persatu. Dan dikemukakannya barang itu kepada yang mempersewakan tadi. Dan
ia menyewa binatang kendaraan tersebut, dengan 'aqad yang syah, Supaya tidak
berkobar diantara keduanya pertengkaran yang menyakitkan hati. Dan membawa
kepada bertambah banyaknya pembicaraan. Tiadalah diucapkan oleh hamba dari perkataan
melainkan di sisinya ada pengawas yang siap sedia mencatatnya. Maka hendaklah
dijaga daripada banyak perkataan dan pertengkaran dengan yang mempersewakan
itu! Tiada seyogialah diperpikulkan sesuatu di luar dari yang disyaratkan,
walau ringan sekalipun, Maka sesungguhnya yang sedikit, akan menarik yang
banyak. Dan barangsiapa berkeliling dikeliling yang dilarang, niscaya mungkin
akan terpe- rosok ke dalamnya.
Seorang laki-laki berkata kepada Ibnul-Mubarak, di mana
Ibnul- Mubarak itu di atas binatang kendaraan : "Bawalah sepotong kertas
ini kepunyaanku, kepada si Anu!'
551.
|
Ibnjul-Mubarak menjawab : "Aku meminta izin yang
mempersewakannya lebih dahulu. Sesungguhnya aku tidak membuat syarat dengan dia
mengenai kertas ini",
Lihatlah, bagaimana ia tidak menoleh kepada perkataan fuqaha'
(para ulama fiqh), di mana itu termasuk barang yang dima'afkan. Tetapi ia
menempuh jalan wara
Kesepuluh : seyogialah dibawa serta enam perkara. 'A-isyah ra. berkata
:"Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila bermusyafir, membawa serta lima perkara : kaca
muka, botol (tempat) celak, gunting, sugi dan sisir (1)Pada lain riwayat dari 'A-isyah enam perkara : kaca muka
botol minyak wangi, gunting, sugi, botol (tempat) celak dan sisir. Ummu Sa'd
Al-Anshariyah berkata : "Tiada berpisah dengan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dalam perjalanan : kaca muka dan tempat celak " (2)
Shuhaib berkata : "Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : Haruslah kamu memakai celak hitam ketika mau
tidur Karena termasuk yang menambahkan penglihatan dan menumbuhkan bulu mata (3)
Diriwayatkan, bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bercelak tiga-tiga. Dan pada suatu riwayat, beliau bercelak
untuk mata kanan tiga kali dan untuk mata kiri dua kali: (4)
Kaum shufi menambahkan : tempat air dan tali. Setengah kaum
shufi berkata : "Apabila tidak ada bersama orang fakir itu tempat air
dan tali, niscaya menunjukkan kepada kekurangan agamanya".
Sesungguhnya mereka menambahkan ini, karena mereka melihat untuk penjagaan pada
kesucian air dan pencucian kain. Tempat air itu untuk menjaga air yang suci.
Dan. tali untuk mengeringkan kain yang dicuci dan untuk mengambil air dari
sumur. Orang-orang dahulu mencukupkan saja dengan tayammum. Dan tidak
memerlukan bagi dirinya mengambil air. Mereka tiada mem- perdulikan mengambil
wudlu di selokan-selokan dan dari semlia air, selama mereka tiada yakin akan
ke-najis-annya, Sehingga 'Umar ra. mengambil wudlu dari air dalam kendi seorang
Nasrani. Mereka mencukupkan dengan tanah dan bukity tak usah tali.
Lalu membentangkan kain yang dicuci di atas tanah dan bukit itu.
(1) Dirawikan Ath-Thabrani,
Al-Baihaqi dan Al-Kharaithi, Semuanya dla'if.
|
(2) Dirawikan Al-Kharaithi,
dengan isnad dlaif.
|
(3) Dirawikan Al-Kharaithi,
dengan sanad dla’if.
|
(4) Dirawikan Ath-Thabrani dari
Ibnu 'Umar,
|
552.
|
Ini adalah, bid'ah tetapi bid'ah hasanah (bid'ah baik). Dan bid'ah tercela ialah yang
berlawanan dengan sunnah yang sudah tetap. Adapun yang menolong kepada
penjagaan Agama, maka dipandang perbuatan baik. Dan telah kami sebutkan
hukum bersangatan pada bersuci pada "Kitab Bersuci’’ Sesungguhnya
orang yang menjuruskan dirinya untuk urusan Agama, tiadalah seyogia memilih
jalan yang mudah. Tetapi menjaga pada bersuci akan sesuatu, yang tidak
mencegahkannya dari amal perbuatan yang lebih utama daripadanya.
Ada ulama yang mengatakan, bahwa orang-orang khawwash (orang
orang khushush), adalah setengah dari orang-orang yang tawakkal. Tiada berpisah
daripadanya empat perkara dalam perjalanan dan di tempat kediamannya. Yaitu :
tempat air, tali, penjahit dengan benang-benangnya dan gunting. Dan orang
khuwwash itu berkata : "Yang tersebut tadi tidaklah termasuk
dunia".
Kesebelas : tentang adab kembali dari safar (perjalanan). Adalah Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila kembali dari peperangan atau hajji atau 'umrah atau
lainnya, membaca takbir pada tiap-tiap tanah yang tinggi tiga kali takbir dan
membaca :
لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء
قدير آيبون تائبون عابدون ساجدون لربنا حامدون صدق الله وعده ونصر عبده وهزم
الأحزاب وحده
(Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa 'alaa kulli syai-in qadiir, aa-yibuuna taaibuu-na ‘aabiduuna sa jiduuna lirabbinaa hamiduuna, shadaqallaahu wa'-dah, wa nashara-'abdah, wa hazarnal-ahzaaba wahdah).Artinya : "Tiada yang disembah, melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya, Baginya kerajaan dan bagi-Nya segala pujianAa MahaKuasa atas segala-galanya. Kami kembali, bertaubat, beribadah, bersujud kepada Tuhan kami dan memuji-Nya. Allah membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan segala golongan kafir oleh-Nya sendirian
Apabila telah mendekati
kota tempat tinggalnya, maka hendaklah berdo'a :
اللهم اجعل لنا بها قرارا ورزقا حسنا
(Allaahummaj-'al lanaa bihaa qaraaran wa rizqan hasanan).
Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Jadikanlah bagi kami padanya
ketetapan dan rezeki yang baik
553.
|
Kemudian, hendaklah ia mengirim orang kepada keluarganya, yang
akan menyampaikan berita gembira dengan kedatangannya. Supaya ia tidak datang
kepada mereka itu dehgan cara tiba-tiba. Lalu melihat apa yang tiada
disukainya. Dan tiada seyogialah baginya, mengetok pintu mereka itu pada malam
hari. Karena ada larangan Agama tentang yang demikian.
Dan adalah Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Apabila datang dari perjalanan, beliau pertama-tama masuk
masjid dan mengerjakan shalat dua raka'at. Kemudian baru masuk ke rumah. Dan
apabila masuk, beliau membaca :
توبا
توبا لربنا أوبا أوبا لا يغادر علينا حوبا
(Tauban-tauban lirabbinaa, auban-auban laa yughaadiru
'alainaa haubaa),Artinya : "Bertaubat-bertaubat kepada Tuhan kita.
Kembali- kembali, yang tidak meninggalkan pada kita usaha ke-dosa-an(1)
Dan seyogialah membawa untuk keluarga dan kerabat, hadiah
(buah tangan) makanan atau lainnya, sekadar yang memungkinkan. Dan itu adalah
sunat.
Diriwayatkan dari hadits Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., bahwa jikalau tiada diperoleh- nya sesuatu, maka hendaklah
diletakkannya batu dalam keranjangnya! Dan seolah-olahnya ini bersangatan
mendorong kepada sifat mulia yang tersebut. Karena semua mata memperhatikan
kepada orang yang datang dari perjalanan jauh. Dan hati gembira dengan
kedatangannya. Maka sangatlah disunatkan pada menguat- kan kesenangan mereka.
Dan mendzahirkan berpalingnya hati dalam perjalanan kepada mengingati mereka,
dengan apa yang dibawanya serta di jalan untuk mereka.Maka inilah jumlah banyaknya adab-adab dzahiriah pada bermusyafir!
Adapun adab bathiniah maka pada pasal pertama, terdapat pen-
jelasan sejumlah daripadanya.
Jumlahnya itu ialah, bahwa : tidak bermusyafir, kecuali
apabila ada dalam perjalanan itu menambahkan keagamaan. Manakala ia memperoleh
hatinya berubah kepada kurangnya keagamaan, maka hendaklah ia berhenti dan
berpaling kepada yang lain! Dan tiada seyogialah, bahwa cita-citanya melampaui
tempatnya. Tetapi ber- tempatlah di mana hatinya bertempat, Dan berniat pada
memasuki tiap-tiap negeri, bahwa ia akan menjumpai syaikh-syaikh (guru- guru)
yang ada di negeri itu. Bersungguh-sungguh untuk memper- oleh faedah
adab-kesopanan atau ucapan dari masing-masing mereka. Supaya ia memperoleh
manfa'at dengan yang demikian. Tidak untuk diceriterakannya yang demikian itu
kepada orang lain. Dan tidak untuk didzahirkannya bahwa ia telah menjumpai
syaikh-syaikh itu.
(1) Dirawikan
Ibnus-sunni dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas. Dan katanya shahih menurut syarat
perawian hadits Al-Bukhari dan Muslim.
|
554.
|
Dan ia tidak menetap (bermukim) pada suatu negeri, lebih
banyak dari seminggu atau sepuluh hari, Kecuali disuruh oleh syaikh yang
dimaksud dengan yang demikian, Dan ia tidak duduk-duduk selama bermukim itu,
selain dengan orang-orang faqir yang benar. Jikalau maksudnya mengunjungi
saudara, maka tidak dilebihkan dari tiga hari. Itulah bat as : bertamu. Kecuali
sukar bagi saudara- nya, berpisah dengan dia.
Apabila bermaksud menziarahi syaikh (guru), maka tidaklah menetap
(bermukim) padanya, lebih dari sehari-semalam, Dan tidak menyibukkan dirinya
dengan bergaul, Maka yang demikian itu, menghilangkan barakah perjalanannya,
Dan tiap kali ia memasuki suatu negeri, tidaklah ia berbuat sesuatu, selain
menziarahi guru (syaikh), dengan menziarahi tempat tinggalnya. Jikalau syaikh
itu di rumah, maka tidaklah pintu rumahnya diketok. Dan tidaklah diminta
keizinannya, sampai ia keluar, Apabila ia telah keluar, datanglah kepadanya
dengan adab. Lalu memberi salam kepadanya. Dan tidak berkata-kata dihadapannya,
kecuali, bahwa ia menanya- kannya.Kalau Syaikh itu bertanya, niscaya dijawab sekedar
pertanyaan. Dan tidak menanyakan tentang sesuatu persoalan, sebelum meminta
izin lebih dahulu.
