Adab Bermusafir


KITAB ADAB BERJALAN JAUH (BERMUSYAFIR)(J2K07)

(Yaitu : Kitab Ketujuh dari "Bahagian Adat-Kebiasaan (RubuAl-Adat)" dari "Kitab Ihya' Ulumiddin").

Segala pujian bagi Allah, yang membuka mata-hati wali-wali-Nya dengan hikmat dan ibarat. Dan mengikhlaskan cita-cita mereka, untuk menyaksikan keajaiban. ciptaan-Nya, di tempat tinggal dan; diperjalanan. Maka jadilah mereka itu rela dengan yang berlatkuj menurut taqdir. Mereka membersihkan hati mereka, daripada berf paling kepada segala yang disenangi mata, selain di atas jalan meiigr ambil ibarat dengan apa yang dituangkannya dalam segala petunjvik penglihatan dan perjalanan pemikiran. Maka samalah pada mereka,. daratan dan lautan, dataran yang mudah dilalui dan yang menakutkan, desa dan kota.


Dan shalawat kepada Muhammad penghulu manusia dan kepada keluarganya dan shahabatnya, yang mengikuti jejaknya tentang budi-pekerti dan perjalanan hidup. Dan anugerahilah kiranya kesejahteraan yang banyak kepada mereka!.


Amma ba'-du, kemudian dari itu, maka berjalan jauh (bermusyafir); adalah wasilah (jalan) kepada kelepasan dari sesuatu, yang kita; melarikan diri daripadanya. Atau sampai kepada sesuatu yang dicari dan di-ingini kepadanya. Dan berjalan jauh (bermusyafir) itu. dua : bermusyafir dengan' badan dzahir dari tempat ketetapan dan tanah air ke padang Sahara dan tanah luas. Dan bermusyafir dengari' jalannya hati dari orang-orang yang terendah tingkat, kekerajaan langit. .


Dan yang termulia dari kedua macam perjalanan itu, ialah : perja­lanan bathin. Sesungguhnya orang yang berhenti pada keadaan yang didapatinya sesudah lahir ke dunia, yang membeku terhadap apa yang diperolehnya, dengan bertaqlid (mengikut saja) kepada bapa dan nenek moyang, maka orang itu sudah seharusnya inem-, peroleh rendah deiajat. Merasa cukup dengan kurang pangkat Dan menerima gantian dari lapangan luas, sorga yang lebarnya langit dan bumi, dengan kegelapan penjara dan kesempitan tahanan. Dari sungguh benarlah kata penyair :
517

Tidaklah aku melihat kekurangan
Pada kekurangan kekurangan manusia
Seperti kekurangan orang orang yang mempunyai kemampuan,
untuk memperoleh derajat sempurna.


Kecuali, bahwa perjalanan ini (perjalanan bathin), manakala yang menghadapinya berada dalam bahaya yang mengkuatirkan, maka  tidaklah ia mencukupi. tanpa penunjuk jalan dan pelindung. Maka dikehendaki oleh kekaburan jalan, ketiadaan pelindung dan penunjuk dan perasaan puas bagi orang-orang yang berjalan itu, dengan nasib yang menurun lagi sedikit, tanpa bahagian yang banyak, yang telah terhapus jalan-jalannya. Maka terputuslah teman-teman pada perjalanan itu. Dan sepilah tempat-tempat yang menghiburkan bagi diri, alarn tinggi dan segeriap penjuru, dari orang-orang yang berkeliling. Dan kepada perjalanan yang tersebut, diserukan oleh Allah swt. dengan firman-Nya :
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
(Sanuriihim aayaatinaa fil-aafaaqi wa fii anfusihim).
Artinya : "Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran. Kami disegenap penjuru (dunia) ini dan pada diri mereka sendiri(S. Ha Mim (Fushilat), ayat 53). ,dan dengan firman-Nya:
قَالُوا كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلُونَ
(Wafilrardli aayaatun lil-muuqiniina wa fii anfusikum afalaa tub- shiruun).Artinya : "Dan di bumi ada tanda-tanda untuk orang-orang yang yakin dalam kepercayaannya. Dan juga pada diri kamu sendiri mehgapa tidak kamu perhatikan. (S. Adz-Dzariyat, ayat 30 - 31). Dan duduk, tidak melakukan perjalanan ini, ditantang dengan firman-Nya :
وَإِنَّكُمْ لَتَمُرُّونَ عَلَيْهِمْ مُصْبِحِينَ
وَبِاللَّيْلِ أَفَلا تَعْقِلُونَ
 (Wa innakum latamurruuna 'alaihim mushbihiina wa bil-laili afalaa ta'quluun).
Artinya : "Dan sesungguhnya kamu dalam perjalananmu melalui (bekas-bekas) mereka waktu pagi-pagi. Dan waktu malam. Tiadakah kamu mengerti (S. Ash-Shaffat, ayat 137 - 138).

518

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ
(Wa ka-ayyin min aayatih fis-samaawaati wal-ardli yamUrmmaf 'alaihaa wa hum 'anhaa mii'-ridluun).Artinya : "Dari banyaklah keterangan-keterangan di langit dan bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya?(S. Yusuf, ayat 105).

Maka orang yang menyenangkannya perjalanan ini, niscaya senentiasa dalam perjalanannya itu, terhibur dalam sorga, yang lintang nya langit dan bumi. Dia tetap dengan tubuhnya tiada bergerak menetap di tanah air.

Itulah perjalanan, yang tiada sempit padanya, tempat-tempat minum dan tempat-tempat singgahan. Dan tiada memperoleh kemelaratan padanya oleh berdesak-desakan dan berdatangan orang banyak. Bahkan bertambah dengari banyaknya musyafir-musyafir itu, harta-harta ghanimah (harta rampasan). Dan berlipat-gandalah; buah dan faedahnya.


Maka harta-harta rampasan itu kekal, tiada terlarang. Buahriya bertambah-tambah, tiada putus-putusnya. Kecuali apabila nyata pada inusyafir itu terputus perjalanannya dan terhenti gerakannyav Maka Allah tiada akan merobah apa yang ada pada sesuatu kaum J sehingga mereka itu merobah apa yang ada pada diri mereka itu sendiri. Dan apabila mereka'berjalan sesat, niscaya disesatkan oleh Allah hati mereka. Dan tidaklah Allah menganiaya hamba-hamba|; Nya, Tetapi mereka itu menganiaya dirinya sendiri. Dan orang yang tidak menjadikan dirinya mengembara pada lapangan ini dan berkeliling pada tempat-tempat penghiburan dari kebirii ini, kadang-kadang ia bermusyafir dengan badan dzahimya dalam masa panjang, dalam kilometer yang banyak jumlahnya, di mana ia memperoleh pemiagaan untuk dunia atau simpanan untuk akhirat . Maka jikalau yang dicarinya itu ilmu dan agama atau kecukupani untuk pertolongan kepada agama, niscaya adalah ia dari orang- orang yang berjalan pada jalan akhirat. Dan pada perjalanannya itu mempunyai syarat-syarat dan adab-adab kesopanan. Jikalau disia- siakannya, niscaya ia termasuk orang-orang yang berbuat untuk dunia dan pengikut-perigikut syaitan. Dan jikalau ia rajin di atas syarat-syarat dan adab kesopanan itu, niscaya perjalanannya tiada terlepas dari faedah-faedah yang menghubungkannya dengan pekerja pekerja akhirat pada dua bab insyaa Allah Ta'ala.

519

Bab Pertama : tentang adab-adab kesopanan, dari permulaan berangkat sampai kepada akhir kembalinya, tentang niat perjalanan dan faedahnya. Dan pada Bab ini dua pasal


Bab Kedua : tentang hal-hal yang tak boleh tidak bagi seorang musyafir, mempelajarinya, dari keentengan-keentengan (rukh-shah) perjalanan; penunjuk-penunjuk qiblat dan waktu-waktu shalat.


BAB PERTAMA Tentang adab dari permulaan berangkat sampai kepada akhir kembali tentang niat perjalanan dan faedahnya dan pada bab ini dua fasal


pasal pertama : Tentang faedah perjalanan, keutamaan dan niatnya.

Ketahuilah, bahwa bermusyafir (mengadakan perjalanan jauh) adalah semacam pergerakan badan dan percampur-bauran dengan manusia. Pada perjalanan itu banyak faedah dan mempunyai bahaya-bahaya, sebagaimana telah kami sebutkan pada "Kitab Berteman dan "Uzlah". Dan faedah-faedah yang menggerakkan kepada perjalanan itu, tidaklah terlepas dari lari atau mencari. Maka sesungguhnya seorang musyafir, adakalanya mempunyai hal yang menakutkan untuk menetap di tempatnya. Dan jikalau tidak ada yang. menakutkan itu, niscaya ia tiada mempunyai maksud untuk meng­adakan perjalanan tersebut. Dan adakalanya mempunyai maksud. dan yang dicari.


Melarikan diri dari tempat tinggal, adakalanya oleh suatu hal yang: merupakan bencana, pada urusan-urusan keduniaan, seperti : penyakit kolera dan penyakit menular, apabila timbul di negeri tempat tinggalnya. Atau karena ketakutan, disebabkan oleh fitniah atau permusuhan atau kemahalan harga.


Dan yang tersebut itu, adakalanya bersifat umum, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Atau bersifat khus us, umpamanya : orang yang mau dianiaya di suatu negeri. Lalu melarikan diri dan; negeri itu. Dan adakalanya oleh suatu hal yang merupakan bencana pada Agama. Umpamanya orang yang dicoba dalam negerinya dengan : kemegahan, harta dan meluasnya sebab-sebab yarig menghembatkannya daripada menjuruskan diri kepada Allah. Maka ia; memilih perantauan dan penyembunyian diri. Ia menjauhkari keluasan hidup dan kemegahan. Atau seperti orang yang diajak kepada perbuatan bid*ah dengan paksaan. Atau kepada menjabafe pekerjaan, yang tidak halal menyentuhkannya. Maka ia mencari? jalan untuk melarikan diri dari hal tersebut.

Adapun yang dicari, maka adakalanya hal duniawi, seperti harta dan kemegahan diri. Atau hal keagamaan. Dan keagamaan itu, adakalanya : ilmu dan adakalanya : amal (perbuatan).

521

Dan ilmu itu adakalanya salah satu dari ilmu-ilmu keagamaan. Dan adakalanya ilmu mengenai akhlaq dirinya sendiri dan sifat- sifatnya di atas jalan percobaan. Dan adakalanya ilmu tentang tanda-tanda kekuasaan Allah di bumi dan keajaiban-keajaibannya. Seperti : perjalanan Dzul-Qarnain dan pengelilingannya pada segala penjuru bumi.


Dan amal (perbuatan) itu, adakalanya ibadah dan adakalanya ziarah (kunjungan). Ibadah, yaitu : hajji, 'umrah dan jihad (fi sabiliilah). Dan ziarah juga termasuk amal yang mendekatkan diri kepada Allah. Kadang-kadang dimaksudkan dengan ziarah itu, tempat. Seperti : Makkah, Madinah, Baitul-maqdis dan benteng-benteng Maka mengikatkan diri kepada tempat-tempat tersebut, adalah mendekatkan diri kepada Allah.


Kadang-kadang dimaksudkan dengan ziarah itu, wali-wali dan ulama-ulama. Dan mereka itu, adakalanya: sudah meninggal. Maka diziarahilah kuburannya. Dan adakalanya : masih hidup. Maka diambil barakahlah dengan melihat wajahnya. Dan diperoleh faedah dari melihat keadaan mereka, akan kuatnya keinginan mengikuti mereka.


Maka inilah segala bahagian perjalanan jauh itu, Dan dikeluarkan dari bahagian ini beberapa bahagian : Bahagian Pertama : bermusyafir pada menuntut ilmu. Dan itu, adakalanya : wajib, Dan adakalanya : sunat Dan yang demikian itu, menurut keadaan ilmu itu, wajib atau sunat. Dan ilmu itu, adakalanya : ilmu tentang urusan Agamanya atau akhlaqnya ten tang dirinya atau tanda-tanda kekuasaan Allah di bumi-Nya. Dan Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
من خرج من بيته في طلب العلم فهو في سبيل الله حتى يرجع
(Man kharaja min baitihi fii thalabil-'ilmi fahuwa fii sabiilil-laahi hattaa yarji-'a).
Artinya : "Barangsiapa keluar dari rumahnya pada menuntut ilmu, maka ia pada jalan Allah (fi sabilillah) sehingga ia kembali ke rumahnya" (1)

(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Anas, hadits hasan gharib.
522.


Dan pada hadits lain, tersebut:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا إلى الجنة
(Man salaka thariiqan yaltamisu fuhi 'ilman sahhalallaahu lahu thariiqan ilal-jannah).
Artinya : "Barangsiapa berjalan. pada jalan, di mana ia mencari ilmu padanya, niscaya dimudahkan oleh Allah baginya jalan ke sorga" (1)


Dan Sa'id bin Al-Musayyab bermusyafir berhari-hari, mencari satu hadits. Asy-Sya'bi berkata : "Jikalau bermusyafir seorang laki-laki dari negeri Syam (Syria) ke negeri Yaman yang terjauh, mencari suatu kalimat yang menunjukkannya kepada petunjuk atau mengembalikannya dari kerendahan, niscaya tidaklah perjalanannya itu sia-sia".

Jabir bin Abdullah berangkat dari Madinah ke Mesir bersama sepu luh orang shahabat Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Mereka itu berjalan sebulan lamanya, mencari suatu hadits, yang sampai kepada mereka, dari Abdullah bin Anis Al-Anshari, yang diriwayatkannya dari Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sehingga mereka itu mendengar hadits itu daripadanya. Dan semua orang yang tersebut dalam ilmu pengetahuan, yang memperoleh ilmu pengetahuan itu, dari zaman shahabat sampai kepada zaman kita sekarang, bahwa ia tidak berhasil akan ilmu pengetahuan, itu, selain dengan bermusyafir. Dan ia bermusyafir karena ilmu pengetahuan itu.

Adapun mengetahuannya tentang dirinya sendiri dan akhlaqnya, maka yang demikian itu juga penting. Sesungguhnya jalan akhirat, tidak mungkin menjalaninya, selain dengan membaikkan dan mendidikkan budi Dan orang yang tiada menoleh kepada rahasia bathinya dan kekejian sifat-sifatnya, niscaya ia tidak mampu mensucikan hatinya daripadanya. Dan sesungguhnya perjalanan (safar), ialah yang membuka budi-pekerti (akhlaq) orang. Dan dengan perjalananlah, dikeluarkan oleh Allah yang tersembunyi pada langit dan bumi. Dan sesungguhnya perjalanan jauh (safar) disebut dalam bahasa Arab dengan kata-kata ; safar (di mana arti safar itu : membuka), karena ia membuka akhlaq orang yang ber­musyafir itu. Dan karena itulah Umar ra. bertanya kepada orang yang mengaku bersih (jujur) sebagian dari saksi-saksi : "Adakah engkau menemaninya dalam perjalanan (safar) yang dapat menjadi dalil atas kemuliaan akhlaq (budi-pekertinya)?"

(1) Dirawikan Muslim dan sudah diterangkan dahulu pada "Bab Ilmu".
523.


Orang itu menjawab : "Tidak!!".
Lalu 'Umar ra. menyambung : "Maka apakah yang memperlihatkan engkau mengenal orang itu!".
Bisyr berkata: "Wahai para qari' (ahli membaca Al-Qur-anul-karim)! Mengembaralah, niscaya kamu menjadi baik! Sesungguhnya air, apabila mengalir, niscaya baik. Dan apabila lama berhentinya pada suatu tempat, niscaya ia berobah".


Kesimpulannya, bahwa diri kita di tanah air serta tak adanya sebab-sebab, maka tidaklah lahir keburukan akhlaqnya. Karena diri kita itu dapat menjinakkan hatinya dengan yang bersesuaian bagi sifatnya, dari kebiasaan-kebiasaan yang menjadi kesukaan diri. Maka apabila ia menanggung kesulitan bermusyafir, ia meninggalkan kesukaannya yang sudah dibiasakan dan memperoleh percobaan dengan kesukaran di negeri asing, niscaya terbukalah segala mara- bahayanya. Dan diketahuilah kekurangan-kekurangannya. Lalu mungkinlah berusaha mengobatinya. Dan telah kami sebutkan pada "Kitab uzlah" akan faedah-faedah percampur-bauran dengan manusia (mukhalathah). Dan bermusyafir itu adalah mukhalathah, serta bertambah lagi pekerjaan dan penanggungan kesulitan. Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah (ayatullah) di bumi-Nya, maka pada menyaksikannya itu, banyak faedah bagi orang yang mempunyai bashirah (mata-hati). Pada bumi-Nya itu tempat- tempat yangberdekat-dekatan. Padanya bukit-bukit, padang Sahara, lautan, berbagai macam hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dan tidak satu macampun daripadanya, melainkan menjadi saksi bagi Allah dengan keesaan (wahdaniah). Dan mengucapkan kesucian (tasbih) bagi-Nya, dengan lidah yang lancar, yang tidak diketahui, selain oleh orang yang mencurahkan pendengarannya. Dan dia itu me nyaksikannya.


Adapun orang-orang yang ingkar, lalai dan tertipu dengan kilatan fatamorgana dari kembang dunia, maka orang-orang itu tidak melihat dan tidak mendengar, Karena mereka itu terasing dari pendengaran. Dan tertutup dari tanda-tanda Tuhannya. "Mereka mengetahui yang dzahir dari kehidupan duniawi dan lalai dari akhirat". (1)


Dan tidaklah dimaksudkan dengan pendengaran itu akan pende­ngaran dzahir. Karena orang-orang yang dimaksudkan dengan yang demikian, tidaklah mereka itu terasing dari pendengaran itu. Sesungguhnya yang dimaksudkan ialah : pendengaran bathin. Dan tidaklah diketahui dengan pendengaran dzahir, kecuali suara-suara. Dan sama padanya manusia dengan hewan-hewan yang lain,
 (1) Sesuai dengan bunyi S. Ar-Rum, ayat 7.
524.

sungguhnya yang dimaksudkan ialah : pendengaran bathin. Dan tidaklah diketahui dengan pendengaran dzahir, kecuali suara-suara. Dan sama padanya manusia dengan hewan-hewan yang lain,


Adapun pendengaran bathin, maka dapat diketahui isi pembicaraan keadaan (lisanul-hal), di mana itu adalah tuturan, dibalik tuturan kata yang diucapkan, yang menyerupai perkataan orang yang me- ngatakannya, sebagai ceritera perkataan tiang dan dinding Dinding itu berkata kepada tiang : "Mengapakah engkau menyusahkan aku?". Lalu tiang itu menjawab : "Tanyakanlah kepada orang yang menokokkan aku! Dan tidak ditinggalkannya aku di bela- kangku oleh batu yang ada di belakangku!"


Dan tidak dari satu dzarrah (atom)pun di langit dan di bumi, melainkan mempunyai berbagai macam yang menjadi saksi bagi Allah Ta'ala dengan ke-esaan (wahdaniah). Yaitu : pengesaannya. Dan berbagai macam yang menjadi saksi bagi Khaliqnya dengan ke-qudusan, yaitu : tasbihnya, Tetapi mereka itu tiada memahami tasbihnya itu. Karena mereka tiada bermusyafir dari kesempitan pendengaran dzahir, kelapangan luas pendengaran bathin. Dan dari ketidak-lancaran lisan pengucapan, kepada kelancaran lisan keadaan (lisanul-hal).

Jikalau mampulah tiap-tiap orang yang lemah, kepada perjalanan yang seperti ini, niscaya tidaklah Nabi Sulaiman as. dikhususkan dengan memahami tuturan burung. Dan sungguh tidaklah Nabi Musa. as, dikhususkan dengan mendengar firman (kalam) Allah Ta'ala yang wajib di-qudus-kan dari penyerupaan huruf dan suara.




Dan siapa yang bermusyafir, untuk menyelidiki kesaksian-kesaksian ini, dan baris-baris yang tertulis, dengan tulisan-tulisan ke-Tuhan-an (al-khuthut-al-ilahiyah) di atas lembaran-benda-benda keras (al-ja-madat), niscaya tidaklah lama perjalanannya itu dengan tubuh. Tetapi ia menetap pada suatu tempat dan menyelesaikan hatinya untuk bersenang-senang dengan mendengar alunan-suara ucapan tasbih dari satu-persatu dzarrah (atom). Maka tidak usahlah ia pulang pergi di sahara-sahara yang luas. Dan ia mempunyai kekayaan di kerajaan langit. Maka matahari, bulan dan bintang itu tunduk dengan perintah-Nya. Dan matahari, bulan dan bintang itu, bermusyafir kepada penglihatan orang-orang yang mempunyai mata-hati (bashirah), beberapa kali dalam sebulan dan setahun. Bahkan ia merangkak pada geraknya di atas waktu yang datang silih berganti.

525.

Maka setengah dari keganjilan, bahwa merangkak pada mengelilingi satu-persatu masjid, orang yang disuruh oleh Ka'bah, bahwa Ka'bah mengelilinginya. Dan setengah dari keganjilan, bahwa berkeliling pada segala sudud bumi, orang yang berkelilinglah padanya segala penjuru langit.


Kemudian, selama orang musyafir itu berkehendak kepada dilihat oleh alam kebesaran dan kenyataan ('alamul-mulki wasy-syahadah) dengan mata-dzahir, maka ia terhitung pada tempat pertama, dari tempat-tempat orang yang berjalan kepada Allah dan bermusyafir ke-hadlirat-Nya. Dan seolah-olah ia ber'tikaf (berhenti duduk) di atas pintu tanah air, yang tiada membawa ia berjalan ke angkasa luas. Dan tiada sebab untuk lamanya berdiri pada tempat ini, selain oleh ketakutan dan keteledoran.


