Kemarahan Pada Jalan ALlah

penjelasan Kemarahan pada jalan Allah.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang mencintai pada jalan Allah, niscaya tak boleh tidak, ia memarahi pada jalan Allah. Karena jikalaulah engkau mencintai seseorang manusia, karena ia mentha'ati Allah dan ia tercinta pada sisi Allah, maka kalau ia mendurhakai Allah, niscaya tak boleh tidak, engkau akan memarah- inya. Karena ia berbuat maksiyat kepada Allah dan ia tercela pada sisi Allah.

Dan barangsiapa mencintai disebabkan sesuatu sebab, maka dengan sendirinya ia memarahi bagi la wan sebab itu. Dan hal yang dua ini, adalah perlu-memerlukan. Tidak berpisah yang satu dari lainnya. Dan itu menurut kebiasaan, banyak terjadi pada kecintaan dan kemarahan; Tetapi masing-masing dari kecintaan dan kemarahan itu, penyakit yang tertanam dalam hati. Dan sesungguhnya ia tiris ketika mengeras. Ia tiris dengan lahirnya perbuatan orang-orang yang mencintai dan yang memarahi, pada dekat-mendekati dan jauh-menjauhi, pada perselisihan dan persesuaian. Maka apabila telah lahir pada perbuatan, niscaya dinamakan yang demikian : berteman dan bermusuh. Dan karena itulah, Allah Ta'ala berfirman : "Adakah engkau mengambil seorang teman pada jalan agama-Ku ?. Adakah engkau bermusuh dengan seorang musuh pada jalan agama-Ku?", sebagaimana telah kami nukilkan dahulu.

Dan ini adalah jelas terhadap prang yang tiada terang bagimu, selain dari ketha'atannya yang menentukan bagimu untuk mencintainya. Atau tiada jelas bagimu, selain dari kefasiqan dan kedzalimannya dan budi-pekertinya yang jahat. Lalu engkau menentukan untuk memarahinya.
Sesungguhnya yang sulit, ialah apabila bercampur ketha'atan de­ngan kema'shiatan. Maka engkau akan bertanya : "Bagaimanakah aku kumpulkan antara marah dan cinta, sedang keduanya itu ber­lawanan?".

273

Dan begitu pula berlawanan buahnya, dari persesuaian dan perseli- sihan, pershahabatan dan permusuhan. Maka aku menjawab, bahwa yang demikian itu tidaklah berlawanan terhadap Allah Ta'ala, sebagaimana tidak berlawanan pada bahagian- bahagian kemanusiaan. Karena manakala berkumpul pada diri seseorang, beberapa perkara yang disenangi sebahagiannya dan tidak disukai sebahagiannya, maka engkau mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari segi yang lain,

Orang yang mempunyai seorang isteri yang cantik yang durhaka atau seorang anak yang cerdik dan patuh, tetapi fasiq, maka ia akan mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari suatu segi. Dan adalah bersama orang itu, atas suatu keadaan diantara dua keadaan. Karena kalau diumpamakan, ia mempunyai tiga orang anak : seorang cerdik yang selalu berbuat kebaikan, seorang bodoh yang durhaka dan seorang lagi bodoh yang selalu berbuat kebaikan atau cerdik yang mendurhakai orang tuanya, maka orang tersebut, akan menjumpai pada dirinya, bersama anak-anaknya itu, dalam tiga hai yang berlebih-kurang, menurut berlebih-kurangnya hal-hal yang menyangkut dengan anak-anaknya.


Maka begitu pula, seyogialah keadaanmu terhadap orang yang ba­nyak berbuat kedzaliman dan orang yang banyak berbuat ketha'atan. Dan orang yang berkumpul padanya kedua-duanya, berlebih- kurang di atas tiga tingkat. Yaitu : engkau berikan kepada masing- masing sifat tadi, bahagiannya, dari kemarahan dan kesayangan, berpaling daripadanya dan menoleh kepadanya, berteman dan me- mutuskan perhubungan dan tindakan-tindakan lain yang timbul daripadanya.
Kalau engkau bertanya : "Tiap-tiap muslim itu, adalah keislamannya merupakan ketha'atan daripadanya. Maka bagaimanakah aku memarahinya serta keislamannya itu?".
Aku menjawab, bahwa engkau menyayanginya adalah karena keis­lamannya. Dan engkau memarahinya adalah karena kema'shiatan- nya. Dan adalah engkau terhadap orang itu dalam suatu keadaan, jikalau engkau bandingkan keadaan tersebut dengan keadaan orang kafir atau orang dzalim, niscaya engkau memperoleh perbedaan diantara keduanya. Dan perbedaan itu adalah kecintaan bagi Islam dan menunaikan hak Islam. Dan kadar pelanggaran terhadap hak Allah dan ketha'atan kepadamu, adalah seperti pelanggaran terha­dap hakmu dan ketha'atan kepadamu. Orang yang bersesuaian dengan kamu pada suatu maksud dan berlainan dengan kamu pada