Apabila beroda dalam perjalanan, maka janganlah membanyakkan
menyebut makanan-makanan dan orang-orang yang bermurah hati serta
teman-temannya di negeri itu, Dan hendaklah ia menyebutkan syaikh-syaikh dan
orang-orang faqirnya!.
Dan janganlah melengahkan dalam perjalanan itu, menziarahi ku
buran orang-orang shalih! Tetapi hendaklah mencari kuburan- kuburannya itu,
pada setiap desa dan negeri.
Janganlah mendzahirkan hajat-keperluan, selain sekedar yang
penting. Dan kepada orang yang mampu menyampaikan hajat- keperluan itu. Dan
selalu dalam perjalanan itu, berdzikir dan membaca AI-Qur-an, di mana tidak
memperdengarkannya kepada orang lain. Apabila orang berbicara dengan dia, maka
hendaklah meninggalkan dzikir. Dan menjawab pembicaraannya, selama orang itu
masih berbicara. Kemudian kembalilah kepada pekerjaan semula!.
555.
|
Jikalau nafsunya (keinginannya) merencanakan bermusyafir atau
tinggal di negerinya sendiri, maka hendaklah nafsu itu ditantang! Barakah itu
adalah pada menantang nafsu.
Apabila lebih mudah baginya melayani (berbuat khidmat) kepada
orang-orang shalih, maka tiada seyogialah baginya bermusyafir, demi
pengkhidmatan itu. Maka yang demikian itu, kufur (tidak mensyukuri nikmat)
Manakala ia memperoleh dirinya kekurangan daripada yang ada
padanya sewaktu di negerinya sendiri, maka hendaklah diketahui- nya, bahwa
perjalanannya itu berpenyakit. Dan hendaklah ia kembali! Karena kalau ada untuk
kebenaran, niscaya dzahirlah bekasnya.
Seorang laki-laki menerangkan kepada Abi Utsman Al-Maghribi,
bahwa si Anu keluar bermusyafir. Lalu Abi Utsman Al-Maghribi berkata :
"Bermusyafir itu terasing dari tanah air. Terasing itu suatu kehinaan. Dan
tiadalah bagi mu'min menghinakan dirinya sendiri".
Ia tunjukkan dengan perkataan tersebut, bahwa bagi orang yang
tiada bertambah keagamaan dalam peqalanan, maka telah menghinakan dirinya
sendiri. Jikalau tidak demikian, maka kemuliaan Agama itu, tidak tercapai,
melainkan dengan kehiiraan terasing dari tanah air.
Maka hendaklah perjalanan jauh murid itu, dari tanah air
hawa- nafsunya, kehendak dan tabi'atnya! Sehingga ia mulia dalam peng- asingan
ini dan tidak hina. Sesungguhnya orang yang mengikuti hawa-nafsunya dalam
perjalanan, niscaya ia hina tak dapat diban- tah. Adakalanya pada waktu segera.
Dan adakalanya pada waktu lambat.
(1) Karena
berkhidmat (melayani) orang-orang shalih adalah suatu nikmat daripada Allah!
(Pent)
|
556.
|
Bab Kedua Mengenai yang tidak boleh tidak bagi orang yang
beperjalanan, mempeiajarinya, tentang hal-hal yang diberi ke-entengan
(rukb-shah) dalam perjalanan dalil-dalil qiblat dan waktu.
Ketahuilah, bahwa seorang musyafir pada awal perjalanannya,
memerlukan kepada persediaan perbekalan untuk duniawinya dan untuk akhiratnya,
Adapun perbekalan dunia, yaitu : makanan, minuman dan
perbelanjaan yang diperlukan. Kalau ia keluar secara tawakkal, tanpa
perbekalan, maka tiada mengapa, apabila perjalanannya itu dalam suatu kafilah,
Atau diantara desa-desa yang bersambung satu dengan lainnya.
Jikalau ia menempuh perjalanan di padang Sahara sendirian
atau bersama kaum (orang banyak) yang tidak membawa makanan dan minuman, maka
kalau ia termasuk orang yang tahan lapar seminggu atau sepuluh hari umpamanya
atau sanggup mencukupkan dengan daun-daunan, niscaya bolehlah ia demikian. Dan
kalau tidak kuat menahan lapar dan tidak sanggup mencukupkan dengan daun-
daunan, maka keluarnya untuk bermusyafir tanpa perbekalan itu, adalah perbuatan
ma'shiat (berdosa). Karena ia membawa dirinya dengan tangannya sendiii kepada
kebinasaan. Dan ini mempunyai rahasia yang akan diterangkan pada "Kitab
Tawakkal".
Dan tidaklah arti tawakkal itu, menjauhkan diri secara
kcseluruhan dari sebab-sebab. Dan jikalau seperti demikian, niscaya batallah
tawakkal, dengan mencari timba, tali dan mengambil air dari sumur. Dan
wajiblah bersabar, sehingga didatangkan Allah baginya seorang malaikat atau
orang lain, untuk menuangkan air ke dalam mulutnya.
Jikalau menjaga timba dan tali, tidak merusakkan tawakkal dan
itu adalah alat yang menyampaikan kepada minuman, maka membawa barang makanan
dan minuman, di mana tidak dapat diharap- kan akan ada diperjalanan, adalah
lebih utama tidak akan merusakkan tawakkal. Dan akan datang penjelasan
"Hakikat Tawakkal" pada tempatnya nanti. Karena tawakkal itu tidaklah
begitu jelas, kecuali bagi ulama-ulama Agama yang melakukan penelitian, (ulama
muhaqqiqin).
557.
|
Adapun perbekalan akhirat, maka yaitu pengetahuan yang diperlukan,
mengenai thaharah (bersuci), puasa, shalat dan ibadah- ibadahriya, Maka tak
boleh tidak, bahwa mempunyai perbekalan pengetahuan itu. Karena sewaktu-wiaktu
perjalanan itu meringan- kan beberapa perkara. Maka perlulah mengetahui batas
yang diri- ngankan oleh perjalanan itu. Seperti : men-qashar dan men-jama'
shalat dan berbuka puasa. Dan sewaktu-waktu diberatkan beberapa perkara, di
niana di negeri sendiri tidak diperlukan mengetahuiriya. Seperti : pengetahuan
tentang qiblat dan waktu shalat. Kalau di negeri sendiri, memadailah dengan
lain dari pengetahuan. Yaitu : dengan melihat mihrab masjid dan mendengar adzan
muadz-dzin. Dan dalam perjalanan, kadang-kadang diperlukan mengetahui sendiri.
Jadi, apa yang dihajati mengetahuinya, terbagi kepada dua :
bahagian
pertama : pengetahuan tentang hal-haf yang
memperoleh keentengan (rukh-shah) dalam perjalanan.
Safar itu memberi dua keentengan pada bersuci. Yaitu :
menyapu dua sepatu kasut (dua muza) dan bertayammum. Pada shalat fardlu dua
ke-entengan (dua rukh-shah). Yaitu : menqashar dan men jama-kan shalat. Pada
shalat sunat dua rukh-shah, yaitu ; menger- jakannya atas kendaraan dan sedang
berjalan kaki. Dan pada puasa, satu rukh-shah, yaitu : boleh berbuka puasa.
Inilah tujuh macam rukhshah :
Rukh-shah Pertama : menyapu dua muza. Shafwan bin 'Assal berkata :
"Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyuruh kami, apabila kami bermusafir atau dalam perjalanan,
bahwa kami tidak membuka muza kami, tiga hari dengan malam-malamnya".
Maka tiap-tiap orang yang memakai muza sesudah bersuci yang
memboiehkan shalat, kemudian berhadats, maka boleh menyapu muzanya dari waktu
berhadats tadi, tiga hari tiga malam, kalau ia orang musafir. Atau
sehari-semalam, kalau ia orang muqim (bukan orang musafir). Tetapi, dengan lima
syarat:
Pertama : bahwa adalah pemakaiannya sesudah sempurna bersuci.
Jikalau kaki kanan dibasuhnya dan dimasukkan dalam muza, kemudian kaki kiri
dibasuhnya, lalu dimasukkan dalam muza, niscaya tidak dibolehkan menyapu muza
itu, menurut madzhab Asy- Syafi-'i ra., sebelum muza kaki kanan dibuka dan
diulangi kembali memakainya.
558.
|
Kedua : muza itu kuat, yang memungkinkan beijalan kaki dengan dia.
Dan boleh menyapu muza, walau tiada memakai sandal sekali- pun. Karena berlaku
kebiasaan, berulang-ulangnya, dengan muza itu,pada tempat-tempat perhentian.
Karena pada umumnya muza itu kuat. Lain halnya alas kaki kaum shufi. Maka tidak
diperbolehkan menyapunya. Dan demikian juga jurmuq yang lemah. (1)
Ketiga : bahwa tidak ada robek pada tempat yang fardlu dibasuh.
Jikalau robek, di mana terbuka tempat yang perlu dibasuh, niscaya tidak
diperbolehkan menyapu muza itu. Menurut qaul-qadim (2) dari Asy-Syafi-'i ra.
diperbolehkan, selama masih lekat pada kaki. Dan itu adalah madzhab Malik.ra.
Dan tiada mengapa mengikuti madzhab Malik. Karena dipandang perlu kepadanya.
Dan sukarlah menjahit dalam perjalanan setiap waktu. Sepatu yang ditenuni boleh
disapu manakala tertutup, yang tidak tampak kulit tapak kaki dari
celah-celahnya. Begitu pula sepatu yang pecah, yang pada tempat pecahnya itu,
di-ikat dengan benang. Karena hajat keperluan meminta kepada semua itu.
Maka tidaklah yang diperhatikan, selain bahwa ada muza itu
tertutup sampai ke atas dua mata kaki, bagaimanapun adanya. Adapun apabila
tertutup sebahagian dari belakang tapak kaki dan yang lain tertutup dengan
pembalutan, niscaya tidak boleh muza itu disapu.
Ke-empat : bahwa muza itu tidak dibuka sesudah disapu. Kalau dibuka,
maka yang lebih utama baginya mengulangi wudlu (mengambil air sembahyang).
Kalau ia menyingkatkan, dengan membasuh dua tapak kaki saja, maka dibolehkan.
Kelima : bahwa muza itu disapu pada tempat yang setentang bagi tempat
yang perlu dibasuh. Tidak atas betis. Sekurang-kurangnya disapu, ialah apa yang
dapat dinamakan : menyapu di atas belakang tapak kaki dari muza itu. Apabila
disapu dengan tiga anak jari, niscaya memadai.Dan yang lebih utama ialah, bahwa
ia keluar dari syubhat-khilaf (perbedaan ijtihad ulama yang mendatangkan
keraguan).
Yang lebih sempurna, bahwa ia menyapu bahagian atasnya dan
bahagian bawahnya dari muza itu, dengan sekali-gus (sekali jalan), tanpa
berulang-ulang.