Dan karena itulah, setengah orang-orang yang mempunyai hatinurani berkata : "Sesungguhnya manusia mengatakan : 'Bukalah matamu, sehingga kamu dapat melihat!' Dan aku mengatakan : "Tutuplah matamu, sehingga kamu melihat!".


Dan masing-masing dari dua perkataan ini benar. Kecuali, bahwa yang pertama itu menerangkan tempat pertama yang dekat dari tanah air. Dan yang kedua itu, menerangkan dari yang sesudahnya, dari tempat-tempat yang jauh dari tanah air, yang tidak diinjak, selain oleh orang yang melemparkan dirinya dalam bahaya besar. Dan orang yang lewat ke tempat itu, kadang-kadang sesat di jalan dan menderita bertahun-tahun. Kadang-kadang ia mengambil taufiq dengan tangannya. Maka taufiq itu menunjukkannya kepada jalan yang benar. Dan orang-orang yang binasa pada tempat yang menyesatkan itu, mereka itu kebanyakan dari orang-orang yang berkendaraan pada jalan ini. Tetapi orang-orang yang mengembara dengan nur taufiq (nurut-taufiq), niscaya memperoleh kemenangan dengan kenikmatan dan kerajaan yang tetap. Yaitu : orang-orang yang telah mendahului bagi mereka, kebaikan daripada Allah. Dan ambillah ibarat akan kerajaan ini, dengan kerajaan duniawi! Maka sesungguhnya sedikitlah yang mencari kerajaan ini, diban- dingkan kepada banyaknya makhluq.


Manakala besarlah yang dicari, niscaya sedikitlah yang membantu. Kemudian, orang yang binasa adalah lebih banyak daripada orang yang dapat memiliki. Dan tidaklah menghadapkan diri mencari kerajaan itu, orang yang lemah lagi pengecut. Karena besarnya bahaya dan lamanya kepayahan :

526.

Apabila jiwa itu besar.........
maka payahlah tubuh mencapai maksudnya ...................................................

Dan Allah Ta'ala tiada menyimpankan kemuliaan dan kerajaan pada Agama dan dunia, selain pada tempat bahaya. Kadang-kadang orang pengecut dan orang tele dor, menamakan kepengecutan dan keteledoran itu, dengan hati-hati dan waspada, sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair :

Orang-orang pengecut itu melihat, bahwa sifat pengecut adalah hati-hati Dan itu adalah tipuan bagi sifat, yang terkutuk sekali.Maka inilah hukum perjalanan dzahir, apabila dimaksudkan kepada perjalanan bathin, dengan membacakan tanda-tanda kebesaran Allah di bumi,Dan sekarang, marilah kita kembali kepada maksud, yang kita maksudkan dan marilah kita terangkan :

Bahagian Kedua : yaitu, bahwa ia bermusyafir karena ibadah. Adakalanya karena mengerjakan hajji atau berjuang fi sabilillah. Dan telah kami sebutkan keutamaan yang demikian, adab-adabnya dan amalannya, yang dzahir dan yang bathin pada "Kitab Rahasia Hajji Dan termasuk ke dalam jumlahnya, berziarah kekuburan nabi-nabi as., berziarah kekuburan shahabat-shahabat, para pengi- kut shahabat (tabi'in), ulama-ulama yang lain dan wali-wali. Dan semua orang yang diambil barakah dengan melihatnya pada masa hidupnya, adalah diambil barakah dengan menziarahi kuburannya sesudah wafatnya. Dan bolehlah melakukan perjalanan jauh untuk maksud ini. Dan tidaklah terlarang dari maksud ini, oleh sabda Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. :
لا تشد الرجال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى
(Laa tusyaddur-rihaalu Ulaa ilaa tsalaatsati masaajida, masjidil haadzaa, wal-masjidil-haraami wal-masjidil-aqshaa). Artinya : "Tiadalah diadakan perjalanan jauh, kecuali kepada tiga masjid : Masjidku ini (Masjid MadinahMasjidil-haram (di Makkah) dan Masjidil-aqsha (di Baitul-maqdis)"(1)

(1) Hadits ini telah diterangkan pada "Bab Hajji".
527.

Karena yang demikian itu mengenai masjid-masjid, maka yang- tersebut itu, samalah satu dengan lainnya, sesudah masjid-masjid yang tiga tadi. Jikalau tidaklah begitu, maka tiadalah berbeda antara berziarah kekuburan nabi-nabi, wali-wali dan ulama-ulama, pada pokok kelebihannya, walaupun yang demikian itu berlebih kurang' derajatnya dalam batas yang besar, menurut perbedaan derajat mereka pada sisi Allah,


Kesimpulannya, berziarah kepada orang hidup adalah lebih utama daripada berziarah kepada orang mati. Faedah dari menziarahi orang hidup, ialah mencari barakah do'a dan barakah memandang kepada wajahnya. Sesungguhnya memandang wajah ulama dan orang-orang shalih adalah ibadah. Dan juga padanya menggerakkan keinginan mengikuti jejaknya, Dan berakhlaq dengan akhlaq dan adab-kesopanannya.


Ini, selain dari apa yang ditunggu dari faedah-faedah ilmiah, yang diperoleh faedahnya dari diri dan perbuatan mereka. Bagaimana tidak! Semata-mata menziarahi teman pada jalan Allah (al-ihwan fillah الإخوان في الله ), ada padanya kelebihan, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu, pada "Kitab Berteman"Dalam Taurat, tersebut : "Berjalanlah empat mil! Kunjungilah saudaramu pada jalan Allah!Adapun tempat, maka tiadalah arti menziarahinya, selain dari masjid tiga itu dan selain dari benteng-benteng yang diperkuatkan untuk menghadapd musuh.Hadits yang tersebut di atas adalah jelas, tentang tidaklah diadakan perjalanan jauh (safar) untuk mencari barakah tempat, selain kepada masjid tiga itu. Dan telah kami sebutkan kelebihan dua tanah haram (tanah haram Makkah dan tanah haram Madinah) pada "Kitab Hajji Dan Baitul-maqdis juga mempunyai besar kelebihan.


Ibnu 'Umar ra. keluar dari Madinah menuju Baitul-maqdis. Sehing­ga ia mengerjakan shalat padanya shalat lima waktu. Kemudian ia kembali pulang beresoknya ke Madinah.


Nabi Sulaiman as. meminta kepada Tuhannya 'Azza wa Jalla : "Bahwa orang yang menuju masjid ini (masjid Baitul-maqdis), yang tidak dipentingkannya, selain bershalat padanya, bahwa : tidak Engkau memalingkan pandangan Engkau daripadanya, selama ia menetap dalam masjid itu sehingga ia keluar daripadanya. Dan bahwa Engkau keluarkan dia dari segala dosanya, seperti hari dila- hirkan oleh ibunya".


Maka  Allah Ta'ala memperkenankan permintaannya yang demikian.

528.

Bahagian Ketiga : bahwa perjalanan itu untuk melarikan diri da­ri suatu sebab yang mengganggu Agama. Dan yang demikian itu juga baik. Maka lari dari sesuatu yang tiada disanggupi, adalah termasuk sunnah (jalan yang ditempuh) nabi-nabi dan rasul-rasul. Setengah dari yang wajib melarikan diri daripadanya, ialah : diang- kat menjadi anggota pemerintahan, memperoleh kemegahan dan banyak sangkut-paut dan sebab-sebab dengan orang lain. Karena semuanya itu mengganggu kekosongan hati. Dan agama itu tidak sempurna, melainkan dengan hati yang kosong dari selain Allah. Jikalau tidak sempurna kosongnya, maka dengan kadar kekosongan itulah, tergambar bahwa ia bekerja pada agama. Dan tidaklah tergambar kekosongan hati dalam dunia, dari segala kepentingan duniawi dan keperluan-keperluannya yang penting. Tetapi yang tergambar, hanyalah peringanan dan pemberatannya, Dan terle- paslah dari kebinasaan orang-orang yang memandang ringan kepen­tingan dan keperluan duniawi. Dan binasalah orang-orang yang memandang beratnya (pentingnya). Dan segala pujian bagi Allah yang tidak menggantungkan kelepasan itu, dengan kekosongan mutlak dari segala dosa dan pikulan. Tetapi Ia menerima orang yang memandang ringannya kepentingan duniawi, dengan kurnia dan lengkap keluasan rahmat-Nya.


Dan orang yang memandang ringannya kepentingan duniawi itu, ialah orang yang tidaklah dunia itu menjadi cita-citanya yang terbesar. Dan yang demikian tidak mudah di tanah air bagi orang yang meluas kemegahannya dan banyak hubungannya. Maka tidaklah sempurna maksudnya, selain dengan mengasingkan dan menyem- bunyikan diri. Memutuskan segala hubungan yang tak dapat tidak daripadanya. Sehingga ia melatih dirinya pada waktu yang panjang. Kemudian, kadang-kadang ia ditolong oleh Allah dengan perto- longan-Nya. Lalu dianugerahkan-Nya nikmat kepadanya, dengan yang menguatkan keyakinannya. Dan meneteramkan hatinya. Maka samalah padanya di kampung dan diperjalanan. Dan dekat- mendekatilah padanya, adanya sebab-sebab dan hubungan-hubung- an itu atau tidak adanya. Maka tiada suatupun yang menghalangi- nya dari apa yang sedang dilaksanakannya, daripada dzikir kepada Allah.


Dan yang demikian, termasuk hal yang sukar sekali adanya. Bahkan biasanya pada hati itu, ialah kelemahan. Dan singkatnya dari ke­luasan bagi makhluq dan khaliq. Dan sesungguhnya yang berba- hagia dengan kekuatan ini, ialah nabi-nabi dan wali-wali. Dan sampai kepadanya dengan usaha adalah sukar sekali, meskipun ada

529.

juga jalan masuk untuk bersungguh-sungguh dan berusaha padanya. Dan contoh lebih kurangnya kekuatan bathiniah padanya, adalah seperti lebih-kurangnya kekuatan dzahiriah pada anggota badan. Maka kadang-kadang seorang laki-laki yang kuat, yang mempunyai cukup kekuatan, sempurna bentuk tubuhnya, kuat urat-uratnya, kokoh bangunan dirinya, dapat membawa sendiri barang yang timbangannya seribu kati umpamanya.


Jikalau seorang lemah yang sakit bermaksud mencapai tingkatan- nya, dengan membiasakan membawa dan beransur-ansur padanya sedikit-sedikit, niscaya tiada akan sanggup kepada yang demikian. Tetapi membiasakan dan bersungguh-sungguh itu menambahkan kelcuatannya barang sekadarnya. Dan walaupun demikian itu tiada menyampaikannya kepada tingkat orang yang tersebut di atas. Maka tiada seyogialah ia meninggalkan kesungguhan ketika merasa berputus-asa dari tingkat yang tinggi itu. Maka sesungguhnya yang demikian, adalah bodoh sekali dan sesat benar. Sesungguhnya adalah dari kebiasaan ulama terdahulu (ulama salaf) direlai Allah kiranya mereka itu, berpisah dari tanah air, karena takut dari fitnah.


Sufyan Ats-Tsuri berkata : "Ini zaman buruk. Tak dapat dipercayai pada zaman ini orang yang lemah pikiran. Maka bagaimana pula terhadap orang-orang yang terkenai? Inilah zaman orang berpindah dari satu negeri kelain negeri. Tiap kali ia sudah dikenal pada suatu. tempat, lalu berpindah kelain tempat".


Abu Na'im berkata : "Aku melihat Sufyan Ats-Tsuri, telah meng- gantungkan mangkok airnya ditangannya. Dan meletakkan tempat airnya dari kulit, di punggungnya. Lalu aku bertanya : 'Mau ke mana, wahai Abu Abdillah?' Sufyan Ats-Tsuri menjawab : "Telah sampai berita kepadaku dari suatu desa, di mana harga barang-barangnya murah. Aku ingin tinggal di desa itu". Maka aku bertanya kepadanya : "Apakah akan engkau laksanakan demi­kian?'". Sufyan menjawab : "Ya! Apabila sampai kepadamu, bah­wa pada suatu desa, barang-barangnya murah, maka tinggallah di desa itu! Karena yang demikian itu, lebih menyelamatkan Agama- mu dan lebih menyedikitkan kesusahanmu". Inilah lari dari kemahaian harga namanya!.

Sirri As-Suqthi berkata kepada drang-orang shufi: "Apabila datang musim dingin, maka sesungguhnya telah datang bulan Adzar (bulan Maret). Kayu-kayuan berdaun. Dan baiklah bertebaran. Maka bertebaranlah kamu!".

530.

Orang-orang khawwash (orang-orang tertentu, kuat tha'atnya kepada Allah), tidak bermukim di suatu negeri melebihi daripada empat puluh hari. Orang-orang itu termasuk orang-orang yang tawakkal. Dan memandang bermukim itu, berpegang kepada sebab- sebab, yang merusakkan ke-tawakkal-an. Dan akan datang penjelasan rahasia-rahasia berpegang kepada sebab-sebab, pada "Kitab- Tawakkal" Insya Allah Ta'ala.


Bahagian Ke-empat : bermusyafir karena lari daripada yang meru sakkan pada badan, seperti : kolera. Atau pada harta, seperti : kemahalan harga Atau hal-hal yang berlaku yang seumpama dengan itu. Dan tidaklah berdosa pada yang demikian. Tetapi, kadang- kadang wajib lari pada setengah tempat. Dan kadang-kadang di sunatkan pada setengah tempat, Menurut wajibnya dan sunat- nya,apa yang teratur atasnya, dari faedah-faedahnya. Tetapi, dikecualikan daripada tadi, ialah penyakit holer a (penyakit tha'un), Maka tiada seyogialah lari daripadanya, karena datang larangannya*


Berkata Usamah bin Zaid : "Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bersabda : "Bahwa penyakit ini atau bahaya ini adalah azab. Telah diazabkan sebahagian ummat-ummat sebelum kamu dengan penyakit tersebut. Kemudian, ia kekal di bumi sesudahnya. Lalu sekali ia hilang dan datang lagi pada kali yang lain. Maka barangsiapa mendengar pe­nyakit itu pada suatu negeri, maka janganlah datang ke negeri itu! Dan barangsiapa berada di suatu negeri, di mana penyakit tersebut ada, maka janganlah ia dikeluarkan oleh larinya daripadanya(1)


A-isyah ra. berkata :"Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - bersabda :Sesungguhnya kehancuran ummatku, ialah dengan kena tusukan tombak (tha'n) dan penyakit kolera (tha’un)Lalu aku bertanya : "Tha'n, sesungguhnya sudah kami ketahui. Maka tha*un itu apa?' Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab : "Yaitu : suatu pe­nyakit, seperti penyakit unta, di mana penyakit itu mengambil mereka pada bahagian bawah perutnya yang halus dan lembut. Muslim yang meninggal daripadanya adalah syahid. Orang yang menetap di tempat itu, yang mencari pahala daripada Allah, adalah seperti orang yang mengikatkan dirinya pada jihad fi sabilillah Dan orang yang lari daripadanya, adalah seperti orang yang lari dari barisan perang". (2)

(1)                 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid.
(2)                Dirawikan Ahmad dan Ibnu Abdil-Bar, dengan isnad baik.
531.


Dari Makhul, di mana ia meriwayatkan dari Urnmu Aiman, yang mengatakan : "Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menasehatkan setengah shahabat- nya, dengan bersabda ; Janganlah engkau mensekutukan Allah dengan sesuatu, walaupun engkau disiksa atau dibakarI Tha'atilah akan ibu-bapamu! Jikalau keduanya menyuruhkan engkau supaya keluar dari tiap-tiap sesuatu yang menjadi kepunyaan engkau, maka keluarlah daripadanya! Janganlah engkau meninggalkan shalat dengan sengaja! Sesungguhnya barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka terlepaslah tanggungan Allah daripada­nya, Awaslah dari minuman khamar (arak)l Karena khamar itu kunci tiap-tiap kejahatan. Awaslah dariperbuatan ma'shiat! Kare­na perbuatan ma'shiat itu memarahkan Allah, Janganlah engkau lari dari barisan perang! Jikalau menimpa manusia oleh banyaknya kematian yang mendahsyatkan dan engkau berada pada merekai maka tetaplah pada mereka itu! Belanjailah menurut kesanggup- anmu kepada ahli baitmu (keluargamu)! Janganlah engkau angkat- kan tongkatmu kepada mereka! Takutlah mereka dengan Allaft"{. Segala hadits tadi menunjukkan kepada lari dari penyakit tha'un itu dilarang. Dan begitu pula datang kepadanya (1). Dan akan da­tang uraian itu pada "Kitab Tawakkal.


Inilah bahagian-bahagin safar (bermusyafir) itu! Dan dipahamkan daripadanya, bahwa safar itu terbagi kepada : tercela terpuji dan diperbolehkan (mubah).
Yang tercela terbagi kepada : haram. Seperti larinya budak dari rumah tuannya dan bermusyafir orang yang berbuat kedurhakaan, Dan kepada makruh, seperti keluar dari negeri yang diserang kolera. Dan yang terpuji terbagi kepada : wajib. Seperti mengerjakan ibadah hajji dan menuntut ilmu .yang menjadi wajib atas tiap-tiap muslim. Dan kepada : sunat, seperti menziarahi ulama dan men­ziarahi kuburannya.


Dan dari sebab-sebab ini, jelaslah niat pada perjalanan. Karena arti niat, ialah penggerakan sebab, yang menggerakkan dan pembang- kitan untuk menyambut panggilannya. Dan hendaklah niatnya itu akhirat dalam segala perjalanannya. Yang demikian itu dzahir pada: yang wajib dan yang sunat Dan mustahil pada: yang makruh dan yang terlarang.

(1) Tujuan dilarang keluar dan datang ke tempat yang diserang wabah Kolera, ialah hikmahnya dengan keluar itu membawa akibatnya menular ke negeri lain. Dan mendatangi negeri lain itu, kemungkinan bencana akan semakin meluas. (Pent.).
532.


Adapun yang diperbolehkan (mubah), maka tempat kembalinya, ialah kepada niat. Manakala maksudnya mencari harta, umpamanya itu, untuk memelihara diri daripada meminta-minta dan menjaga untuk menutup kehormatan diri isteri dan keluarga dan untuk bersedekah dengan yang berlebih daripada jumlah yang diperlukan, niscaya yang diperbolehkan (mubah) ini, disebabkan niat itu, men. jadi setengah dari amalan akhirat.


Dan jikalau ia keluar kepada mengerjakan ibadah hajji dan yang menggerakkannya ialah ria dan ingin didengar orang (sum'ah), niscaya keluarlah hajji itu dari amalan akhirat. Karena sabda Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.:
إنما الأعمال بالنيات
(Innamal a’maalu bin-niyyaati)                                                                             

Artinya : "Sesungguhnya segala amalan itu dengan niat".(1)
Maka sabdanya Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, : "Segala amalan dengan niat  adalah umum melengkapi pada yang wajib, yang sunat dan yang diper­bolehkan (mubah). Tidak yang dilarang. Karena niat itu tidaklah mempengaruhi untuk mengeluarkan dari adanya sebagian itu dari yang diterlarang



Setengah ulama terdahulu (salaf) berkata : "Sesungguhnya Allah Ta'ala mewakilkan malaikat, dengan orang-orang musyafir, yang akan memperhatikan maksud mereka. Maka masing-masing akan diberikan menurut niatnya. Maka orang yang niatnya itu dunia, niscaya ia diberikan dari dunia, Dan dikurangkan dari akhiratnya beberapa kali lipat. Dan dicerai-beraikan cita-citanya. Dan diba- nyakkan kesibukannya dengan kelobaan dan kegemaran kepada dunia. Dan orang yang niatnya akhirat, niscaya ia dianugerahkan dari mata-hati (bashirah), hikmah dan kecerdikan. Dan dibukakan baginya ingatan dan pengertian menurut kadar niatnya. Dan di- kumpulkan baginya cita-cita. Berdo'a baginya para malaikat. Dan para malaikat itu meminta ampunan dosa baginya". Adapun pandangan tentang : bermusyafirkah yang lebih utama atau menetap di tempat sendiri, maka menyerupailah yang demi­kian dengan pandangan, tentang manakah yang lebih utama, meng- asingkan diri ('uzlah) atau bercampur-baur (muhalathah). Dan kami telah menyebutkan jalannya pada "Kitab Al-'Uzlah". Maka hen- daklah dipahami ini dari yang tersebut itu!.

(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari 'Umar. Dari hadits ini sudah diterangkan dahulu.
533.


Sesungguhnya perjalanan jauh (safar) itu, adalah semacam percam pur-bauran dengan manusia, serta tambahan keletihan dan kesu- karan. Yang mencerai-beraikan cita-cita. Dan menghancur-lumatkan hati pada kebanyakan orang. Dan yang lebih utama mengenai ini, ialah apa yang lebih menolong kepada Agama. Dan kesudahan buah Agama di dunia ini, ialah menghasilkan pengenalan (ma'rifah) Allah Ta'ala. Dan menghasilkan kejinakan hati dengan berdzikir kepada Allah Ta'ala.Kejinakan hati itu berhasil dengan berkekalan dzikir. Dan ma'rifah itu berhasil dengan berkekalan fikir, Orang yang tiada mempelajari jalan fikir dan dzikir, niscaya tiada dapat bertekun pada keduanya.


Dan safar (bermusyafir) itu, ialah penolong kepada mempelajarinya pada langkah permulaan. Dan menetap di tempat sendiri, ialah penolong kepada mengamalkan ilmu itu pada langkah perighabisan. (1)


Adapun mengembara di bumi terus-menerus, adalah setengah dari­pada yang mengacaukan hati. Kecuali bagi orang-orang kuat. Kare­na seorang musyafir itu dan hartanya, berada pada kekacauan, kecuali apa yang dipeliharai Allah. Maka senantiasalah seorang musyafir itu, berkebimbangan hati. Sekali, dengan ketakutan ter hadap dirinya sendiri dan hartanya. Sekali, dengan sebab berpisah dengan apa yang dijinakkan hatinya dan dibiasakannya pada tem patnya sendiri.