274

maksud yang lain, maka adalah kamu bersama orang itu, dalam keadaan di tengah. Diantara tergenggam dan terlepas. Diantara menghadap dan berpaling. Diantara berkasih-kasihan kepadanya dan berjauhan hati daripadanya. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan memuliakannya, sebagaimana kamu berlebih-lebihan pada memulia­kan orang yang bersesuaian dengan kamu, dalam semua maksudmu. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan menghinakannya, sebagaimana kamu berlebih-lebihan menghinakan orang yang berselisih dengan kamu dalam segala maksudmu. Kemudian keadaan di tengah itu (ta-tawash-shuth), sekali adalah kecondongannya ke pinggir penghinaan, ketika mengerasnya pelanggaran. Pan sekali ke pinggir berbaik-baikan dan pemliliaan, ketika mengerasnya persesuaian. Maka begitulah seyogianya terhadap orang yang mentha'ati Allah Ta'ala dan mendurhakai-Nya, yang berbuat sekali bagi kerelaan-Nya dan pada kali yang lain bagi kemarahan-Nya.

Kalau engkau bertanya : "Dengan apakah kemarahan itu mungkin dilahirkan?".
Aku menjawab : adapuh mengenai perkataan, maka sekali dengan mencegah lisan daripada berkata-kata dan bercakap-cakap dengan dia. Dan pada kali yang lain,dengan meringankan dan memberatkan perkataan itu. Mengenai perbuatan, maka sekali dengan memutus- kan usaha memberi pertolongan kepadanya. Dan pada kali yang lain, dengan usaha yang memburukkan dan merusakkan segala maksudnya.
Dan sebahagian ini, lebih keras dari sebahagian yang lain. Yaitu menurut tingkat kefasiqan dan kema'shiatan yang timbul dari­padanya. Adapun hal yang terjadi karena kesilapan, yang diketahui bahwa orang itu menyesal atas perbuatan tersebut dan ia tidak me neruskannya lagi, maka yang lebih utama ialah menutup dan me- micingkan mata daripadanya.

Adapun yang dikerjakannya terus-terusan, baik kecil atau besar, maka jikalau orang itu termasuk orang yang kuat berkasih-kasihan, pershahabatan dan persaudaraan antara engkau dan dia, maka un­tuk itu mempunyai hukum lain. Dan akan datang penjelasannya. Dan pada persoalan ini terdapat perbedaan antara para 'ulama. Adapun apabila tiada teguh persaudaraan dan pershahabatan, maka tak boleh tidak daripada menampakkan bekas kemarahan. Adakala­nya berpaling muka dan menjauhkan diri daripadanya, serta sedikit sekali menoleh kepadanya. Dan adakalanya meringankan dan mem­beratkan perkataan kepadanya. Dan ini adalah lebih berat daripada berpaling muka daripadanya. Yaitu menurut berat dan ringannya kema'shiatan.
275

Begitu pula tentang perbuatan, terdapat dua tingkat. Salah satu daripadanya, memutuskan pertolongan, kekasih-sayangan dan perbantuan. Dan itu adalah tingkat yang paling rendah. Dan tingkat yang lain (tingkat yang Satu lagi), ialah berusaha merusakkan segala maksudnya, seperti perbuatan musuh yang sangat marah. Dan ini tak dapat tiada daripadanya. Tetapi, adalah pada sesuatu yang dapat merusakkan padanya jalan kema'shiatan. Adapun hal- hal yang tak membekas padanya, maka janganlah diperbuat. Umpamanya : orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah dengan jneminum khamar dan ia telah meminang seorang wanita. Jikalau mudah ia mengawininya, niscaya ia amat gembira dengan wanita tersebut, disebabkan harta, kecantikan dan kemegahannya. Hanya, yang demikian itu, tidak membekas untuk mencegahnya dari meminum khamar dan tidak untuk membangkit dan menggerakkannya- kepada meminum khamar.

