Penjelasan tentang Ilmu Yang Fardu Kifayah
Ketahuilah bahwa fardiu tidak berbeda dengan yang tidak fardlu, kecuali dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu.Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada : ilmu syari'ah dan bukan ilmu syari'ah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu
syari'ah ialah yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh
akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu
kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.
Maka ilmu-ilmu yang bukan syari'ah,
terbagi kepada : ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan.
Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan
duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada
fardlu kifayah dan kepada ilmu utama yang tidak fardlu.
Yang fardlu kifayah, ialah
tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi,
seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia.
Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli,
pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain-lainnya. Inilah ilmu-ilmu, jikalau
kosonglah negeri dari pada orang- orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah
penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang bangun menegakkan
ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.
Dari itu, tak usah diherankan
dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran dan ilmu berhitung itu termasuk
fardiu kifayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardiu
kifayah, seumpama pertanian, pertenunan dan siasat Bahkan juga pembekaman dan
penjahitan, karena jikalau kosonglah negeri dari tukang bekam maka segeralah
datang kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah mereka itu membawa dirinya kepada
kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan penyakit, Dia pulalah yang
menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan
sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa diri kepada
kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.
Adapun ilmu yang dihitung :
utama, tidaklah fardu. Maka mendalami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung,
ilmu kedokteran dan lain-Iainnya, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu
penting. Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pd kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu yang tercela yaitu :
ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Adapun ilmu yang dibolehkan yaitu
: ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan
sebagainya.
Adapun ilmu syari'ah dan itulah yang
dimaksud menjelaskannya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang
bercampur dengan apa yang disangkakan itu syari'ah. Pada hal adalah itu
tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji dan tercela.
Yang terpuji mempunyai pokok,
cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga berjumlah empat.
Yang pertama : pokok (ushul).
Yaitu empat :=
=Kitabullah 'Azza wa Jalla,
=Sunnah Rasul صلى الله عليه وسلم
=ljma' ummat dan
=peninggalan-peninggalan shahabat (atsar).
=Kitabullah 'Azza wa Jalla,
=Sunnah Rasul صلى الله عليه وسلم
=ljma' ummat dan
=peninggalan-peninggalan shahabat (atsar).
Dan ljma' itu pokok, dari segi
bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah. Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga.
Begitu juga peninggalan shahabat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada
Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur'an.
Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh
orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui
dengan petunjuk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat
untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan shahabat.
Dan yang demikian itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu dan
tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.
Yang kedua : Cabang (furu').
yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang
dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai
oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, Sehingga dari
kata-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat
dipahami dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :لا يقضي القاضي وهو غضبان
(Laa yaqdlil qaadlii wa huwa
ghadl-baanu).Artinya :"Hakim (kadli) itu tidak mengadili perkara ketika
dia sedang marah'(1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Bikrah.) Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar
atau merasa sakit .
Ilmu furu' itu terbagi dua :
Pertama menyangkut dengan
kepentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung
jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia.
Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi
pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah.
Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam
jumlah kitab '."Ihya'Ulumiddin". Dan sebahagian daripadanya, ialah
ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan 'adat
kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.
Yang ketiga : mukaddimah (ilmu
pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa.
Kedua-nya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah
Rasul صلى الله
عليه وسلم Bahasa dan tata-bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu
syari'ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari'ah (Agama
Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain
dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat.
Dan setengah dari alat, ialah :
ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting. "Karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم sendiripun tidak tahu tulis baca أميّاً (ummi) رسول الله صلى الله عليه وسلم أميّاً (Dirawikan Ibnu Mardawalh dari Abdullah bin umar,)
Kalaulah tergambar dapat dihafal
semua yang didengar, maka menulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya,
lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.
Yang keempat : penyempurna, yaitu
: mengenai ilmu Al-Quran. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan
kata-katanya seperti mempelajari qira'ah (cara membaca), dan bunyi hurufhya.
Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian
itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab
turunnya dan suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci).
Karena semata-mata bahasa saja,
tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti
mengetahui yang nasikh dan mansukh, yang umum dan yang khusus, yang nash dan
yang dhahir dan cara meng- gunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian
lainnya. Yaitu suatu ilmu yang bernama "Ushulul-fiqh". Dan ilmu ini
melengkapi juga Sunnah Nabi.
Adapun, ilmu penyempurna pada
hadits Nabi dan peninggalan peninggalan shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai
perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya
dan ilmu mengenai adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam
meriwayatkan hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits
kuat. Dan mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal
dan hadits musnad. Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu (**)
Inilah ilmu-ilmu syari'ah dan
semuanya itu terpuji, bahkan semua-nya termasuk fardlu kifayah.
Jikalau anda tanyakan :
mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqih
dengan ulama-ulama dunia? Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah
Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan
dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke
dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang
makhsyar, kemudian kesorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah
kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat
mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa
yang patut untuk perbekalan itu.
Kalau manusia itu memperoleh
dunia dengan keadilan, maka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para
alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan
nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada
penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan penguasa itu memerlukan kepada
undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat manusia itu.
Ahli fiqih, ialah orang yang tahu
dengan undang-undang siasah, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila
bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan
dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur
urusan duniawi dengan kelurusan mereka.
**Hadits mursal, yaitu : periwi-perawinya tidak jelas sambung menyambung sampai kepada Nabi saw., sedang hadits musnad adalah Jelas (peny).87
Demi sebenarnya, hal tersebut,
berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan
dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi
akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan
agama adalah dua anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal.
Sesuatu yang tidak berpokok (bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal
(berpenjaga), hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan
penguasa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan pemerintahan,
ialah dengan fiqih.
Sebagaimana siasah manusia dengan
pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama.
Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu, di mana agama tidak sempurna, kecuali
dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi,
bahwa ibadah hajji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal
dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu suatu hal dan
berjalan menuju ibadah hajji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan,
di mana hajji itu tidak akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hal
ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu,
adalah hal keempat.
Maka hasil dari pengetahuan
fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan
kepada yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad :
لا يفتي
الناس إلا ثلاثة أمير أو مأمور أو متكلف
(Laa yuftin naasa illaa
tsalaatsatun amiirun au raa'muurun au mu- takallifun).
Artinya :"Tidak memberi
fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga : amir atau ma'mur atau yang
memikul beban itu (mutakallif)". (1)
Amir ialah imam (penguasa).
Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma'mur ialah wakil dari amir. Yang memikul
beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa
diperlukan.
1.Dirawikan Ibnu Majah dari 'Amr bin Syu'jib, isnadnya hassan (baik).
88
Para shahabat Nabi ra. menjaga
diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan
kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang
ilmu Al-Quran dan jalan ke akhirat.
Pada setengah riwayat, ganti dari
yang memikul beban itu, ialah : "Orang yang bekerja dengan ria". Maka
orang yang mau memikul risiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak
ditugaskan untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan
dan harta.
Jika anda menyatakan kepadaku
bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu, kalaupun betul, hanya mengenai hukum
penganiayaan, hukum denda, utang-piutang dan penyelesaian persengketaan, maka
tidaklah betul mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa dan shalat. Dan tidak
pada yang dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum mu'amalah, dari penjelasan
halal dan haram.
Ketahuilah! Bahwa yang terdekat
dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, di mana amal
perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah tiga : Islam, shalat dan
zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih
tentang hal di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut tidaklah melampaui
batas-batas dunia kepada akhirat.
Apabila telah dipahami demikian
pada yang tiga tadi, maka pada lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka
ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang syah dari padanya, tentang yang
batal dan tentang syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan padanya, selain
kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang ahli
fiqih. Karena Rasulullah saw. meletakkan pemegang pedang dan kekuasaan,diluar
hati, dengan sabdanya :
هلا شققت
عن قلبه؟
(Hallaa syaqaqta 'an qalbih).
Artinya :"Mengapa tidak
engkau pisahkan dari hatinya?". (1)
(1) Dirawikan Muslim dari Usamah bin Zaid.
89
Sabda ini ditujukan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. kepada seorang pembunuh, yang membunuh
orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya
itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam
dibawah naungan pedang, pada hal ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi
niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan.
Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya.
