Qaidah-qaidah 'Aqidah
Pasal
ketiga: Dari kitab "Qaidah-qaidah
'Aqidah", mengenai dalil-dalil yang cemerlang buat aqidah, yang
telah kami terjemahkan dengan "Qudus". Maka kami mulai:Dengan nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan bagi
pencinta-pencinta Sunnah dengan nur yakin. Dan melebihkan pendukung-pendukung kebenaran akan petunjuk
kepada tiang-tiang agama. Dan menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang yang
menyeleweng dan dari kesesatan orang-orang yang tidak bertuhan. Memberi taufiq
kepada mereka untuk mengikuti jejak penghulu segala rasul. Meluruskan mereka
untuk menuruti para shahabat yang mulia dan memudahkan bagi mereka, mengikuti
peninggalan ulama-ulama terdahulu yang salih. Sehingga mereka berpegang teguh dengan
yang dikehendaki akal pikiran dengan tali yang kokoh kuat, dengan perjalanan
dan aqidah ulama-ulama yang terdahulu dengan jalan yang nyata.
Maka
dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara natijah-natijah akal dan
kehendak-kehendak syari'at yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok agama).
Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi ibadah mereka dari
kata-kata "Laa ilaaha illallaah, Muhammadurrasuulullaah tidaklah berfaedah
dan berhasil, jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa yang dibawa oleh
kalimah syahadah itu, dari isi dan pokok-pokok-nya.
Mereka
mengetahui bahwa dua kalimah syahadah di dalam kesingkatannya itu, mengandung
keyakinan wujud dzat Allah, sifat-sifatNya dan af'alNya dan mengandung
keyakinan kebenaran Rasul.Dan mereka mengetahui bahwa pembangunan keimanan itu
adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang banyaknya empat. Dan
masing-masing rukun itu, berkisar di atas sepuluh pokok :
Rukun Pertama : mengenai ma'rifah (mengenai) dzat Allah
Ta'ala dan berkisar di atas sepuluh pokok.
Yaitu :
mengetahui dengan wujud Allah Ta'ala, qidamNya, baqaNya, Dia tidak jauhar,
tidak jisim dan tidak 'aradl. Dia tidak tertentu dengan sesuatu pihak, tidak
tetap di atas sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia Maha Esa.
Rukun Kedua : mengenai sidat-sifatNya dan melengkapi kepada
sepuluh pokok.
Yaitu
: mengetahui bahwa Dia itu hidup, tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar,
melihat, berkata-kata, mahasuci dari bertempat sifat-sifat yang baharu padaNya,
qadim kalamNya, ilmuNya dan iradahNya.
Rukun Ketiga : Mengenai af'alNya dan berkisar di atas
sepuluh pokok.
Yaitu :
bahwa segala perbuatan hamba adalah dijadikan Allah Ta'ala; Bahwa segala
perbuatan itu adalah usaha bagi hamba dan kehendak bagi Allah. Bahwa Dia
mengurniai dengan menjadikan dan menciptakan. Bahwa Dia mempunyai hak taklif
(menugaskan) apa yang tidak disanggupi. Bahwa Dia mempunyai hak menyakiti orang
yang tidak berdosa. Tidak wajib atasNya menjaga yang lebih baik. Bahwa tiada
yang wajib melainkan dengan apa yang diwajibkan agama. Bahwa mengutuskan
nabi-nabi itu jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan suatu kewajiban). Dan bahwa
kenabian Nabi Muhammad saw. itu benar, yang dikuatkan dengan mu'jizat-mu
'jizat.
Rukun Keempat : mengenai sam'iyyat (hal-hal yang didengar
dari agama) dan berkisar di atas sepuluh pokok.