Demikianlah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. memperbuatnya. (3)
(1) Jurmuq yaitu : Muza yang
dipakai di atas muza biasa, karena sangat dingin,
|
(2) Qaul-Qadim, yaitu : fatma
atau masalah yang dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi-'i ra. se waktu beliau
masih menetap di Bagdad.
|
(3) Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi
dan dipandangnya dla'if.
|
559.
|
Caranya : ialah membasahkan dua tangan dan meletakkan ujung
anak jari tangan kanan, di atas ujung jari kaki kanan. Dan menyapukannya
dengan menarik jari-jari itu ke arah dirinya. Dan meletakkan ujung jari tangan
kirinya atas tumidnya dari bawah muza. Dan melalukannya ke ujung tapak kaki.
Manakala menyapu muza waktu sedang bermuqim (tinggal di
negeri sendiri), kemudian bermusafir atau waktu sedang bermusafir, kemudian
bermuqim, niscaya menanglah hukum bermuqim. Maka hendaklah disingkatkan kepada
sehari-semalam saja. Bilangan tiga hari itu dihitung dari waktu berhadatsnya,
sesudah menyapu muza.
Jikalau muza itu dipakai masih di tempatnya (belum lagi bermusafir)
dan menyapunya juga masih di tempatnya, kemudian baru ia keluar berjalan dan
berhadats dalam perjalanan pada waktu gelincir matahari (waktu zawal)
umpamanya, niscaya ia menyapu tiga hari tiga malam, dari semenjak waktu zawal
tadi,sampai kepada zawal hari ke-empat.
Apabila matahari telah zawal dari hari ke-empat, niscaya
tiadalah baginya mengerjakan shalat, kecuali sesudah membasuh dua kaki. Maka ia
membasuh kedua kakinya dan mengulangi memakai muza dan menjaga waktu hadats.
Dan mengulangi kembali hitungan dari waktirhadats itu.
Jikalau berhadats sesudah memakai muza di kampung (di tempatnya),
kemudian keluar bermusafir sesudah berhadats, maka boleh menyapu tiga hari.
Karena kadang-kadang adat-kebiasaan meng- hendaki pemakaian muza sesudah keluar
untuk bermusafir. Kemudian tidak mungkin menjaga diri dari hadats. Apabila
menyapu di kampung, kemudian bermusafir, niscaya disingkatkan menurut waktu
menyapunya orang muqim (sehari- semalam).
Disunatkan bagi tiap-tiap orang yang bermaksud memakai muza
di kampung atau dalam perjalanan, bahwa membalikkan muzanya dan
menggerak-gerakkan apa yang di dalamnya, karena menjaga dari ular atau kala
atau duri. Sesungguhnya diriwayatkan dari Abi Amamah, bahwa Abi Amamah berkata
: "Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. meminta kedua muzanya. Lalu beliau memakai salah satu daripada
keduanya. Maka datanglah seekor burung gagak. Lalu burung gagak itu membawa
yang sebelah lagi dari muza itu. Kemudian melempar- kannya. Lalu keluar dari
muza tadi seekor ular. Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
560.
|
Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
من
كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يلبس خفيه حتى ينفضهما
(Man kaana yu'-minu billaahi wal-yaumil-aakhiri fa-laa
yalbisu khuffaihi hatta y anfudlahumaa).Artinya : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan
hari akhirat, maka ia tidak memakai kedua muzanya, sebelum menggerak-gerak-
kannya(1)
Rukh-shah Kedua : tayammum dengan tanah sebagai ganti dari air ketika ada
halangan ('udzur).
Sesungguhnya diberi ke-'udzuran dari memakai air, dengan adanya
air itu jauh dari tempatnya, sejauh mana jikalau ia berjalan kaki ke tempat air
itu, niscaya tidak sampai hubungan kepadanya untuk meminta pertolongan dari
kafilahnya (rombongannya), jikalau ia berteriak atau meminta pertolongan.
Itulah kejauhan, yang tiada dibiasakan pulang-pergi kepadanya oleh orang-orang
yang tinggal di tempat itu pada pulang-pergi mereka untuk membuang air
(qadla-hajat).
Demikian juga, jikalau ada pada air itu musuh atau binatang
buas. Maka bolehlah bertayammum, walaupun air itu dekat. Demikian juga jikalau
ia memerlukan kepada air itu, karena keha- usannya, baik pada hari itu atau
sesudahnya. Karena ketiadaan air dihadapannya. Maka bolehlah ia bertayammum.
Demikian juga jikalau ia memerlukan kepada air itu, karena keha- usan salah seorang
dari teman-temannya. Maka tidaklah boleh berwudlu, Dan haruslah memberikan air
itu. Adakalanya dengan memperoleh bayaran atau tanpa bayaran. Dan kalau ia
memerlukan kepada air tadi, untuk memasak sayur atau daging atau untuk
membasahkan makanan yang sudah dihancurkan yang dikumpul- kannya makanan itu
dengan air tadi, niscaya tidak boleh bertayammum. Tetapi haruslah ia
mencukupkan dengan makanan han- cur itu yang kering. Dan meninggalkan memakai
kuah.
Manakala diberikan orang kepadanya air, niscaya wajiblah
diterima. Dan jikalau diberikan harganya, niscaya tidaklah wajib mene- rimanya.
Karena pada menerima harga itu terdapat omelan. Dan jikalau dijual orang air
kepadanya dengan harga yang pantas, niscaya haruslah dibeli. Dan jikalau dijual
dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang pantas itu, niscaya tidaklah
harus dibeli.
(1) Dirawikan
Ath-Thabrani dari Abi Amamah. Dan ada dari perawinya yang tidak dikenal.
|
561.
|
Apabila tidak ada air padanya dan ia bermaksud bertayammum,
maka yang pertama-tama harus dilakukannya, ialah mencari air. manakala mungkin
sampai kepada air, dengan dicari. Yang demikian itu, dengan pulang-pergi, di
keliling tempat tinggalnya. Dan memeriksa kendaraan-kendaraan dan mencari
sisa-sisa yang ada pada tempat-tempat air dan tempat-tempat membersihkan
sesuatu dengan air.
Jikalau ia lupa kepada air pada kendaraannya atau ia lupa
kepada sumur yang dekat daripadanya, niscaya haruslah mengulangi shalat. Karena
keteledoTannya pada mencari air. Jikalau ia mengetahui bahwa ia akan memperoleh
air pada akhir waktu shalat, maka yang lebih utama, bahwa ia mengerjakan shalat
dengan tayammum pada awal waktu. Sesungguhnya umur kita tidaklah dapat diper-
caya akan lanjut. Dan awal waktu itu adalah keridla'an Allah. Ibnu 'Umar ra.
bertayammum. Lalu orang bertanya kepadanya : "Adakah engkau bertayammum,
sedang dinding kota Madinah memandang kepada engkau?".
Maka Ibnu 'Umar ra. menjawab : "Apakah aku akan kekal
(tidak meninggal), sampai aku dapat memasuki kota Madinah itu?*'. Manakala
diperoleh air sesudah masuk dalam shalat, niscaya tidaklah shalatnya batal.
Dan tidaklah wajib ia berwudlu. Dan apabila diperolehnya air sebelum masuk
dalam shalat, niscaya haruslah ia mengambil wudlu'.
Manakala air itu telah dicari, lalu tidak diperoleh, maka hendaklah
ia menuju kepada tanah yang baik (yang suci), di mana di atasnya abu, yang
terbang daripadanya debu. Dan hendaklah menepuk kedua tapak tangan di atas debu
tadi, sesudah merapatkan anak- anak l^rinya, sekali tepuk. Lalu menyapu dengan
kedua tapak tangan tadi mukanya. Dan menepuk sekali lagi sesudah menang- galkan
cincin dan menjarangkan anak-anak jarinya. Dan menyapu dengan anak-anak jarinya
itu kedua tangannya sampai kepada kedua siku-sikunya.
Jikalau tidak meratai dengan sekali tepuk seluruh kedua
tangannya, niscaya menepuk sekali lagi. Dan cara pelan-pelan pada tayammum itu,
ialah apa telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Bersuci. Maka tidaklah kami
mengulanginya lagi.
Kemudian, apabila telah dikeijakan shalat dengan tayammum,
satu shalat fardlu, maka bolehlah mengerjakan shalat sunat sebanyak yang
dikehendaki, dengan tayammum itu. Dan jikalau bermaksud
562.
|
menjama' diantara dua shalat fardlu, maka haruslah mengulangi
tayammum untuk shalat kedua. Sehingga tidaklah dikerjakan dua shalat fardlu, kecuali
dengan dua tayammum. Tiada seyogianya bertayammum bagi shalat sebelum masuk
waktu- nya. Jikalau diperbuatnya yang demikian, niscaya wajiblah ia mengulangi
tayammum.
Dan hendaklah berniat, ketika menyapu muka : mernperbolehkan
shalat (istibahah shalat).
Jikalau diperolehnya air yang mencukupkan untuk sebahagian
thaharahnya, maka hendaklah dipakai air itu. Kemudian hendaklah bertayammum
sesudah memakai air tadi, dengan tayammum yang sempurna.
Rukh-shah Ketiga : pada shalat fardlu ialah qashar (memendekkan shalat yang
empat raka'at, menjadi dua raka'at). Boleh mengqasharkan pada masing-masing
dari : shalat Dhuhur, *Ashar dan *Isya' kepada dua reka'at. Tetapi dengan tiga
syarat:
Pertama : dilaksanakannya shalat itu pada waktunya. Jikalau shalat itu
merupakan shalat qadla, maka menurut pendapat yang lebih kuat (al-adh-har),
harus disempurnakan (jadi empat raka'at).
Kedua : diniatkan qashar. Jikalau diniatkan menyempumakan shalat
(dikerjakan dengan empat raka'at), niscaya haruslah disempurnakan.
Jikalau ragu, apakah ia sudah meniatkan qashar atau meniatkan
disempurnakan niscaya haruslah disempurnakan (dikerjakan empat raka'at).
Ketiga : bahwa ia tidak mengikuti (berimam) kepada orang muqim (orang
yang tidak bermusafir). Dan tidak dengan orang musafir yang menyempumakan
shalatnya. Jikalau diperbuatnya (di-ikuti- nya orang muqim atau orang musafir
yang menyempumakan shalatnya), niscaya haruslah ia menyempumakan shalat. Tetapi
jikalau ia ragu, apakah imamnya itu orang muqim atau orang musafir, niscaya haruslah
(wajiblah) menyempumakan shalat, walaupun ia yakin kemudian, bahwa imamnya itu
orang musafir." Karena tanda-tanda seorang musafir itu tidaklah tersembunyi.
Dari itu, hendaklah diselidiki lebih dahulu ketika bemiat!. Jikalau ia ragu,
apakah imamnya itu meniatkan qashar atau tidak, sesudah diketahuinya, bahwa
imamnya itu orang musafir, niscaya yang demikian tidaklah mendatangkan melarat
baginya. Karena niat-niat itu tidak dapat dilihat.