Maka apabila engkau sanggup menolongnya, supaya sempuma maksudnya dan hajatnya itu dan engkau sanggup pula untuk mengacaukan maksudnya itu, supaya maksudnya tadi tidak tercapai, maka janganlah engkau berusaha mengacaukannya. Adapun menolong, kalau engkau tinggalkan memberi pertolongan itu, un­tuk melahirkan kemarahan kepadanya karena kefasiqannya, maka tiada mengapa. Dan tidaklah wajib meninggalkan pertolongan itu. Karena kadang-kadang engkau mempunyai niatan untuk melahirkan kasih-sayang dengan memberi pertolongan dan menampakkan belas- kasihan kepadanya. Supaya ia percaya akan kasih-sayangmu dan menerima akan nasehatmu.

Ini adalah baik. Dan kalau tidak jelas yang demikian bagimu, tetapi engkau berpendapat untuk menolongnya, buat mencapai maksud­nya, sebagai pelaksanaan terhadap keislamannya, maka yang demi­kian itu, tidaklah dilarang. Bahkan adalah yang terbaik, jikalau kema'shiatannya itu, adalah pelanggaran terhadap hakmu atau hak orang yang ada sangkutannya dengan kamu. Dan mengenai ini, tersebut dalam firman Allah Ta'ala :

216

وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
(Wa laa ya'tali ulul fadl-li minkum wassa'ati an-yu'tuu ulil qurbaa wal-masaakiina wal-muhaajiriina fii sabiilillaahi wal-ya'fuu wal-yash- fahuu alaa tuhibbuuna an-yaghfirallaahu lakum).Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mampu dan berkela pangan dari antara kamu (bersumpah) tidak mau membantu akan keluarga yang dekat dan orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, tetapi hendaklah mereka ma'afkan dan ber lapang dada. Bukankah engkau suka kiranya Allah mengampun- kan kamu". S. An-Nur, ayat 22.

Karena Musaththah bin Atsatsah yang membicarakan ke sana-sini tentang peristiwa berita bohong itu (berita fitnah tentang perbuatan seorang laki-laki terhadap 'A-isyah ra.). Lalu Abu Bakar ra. bersum­pah untuk memutuskan bantuannya kepada Musaththah tersebut, di mana beliau memberi pertolongan harta kepadanya. Maka turun- lah ayat tadi, serta betapa besarnya kema'shiatan yang dilakukan Musaththah. Dan manakah ma'shiat yang melebihi dari tuduh an yang amat keji itu terhadap isteri Rasulullah saw. dan meman jangkan lidahnya kepada seumpama 'A-isyah ra.?

Kecuali Abu Bakar Shiddiq ra. (ayahanda 'A-isyah ra.) adalah orang yang terani aya dirinya dengan peristiwa itu dan memberi ma'af kepada orang yang berbuat aniaya dan berbuat baik (ihsan) kepada orang yang berbuat jahat, adalah termasuk akhlaq orang-orang shiddiq. Dan sesungguhnya amatlah baiknya berbuat ihsan kepada orang yang berbuat aniaya kepada kamu. Adapun orang yang berbuat dza­lim kepada orang lain dan melakukan perbuatan ma'shiat kepada Allah dengan dia, maka tidaklah baik' berbuat ihsan kepadanya. Karena pada berbuat ihsan kepada orang dzalim, adalah berbuat kejahatan kepada orang yang teraniaya. Dan hak orang yang teraniaya adalah lebih utama dipelihara. Dan menguatkan hatinya dengan memalingkan muka dari orang dzalim, adalah lebih disukai oleh Allah, daripada menguatkan hati orang dzalim.

Adapun apabila engkau menjadi Orang yang teraniaya, maka yang lebih baik, pada hak dirimu itu, mema'afkan dan berlapang dada. Cara orang-orang terdahulu (salaf), adalah berlain-lainan tentang menyatakan kemarahan terhadap orang-orang yang berbuat ma'­shiat. Dan mereka itu semua, sepakat melahirkan kemarahan terha­dap orang-orang dzalim, orang-orang bid'ah dan tiap-tiap orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah, dengan kema'shiatan yang menjalar kepada orang lain.
277

Adapun orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah pada dirinya sendiri, maka sebahagian salaf ada yang memandang, dengan mata kasih-sayang kepada semua orang-orang ma'shiat itu. Dan sebahagi­an dari mereka, ada yang sangat menantang dan memilih jalan berhijrah.