Jikalau tidak ada harta yang ditakuti hilangnya, maka seorang musyafir itu tiada terlepas dari sifat kelobaan dan perhatian kepada orang lain. Sekali, lemahlah hatinya disebabkan kemiskinan. Sekali, kuatlah dengan kokohnya sebab-sebab kelobaan. Kemudian, peker- jaannya dengan turun-naik, mengganggu semua hal-ihwalnya.


Dari itu, maka tiada seyogialah seorang murid (orang yang mencari jalan akhirat) itu bermusyafir, selain pada menuntut ilmu. Atau melihat wajah syaikh (guru) yang akan di-ikuti jejaknya. Dan diperoleh faedah kegemaran pada kebajikan dengan melihat wajah- nya. Karena sesungguhnya, orang yang bekerja dengan dirinya (dengan terus-menerus dzikir dalam hati), memperoleh bashirah (mata-hati) padanya dan terbuka baginya jalan fikiran atau amalan, maka menetap di tempatnya sendiri adalah lebih utama baginya.

(1) Maksudnya : langkah permulaan ialah, bermusyafir untuk mencari ilmu dan seba gai langkah penghabisan (langkah berikutnya) ialah, mengamalkan ilmu itu. Dan berada di tempat sendiri, lebih menolong untuk itu (Pent.).
534.


Hanya, kebanyakan kaum shufi masa ini, tatkala bathinnya kosong dari fikiran-fikiran dan amalan-amalan yang halus dan tiada berhasil baginya kejinakan hati dengan Allah Ta'ala dan dengan dzikir kepada-Nya kepada khilwah dan mereka itu orang-o­rang penganggur, tiada berusaha dan bekerja, mereka telah menyukai pengangguran. Mereka merasa berat bekerja, Merasa sukar menempuh jalan usaha, Merasa lebih enak meminnta-minta dan meminta pertolongan pada orang. Merasa lebih baik tinggal di langgar-langgar yang dibangun untuk mereka di desa-desa, Mereka menggunakan tenaga-tenaga pelayan tanpa upah, di mana pelayan- pelayan itu bangun menegakkan pengkhidmatan bagi kaum shufi. Mereka memandang ringan akal pikiran dan agama pelayan-pelayan itu, di mana maksud mereka dengan menggunakan tenaga pelayan tadi, tidak lain melainkan ria (memperlihatkan kepada orang), sum’ah (didengar orang), berkembang suara diantara orang banyak dan memungut harta dengan jalan meminta, beralasan dengan banyak pengikut, Maka mereka di langgar-langgar itu sebenarnya tiada mempunyai wewenang yang ditha'ati, pengajaran yang ber manfa'at bagi murid-muridnya dan pencegahan yang memaksa mereka dari hal yang tiada layak. Mereka memakai pakaian yang berlapis-lapis, membuat tempat-tempat yang menghiburkan di pondok-pondok, Kadang-kadang mereka menghapal kata-kata yang terhias, berasal daripada orang-orang yang berbuat munkar. Lalu mereka memandang kepada dirinya sendiri dan telah menyerupai dengan kaum shufi pada pakaian, pengembaraan, kata-kata dan tutur ibarat pada sopan-santun yang dzahir dari perjalanan hidup mereka.



Maka mereka menyangka dirinya baik. Mereka mengira berbuat perbuatan yang baik. Dan meyakini bahwa tiap-tiap yang hitam itu biji tamar. Menyangka bahwa perkongsian pada dzahir itu,mengharuskan memperoleh pembahagian pada hakikat (bathin), Amat jauhlah yang demikian! Alangkah tebalnya kebodohan orang yang tidak dapat membedakan, antara lemak dan bengkak. Maka mereka itu adalah orang-orang yang dimarahi Allah. Sesungguhnya Allah Ta'ala memarahi pemuda yang kosong waktunya dari peker- jaan. Dan tiada membawa mereka kepada mengembara, selain oleh kemudaan dan kekosongan waktu dari pekerjaan. Kecuali orang yang bermusyafir untuk hajji atau 'umrah, dengan tidak ria dan sum'ah. Atau bermusyafir untuk melihat wajah syaikh, yang akan di-ikuti tentang ilmunya dan perjalanan hidupnya.

535.

Telah sunyilah negeri sekarang dari yang demikian. Urusan-urusan keagamaan semuanya telah rusak dan lemah, selain tashawwuf Tashawwuf itu telah tersapu secara keseluruhan dan telah batil. Karena ilmu pengetahuan itu tidak terbenam. prang yang berilmu (alim), walaupun ia orang berilmu yang jahat (ulama su'), maka sesungguhnya kerusakannya adalah pada tindak-tanduknya. Tidak pada ilmu pengetahuannya. Maka ia tetap sebagai seorang yang berilmu (orang 'alim), yang tiada berbuat menurut ilmunya. Amalan itu, lain dari ilmu,

Adapun tashawwuf, ialah ibarat dari menjuruskan hati kepada Allah Ta'ala. Dan memandang hina selain Allah- Hasilnya kembali kepada amalan hati dan anggota badan,Manakala telah rusak amal-perbuatan, niscaya hilanglah pokokDan pada perjalanan jauh orang-orang shufi itu, ada pandangan bagi ulama-ulama fiqh, di mana perjalanan itu meletihkan diri, tanpa faedah.Kadang-kadang dikatakan, bahwa perjalanan orang-orang tashaw­wuf itu dilarang Tetapi yang betul pada kami, ialah bahwa menghukumkannya dengan : dibolehkan (ibahah). Bahwa kesenangan yang diperoleh mereka, ialah memperoleh kelegaan dari bencana : menganggur dengan menyaksikan berbagai negeri, Dan kesenangan ini walaupun dia itu buruk, maka jiwa orang-orang yang bergerak untuk kesenangan ini juga buruk. Dan tiada mengapa melelahkan hewan buruk, untuk kesenangan buruk yang layak dan yang kem­bali kepadanya. Maka ia memperoleh kesakitan dan kelezatan. Dan fatwa itu menghendaki penghancuran orang awwam, pada pekerjaan-pekerjaan mubah, yang tak.ada manfa'at dan melarat padanya.


Maka orang-orang yang mengembara dalam hal yang tidak penting, pada Agama dan dunia, tetapi untuk kesenangan semata-mata di dalam negeri-negeri yang dikunjungi, adalah seperti binatang ternak yang pulang-pergi di padang sahara. Maka tiada mengapalah pengembaraan mereka itu, selama mereka mencegah kejahatannya pada manusia. Dan tidak meragukan orang banyak tentang tingkah lakunya.Sesungguhnya kema'shiatan mereka, ialah pada meragukan itu dan meminta-minta atas nama tashawwuf Dan memakan harta waqaf yang diwaqafkan kepada orang shufi. Karena yang dimaksudkan dengan orang shufi ialah : orang shalih, adil (jujur) pada agamanya,serta sifat-sifat yang lain di belakang ke-shalih-annya itu. Dan sekurahg-kurang sifat keadaan mereka tadi, ialah memakan harta sultan (penguasa). Dan'memakan harta haram itu termasuk dosa besar. Maka tak adalah padanya lagi keadilan dan ke-shalih-an serta memakan haram.


Jikalau dapatlah digambarkan orang shufi yang fasiq, niscaya dapat pula digambarkan orang shufi yang kafir dan ahli fiqh yang beragama Yahudi. Dan sebagaimana ahli fiqh (faqih) itu dimaksudkan seorang muslim tertentu, maka seorang shufipun dimaksudkan seorang adil tertentu. Yang tidak teledor pada agamanya, di atas kadar yang menghasilkan keadilan.


Begitu pula orang yang memandang kepada dzahiriah mereka dan tidak mengenal bathiniahnya dan memberikan kepada mereka itu hartanya, di atas jalan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Ta'ala, niscaya haramlah mereka itu mengambilnya. Dan adalah yang dimakan mereka itu haram.
536.

Dan yang aku maksudkan, ialah apabila yang memberi itu, di mana jikalau diketahuinya bathiniah keadaan mereka, niscaya tidaklah diberikannya. Maka mengambilkan harta dengan men-dzahir-kan ke-tashawwuf-an, tanpa bersifat dengan hakikat ke-tashawwuf-an yang sebenarnya, adalah seperti mengambilkan harta itu, dengan men-dzahir-kan keturunan Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. atas jalan menda'wakan dirinya keturunan Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan barangsiapa menda'wakan dirinya keturunan Saidina 'Ali ra. dan dia itu membohong dan ia diberikan oleh seorang muslim harta kepadanya, karena kecintaannya kepada keluarga Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dan jikalau yang memberi itu mengetahui bahwa yang menerima itu berdusta, niscaya tidak akan diberikan­nya sedikitpun, maka mengambilkan di atas cara yang demikian itu haram,


Begitu pula orang shufi. Dan karena inilah, orang-orang yang berhati-hati menjaga diri daripada memakan dengan nama Agama. Sesungguhnya orang yang bersangatan berhati-hati untuk Agama­nya, senantiasalah pada bathinnya hal-hal yang harus ditutup (aurat), yang jikalau terbukalah bagi orang yang ingin menolong nya, niscaya lemahlah keinginan orang itu untuk menolong. Maka tidak dapat dibantah, adalah mereka itu tidak membeli sesuatu oleh mereka itu sendiri, Karena takut nanti, mereka itu dima'afkan (tidak diminta harga atau dikurangi) karena keagamaan mereka. Maka jadilah mereka itu memakan disebabkan Agama.

537.

Mereka itu mewakilkan kepada orang yang akan membelikan untuk mereka. Dan mereka mensyaratkan kepada orang yang diwakilkan itu, bahwa tidak menerangkan, untuk siapa dibelinya barang itu.

Ya, sesungguhnya halal mengambil apa yang diberikan orang karena Agama, apabila yang mengambil itu, jikalau yang memberi mengetahui bathinnya, akan apa yang diketahui oleh Allah Ta'ala, niscaya tidaklah yang demikian itu membawa kelemahan pendapatnya tentang orang itu. Dan orang yang berakal lagi sadar itu, mengeta- hui dari dirinya sendiri bahwa yang demikian itu terlarang atau soal besar. Dan orang yang tertipu yang bodoh tentang dirinya, adalah lebih layak, bahwa ia bodoh tentang urusan Agamanya. Maka sesungguhnya barang yang terdekat kepada bentuknya, ialah hatinya. Apabila tersembunyi kepadanya keadaan hatinya, maka bagaimanakah terbuka baginya yang lain?

Orang yang mengenal akan hakikat ini, niscaya, sudah pasti tidak akan makan, selain dari usahanya sendiri. Supaya ia terpelihara dari marabahaya ini. Atau ia tidak akan makan, selain dari harta orang yang diketahuinya dengan pasti, bahwa jikalau terbukalah bagi orang itu bathinnya yang tersembunyi, niscaya tidak mencegah yang demikian kepada orang itu untuk menolongnya. Jikalau diperlukan oleh orang yang mencari yang halal dan orang yang menghendaki jalan akhirat, kepada mengambil harta orang lain, maka hendaklah ditegaskannya dan dikatakannya kepada orang yang punya harta itu : "Sesungguhnya jikalau engkau mem berikan kepadaku karena sesuatu yang engkau percaya padaku dari hal Agama, maka tidaklah aku berhak yang demikian. Dan jikalau Allah Ta'ala menyingkapkan yang tertutup padaku, niscaya engkau tidak akan melihat aku dengan mata penghormatan.


Bahkan engkau berkepercayaan, bahwa aku adalah makhluq yangterjahat atau dari orang-orang yang jahat'

Maka jikalau diberikannya juga serta yang demikian, maka hendak­lah diambilnya! Sesungguhnya kadang-kadang orang itu suka kepadanya akan keadaan yang begini. Yaitu : pengakuan terhadap dirinya sendiri dengan kelemahan Agama dan tidak berhaknya apa yang akan diambilnya itu,

Tetapi, di sini pengicuhan bagi diri sendiri yang nyata, dan peni- puan. Maka hendaklah diperhatikan! Yaitu : kadang-kadang ia mengatakan yang demikian, untuk mendzahirkan, bahwa ia me- nyerupai dengan orang-orang shalih, tentang mencela dan menghi- nakan dirinya dan memandangnya dengan mata cacian dan hinaan.
538.

Maka adalah perkataannya itu berbentuk cacian dan hinaan, sedahg bathin dan jiwanya adalah berbentuk pujian dan sanjungan. Maka berapa banyak orang yang mencela dirinya sendiri, padahal ia memujinya dengan mata celaan. Mencela diri dalam khilwah serta sendirian, adalah terpuji. Adapun mencela diri di hadapan orang banyak, maka adalah : Ria sebenarnya. Kecuali apabila ia membuat yang demikian, dengan cara yang mendatangkan keyakinanm bagi pendengar, bahwa ia telah berbuat dosa dan mengakui dosa itu. Dan yang demikian, termasuk mungkin memahamkannya dengan pertanda-pertanda keadaan. Dan mungkin meragukannya dengan pertanda-pertanda keadaan. Dan orang yang benar, diantara ia sendiri dan Allah Ta'ala, mengetahui bahwa penipuannya akan Allah 'Azza wa Jalla atau penipuannya akan dirinya sendiri, adalah mustahil Maka tiada sukar padanya menjaga diri, daripada hal-hal yang seperti demikian.Maka inilah yang merupakan perkataan tentang bermacam-macam safar, niat orang yang melakukan safar (orang yang bermusyafir) dan keutamaan safar!,


Pasal kedua : Tentang adab orang yang bermusyafir, dari permu­laan keberangkatannya, sampai  kepada penghabisan kembalinya. Yaitu : sebelas perkara :

Pertama : dimulai dengan mengembalikan segala hak orang yartg diambil dengan kedzaliman, membayar utang-utang dan menyedia- kan perbelanjaan untuk orang yang harus dibelanjainya. Dan mengembalikan segala simpanan orang kalau ada padanya. Dan tidak diambilnya untuk perbekalan dalam perjalanan, selain yang halal dan baik. Hendaklah perbekalan itu dibawa sekadar yang da­pat melapangkan kesulitan bagi teman-temannya. Ibnu 'Umar ra. berkata : "Setengah daripada kemuliaan seseorang, ialah baik perbekalannya dalam perjalanan (safarnya)". Tak boleh tidak dalam perjalanan itu, perkataan yang baik, mem berikan makanan kepada orang yang mendzahirkan kemuliaan budi dalam perjalanan. Sesungguhnya perjalanan itu mengeluarkan segala yang tersembunyi dalam bathin.


Siapa yang baik untuk menjadi temah dalam perjalanan, niscaya ia baik untuk menjadi teman di tempat sendiri (tidak dalam perja­lanan). Kadang-kadang baik di tempat sendiriy orang yang tidak baik dalam perjalanan. Dan karena itulah dikatakan : "Apabila seseorang dipujikan oleh orang-orang yang bergaul dengan dia, di tempat tinggalnya dan oleh teman-temannya dalam perjalanan, maka janganlah kamu ragu-ragu tentang baiknya!".

539.

Safar adalah setengah dari sebab-sebab yang membosankan. Orang yang baik budi-pekertinya pada waktu yang membosankan, adalah orang yang baik budi. Kalau tidak demikian, maka ketika memberi pertolongan yang bersesuaian dengan maksud, niscaya sedikitlah menampak keburukan budi.

Sesungguhnya ada yang mengatakan : "Tiga orang tidak dicaci pada keadaan yang membosankan, yaitu : orang yang berpuasa, orang yang sakit dan orang yang bermusyafir". Kesempurnaan baiknya budi orang yang bermusyafir itu, ialah berbuat baik kepada pelayannya. Menolong teman dengan segala kemungkinan. Dan berbelas-kasihan kepada semua orang yang berkeputusan, dengan tidak melewatinya, kecuali dengan memberi pertolongan kendaraan atau perbekalan atau berhenti karenanya.


Kesempurnaan yang demikian dengan teman-teman ialah dengan bersenda-gurau dan berbaik-baikan pada sebahagian waktu, tanpa ada kekejian dan kema'shiatan. Dan hendaklah yang demikian itu untuk obat kejemuan dan kesukaran safar!


Kedua : bahwa ia memilih teman. Maka janganlah keluar sendirian. Yang pertama teman, kemudian jalan yang akan ditempuh dalam perjalanan.Hendaklah teman itu orang yang menolongnya kepada Agama, Maka teman itu yang akan mengingatkannya apabila ia lupa* Yang akan menolong dan membantunya, apabila ia ingat. Sesungguhnya manusia itu adalah menurut agama temannya. Dan orang tidak dikenal, kecuali dengan temannya.


Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melarang bermusyafir sendirian(1)
Dan bersabda :
الثلاثة نفر
(Ats-tsalaa-tsatu nafarun)Artinya : Tiga orang itu satu kumpulan (2)

Dan bersabda pula :
إذا كنتم ثلاثة في السفر فأمروا أحدكم
(Idzaa kuntum tsalaatsatan fis-safari fa-amirruu ahadakum).Artinya ;Apabila kamu tiga orang dalam perjalanan, maka angkatlah seorang menjadi kepala (3)


Adalah mereka (para shahabat) berbuat demikian dan mengatakan: "Inilah amir (kepala) kami, yang diangkat oleh Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.". (4)

(1)                  Dirawikan Ahmad dari Ibnu  Umar, dengan sanad shahih.
(2)                 Menurut Al-Iraqi, ini adalah ucapan 'Ali ra. Dan bukan hadits.
(3)                 Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Mas'ud, dengan isnad baik.
(4)                 Dirawikan AI-Bazzar dan Al-Hakim dari 'Umar.
540.

Hendaklah diangkat menjadi kepala yang terbaik akhlaq, yang lebih belas-kasihan kepada teman, yang lebih cepat bertindak mengutamakan orang lain dan mencari persetujuan teman. Sesungguhnya diperlukan kepada kepala (amir), karena pendapat- pendapat itu berlainan pada menentukan tempat, jalan dan kemus- lihatan perjalanan. Dan tak ada aturan, selain pada sendirian. Dan tak ada kerusakan, selain pada banyak orang. Dan sesungguhnya teraturlah urusan alam ini, karena yang mengatur semuanya adalah Esa :
لو كان فيهما آلهة إلا الله لفسدتا
(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).Artinya :Jikalau ada pada langit dan bumi Tuhan-tuhan, selain Allah, niscaya rusaklah keduanya" (S. Al-Ambiyaa', ayat 22).


Manakala Yang Mengatur itu Esa, niscaya teraturlah urusan pengaturan. Dan apabila banyak yang mengatur, niscaya rusaklah urusan di tempat sendiri dan diperjalanan. Hanya di tempat penetapan (tempat berdomisili), tidaklah kosong dari kepala umum (amir 'amm), seperti kepala kampung. Dan kepala khusus (amir khash), seperti pemimpin rumah tangga.

Adapun perjalanan (safar), maka tidaklah tertentu padanya seorang kepala (amir), melainkan dengan pengangkatan. Karena itulah, pengangkatan kepala itu wajib. Supaya terkumpullah segala penda- pat yang bercerai-berai.

Kemudian, menjadi keharusan atas kepala, bahwa ia tidak mem- perhatikan, selain untuk kepfentingan orang banyak. Dan menjadi- kan dirinya untuk penjagaan mereka, sebagaimana dinuqilkan dari Abdullah Al-Maruzi, bahwa ia ditemani oleh Abu *Ali Ar-Ribathi. Lalu ia bertanya : "Bahwa engkau yang menjadi kepala atau aku?’’. Abu 'Ali Ar-Ribathi menjawab : "Engkau!".

Maka senantiasalah Abdullah memikul perbekalan untuk dirinya sendiri dan untuk Abu 'Ali di atas punggungnya. Pada suatu malamturunlah hujan. Lalu Abdullah berdiri sepanjang malam pada kepala temannya. Dan pada tangannya kain, di mana ia mencegah hujan daripada temannya itu. Setiap kali Abu 'Ali Ar-Ribathi berkata kepadanya : "Hai Abdullah, jangan engkau berbuat demikian!". Lalu Abdullah menjawab : "Apakah tidak engkau mengatakan, bahwa pimpinan diserahkan kepadaku? Maka janganlah engkau menetapkan sesuka hatimu atas diriku! Dan janganlah engkau menarik perkataanmu!' Sehingga berkatalah Abu 'Ali : "Aku ingin bahwa aku matidan tidak mengatakan kepa­da Abdullah : 'Engkau kepala!'

541.

Maka demikianlah seyogianya kepala itu.
Dan Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
خير الأصحاب أربعة
(Khairul-ash-haabi arba-'ah) =Artinya : "Sebaik-baik teman itu empat orang" (1)

Penentuan empat diantara bilangan-bilangan yang lain itu, tak boleh tidak, padanya ada faedah. Dan yang membekas pada pemikiran, ialah bahwa seorang musyafir itu, tidaklah terlepas dari seorang laki-laki yang memerlukan kepada pemeliharaan dan dari keperluan yang selalu diperlukannya.


Jikalau mereka itu tiga orang, niscaya adalah yang mengurus ke­perluan kesana-kemari, seorang. Maka ia kesana-kemari dalam perjalanan itu, tanpa teman. Sehingga ia tidak terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan hati. Karena ketiadaan kejinakan hati teman.


Jikalau yang kesana-kemari mengurus keperluan itu dua orang, niscaya yang menjadi penjaga bagi orang itu seorang. Maka tidak juga ia terlepas daripada bahaya dan daripada kepicikan dada (sesak pikiran).