563.
|
Ini semuanya adalah dalam perjalanan yang jauh dan mubah (di
perbolehkan, tidak dilarang oleh Agama). Dan batas perjalanan (safar) dari segi
permulaan dan kesudahannya, mengandung hal-hal yang penuh pertanyaan. Maka tak
boleh tidak harus diketahui. Perjalanan (safar) ; ialah perpindahan dari tempat
tinggal menetap, disertai maksud menuju suatu tempat yang sudah diketahui.
Orang yang berkelana dan orang yang tidak tentu tujuannyay tidaklah
kepadanya diberi rukh-shah. Yaitu : orang yang tidak menuju ke suatu tempat
yang tertentu.
Dan ia tidak menjadi musafir, sebelum ia meninggalkan tempat
yang ramai didiami orang dari negerinya. Dan tidak disyaratkan, bahwa ia
melewati tempat-tempat yang roboh (tidak didiami lagi) dan kebun-kebun
(taman-taman), di mana anak negeri keluar ke taman-taman itu untuk istirahat,
Adapun desa, maka bermusafir dari desa, seyogialah melewati
kebun-kebunnya yang dipagari. Tidak kebun-kebun yang tidak dipagari.
Jikalau si musafir itu kembali ke kampungnya, untuk mengambil
sesuatu yang dilupainya, niscaya ia tidak memperoleh rukh-shah, jikalau kampung
tersebut tempat tinggalnya sendiri, selama ia tidak melewati tempat yang ramai
didiami penduduk. Jikalau yang demikian itu, bukan tempat tinggalnya sendiri,
maka ia memperoleh rukh-shah. Karena telah menjadi orang musafir, dengan kesu-
litan berpisah dan keluar dari tempatnya.
Adapun penghabisan safar, maka dengan salah satu dari tiga
perkara :
Pertama : sampai ke tempat ramai didiami penduduk, dari
negeri yang dicita-citakan untuk berdian padanya.
Kedua : ber'azam (mengambil keputusan) bermuqim untuk tiga
hari atau lebih. Adakalanya pada sesuatu negeri, atau pada sesuatu Sahara
(tempat yang lapang yang tidak didiami penduduk).
Ketiga : bentuk bermuqim, walaupun ia tidak mengambil keputusan.
Seperti, apabila ia bermuqim pada sesuatu tempat tiga hari, selain dari hari
masuk (datang). Tidaklah boleh baginya rukh-shah sesudah bermuqim itu.
Jikalau ia tidak ber'azam (bercita-cita) untuk bermuqim
(menetap) dan ia mempunyai urusan di situ dan ia mengharap pada tiap-tiap hari,
akan terselesaikan. Tetapi ada yang menghalangi dan melam- batkan. Maka baginya
ber-rukh-shah. Walaupun masa itu panjang, menurut qias yang terkuat dari dua
qaul (pendapat ulama). Karena
564.
|
Jikalau ia tidak ber'azam (bercita-cita) untuk bermuqim
(menetap) dan ia mempunyai urusan di situ dan ia mengharap pada tiap-tiap hari,
akan terselesaikan. Tetapi ada yang menghalangi dan melambatkan. Maka baginya
ber-rukh-shah. Walaupun masa itu panjang, menurut qias yang terkuat dari dua
qaul (pendapat ulama). Karena ia tiada berketenteraman hati dan bermusafir dari
tempat tinggal- nya, menurut bentuknya. Dan tidaklah dihiraukan dengan bentuk
diantara adanya rnenetapnya di satu tempat itu, serta kegoncangan hati. Dan
tiada berbeda,urusan itu perang atau lainnya. Dan diantara lamanya waktu
menetap atau pendek. Dan diantara terlam batnya keluar karena hujan yang tiada
diketahui lamanya sampai tiga hari. Atau karena sebab yang lain. Karena
Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. memperoleh rukh-shah, Lalu beliau mengqasharkan shalat pada
sebahagian peperangan, delapan belas hari lamanya pada suatu tempat, (1)
Jelasnya, bahwa jikalau lamalah masa peperangan, tentu
lamalah masa rukh-shah. Karena tiada arti dengan menentukan delapan belas hari
itu. Dan yang jelas, bahwa qasharnya Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, adalah karena beliau itu bermusafir. Tidak karena beliau
menghadliri peperangan dan berperang. Inilah arti qashar
Adapun arti pemanjangan, maka yaitu : bahwa perjalanan itu
dua marhalah. Tiap-tiap marhalah delapan farsakh. Tiap-tiap farshkh, tiga mil.
Tiap-tiap mil, empat ribu langkah. Dan tiap-tiap langkah, tiga tapak kaki
Yang dimaksud dengan : perjalanan mubah, ialah : bahwa yang
melakukan perjalanan (safar) itu, bukan orang yang durhaka kepada ibu-bapanya,
yang melarikan diri dari keduanya, yang melarikan diri dari orang yang
memilikinya (kalau yang bermusafir itu seorang budak). Dan kalau yang
bermusafir itu wanita, maka tidaklah ia melarikan diri dari suaminya. Dan
tidaklah orang yang bermusafir itu orang yang berhutang, yang melarikan diri
dari yang berpiutang, serta ia mampu membayarnya. Dan tidak bertujuan untuk
merampok atau membunuh orang atau mencari kelimpahan harta haram dari seorang
penguasa (sultan) yang dzalim atau mem-' buat kerusakan diantara kaum muslimiri.
Kesimpulannya, tidaklah orang itu bermusafir, kecuali pada
suatu maksud. Dan maksud itulah yang menggerakkannya, Jikalau yang menghasilkan
maksud itu haram dan jikalau tidak adalah maksud itu, niscaya ia tidak tergerak
untuk perjalanan itu, maka perjalanan itu ma1shiat. Dan tidak
diperbolehkan padanya rukh-shah. Adapun perbuatan fasiq dalam perjalanan,
dengan meminum khamar dan lainnya, maka tidaklah mencegahkan rukh-shah. Tetapi,
tiap-tiap perjalanan yang dilarang Agama, maka tidaklah perjalanan itu
menolong padanya, dengan rukh-shah.
(1) Dirawikan Abu Dawud dari
'Imran ibin Hushain.
|
565.
|
Jikalau orang musafir itu mempunyai dua penggerak, yang satu
mubah dan yang Iain terlarang (mah-dhur), di mana jikalau penggerak yang
terlarang tidak ada, niscaya adalah penggerak mubah itu sendiri, bebas
menggerakkannya dan sudah pasti, orang musafir itu bermusafir karena penggerak
mubah, maka baginya rukh-shah. Orang-orang shufi yang beijalan keliling di
beberapa negeri, tanpa ada maksud yang syah, selain dari bersenang-senang untuk
me- nyaksikan berbagai tempat, maka tentang rukh-shah bagi mereka, terdapat
khilaf (perbedaan pendapat ulama). Pendapat yang terpi- lih (yang lebih kuat),
bagi mereka itu rukh-shah.
Rukh-shah Ke-empat : men-jama'-kan (mengumpulkan) antara Dhuhur dan 'Ashar pada
waktu keduanya. Dan antara Maghrib dan 'Isya' pada waktu keduanya. Juga yang
demikian itu, diperboleh- kan pada tiap-tiap perjalanan yang jauh, lagi mubah.
Tentang diperbolehkan pada perjalanan yang pendek, terdapat dua qaul (pendapat
ulama). Kemudian, kalau didahulukan shalat 'Ashar kepada waktu Dhuhur, maka
hendaklah diniatkan jama' antara Dhuhur dan 'Ashar pada waktu keduanya itu,
sebelum selesai dari Dhuhur. Dan hendaklah dilakukan adzan untuk Dhuhur dan
iqa- mah. Dan ketika selesai, lalu dilakukan iqamah untuk 'Ashar. Dan pertama
sekali diperbaharui tayammum, kalau shalat fardhmya itu dengan tayammum. Dan
tidaklah diceraikan diantara shalat Dhuhur dan 'Ashar itu, dengan lebih banyak
dari waktu tayammum dan iqamah!.
Kalau didahulukan shalat 'Ashar, maka tidak diperbolehkan.
Jikalau diniatkan jama' ketika bertakbiratul-ihram shalat 'Ashar, niscaya boleh
pada Imam Al-Mazani. Pendapatnya itu dalam segi qias. Karena tak ada tempat
pegangan untuk mewajibkan menda hulukan niat. Tetapi Agama memb'olehkan jama'.
Dan ini adalah jama’ Dan rukh-shah itu pada shalat 'Ashar. Maka mencukupilah
niat pada 'Ashar. Adapun Dhuhur, maka berlaku di atas hukum. Kemudian, apabila
telah selesai dari dua shalat tadi, maka seyogialah mengumpulkan diantara
sunat-sunat dua shalat itu. Adapun 'Ashar tak ada sunat sesudahnya. Tetapi
sunat yang sesudah Dhuhur, dikeijakan sesudah selesai dari shalat 'Ashar.
Adakalanya ia berkendaraan (masih bermusafir) atau sudah bermuqim. Karena kalau
dikerjakannya shalat sunat Dhuhur sebelum 'Ashar, niscaya putuskih muwalah
(berturut-turut, ber-iring-iringan). Dan muwalah itu wajib menurut suatu
pendapat (suatu wajah).
566.
|
Jikalau bermaksud mengerjakan empat raka'at sunat sebelum
Dhuhur dan empat raka'at sunat sebelum 'Ashar, maka hendaklah dikumpulkan
antara semuanya itu, sebelum mengerjakan dua shalat fardlu itu!.
Mula-mula dikerjakan sunat Dhuhur. Kemudian sunat 'Ashar,
Kemudian fardlu Dhuhur. Kemudian fardlu 'Ashar. Kemudian sunat Dhuhur yang dua
raka'at sesudah fardlunya. Dan tidak seyogialah, disia-siakan shalat sunat
dalam perjalanan. Maka apa yang hilang dari pahalanya adalah lebih banyak dari
apa yang diperbolehnya dari keuntungan. Lebih-lebih Agama telah meringankan
kepadanya. Dan membolehkan mengerjakannya di atas kendaraan, Supaya ia tidak
terhalang dari teman-temannya, disebabkan shalat itu,
Kalau dikemudiankan (di-ta'khirkan) Dhuhur kepada wak tu
'Ashar, maka berlakulah di atas tertib ini. Dan tidak dihiraukan, dengan
jadinya sunat Dhuhur, sesudah 'Ashar pada waktu-makruh. Karena shalat yang
bersebab, tidaklah dimakruhkan pada waktu itu. Begitu pula, dikeijakan mengenai
Maghrib, 'Isya' dan Witir. Dan apabila didahulukan atau dikemudiankan, maka
sesudah selesai dari shalat fardlu, lalu dikerjakan semua shalat sunat rawatib
a), Dan disudahi semuanya itu dengan shalat Witir. Kalau terguris dalam
hatinya, ingatan kepada shalat Dhuhur sebelum habis waktunya, maka hendaklah
ia ber'azam mengeijakannya bersama serta 'Ashar.itulah niat jama'! Karena
sesungguhnya kosong dari niat ini, adakalanya dengan niat meninggalkan atau
dengan niat mengemudi- ankannya dari waktu 'Ashar. Dan yang demikian itu haram.