Dan tangan itu memanjang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah
menyelamatkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum lagi terpisah
dari padanya. Begitulah di dunia. Dari itu, Nabi saw. bersabda
قال صلى
الله عليه وسلم : أمرت أن أقاتل الناس حتى
يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم
(Umirtu an uqaatilan naasa hattaa
yaquuluu laa ilaaha illallaahu fa-idzaa qaaluu haa faqad 'ashamuu minnii
dimaa-ahum wa amwaa- lahura).Artinya :Aku disuruh memerangi manusia sehingga
mereka mengucapkan لا
إله إلا الله Apabila telah diucapkannya,
maka terpeliharalah darah dan hartanya daripadaku". Nabi saw. menetapkan
akibatnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta". (1)
Adapun di akhirat, maka harta itu
tidak berguna padanya. Tetapi nur-hati, rahasianya dan keikhlasannya yang
berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih
mencempelungkan diri dalam ilmu fiqih, adalah seperti kalau ia mencempelungkan
diri dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar
bidangnya.
Mengenai shalat, maka. ahli fiqih
itu berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala
perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh
shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung penjualan di
pasar, kecuali ketika bertakbir.Shalat semacam itu tidaklah bermanfa'at di
akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah
manfa'atnya.
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abl Hurairah.
90
Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan
syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi
perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.
Adapun khusu' dan menghadirkan
hati yang menjadi amal perbuatan akhirat dan dengan itu bermanfa'atlah amal
dhahir, maka tidaklah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, maka
adalah di luar bidangnya.
Mengenai zakat, maka ahli fiqih
itu memandang yang mana dapat diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada
yang enggan mem- bayar zakat, lalu penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena
telah diputuskan, bahwa harta itu telah terlepas dari hak miliknya.
Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu
Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia
sendiri menerima pemberian dari isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka
diceriterakannya hal itu kepada Imam Abu Hanifah ra.
Imam Abu Hanifah ra. menjawab :
"Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih
dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala
penganiayaan".
Seumpama inilah kiranya, ilmu
yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan haram, maka menjaga diri (wara')
dari yang haram, adalah sebahagian dari agama. Tetapi wara' itu mempunyai empat
tingkat:
Tingkat pertama : ialah
penjagaan diri (wara'), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian. Yaitu bila
penjagaan diri yang tersebut tidak ada, maka orang tidak boleh menjadi saksi,
hakim dan wali. Penjagaan diri yang dimaksud, ialah penjagaan diri, dari
perbuatan yang nyata haramnya.
Tingkat kedua : ialah
wara' orang-orang salih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat,
yang ada padanya kemungkinan- kemungkinan yang diragukan.
Bersabda Nabi صلى
الله عليه وسلم
قال صلى
الله عليه وسلم: دع ما يريبك إلى مالا
يريبك
(Da'-maa yariibuka ilaa maa laa
yariibuka).
Artinya :"Tinggalkanlah yang
meragukan untuk diambil yang tidak meragukan". (1)
Dan Nabi saw. bersabda :
وقال صلى
الله عليه وسلم: الإثم حزاز القلوب
(Al-itsmu hazzaazul quluub).
Artinya :"Dosa itu membawa
penyakit bagi hati (jiwa)". (2)
Tingkat ketiga: ialah wara'
orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya
halal tetapi dikuwatiri terbawa kepada yang haram.
Bersabda Nabi صلى
الله عليه وسلم:
لا يكون الرجل من المتقين حتى يدع ما
لا بأس به مخافة مما به بأس
(Laa yakuunurrajulu minal
muttaqiina hattaa yada'a maa laa ba'sa bihi ma khaafatan raimmaa bihi ba'sun)Artinya :"Tidaklah orang itu
bernama orang taqwa, sebelum ia meninggakan sesuatu yang tak ada apa-apanya,
karena takut kepada yang ada apa-apanya". (3)
Contohnya seumpama : menjaga diri
(wara') dari mempercakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada
mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut
bergelora semangat dan tenaga yang membawa kepada perbuatan terlarang.
1.Dirawikan At-Tirmidzi, An-Nasa-i- dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Ali .
2.Dirawikan Al-Baihaqi dari ibnu Mas'ud. Dan dirawikan Al-'Adani, hadis mauquf.
3.Dirawikan At-Tirirmidzi, Ibn Majah dan Al-Hakim dan ditashihkannya dari 'Athiy- yah as-a'dl.
Tingkat keempat : ialah wara' orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta'ala. Karena takut terpakai meskipun sesa'at dari umur, kepada yang tidak mendatang- kan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla, walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak membawa kepada yang haram.
Maka semua tingkat tadi adalah di
luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu : mengenai
pemeliharaan diri (wara') saksi, hakim dan yang merusakkan 'adalah (keadilan).
Menegakkan pemeliharaan diri (wara') dengan yang demikian, tidaklah meniada-
kan dosa di akhirat.
Bersabda Nabi saw. kepada
Wabishah :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لوابصة:
استفت قلبك وإن أفتوك وإن أفتوك
(Istafti qalbaka wa-in aftauka
wa-in aftauka wa-in aftauka).
Artinya :"Mintalah fatwa
kepada hatimu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang
telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa
kepadamu!". (1)
Ahli fiqih itu tidak
memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya.
Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan 'adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh
perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu,
ada perbaikan jalan akhirat. Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari
sifat-sifat hati dan hukum akhirat, adalah termasuk ke dalam percakapannya itu
secara sambil lalu. Sebagaimana kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya,
persoalan kedokteran, berhitung, ilmu bin tang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana
termasuknya ilmu falsafah ke dalam tatabahasa dan pantun.
Sufyan Ats-Tsuri, seorang
pemuka ilmu dhahir berkata : "Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu
fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat". Bagaimana? Telah sepakat
para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana
ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung
ibu) hukum al-li'an (mengutuk isteri), hukum as-salam (berjual beli benda yang
belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifat- nya saja oleh si
penjual), sewa-menyewa dan tukar-menukar uang? Dan orang yang mempelajari
hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, adalah gila.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala
amal ta'at. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu.
1.Dirawikan Ahmad dari Wabishah.
Kalau anda bertanya, mengapa
tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran
juga berhubungan dengan dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula
dengan kebaikan agama. Dan penyamaan ini menyalahi dengan ijma' ummat Islam?
Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu
tidaklah suatu keharusan, bahan terdapat perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih
itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi :
Pertama : fiqih itu ilmu
syari'ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu
kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk ilmu syari'ah.
Kedua : ilmu fiqih itu tidak
dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat,
baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh
orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.
Ketiga : ilmu fiqih itu
berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal
perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota
tubuh itu, adalah peri laku hati (jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbuatan
itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri
dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang
tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan
hati (jiwa) itu.
Adapun sehat dan sakit, maka
tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu
adalah dari sifat-sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati.
Maka manakala
dihubungkan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah kemuliaan ilmu
fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih,
maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan ke akhirat.
Jika anda menyatakan :
"Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang
menunjukkan isi serta tujuannya, meskipun tidak sampai terperinci benar!".
Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan
ke akhirat itu adalah dua macam,
(1).ilmu mukasyafah dan
(2 )ilmu mu'amalah.
(2 )ilmu mu'amalah.
Yang pertama : ilmu mukasyafah
itu ialah ilmu bathin. Dan itulah, kesudahan segala ilmu. Telah berkata
setengah arifin (ahli ilmu ma'rifah yaitu ilmu mengenal Allah Ta'ala) :
"Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku takut akan
buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah). Sekurang-kurang bahagian
dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya".
Berkata yang lain : "Orang
yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu
ini, yaitu, berbuat bid'ah atau takabur".
Ada lagi yang mengatakan :
"Barang siapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu,
niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada
ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang mengingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini". Ahli
yang berkata tadi lalu bermadah :
Relalah terhadap orang yang
telah hilang dari engkau,
Oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya ".
Itulah ilmu orang-orang shiddiqin
dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah.
Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela.
Dari cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas.
Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma'rifat yang hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya yang kekal sempurna, perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada Nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal alam malakut langit dan bumi, mengenai hati dan betapa benterokan antara bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenai perbedaan antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenai akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari firman Allah Ta'ala :
ومعنى قوله تعالى:اقرأ كتابك كفى بنفسك اليوم عليك حسيبا= الاسراء
(Iqra' kitaabaka kafaa binafsikal
yauma 'alaika hasiiban).Artinya:" Bacalah kitabmu
!!! Cukuplah pada hari ini, engkau
membuat perhitungan atas dirimu sendiri". (S. Al-Isra', ayat 14).dan maksud firman Allah Ta'ala :وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
(Wa innad daaral aakhirata
lahiyal hayawaanu lau-kaanuu yala-muim).Artinya:"Dan bahwa kampung
akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui". (S.
AI-Ankabut, ayat 64).
Dan arti berjumpa dengan Allah
Ta'ala dan memandang kepada wajahNya Yang Maha Mulia, arti dekat dengan Allah
dan bertempat disampingNya, arti memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam
arwah, Malaikat dan Nabi-nabi arti berlebih-kurangnya pangkat ahli Sorga,
sehingga mereka melihat satu sama lain, seumpama menampak bintang bersinar
dilembaian langit dan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan.
Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanyaitu adalah contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.
Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanyaitu adalah contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.
Setengah berpendapat bahwa
sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat
yang sebenarnya yang dipahami dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian
mereka berpendapat, bahwa kesudahan mengenai Allah Ta'ala ialah mengakui
kelemahan diri dari pada mengenalNya. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal
yang agung, tentang mengenai Allah Ta'ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa
batas mengenai Allah Ta'ala itu, ialah apa yang sampai kepada aqidah orang
kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta'ala itu ada, maha mengetahui, maha
kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata.
Kami maksudkan dengan ilmu
mukasyafah itu ialah bahwa terangkat tutup yang menutupi sehingga jelaslah
kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana
mata memandang, yang tak diragukan lagi.Hal yang demikian itu mungkin
pada diri (jauhar) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan
karat dan kotor dengan kotoran dunia.
Sesungguhnya kami maksudkan
dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenal cara menggosok cermin
tersebut, dari kotoran-kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) dari pada
Allah Ta'ala, daripada mengenal sifat-sifat dan af'alNya. Membersihkan dan mensucikannya
ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam
segala hal, kepada ajaran Nabi-Nabi as.
Maka menurut apa yang cemerlang
dari hati dan berbetulan kearah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikatnya.
Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti
pada tempatnya dam dengan ilmu dan mengajarinya.
Inilah ilmu yang tidak dituliskan
dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah
dianugerahi oleh Allah Ta'ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama
ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar-pikiran dan dengan cara rahasia.inilah ilmu tersmbunyi yang
dimakudkan oleh Nabi صلى الله عليه
وسلم dengan sabdanya :
الذي أراده صلى الله عليه وسلم بقوله:
إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا أهل المعرفة بالله تعالى فإذا
نطقوا به لم يجهله إلا أهل الاغترار بالله تعالى فلا تحقروا عالما آتاه الله تعالى
علما منه فإن الله عز وجل لم يحقره إذ آتاه إياه
(Innaa minal 'ilmi kahaiatil
maknuuni laa ya'lamuhu illaa ahlul ma'rifati billaahi ta'aalaa. Fa-idzaa
nathaquu bihii lam yjuhalhu illaa ahlul ightiraari billaahi ta'aalaa. Falaa
tahqiruu 'aaliman aataa- hullaahu ta'aalaa 'ilman minhu, fa-innallaaha 'azza wa
jalla lam yah- qirhu idz-aataahu iyyaah).Artinya :"Sesungguhnya
sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak
diketahui, selain oleh ahli yang mengenalnya (ma'rifat) akan Allah Ta'ala.
Apabila mereka mempercakapkannya,........................ maka tidak ada yang
tak mengerti. selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah
Ta'ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi
oleh Allah Ta'ala ilmu tsb. Karena Allah Ta'ala sendiri tidak menghinakannya
karena telah menganugerahinya ilmu tadi". (1)
Yang kedua : ilmu
mu'amalah, ialah ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya,
seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah,
mengenai nikmat Allah Ta'ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik
budi, bagus pergaulan, benar&ikhlas. Maka mengetahui hakikat hal keadaan
ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan,hasil, tanda dan cara
mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang
sehingga kembali, adalah termasuk sebahagian dari ilmu akhirat.
Adapun yang tercela yaitu : takut
miskin, marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi,
suka di puji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur,
riak marah, keras kepala, suka bermusuhan. amarah, loba, kikir, gembira tidak
pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan ditangannya,
menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka
berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran ; suka campur
soal yang tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi
pekerti, berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurangan orang melupakan
kekurangan diri sendiri, hilang perasaan gundah dan takut dari hati, sangat
menekan perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran,
mengambil teman dhahir dari musuh bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah
Ta'ala, pada menarik apa saja dari pemberianNya, bersandar kepada ta'at, murka,
khianat, tokoh-menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan
dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa
sepi bercerai dengan mereka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan
kurang belas kasihan..
1.Dirawikan Abu Abdirrahman As-Salami dari Abu Hurairah, isnad dla'if .
Inilah dan yang seumpama dengan
ini, dari sifat-sifat hati (jiwa), menjadi sumber perbuatan keji dan tempat
tumbuh perbuatan terlarangLawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat
memancar ta'at dan pendekatan diri kepada Allah Ta'ala.
Maka mengetahui batas-batas hal
ini, hakikat, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardiu
'ain menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu
tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana
orang yang membuang muka dari segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan
kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.
Maka pandangan ulama fiqih
mengenai fardlu 'ain itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia, sedang
ini, bersandar kan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang
ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau
tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria, maka ia akan
tertegun, sedangkan karena fardiu 'ainnya, bila diabai kan akan mendatangkan
kebinasaannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li'an,dhihar,berlomba
kuda dan memanah, niscaya akan diletakkannya dihadapanmu berjilid-jilid buku
dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, pada hal sedikitpun
tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya tidaklah kosong negeri,
dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu
senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan
mempelajarinya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.
Apabila didesak, maka ahli fiqih
itu menjawab : "Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu
ilmu agama dan fardlu kifayah". Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada
mempelajarinya.
Orang cerdik itu tahu bahwa kalau
adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardlu kifayah, tentu
didahulukannya fardlu 'ain. Bahkan juga akan didahulukannya banyak dari
fardlu-fardlu kifayah yang Iain dari ilmu fiqih itu.
Berapa banyak negeri yang tidak
berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang dilindungi pemerintah
Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi
mengenai hal yang menyangkut dengan kedokteran.
Kemudian, tidak seorangpun dari
orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan kedokteran. Mereka
berlomba-lomba kepada ilmu fiqih, lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan.
Negeri penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi
penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana
ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya mengerjakan fardiu kifayah yang
telah dikerjakan oleh suatu golongan. Dan mengabaikan yang tak ada orang bangun
mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu? Hanya pengetahuan
kedokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat,
pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman
sejawat dan berkuasa menghantam lawan.
Benarlah kiranya, telah
terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta'ala
tempat bermohon pertolongan. KepadaNya tempat berlindung, kiranya
'dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang membawa kepada amarahNya dan
menertawakan setan.
Ahli wara' dari ulama dhahir,
mengaku kelebihan ulama bathin dan yang mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi'i
ra. pernah duduk dihadapan Syaiban Pengembala, seperti duduknya seorang anak
kecil di maktab,seraya bertanya: "Bagaimana membuat itu dan itu?" Maka dikatakan kepada Imam
Asy-Syafi'i : "Seperti engkau bertanya pada Badui ini?". Maka
menjawab Imam Syafi'i : "Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami
lupakan".
Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan
Yahya bin Mu'in selalu pergi menjumpai Ma'ruf Al-Karkhi, padahal dalam ilmu
dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan
Yahya menanyakan : "Bagaimana?". Sedang Rasulullah saw. pernah
bersabda, ketika ditanyakan : "Apa yang kami perbuat, apabila datang
kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan
Sunnah?".
Maka Nabi صلى
الله عليه وسلم: menjawab :
سلوا الصالحين واجعلوه شورى بينهم
(Salush shaalihiina waj-'aluuhu
syuuraa bainahum).
Artinya :"Tanyakanlah kepada
orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan
mereka". (1)
1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, dipandang lemah oleh kebanyakan ahli hadits.
100
Karena itulah, dikatakan bahwa
ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama bathin adalah
hiasan langit dan alam malakut. Berkata Al-Junaid ra. : "Bertanya As-Sirri
guruku- kepadaku pada suatu hari : "Apabila engkau berpindah daripadaku,
maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?". Lalu aku jawab : "Dengan
Al-Muhasibi". Maka ia berkata : "Ya, betul! Ambillah dari ilmunya dan
adab kesopanannya! Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam dan
serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama mutakallimin)! '.
Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan : "Kiranya
Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dijadikan-Nya
engkau, seorang sufi yang ahli hadits". Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa
orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf, maka akan
memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan
membahayakan bagi dirinya.
Kalau anda bertanya :
"Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam dan falsafah dalam
bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau
terpuji?".
Ketahuilah, bahwa hasil yang
dilengkapi padanya ilmu kalam, ialah dalil-dalil yang bermanfa'at. Maka
Al-Quran dan hadits itu melengkapi padanya. Yang di luar dari Al-Qur'an dan
Sunnah, maka adakalanya pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan
bid'ah, yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang menyangkut
dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan mengambil
kata-kata, yang kebanyakannya batil dan keliru, dipandang buruk oleh pribadi
yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan sebahagiannya lagi campuran
pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan tak dikenal pada masa
pertama dari agama.