Jadi, kurang daripada empat orang, tidaklah menyempurnakan maksud. Dan di atas dari empat orang adalah lebih. Maka mereka tiada dihimpunkan oleh suatu ikatan. Maka tiadalah terjalin dian­tara mereka kasih-mengasihani. Karena orang ke lima itu lebih daripada yang diperlukan. Dan orang yang tiada diperlukan itu, tidaklah menjurus cita-cita kepadanya. Lalu tiadalah sempurna pershahabatan bersama dia.


Ya, pada banyaknya teman-teman itu ada faedahnya, untuk kea- manan daripada segala yang ditakuti. Tetapi empat orang adalah lebih baik bagi pershahabatan khusus. Tidak bagi pershahabatan umum. Berapa banyak teman di jalan ketika banyaknya teman, yang tidak bercakap-cakap. Dan tidak bercampur-baur sampai kepada akhir perjalanan. Karena tidak diperlukan kepadanya.

Ketiga : mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman di tempat, kepada keluarga dan handai-tolan.Dan hendaklah mendo'a ketika berpisah itu, dengan do'a Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

(1) Dirawikan Abu Dawud dan lain-lain dari Ibnu 'Abbas.
542.

Setengah mereka itu berkata : "Aku menemani Abdullah bin 'Umar ra. dari Makkah ke Madinah- dijagakan Allah kiranya Madi- nah itu. Tatkala aku bermaksud berpisah dengan dia, lalu ia meng- ucapkan kata-kata perpisahan kepadaku dan berkata : 'Aku men- dengar Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : 'Luqman berkata : 'Bahwa Allah Ta'ala apabila menerima simpanan akan sesuatu, niscaya dipeliha- rakannya. Dan aku menyimpankan pada Allah agamamu, amanah- mu dan segala kesudahan amalan mu'(1)

Zaid bin Arqam meriwayatkan dari Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ* bahwa beliau bersabda :
إذا أراد أحدكم سفرا فليودع إخوانه فإن الله تعالى جاعل له في دعائهم البركة
(Idzaa araada ahadukum safaran fal-yuwad-di* ikhwaanahu fa- innallaaha Ta'aalaa jaa-Mlun lahu fii du'aa-ihimul-barakah),Artinya : ''Apabila bermaksud seseorang dari kamu bermusyafir maka hendaklah mengucapkan selamat tinggal kepada teman- temannya. Maka sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan barakah baginya pada doa mereka itu (2)



Dari 'Amr bin Syu'aib, dari bapaknya, dari neneknya, bahwa Ra­sulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila mengucapkan selamat jalan kepada seseorang, bersabda:
زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك إلى الخير
(Zawwadakallaahut-taqwaa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka ilal-khairi haitsu tawajjahta).Artinya : Diperbekali engkau kiranya oleh Allah dengan taqwa. Diampunkan-Nya dosa engkau. Dan dihadapkan-Nya engkau kepa­da kebajikap, ke mana saja engkau menuju (3)Inilah do'a orang yang tinggal untuk orang yang diucapkan selamat jalan.

Musa bin Wardan berkata: "Aku datangi Abu Hurairah ra.? di mana aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya, untuk perjalanan yang aku maksudkan. Lalu beliau berkata : "Apakah tidak aku ajarkan kamu, wahai anak saudaraku, sesuatu yang telah diajarkan aku oleh Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ketika mengucapkan kata perpisahan?". Maka aku menjawab : "Belum!'Maka beliau menyambung : "Katakanlah! Aku petaruhkan engkau

(1)                   Dirawikan An-Nasa-i dan Abu Dawud, isnadnya baik-
(2)                   Dirawikan Al-Kharaithi dari Zaid bin Arqam, sanad dla'if.
(3)                  Dirawikan Al-Kharaithi dan Al-Muhamili.
543.

Inilah do'a orang yang tinggal untuk orang yang diucapkan selamat jalan.

Musa bin Wardan berkata: "Aku datangi Abu Hurairah ra.? di mana aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya, untuk perjalanan yang aku maksudkan.Lalu beliau berkata : "Apakah tidak aku ajarkan kamu, wahai anak saudaraku, sesuatu yang telah diajarkan aku oleh Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ketika mengucapkan kata perpisahan?"Maka aku menjawab : "Belum!'Maka beliau menyambung : "Katakanlah! Aku petaruhkan engkau pada Allah, yang tidaklah hilang segala petaruhan pada-Nya". (1)



Dari Anas bin Malik ra., bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. lalu berkata : "Sesungguhnya aku bermaksud bermusyafir, maka berilah nasehat kepadaku!". Maka Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda kepadanya :
في حفظ الله وفي كنفه زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيث كنت أو أينما كنت
(Fii hifdhillaahi wafii kanafihi, zawwadakallaahut-taqwaa wa gha- fara dzanbaka wa wajjahaka lil-khairi haitsu kunta au ainamaa kunta).Artinya : "Dalam pemeliharaan dan perlindungan Allah! Diberilah kiranya perbekalan taqwa kepada engkau oleh Allah! DiampunkanNya dosa engkau! Dihadapkan-Nya engkau kepada kebajikah9 ke mana saja engkau berada atau di mana saja engkau berada" (2)

Perawi hadits ini ragu, apakah Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengucapkan : ke mana saja atau di mana saja.Seyogialah apabila mempertaruhkan kepada Allah Ta'ala, apa yang ditinggalkan, bahwa dipertaruhkannya keseluruhan, tidak ditentu- kan secara khusus. Diriwayatkan, bahwa 'Umar ra. memberikan kepada orang banyak bermacam-macam pemberian bagi mereka. Ketika datang kepadanya seorang laki-laki bersama puteranya. Lalu 'Umar ra. berkata kepada orang itu : "Belum pernah aku melihat seseorang yang serupa dengan seseorang, dari anak ini dengan engkau!".


Lalu orang itu berkata kepada 'Umar ra. : "Akan aku terangkan kepada engkau tentang anak ini sesuatu, wahai Amiml-mu'mihin! Sesungguhnya aku bermaksud bermusyafir dan ibunya waktu itu sedang mengandung dia. Maka ibunya mengatakan : "Engkau pergi dan meninggalkan aku dalam keadaan yang begini' Lalu aku menjawab : "Aku pertaruhkan pada Allah, apa yang dalam perut engkau".


Lalu aku pergi. Kemudian, aku kembali. Rupanya, ibunya telah meninggal dunia. Maka duduklah kami bercakap-cakap. Tiba-tiba kelihatan" api di atas kuburannya. Lalu Aku bertanya kepada orang banyak : "Apakah api itu?". Orang banyak menjawab : "Api itu dari kuburan si Anu, di mana kami melihatnya tiap-tiap malam".

(1)                  Hadits dari Abu Hurairah ini, dirawikan Ibnu Majah dan An-Nasa-i, dengan isnad
baik.
(2)                 Hadits ini dari Anas bin Malik, sudah diterangkan dahulu pada "Bab Hajji".
544.


Maka aku menyambung : "Demi Allah! Sesungguhnya wanita itu selalu berpuasa dan menegakkan shalat". Lalu aku mengambil cangkul, pergi sehingga sampailah kami ke kuburan itu. Lalu kami gali. Tiba-tiba kelihatan pelita. Dan tiba-tiba budak kecil ini merangkak-rangkak. Maka orang mengatakan kepadaku ; "Bahwa ini adalah petaruhmu (simpananmu). Jikalau engkau mempetaruhkan ibunya, niscaya engkau akan mendapatinya". Maka 'Umar ra. berkata : "Sesungguhnya budak ini amat serupa dengan engkau, dibandingkan burung gagak dengan burung gagak".

Ke-empat : bahwa ia mengerjakan shalat sebelum bermusafir,  selaku shalat  istikharah (shalat memohonkan kebajikan pada Tuhan). Sebagaimana telah kami terangkan pada "Kitab Shalat".


Dan waktu keluar untuk safar itu, dikerjakan shalat karena safar. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra-, bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ,, lalu berkata : "Sesungguhnya aku ber- nadzar akan bermusafir. Dan telah aku tuliskan wasiatku. Maka kepada siapakah dari orang tiga, aku serahkan wasiat itu? Kepada puteraku atau kepada saudaraku atau ayahku?".


Lalu Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjawab : "Tiadalah seorang hamba meninggalkan pada keluarganya suatu peninggalan, yang lebih disukai Allah, daripada empat raka'at shalat, yang dikerjakannya di rumahnya, apabila ia telah mengikatkan kain-kain perjalanannya. Ia membaca pada raka'at-raka'at itu surat "Al-Faatihah" dan "Qulhuwalaahu ahad".

Kemudian ia membaca do'a :
اللهم إني أتقرب بهن إليك فاخلفني بهن في أهلي ومالي فهي خليفته في أهله وماله وحرز حول داره حتى يرجع إلى أهله
(Allaahumma inni ataqarrabu bihinna ilaika fakh-lufnii bihinna fii ahlii wa maalii fahiya khalifatuhu fii ahlihi wa maalihi wa hirzun haula daarihi hattaa yarji-a ilaa ahlih).Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku menghampirkan diriku kepada-Mu dengan shalat empat raka'at ini. Maka gantikanlah akan aku dengan dia pada keluargaku dan hartaku! Maka shalat empat raka'at itu menjadi khalifah (penggantinya) pada keluarganya dan hartanya. Dan penjagaan keliling rumahnya. Sampai ia kembali kepada keluarganya" (1)

(1) Dirawikan Al-Kharaithi, Dan dari perawi-perawinya ada orang yang tidak dikenal.
545.


Kelima : apabila telah berada di pintu rumah, maka hendaklah

بسم الله توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله رب أعوذ بك أن أضل أو أضل أو أزل أو أزل أو أظلم أو أظلم أو أجهل أو يجهل علي

(Bismillaahi tawakkaltu *alallaahi, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahi, rabbi a-'udzu bika an udlilla au udlalla au uzilla au uzalla au adh-lima au udh-lama au ujhila au yujhalaalayya).Artinya : "Dengan nama Allah, Aku menyerah diri (bertawakkal) kepada Allah. Tiada daya dan upaya, melainkan dengan Allah. Wahai Tuhan! Aku berlindung dengan Engkau bahwa aku akan menyesatkan atau aku disesatkan. Bahwa aku akan memperosokkan orang atau aku diperosokkan orang. Bahwa aku akan mendzalimi orang atau aku didzalimi orang. Bahwa aku akan membodohi orang atau aku dibodohi orang.



Apabila ia berjalan, lalu membaca do'a, yang artinya :
اللهم بك انتشرت وعليك توكلت وبك اعتصمت وإليك توجهت اللهم أنت ثقتي وأنت رجائي فاكفني ما أهمني وما لا أهتم به وما أنت أعلم به مني عز جارك وجل ثناؤك ولا إله غيرك اللهم زودني التقوى واغفر لي ذنبي ووجهني للخير أينما توجهت

"Wahai Allah Tuhanku! Dengan Engkau, aku berkembang. Kepada Engkau, aku bertawakkal Dengan Engkau, aku berpegang. Dan kepada Engkau, aku menghadapkan wajahku, Wahai Allah Tuhanku! Engkaulah kepercayaanku dan Engkaulah harapanku! Maka cukupkanlah akan aku apa yang penting bagiku dan apa yang tidak aku pentingkan dan apa yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Mulialah tetangga Engkau dan agunglah pujian bagi Engkau, Dan tiadalah Tuhan selain Engkau! Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah bagiku perbekalan taqwa! Ampunilah dosaku! Dan hadapkanlah aku kepada kebajikan, ke mana saja aku menghadap!


Hendaklah do'a ini dibaca pada tiap-tiap tempat, di mana ia akan berangkat dari tempat itu!


Apabila telah mengendarai kendaraan, maka hendaklah dibaca : بسم الله وبالله والله أكبر توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم ما شاءالله كان وما لم يشأ لم يكن  سبحان الذي سخر لنا هذا وما كنا له مقرنين وإنا إلى ربنا لمنقلبون "Bismillaah wabillaah wallaahu akbar. Aku bertawakkal kepada Allah. Tiada day a dan tiada upaya, melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Apa yang dikehendaki oleh Allah, niscaya ada dan ctpa yang tiada dikehendaki-Nya, niscaya tidak ada. Maha Suci Allah yang telah mengadakan —semua — ini untuk kita dan kita tak dapat mengendalikannya (hanya dengan kurnia Tuhan). Dan sesungguhnya kita.akan kembali kepada Tuhan -kita!

546.

Apabila kendaraan telah lurus dibawahnya, maka hendaklah mem­baca :

الحمد لله الذي هدانا لهذا وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله اللهم أنت الحامل على الظهر وأنت المستعان على الأمور
(Alhamdulillaahil-ladzii hadaanaa lihaadzaa wa maa kunnaa linah- tadia laulaa an hadaanallaatu Allaahumma antal-haamilu 'aladh- dhahri wa antal-musta-'aanu *alal-umuur).Artinya : "Segala pujian bagi. Allah yang menunjukkan kita kepada pekerjaan ini. Dan sesungguhnya tidaklah kita memperoleh petunjuk jikalau tidak ditunjuki oleh Allah. Wahai Allah Tuhanku! Engkaulah yang membawa di atas punggung (kendaraan ini) dan Engkaulah yang menolong atas segala pekerjaan!".



Ke-enam : bahwa bertolak dari rumah pada pagi-pagi hari. Diriwa- yatkan oleh Jabir : "Bahwa Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berangkat pada hari Kamis. Beliau bermaksud keTabuk (1), Dan berangkat pada pagi-pagi hari.
اللهم بارك لأمتي في بكورها
(Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa).Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah kiranya barakah bagi ummatku pada ke-pagi-annya!". (2)

Disunatkan memulai keluar bermusyafir pada hari Kamis. Diri- wayatkan oleh Abdullah bin Ka'b bin Malik dari bapaknya, yang mengatakan : "Amat sedikitlah Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, keluar untuk ber­musyafir, selain pada hari Kamis". (3)


Diriwayatkan oleh Anas bahwa Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berdo'a :
اللهم بارك لأمتي في بكورها يوم السبت
(Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa yaumas-sabti).
Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah kiranya barakah bagi ummatku pada ke-pagiannya hari Sabtu Dan Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila mengutus suatu pasukan, maka diu- tuskannya pada pagi hari.

(1)                Tabuk : nam a suatu daerah di negeri Syam (Syria) * Pent.
(2)               Dirawikan Al-Kharaithi dari Shakhar Al-*Amiri. Kata At-Tirmidzi, hadits baik.
(3)               Dirawikan Al-Bazzar dan Al-Kharaithi, hadits dia'if.
547


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berdo'a :
اللهم بارك لأمتي في بكورها يوم خميسها
(Allaahumma baarik li-ummatii fii bukuurihaa yauma khamiisihaa).Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah kiranya bagi ummatku barakah pada ke-pagiannya pada hari Kamisnya!(1)


Abdullah bin Abbas berkata : "Apabila engkau mempunyai suatu keperluan kepada seseorang, maka mintalah keperluan itu daripada­nya, pada siang hari! Dan janganlah engkau minta pada malam hari! Dan mintalah pada pagi hari! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. berdo'a
اللهم بارك لأمتي في بكورها
: "Allaahumma baarik li-ummatii fii bu­kuurihaa". Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Anugerahilah kira­nya barakah bagi ummatku pada ke-pagi-annya. Dan tiada seyogialah bermusyafir sesudah terbit fajar dari hari Jum'ah. Maka ia menjadi ma'shiat dengan meninggalkan Jum'ah. Dan harinya disangkutkan kepada Jum'ah. Maka permulaannya hari itu adalah setengah daripada sebab-sebab wajibnya Jum'ah. Mengantarkan orang musyafir untuk perpisahan adalah disunatkan. Yaitu sunnah Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Beliau  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Sesungguhnya bahwa aku mengantarkan mujahid (pejuang) fi sabilillah, lalu aku mengelilinginya di atas kendaraannya pada pagi-pagi atau petang- petangy adalah lebih aku sukai dari dunia dan isinya(2)


Ketujuh : tidak berhenti, sebelum siangnya panas, Dan itu adalah sunat. Dan adalah kebanyakui perjalanannya itu pada malam. Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Haruslah kamu berjalan pada malam! Se­sungguhnya bumi itu dilipafkan di malam ftari, apa yang tidak dilipatkan di siang hari


Manakala telah dekat kepada tempat perhentian, maka hendaklah berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Yang memiliki tujuh petala langit dan apa dinaunginya. Yang memiliki tujuh petala bumi dan apa yang dibawanya. Yang memiliki sethan-sethan dan apa disesat- kannya. Yang memiliki segala angin dan apa yang diterbangkannya. Dan Yang memiliki segala laut dan apa yang dialhkannya. Aku bermohon kepada-Mu akan kebajikan tempat ini dan kebajikan penduduknya! Aku berlindung dengan-Mu daripada kejahatan tempat ini dan kejahatan isinya! Singkirkanlah daripadaku keja­hatan orang-orang jahat dari mereka!".



(1)                  Dirawikan Ibnu Majah dan Al-Kharaithi, isnad dla'if.
(2)                  Dirawikan Ibnu Majah dari Mu'adz bin Anas, sanad dia'if.
548.

Apabila telah bertempat pada suatu tempat, maka hendaklah mengerjakan shalat dua raka'at.

Kemudian berdo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan kalimah-kalimah Allah yang sempurna, yang tidak akan dilampaui oleh orang baik dan oleh orang jahat, daripada kejahatan apa yang dijadikan-Nya". Apabila telah datang malam, maka hendaklah berdo'a : "Wahai bumi Tuhanku! Tuhanmu Allah, Aku berlindung dengan Allah, daripada kejahatanmu, daripada kejahatan isimu dan daripada kejahatan apa-apa yang merangkak-rangkak di atasmu. Aku ber­lindung dengan Allah, daripada kejahatan tiap-tiap singa dan singa-singa, ular dan kala jengking, Dan dari kejahatan penduduk negeri, bapa dan anaknya. Kepunyaan Tuhan, apa yang mendiami pada malam dan siang. Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".


Manakala ia meninggi pada tempat yang tinggi dari bumi pada waktu perjalanan, maka seyogialah berdo'a : "Wahai Allah Tuhan ku! Bagi Engkaulah ketinggian di atas tiap-tiap ketinggian! Bagi Engkaulah pujian di atas tiap-tiap hal-keadaan!' Manakala menurun, niscaya membaca tasbih. Dan manakala takut kesepian dalam perjalanan, niscaya membaca :
سبحان الملك القدوس رب الملائكة والروح جللت السماوات بالعزة والجبروت
(Subhaanal-malikil-qudduusi, rabbil-malaaikati war-ruuhi, jallalatis- samaawaatu biMzzati wal-jabaruut).Artinya : "Maha Suci Tuhan Yang Memiliki, Yang Maha Suci, Tuhan bagi segala malaikat dan roh, agunglah segala langit dengan kemuliaan dan keperkasaan"


Kedelapan : bahwa menjaga diri di siang hari, Tidak berjalan sendi­rian, keluar dari rombongan (qafilah). Karena kadang-kadang dicuiik atau terputus dari teman. Dan di malam hari menjaga diri ketika tidur. Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila tidur pada permulaan malam dalam perjalanan, beliau merebahkan kedua lengannya. Dan kalau beliau tidur pada akhir malam, beliau menegakkan kedua lengannya dan meletakkan kepalanya pada tapak-tangannya, (1)

Maksudnya yang demikian itu, bahwa beliau tidak tidur nyenyak. Lalu terbit matahari dan beliau itu tidur tiada mengetahuinya. Lalu yang luput dari shalat, menjadi lebih utama daripada yang dicarinya dengan perjalanan.

(1) Hadits ini sudah diterangkan pada "Bab Hajji" dahulu.
549.

Disunatkan pada malam hari, berganti-gantian menjaga dengan teman-teman. Apabila tidur seorang, maka yang lain menjaga. Ini adalah sunnah Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan manakala musuh bermaksud kepadanya atau binatang buas pada malam atau siang hari, maka hendaklah, membaca Ayatul-kursi, Syahidallaahu, surat Al-Ikhlash (Qulhuwallaahu) dan AlMu'awwadzatain (Qui a-'uudzu birabbil falaq dan Qul a-'uudzu birabbin-naas). Dan hendaklah membaca; "Bismillaah", dengan nama Allah  Apa yang dikehendaki Allah. Tiada kekuatan, melainkan dengan Allah. Mencukupilah bagiku Allah. Aku bertawakkal kepada Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang mendatangkan segala kebajikan melainkan Allah. Apa yang dikehendaki Allah. Tiada yang menjauhkan yang jahat, mela­inkan Allah. Mencukupilah bagiku Allah dan memadailah. Allah mendengar siapa yang berdo'a. Tiadalah di belakang Allah tempat kesudahan. Dan tiadalah pada bukan Allah tempat meminta santunan. Telah ditetapkan oleh Allah.: "Sesungguhnya Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang! Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Kuasa. Aku membentengi diri dengan Allah Yang Maha Agung. Dan meminta pertolongan dengan Yang Hidup, Yang Berdiri sendiri, yang tidak mati. Wahai Allah Tuhanku! Jagailah kami dengan mata-Mu yang tiada tidur! Kelilingilah kami dengan keme gahan-Mu yang tidak dapat dipatahkan! Wahai Allah Tuhanku! Kasihanilah kami dengan qudrahrMu kepada kami! Maka kami tiada binasa. Engkaulah kepercayaan dan harapan kami. Wahai Allah Tuhanku! Lembutkanlah kepada kami hati hamba-hamba- Mu yang laki-laki dan yang wanita, dengan belas-kasihan dan kasih-sayang! Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari orang- orang yang pengasih".