Dan bercita-cita kepadanya haram.
Dan jikalau tiada teringat kepada shalat Dhuhur, sehingga
keluarlah waktunya, adakalanya karena tidur atau karena pekerjaan, maka ia
menunaikan shalat Dhuhur bersama 9Ashar. Dan ia tidak menjadi orang
ma'shiat. Karena perjalanan itu, sebagaimana melengahkan daripada mengerjakan
shalat, maka kadang-kadang melengahkan daripada mengingati shalat.
Mungkin pula dikatakan, bahwa shalat Dhuhur jatuh pada waktunya
(menjadi ada' bukan qadla'), apabila ber'azam mengerjakannya, sebelum habis
waktunya, Tetapi yang lebih jelas (yang lebih
(1) Sunat Rawatib : ialah
shalat sunat yang menyangkut dengan shalat fardlu lima, sebelum atau
sesudahnya.
|
567.
|
kuat), bahwa waktu Dhuhur dan waktu 'Ashar itu, menjadi
berse- kutu diantara dua shalat dalam perjalanan. Dan karena itulah, wajib atas
wanita yang datang kain kotor (berhaidl) meng-qadla- kan shalat Dhuhur, apabila
ia suci sebelum terbenam matahari. Dan karena itulah, jelas bahwa tidak
disyaratkan, muwalah dan tertib (yang dahulu didahulukan) diantara Dhuhur dan
'Ashar, ketika mengemudiankan Dhuhur (jama'-ta'khir). Adapun apabila
di-jama'taqdim-kan yAshar kepada Dhuhur (pada jama'-taqdim), niscaya
tidak diperbolehkan. Karena sesudah selesai dari Dhuhur itulah yang menjadi
waktu bagi 'Ashar. Sebab jauhlah dari dapat dipahami, bahwa dikerjakan shalat
'Ashar, oleh orang yang ber- azam meninggalkan Dhuhur atau mengemudiankannya.
Halangan ('udzur) hujan itu membolehkan jama', seperti 'udzur dengan
perjalanan.
Meninggalkan shalat Jum'ah juga setengah dari rukh-shah perjalanan.
Dan Jum'ah itu bergantung pula dengan shalat-shalat fardlu. Jikalau diniatkan
muqim sesudah mengeijakan shalat 'Ashar, lalu mendapati waktu 'Ashar di kampung
(tidak dalam perjalanan lagi), maka wajiblah mengerjakan shalat 'Ashar itu, Dan
apa yang sudah dikerjakan itu, hanya memadai, dengan syarat tetap ada halangan
(perjalanan), sampai kepada habisnya waktu 'Ashar.
Rukh-shah Kelima : mengerjakan shalat sunat dengan
berkendara- an. Adalah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengerjakan shalat di atas kendaraan- nya ke mana saja
kendaraannya itu menghadap d). Dan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengerjakan shalat Witir di atas kendaraan. Dan tidaklah atas
orang yang mengeijakan shalat sunat yang berkendaraan itu, pada ruku' dan
sujudnya, kecuali dengan isyarat saja. Dan seyogialah membuat sujudnya lebih rendah
dari ruku'nya. Dan tidak wajib membungkuk sampai kepada batas, yang
mendatangkan bahaya disebabkan kendaraan. Jikalau ia pada tempat tidur, maka
hendaklah disempurnakan ruku' dan sujud, karena ia sanggup yang demikian.
Adapun menghadap qiblaty maka tidak wajib. Tidak
wajib pada permulaan shalat dan tidak pada waktu meneruskan shalat. Tetapi arah
jalan itu ganti qiblat. Maka hendaklah ia dalam semua shalat- nya, adakalanya
ia menghadap qiblat atau mengarahi pada arah jalan. Supaya ada baginya arah yang
tetap padanya.
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan
Muslim dari Ibnu 'Umar
|
568.
|
Kalau ia memalingkan kendaraannya dari jalan dengan sengaja,
niscaya batallah shalatnya. Kecuali kalau dipalingkannya ke qiblat. Kalau
dipalingkannya karena lupa dan pendek waktu, niscaya tidak batal shalatnya. Dan
kalau panjang waktunya, maka khilaf (ber- beda pendapat) diantara ulama.
Kalau kendaraannya itu melawan, lalu berpaling, niscaya tidak
batal shalat. Karena yang demikian, termasuk yang banyak terjadi. Dan tidak
bersujud sahwi. Karena perlawanan dari binatang kendaraan itu, tidaklah
disangkutkan kepadanya. Sebaliknya, jikalau ia berpaling karena lupa, maka ia
sujud sahwi dengan isyarat saja.
Rukh-shah Ke-enam : mengerjakan shalat sunat, bagi orang berja- lan kaki, diperbolehkan
dalam peqalanan. Dan di-isyaratkannya untuk ruku' dan sujud. Dan tidak duduk
untuk tasyahhud. Karena yang demikian, menghilangkan faedah rukh-shah. Dan
hukum orang yang berjalan kaki itu sama dengan hukum orang yang ber- kendaraan.
Tetapi seyogialah orang yang berjalan kaki itu, bertakbiratul-ihram untuk
shalat itu, dengan menghadap qiblat. Karena berpaling pada sekejap itu, tak ada
kesukaran padanya. Kecuali orang yang berkendaraan, Maka pada memalingkan kendaraan,
meskipun kekang binatang kendaraan itu ditangannya, adalah sukar.
Kadang-kadang shalat itu banyak, maka lamalah yang demikian*
Tiada seyogialah berjalan kaki pada najis yang basah, dengan
sengaja. Kalau diperbuat yang demikian, niscaya batallah shalatnya. Lain
halnya, kalau binatang orang yang berkendaraan itu, meng- injak najis,
Dan tidak harus ia mengganggu perjalanannya sendiri, dengan
menjaga dari Jiajis-najis yang biasanya tiada kosong jalan dari najis-najis
itu.
Tiap-tiap orang yang melarikan diri dari musuh atau banjir
atau binatang buas, boleh mengeijakan shalat fardlu dengan berkendaraan atau
berjalan kaki, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada mengerjakan shalat
sunat.
Rukh-shah Ketujuh : berbuka. Dan musafir itu dalam puasa.
Maka orang musafir boleh berbuka puasa. Kecuali pada pagi hari ia bermuqim,
kemudian bermusafir. Maka haruslah menyempurnakan puasa hari itu. Jikalau
pagi-pagi telah menjadi musafir yang ber- puasa, kemudian ia bermuqim, maka
haruslah menyempurnakan puasa. Kalau bermuqim dengan berbuka puasa, maka .tidak
wajib imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) pada sisa hari
569.
|
itu. Kalau pagi hari bermusafir dengan cita-cita berpuasa,
niscaya tidak wajib berpuasa. Tetapi boleh berbuka apabila ia mau. Dan berpuasa
lebih utama daripada berbuka. Dan men-qashar-kan shalat lebih utama daripada
menyempurnakannya, untuk keluar dari syubhat-khilaf (perbedaan pendapat
diantara ulama yang membawa kepada meragukan), Dan karena dia tidaklah dalam
tanggungan qadla. Sebaliknya orang yang berbuka puasa, maka dia adalah dalam
tanggungan qadla. Kadang-kadang sukar baginya yang demikian, disebabkan
halangan. Maka tetaplah puasa itu dalam tang- gungannya. Kecuali apabila puasa
mendatangkan kemelaratan baginya. Maka berbuka menjadi lebih utama. Inilah
tujuh rnacam rukh-shah. Tiga daripadanya bergantung dengan perjalanan jauh,
Yaitu : qashar shalat, membuka puasa dan menyapu muza (kasut) tiga hart Dua
daripadanya bergantung dengan perjalanan, jauh atau dekat. Yaitu : gugur Jum'ah
dan gugur qadla ketika mengerjakan shalat dengan tayammum. Adapun shalat
sunat, sedang berjalan kaki atau berkendaraan, terdapat khilaf ulama. Yang
lebih shahih (yang lebih kuat) dibolehkan pada perjalanan yang dekat. Dan
men-jama'-kan antara dua shalat, terdapat khilaf ulama. Yang lebih dzahir (yang
lebih kuat), tertentu men-jama'-kan itu pada perjalanan yang jauh. Adapun
shalat fardlu sedang berkendaraan atau berjalan kaki karena takut, maka tiada
sangkutriya dengan safar (perjalanan). Demikian juga memakan bangkai.
^Demikian juga menunaikan shalat pada waktunya dengan tayammum ketika ketiadaan
air. Maka mengenai hai-hal tersebut, sama padanya antara orang muqim dan orang
musafir, manakala terdapat sebab-sebabnya. Kalau anda bertanya : pengetahuan
mengenai rukh-shah-rukh-shah tadi, adakah wajib bagi orang musafir
mempelajarihya sebelum berjalan. Atau disunatkan yang demikian kepadanya.
Ketahuilah, bahwa kalau musafir itu bercita-cita tidak
menyapu muza, tidak men-qashar, tidak menjama tidak membuka puasa dan tidak
mengerjakan shalat sunat dengan berkendaraan dan berjalan kaki, niscaya
tidaklah wajib mengetahui syarat-syarat rukh- shah pada yang demikian, Karena
menggunakan rukh-shah tidaklah wajib atasnya.
Adapun pengetahuan tentang rukh-shah tayammum, maka wajib
dipelajarinya. Karena ketiadaan air tidaklah terserah kepadanya. Kecuali ia
bermusafir pada tepi sungai, yang dipercayai tetap ada airnya. Atau ada
menyertainya di jalan, seorang alim yang sanggup
570.
|
memberi fatwa kepadanya, ketika diperlukan. Maka bolehla
mengemudiankan pelajaran itu sampai kepada ketika diperlukar Apabila berat
dugaannya tidak ada air dan tidak ada sertanya seorang alim, maka sudah pasti,
wajiblah ia mempelajarinya. Jikalau anda bertanya : "Bahwa tayammum itu
diperlukan untuk shalat, yang b'elum rnasuk waktunya. Maka bagaimanakah wajib
mengetahui ilmu bersuci untuk shalat yang belum wa'ib dan terkadang tidak akan
wajib?".