Dan adalah turut campur padanya
dengan keseluruhan termasuk bid'ah. Tetapi sekarang, hukumnya telah berubah.
Karena telah muncul bid'ah yang menyeleweng dari kehendak Al-Quran dan Sunnah.
Dan telah tampil suatu golongan yang mencampuradukkan barang yang tak jelas.
Lalu mereka menyusun kata-kata yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu,
memperoleh keizinan karena terpaksa. Bahkan telah menjadi sebagian dari fardlu
kifayah.Yaitu kadar yang dihadapi oleh pembuat bid'ah, apabila bermaksud
menyerukan orang kepada bid'ah.Dan yang demikian kepada batas yang tertenttu
akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, insya Allah Ta'ala
Adapun falsafah, maka tidaklah
ia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari empat bahagian :
Pertama ilmu ukur dan ilmu
berhitung.
Keduanya mubah (dibolehkan)
sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang
yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu yang tercela. Kebanyakan orang yang
bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi, lalu keluar kepada bid 'ah. Dari itu
orang yang lemah, harus dijaga dari kedua ilmu tadi, bukan karena'ain (diri)
keduanya, sebagaimana dijaga anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke
dalam sungai. Dan sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam,daripada
bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena ditakuti mem- bahayakan
kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan
mereka.
Kedua ilmu mantiq (ilmu
logika),
yaitu membahas cara membuat dalil
dan syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk
dalam ilmu kalam.
Ketiga ilmu keTuhanan.
Yaitu membahas tentang dzat Allah
Ta'ala dan sifatNya. Ini termasuk juga dalam ilmu kalam.
Para filosuf tidak menyendiri
mengenai ilmu keTuhanan dengan bentuk suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka
menyendiri dengan bentuk aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari
padanya adalah kufur dan sebahagian lagi adalah bid'ah. Sebagaimana aliran
Mu'tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi
penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama mutakallimin (ulama ilmu
kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri dengan
madzhab-madzhab yang batil. Maka seperti itu pulalah filosuf-filosuf. Keempat
ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi syara' dan agama benar. Itu adalah
kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian
ilmu.
Sebahagian lagi pembahasan,
tentang sifat-sifat jizim (benda yang bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah
dan bertukar bentuknya.Dan itu menyerupai dengan pandangan para dokter.
Bedanya, dokter itu memperhatikan pada tubuh manusia khususnya, dari segi ia
sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu memperhatikan pada seluruh
benda yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia berubah dan bergerak.
Tetapi ilmu kedokteran mempunyai
kelebihan dari ilmu alam. Yaitu ilmu alam itu memerlukan kepada ilmu
kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam itu, tidak diperlukan kepadanya.
Jadi, ilmu kalam itu termasuk
dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah, untuk menjaga hati orang awwam,
dari pengkhayalan ahli bid'ah. Yang demikian itu terjadi, dengan terjadinya
bid'ah, sebagaimana datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam
perjalanan hajji, dengan adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang
dilakukan orang Arab. Kalau orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka
tidaklah menyewa pengawal itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji.
Maka karena itulah, kalau tukang
bid'ah itu telah meninggalkan perkataan yang sia-sia, maka tak perlu lagi
menambah dari apa yang ada pada masa shahabat Nabi ra.
Maka ahli ilmu kalam hendaklah
mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan kedudukan ilmu kalam dalam agama,
sebagai kedudukan pengawal dalam perjalanan hajji. Apabila pengawal itu tidak
melakukan pengawalan, niscaya dia tidak termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan
ahli ilmu kalam apabila tidak melakukan tugasnya untuk berdebat &
mempertahankan pendirian, tidak menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja
mendidik dan memperbaiki hati, maka tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam
jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu kalam itu agama, selain aqidah
yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang lain. 'Aqidah itu termasuk dalam
golongan amal perbuatan dhahir dari hati dan lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam
dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan penjagaan.
Adapun mengenal Allah Ta'ala,
sifat dan af'al-Nya serta sekalian yang telah kami isyaratkan dalam ilmu
mukasyafah, maka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam. Malah hampir adalah ilmu
kalam itu menjadi hijab dan penghalang. Dan sesungguhnya, sampai kepadanya,
ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh hati) yang dijadikan oleh Allah
sebagai mukaddimah bagi petunjuk, dengan firman-Nya :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ
لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
(Wal ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum
subulanaa wa innal laaha lama'al muhsiniin).
Artinya :"Mereka yang
bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki mereka akan jalan Kami dan
sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik ". (S.Al-Ankabut, ayat 69).
Jika anda berkata, bahwa aku
telah berulang kali mengatakan akan batas tugas ahli ilmu kalam, kepada menjaga
'aqidah orang awwam dari gangguan pembuat bid'ah sebagaimana batas tugas
pengawal, ialah menjaga pakaian jama'ah hajji dari gangguan orang Arab dan
berulang-kali aku mengatakan akan batas tugas ahli fiqih, ialah menjaga
undang-undang (qanun), yang dapat mencegah penguasa, kejahatan sebahagian musuh
dari sebahagian yang lain.
Ini dua tingkat yang menurun,
dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan ulama ummat yang terkenal dengan
keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan ulama kalam. Merekalah makhluk
yang utama pada sisi Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah menurun- nya derajat
mereka kepada kedudukan yang rendah itu, dengan menyandarkan kepada ilmu agama?
Maka ketahuilah, bahwa orang yang
mengenai kebenaran dengan orang-orang adalah orang yang heran dalam keheranan
kesesatan. Dari itu kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenai ahli
kebenaran itu, kalau engkau berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau
padakan dengan taqlid dan melihat kepada yang termasyhur dari tingkat-tingkat
keutamaan diantara manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat Nabi
saw. dan ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku
bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu kalam,
atas terkemukanya para shahabat itu. Dan sesungguhnya tidak terdapat tujuan
pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu jejak mereka. Dan
tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam dan fiqih, akan tetapi dengan ilmu
akhirat dan jalan menuju kepadanya. ما فضل أبو بكر رضي الله عنه الناس
بكثرة صيام ولا صلاة ولا بكثرة رواية ولا فتوى ولا كلام ولكن بشيء وقر في صدره
Tidaklah Abu Bakar ra. melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat, banyak
meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya adalah karena
sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui oleh Nabi saw. Sendiri.
(1)
Dari itu hendaklah engkau
berusaha mencari rahasia itu! Itulah jauhar yang bernilai dan mutiara yang
tersimpan rapi. Tinggalkan lah akan apa yang bersesuaian engkau dengan
kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap pengagungan dan penghormatannya.
Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.
1.Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Bakar bin Abdullah Al-Maini dan kata Al-lraqi, aku tidak mendapatinya marfu'.
104
Rasulullah saw. telah berpulang
dengan meninggalkan beribu-ribu orang shahabat ra. Semuanya ulama billah.
Mereka dipuji oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik tentang ilmu kalam. Dan
tidak menegakkan dirinya menjadi juru fatwa, kecuali beberapa belas orang saja.
Diantaranya ialah : Ibnu Umar ra.
Apabila Ibnu Umar ra. dimintakan
fatwanya, lalu ia menjawab kepada peminta itu : "Pergilah kepada amir Anu
yang bertanggung jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya".
Kata-kata itu menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan
dan hukum-hukum, adalah termasuk mengikuti kekuasaan dan pemerintahan.
Ketika Umar ra. wafat, maka
berkata Ibnu Mas'ud : "Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10)
ilmu".
Lalu orang bertanya kepadanya :
"Mengapakah anda berkata demikian, padahal di tengah-tengah kita masih
banyak shahabat?"
Ibnu Mas'ud menjawab : "Aku tidak maksudkan ilmu
fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku maksudkan ilmu tentang Allah Ta'ala. Adakah
anda berpendapat bahwa maksud Ibnu Mas'ud itu ilmu kalam dan ilmu berdebat?
Kalau begitu mengapa anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang
hilang sembilan persepuluh dari padanya, dengan wafatnya Umar ra. ? Dan Umarlah
yang menutup pintu ilmu kalam dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin 'Isi
dengan cemeti, tatkala memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang
bertentangan dua ayat dalam Kitabullah (Al-Qur'an) dan memboikotinya serta
menyuruh orang banyak membekotinya
(tidak bercakap-cakap dengan dia).
Adapun kata anda bahwa yang
termasyhur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu fiqih dan ahli ilmu kalam, maka
ketahuilah bahwa kelebihan yang diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah
satu hal. Dan kemasyhuran yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang
lain.