Kesembilant : berbelas-kasihan kepada binatang kendaraan, kalau berkendaraan. Maka tidaklah dipikulkan ke atas binatang kendaraan itu, yang tidak disanggupinya. Dan tidak dipukul pada mukanya. Karena yang demikian itu dilarang. Dan tidak tidur di atas binatang kendaraan. Karena memberatkan dengan tidur dan menyakitkan binatang itu. Dan orang-orang wara' tidak tidur atas biantang kendaraan, kecuali tidur sejenak. Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda Janganlah kamu membuat punggung binatang kendaraanmu menjadi kursi". (1)

(1) Hadits ini sudah diterangkan pada "Bab Hajji", dahulu.
550.

Disunatkan turun dari binatang kendaraan pada pagi dan petang hari, yang menyenangkan binatang kendaraan dengan demikian. Itu adalah sunnah Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dan atsar dari ulama-ulama terdahulu (salaf), tentang itu.


Setengah salaf menyewa binatang kendaraan dari pemiliknya, de­ngan syarat dia tidak turun dan menyempurnakan sewanya, Kamudian ia turun, supaya dengan demikian, ia berbuat ihsan (berbuat baik) kepada binatang kendaraan. Maka ihsan itu diletakkan pada neraca amalan kebaikannya. Tidak pada neraca amalan kebaikan orang yang mempersewakan. Dan orang yang menyakiti binatang dengan pukulan atau beban yang tidak disanggupinya, niscaya dituntut pada hari qiyamat* Karena pada tiap-tiap jantung yang panas itu pahala.


Abud Darda ra, berkata kepada untanya ketika unta itu mati : Wahai unta! Janganlah engkau mengadukan aku kepada Tuhan- Mu! Sesungguhnya aku tidaklah memikulkan atasmu di atas kesanggupanmu "


Pada turun sesa'at itu, dua sedekah : Pertama : menyenangkan binatang kendaraan.
Kedua : mendatangkan kesenangan kepada hati orang yang mem perse wakan.


Dan ada lagi faedah lain. Yaitu : gerak badan, penggerakan dua kaki dan menjaga dari kekakuan anggota badan, disebabkan lama- nya berkendaraan. Dan seyogialah ia menetapkan bersama orang yang mempersewakan kendaraan itu, apa yang akan diperpikul- kannya atas kendaraan itu satu-persatu. Dan dikemukakannya barang itu kepada yang mempersewakan tadi. Dan ia menyewa binatang kendaraan tersebut, dengan 'aqad yang syah, Supaya tidak berkobar diantara keduanya pertengkaran yang menyakitkan hati. Dan membawa kepada bertambah banyaknya pembicaraan. Tiadalah diucapkan oleh hamba dari perkataan melainkan di sisinya ada pengawas yang siap sedia mencatatnya. Maka hendaklah dijaga daripada banyak perkataan dan pertengkaran dengan yang mempersewakan itu! Tiada seyogialah diperpikulkan sesuatu di luar dari yang disyaratkan, walau ringan sekalipun, Maka sesung­guhnya yang sedikit, akan menarik yang banyak. Dan barangsiapa berkeliling dikeliling yang dilarang, niscaya mungkin akan terpe- rosok ke dalamnya.

Seorang laki-laki berkata kepada Ibnul-Mubarak, di mana Ibnul- Mubarak itu di atas binatang kendaraan : "Bawalah sepotong kertas ini kepunyaanku, kepada si Anu!'

551.

Ibnjul-Mubarak menjawab : "Aku meminta izin yang mempersewakannya lebih dahulu. Sesungguhnya aku tidak membuat syarat dengan dia mengenai kertas ini",


Lihatlah, bagaimana ia tidak menoleh kepada perkataan fuqaha' (para ulama fiqh), di mana itu termasuk barang yang dima'afkan. Tetapi ia menempuh jalan wara


Kesepuluh : seyogialah dibawa serta enam perkara. 'A-isyah ra. berkata :"Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila bermusyafir, membawa serta lima perkara : kaca muka, botol (tempat) celak, gunting, sugi dan sisir (1)Pada lain riwayat dari 'A-isyah enam perkara : kaca muka botol minyak wangi, gunting, sugi, botol (tempat) celak dan sisir. Ummu Sa'd Al-Anshariyah berkata : "Tiada berpisah dengan Ra­sulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. dalam perjalanan : kaca muka dan tempat celak " (2)


Shuhaib berkata : "Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : Haruslah kamu memakai celak hitam ketika mau tidur Karena termasuk yang menambahkan penglihatan dan menumbuhkan bulu mata (3)


Diriwayatkan, bahwa Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bercelak tiga-tiga. Dan pada suatu riwayat, beliau bercelak untuk mata kanan tiga kali dan untuk mata kiri dua kali: (4)


Kaum shufi menambahkan : tempat air dan tali. Setengah kaum shufi berkata : "Apabila tidak ada bersama orang fakir itu tempat air dan tali, niscaya menunjukkan kepada kekurangan agamanya". Sesungguhnya mereka menambahkan ini, karena mereka melihat untuk penjagaan pada kesucian air dan pencucian kain. Tempat air itu untuk menjaga air yang suci. Dan. tali untuk mengeringkan kain yang dicuci dan untuk mengambil air dari sumur. Orang-orang dahulu mencukupkan saja dengan tayammum. Dan tidak memerlukan bagi dirinya mengambil air. Mereka tiada mem- perdulikan mengambil wudlu di selokan-selokan dan dari semlia air, selama mereka tiada yakin akan ke-najis-annya, Sehingga 'Umar ra. mengambil wudlu dari air dalam kendi seorang Nasrani. Mereka mencukupkan dengan tanah dan bukity tak usah tali. Lalu membentangkan kain yang dicuci di atas tanah dan bukit itu.

(1)                 Dirawikan Ath-Thabrani, Al-Baihaqi dan Al-Kharaithi, Semuanya dla'if.
(2)                 Dirawikan Al-Kharaithi, dengan isnad dlaif.
(3)                 Dirawikan Al-Kharaithi, dengan sanad dla’if.
(4)                 Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu 'Umar,
552.


Ini adalah, bid'ah tetapi bid'ah hasanah (bid'ah baik). Dan bid'ah tercela ialah yang berlawanan dengan sunnah yang sudah tetap. Adapun yang menolong kepada penjagaan Agama, maka dipandang perbuatan baik. Dan telah kami sebutkan hukum bersangatan pada bersuci pada "Kitab Bersuci’’ Sesungguhnya orang yang menjuruskan dirinya untuk urusan Agama, tiadalah seyogia memilih jalan yang mudah. Tetapi menjaga pada bersuci akan sesuatu, yang tidak mencegahkannya dari amal perbuatan yang lebih utama daripada­nya.


Ada ulama yang mengatakan, bahwa orang-orang khawwash (orang orang khushush), adalah setengah dari orang-orang yang tawakkal. Tiada berpisah daripadanya empat perkara dalam perjalanan dan di tempat kediamannya. Yaitu : tempat air, tali, penjahit dengan benang-benangnya dan gunting. Dan orang khuwwash itu berkata : "Yang tersebut tadi tidaklah termasuk dunia".


Kesebelas : tentang adab kembali dari safar (perjalanan). Adalah Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. apabila kembali dari peperangan atau hajji atau 'umrah atau lainnya, membaca takbir pada tiap-tiap tanah yang tinggi tiga kali takbir dan membaca :
لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير آيبون تائبون عابدون ساجدون لربنا حامدون صدق الله وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده           
(Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa 'alaa kulli syai-in qadiir, aa-yibuuna taaibuu-na ‘aabiduuna sa jiduuna lirabbinaa hamiduuna, shadaqallaahu wa'-dah, wa nashara-'abdah, wa hazarnal-ahzaaba wahdah).Artinya : "Tiada yang disembah, melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya, Baginya kerajaan dan bagi-Nya segala pujianAa MahaKuasa atas segala-galanya. Kami kembali, bertaubat, beribadah, bersujud kepada Tuhan kami dan memuji-Nya. Allah membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan segala golongan kafir oleh-Nya sendirian


Apabila telah mendekati kota tempat tinggalnya, maka hendaklah berdo'a :
اللهم اجعل لنا بها قرارا ورزقا حسنا
(Allaahummaj-'al lanaa bihaa qaraaran wa rizqan hasanan). Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Jadikanlah bagi kami padanya ketetapan dan rezeki yang baik

553.

Kemudian, hendaklah ia mengirim orang kepada keluarganya, yang akan menyampaikan berita gembira dengan kedatangannya. Supaya ia tidak datang kepada mereka itu dehgan cara tiba-tiba. Lalu melihat apa yang tiada disukainya. Dan tiada seyogialah baginya, mengetok pintu mereka itu pada malam hari. Karena ada larangan Agama tentang yang demikian.


Dan adalah Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Apabila da­tang dari perjalanan, beliau pertama-tama masuk masjid dan mengerjakan shalat dua raka'at. Kemudian baru masuk ke rumah. Dan apabila masuk, beliau membaca :
توبا توبا لربنا أوبا أوبا لا يغادر علينا حوبا
(Tauban-tauban lirabbinaa, auban-auban laa yughaadiru 'alainaa haubaa),Artinya : "Bertaubat-bertaubat kepada Tuhan kita. Kembali- kembali, yang tidak meninggalkan pada kita usaha ke-dosa-an(1)

Dan seyogialah membawa untuk keluarga dan kerabat, hadiah (buah tangan) makanan atau lainnya, sekadar yang memungkinkan. Dan itu adalah sunat.

Diriwayatkan dari hadits Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ., bahwa jikalau tiada diperoleh- nya sesuatu, maka hendaklah diletakkannya batu dalam keranjangnya! Dan seolah-olahnya ini bersangatan mendorong kepada sifat mulia yang tersebut. Karena semua mata memperhatikan kepada orang yang datang dari perjalanan jauh. Dan hati gembira dengan kedatangannya. Maka sangatlah disunatkan pada menguat- kan kesenangan mereka. Dan mendzahirkan berpalingnya hati dalam perjalanan kepada mengingati mereka, dengan apa yang dibawanya serta di jalan untuk mereka.Maka inilah jumlah banyaknya adab-adab dzahiriah pada bermu­syafir!


Adapun adab bathiniah maka pada pasal pertama, terdapat pen- jelasan sejumlah daripadanya.

Jumlahnya itu ialah, bahwa : tidak bermusyafir, kecuali apabila ada dalam perjalanan itu menambahkan keagamaan. Manakala ia memperoleh hatinya berubah kepada kurangnya keagamaan, maka hendaklah ia berhenti dan berpaling kepada yang lain! Dan tiada seyogialah, bahwa cita-citanya melampaui tempatnya. Tetapi ber- tempatlah di mana hatinya bertempat, Dan berniat pada memasuki tiap-tiap negeri, bahwa ia akan menjumpai syaikh-syaikh (guru- guru) yang ada di negeri itu. Bersungguh-sungguh untuk memper- oleh faedah adab-kesopanan atau ucapan dari masing-masing mere­ka. Supaya ia memperoleh manfa'at dengan yang demikian. Tidak untuk diceriterakannya yang demikian itu kepada orang lain. Dan tidak untuk didzahirkannya bahwa ia telah menjumpai syaikh-syaikh itu.

(1) Dirawikan Ibnus-sunni dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas. Dan katanya shahih menu­rut syarat perawian hadits Al-Bukhari dan Muslim.
554.


Dan ia tidak menetap (bermukim) pada suatu negeri, lebih banyak dari seminggu atau sepuluh hari, Kecuali disuruh oleh syaikh yang dimaksud dengan yang demikian, Dan ia tidak duduk-duduk selama bermukim itu, selain dengan orang-orang faqir yang benar. Jikalau maksudnya mengunjungi saudara, maka tidak dilebihkan dari tiga hari. Itulah bat as : bertamu. Kecuali sukar bagi saudara- nya, berpisah dengan dia.


Apabila bermaksud menziarahi syaikh (guru), maka tidaklah me­netap (bermukim) padanya, lebih dari sehari-semalam, Dan tidak menyibukkan dirinya dengan bergaul, Maka yang demikian itu, menghilangkan barakah perjalanannya, Dan tiap kali ia memasuki suatu negeri, tidaklah ia berbuat sesuatu, selain menziarahi guru (syaikh), dengan menziarahi tempat tinggalnya. Jikalau syaikh itu di rumah, maka tidaklah pintu rumahnya diketok. Dan tidaklah diminta keizinannya, sampai ia keluar, Apabila ia telah keluar, datanglah kepadanya dengan adab. Lalu memberi salam kepadanya. Dan tidak berkata-kata dihadapannya, kecuali, bahwa ia menanya- kannya.Kalau Syaikh itu bertanya, niscaya dijawab sekedar pertanyaan. Dan tidak menanyakan tentang sesuatu persoalan, sebelum memin­ta izin lebih dahulu.


Apabila beroda dalam perjalanan, maka janganlah membanyakkan menyebut makanan-makanan dan orang-orang yang bermurah hati serta teman-temannya di negeri itu, Dan hendaklah ia menyebutkan syaikh-syaikh dan orang-orang faqirnya!.


Dan janganlah melengahkan dalam perjalanan itu, menziarahi ku buran orang-orang shalih! Tetapi hendaklah mencari kuburan- kuburannya itu, pada setiap desa dan negeri.


Janganlah mendzahirkan hajat-keperluan, selain sekedar yang penting. Dan kepada orang yang mampu menyampaikan hajat- keperluan itu. Dan selalu dalam perjalanan itu, berdzikir dan membaca AI-Qur-an, di mana tidak memperdengarkannya kepada orang lain. Apabila orang berbicara dengan dia, maka hendaklah meninggalkan dzikir. Dan menjawab pembicaraannya, selama orang itu masih berbicara. Kemudian kembalilah kepada pekerjaan semula!.
555.

Jikalau nafsunya (keinginannya) merencanakan bermusyafir atau tinggal di negerinya sendiri, maka hendaklah nafsu itu ditantang! Barakah itu adalah pada menantang nafsu.

Apabila lebih mudah baginya melayani (berbuat khidmat) kepada orang-orang shalih, maka tiada seyogialah baginya bermusyafir, demi pengkhidmatan itu. Maka yang demikian itu, kufur (tidak mensyukuri nikmat)

Manakala ia memperoleh dirinya kekurangan daripada yang ada padanya sewaktu di negerinya sendiri, maka hendaklah diketahui- nya, bahwa perjalanannya itu berpenyakit. Dan hendaklah ia kembali! Karena kalau ada untuk kebenaran, niscaya dzahirlah bekasnya.


Seorang laki-laki menerangkan kepada Abi Utsman Al-Maghribi, bahwa si Anu keluar bermusyafir. Lalu Abi Utsman Al-Maghribi berkata : "Bermusyafir itu terasing dari tanah air. Terasing itu suatu kehinaan. Dan tiadalah bagi mu'min menghinakan dirinya sendiri".


Ia tunjukkan dengan perkataan tersebut, bahwa bagi orang yang tiada bertambah keagamaan dalam peqalanan, maka telah menghi­nakan dirinya sendiri. Jikalau tidak demikian, maka kemuliaan Agama itu, tidak tercapai, melainkan dengan kehiiraan terasing dari tanah air.

Maka hendaklah perjalanan jauh murid itu, dari tanah air hawa- nafsunya, kehendak dan tabi'atnya! Sehingga ia mulia dalam peng- asingan ini dan tidak hina. Sesungguhnya orang yang mengikuti hawa-nafsunya dalam perjalanan, niscaya ia hina tak dapat diban- tah. Adakalanya pada waktu segera. Dan adakalanya pada waktu lambat.

(1) Karena berkhidmat (melayani) orang-orang shalih adalah suatu nikmat daripada Allah! (Pent)
556.

Bab Kedua Mengenai yang tidak boleh tidak bagi orang yang beperjalanan, mempeiajarinya, tentang hal-hal yang diberi ke-entengan (rukb-shah) dalam perjalanan dalil-dalil qiblat dan waktu.

Ketahuilah, bahwa seorang musyafir pada awal perjalanannya, memerlukan kepada persediaan perbekalan untuk duniawinya dan untuk akhiratnya,

Adapun perbekalan dunia, yaitu : makanan, minuman dan perbelanjaan yang diperlukan. Kalau ia keluar secara tawakkal, tanpa perbekalan, maka tiada mengapa, apabila perjalanannya itu dalam suatu kafilah, Atau diantara desa-desa yang bersambung satu de­ngan lainnya.


Jikalau ia menempuh perjalanan di padang Sahara sendirian atau bersama kaum (orang banyak) yang tidak membawa makanan dan minuman, maka kalau ia termasuk orang yang tahan lapar seminggu atau sepuluh hari umpamanya atau sanggup mencukupkan dengan daun-daunan, niscaya bolehlah ia demikian. Dan kalau tidak kuat menahan lapar dan tidak sanggup mencukupkan dengan daun- daunan, maka keluarnya untuk bermusyafir tanpa perbekalan itu, adalah perbuatan ma'shiat (berdosa). Karena ia membawa dirinya dengan tangannya sendiii kepada kebinasaan. Dan ini mempunyai rahasia yang akan diterangkan pada "Kitab Tawakkal".


Dan tidak­lah arti tawakkal itu, menjauhkan diri secara kcseluruhan dari sebab-sebab. Dan jikalau seperti demikian, niscaya batallah tawak­kal, dengan mencari timba, tali dan mengambil air dari sumur. Dan wajiblah bersabar, sehingga didatangkan Allah baginya seorang malaikat atau orang lain, untuk menuangkan air ke dalam mulutnya.


Jikalau menjaga timba dan tali, tidak merusakkan tawakkal dan itu adalah alat yang menyampaikan kepada minuman, maka membawa barang makanan dan minuman, di mana tidak dapat diharap- kan akan ada diperjalanan, adalah lebih utama tidak akan merusak­kan tawakkal. Dan akan datang penjelasan "Hakikat Tawakkal" pada tempatnya nanti. Karena tawakkal itu tidaklah begitu jelas, kecuali bagi ulama-ulama Agama yang melakukan penelitian, (ulama muhaqqiqin).

557.

Adapun perbekalan akhirat, maka yaitu pengetahuan yang diper­lukan, mengenai thaharah (bersuci), puasa, shalat dan ibadah- ibadahriya, Maka tak boleh tidak, bahwa mempunyai perbekalan pengetahuan itu. Karena sewaktu-wiaktu perjalanan itu meringan- kan beberapa perkara. Maka perlulah mengetahui batas yang diri- ngankan oleh perjalanan itu. Seperti : men-qashar dan men-jama' shalat dan berbuka puasa. Dan sewaktu-waktu diberatkan beberapa perkara, di niana di negeri sendiri tidak diperlukan mengetahuiriya. Seperti : pengetahuan tentang qiblat dan waktu shalat. Kalau di negeri sendiri, memadailah dengan lain dari pengetahuan. Yaitu : dengan melihat mihrab masjid dan mendengar adzan muadz-dzin. Dan dalam perjalanan, kadang-kadang diperlukan mengetahui sendiri.



Jadi, apa yang dihajati mengetahuinya, terbagi kepada dua :

bahagian pertama : pengetahuan tentang hal-haf yang memper­oleh keentengan (rukh-shah) dalam perja­lanan.

Safar itu memberi dua keentengan pada bersuci. Yaitu : menyapu dua sepatu kasut (dua muza) dan bertayammum. Pada shalat fardlu dua ke-entengan (dua rukh-shah). Yaitu : menqashar dan men jama-kan shalat. Pada shalat sunat dua rukh-shah, yaitu ; menger- jakannya atas kendaraan dan sedang berjalan kaki. Dan pada puasa, satu rukh-shah, yaitu : boleh berbuka puasa. Inilah tujuh macam rukhshah :

Rukh-shah Pertama : menyapu dua muza. Shafwan bin 'Assal ber­kata : "Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menyuruh kami, apabila kami bermusafir atau dalam perjalanan, bahwa kami tidak membuka muza kami, tiga hari dengan malam-malamnya".

Maka tiap-tiap orang yang memakai muza sesudah bersuci yang memboiehkan shalat, kemudian berhadats, maka boleh menyapu muzanya dari waktu berhadats tadi, tiga hari tiga malam, kalau ia orang musafir. Atau sehari-semalam, kalau ia orang muqim (bukan orang musafir). Tetapi, dengan lima syarat:


Pertama : bahwa adalah pemakaiannya sesudah sempurna bersuci. Jikalau kaki kanan dibasuhnya dan dimasukkan dalam muza, ke­mudian kaki kiri dibasuhnya, lalu dimasukkan dalam muza, niscaya tidak dibolehkan menyapu muza itu, menurut madzhab Asy- Syafi-'i ra., sebelum muza kaki kanan dibuka dan diulangi kembali memakainya.
558.

Kedua : muza itu kuat, yang memungkinkan beijalan kaki dengan dia. Dan boleh menyapu muza, walau tiada memakai sandal sekali- pun. Karena berlaku kebiasaan, berulang-ulangnya, dengan muza itu,pada tempat-tempat perhentian. Karena pada umumnya muza itu kuat. Lain halnya alas kaki kaum shufi. Maka tidak diperboleh­kan menyapunya. Dan demikian juga jurmuq yang lemah. (1)


Ketiga : bahwa tidak ada robek pada tempat yang fardlu dibasuh. Jikalau robek, di mana terbuka tempat yang perlu dibasuh, niscaya tidak diperbolehkan menyapu muza itu. Menurut qaul-qadim (2) dari Asy-Syafi-'i ra. diperbolehkan, selama masih lekat pada kaki. Dan itu adalah madzhab Malik.ra. Dan tiada mengapa mengikuti madzhab Malik. Karena dipandang perlu kepadanya. Dan sukarlah menjahit dalam perjalanan setiap waktu. Sepatu yang ditenuni boleh disapu manakala tertutup, yang tidak tampak kulit tapak kaki dari celah-celahnya. Begitu pula sepatu yang pecah, yang pada tempat pecahnya itu, di-ikat dengan benang. Karena hajat keperlu­an meminta kepada semua itu.