Aku menjawab: "Orang yang antaranya dan Ka'bah terdapat
suatu jarak jauh, yang tidak tertempuh, selain dalam satu tahun. Maka wajiblah
ia memulai perjalanan sebelum datangnya bulan hajji. Dan wajiblah-sudah
pasti-mempelajauri manasik (segala ibadah hajji), apabila ia menduga, bahwa
tidak akan memperoleh di jalan orang, yang dapat ia belajar padanya. Karena
dasarnya hidup dan terusnya hidup. Dan apa yang tidak sampai kepada yang wajib,
kecuali dengannya, maka itu menjadi wajib. Dan tiap-tiap yang diharapkan
wajibnya, secara kenyataan dan keras dugaan dan mempunyai syarat yang tidak
akan sampai kepadanya, kecuali dengan mendahulukan syarat tersebut atas waktu
wajibnya, maka wajiblah-sudah pasti-mendahulukan mempelajari syarat itu. Seperti
ilmu manasik sebelum waktu hajji dan sebelum mengerjakannya. Jadi, maka tidak
halal bagi musafir mengadakan perjalanan, selama ia tidak mempelajari sekadar
ini dari pengetahuan tayammum. Kalau ia ber'azam kepada rukh-shah-rukh-shah
yang lain, maka wajib juga mempelajari sekadar yang telah kami sebutkan dari
ilmu tayammum dan rukh-shah-rukh-shah iainnya. Sesungguhnya apabila tidak
mengetahui sekadar yang membolehkan rukh-shah bagi safar, niscaya tidak
memungkinkan dia menyingkatkan demikian.
Kalau anda bertanya : "Jikalau tidak dipelajarinya cara
mengerjakan shalat sunat, sedang dia itu berkendaraan atau berjalan kaki,
apakah yang akan mendatangkan melarat baginya? Kesudahannya, kalau ia
mengeijakan shalat, bahwa shalat itu tidak syah, dan shalat itu tidak wajib,
maka bagaimanakah pengetahuan mengenai shalat itu menjadi wajib?".
Maka aku menjawab : termasuk wajib, bahwa ia tidak
mengeijakan shalat sunat di atas sifat batal (sifat tidak syah). Maka
mengerjakan shalat sunat serta berhadats, bernajis, menghadap tidak ke qiblat
dan tanpa menyempurnakan syarat-syarat dan rukun-rukun shalat,
571.
|
Maka
haruslah ia mempeiajari apa yang memelihara a dari shalat sunat yang tidak syah
(yang fasid), untuk menjaga dari terjatuhnya ke dalam larangan. penjelasan pengetahuan mengenai apa yang
diringankan bagi musafir dalam perjalanan(safar
)nya!.
Bahagian
kedua : Tugas yang terus-menerus, disebabkan perjalanan (safar). Yaitu : ilmu
qiblat dan waktu.
Yang demikian itu wajib juga di tempat menetap (tidak dalam
perjalanan). Tetapi di tempat menetap, bagi orang yangmemadai dengan mihrab
yang telah disepakati untuk menunjukkan arah qiblat, maka tidak usah lagi
mencari qiblat. Begitu pula dengan muadz-dzin (orang yang mengerjakan adzan),
yang menjaga waktu shalat, maka tidak usah lagi mencari ilmu waktu.
Kadang-kadang orang musafir itu, meragukan kepadanya qiblat, Kadang-kadang
menyangsikan kepadanya waktu. Maka tidak boleh tidak, mengetahui tanda-tanda
yang menunjukkan qiblat dan waktu.
Adapun tanda-tanda qiblat, tiga perkara :
a. Tanda bumi, seperti mengambil tanda (dalil)
dengan bukit (gunung), desa dan sungai.
b. Tanda udara :
seperti mengambil tanda (dalil) dengan angin, dari utara dan selatan, timur dan
barat.c. Tanda langit : yaitu bintang-bintang.
Adapun tanda bumi dan udara, maka berlainan dengan
berlainanya negeri, Maka terkadang ada jalan, yang ada padanya bukityang
tinggi, yang diketahui bahwa bukit itu di kanan atau di kiri,di belakang atau di hadapannya orang yang menghadap qiblat.
Makahendaklah diketahui dan dipahami yang demikian!.
Begitu pula angin, Kadang-kadang ia menunjukkan pada
sebahagian negeri. Maka hendaklah yang demikian itu, dipahami! Dan kami tidak
sanggup menyelidiki yang demikian. Karena bagi masing-masing negeri dan iklim,
mempunyai hukum lain.
Adapun tanda langit, maka dalil-dalilnya terbagi kepada :
tandasiang dan tanda malam.
Tanda siang, yaitu : matahari. Maka tak boleh tidak dijaga, sebelum
keluar dari negerinya, bahwa matahari itu ketika tergelincir (zawal), di mana
ia berada. Apakah dia diantara dua bulu kening
572.
|
atau di atas mata kanan atau mata kiri atau ia cenderung
lebih banyak kepada dahi dari yang tadi. Sesungguhnya matahari pada
negeri-negeri bahagian utara tidaklah melampaui tempat-tempat tersebut. Apabila
dihafalnya yang demikian, maka manakala diketahui zawal dengan dalilnya yang
akan kami sebutkan, niscaya diketahuilah qiblat.
Begitu pula dijaga tempat matahari waktu 'Ashar. Karena pada
dua waktu ini (Dhuhur dan 'Ashar) diperlukan kepada qiblat dengan mud ah. Dan
ini juga, karena adanya berlainan dengan berlainannya negeri-negeri. Maka tidak
mungkin menyelidikinya. Adapun qiblat pada waktu Maghrib, maka dapat diketahui
dengan tempat terbenam matahari. Yang demikian itu, dengan menghafal, bahwa
matahari terbenam dari sebelah kanan orang yang menghadap qiblat. Atau
matahari itu condong kepada mukanya atau kuduknya.
Dan juga dengan syafaq (cahaya merah setelah terbenam
matahari) dapat diketahui qiblat untuk shalat Tsya*. Dan dengan tempat terbit
matahari, diketahui qiblat untuk shalat Shubuh. Maka seolah-olah matahari itu,
menunjukkan qiblat pada shalat lima waktu,
Tetapi yang demikian itu berlainan pada musim dingin dan
musim panas. Sesungguhnya tempat terbit dan terbenam matahari itu banyak,
walaupun terbatas pada dua arah. Maka tak boleh tidak mempelajari juga yang
demikian.
Tetapi, kadang-kadang shalat Maghrib dan 'Isya* dikerjakan
sesudah hilang syafaq. Maka tidak mungkin mendapat petunjuk kepada qiblat
dengan syafaq. Maka haruslah dijaga tempat quthub.Yaitu : bintang yang dinamai : anak domba (jad-yi).
Dia itu bintang beredar (kaukab), seperti bintang tetap.
Tidak terang gerakannya dari tempatnya. Yang demikian itu, adakalanya bintang
itu berada atas kuduk orang yang menghadap qiblat. Atau atas bahunya yang kanan
dari punggungnya. Atau bahunya yang kiri. Pada negeri-negeri bahagian Utara dan
Makkah dan pada negeri-negeri bahagian Selatan, seperti Yaman dan sekitamya.
Maka bintang itu berada pada hadapan orang yang menghadap qiblat. Maka
dipelajarilah yang demikian. Dan apa yang diketahui- nya pada negerinya, maka
hendaklah diperpegangi pada jalan selu- ruhnya. Kecuali apabila perjalanan itu
sudah jauh. Sesungguhnya jarak perjalanan (al-masafah) itu, apabila sudah jauh,
niscaya ber- lainanlah tempat berada matahari, tempat berada bintang quthub, tempat
matahari terbit dan terbenam. Kecuali, ia sampai di tengah
573.
|
perjalanannya ke beberapa negeri, maka seyogialah bertanya
kepada orang yang pandai atau mengintip bintang-bintang itu, di mana ia
menghadap mihrab, dari masjid-j ami' negeri tersebut. Sehingga jelaslah
kepadanya yang demikian. Maka manakala diketahui dalil- dalil itu, maka
diperpegangilah kepadanya.
Kalau telah nyata kepadanya, bahwa ia bersalah dari arah
qiblat kepada arah yang lain, dari arah-arah yang empat, maka seyogialah ia
men-qadla'-kan shalatnya. Jikalau berpaling dari hakikat yang berbetulan
qiblat, tetapi tidak keluar dari arah qiblat, niscaya tidaklah wajib
men-qadla'-kan shalat itu.
Dan sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat (khilaf)
diantara para ahli fiqh (fuqaha'), mengenai yang dituntut: arah qiblat atau
qiblat itu sendiri. Dan menyulitkan pengertian yang demikian kepada suatu
golongan, karena mereka mengatakan : "Jikalau kita mengatakan, bahwa yang
dituntut qiblat itu sendiri, maka kapan- kah tergambar ini serta negeri-negeri
itu berjauhan? Dan jikalau kita mengatakan, bahwa yang dituntut arahnya, maka
orang yang berdiri dalam masjid, jikalau ia menghadap arah Ka'bah, sedang
badannya keluar dari setentang Ka'bah, niscaya tidak khilaf (tidak ada
perbedaan pendapat) tentang tidak syah shalatnya. Dan para ahli fiqh itu telah
melebar-panjangkan tentang pen-ta'wil-an arti khilaf mengenai arah dan qiblat
itu sendiri ('ainnya). Pertama-tama, tak boleh tidak, memahami arti
menghadap 'ain’ dan menghadap arah (jihah).
Arti : menghadap 'ain (menghadap qiblat itu sendiri), ialah
berdiri pada suatu tempat, jikalau keluarlah garis lurus diantara kedua matanya
ke dinding Ka'bah, niscaya bersambunglah kepadanya. Dan berhasillah dari kedua
pihak garis, dua sudut yang bersamaan. Inilah gambarnya! Dan garis yang keluar
dari tempat berdiri orang yang bershalat, diumpamakan keluar dari antara dua
matanya. Maka inilah gambar menghadap 'ain qiblat ‘
574.
|
Adapun menghadap arah (jihah), maka bolehlah
padanya bersam bung ujung garis luar dari antara dua mata ke Ka'bah, tanpa
bersamaan dua sudut dari dua arah garis. Bahkan, kedua sudut itu tidak
bersamaan, kecuali apabila sampai garis itu kepada suatu titik tertentu, di
mana titik itu satu. Kalau garis ini dipanjangkan secara lurus, kepada
garis-garis yang lain, dari kanan atau kirinya, niscaya adalah salah satu dari
dua sudut itu lebih sempit. Lalu keluarlah garis itu daripada menghadap %ain.
Tetapi tidak keluar dari menghadap jihah itu. Karena kalau diumpamakan Ka'bah
pada tepi garis itu, niscaya adalah orang yang berdiri itu, menghadap ke arah
Ka'bah. Tidak ke ‘ain Ka'bah. Dan batas arah itu, ialah apa yang jatuh diantara
dua garis, yang disangka oleh orang yang berdiri itu sedang menghadap ke arah,
di mana kedua garis itu keluar dari dua mata. Lalu bertemulah tepi keduanya
dalam kepala diantara dua mata, di atas sudut yang berdiri. Maka apa yang jatuh
diantara dua garis yang keluar dari dua mata, itulah yang masuk dalam arah, Dan
luas diantara dua garis itu bertambah-tambah, dengan pan- jangnya dua garis dan
dengan jauhnya dari Ka'bah.