Sesungguhnya kemasyhuran Abu
Bakar ra. adalah karena dia khafilah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah
karena suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam hatinya.
Kemasyuran Umar ra. adalah
disebabkan siasah (politik). Dan kelebihannya adalah disebabkan ilmu
mengenai Allah, yang mati sembilan persepuluh dari padanya, dengan kematiannya.
Dan disebabkan maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dalam
pemerintahan,keadilan dan kasih-sayangnya kepada makhluk Allah.
Dan itu adalah keadaan bathin
dalam rahasia dirinya. Adapun segala perbuatan dhahiriahnya yang lain, maka
tergambar timbulnya dari mencari kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada
kemashuran itu. Maka adalah kemasyhuran itu, pada yang membinasakan. Dan
kelebihan itu, mengenai hal rahasia yang tidak dilihat oleh seorang manusiapun.
Maka para ahli ilmu fiqih dan
ilmu kalam, adalah seperti khaifah, kadli (hakim) dan ulama. Mereka itu
terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki oleh Allah ta'ala dengan
ilmunya, fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah Nabi. Dan ia tidak mencari
dengan yang demikian itu, keriaan dan kemasyhuran nama. Merekalah yang
memperoleh kerelaan Allah. Dan kelebihan mereka pada sisiNya, karena telah
berbuat sepanjang ilmu mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah
dengan fatwa dan pandangannya.
Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya.
Yaitu perbuatan yang diusahakan. Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu
bernama ilmu. Seorang tabib (dokter) sanggup mendekatkan dirinya kepada Allah
Ta'ala dengan ilmunya. Maka ia memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi,
bahwa ia berbuat karena Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara
sesama makhluk Allah. Maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah
swt. Tidak dari segi pertanggung-jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari
segi ia mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah
Ta'ala dengan ilmunya.
Bahagian-bahagian yang
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, tiga : ilmu semata-mata, yaitu ilmu
mukasyafah. Amal semata-mata. yaitu seperti, keadilan bagi seorang raja dan
perhatiannya akan kepentingan rakyat. Dan yang tersusun dari amal dan ilmu.
Yaitu : ilmu jalan ke akhirat. Yang empunya ilmu tersebut , adalah sebagian
dari ulama dan orang-orang yang beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu
sendiri! Adakah engkau pada hari qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau
yang beramal pada jalan Allah atau dalam golongan kedua-duanya? Maka jadikanlah
bahagianmu bersama kedua golongan itu Maka inilah yang lebih penting kepadamu
daripada turut-turutan, untuk semata-mata kemasyhuran, seperti kata orang :
Ambillah apa yang engkau
lihat,
Tinggalkanlah sesuatu yang
didengar.
Untuk mengetahui matahari
terbit, engkau memerlukan bintang Zuhal
Akan kami nukilkan dari riwayat
hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, di mana anda akan mengetahui nanti, bahwa
orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka.
Dan menjadi musuh terbesar dari ulama-uiama itu pada hari qiamat.
Para ulama yang terdahulu itu tak
bermaksud dengan ilmunya, selain wajah Allah Ta'ala. Dari hal ikhwal mereka,
dapat dipersaksikan, apa yang menjadi tanda-tanda ulama akhirat, sebagaimana
akan diterangkan nanti pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah
semata-mata untuk ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu
yang berhubungan dengan hati. Bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar dan
mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para shahabat dahulu, dari mengarang
dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah ulama fiqih yang berdiri sendiri
dengan ilmu fatwa, Yang memalingkan dan yang mengajak itu diyakini dan tak ada
perlunya disebutkan di sini.
Sekarang akan kami sebutkan
kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda ketahui bahwa apa yang kami
sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi, adalah kecaman kepada
orang-orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut madzhab mereka.
Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perjalanan dengan para ulama
fiqih itu.
Adapun ulama fiqih yang menjadi
pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan ummat, yakni mereka yang banyak pengikutnya
pada madzhab-madzhab itu, adalah lima, yaitu : Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin
Hanbal, Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsuri Rahmat Allah kiranya kepada mereka
sekalian. Masing-masing mereka adalah 'abid (kuat beribadah), zahid. (tidak
terpengaruh oleh dunia), 'alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan
kepentingan ummat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan wajah
Allah Ta 'ala.
Ini lima perkara, di mana yang
diikuti oleh ulama fiqih sekarang dari keseluruhannya, hanya satu perkara saja.
Yaitu : memberi tenaga dan bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang.
Karena yang empat perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan yang
satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan dengan dia
itu akhirat, maka sedikit lah kepentingannya untuk dunia.
Ulama-ulama fiqih itu memberi
tenaga dan mendakwakan dirinya serupa dengan imam-imam besar itu. Alangkah
janggalnya, membandingkan malaikat dengan tukang-tukang besi'..
Marilah sekarang kami bentangkan
hal-ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada empat perkara tadi. Karena
pengetahuan mereka tentang fiiqh itu, terang.
Adapun Imam Asy-Syafi'i ra., maka
yang menunjukkan ia seorang 'abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia
membagi malam, tiga bahagian : sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan
sepertiga lagi untuk tidur.
Berkata Ar-Rabi' : "Adalah
Imam Asy-Syafi'i ra. mengkhatamkan (menamatkan bacaan) Al-Qur'an dalam bulan
Ramadlan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.
Al-Buaithi salah seorang
shahabatnya, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam bulan Ramadlan, tiap-tiap hari
sekali.
Berkata AI-Hasan Al-Karabisi :
"Aku bermalam bersama Imam Asy-Syafi'i bukan satu malam. Dia melakukan
shalat hampir sepertiga malam. Tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh
ayat. Apabila dia perbanyak maka sampai seratus ayat. Apabila ia membaca ayat
rahmat lalu berdo'a kepada Allah Ta'ala untuk dirinya sendiri dan untuk
sekalian kaum muslimin dan mu'minin. Dan apabila ia membaca ayat 'azab, lalu
memohonkan perlindung- an dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan untuk
orang mu'min. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan takut.
Lihatlah, betapa dibuktikan oleh
kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada melaut dan mendalam pemahamannya akan
rahasia yang terkandung di dalam Al-Qur'an.
Imam Asy-Syafi'i ra. pernah
berkata : "Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan
itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur
dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah".
Maka lihatlah kepada hikmahnya
pada menyebutkan bahaya-bahaya kekenyangan! Kemudian mengenai kesungguhannya
beribadah, karena ia meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak
beribadah itu, ialah menyedikitkan makan.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. lagi
: "Tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah, baik dalam hal yang benar
apalagi bohong".
Lihatlah betapa hormat dan
tunduknya kepada Allah Ta'ala dan dibuktikan oleh demikian atas pengetahuannya
dengan kebesaran Allah swt.!.
Ditanyakan Imam Asy-Syafi'i ra.
tentang suatu masalah, maka ia diam. Ketika ditanyakan lagi". Mengapa tuan
tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati tuan".
Maka beliau menjawab : "Aku
berpikir, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih baik, pada diamku atau
jawabku". Lihatlah, betapa diawasinya lidahnya, sedang lidah itu adalah
anggota badan yang paling berkuasa bagi ulama fiqih dan paling payah mengekang
dan menundukkannya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak berkata atau diam
kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.
Berkata Ahmad bin Yahya bin Al
Wazir: "Pada suatu hari keluarlah Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke pasar
lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang membodohkan
seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy-Syafi'i menoleh kepada kami seraya berkata :
"Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji seperti kamu
membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si pendengar adalah
sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran, melihat kepada barang yang
sangat buruk di dalam wadahnya. Maka ia berusaha menuangkannya ke dalam
wadahmu. Kalau ditolak perkataan orang yang lemah pikiran itu, maka akan
berbahagialah yang menolaknya, sebagaimana akan celakalah yang
mengatakannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra.:
"Seorang filosuf menulis surat kepada seorang filosuf. Diantara isinya
yaitu : "Engkau telah mendapat ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmumu
itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada
hari, di mana ahli ilmu bekerja dengan nur ilmunya".
Adapun zuhudnya maka berkata Imam
Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara
cinta kepada dunia dan cinta kepada
pencipta dunia dalam hati nuraninya,maka dia itu bohong".
Berkata Al-Humaidi : "Imam
Asy-Syafi'i ra. pergi ke Yaman bersama beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia
berangkat ke Makkah dengan membawa wang sepuluh ribu dirham. Di luar kota
Makkah dibangunnya suatu tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung
kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis
dibagi-bagikannya".