Adalah Ahmad bin Hanbal berhijrah (meninggalkan) orang-orang besar, dengan perkataan yang sedikit saja. Sehingga beliau mening­galkan Yahya bin Mu'in karena katanya : "Sesungguhnya aku tiada akan meminta pada seseorang akan sesuatu. Dan kalau sultan membawa kepadaku sesuatu, niscaya aku ambil". Dan Ahmad bin Hanbal meninggalkan Al-Harts Al-Muhasibi, ten­tang setengah-setengah ia menolak kaum mu'tazilah. Dan mengata­kan : "Sesungguhnya haruslah pertama-tama engkau menyebutkan syubhat (keragu-raguan yang didatangkan oleh orang mu'tazilah itu). Dan engkau ajak manusia berpikir padanya. Kemudian engkau tolak dalil-dalil orang mu'tazilah itu".

Dan Ahmad bin Hanbal berhijrah dari Abu Tsaur, mengenai penta' wilannya akan sabda Nabi saw.:
أن الله خلق آدم على صورته
(Innallaaha khalaqa Aadama 'alaa shuuratih). Artinya: "Sesungguhnya Allah menjadikan Adam di atas bentuk Nya"(1)

Dan ini adalah keadaan yang berlainan dengan berlainannya niat. Dan niat itu berlain-lain an dengan berlainannya keadaan. Maka jikalau yang mengeras pada hati, adalah memandang kepada terpaksa dan lemahnya manusia dan bahwa manusia itu terperintah kepa­da apa yang ditaqdirkan baginya, niscaya ini membawa kepada tasaahul (memandang enteng) pada permusuhan dan kemarahan. Dan ia mempunyai segi tersendiri. Tetapi kadang-kadang berminyak- minyak air (al-mudahanah), menyerupai dengan yang demikian . Maka yang terbanyak membangkitkan kepada menutup mata dari perbuatan-perbuatan ma'shiat, ialah sifat berminyak-minyak air, menjaga hati, takut dari keliaran dan kejauhan hati. Kadang-kadang setan itu memakaikan yang demikian, kepada orang bodoh yang du- ngu, dengan orang itu memandang dengan mata kasih-sayang. Dan menghapuskan yang demikian, ialah : ia memandang kepada­nya dengan mata kasih-sayang, jika orang itu berbuat aniaya kepada khusus haknya sendiri. Dan mengatakan, bahwa orang itu terperintah bagi perbuatan tersebut. Dan Jtaqdir tidaklah bermanfa'at dari­padanya kehati-hatian. Dan bagaimanakah tidak diperbuatnya yang demikian dan sesungguhnya telah dituliskan yang demikian itu ke­padanya?
1.Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
278

Maka hal yang seperti ini, kadang-kadang shah niat baginya pada memincingkan mata dari pelanggaran terhadap hak Allah. Dan ka­lau ia berkesal hati ketika pelanggaran terhadap haknya dan mena- ruh bel^ kasihan ketika pelanggaran terhadap hak Allah, maka ini adalah orang yang berminyak-minyak air, yang tertipu dengan salah satu dari tipuan-tipuan setan. Maka hendaklah waspada untuk yang demikian itu!.

Kalau anda mengatakan, bahwa derajat yang paling kurang pada melahirkan kemarahan, ialah meninggalkan, memalingkan muka , memutuskan kasih-sayang dan pertolongan, maka adakah yang de­mikian itu wajib, sehingga ma'shiatlah seorang hamba dengan me­ninggalkan kemarahan yang demikian?
Maka aku menjawab, bahwa tidaklah masuk yang demikian dalam ilmu dhahir dibawah taklif (pembebanan tugas agama) dan peng- wajiban. Sesungguhnya kita tahu, bahwa mereka yang meminum khamar dan mengerjakan perbuatan keji pada zaman Rasulullah saw. dan para shahabat, tidaklah para shahabat itu meninggalkan mereka secara keseluruhan. Tetapi cara shahabat itu, terbagi pada mengha- dapi orang-orang yang berbuat keji tadi, kepada: yang mengeraskan perkataan dan melahirkan kemarahan kepadanya, kepada yang ber­paling muka dan tidak mendatangi kepadanya dan kepada yang memandang kepada orang yang berbuat kekejian itu dengan mata kasih-sayang dan tidak memilih berputus silatur-rahim dan menjauhkan diri.