Maka tidaklah yang diperhatikan, selain bahwa ada muza itu tertu­tup sampai ke atas dua mata kaki, bagaimanapun adanya. Adapun apabila tertutup sebahagian dari belakang tapak kaki dan yang lain tertutup dengan pembalutan, niscaya tidak boleh muza itu disapu.



Ke-empat : bahwa muza itu tidak dibuka sesudah disapu. Kalau dibuka, maka yang lebih utama baginya mengulangi wudlu (meng­ambil air sembahyang). Kalau ia menyingkatkan, dengan membasuh dua tapak kaki saja, maka dibolehkan.



Kelima : bahwa muza itu disapu pada tempat yang setentang bagi tempat yang perlu dibasuh. Tidak atas betis. Sekurang-kurangnya disapu, ialah apa yang dapat dinamakan : menyapu di atas belakang tapak kaki dari muza itu. Apabila disapu dengan tiga anak jari, niscaya memadai.Dan yang lebih utama ialah, bahwa ia keluar dari syubhat-khilaf (perbedaan ijtihad ulama yang mendatangkan keraguan).



Yang lebih sempurna, bahwa ia menyapu bahagian atasnya dan bahagian bawahnya dari muza itu, dengan sekali-gus (sekali jalan), tanpa berulang-ulang.

Demikianlah Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. memperbuatnya. (3)

(1)                 Jurmuq yaitu : Muza yang dipakai di atas muza biasa, karena sangat dingin,
(2)                 Qaul-Qadim, yaitu : fatma atau masalah yang dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi-'i ra. se waktu beliau masih menetap di Bagdad.
(3)                Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan dipandangnya dla'if.
559.

Caranya : ialah membasahkan dua tangan dan meletakkan ujung anak jari tangan kanan, di atas ujung jari kaki kanan. Dan menyapukannya dengan menarik jari-jari itu ke arah dirinya. Dan mele­takkan ujung jari tangan kirinya atas tumidnya dari bawah muza. Dan melalukannya ke ujung tapak kaki.


Manakala menyapu muza waktu sedang bermuqim (tinggal di negeri sendiri), kemudian bermusafir atau waktu sedang bermusafir, kemudian bermuqim, niscaya menanglah hukum bermuqim. Maka hendaklah disingkatkan kepada sehari-semalam saja. Bilangan tiga hari itu dihitung dari waktu berhadatsnya, sesudah menyapu muza.


Jikalau muza itu dipakai masih di tempatnya (belum lagi bermu­safir) dan menyapunya juga masih di tempatnya, kemudian baru ia keluar berjalan dan berhadats dalam perjalanan pada waktu gelincir matahari (waktu zawal) umpamanya, niscaya ia menya­pu tiga hari tiga malam, dari semenjak waktu zawal tadi,sampai kepada zawal hari ke-empat.


Apabila matahari telah zawal dari hari ke-empat, niscaya tiadalah baginya mengerjakan shalat, kecuali sesudah membasuh dua kaki. Maka ia membasuh kedua kakinya dan mengulangi memakai muza dan menjaga waktu hadats. Dan mengulangi kembali hitungan dari waktirhadats itu.


Jikalau berhadats sesudah memakai muza di kampung (di tempat­nya), kemudian keluar bermusafir sesudah berhadats, maka boleh menyapu tiga hari. Karena kadang-kadang adat-kebiasaan meng- hendaki pemakaian muza sesudah keluar untuk bermusafir. Kemu­dian tidak mungkin menjaga diri dari hadats. Apabila menyapu di kampung, kemudian bermusafir, niscaya disingkatkan menurut waktu menyapunya orang muqim (sehari- semalam).


Disunatkan bagi tiap-tiap orang yang bermaksud memakai muza di kampung atau dalam perjalanan, bahwa membalikkan muzanya dan menggerak-gerakkan apa yang di dalamnya, karena menjaga dari ular atau kala atau duri. Sesungguhnya diriwayatkan dari Abi Amamah, bahwa Abi Amamah berkata : "Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. meminta kedua muzanya. Lalu beliau memakai salah satu daripada keduanya. Maka datanglah seekor burung gagak. Lalu burung gagak itu membawa yang sebelah lagi dari muza itu. Kemudian melempar- kannya. Lalu keluar dari muza tadi seekor ular. Maka Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :


560.

Maka Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يلبس خفيه حتى ينفضهما
(Man kaana yu'-minu billaahi wal-yaumil-aakhiri fa-laa yalbisu khuffaihi hatta y anfudlahumaa).Artinya : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka ia tidak memakai kedua muzanya, sebelum menggerak-gerak- kannya(1)



Rukh-shah Kedua : tayammum dengan tanah sebagai ganti dari air ketika ada halangan ('udzur).

Sesungguhnya diberi ke-'udzuran dari memakai air, dengan adanya air itu jauh dari tempatnya, sejauh mana jikalau ia berjalan kaki ke tempat air itu, niscaya tidak sampai hubungan kepadanya untuk meminta pertolongan dari kafilahnya (rombongannya), jikalau ia berteriak atau meminta pertolongan. Itulah kejauhan, yang tiada dibiasakan pulang-pergi kepadanya oleh orang-orang yang tinggal di tempat itu pada pulang-pergi mereka untuk membuang air (qadla-hajat).



Demikian juga, jikalau ada pada air itu musuh atau binatang buas. Maka bolehlah bertayammum, walaupun air itu dekat. Demikian juga jikalau ia memerlukan kepada air itu, karena keha- usannya, baik pada hari itu atau sesudahnya. Karena ketiadaan air dihadapannya. Maka bolehlah ia bertayammum. Demikian juga jikalau ia memerlukan kepada air itu, karena keha- usan salah seorang dari teman-temannya. Maka tidaklah boleh berwudlu, Dan haruslah memberikan air itu. Adakalanya dengan memperoleh bayaran atau tanpa bayaran. Dan kalau ia memerlukan kepada air tadi, untuk memasak sayur atau daging atau untuk membasahkan makanan yang sudah dihancurkan yang dikumpul- kannya makanan itu dengan air tadi, niscaya tidak boleh berta­yammum. Tetapi haruslah ia mencukupkan dengan makanan han- cur itu yang kering. Dan meninggalkan memakai kuah.


Manakala diberikan orang kepadanya air, niscaya wajiblah diterima. Dan jikalau diberikan harganya, niscaya tidaklah wajib mene- rimanya. Karena pada menerima harga itu terdapat omelan. Dan jikalau dijual orang air kepadanya dengan harga yang pantas, niscaya haruslah dibeli. Dan jikalau dijual dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang pantas itu, niscaya tidaklah harus dibeli.

(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Amamah. Dan ada dari perawinya yang tidak dikenal.
561.

Apabila tidak ada air padanya dan ia bermaksud bertayammum, maka yang pertama-tama harus dilakukannya, ialah mencari air. manakala mungkin sampai kepada air, dengan dicari. Yang demi­kian itu, dengan pulang-pergi, di keliling tempat tinggalnya. Dan memeriksa kendaraan-kendaraan dan mencari sisa-sisa yang ada pada tempat-tempat air dan tempat-tempat membersihkan sesuatu dengan air.


Jikalau ia lupa kepada air pada kendaraannya atau ia lupa kepada sumur yang dekat daripadanya, niscaya haruslah mengulangi shalat. Karena keteledoTannya pada mencari air. Jikalau ia mengetahui bahwa ia akan memperoleh air pada akhir waktu shalat, maka yang lebih utama, bahwa ia mengerjakan shalat dengan tayammum pada awal waktu. Sesungguhnya umur kita tidaklah dapat diper- caya akan lanjut. Dan awal waktu itu adalah keridla'an Allah. Ibnu 'Umar ra. bertayammum. Lalu orang bertanya kepadanya : "Adakah engkau bertayammum, sedang dinding kota Madinah memandang kepada engkau?".


Maka Ibnu 'Umar ra. menjawab : "Apakah aku akan kekal (tidak meninggal), sampai aku dapat memasuki kota Madinah itu?*'. Manakala diperoleh air sesudah masuk dalam shalat, niscaya tidak­lah shalatnya batal. Dan tidaklah wajib ia berwudlu. Dan apabila diperolehnya air sebelum masuk dalam shalat, niscaya haruslah ia mengambil wudlu'.


Manakala air itu telah dicari, lalu tidak diperoleh, maka hendaklah ia menuju kepada tanah yang baik (yang suci), di mana di atasnya abu, yang terbang daripadanya debu. Dan hendaklah menepuk kedua tapak tangan di atas debu tadi, sesudah merapatkan anak- anak l^rinya, sekali tepuk. Lalu menyapu dengan kedua tapak tangan tadi mukanya. Dan menepuk sekali lagi sesudah menang- galkan cincin dan menjarangkan anak-anak jarinya. Dan menyapu dengan anak-anak jarinya itu kedua tangannya sampai kepada kedua siku-sikunya.


Jikalau tidak meratai dengan sekali tepuk seluruh kedua tangannya, niscaya menepuk sekali lagi. Dan cara pelan-pelan pada tayammum itu, ialah apa telah kami sebutkan dahulu pada Kitab Bersuci. Maka tidaklah kami mengulanginya lagi.

Kemudian, apabila telah dikeijakan shalat dengan tayammum, satu shalat fardlu, maka bolehlah mengerjakan shalat sunat sebanyak yang dikehendaki, dengan tayammum itu. Dan jikalau bermaksud

562.

menjama' diantara dua shalat fardlu, maka haruslah mengulangi tayammum untuk shalat kedua. Sehingga tidaklah dikerjakan dua shalat fardlu, kecuali dengan dua tayammum. Tiada seyogianya bertayammum bagi shalat sebelum masuk waktu- nya. Jikalau diperbuatnya yang demikian, niscaya wajiblah ia mengulangi tayammum.


Dan hendaklah berniat, ketika menyapu muka : mernperbolehkan shalat (istibahah shalat).

Jikalau diperolehnya air yang mencukupkan untuk sebahagian thaharahnya, maka hendaklah dipakai air itu. Kemudian hendaklah bertayammum sesudah memakai air tadi, dengan tayammum yang sempurna.


Rukh-shah Ketiga : pada shalat fardlu ialah qashar (memendekkan shalat yang empat raka'at, menjadi dua raka'at). Boleh mengqasharkan pada masing-masing dari : shalat Dhuhur, *Ashar dan *Isya' kepada dua reka'at. Tetapi dengan tiga syarat:


Pertama : dilaksanakannya shalat itu pada waktunya. Jikalau shalat itu merupakan shalat qadla, maka menurut pendapat yang lebih kuat (al-adh-har), harus disempurnakan (jadi empat raka'at).

Kedua : diniatkan qashar. Jikalau diniatkan menyempumakan shalat (dikerjakan dengan empat raka'at), niscaya haruslah disem­purnakan.


Jikalau ragu, apakah ia sudah meniatkan qashar atau meniatkan disempurnakan niscaya haruslah disempurnakan (dikerjakan empat raka'at).


Ketiga : bahwa ia tidak mengikuti (berimam) kepada orang muqim (orang yang tidak bermusafir). Dan tidak dengan orang musafir yang menyempumakan shalatnya. Jikalau diperbuatnya (di-ikuti- nya orang muqim atau orang musafir yang menyempumakan shalatnya), niscaya haruslah ia menyempumakan shalat. Tetapi jikalau ia ragu, apakah imamnya itu orang muqim atau orang musafir, niscaya haruslah (wajiblah) menyempumakan shalat, walaupun ia yakin kemudian, bahwa imamnya itu orang musafir." Karena tanda-tanda seorang musafir itu tidaklah tersem­bunyi. Dari itu, hendaklah diselidiki lebih dahulu ketika bemiat!. Jikalau ia ragu, apakah imamnya itu meniatkan qashar atau tidak, sesudah diketahuinya, bahwa imamnya itu orang musafir, niscaya yang demikian tidaklah mendatangkan melarat baginya. Karena niat-niat itu tidak dapat dilihat.
563.

Ini semuanya adalah dalam perjalanan yang jauh dan mubah (di perbolehkan, tidak dilarang oleh Agama). Dan batas perjalanan (safar) dari segi permulaan dan kesudahannya, mengandung hal-hal yang penuh pertanyaan. Maka tak boleh tidak harus diketahui. Perjalanan (safar) ; ialah perpindahan dari tempat tinggal menetap, disertai maksud menuju suatu tempat yang sudah diketahui. Orang yang berkelana dan orang yang tidak tentu tujuannyay tidaklah kepadanya diberi rukh-shah. Yaitu : orang yang tidak menuju ke suatu tempat yang tertentu.

Dan ia tidak menjadi musafir, sebelum ia meninggalkan tempat yang ramai didiami orang dari negerinya. Dan tidak disyaratkan, bahwa ia melewati tempat-tempat yang roboh (tidak didiami lagi) dan kebun-kebun (taman-taman), di mana anak negeri keluar ke taman-taman itu untuk istirahat,


Adapun desa, maka bermusafir dari desa, seyogialah melewati kebun-kebunnya yang dipagari. Tidak kebun-kebun yang tidak dipagari.

Jikalau si musafir itu kembali ke kampungnya, untuk mengambil sesuatu yang dilupainya, niscaya ia tidak memperoleh rukh-shah, jikalau kampung tersebut tempat tinggalnya sendiri, selama ia tidak melewati tempat yang ramai didiami penduduk. Jikalau yang demikian itu, bukan tempat tinggalnya sendiri, maka ia memper­oleh rukh-shah. Karena telah menjadi orang musafir, dengan kesu- litan berpisah dan keluar dari tempatnya.



Adapun penghabisan safar, maka dengan salah satu dari tiga per­kara :
Pertama : sampai ke tempat ramai didiami penduduk, dari negeri yang dicita-citakan untuk berdian padanya.


Kedua : ber'azam (mengambil keputusan) bermuqim untuk tiga hari atau lebih. Adakalanya pada sesuatu negeri, atau pada sesuatu Sahara (tempat yang lapang yang tidak didiami penduduk).


Ketiga : bentuk bermuqim, walaupun ia tidak mengambil kepu­tusan. Seperti, apabila ia bermuqim pada sesuatu tempat tiga hari, selain dari hari masuk (datang). Tidaklah boleh baginya rukh-shah sesudah bermuqim itu.


Jikalau ia tidak ber'azam (bercita-cita) untuk bermuqim (menetap) dan ia mempunyai urusan di situ dan ia mengharap pada tiap-tiap hari, akan terselesaikan. Tetapi ada yang menghalangi dan melam- batkan. Maka baginya ber-rukh-shah. Walaupun masa itu panjang, menurut qias yang terkuat dari dua qaul (pendapat ulama). Karena

564.

Jikalau ia tidak ber'azam (bercita-cita) untuk bermuqim (menetap) dan ia mempunyai urusan di situ dan ia mengharap pada tiap-tiap hari, akan terselesaikan. Tetapi ada yang menghalangi dan melambatkan. Maka baginya ber-rukh-shah. Walaupun masa itu panjang, menurut qias yang terkuat dari dua qaul (pendapat ulama). Karena ia tiada berketenteraman hati dan bermusafir dari tempat tinggal- nya, menurut bentuknya. Dan tidaklah dihiraukan dengan bentuk diantara adanya rnenetapnya di satu tempat itu, serta kegoncangan hati. Dan tiada berbeda,urusan itu perang atau lainnya. Dan dian­tara lamanya waktu menetap atau pendek. Dan diantara terlam batnya keluar karena hujan yang tiada diketahui lamanya sampai tiga hari. Atau karena sebab yang lain. Karena Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. memperoleh rukh-shah, Lalu beliau mengqasharkan shalat pada sebahagian peperangan, delapan belas hari lamanya pada suatu tempat, (1)


Jelasnya, bahwa jikalau lamalah masa peperangan, tentu lamalah masa rukh-shah. Karena tiada arti dengan menentukan delapan belas hari itu. Dan yang jelas, bahwa qasharnya Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, adalah karena beliau itu bermusafir. Tidak karena beliau menghadliri peperangan dan berperang. Inilah arti qashar


Adapun arti pemanjangan, maka yaitu : bahwa perjalanan itu dua marhalah. Tiap-tiap marhalah delapan farsakh. Tiap-tiap farshkh, tiga mil. Tiap-tiap mil, empat ribu langkah. Dan tiap-tiap langkah, tiga tapak kaki


Yang dimaksud dengan : perjalanan mubah, ialah : bahwa yang melakukan perjalanan (safar) itu, bukan orang yang durhaka kepa­da ibu-bapanya, yang melarikan diri dari keduanya, yang melarikan diri dari orang yang memilikinya (kalau yang bermusafir itu seorang budak). Dan kalau yang bermusafir itu wanita, maka tidak­lah ia melarikan diri dari suaminya. Dan tidaklah orang yang ber­musafir itu orang yang berhutang, yang melarikan diri dari yang berpiutang, serta ia mampu membayarnya. Dan tidak bertujuan untuk merampok atau membunuh orang atau mencari kelimpahan harta haram dari seorang penguasa (sultan) yang dzalim atau mem-' buat kerusakan diantara kaum muslimiri.


Kesimpulannya, tidaklah orang itu bermusafir, kecuali pada suatu maksud. Dan maksud itulah yang menggerakkannya, Jikalau yang menghasilkan maksud itu haram dan jikalau tidak adalah maksud itu, niscaya ia tidak tergerak untuk perjalanan itu, maka perjalanan itu ma1shiat. Dan tidak diperbolehkan padanya rukh-shah. Adapun perbuatan fasiq dalam perjalanan, dengan meminum khamar dan lainnya, maka tidaklah mencegahkan rukh-shah. Teta­pi, tiap-tiap perjalanan yang dilarang Agama, maka tidaklah perja­lanan itu menolong padanya, dengan rukh-shah.

(1) Dirawikan Abu Dawud dari 'Imran ibin Hushain.
565.

Jikalau orang musafir itu mempunyai dua penggerak, yang satu mubah dan yang Iain terlarang (mah-dhur), di mana jikalau pengge­rak yang terlarang tidak ada, niscaya adalah penggerak mubah itu sendiri, bebas menggerakkannya dan sudah pasti, orang musafir itu bermusafir karena penggerak mubah, maka baginya rukh-shah. Orang-orang shufi yang beijalan keliling di beberapa negeri, tanpa ada maksud yang syah, selain dari bersenang-senang untuk me- nyaksikan berbagai tempat, maka tentang rukh-shah bagi mereka, terdapat khilaf (perbedaan pendapat ulama). Pendapat yang terpi- lih (yang lebih kuat), bagi mereka itu rukh-shah.


Rukh-shah Ke-empat : men-jama'-kan (mengumpulkan) antara Dhuhur dan 'Ashar pada waktu keduanya. Dan antara Maghrib dan 'Isya' pada waktu keduanya. Juga yang demikian itu, diperboleh- kan pada tiap-tiap perjalanan yang jauh, lagi mubah. Tentang diperbolehkan pada perjalanan yang pendek, terdapat dua qaul (pendapat ulama). Kemudian, kalau didahulukan shalat 'Ashar kepada waktu Dhuhur, maka hendaklah diniatkan jama' antara Dhuhur dan 'Ashar pada waktu keduanya itu, sebelum selesai dari Dhuhur. Dan hendaklah dilakukan adzan untuk Dhuhur dan iqa- mah. Dan ketika selesai, lalu dilakukan iqamah untuk 'Ashar. Dan pertama sekali diperbaharui tayammum, kalau shalat fardhmya itu dengan tayammum. Dan tidaklah diceraikan diantara shalat Dhu­hur dan 'Ashar itu, dengan lebih banyak dari waktu tayammum dan iqamah!.


Kalau didahulukan shalat 'Ashar, maka tidak diperbolehkan. Jikalau diniatkan jama' ketika bertakbiratul-ihram shalat 'Ashar, niscaya boleh pada Imam Al-Mazani. Pendapatnya itu dalam segi qias. Karena tak ada tempat pegangan untuk mewajibkan menda hulukan niat. Tetapi Agama memb'olehkan jama'. Dan ini adalah jama’ Dan rukh-shah itu pada shalat 'Ashar. Maka mencukupilah niat pada 'Ashar. Adapun Dhuhur, maka berlaku di atas hukum. Kemudian, apabila telah selesai dari dua shalat tadi, maka seyogia­lah mengumpulkan diantara sunat-sunat dua shalat itu. Adapun 'Ashar tak ada sunat sesudahnya. Tetapi sunat yang sesudah Dhu­hur, dikeijakan sesudah selesai dari shalat 'Ashar. Adakalanya ia berkendaraan (masih bermusafir) atau sudah bermuqim. Karena kalau dikerjakannya shalat sunat Dhuhur sebelum 'Ashar, niscaya putuskih muwalah (berturut-turut, ber-iring-iringan). Dan muwalah itu wajib menurut suatu pendapat (suatu wajah).

566.


Jikalau bermaksud mengerjakan empat raka'at sunat sebelum Dhuhur dan empat raka'at sunat sebelum 'Ashar, maka hendaklah dikumpulkan antara semuanya itu, sebelum mengerjakan dua shalat fardlu itu!.