Pada suatu kali, Imam Asy-Syafi'i
ra. keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya wang yang banyak kepada
penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari tangannya,lalu
tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berterima kasih kepada orang
itu, lalu Imam Asy-Syafi'i ra. Memberikan uang 50 dinar.
Kemurahan hati Imam Asy-Syafi'i
ra. adalah lebih terkenal dari apa yang diceriterakan. Pangkal zuhud ialah
kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan memegangnya
erat-erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah
kecillah dunia pada pandangannya.Dan itulah arti zuhud.
Betapa kuat zuhudnya dan sangat
takutnya kepada Allah Ta'ala serta kesungguhan kemauannya dengan akhirat,
adalah dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin
'Uyaynah meriwayatkan suatu hadits tentang sifat yang halus halus, lalu pingsanlah
Asy-Syafi'i ra. Maka orang mengatakan kepadanya : Imam Asy-Syafi'i telah wafat.
Lalu Sufyan menjawab : "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang paling utama bagi zamannya".
Dan apa yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad Al-Balawi dengan katanya : "Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum pernah aku melihat
Lalu Sufyan menjawab : "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang paling utama bagi zamannya".
Dan apa yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad Al-Balawi dengan katanya : "Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum pernah aku melihat
orang yang lebih wara' dan lancar
berbicara dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i ra. Aku, Imam Asy-Syafi'i dan
Al-Harits bin Lubaid pergi ke bukit Shafa. Al-Harits adalah murid Ash ShaIih
Al-Marri. Ia memulai membaca Al-Quran. Adalah dia mempunyai suara merdu, lalu
membaca ayat ini :
هَذَا
يَوْمُ لا يَنْطِقُونَ ,وَلا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ
(Haadzaa yaumu laa yanthiquun. Wa
laa yu'-dzanu lahum faya'tadziruun).
Artinya :"Inilah hari yang
dikala itu mereka tiada dapat berbicara.Dan kepada mereka tiada diberikan
keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan)".
(S. Al-Mursalat, ayat 35 - 36).
Maka aku lihat Imam Asy-Syafi'i
ra. berubah warna mukanya, berkerut kulit
keningnya,badannya gemetar lalu jatuh tersungkur.
Ketika ia sadar kembali,maka ia
berkata : "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari tempat berdirinya
orang-orang dusta dan penyelewengan orang-orang lengah. Ya Allah, kepadaMu jua
tunduk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenai Allah) dan membungkuk
merendahkan diri orang-orang yang rindu kepada Engkau'. Tuhanku! Anugerahilah
kepadaku limpah karuniaMu Mudakanlah aku dengan lindunganMu! Ma'afkanlah
keteledoranku dengan kemurahanMu!".
Abdullah bin Muhammad Al-Balawi
menerangkan : "Kemudian ia pergi dan kamipun pergi. Tatkala aku masuk
Bagdad dan Asy-Syafi'i ra. masih di Irak. Maka aku duduk di tepi sungai, mengambil
wudlu untuk bershalat. Tiba-tiba lewat disampingku seorang laki-laki, seraya
berkata kepadaku : "Ya, saudara! Berwudlulah dengan baik, niscaya Allah
memberikan kebaikan kepadamu di dunia dan di akhirat". Lalu aku menoleh,
maka tiba-tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai. Maka
bergegas-gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia
memandang kepadaku seraya bertanya : "Adakah bagimu keperluan ?".
"Ada!", jawabku.
"Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi Allah
kepadamu!".
Maka ia menjawab :
"Ketahuilah! Orang yang membenarkan Allah, niscaya terlepas dari bahaya.
Orang yang sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari kehinaan. Orang yang
zuhud pada dunia, niscaya tetaplah dua matanya memandang pahala dari pada Allah
Ta'ala pada hari esok. Apakah aku tambahkan lagi ?".
"Ya!", jawabku.
Lalu ia menyambung : "Orang
yang ada padanya tiga perkara, maka sempurnalah imannya : orang yang menegakkan
amar ma'ruf terhadap orang lain dan terhadap dirinya, orang yang menjalankan
nahi mungkar terhadap orang Iain dan terhadap dirinya dan orang yang menjaga
batas-batas yang ditentukan Allah Ta'ala.
Apakah aku tambahkan lagi?".
"Ya!", jawabku.
Maka ia menyambung :
"Hendaklah kamu zuhud di dunia dan gemar ke akhirat. Danbenarkanlah akan
Allah Ta'ala dalam segala pekeijaanmu, niscaya engkau terlepas serta
orang-orang, yang terlepas dari segala mara bahaya". Kemudian ia pergi
lalu aku tanyakan, siapakah orang itu ?
Maka menjawab orang banyak : "Itulah Imam Asy-Syafi'i".
Lihatlah Imam Asy-Syafi'i ra.
jatuh tersungkur, kemudian perhatikanlah kepada pengajarannya, betapa membuktikan yang
demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah Ta'ala.
Ketakutan dan kezuhudan ini tidak
datang selain karena mengenal Allah
'Azza wa Jalla.
Allah berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Innamaa yakhsyallaaha min
'ibaadihil 'ulamaa-u)
Artinya :"Sesungguhnya yang
takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama ". (S. Fathir, ayat 28).
Maka Imam Asy-Syafi'i ra.
tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu, dari ilmu kitab berjual-beli
dan sewa-menyewa dan lain-lain kitab fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu
akhirat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Karena hukum dari orang-orang
terdahulu dan yang kemudian, tersimpan pada keduanya.
Adapun tentang ke'alimannya,
mengetahui segala rahasia hati dan ilmu-ilmu akhirat, maka anda dapat
mengetahuinya dari kata-kata hikmah yang berasal daripadanya.
Menurut riwayat, pernah orang
bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang ria, maka ia menjawab dengan tegas
: "Ria adalah suatu fitnah yang diikatkan oleh hawa nafsu untuk
mendindingi penglihatan mata hati ulama-ulama. Lalu mereka melihat kepada ria
itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka binasalah segala amalannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. :
"Apabila engkau takuti timbul 'ujub pada amalanmu, maka pandanglah kepada
rela Tuhan yang engkau cari, pada pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun
yang engkau takuti, pada sehat yang engkau syukuri dan pada bala yang engkau
ingati. Apabila engkau renungkan salah satu dari perkara-perkara tadi maka
kecillah rasanya pada matamu amalanmu itu".Lihatlah bagaimana Imam
Asy-Syafi'i ra. menerangkan hakikat ria dan cara mengobati 'ujub. Keduanya itu
adalah bahaya besar bagi hati.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. :
''Barangsiapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya".
Katanya lagi : "Barangsiapa
ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu, maka bermanfa'atlah bathinnya". Katanya
lagi: "Tiada seorangpun melainkan mempunyai yang dikasihi dan yang
dimarahi. Apabila ada seperti demikian, maka hendaklah engkau bersama golongan
orang yang ta'at kepada Allah Ta'ala".
Diceriterakan bahwa Abdul Kadir
bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang wara'. Dan ia bertanya kepada Imam
Asy-Syafi'i ra. tentang masalah wara' itu. Dan Imam Asy-Syafi'i amat suka
menerima kedatangannya karena wara'nya. Maka pada suatu hari bertanyalah ia kepada Imam Asy-Syafi'i ra.
"Manakah yang lebih utama : sabar atau diuji atau diberi keteguhan
hati?".Maka menjawab Imam Asy-Syafi'i
ra. : "Diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi-Nabi. Dan tak ada
keteguhan hati itu selain sesudah diuji. Apabila diuji maka bersabar. Apabila
sudah bersabar maka teguhlah hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta'ala
menguji Nabi Ibrahim as., kemudian la memberikannya ketetapan hati? Ia menguji
Nabi Musa as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Ia menguji Nabi Ayub
as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulaiman
as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan.Maka ketetapan hati itu adalah
derajat yang paling utama?
Berfirman Allah Ta'ala :
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الأرْضِ
(Wa kadzaalika makkannaa
li-yuusufa fil ardli).
Artinya:"Dan begitulah Kami
teguhkan kedudukan Yusuf dimuka bumi".(S. Yusuf, ayat 21).
Nabi Ayub as. sesudah menghadapi
ujian besar, barulah diberi keteguhan hati.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
(Wa aatainaahu ahlahuu wa
mitslahum ma'ahum.).
Artinya :"Kami berikan
kepadanya pengikut-pengikutnya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula".
(S. Al-Ambiya', ayat 84).
Kata-kata tersebut dari Imam
Asy-Syafi'i ra. menunjukkan betapa melaut pahamnya akan rahasia yang terkandung
dalam Al-Qur'an dan penglihatannya tentang kedudukan orang-orang yang menuju
kepada Allah Ta'ala, baik Nabi-Nabi atau Wali-Wali. Semuanya itu adalah dari
ilmu akhirat.