Maka inilah titik-titik halus keagamaan, yang berlainan padanya jalan orang-orang yang menjalani ke jalan akhirat. Dan adalah amal- an masing-masing, menurut yang dikehendaki oleh keadaan dan waktu. Dan yang dikehendaki oleh keadaan pada segala hal ini, ada­kalanya yang dimakruhkan atau yang disunatkan. Maka adalah pada tingkat hal-hal yang utama dan tidaklah berkesudahan kepada peng- haraman dan pengwajiban. Karena yang masuk di bawah taklif, ialah pokok pengenalan (ma'rifah) akan Allah Ta'ala dan pokok kecintaan. Dan yang demikian, kadang-kadang tidak melewati dari yang dicintai kepada lainnya. Dan yang melewati, ialah berlebih-le­bihan dan kerasnya kecintaan itu. Dan yang demikian, tidaklah sekali-kali masuk dalam fatwa dan dibawah taklif yang jelas pada pihak orang awam.
279

penjelasan tingkat-tingkat mereka yang dimarahi pada jalan Allah dan cara bergaul dengan mereka.
Kalau anda mengatakan, bahwa melahirkan kemarahan dan permu- suhan dengan perbuatan, jikalau tidak wajib, maka tidak ragu lagi, bahwa itu sunat. Dan orang-orang ma'shiat dan fasiq itu, adalah pada tingkat-tingkat yang berlain-lainan. Maka bagaimanakah mem­peroleh keutamaan bergaul dengan mereka? Adakah ditempuh suatu jalan, dengan semua mereka atau tidak? Maka ketahuilah, bahwa orang yang menyalahi perintah Allah siyt. selalu ada. Adakalanya menyalahi pada i'tiqad atau pada amalannya. Dan yang menyalahi pada i'tiqad, adakalanya orang bid'ah atau orang kafir. Dan orang bid'ah itu, adakalanya melakukan da'wah kepada kebid'ahannya atau berdiam diri saja. Dan yang berdiam diri itu, adakalanya disebabkan kelemahan atau pilihannya yang demi­kian.

Maka pembahagian kerusakan pada i'tiqad itu, adalah tiga :
Pertama : kekafiran (kufur). Dan orang kafir itu, kalau ia kafir har- bi (kafir yang dalam keadaan perang dengan orang muslimin), maka ia berhak dibunuh dan diambil menjadi budak. Dan tak ada lagi penghinaan, sesudah yang dua ini.

Adapun kafir zimmi (kafir yang keamanannya dalam jaminan pemerintah Islam), maka tidak boleh menyakitinya. Kecuali dengan memalingkan muka daripadanya dan menghinakannya dengan pak- saan kepada jalan yang sempit dan meninggalkan memulai salam. Apabila ia mengucapkan: "Assalamu'alaika" السلام عليك (Salam sejahtera kepa­damu), maka engkau menjawab : وعليك "Wa'alaika" (Dan kepadamu). Dan yang lebih utama, ialah mencegah daripada bercampur, bergaul dan wakil-mewakilkan dengan dia.
280

Adapun berlapang dada dan berjinakkan hati kepadanya, sebagai­mana berjinakkan hati kepada teman-teman, adalah sangat makruh, yang hampir berkesudahan yang kuat dari kemakruhan itu, kepada batas pengharaman.

Allah Ta'ala berfirman :

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(Laa tajidu qauman yu'-minuuna billaahi wa) y aumil-aakhiri yu waad duuna man haaddallaaha wa rasuulahu walau kaanu aabaa-ahum au-abnaa-ahum au-ikhwaanahum au-'asyiiratahum, ulaa-ika kataba fii quluubihimul-iimaana wa ayyadahum biruuhin minhu wayud- khiluhum jannaatin tajrii min tahtihal stnhaaru khaaiidiina fiiha, radliallaahu 'anhum waradluu 'anhu, ulaaika hizbullaahi alaa inna hizbailaahi humul-muflihuun).Artinya : "Engkau tidak akan mendekati kaum yang beriman ke­pada Allah dan hari akhirat, menunjukkan kecintaan mereka kepada orang-orang yang menantang Allah dan Rasul-Nya, walaupun adalah mereka (yang menantang) itu, bapa-bapa mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka. Mereka itu telah dituliskan oleh Allah dalam hatinya keimanan dan telah dikuatkan-Nya mereka dengan pertolongan daripada-Nya danla akan memasukkan mereka ke dalam sorga, yang mengalir padanya sungai-sungai, di mana mereka itu kekal di dalamnya, Allah telah merelai mereka dan merekapun rela kepada-Nya. Mereka itu tentara Allah. Ketahuilah, bahwa tentara Allah itulah yang memperoleh kemenangan". S. Al-Mujadalah, ayat 22.