Mula-mula dikerjakan sunat Dhuhur. Kemudian sunat 'Ashar, Kemudian fardlu Dhuhur. Kemudian fardlu 'Ashar. Kemudian sunat Dhuhur yang dua raka'at sesudah fardlunya. Dan tidak seyogialah, disia-siakan shalat sunat dalam perjalanan. Maka apa yang hilang dari pahalanya adalah lebih banyak dari apa yang diperbolehnya dari keuntungan. Lebih-lebih Agama telah meringankan kepadanya. Dan membolehkan mengerjakannya di atas kendaraan, Supaya ia tidak terhalang dari teman-temannya, disebabkan shalat itu,


Kalau dikemudiankan (di-ta'khirkan) Dhuhur kepada wak tu 'Ashar, maka berlakulah di atas tertib ini. Dan tidak dihiraukan, dengan jadinya sunat Dhuhur, sesudah 'Ashar pada waktu-makruh. Karena shalat yang bersebab, tidaklah dimakruhkan pada waktu itu. Begitu pula, dikeijakan mengenai Maghrib, 'Isya' dan Witir. Dan apabila didahulukan atau dikemudiankan, maka sesudah selesai dari shalat fardlu, lalu dikerjakan semua shalat sunat rawatib a), Dan disudahi semuanya itu dengan shalat Witir. Kalau terguris dalam hatinya, ingatan kepada shalat Dhuhur sebe­lum habis waktunya, maka hendaklah ia ber'azam mengeijakannya bersama serta 'Ashar.itulah niat jama'! Karena sesungguhnya kosong dari niat ini, ada­kalanya dengan niat meninggalkan atau dengan niat mengemudi- ankannya dari waktu 'Ashar. Dan yang demikian itu haram. Dan bercita-cita kepadanya haram.


Dan jikalau tiada teringat kepada shalat Dhuhur, sehingga keluarlah waktunya, adakalanya karena tidur atau karena pekerjaan, maka ia menunaikan shalat Dhuhur bersama 9Ashar. Dan ia tidak menjadi orang ma'shiat. Karena perjalanan itu, sebagaimana melengahkan daripada mengerjakan shalat, maka kadang-kadang melengahkan daripada mengingati shalat.

Mungkin pula dikatakan, bahwa shalat Dhuhur jatuh pada waktu­nya (menjadi ada' bukan qadla'), apabila ber'azam mengerjakan­nya, sebelum habis waktunya, Tetapi yang lebih jelas (yang lebih

(1) Sunat Rawatib : ialah shalat sunat yang menyangkut dengan shalat fardlu lima, sebelum atau sesudahnya.
567.

kuat), bahwa waktu Dhuhur dan waktu 'Ashar itu, menjadi berse- kutu diantara dua shalat dalam perjalanan. Dan karena itulah, wajib atas wanita yang datang kain kotor (berhaidl) meng-qadla- kan shalat Dhuhur, apabila ia suci sebelum terbenam matahari. Dan karena itulah, jelas bahwa tidak disyaratkan, muwalah dan tertib (yang dahulu didahulukan) diantara Dhuhur dan 'Ashar, ketika mengemudiankan Dhuhur (jama'-ta'khir). Adapun apabila di-jama'taqdim-kan yAshar kepada Dhuhur (pada jama'-taqdim), niscaya tidak diperbolehkan. Karena sesudah selesai dari Dhuhur itulah yang menjadi waktu bagi 'Ashar. Sebab jauhlah dari dapat dipahami, bahwa dikerjakan shalat 'Ashar, oleh orang yang ber- azam meninggalkan Dhuhur atau mengemudiankannya. Halangan ('udzur) hujan itu membolehkan jama', seperti 'udzur dengan perjalanan.


Meninggalkan shalat Jum'ah juga setengah dari rukh-shah perja­lanan. Dan Jum'ah itu bergantung pula dengan shalat-shalat fardlu. Jikalau diniatkan muqim sesudah mengeijakan shalat 'Ashar, lalu mendapati waktu 'Ashar di kampung (tidak dalam perjalanan lagi), maka wajiblah mengerjakan shalat 'Ashar itu, Dan apa yang sudah dikerjakan itu, hanya memadai, dengan syarat tetap ada halangan (perjalanan), sampai kepada habisnya waktu 'Ashar.

Rukh-shah Kelima : mengerjakan shalat sunat dengan berkendara- an. Adalah Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengerjakan shalat di atas kendaraan- nya ke mana saja kendaraannya itu menghadap d). Dan Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengerjakan shalat Witir di atas kendaraan. Dan tidaklah atas orang yang mengeijakan shalat sunat yang berkendaraan itu, pada ruku' dan sujudnya, kecuali dengan isyarat saja. Dan seyogialah membuat sujudnya lebih rendah dari ruku'nya. Dan tidak wajib membungkuk sampai kepada batas, yang mendatangkan bahaya disebabkan kendaraan. Jikalau ia pada tempat tidur, maka hendak­lah disempurnakan ruku' dan sujud, karena ia sanggup yang demi­kian.


Adapun menghadap qiblaty maka tidak wajib. Tidak wajib pada permulaan shalat dan tidak pada waktu meneruskan shalat. Tetapi arah jalan itu ganti qiblat. Maka hendaklah ia dalam semua shalat- nya, adakalanya ia menghadap qiblat atau mengarahi pada arah jalan. Supaya ada baginya arah yang tetap padanya.

(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Umar
568.

Kalau ia memalingkan kendaraannya dari jalan dengan sengaja, niscaya batallah shalatnya. Kecuali kalau dipalingkannya ke qiblat. Kalau dipalingkannya karena lupa dan pendek waktu, niscaya tidak batal shalatnya. Dan kalau panjang waktunya, maka khilaf (ber- beda pendapat) diantara ulama.

Kalau kendaraannya itu melawan, lalu berpaling, niscaya tidak batal shalat. Karena yang demikian, termasuk yang banyak terjadi. Dan tidak bersujud sahwi. Karena perlawanan dari binatang kenda­raan itu, tidaklah disangkutkan kepadanya. Sebaliknya, jikalau ia berpaling karena lupa, maka ia sujud sahwi dengan isyarat saja.


Rukh-shah Ke-enam : mengerjakan shalat sunat, bagi orang berja- lan kaki, diperbolehkan dalam peqalanan. Dan di-isyaratkannya untuk ruku' dan sujud. Dan tidak duduk untuk tasyahhud. Karena yang demikian, menghilangkan faedah rukh-shah. Dan hukum orang yang berjalan kaki itu sama dengan hukum orang yang ber- kendaraan. Tetapi seyogialah orang yang berjalan kaki itu, bertakbiratul-ihram untuk shalat itu, dengan menghadap qiblat. Karena berpaling pada sekejap itu, tak ada kesukaran padanya. Kecuali orang yang berkendaraan, Maka pada memalingkan kenda­raan, meskipun kekang binatang kendaraan itu ditangannya, ada­lah sukar. Kadang-kadang shalat itu banyak, maka lamalah yang demikian*


Tiada seyogialah berjalan kaki pada najis yang basah, dengan senga­ja. Kalau diperbuat yang demikian, niscaya batallah shalatnya. Lain halnya, kalau binatang orang yang berkendaraan itu, meng- injak najis,


Dan tidak harus ia mengganggu perjalanannya sendiri, dengan menjaga dari Jiajis-najis yang biasanya tiada kosong jalan dari najis-najis itu.


Tiap-tiap orang yang melarikan diri dari musuh atau banjir atau binatang buas, boleh mengeijakan shalat fardlu dengan berkenda­raan atau berjalan kaki, sebagaimana telah kami sebutkan dahulu pada mengerjakan shalat sunat.


Rukh-shah Ketujuh : berbuka. Dan musafir itu dalam puasa. Maka orang musafir boleh berbuka puasa. Kecuali pada pagi hari ia bermuqim, kemudian bermusafir. Maka haruslah menyempurnakan puasa hari itu. Jikalau pagi-pagi telah menjadi musafir yang ber- puasa, kemudian ia bermuqim, maka haruslah menyempurnakan puasa. Kalau bermuqim dengan berbuka puasa, maka .tidak wajib imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) pada sisa hari

569.

itu. Kalau pagi hari bermusafir dengan cita-cita berpuasa, niscaya tidak wajib berpuasa. Tetapi boleh berbuka apabila ia mau. Dan berpuasa lebih utama daripada berbuka. Dan men-qashar-kan sha­lat lebih utama daripada menyempurnakannya, untuk keluar dari syubhat-khilaf (perbedaan pendapat diantara ulama yang memba­wa kepada meragukan), Dan karena dia tidaklah dalam tanggungan qadla. Sebaliknya orang yang berbuka puasa, maka dia adalah dalam tanggungan qadla. Kadang-kadang sukar baginya yang demi­kian, disebabkan halangan. Maka tetaplah puasa itu dalam tang- gungannya. Kecuali apabila puasa mendatangkan kemelaratan baginya. Maka berbuka menjadi lebih utama. Inilah tujuh rnacam rukh-shah. Tiga daripadanya bergantung de­ngan perjalanan jauh, Yaitu : qashar shalat, membuka puasa dan menyapu muza (kasut) tiga hart Dua daripadanya bergantung dengan perjalanan, jauh atau dekat. Yaitu : gugur Jum'ah dan gugur qadla ketika mengerjakan shalat dengan tayammum. Ada­pun shalat sunat, sedang berjalan kaki atau berkendaraan, terdapat khilaf ulama. Yang lebih shahih (yang lebih kuat) dibolehkan pada perjalanan yang dekat. Dan men-jama'-kan antara dua shalat, terdapat khilaf ulama. Yang lebih dzahir (yang lebih kuat), tertentu men-jama'-kan itu pada perjalanan yang jauh. Adapun shalat fardlu sedang berkendaraan atau berjalan kaki kare­na takut, maka tiada sangkutriya dengan safar (perjalanan). Demi­kian juga memakan bangkai. ^Demikian juga menunaikan shalat pada waktunya dengan tayammum ketika ketiadaan air. Maka mengenai hai-hal tersebut, sama padanya antara orang muqim dan orang musafir, manakala terdapat sebab-sebabnya. Kalau anda bertanya : pengetahuan mengenai rukh-shah-rukh-shah tadi, adakah wajib bagi orang musafir mempelajarihya sebelum berjalan. Atau disunatkan yang demikian kepadanya.


Ketahuilah, bahwa kalau musafir itu bercita-cita tidak menyapu muza, tidak men-qashar, tidak menjama tidak membuka puasa dan tidak mengerjakan shalat sunat dengan berkendaraan dan ber­jalan kaki, niscaya tidaklah wajib mengetahui syarat-syarat rukh- shah pada yang demikian, Karena menggunakan rukh-shah tidaklah wajib atasnya.


Adapun pengetahuan tentang rukh-shah tayammum, maka wajib dipelajarinya. Karena ketiadaan air tidaklah terserah kepadanya. Kecuali ia bermusafir pada tepi sungai, yang dipercayai tetap ada airnya. Atau ada menyertainya di jalan, seorang alim yang sanggup

570.

memberi fatwa kepadanya, ketika diperlukan. Maka bolehla mengemudiankan pelajaran itu sampai kepada ketika diperlukar Apabila berat dugaannya tidak ada air dan tidak ada sertanya seorang alim, maka sudah pasti, wajiblah ia mempelajarinya. Jikalau anda bertanya : "Bahwa tayammum itu diperlukan untuk shalat, yang b'elum rnasuk waktunya. Maka bagaimanakah wajib mengetahui ilmu bersuci untuk shalat yang belum wa'ib dan terkadang tidak akan wajib?".

Aku menjawab: "Orang yang antaranya dan Ka'bah terdapat suatu jarak jauh, yang tidak tertempuh, selain dalam satu tahun. Maka wajiblah ia memulai perjalanan sebelum datangnya bulan hajji. Dan wajiblah-sudah pasti-mempelajauri manasik (segala ibadah hajji), apabila ia menduga, bahwa tidak akan memperoleh di jalan orang, yang dapat ia belajar padanya. Karena dasarnya hidup dan terusnya hidup. Dan apa yang tidak sampai kepada yang wajib, kecuali dengannya, maka itu menjadi wajib. Dan tiap-tiap yang diharapkan wajibnya, secara kenyataan dan keras dugaan dan mempunyai syarat yang tidak akan sampai kepadanya, kecuali dengan mendahulukan syarat tersebut atas waktu wajibnya, maka wajiblah-sudah pasti-mendahulukan mempelajari syarat itu. Seper­ti ilmu manasik sebelum waktu hajji dan sebelum mengerjakannya. Jadi, maka tidak halal bagi musafir mengadakan perjalanan, selama ia tidak mempelajari sekadar ini dari pengetahuan tayammum. Kalau ia ber'azam kepada rukh-shah-rukh-shah yang lain, maka wajib juga mempelajari sekadar yang telah kami sebutkan dari ilmu tayammum dan rukh-shah-rukh-shah iainnya. Sesungguhnya apabila tidak mengetahui sekadar yang membolehkan rukh-shah bagi safar, niscaya tidak memungkinkan dia menyingkatkan demikian.


Kalau anda bertanya : "Jikalau tidak dipelajarinya cara mengerja­kan shalat sunat, sedang dia itu berkendaraan atau berjalan kaki, apakah yang akan mendatangkan melarat baginya? Kesudahannya, kalau ia mengeijakan shalat, bahwa shalat itu tidak syah, dan shalat itu tidak wajib, maka bagaimanakah pengetahuan mengenai shalat itu menjadi wajib?".


Maka aku menjawab : termasuk wajib, bahwa ia tidak mengeijakan shalat sunat di atas sifat batal (sifat tidak syah). Maka mengerjakan shalat sunat serta berhadats, bernajis, menghadap tidak ke qiblat dan tanpa menyempurnakan syarat-syarat dan rukun-rukun shalat,


571.

Maka haruslah ia mempeiajari apa yang memelihara a dari shalat sunat yang tidak syah (yang fasid), untuk menjaga dari terjatuhnya ke dalam larangan.  penjelasan pengetahuan mengenai apa yang diringankan bagi musafir dalam perjalanan(safar )nya!.


Bahagian kedua : Tugas yang terus-menerus, disebabkan perja­lanan (safar). Yaitu : ilmu qiblat dan waktu.


Yang demikian itu wajib juga di tempat menetap (tidak dalam perjalanan). Tetapi di tempat menetap, bagi orang yangmemadai dengan mihrab yang telah disepakati untuk menunjukkan arah qiblat, maka tidak usah lagi mencari qiblat. Begitu pula dengan muadz-dzin (orang yang mengerjakan adzan), yang menjaga waktu shalat, maka tidak usah lagi mencari ilmu waktu. Kadang-kadang orang musafir itu, meragukan kepadanya qiblat, Kadang-kadang menyangsikan kepadanya waktu. Maka tidak boleh tidak, mengetahui tanda-tanda yang menunjukkan qiblat dan waktu.


Adapun tanda-tanda qiblat, tiga perkara :

a.   Tanda bumi, seperti mengambil tanda (dalil) dengan bukit (gunung), desa dan sungai.
b.   Tanda udara : seperti mengambil tanda (dalil) dengan angin, dari utara dan selatan, timur dan barat.
c.   Tanda langit : yaitu bintang-bintang.


Adapun tanda bumi dan udara, maka berlainan dengan berlainanya negeri, Maka terkadang ada jalan, yang ada padanya bukityang tinggi, yang diketahui bahwa bukit itu di kanan atau di kiri,di belakang atau di hadapannya orang yang menghadap qiblat. Makahendaklah diketahui dan dipahami yang demikian!.


Begitu pula angin, Kadang-kadang ia menunjukkan pada sebahagian negeri. Maka hendaklah yang demikian itu, dipahami! Dan kami tidak sanggup menyelidiki yang demikian. Karena bagi masing-masing negeri dan iklim, mempunyai hukum lain.


Adapun tanda langit, maka dalil-dalilnya terbagi kepada : tandasiang dan tanda malam.


Tanda siang, yaitu : matahari. Maka tak boleh tidak dijaga, sebe­lum keluar dari negerinya, bahwa matahari itu ketika tergelincir (zawal), di mana ia berada. Apakah dia diantara dua bulu kening

572.

atau di atas mata kanan atau mata kiri atau ia cenderung lebih ba­nyak kepada dahi dari yang tadi. Sesungguhnya matahari pada negeri-negeri bahagian utara tidaklah melampaui tempat-tempat tersebut. Apabila dihafalnya yang demikian, maka manakala dike­tahui zawal dengan dalilnya yang akan kami sebutkan, niscaya diketahuilah qiblat.


Begitu pula dijaga tempat matahari waktu 'Ashar. Karena pada dua waktu ini (Dhuhur dan 'Ashar) diperlukan kepada qiblat dengan mud ah. Dan ini juga, karena adanya berlainan dengan berlainannya negeri-negeri. Maka tidak mungkin menyelidikinya. Adapun qiblat pada waktu Maghrib, maka dapat diketahui dengan tempat terbenam matahari. Yang demikian itu, dengan menghafal, bahwa matahari terbenam dari sebelah kanan orang yang mengha­dap qiblat. Atau matahari itu condong kepada mukanya atau kuduknya.


Dan juga dengan syafaq (cahaya merah setelah terbenam matahari) dapat diketahui qiblat untuk shalat Tsya*. Dan dengan tempat terbit matahari, diketahui qiblat untuk shalat Shubuh. Maka seolah-olah matahari itu, menunjukkan qiblat pada shalat lima waktu,



Tetapi yang demikian itu berlainan pada musim dingin dan musim panas. Sesungguhnya tempat terbit dan terbenam matahari itu banyak, walaupun terbatas pada dua arah. Maka tak boleh tidak mempelajari juga yang demikian.


Tetapi, kadang-kadang shalat Maghrib dan 'Isya* dikerjakan sesu­dah hilang syafaq. Maka tidak mungkin mendapat petunjuk kepada qiblat dengan syafaq. Maka haruslah dijaga tempat quthub.Yaitu : bintang yang dinamai : anak domba (jad-yi).


Dia itu bintang beredar (kaukab), seperti bintang tetap. Tidak terang gerakannya dari tempatnya. Yang demikian itu, adakalanya bintang itu berada atas kuduk orang yang menghadap qiblat. Atau atas bahunya yang kanan dari punggungnya. Atau bahunya yang kiri. Pada negeri-negeri bahagian Utara dan Makkah dan pada negeri-negeri bahagian Selatan, seperti Yaman dan sekitamya. Maka bintang itu berada pada hadapan orang yang menghadap qiblat. Maka dipelajarilah yang demikian. Dan apa yang diketahui- nya pada negerinya, maka hendaklah diperpegangi pada jalan selu- ruhnya. Kecuali apabila perjalanan itu sudah jauh. Sesungguhnya jarak perjalanan (al-masafah) itu, apabila sudah jauh, niscaya ber- lainanlah tempat berada matahari, tempat berada bintang quthub, tempat matahari terbit dan terbenam. Kecuali, ia sampai di tengah

573.


perjalanannya ke beberapa negeri, maka seyogialah bertanya kepa­da orang yang pandai atau mengintip bintang-bintang itu, di mana ia menghadap mihrab, dari masjid-j ami' negeri tersebut. Sehingga jelaslah kepadanya yang demikian. Maka manakala diketahui dalil- dalil itu, maka diperpegangilah kepadanya.


Kalau telah nyata kepadanya, bahwa ia bersalah dari arah qiblat kepada arah yang lain, dari arah-arah yang empat, maka seyogialah ia men-qadla'-kan shalatnya. Jikalau berpaling dari hakikat yang berbetulan qiblat, tetapi tidak keluar dari arah qiblat, niscaya ti­daklah wajib men-qadla'-kan shalat itu.


Dan sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat (khilaf) dian­tara para ahli fiqh (fuqaha'), mengenai yang dituntut: arah qiblat atau qiblat itu sendiri. Dan menyulitkan pengertian yang demikian kepada suatu golongan, karena mereka mengatakan : "Jikalau kita mengatakan, bahwa yang dituntut qiblat itu sendiri, maka kapan- kah tergambar ini serta negeri-negeri itu berjauhan? Dan jikalau kita mengatakan, bahwa yang dituntut arahnya, maka orang yang berdiri dalam masjid, jikalau ia menghadap arah Ka'bah, sedang badannya keluar dari setentang Ka'bah, niscaya tidak khilaf (tidak ada perbedaan pendapat) tentang tidak syah shalatnya. Dan para ahli fiqh itu telah melebar-panjangkan tentang pen-ta'wil-an arti khilaf mengenai arah dan qiblat itu sendiri ('ainnya). Pertama-tama, tak boleh tidak, memahami arti menghadap 'ain’ dan menghadap arah (jihah).


Arti : menghadap 'ain (menghadap qiblat itu sendiri), ialah berdiri pada suatu tempat, jikalau keluarlah garis lurus diantara kedua matanya ke dinding Ka'bah, niscaya bersambunglah kepadanya. Dan berhasillah dari kedua pihak garis, dua sudut yang bersamaan. Inilah gambarnya! Dan garis yang keluar dari tempat berdiri orang yang bershalat, diumpamakan keluar dari antara dua matanya. Maka inilah gambar menghadap 'ain qiblat
574.

Adapun menghadap arah (jihah), maka bolehlah padanya bersam bung ujung garis luar dari antara dua mata ke Ka'bah, tanpa bersamaan dua sudut dari dua arah garis. Bahkan, kedua sudut itu tidak bersamaan, kecuali apabila sampai garis itu kepada suatu titik tertentu, di mana titik itu satu. Kalau garis ini dipanjangkan secara lurus, kepada garis-garis yang lain, dari kanan atau kirinya, niscaya adalah salah satu dari dua sudut itu lebih sempit. Lalu keluarlah garis itu daripada menghadap %ain. Tetapi tidak keluar dari meng­hadap jihah itu. Karena kalau diumpamakan Ka'bah pada tepi garis itu, niscaya adalah orang yang berdiri itu, menghadap ke arah Ka'bah. Tidak ke ‘ain Ka'bah. Dan batas arah itu, ialah apa yang jatuh diantara dua garis, yang disangka oleh orang yang berdiri itu sedang menghadap ke arah, di mana kedua garis itu keluar dari dua mata. Lalu bertemulah tepi keduanya dalam kepala diantara dua mata, di atas sudut yang berdiri. Maka apa yang jatuh diantara dua garis yang keluar dari dua mata, itulah yang masuk dalam arah, Dan luas diantara dua garis itu bertambah-tambah, dengan pan- jangnya dua garis dan dengan jauhnya dari Ka'bah.