Apabila telah dipahami maksud 'ain dan jihah, maka kami kata
kan, bahwa yang syah (yang benar) pada kami pada mem-fatwa- kannya, ialah :
bahwa yang dituntut ialah : AIN, kalau Ka'bah itu mungkin dilihat. Dan kalau
memerlukan kepada mencari petunjuk kepada Ka'bah, karena sukar (tidak dapat)
melihatnya, maka memadailah menghadap : ARAH (jihah).
575.
|
Adapun dituntut menghadap 'ain ketika dapat dilihat, maka telah
ijma* ulama padanya. Adapun mencukupi dengan jihah (arah), ketika sukar
dilihat, maka telah dibuktikan oleh Al-Kitab (Al-Qur-an), Sunnah, perbuatan
Shahabat ra. dan qias. Adapun Al-Kitab, yaitu firman Allah Ta'ala :
وَمِنْ
حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
(Wa haitsu maa kuntum fawalluu wujuuhakum syathrah).Artinya :Dan di mana saja kamu berada hadapkanlah
mukamu ke arahnya (ke arah Al-Masjidil-haram)!". (S. Al-Baqarah, ayat
150).
Dan orang yang menghadap ke arah Ka'bah, dikatakan : telah me
malingkan (menghadapkan) mukanya ke arah Ka'bah. Adapun Sunnah, maka apa yang
diriwayatkan dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bahwa beliau bersabda kepada penduduk Madinah :
ما
بين المغرب والمشرق قبلة
(Maa bainal-maghribi wal-masyriqi qiblah).Artinya : "Apa yang diantara maghrib (tempat
matahari terbenam) dan Masyriq(tempat matahari terbit) adalah
"Qiblat". (l)
Maghrib (tempat matahari terbenam) itu berada di kanan penduduk
Madinah. Dan Masyriq (tempat matahari terbit) berada di kiri- nya. Maka
Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjadikan semua yang ada diantara keduanya itu,qiblat. Dan
luas Ka'bah, tidaklah mencukupi dengan apa yang ada diantara masyriq dan
maghrib. Hanya mencukupi dengan demikian itu, arahnya.
Bunyi hadits tadi diriwayatkan juga dari 'Umar dan puteranya
ra. Adapun perbuatan shahabat ra., ialah : apa yang diriwayatkan, bahwa
penduduk masjid Quba', berada dalam shalat Shubuh di Madinah dengan menghadap
ke-Baitul-maqdis, membelakangi Ka'bah. Karena Madinah adalah diantara keduanya
(antara Ka'bah di Makkah dan Baitul-maqdis). Lalu ada yang inengatakan kepada
mereka, bahwa sekarang qiblat sudah diputar ke Ka'bah. Maka mereka itu berputar
sedang shalat, tanpa mencari dalil (petunjuk). Dan tidak ada orang yang
menantang perbuatan mereka. Dan masjid mereka itu namakan : Dzal-Qiblatain
(Mempunyai dua Qiblat).
|
|
576.
|
Menghadap 'am dari Madinah ke Makkah, tidak diketahui,
kecuali dengan dalil-dalil hindasah (ilmu ukur), yang lamalah penilikan
kepadanya. Maka bagaimanakah dapat mereka mengetahui yang demikian, secara
jelas pada waktu sedang shalat dan dalam kegelapan malam?..
Dan juga ditunjukkan oleh perbuatan para shahabat ra., bahwa
mereka itu membangun masjid di keliling Makkah dan pada negeri- negeri Islam
lainnya. Dan mereka tidak sekali-kali mendatangkan seorang insinyur ketika
membangun mihrab -mihrabnya. Dan menghadap *ain itu, tidaklah dapat diketahui,
kecuali dengan tilikan halus ilmu ke insinyuran.
Adapun qias, yaitu : bahwa keperluan meminta kepada menghadap
qiblat dan membangun masjid-masjid di semua benua dibumi ini. Dan tidak mungkin
menghadap 'ain, kecuali dengan ilmu pengetahuan hindasah (ilmu ukur), yang
tidak disuruh Agama penelitian padanya. Bahkan, kadang-kadang mengejutkan hati,
untuk mendalami pengetahuannya. Maka bagaimanakah terdiri perintah Agama di
atasnya? Maka wajiblah mencukupi dengan arah saja, karena kesulitan itu.
Adapun dalil syahnya gambar yang telah kami gambarkan itu,
ialah terbatasnya penjuru dunia pada empat penjuru. Maka sabdaNabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tentang adab membuang air (adab qadla'-hajat) :
لا
تستقبلوا بها القبلة ولا تستدبروها ولكن شرقوا أو غربوا
(Laa tastaqbiluu bihal-qiblata wa laa tastad-biruu haa wa
laakin syarriquu au gharribuu).
Artinya : "Janganlah kamu menghadap qiblat dan
membelakangi- nya dengan membuang air itu. Tetapi menghadaplah ke timur (tempat
matahari terbit) atau ke barat (tempat matahari terbe- nam)(1)
Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengucapkan hadits ini di Madinah. Dan tempat matahari terbit
(Timur) adalah di sebelah kiri orang yang menghadap qiblat. Dan tempat matahari
terbenam (Barat) adalah di sebelah kanannya. Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melarang dari dua arah dan memberi keringanan pada dua arah.
Dan jumlahnya adalah empat arah. Dan tidaklah terguris dalam hati seseorang,
bahwa penjuruvpenjuru dunia itu, mungkin diumpamakan enam atau tujuh atau
sepuluh. Dan bagaimanakah adanya, lalu apakah hukumnya yang selebih- nya itu?.
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan
Muslim dari Abi Ayyub.
|
577.
|
Tetapi penjuru-penjuru itu tetap pada kepercayaan,
berdasarkan kejadian manusia. Dan tidaklah bagi manusia, selain empat arah :
muka dan belakang, kanan dan kiri. Maka adalah arah-arah itu empat, dengan
menghubungkannya kepada manusia, menurut lahirnya pemandangan. Dan Agama tidak
dibina selain atas kepercayaan-kepercayaan yang seperti ini.
Maka jelaslah, bahwa yang dituntut ialah: arah. Dan itu
memudah- kan urusan ijtihad dan mengajarkan dalil-dalil yang menunjukkan
qiblat.
Adapun menghadap 'ain itu, maka sesungguhnya diketahui dengan
mengetahui kadar lintang Makkah dari Khattulistiwa' dan kadar derajat
panjangnya. Yaitu jauhnya dari awal bangunan di Timur. Kemudian, yang demikian
itu,memperkenalkan pula tempat tegak- nya orang yang mengerjakan shalat.
Kemudian, dibanding yang satu dengan lainnya. Dan memerlukan kepada alat-alat
dan sebab-musabab yang panjang padanya. Dan Agama tidaklah sekali-kali dibina
kepada yang demikian.
Jadi, kadar yang tidak boleh tidak mempelajariuya, dari
dalil-dalil qiblat. itu, ialah tempat adanya timur dan barat pada waktu zawal.
Dan tempat adanya matahari pada waktu 'Ashar. Maka dengan ini, gugurlah wajib
itu.
Kalau anda bertanya, bahwa jikalau musafir itu keluar
bermusafir, tanpa mengetahui yang demikian, adakah ia ma'shiat (berdosa)?. Maka
aku menjawab, jikalau jalan yang ditempuhnya pada desa- desa yang
sambung-menyambung, yang padanya ada mihrab- mihrab atau ada bersama dia dalam
perjalanan itu, seorang yang tahu dalil-dalil yang menunjukkan qiblat, yang
dapat dipercayai kejujuran dan keahliannya dan ia mampu mengikutinya, maka
tidaklah ia ma'shiat. Dan jikalau tidak ada suatu-pun yang demikian tadi
bersama dia, niscaya ma'shiatlah dia. Karena ia akan mela- kukan kewajiban
menghadap qiblat dan tidak memperoleh penge- tahuannya. Maka jadilah yang
demikian itu seperti pengetahuan tentang tayammum dan lainnya.
Jikalau dipelajarinya dalil-dalil itu dan meragukan kepadanya
hal qiblat, disebabkan mendung yang menggelapkan atau karena meninggalkan
mempelajarinya dan tidak diperolehnya dijalanan, orang yang akan di-ikutinya,
maka haruslah ia mengerjakan shalat dalam waktu, menurut keadaannya. Kemudian,
harus di-qadla'- kannya, baik ia betul atau salah.
578.
|
Orang buta, tidaklah baginya, selain daripada bertaqlid
(mengikut). Maka hendaklah ia mengikuti orang, yang dipercayai keagamaan- nya.
dan keahliannya, jikalau orang yang di-ikuti itu bersungguh- sungguh
(berijtihad) pada mencari qiblat. Dan kalau qiblat itu terang, maka
berpeganglah perkataan tiap-tiap orang yang jujur, yang menerangkan demikian.
Baik di kampung atau dalam perjalanan.
Dan tidaklah bagi orang buta dan orang bodoh, bermusafir
dalam kafilah, yang tak ada padanya orang yang mengetahui dalil-dalil yang
menunjukkan qiblat, di mana diperlukan kepada mencari dalil-dalil itu.
Sebagaimana tidak boleh bagi orang awam bermuqim di suatu negeri, yang tak ada
orang faqih (ahli ilmu fiqh), yang tahu dengan uraian Agama. Tetapi haruslah
berhijrah ke tempat yang didapati orang yang mengajarkan Agama kepadanya.
Demikian juga, jikalau tidak ada dalam negeri, selain seorang faqih yang fasiq.
Maka harus juga ia berhijrah. Karena tidak boleh berpegang kepada fatwa orang
fasiq itu. Keadilan (kejujuran) adalah syarat bolehnya menerima fatwa,
sebagaimana pada penerimaan riwayat hadits.
Kalau ahli fiqh itu terkenal ahli, peri keadaannya
tersembunyi tentang keadilan dan kefasiqannya, maka bolehlah kata-katanya
diterima, manakala tidak diperoleh orang yang terang adilnya. Karena orang yang
bermusafir dalam beberapa negeri, tidak akan sanggup menyelidiki keadilan
juru-juru fatwa. Kalau dilihatnya ahli fiqh itu memakai sutera atau pakaian
yang banyak suteranya atau mengendarai kuda, yang berpelana emas, maka telah
teranglah kefasiqan orang itu. Dan terlaranglah menerima kata-katanya. Maka
hendaklah dicari orang lain. Dan demikian juga apabila dilihatnya ahli fiqh itu
memakan pada meja makan sultan (penguasa), yang kebanyakan hartanya haram. Atau
ia mengambil banyak harta dari sultan atau sambung-bersambung, tanpa diketahuinya
bahwa harta yang diambilnya itu dari jalan halal.
Maka semua itu adalah fasiq, mencederakan keadilan dan
melarang untuk diterima fatwa, riwayat hadits dan kesaksiannya. Adapun
mengetahui waktu shalat yang lima itu, maka tidak boleh tidak, daripada
mengetahuinya.
579.
|
Maka waktu Dhuhur masuk dengan gelincir matahari (zawal).