Nabi saw. bersabda : المسلم والمشرك لا تتراءى ناراهما "Orang muslim dan orang musyrik tidaklah akan lihat-melihat neraka keduanya (1)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
(Yaa-ayyuhalladziina aamanuu laa tattakhidzuu 'aduwwii wa-'aduw- wakum auliyaa-a tulquuna ilaihim bil-mawaddah).Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu jadikan musuh-Ku dan musuhmu itu menjadi pemimpin, yang kamu tunjukkan kepada mereka kasih-sayang. Al-Mumtahanah, ayat 1.

Kedua: Orang yang berbuat bid'ah, yang mengajak orang lain kepa­da bid'ahnya. Jikalau bid'ah itu, di mana dapat mengkufurkan , maka keadaannya adalah lebih berat daripada orang dzimmi. Kare­na orang bid'ah itu, tidak diakui dengan pembayaran pajak (jizyah)* Dan tidak diperbolehkan mengadakan ikatan meqjadi tanggung ja­wab pemerintah Islam ('aqdi dzimmah). Dan kalau orang bid'ah itu, termasuk orang yang tidak dihukum kafir, maka persoalannya diantara dia..dan Allah, sudah pasti lebih ringan daripada persoalan orang kafir. Tetapi persoalan menantangnya, adalah lebih berat daripada orang kafir. Karena kejahatan kafir itu, tidaklah menjalar. Karena orang-orang Islam itu yakin atas kekafirannya. Maka mereka tidak menoleh kepada kata-katanya, disebabkan ia tidak mendak- wakan dirinya Islam dan ber'itiqad benar.
(1) Dirawikan AnNasai dan kata AlBukhari bahwa hadits ini mursal.
281

Adapun orang bid'ah yang mengajak orang lain kepada bid'ahnya dan mendakwakan bahwa apa yang diajaknya itu adalah benar, maka itu adalah sebab tertipunya orang banyak. Kejahatannya menjalar kepada orang lain. Maka sunnah melahirkan kemarahan, permusuhan, memutuskan hubungan, menghinakan, memburuk- annya dengan kebid'ahannya dan mengajak manusia untuk menjauhkan diri daripadanya. Dan kalau ia memberi salam pada tempat yang tak ada orang, maka tiada mengapa menjawab salamnya.

Dan kalau anda ketahui, bahwa berpaling muka daripadanya dan berdiam diri daripada menjawab salamnya, adalah memburukkan kebid'ahan orang itu,pada dirinya dan mengesankan pada menjauh- kannya, maka meninggalkan jawab salamnya, adalah lebih utama. Karena menjawab salam, walaupun wajib, menjadi gugur dengan maksud yang kecil saja, di mana padanya ada kemuslihatan. Sehing­ga gugurlah wajib menjawab salam, dengan adanya orang yang me­nerima salam itu di kamar mandi atau sedang membuang air. Dan maksud pencegahan itu, adalah lebih penting dari maksud-maksud tadi.

Dan kalau salam dari orang bid'ah itu di muka orang banyak, maka meninggalkan jawabnya adalah lebih utama, untuk menjauhkan manusia daripadanya dan memburukkan kebid'ahannya dihadapan mereka.

Dan begitu juga lebih utama mencegah berbuat lisan dan memberi pertolongan kepada orang bid'ah itu. Lebih-lebih mengenai sesuatu yang tampak kepada orang banyak.

Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa menggertak orang bid"ah, niscaya ia diamankan oleh Allah pada hari kegundahan besar (hari qiamat). Dan barangsiapa melunakkan dan memuliakan orang bid'ah atau bertemu dengan dia dengan kegembiraan, maka sesungguhnya ia telah memandang ringan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw.(1)

(1) Dirawikan Abu N’im dan Al-Harawi dari Ibnu 'Umar, dengan sanad dla'if.
282

Ketiga : Orang bid'ah yang awam, yang tidak mampu mengajak orang dan tidak dikuatiri, orang akan mengikutinya. Maka persoalannya lebih mudah. Yang lebih utama, ialah tidak memburuk- burukkannya dengan kata-kata kasar dan penghinaan. Tetapi de­ngan kata-kata yang lemah-lembut, menasehatinya. Karena hati orang awam itu, lekas bertukar. Kalau nasehat itu tidak berman fa'at dan dengan memalingkan muka daripadanya adalah memburukkan kebid'ahannya pada diri orang itu, niscaya amatlah sunnah berpaling muka dari orang bid'ah itu.