Apabila telah dipahami maksud 'ain dan jihah, maka kami kata kan, bahwa yang syah (yang benar) pada kami pada mem-fatwa- kannya, ialah : bahwa yang dituntut ialah : AIN, kalau Ka'bah itu mungkin dilihat. Dan kalau memerlukan kepada mencari petunjuk kepada Ka'bah, karena sukar (tidak dapat) melihatnya, maka memadailah menghadap : ARAH (jihah).

575.

Adapun dituntut menghadap 'ain ketika dapat dilihat, maka telah ijma* ulama padanya. Adapun mencukupi dengan jihah (arah), ketika sukar dilihat, maka telah dibuktikan oleh Al-Kitab (Al-Qur-an), Sunnah, perbuatan Shahabat ra. dan qias. Adapun Al-Kitab, yaitu firman Allah Ta'ala :
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
(Wa haitsu maa kuntum fawalluu wujuuhakum syathrah).Artinya :Dan di mana saja kamu berada hadapkanlah mukamu ke arahnya (ke arah Al-Masjidil-haram)!". (S. Al-Baqarah, ayat 150).



Dan orang yang menghadap ke arah Ka'bah, dikatakan : telah me malingkan (menghadapkan) mukanya ke arah Ka'bah. Adapun Sunnah, maka apa yang diriwayatkan dari Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bahwa beliau bersabda kepada penduduk Madinah :
ما بين المغرب والمشرق قبلة
(Maa bainal-maghribi wal-masyriqi qiblah).Artinya : "Apa yang diantara maghrib (tempat matahari terbenam) dan Masyriq(tempat matahari terbit) adalah "Qiblat". (l)


Maghrib (tempat matahari terbenam) itu berada di kanan pendu­duk Madinah. Dan Masyriq (tempat matahari terbit) berada di kiri- nya. Maka Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menjadikan semua yang ada diantara keduanya itu,qiblat. Dan luas Ka'bah, tidaklah mencukupi dengan apa yang ada diantara masyriq dan maghrib. Hanya mencukupi dengan demikian itu, arahnya.


Bunyi hadits tadi diriwayatkan juga dari 'Umar dan puteranya ra. Adapun perbuatan shahabat ra., ialah : apa yang diriwayatkan, bahwa penduduk masjid Quba', berada dalam shalat Shubuh di Madinah dengan menghadap ke-Baitul-maqdis, membelakangi Ka'­bah. Karena Madinah adalah diantara keduanya (antara Ka'bah di Makkah dan Baitul-maqdis). Lalu ada yang inengatakan kepada mereka, bahwa sekarang qiblat sudah diputar ke Ka'bah. Maka mereka itu berputar sedang shalat, tanpa mencari dalil (petunjuk). Dan tidak ada orang yang menantang perbuatan mereka. Dan masjid mereka itu namakan : Dzal-Qiblatain (Mempunyai dua Qiblat).

(1) Dirawikan At-Tirmidzi dan An-Nasai Dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
576.

Menghadap 'am dari Madinah ke Makkah, tidak diketahui, kecuali dengan dalil-dalil hindasah (ilmu ukur), yang lamalah penilikan kepadanya. Maka bagaimanakah dapat mereka mengetahui yang demikian, secara jelas pada waktu sedang shalat dan dalam kegelapan malam?..


Dan juga ditunjukkan oleh perbuatan para shahabat ra., bahwa mereka itu membangun masjid di keliling Makkah dan pada negeri- negeri Islam lainnya. Dan mereka tidak sekali-kali mendatangkan seorang insinyur ketika membangun mihrab -mihrabnya. Dan menghadap *ain itu, tidaklah dapat diketahui, kecuali dengan tilikan halus ilmu ke insinyuran.


Adapun qias, yaitu : bahwa keperluan meminta kepada menghadap qiblat dan membangun masjid-masjid di semua benua dibumi ini. Dan tidak mungkin menghadap 'ain, kecuali dengan ilmu penge­tahuan hindasah (ilmu ukur), yang tidak disuruh Agama penelitian padanya. Bahkan, kadang-kadang mengejutkan hati, untuk mendalami pengetahuannya. Maka bagaimanakah terdiri perintah Agama di atasnya? Maka wajiblah mencukupi dengan arah saja, karena kesulitan itu.


Adapun dalil syahnya gambar yang telah kami gambarkan itu, ialah terbatasnya penjuru dunia pada empat penjuru. Maka sabdaNabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. tentang adab membuang air (adab qadla'-hajat) :
لا تستقبلوا بها القبلة ولا تستدبروها ولكن شرقوا أو غربوا

(Laa tastaqbiluu bihal-qiblata wa laa tastad-biruu haa wa laakin syarriquu au gharribuu).
Artinya : "Janganlah kamu menghadap qiblat dan membelakangi- nya dengan membuang air itu. Tetapi menghadaplah ke timur (tempat matahari terbit) atau ke barat (tempat matahari terbe- nam)(1)


Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. mengucapkan hadits ini di Madinah. Dan tempat mata­hari terbit (Timur) adalah di sebelah kiri orang yang menghadap qiblat. Dan tempat matahari terbenam (Barat) adalah di sebelah kanannya. Maka Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. melarang dari dua arah dan memberi keringanan pada dua arah. Dan jumlahnya adalah empat arah. Dan tidaklah terguris dalam hati seseorang, bahwa penjuruvpenjuru dunia itu, mungkin diumpamakan enam atau tujuh atau sepuluh. Dan bagaimanakah adanya, lalu apakah hukumnya yang selebih- nya itu?.

(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Ayyub.
577.

Tetapi penjuru-penjuru itu tetap pada kepercayaan, berdasarkan kejadian manusia. Dan tidaklah bagi manusia, selain empat arah : muka dan belakang, kanan dan kiri. Maka adalah arah-arah itu empat, dengan menghubungkannya kepada manusia, menurut lahirnya pemandangan. Dan Agama tidak dibina selain atas keper­cayaan-kepercayaan yang seperti ini.

Maka jelaslah, bahwa yang dituntut ialah: arah. Dan itu memudah- kan urusan ijtihad dan mengajarkan dalil-dalil yang menunjukkan qiblat.


Adapun menghadap 'ain itu, maka sesungguhnya diketahui dengan mengetahui kadar lintang Makkah dari Khattulistiwa' dan kadar derajat panjangnya. Yaitu jauhnya dari awal bangunan di Timur. Kemudian, yang demikian itu,memperkenalkan pula tempat tegak- nya orang yang mengerjakan shalat. Kemudian, dibanding yang satu dengan lainnya. Dan memerlukan kepada alat-alat dan sebab-musabab yang panjang padanya. Dan Agama tidaklah sekali-kali dibina kepada yang demikian.

Jadi, kadar yang tidak boleh tidak mempelajariuya, dari dalil-dalil qiblat. itu, ialah tempat adanya timur dan barat pada waktu zawal. Dan tempat adanya matahari pada waktu 'Ashar. Maka dengan ini, gugurlah wajib itu.


Kalau anda bertanya, bahwa jikalau musafir itu keluar bermusafir, tanpa mengetahui yang demikian, adakah ia ma'shiat (berdosa)?. Maka aku menjawab, jikalau jalan yang ditempuhnya pada desa- desa yang sambung-menyambung, yang padanya ada mihrab- mihrab atau ada bersama dia dalam perjalanan itu, seorang yang tahu dalil-dalil yang menunjukkan qiblat, yang dapat dipercayai kejujuran dan keahliannya dan ia mampu mengikutinya, maka tidaklah ia ma'shiat. Dan jikalau tidak ada suatu-pun yang demiki­an tadi bersama dia, niscaya ma'shiatlah dia. Karena ia akan mela- kukan kewajiban menghadap qiblat dan tidak memperoleh penge- tahuannya. Maka jadilah yang demikian itu seperti pengetahuan tentang tayammum dan lainnya.

Jikalau dipelajarinya dalil-dalil itu dan meragukan kepadanya hal qiblat, disebabkan mendung yang menggelapkan atau karena me­ninggalkan mempelajarinya dan tidak diperolehnya dijalanan, orang yang akan di-ikutinya, maka haruslah ia mengerjakan shalat dalam waktu, menurut keadaannya. Kemudian, harus di-qadla'- kannya, baik ia betul atau salah.

578.

Orang buta, tidaklah baginya, selain daripada bertaqlid (mengikut). Maka hendaklah ia mengikuti orang, yang dipercayai keagamaan- nya. dan keahliannya, jikalau orang yang di-ikuti itu bersungguh- sungguh (berijtihad) pada mencari qiblat. Dan kalau qiblat itu terang, maka berpeganglah perkataan tiap-tiap orang yang jujur, yang menerangkan demikian. Baik di kampung atau dalam perja­lanan.


Dan tidaklah bagi orang buta dan orang bodoh, bermusafir dalam kafilah, yang tak ada padanya orang yang mengetahui dalil-dalil yang menunjukkan qiblat, di mana diperlukan kepada mencari dalil-dalil itu. Sebagaimana tidak boleh bagi orang awam bermuqim di suatu negeri, yang tak ada orang faqih (ahli ilmu fiqh), yang tahu dengan uraian Agama. Tetapi haruslah berhijrah ke tempat yang didapati orang yang mengajarkan Agama kepadanya. Demikian juga, jikalau tidak ada dalam negeri, selain seorang faqih yang fasiq. Maka harus juga ia berhijrah. Karena tidak boleh berpegang kepada fatwa orang fasiq itu. Keadilan (kejujuran) adalah syarat bolehnya menerima fatwa, sebagaimana pada penerimaan riwayat hadits.


Kalau ahli fiqh itu terkenal ahli, peri keadaannya tersembunyi tentang keadilan dan kefasiqannya, maka bolehlah kata-katanya diterima, manakala tidak diperoleh orang yang terang adilnya. Karena orang yang bermusafir dalam beberapa negeri, tidak akan sanggup menyelidiki keadilan juru-juru fatwa. Kalau dilihatnya ahli fiqh itu memakai sutera atau pakaian yang banyak suteranya atau mengendarai kuda, yang berpelana emas, maka telah teranglah kefasiqan orang itu. Dan terlaranglah meneri­ma kata-katanya. Maka hendaklah dicari orang lain. Dan demikian juga apabila dilihatnya ahli fiqh itu memakan pada meja makan sultan (penguasa), yang kebanyakan hartanya haram. Atau ia mengambil banyak harta dari sultan atau sambung-bersambung, tanpa diketahuinya bahwa harta yang diambilnya itu dari jalan halal.


Maka semua itu adalah fasiq, mencederakan keadilan dan melarang untuk diterima fatwa, riwayat hadits dan kesaksiannya. Adapun mengetahui waktu shalat yang lima itu, maka tidak boleh tidak, daripada mengetahuinya.

579.


Maka waktu Dhuhur masuk dengan gelincir matahari (zawal). Sesungguhnya tidak boleh tidak, bahwa semua orang pada permu­laan siang hari, mempunyai bayang-bayang yang panjang dipihak matahari terbenam. Kemudian senantiasalah bayang-bayang itu berkurang, sampai kepada waktu zawal. Kemudian bertambah sedikit demi sedikit pada pihak matahari terbit. Dan terus-menerus- lah bertambah sampai kepada waktu matahari terbenam. Maka hendaklah orang, musafir itu tegak berdiri, pada suatu tempat! Atau menegakkan kayu lurus dan hendaklah memberi tanda atas kepala bayang-bayang. Kemudian hendaklah memperha- tikan sesudah sesa'at! Jikalau dilihatnya bayang-bayang itu pada berkurang, maka belumlah masuk waktu Dhuhur. Jalannya pada mengetahui yang demikian, ialah bahwa ia mem- perhatikan di negeri itu, waktu adzannya juru adzan yang dapat diperpegangi, akan bayang-bayang tegaknya. Kalau bayang-bayang- nya itu, umpamanya, panjangnya tiga tapak kaki menurut ukuran tapak kakinya, maka manakala jadi yang demikian dalam perjalan­an dan bayang-bayang itu semakin bertambah, niscaya bershalat Dhuhurlah ia. Dan kalau bertambah lagi enam tapak kaki setengah, menurut tapak kakinya, niscaya masuklah waktu 'Ashar. Karena bayang-bayang semua orang dengan ukuran tapak kakinya sendiri, adalah lebih kurang enam setengah tapak kaki. Kemudian, bayang-bayang zawal itu tiap-tiap hari bertambah, kalau perjalanannya dari permulaan musim panas. Dan kalau pada permulaan musim dingin, maka tiap-tiap hari bayang-bayang itu berkurang.


Jalan yang terbaik untuk mengetahui bayang-bayang zawal, ialah memakai timbangan. Maka hendaklah si musafir itu membawanya serta! Dan hendaklah mempelajari perbedaan bayang-bayang dengan timbangan itu, pada tiap-tiap waktu.


Kalau diketahui tempat matahari, dari orang yang menghadap qiblat waktu zawal dan ia berada dalam perjalanan pada tempat, yang terang qiblat padanya dengan dalil lain, maka mungkinlah ia mengetahui waktu dengan matahari, dengan jadiriya matahari itu umpamanya diantara dua matanya, kalau ada matahari itu seperti yang demikian pada negeri tersebut.


Adapun waktu Maghrib, maka masuk waktunya dengan terbenam matahari. Tetapi, kadang-kadang bukit (gunung). mendindingi tem­pat terbenam itu. Maka seyogialah melihat ke pihak matahari terbit. Manakala telah tampak hitam di tepi langit, yang meninggi dari bumi sekadar tombak, maka masuklah waktu Maghrib.

580


Adapun Isya’ diketahui waktunya dengan terbenamnya syafaq. Yaitu : cahaya merah. Kalau cahaya merah itu terdinding dengan bukit (gunung), maka waktu 'Isya' itu, dapat diketahui dengan tampak dan banyaknya bintang-bintang kecil. Yang demikian itu, adalah sesudah hilangnya cahaya merah tadi. Adapun Shubuh, maka mula-mulanya lahir memanjang seperti ekor serigala. Dengan itu, beium dihukum waktu Shubuh sudah masuk, sehingga lalulah suatu masa. Kemudian menampak putih melintang, yang tidak sukar mengenalnya dengan mata, karena jelasnya.


Maka inilah awal waktu Shubuh! Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda : "Tidaklah waktu Shubuh itu begini. Dan beliau mengumpulkan diantara kedua tapak tangannya. Sesungguhnya waktu Shubuh begini. Dan beliau meletakkan salah satu telunjuknya di atas yang lain dan mem bukakan keduanya (1)

Nabi  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. menunjukkan dengan yang demikian, bahwa cahaya putih itu melintang.

Kadang-kadang diambil dalil Shubuh itu dengan kedudukan bulan (2) Yang demikian adalah lebih kurang, tidak ada kepastian. Tetapi yang diperpegangi ialah melihat bertebarnya cahaya putih melin­tang. Karena suatu golongan dari para ahli hisab menyangka, bah­wa Shubuh itu datang sebelum matahari, sebanyak empat kedu­dukan bulan. Dan ini salah. Karena yang demikian itu, ialah : fajar kadzib (fajar yang kemudian menghilang). Dan yang disebut- oleh ulama muhaqqiqun (ulama yang mempu­nyai dalil dengan penyelidikan mendalam), bahwa Shubuh itu mendahului dari terbit matahari dengan dua kedudukan bulan, inipun lebih kurang. Bahkan, tidak dapat menjadi perpegangan. Karena setengah tempat-tempat kedudukan bulan (al-manazil) itu, terbit melintang lagi miring. Maka pendeklah masa terbitnya. Dan setengah tempat-tempat kedudukan bulan itu tegak lurus. Maka panjanglah masa terbitnya.


Yang demikian itu berlain-lainan pada segala negeri, yang panjang­lah penjelasannya. Benar, tempat-tempat kedudukan bulan itu patut untuk mengetahui dekat dan jauhnya waktu Shubuh. Ada pun permulaan waktu Shubuh yang sebenarnya, tidaklah mungkin menentukannya sekali-kali, dengan dua tempat kedudukan bulan itu.

(1)      Dirawikan Ibnu^Majah dari Ibnu Mas'ud, dengan isnad shahih.
(2)      Kedudukan bulan (al-manazilil-qamariy ah ), adalah dua puluh delapan banyaknya yang ditempuh bulan dalam mengedari bumi demikian tersebut dalam Ittihaf syarah Ihya', juzu' VI, halaman 452. (Pent.).
581

Kesimpulannya, maka apabila tinggal empat tempat kedudukan bulan sampai kepada terbitnya tanduk matahari (yang pertama- tama menampak dari matahari) sekadar satu tempat bulan, diya- kinilah, bahwa itu fajar kadzib (cahaya terang yang menghilang kemudian). Dan apabila tinggal mendekati dua tempat bulan, diyakinilah terbitnya fajar shadiq (cahaya Shubuh yang tidak menghilang lagi). Dan tinggallah diantara dua cahaya terang itu, lebih kurang sekadar dua pertiga tempat kedudukan bulan, yang diragukan termasuk waktu terang yang benar (fajar shadiq) atau waktu terang yang bohong (fajar kadzib). Dan itulah permulaan lahir cahaya putih dan bertebarnya sebelum meluas lintangnya. Maka dari waktu yang diragukan tadi (waktu syak), seyogialah orang yang berpuasa, meninggalkan makan sahur. Dan orang yang bangun malam untuk shalat, mendahulukan shalat witir atas waktu syak itu. Dan tidak mengeijakan shalat Shubuh, sebelum berlalu masa yang diragukan tadi.


Apabila telah diyakini, maka dikeijakanlah shalat Shubuh. Dan jikalau orang bermaksud menentukan dengan pasti, waktu yang tertentu, di mana ia minum pada waktu itu selaku orang bersahur, dan berdiri sesudahnya dan mengeijakan shalat Shubuh yang bersambungan dengan itu, niscaya tidaklah ia sanggup kepada yang demikian. Maka tidaklah mengetahui yang demikian itu sekali-kali berada pada kemampuan manusia. Tetapi tak boleh tidak ditang- guhkan, demi berhenti sejenak dan karena keraguan. Dan tidaklah yang menjadi pegangan, selain yang tampak di mata. Dan tiada yang menjadi pegangan pada yang tampak itu, selain di atas cahaya yang menjadi bertebar pada lintang langit, sehingga lahirlah permu­laan warna kuning.


Mengenai ini, telah bersalah jumlah yang banyak dari manusia yang mengeijakan shalat sebelum waktunya. Dibuktikan terhadap yang demikian, oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu 'Isa At-Tirmidzi dalam JamVnya (yang terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi) dengan disanadkaimya dari Thalq bin *Ali, bahwa Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :

582

Mengenai ini, telah bersalah jumlah yang banyak dari manusia yang mengeijakan shalat sebelum waktunya. Dibuktikan terhadap yang demikian, oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu 'Isa At-Tirmidzi dalam JamVnya (yang terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi) dengan disanadkaimya dari Thalq bin *Ali, bahwa Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. bersabda :
قال كلوا واشربوا ولا يهيبنكم الساطع المصعد وكلوا واشربوا حتى يعترض لكم الأحمر
(Kuluu wasyrabuu wa laa yahibannakumus-saathi-'ul-musha'-'idu wa kuluu wasyrabuu hatta ya'-taridla lakumul-ahmar).Artinya : "Makanlah dan minumlah dan janganlah mengejutkan kamu dengan cahaya terang yang meninggi naik! Makanlah dan minumlah sehingga melintanglah bagimu cahaya merah!". (1) Dan ini adalah penegasan tentang menjaga cahaya merah itu. Abu 'Isa At-Tirmidzi berkata : "Dalam bab hadits ini tersebut sanadnya dari 'Uda bin Hatim, Abi Dzarr dan Samrah bin Jundub, Dan ini adalah hadits hasan (baik), gharib (tidak begitu terkenal). Menurut ahli ilmu hadits, hadits ini dapat diamalkan (dapat diam bil menjadi dalil)'


Ibnu 'Abbas ra. berkata : "Makanlah dan minumlah, selama cahaya itu terang cemerlang!".Pengarang Al-Gharibain (2) berkata : "Artinya : cahaya itu memanjang".
Jadi, tiada seyogialah berpegang, kecuali di atas menampaknya cahaya kuning. Dan seolah-olah cahaya kuning itu permulaan cahaya merah.


Sesungguhnya orang musafir itu memerlukan kepada mengenal waktu. Karena kadang-kadang ia menyegerakan shalat sebelum berangkat. Sehingga tidak menyusahkannya lagi untuk turun dari kendaraan. Atau ia menyegerakan shalat sebelum tidur, sehingga ia dapat beristirahat.


Kalau ia menetapkan dirinya untuk mengemudiankan shalat, sampai kepada waktu yang diyakininya, maka ia membolehkan dirinya kehilangan keutamaan awal waktu. Dan menanggung kepayahan turun dari kendaraan dan kepayahan melambatkan tidur sampai kepada keyakinan, yang tidak memerlukan kepada mem­pelajari ilmu waktu. Sesungguhnya yang sulit, ialah : awal waktu, tidak di tengah-tengahnya.


Telah tammat "Kitab Adab Safar". Dan akan di-iringi oleh "Kitab Adab Mendengar dan Kesannya Di hati.

(1)     Dirawikan Abu 'Isa At-Tirmidzi, katanya, hasan gharib.
(2)     Al-Gharibain, artinya : yang gharib dari Al-Qur-an dan dari Al-Hadits. Pengarang- nya, ialah: Abu 'Ubaid Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasyani (Pent.).
583

Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...