Ditanya kepada Imam Asy-Syafi'i
ra. : "Bilakah seorang itu dipandang 'alim?".
Ia menjawab : "Apabila ia
yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu itu. Kemudian ia menempuh
ilmu-ilmu yang lain, maka dilihatnya, mana yang belum diperolehnya. Ketika itu,
barulah dia seorang 'alim".
Pernah ditanyakan orang kepada
Jalinus : "Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam-macam obat untuk satu
penyakit".Menjawab Jalinus : "Yang
dimaksudkan dari obat-obat itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain ke
dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya, karena kalau masing-masing sendiriannya
itu membunuh".
Contoh tadi dan lain-lainnya yang
tidak terkira banyaknya, menunjukkan ketinggian derajat Imam Asy-Syafi'i
tentang mengenai Allah Ta'ala dan ilmu akhirat.
Adapun maksudnya dengan ilmu
fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata-mata wajah Allah Ta'ala. Dalil
untuk itu adalah riwayat yang menerangkan bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. pernah
berkata:
"Aku ingin manusia mengambil
manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-ilmu Iain yang ada padaku, meskipun
sedikit".
Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i
ra. Memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia
membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang semata- mata niatnya
adalah karena wajah Allah Ta'ala. Asy-Syafi'i ra,berkata :"Tidaklah sekali-kali aku
bertukar pikiran dengan seseorang, dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia
salah".Katanya lagi : "Tidaklah
sekali-kali aku berkata dengan seseorang, selain aku menyukai supaya dia mendapat taufiq dan
kebenaran, pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta'ala serta pemeliharaan.
Dan tidaklah sekali-kali aku berbicara dengan seseorang, selain perhatian ku
supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau lidahnya"
Berkata lagi Imam Asy-Syafi'i ra.
: "Tidaklah aku kemukakan kebenaran dan keterangan kepada seseorang, lalu
diterimanya daripadaku, melainkan aku takut kepadanya dan aku percaya akan
kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan
menolak keterangan maka jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak
berhadapan dengan dia".
Inilah tanda-tanda, yang
menunjukkan atas kehendak Allah Ta'ala dengan ilmu fiqih dan perdebatan
(munadlarah) itu. Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. dituruti orang dari
jumlah perkara yang lima itu, kepada satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula
orang-orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi. Dan karena inilah berkata
Abu Tsaur ra. : "Tak pernah aku dan orang-orang lain melihat seperti Imam
Asy-Syafi'i ra.".
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Tak
pemah aku melakukan shalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a
kepada Imam Asy-Syafi'i ra.".
Lihatlah betapa adanya keinsyafan
dari orang yang mendo'a dan betapa pula derajat orang yang dido'akan. Cobalah
bandingkan dengan Imam Asy-Syafi'i ra. akan teman-teman dan tokoh-tokoh ulama pada
masa ini. Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yang merupakan pendendaman dan
permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti
ulama-ulama besar itu.
Karena banyaknya do'a Imam Ahmad
bin Hanbal kepada Imam Asy-Syafi'i ra. lalu bertanyalah anaknya : "Orang
mana Asy-Syafi'i itu sampai ayah mendo'a semua do'a ini?".
Maka menjawab Ahmad bin Hanbal :
"Hai anakku! Imam Asy-Syafi'i itu adalah seumpama matahari bagi dunia dan
kesehatan bagi manusia".
Lihatlah, adakah bagi dua
perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?
Imam Ahmad pernah berkata :
"Tiada seorangpun menyentuh botol tinta dengan tangannya, melainkan ada
jasa Imam Asy-Syafi'i padanya".
Berkata Yahya bin Sa'id Al-Qattan
"Tidak pernah aku bershalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku
berdo'a di dalamnya kepada Imam Asy-Syafi'i.-Karena Allah 'Azza wa Jalla telah membuka ilmu baginya dan
memberinya taufiq kepada jalan yang benar".
Kiranya kita cukupkan sekian
mengenai hal-ikhwal Imam Asy-Syafi'i itu, karena banyaknya tidak terhingga.
Sebahagian besar dari perjalanan hidup Imam Asy-Syafi'i ini, kami salin dari
kitab biografinya, karangan Syekh Nasar bin Ibrahim Al-Muqaddasi ra. Kiranya
Allah merelai Imam Asy-Syafi'i dan seluruh kaum muslim!.
Adapun Imam Malik ra. maka
beliaupun berpakaian dengan yang lima perkara itu. Pernah orang bertanya
kepadanya tentang menuntut ilmu : "Apakah yang hendak tuan katakan tentang
menuntut ilmu?". Lalu menjawab Imam Malik ra. : "Bagus, baik!
Tetapi perhatikanlah apa yang
harus engkau kerjakan dari pagl sampai petang, maka perlukanlah pekerjaan
itu!".
Imam Malik ra. sangat memuliakan
ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih
dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan
janggutnya, memakai bau-bauan serta duduk dengan tenang dan bersikap tenang. Maka barulah beliau
meriwayatkan hadits itu". Oleh Karena caranya yang demikian itu ,
maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Aku suka membesarkan
hadits Rasulullah saw.' Berkata Imam Malik ra. :
"Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah
ilmu itu dengan banyak cerita'
Kehormatan dan kemuliaan yang
diberikan Imam Malik itu, menunjukkan kepada ketinggian mutu pengetahuannya
tentang kebesaranAllah Ta'ala,Tentang tujuan Imam Malik ra.
dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta'ala, dibuktikan oleh ucapannya :
"Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali".
Dan dibuktikan lagi dengan ucapan
Imam Asy-Syafi'i ra. : "Saya melihat Imam Malik ra .
ketika dimajukan kepadanya empat
puluh delapan masalah, maka ia menjawab mengenai tiga puluh dua dari masalah
-masalah itu ."Saya tidak tahu".
Orang yang bertujuan dengan
ilmunya bukan wajah Allah Ta'ala,tentu tidak bersedia mengaku tidak tahu. Dari
itu, berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila disebut nama ulama, maka
Malik adalah bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih
banyak jasanya kepadaku, dari Imam Malik".
Menurut riwayat, Khalifah Abu
Ja'far Al-Mansur melarang Imam Malik daripada meriwayatkan hadits mengenai
talak dari orang yang dipaksakan. Kemudian Abu Ja'far mengancam orang yang
menanyakan itu pada Imam Malik. Lalu Imam Malik menyambut ancaman tadi dengan meriwayatkan
di muka umum hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang
yang dipaksakan. Maka khalifah menyuruh pukul Imam
Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan hadits itu.
Imam Malik ra. berkata :
"Tiadalah seseorang yang benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong,
melainkan akal pikirannya mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan
pikiran-pikiran khurafat pada hari tuanya".
Tentang zuhudnya Imam Malik
menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah Al-Mahdi bertanya
kepada Imam Malik:"Adakah tuan mempunyai
rumah?".
"Tidak ada", jawab Imam
Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bahwa pernah mendengar Rabi'ah bin Abi
Abdir Rahman berkata :"Bangsa seseorang
ditunjukkan oleh rumahnya".
"Tidak ada!", jawabnya.
Lalu Harunur Rasyid
menganugerahkan uang tiga ribu dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan :
"Belilah rumah dengan uang ini!".
Imam Malik mengambil wang itu,
tetapi tidak dibelinya rumah.
Ketika Harunur Rasyid ingin
bertambah terkenal, lalu mengatakan kepada Imam Malik ra. "Seyogialah tuan
pergi bersama kami. Aku bercita-cita membawa perhatian manusia kepada kitab "Al-Muaththa' "
(nama kitab yang dikarang Imam Malik),sebagaimana khalifah Utsman ra. membawa
perhatian manusia kepada Al-Qur'an.
Menjawab Imam Malik :
"Adapun membawa manusia kepada Kitab Al-Muaththa', maka tiada jalan
kepadanya. Karena parashahabat Rasulullah saw. sudah bersebar kesegenap negeri
sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan hadits. Maka pada tiap-tiap penduduk
negeri ada ilmunya. Nabi صلى الله عليه وسلم
pernah mengatakan :
صلى الله عليه وسلم : اختلاف أمتي رحمة .
(Ikhtilaafu ummatii rahmah).Artinya
: "Perbedaan pendapat ummatku itu adalah suatu rahmat". (1)
Adapun keluar bersama tuan, maka
tiada jalan kepadanya.