Dan kalau diketahuinya bahwa yang demikian tidak membekas pada orang bid'ah tersebut, disebabkan keras tabi'atnya dan men dalam kepercayaan itu pada hatinya, maka memalingkan muka ada­lah lebih utama.Karena bid'ah itu, apabila tidak secara berlebih-lebihan memburuk- kannya, niscaya menjadi terkenal diantara orang banyak dan mera- talah kerusakannya.

Adapun orang yang berbuat ma'shiat dengan perbuatan dan amalan, bukan dengan i'tiqad, maka tidaklah terlepas, adakalanya dia itu, di mana orang lain mendapat kesakitan dengan sebab dia, seperti kedzaliman, perampokan, kesaksian palsu, cacian, pemukulan dian­tara orang banyak, berjalan kesana-kemari dengan lalat merah (berita fitnah) dan hal-hal yang seumpama dengan yang demikian. Atau ma'shiatnya itu tidak terbatas padanya saja, tetapi menyakit- kan orang lain juga. Dan yang demikian itu, terbagi kepada : apa yang membawa orang lain kepada kerusakan, seumpama orang yang memiliki tempat kejahatan, di mana ia mengumpulkan lelaki dan wanita dan menyediakan sebab-sebab minuman dan kerusakan, untuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Atau ia tiada mengajak orang lain kepada perbuatannya, seumpama orang yang meminum khamar dan meiakukan penzinaan.

Dan ini, yang tidak mengajak orang lain kepada perbuatannya, ada­kalanya ma'shiatnya itu dosa besar atau dosa kecil. Dan masing- masing daripadanya, adakalanya terus-menerus mengerjakan ma'­shiat atau tidak terus-menerus.

Maka dari pembahagian-pembahagian ini, berhasillah tiga bahagian. Dan tiap-tiap bahagian daripadanya mempunyai tingkatan. Dan setengahnya lebih keras dari yang lain. Dan tidaklah kami tempuh semuanya itu dengan satu jalan.

Bahagian Pertama : Yaitu yang lebih keras mendatangkan melarat kepada orang banyak, seperti : berbuat dzalim, merampok, naik saksi palsu, mengupat dan mem fitnah. Maka terhadap mereka itu, yang lebih utama, ialah berpaling muka dari mereka, meninggalkan bercampur-baur dan menghentikan bergaul. Karena kema'shiatan berat sekali, tentang apa yang mendatangkan kepada menyakit­kan orang banyak.

283

Kemudian, mereka itu terbagi kepada : orang yang berbuat dzalim pada darah (pembunuhan) dan kepada orang yang berbuat dzalim pada memalukan orang lain. Dan sebahagiannya, adalah lebih keras dari sebahagian yang lain. Maka disunatkan benar menghina dan berpaling muka dari orang-orang dzalim tersebut. Dan manakala diharapkan dari penghinaan, itu dapat mengejutkan mereka atau orang lain, maka hal yang demikian itu, lebih dikuatkan dan dike- raskan lagi.

Bahagian Kedua : Orang yang mempunyai tempat kejahatan, yang menyediakan segala sebab kerusakan dan memudahkan jalan keru- sakan itu kepada orang banyak. Maka orang tersebut, tidak menya­kitkan orang banyak pada dunia mereka. Tetapi dengan perbuatan itu, merusakkan keagamaan mereka. Dan kalau perbuatan itu, sesuai dengan kesukaan mereka, maka bahagian yang kedua ini, mendekati dengan bahagian yang pertama itu. Tetapi lebih ringan daripadanya. Karena kema'shiatan diantara hamba dan Allah Ta'ala, adalah lebih mendekati kepada kema'afan. Tetapi dari segi, bahwa perbuatan itu umumnya menjalar kepada orang lain, maka adalah lebih berat. Dan juga ini menghendaki penghinaan, memalingkan muka, memu- tuskan silaturrahim dan meninggalkan menjawab salamnya, apabila diduga bahwa pada tindakan yang demikian, adalah semacam ger- tak kepada orang itu dan kepada orang lain.


Bahagian Ketiga : Orang yang berbuat fasiq pada dirinya sendiri, dengan meminum khamar atau meninggalkan yang wajib atau me- ngerjakan yang terlarang yang tertentu baginya. Maka mengenai ini, persoalannya adalah lebih ringan. Tetapi jikalau dijumpai ia pada waktu sedang mengerjakan yang terlarang tadi, niscaya wajiblah dicegah dengan cara, di mana ia mencegah dirinya dari perbuatan itu. Meskipun dengan pukulan dan penghinaan. Karena mencegah dari yang munkar, adalah wajib.