Yaitu :
adanya pengumpulan dan kebangkitan sesudah mati, pertanyaan Munkar dan Nakir,
'azab qubur, neraca, titian, menjadikan sorga, neraka dan hukum-hukum mengenai
kepemimpinan (mengenai siapa yang menjadi imam di kalangan ummat Islam), bahwa
keutamaan para shahabat Nabi itu, adalah menurut urutan penyebutan nama mereka
dan syarat-syarat menjadi imam bagi kaum muslim in (syarat-syarat memegang
jabatan imamah).
Rukun Pertama: Dari rukun-rukun Iman, ialah mengenai
(ma'rifah) dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahwa Allah Ta'ala itu Esa. Rukun
ini berkisar di atas sepuluh pokok.
Pokok Pertama :
Mengenal adanya Allah Ta'ala.
Nur
yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan dengan jalan memperoleh
ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Al-Quran. Maka tak adalah
penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta'ala.
Berfirman Allah Ta'ala :"Bukankah Kami telah menjadikan bumi bagai
hamparan (terbentang luas)? Dan gunung-gunung sebagai pasak (nya)? Dan kamu Kami
ciptakan berpasangan. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami
jadikan malam sebagai tutup. Dan siang Kami jadikan untuk mencari penghidupan.
Dan Kami bangun di atas kamu tujuh yang teguh. Dan Kami jadikan lampu yang
terang benderang. Dan Kami turunkan dari awan air yang tercurah. Karena dengan
itu Kami hendak menghasilkan tanaman yang berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan
kebun-kebun yang berlapis-lapis pohonnya". (S. An-Naba', ayat 6 s/d ayat
16).
Berfirman Allah Ta'ala :"Sesungguhnya tentang ciptaan langit dan bumi,
pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan yang memberi manfa'at
kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Tuhan dari langit, lalu
dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati (kering) dan
berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan awan yang
disuruh bekerja diantara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu menjadi bukti
kebenaran untuk orang-orang yang mengerti (S. Al-Baqarah, ayat 164).
Berfirman Allah Ta'ala :"Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Tuhan
menciptakan tujuh langit, sepadan satu sama lain? Dan dijadikanNya bulan
bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai pelita? Dan Tuhan menumbuhkan
kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang berangsur-angsur). Kemudian itu kamu
dikembalikannya kesitu, dan kamu dikeluarkanNya dengan kelahiran
(baru)".(S. Nuh, ayat 15 s/d ayat I8).
Berfirman Allah Ta'ala : "Tidaklah kamu perhatikan
(air mani) yang kamu tumpahkan ? Kamukah yang menciptakan atau Kamilah yang
menciptakan? Kami telah mnentukan kematian kepada kamu dan Kami tiada dapat
dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu dan menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada
kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu telah mengetahui kejadian yang pertama.
Mengapa kamu tidak mengambil perhatian? Adakah kamu perhatikan apa yang kamu
tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan? Dan kalau Kami
mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan hancur, kamu tercengang karenanya.
(Mengatakan) : Sesungguhnya kami telah dibebani dengan hutang. Tetapi kami
tiada memperoleh hasil (dari pekerjaan kami). Adakah kamu perhatikan air yang
kamu minum-? Kamukah yang rnenurunkannya dari awan ata.u Kamikah yang
menurunkannya? Kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi asin. Mengapakah kamu
tiada berterima kasih? Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan? Kamukah
yang menumbuhkan kayu untuk menyalakannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Itu
Kami jadikan untuk pengajaran dan kesenangan bagi musyafir di gunung pasir(S. Al-Waqi'ah, ayat 58 s/d 73).
Maka
tidaklah tersembunyi, kepada orang yang ada padanya sedikit sentuhan akal, apabila memperhatikan dengan pikiran
yang sederhana saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah
pandangannya kepada segala keaja'iban makhluk Allah di bumi dan di langit,
kecantikan kejadian hewan dan tumbuh — tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat
mena'jubkan itu dan susunannya yang kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada
Pencipta yang mengaturnya, dari Pembuat yang mengokohkan dan yang
mentaqdirkannya Bahkan hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci
bersih) dari jiwa sendiri, mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA
yang menentukan dibawah pengaruhNya dan yang menentukan arah, dengan kehendak
pimpinanNya.