Nabi صلى الله
عليه وسلم pernah bersabda :
المدينة خير لهم لو كانوا يعلمون
(Al-madiinatu khairun lahum lau
kaanuu yalamuun).Artinya :"Madinah ini lebih
baik bagi mereka kalau mereka mengetahuinya '.' (2)
Dan lagi Nabi صلى الله عليه وسلم Bersabda :
(المدينة تنفي خبثها كما ينفي الكير خبث الحديد)
(Al-madiinatu tanfii khabatsahaa
kamaa yanfil kiiru khabatsal hadiid).
Artinya :"Madinah itu
menghilangkan kotorannya seperti penempaan menghilangkan
kotoran besi". (3)
1.Hadits ini dirawikan At-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan isnadnya dla'if.
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Sufyan bin Abi Zuhair.
3.Dirawikan AI-Bukharl dan Muslim dari Abi Hurairah.
118
Inilah dinarmu, seperti adanya!
Kalau kamu mau, maka ambilkanlah!
Dan kalau kamu tak mau, maka
tinggalkanlah! Yakni sekiranya engkau memaksakan aku supaya berpisah dengan
kota Madinah, maka tidak dapat engkau berbuat demikian kepadaku. Aku tidak
dapat memilih dunia dari Madinah Rasulullah saw.".
Begitulah zuhudnya Imam Malik ra.
pada dunia! Sewaktu dibawa kepadanya harta yang banyak dari beberapa sudut
dunia untuk perkembangan ilmunya dan teman-temannya, maka dibagibagikannya uang
itu pada jalan kebajikan. Kemurahan hatinya menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit
cintanya kepada dunia.
Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan
harta, tetapi zuhud ialah kosongnya hati dari harta itu. Nabi Sulaiman pun
salah seorang yang zuhud dalam pemerintahannya.
Dibuktikan betapa hina pandangan
Imam Malik kepada dunia, oleh suatu riwayat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa Imam
Asy-Syafi'i menerangkan : "Aku melihat pada pintu tempat tinggal Imam Malik seekor kuda Khurasan,
namanya "Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku
mengatakan kepadanya : "Alangkah cantiknya kuda ini!".
Maka beliau menjawab : "Kuda
ini hadiahku kepadamu, hai ayah Abdullah!".
Maka aku menjawab : "Biarlah
kuda ini untuk tuan hamba, menjadi kuda tunggangan tuan hamba sendiri".Menyambung Imam Malik : "Aku
malu kepada Allah Ta'ala memijakkan tanah dengan kuku kuda, di mana di dalamnya
dikuburkan Nabi Allah صلى الله عليه وسلم.".Lihatlah betapa kemurahan hati
Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu sekaligus dan betapa penghormatannya
kepada tanah Madinah!.
Dibuktikan kepada kehendaknya
dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta'ala dan tentang hina pandangannya kepada
dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa Imam Malik pernah berkata: "Aku pernah datang ke
tempat Harunur Rasyid. Lalu berkatalah Harunur Rasyid kepadaku : "Wahai
Ayah Abdullah! Sayogialah tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak-anak
kita mendengar kitab Al-Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik
berkata : "Lalu jawabku : "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan.Amir penghulu kami. Sesungguhnya
ilmu itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka
mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan
tidak mendatangi (Al-'ilmu yu'ta walaa ya'ti)".Maka menyambung Harunur Rasyid :
"Benar tuan! Keluarlah ke masjid supaya tuan mendengar bersama manusia
ramai!".
Adapun Imam Abu Hanifah ra. juga
seorang 'abid, zahid, 'arif billah,amat takut kepadaNya dan menghendaki wajah
Allah dengan ilmunya. Adapun dia itu 'abid, maka dapat
diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan : "Imam Abu
Hanifah ra. adalah seorang yang
berperikemanusiaan dan banyak mengerjakan shalat". Menurut ceritera
Hamrnad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya
dengan ibadah.
Menurut riwayat yang lain, ia
menghidupkan setengah malam dengan ibadah.
Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah
lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan
kaki, dengan mengatakan kepada orang lain : "Itulah dia, orang yang
menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah".
Maka senantiasalah sesudah itu,
ia menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah dan mengatakan : "Aku malu
kepada Allah swt. disebutkan tentang ibadahku yang tidak sebenarnya".
Mengenai zuhudnya, diriwayatkan
dari Ar-Rabi' bin 'Ashim, yang mengatakan : "Aku diutus oleh Yazid bin
Umar bin Hubairah.
Maka aku datang menjumpai Abu
Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah menjadi pengurus
"baital-mal". Ia menolak lalu dipukul 20 kali".
Lihatlah bagaimana ia lari dari
pangkat dan bersedia menanggung 'azab sengsara.
Berkata Al-Hakam bin Hisyam
At-Tsaqafi "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam, suatu ceritera
tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang
terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan
negara atau memukulnya kalau menolak.Maka Abu Hanifah memilih siksaan
mereka daripada siksaan Allah Ta'ala".
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah
disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu Ibnul mubarak menjawab :
"Adakah kamu sebutkan seorang laki-laki, yang diberikan kepadanya dunia
dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada kemewahan itu?".
Diriwayatkan dari Muhammad bin
Syujja', berasal dari setengah shahabat Abu Hanifah, bahwa ada orang mengatakan
kepada Abu Hanifah : "Amirul-mu'minin Abu Ja'far Al-Manshur memerintahkan
untuk dianugerahkan kepada tuan, uangsebanyak sepuluh ribu dirham".
Muhammad bin Syujja' mengatakan,
bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima pemberian tersebut. Muhammad bin
Syujja' mengatakan : "Ketika sampai pada hari yang diduga uang
itu akan diantarkan kepada Abu
Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan
tidak berkatakata sepatah katapun".
Maka datanglah utusan Al-Hasan
bin Quhthubah membawa wang, lalu masuk ke tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah
tidak berbicara dengan dia. Lalu berkata sebahagian orang yang hadlir :
"Beliau itu tidak berbicara
dengan kita, kecuali sepatah demi sepatah.Artinya, itulah kebiasaan
beliau".Kemudian, maka berkatalah Imam
Abu Hanifah : "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke
sudut rumah!".
Kemudian, sesudah itu, Abu
Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta benda di rumahnya. Dia mengatakan
kepada anaknya : "Apabila aku mati kelak dan aku telah kamu kuburkan maka
ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah kepada Al- Hasan bin Quhthubah
dan katakanlah kepadanya : "Ambillah barang simpanan engkau yang engkau
simpan pada Abu Hanifah!".
Berkata anak Abu Hanifah :
"Maka aku laksanakan wasiat itu".
Lalu berkata Al-Hasan :
"Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguhnya dia adalah orang yang tidak mau
sedikitpun mengulur tentang agamanya".
Diriwayatkan, bahwa Imam Abu
Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab :
"Aku tidak layak untuk jabatan itu!".
Lalu orang bertanya kepadanya :
"Mengapa?".
Abu Hanifah menjawab :
"Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku bohong, maka
pembohong tak layak menjadi kadli!".
Adapun ilmunya dengan jalan
akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah 'Azza wa
Jalla, maka dibuktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta'ala dan
zuhudnya terhadap dunia. Berkata Ibnu Juraij : "Telah sampai kepadaku
tentang orang negeri Kufahmu yakni Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa
ia seorang yang sangat takut kepada Allah Ta'ala".
Berkata Syuraik An-Nakha'i
"Adalah Abu Hanifah seorang pendi-am, selalu berpikir dan sedikit
berbicara dengan manusia".Inilah diantara tanda-tanda yang
tegas, dari ilmu bathin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa
bersifat pendiam dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.
Demikianlah sekelumit dari
perikehidupan tiga imam besar itu.
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra.
dan Sufyan Ats-Tsuri ra. maka pengikut keduanya adalah kurang, bila
dibandingkan dengan pengikut imam yang tiga itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang
bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi kemasyhuran dua imam ini,
dengan wara' dan zuhud, adalah lebih menonjol. Seluruh isi kitab ini, penuh
dengan ceriteia-ceritera mengenai perbuatan dan perkataan keduanya. Dari itu
tidak perlu lagi dipe-rinci sekarang.
Maka lihatlah sekarang tentang
perjalanan hidup imam tiga itu!. Dan perhatikanlah bahwa segala keadaan
tersebut, perkataan dan perbuatan mereka itu, tentang berpaling dari dunia dan
menumpah-kan. seluruh perhatian kepada Allah Ta'ala, adakah dihasilkan oleh
semata-mata pengetahuan dengan cabang-cabang fiqih, dari pengetahuan berjual
beli, menyewa, dhihar, ila' dan li'an atau dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan
lain yang lebih tinggi dan lebih mulia dari ilmu fiqih itu? Dan lihatlah kepada
mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam-imam itu, apakah mereka benar
pada pen-dakwaannya atau tidak?
122