Dan apabila orang itu telah selesai mengerjakan ma'shiat tersebut dan diketahui bahwa yang demikian itu adalah termasuk kebiasaan- nya dan ia selalu mengerjakan kejahatan itu, maka dalam hal ini, jikalau ia yakin bahwa nasehatnya mencegah orang itu dari kembali kepada kejahatan tadi, niscaya wajiblah dinasehati. Dan jikalau ia tidak yakin yang demikian, tetapi ia mengharap yang demikian, maka yang lebih utama, ialah menasehati dan menakutkannya de-

284

ngan kasar, jikalau yang demikian itu lebih bermanfa'at. Adapun berpaling muka daripada menjawab salamnya dan mence­gah daripada bercampur-baur dengan dia, di mana dia itu diketah&i terus-menerus berbuat kejahatan dan nasehat tidak bermanfa'at kepadanya, maka dalam hal ini ada pandangan. Dan pendapat 'u- lama mengenainya, berbeda-beda. Dan yang shahih (yang benar), bahwa yang demikian itu, berbeda-beda dengan berbedanya niat orang.


Maka ketika ini, dikatakan : bahwa segala perbuatan itu dengan niat. Karena tentang kasih-sayang dan memandang dengan kaca- mata kesayangan kepada orang banyak, adalah semacam merendah­kan diri (tawadlu'). Dan pada sikap kasar dan memalingkan muka, adalah semacam gertak. Dan yang diminta fatwa kepadanya, adalah hati. Maka apa yang dilihatnya, lebih condong kepada hawa nafsunya dan kehendak tabi'atnya, maka yang lebih utama, ialah lawan dari yang demikian.

Karena kadang-kadang adalah memandang enteng dan menggertak orang yang berbuat kejahatan itu, timbul dari kesombongan dan kebanggaan, merasa senang dengan melahirkan ketinggian dan pe- nunjukan kepada perbaikan. Kadang-kadang kasih-sayangnya itu, timbul dari berminyak-minyak air dan kecondongan hati untuk mencapai sesuatu maksud atau karena takut dari membekas keliaran dan keliaran hati pada kemegahan atau harta dengan dugaan yang dekat atau yang jauh. Dan semuanya itu kembali kepada penunjuk- an sethan dan jauh dari amal perbuatan orang-orang akhirat.

Maka tiap-tiap orang yang gemar pada 'amalan agama itu, bersung guh-sungguh dirinya memeriksa yang halus-halus ini dan mengintip (muraqabah) segala keadaan yang tersebut. Dan hati adalah yang mengeluarkan fatwa padanya. Kadang-kadang ia memperoleh kebe- naran padaijtihadnya dan kadang-kadang iatersalah. Kadang- kadang ia tampil mengikuti hawa nafsunya dan ia mengetahui yang demikian. Kadang-kadang ia tampil dan karena tertipu, lalu menyangka bahwa ia berbuat karena Allah dan berjalan pada jalan akhirat. Dan akan datang penjelasan yang halus-halus ini pada "Kitab Tertipu" dari "Rubu' Yang Membinasakan" (Rubu' Al- Muhlikat).

Dan ditunjukkan kepada peringanan persoalan, mengenai kefasiqan yang teledor, diantara hamba dan Allah, oleh riwayat: bahwa seorang peminum khamar dipukul dihadapan Rasulullah saw. ber- kali-kali. Dan orang itu kembali berbuat yang demikian. Lalu seo- .

285

Dan ditunjukkan kepada peringanan persoalan, mengenai kefasiqan yang teledor, diantara hamba dan Allah, oleh riwayat: bahwa seorang peminum khamar dipukul dihadapan Rasulullah saw. ber- kali-kali. Dan orang itu kembali berbuat yang demikian. Lalu seo rang shaKabat berkata: "Dikutuki Allah kiranya orang, yang alang­kah banyaknya meminum khamar". Maka Nabi saw. menjawab :   
لا تكن عونا للشيطان على أخيك
(Laa takun 'aunan lisy-syaithaani 'alaa akhiika).
Artinya : "Janganlah engkau menolong sethan terhadap sudara-mu"min

Atau kata-kata lain yang diucapkan Nabi saw. yang searti dengan yang tadi. Dan ini menunjukkan bahwa berkasih-sayang adalah lebih utama daripada bersikap kasar dan keras.

Categories: Share

Pembukaan

Klik Di bawah untuk pdf version Ihya Jilid 1 PDF Ihya Jilid 2 Pdf IHYA ULUMUDDIN AL GHAZALI Arabic Versio...