Sesungguhnya tidak boleh tidak, bahwa semua orang pada permulaan siang hari,
mempunyai bayang-bayang yang panjang dipihak matahari terbenam. Kemudian
senantiasalah bayang-bayang itu berkurang, sampai kepada waktu zawal. Kemudian
bertambah sedikit demi sedikit pada pihak matahari terbit. Dan terus-menerus-
lah bertambah sampai kepada waktu matahari terbenam. Maka hendaklah orang,
musafir itu tegak berdiri, pada suatu tempat! Atau menegakkan kayu lurus dan
hendaklah memberi tanda atas kepala bayang-bayang. Kemudian hendaklah memperha-
tikan sesudah sesa'at! Jikalau dilihatnya bayang-bayang itu pada berkurang,
maka belumlah masuk waktu Dhuhur. Jalannya pada mengetahui yang demikian, ialah
bahwa ia mem- perhatikan di negeri itu, waktu adzannya juru adzan yang dapat
diperpegangi, akan bayang-bayang tegaknya. Kalau bayang-bayang- nya itu,
umpamanya, panjangnya tiga tapak kaki menurut ukuran tapak kakinya, maka
manakala jadi yang demikian dalam perjalanan dan bayang-bayang itu semakin
bertambah, niscaya bershalat Dhuhurlah ia. Dan kalau bertambah lagi enam tapak
kaki setengah, menurut tapak kakinya, niscaya masuklah waktu 'Ashar. Karena
bayang-bayang semua orang dengan ukuran tapak kakinya sendiri, adalah lebih
kurang enam setengah tapak kaki. Kemudian, bayang-bayang zawal itu tiap-tiap
hari bertambah, kalau perjalanannya dari permulaan musim panas. Dan kalau pada
permulaan musim dingin, maka tiap-tiap hari bayang-bayang itu berkurang.
Jalan yang terbaik untuk mengetahui bayang-bayang zawal,
ialah memakai timbangan. Maka hendaklah si musafir itu membawanya serta! Dan
hendaklah mempelajari perbedaan bayang-bayang dengan timbangan itu, pada
tiap-tiap waktu.
Kalau diketahui tempat matahari, dari orang yang menghadap
qiblat waktu zawal dan ia berada dalam perjalanan pada tempat, yang terang
qiblat padanya dengan dalil lain, maka mungkinlah ia mengetahui waktu dengan
matahari, dengan jadiriya matahari itu umpamanya diantara dua matanya, kalau
ada matahari itu seperti yang demikian pada negeri tersebut.
Adapun waktu Maghrib, maka masuk waktunya dengan terbenam
matahari. Tetapi, kadang-kadang bukit (gunung). mendindingi tempat terbenam
itu. Maka seyogialah melihat ke pihak matahari terbit. Manakala telah tampak
hitam di tepi langit, yang meninggi dari bumi sekadar tombak, maka masuklah
waktu Maghrib.
580
|
Adapun Isya’ diketahui waktunya dengan terbenamnya syafaq.
Yaitu : cahaya merah. Kalau cahaya merah itu terdinding dengan bukit (gunung),
maka waktu 'Isya' itu, dapat diketahui dengan tampak dan banyaknya
bintang-bintang kecil. Yang demikian itu, adalah sesudah hilangnya cahaya merah
tadi. Adapun Shubuh, maka mula-mulanya lahir memanjang seperti ekor serigala.
Dengan itu, beium dihukum waktu Shubuh sudah masuk, sehingga lalulah suatu
masa. Kemudian menampak putih melintang, yang tidak sukar mengenalnya dengan
mata, karena jelasnya.
Maka inilah awal waktu Shubuh! Nabi صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Tidaklah waktu Shubuh itu begini. Dan beliau
mengumpulkan diantara kedua tapak tangannya. Sesungguhnya waktu Shubuh begini.
Dan beliau meletakkan salah satu telunjuknya di atas yang lain dan mem bukakan
keduanya (1)
Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menunjukkan dengan yang demikian, bahwa cahaya putih itu
melintang.
Kadang-kadang diambil dalil Shubuh itu dengan kedudukan bulan
(2) Yang demikian adalah lebih kurang, tidak ada kepastian. Tetapi yang diperpegangi
ialah melihat bertebarnya cahaya putih melintang. Karena suatu golongan dari
para ahli hisab menyangka, bahwa Shubuh itu datang sebelum matahari, sebanyak
empat kedudukan bulan. Dan ini salah. Karena yang demikian itu, ialah : fajar
kadzib (fajar yang kemudian menghilang). Dan yang disebut- oleh ulama
muhaqqiqun (ulama yang mempunyai dalil dengan penyelidikan mendalam), bahwa
Shubuh itu mendahului dari terbit matahari dengan dua kedudukan bulan, inipun
lebih kurang. Bahkan, tidak dapat menjadi perpegangan. Karena setengah
tempat-tempat kedudukan bulan (al-manazil) itu, terbit melintang lagi miring.
Maka pendeklah masa terbitnya. Dan setengah tempat-tempat kedudukan bulan itu
tegak lurus. Maka panjanglah masa terbitnya.
Yang demikian itu berlain-lainan pada segala negeri, yang
panjanglah penjelasannya. Benar, tempat-tempat kedudukan bulan itu patut untuk
mengetahui dekat dan jauhnya waktu Shubuh. Ada pun permulaan waktu Shubuh yang
sebenarnya, tidaklah mungkin menentukannya sekali-kali, dengan dua tempat
kedudukan bulan itu.
(1) Dirawikan Ibnu^Majah dari Ibnu Mas'ud,
dengan isnad shahih.
|
(2) Kedudukan bulan (al-manazilil-qamariy ah
), adalah dua puluh delapan banyaknya yang ditempuh bulan dalam mengedari
bumi demikian tersebut dalam Ittihaf syarah Ihya', juzu' VI, halaman 452.
(Pent.).
|
581
|
Kesimpulannya, maka apabila tinggal empat tempat kedudukan
bulan sampai kepada terbitnya tanduk matahari (yang pertama- tama menampak dari
matahari) sekadar satu tempat bulan, diya- kinilah, bahwa itu fajar kadzib
(cahaya terang yang menghilang kemudian). Dan apabila tinggal mendekati dua
tempat bulan, diyakinilah terbitnya fajar shadiq (cahaya Shubuh yang tidak
menghilang lagi). Dan tinggallah diantara dua cahaya terang itu, lebih kurang
sekadar dua pertiga tempat kedudukan bulan, yang diragukan termasuk waktu
terang yang benar (fajar shadiq) atau waktu terang yang bohong (fajar kadzib).
Dan itulah permulaan lahir cahaya putih dan bertebarnya sebelum meluas
lintangnya. Maka dari waktu yang diragukan tadi (waktu syak), seyogialah orang
yang berpuasa, meninggalkan makan sahur. Dan orang yang bangun malam untuk
shalat, mendahulukan shalat witir atas waktu syak itu. Dan tidak mengeijakan
shalat Shubuh, sebelum berlalu masa yang diragukan tadi.
Apabila telah diyakini, maka dikeijakanlah shalat Shubuh. Dan
jikalau orang bermaksud menentukan dengan pasti, waktu yang tertentu, di mana
ia minum pada waktu itu selaku orang bersahur, dan berdiri sesudahnya dan
mengeijakan shalat Shubuh yang bersambungan dengan itu, niscaya tidaklah ia
sanggup kepada yang demikian. Maka tidaklah mengetahui yang demikian itu
sekali-kali berada pada kemampuan manusia. Tetapi tak boleh tidak ditang-
guhkan, demi berhenti sejenak dan karena keraguan. Dan tidaklah yang menjadi
pegangan, selain yang tampak di mata. Dan tiada yang menjadi pegangan pada yang
tampak itu, selain di atas cahaya yang menjadi bertebar pada lintang langit,
sehingga lahirlah permulaan warna kuning.
Mengenai ini, telah bersalah jumlah yang banyak dari manusia
yang mengeijakan shalat sebelum waktunya. Dibuktikan terhadap yang demikian,
oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu 'Isa At-Tirmidzi dalam JamVnya (yang
terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi) dengan disanadkaimya dari Thalq bin *Ali,
bahwa Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
582
|
Mengenai ini, telah bersalah jumlah yang banyak dari manusia
yang mengeijakan shalat sebelum waktunya. Dibuktikan terhadap yang demikian,
oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu 'Isa At-Tirmidzi dalam JamVnya (yang
terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi) dengan disanadkaimya dari Thalq bin *Ali,
bahwa Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
قال
كلوا واشربوا ولا يهيبنكم الساطع المصعد وكلوا واشربوا حتى يعترض لكم الأحمر
(Kuluu wasyrabuu wa laa yahibannakumus-saathi-'ul-musha'-'idu wa kuluu wasyrabuu hatta ya'-taridla lakumul-ahmar).Artinya : "Makanlah dan minumlah dan janganlah mengejutkan kamu dengan cahaya terang yang meninggi naik! Makanlah dan minumlah sehingga melintanglah bagimu cahaya merah!". (1) Dan ini adalah penegasan tentang menjaga cahaya merah itu. Abu 'Isa At-Tirmidzi berkata : "Dalam bab hadits ini tersebut sanadnya dari 'Uda bin Hatim, Abi Dzarr dan Samrah bin Jundub, Dan ini adalah hadits hasan (baik), gharib (tidak begitu terkenal). Menurut ahli ilmu hadits, hadits ini dapat diamalkan (dapat diam bil menjadi dalil)'
Ibnu 'Abbas ra. berkata : "Makanlah dan minumlah,
selama cahaya itu terang cemerlang!".Pengarang Al-Gharibain (2)
berkata : "Artinya : cahaya itu memanjang".
Jadi, tiada seyogialah berpegang, kecuali di atas menampaknya
cahaya kuning. Dan seolah-olah cahaya kuning itu permulaan cahaya merah.
Sesungguhnya orang musafir itu memerlukan kepada mengenal
waktu. Karena kadang-kadang ia menyegerakan shalat sebelum berangkat. Sehingga
tidak menyusahkannya lagi untuk turun dari kendaraan. Atau ia menyegerakan
shalat sebelum tidur, sehingga ia dapat beristirahat.
Kalau ia menetapkan dirinya untuk mengemudiankan shalat,
sampai kepada waktu yang diyakininya, maka ia membolehkan dirinya kehilangan
keutamaan awal waktu. Dan menanggung kepayahan turun dari kendaraan dan
kepayahan melambatkan tidur sampai kepada keyakinan, yang tidak memerlukan
kepada mempelajari ilmu waktu. Sesungguhnya yang sulit, ialah : awal waktu,
tidak di tengah-tengahnya.
Telah tammat "Kitab Adab Safar". Dan akan di-iringi
oleh "Kitab Adab Mendengar dan Kesannya Di hati.
(1) Dirawikan Abu 'Isa At-Tirmidzi, katanya,
hasan gharib.
|
(2) Al-Gharibain, artinya : yang gharib dari
Al-Qur-an dan dari Al-Hadits. Pengarang- nya, ialah: Abu 'Ubaid Ahmad bin
Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasyani (Pent.).
|
583
|