Dari itu, berfirman Allah Ta'ala :
أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ
وَالأرْضِ
(Afillaahi
syak kun faath iris-sam aawaati wa!-ardli).Artinya :"Apakah kamu
ragu-ragu tentang Tuhan, Pencipta langit dan bumi ?". (S. Ibrahim, ayat
10)."
Maka
karena itulah diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk memanggil ummat
kepada tauhid, supaya mengucapkan "Laa ilaaha illallaah"
(Tidak ada yang disembah selain Allah). Dan tidak disuruh mengucapkan
: "Kami mempunyai Tuhan dan alam pun mempunyai Tuhan". Cara yang
demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam fithrah kejadian akal manusia,
dari permulaan pertumbuhan mereka dan masa perkembangan kepemudaannya. Dari itu
berfirman Allah Ta'ala kepada kita :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
(Wa
la-in sa-altahum man khalaqas-sam aawaati wal-ardla layaquu-lunnallaah).Artinya
:"Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit
dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: 'Allah ".(S. Luqman, ayat 25).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
(Fa-aqim
wajhaka liddiini haniifan fithratallaahillatii fatharannaasa 'alaihaa laa
tabdiila likhalqillaahi dzaalikaddiinul qayyimu).Artinya :"Hadapkanlah
muka engkau dengan betul kepada agama, ciptaan Tuhan, yang dijadikanNya manusia
sesuai dengan agama itu. Tiada pertukaran bagi ciptaan Tuhan itu. Itulah agama
yang betul!".(S. Ar-Rum, ayat 30).
Jadi,
di dalam fithrah kejadian manusia itu dan dalil-dalil yang ditunjukan
Al-Qur'an, sudah lebih dari cukup daripada menegakkan dalil-dalil lain. Tetapi
untuk lebih jelas dan karena mengikuti jejak ulama-ulama yang berpandangan
jauh, maka kami mengatakan bahwa dari permulaan dalil itu, ialah :akaI Karena
yang baharu (haadits) itu, tak dapat tidak pada kejadiannya, dengan ADA SEBAB
yang menjadikannya.
Bahwa
alam itu baharu, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB itu. Adapun
kata kita bahwa yang baharu itu tak boleh tidak pada kejadiannya daripada
SEBAB, maka itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baharu ditentukan adanya
dengan waktu, yang mana menurut akal, waktu itu boleh jadi terdahulu dan boleh
jadi terkemudian.
Maka
untuk menentukan waktu itu, tidak terdahulu dan tidak terkemudian daripada
jangkanya, sudah pasti memerlukan kepada YANG MENENTUKAN (Mukhashshish).
Adapun kata kita : alam itu baharu, maka dalilnya ialah, bahwa tubuh (jisim)
alam itu, tidak terlepas daripada gerak dan diam. Gerak dan diam itu adalah
baharu. Tiap-tiap sesuatu yang tidak terlepas dari sifat-sifat baharu adalah
baharu.
Di dalam pembuktian ini, terdapat tiga dakwaan :
Dakwaan
Pertama : kata kita
bahwa jisim-jisim itu tidak terlepas dari gerak dan diam. Dan ini dapat
dipahami dengan jelas dan mudah Maka tidaklah memerlukan kepada penelitian dan
pemikiran. Sebab orang yang berpikir bahwa jisim itu tidak tetap dan diam,
adalah orang itu berjalan di atas jembatan kebodohan dan menderita penyakit
pikiran.
Dakwaan Kedua :
kata kita bahwa. gerak dan diam itu adalah baharu. Hal ini ditunjukan oleh
ganti berganti diantara keduanya. Adanya yang satu sesudahnya yang lain. Dan
itu dapat dipersaksikan pada sekalian jisim, baik yang sudah dilihat ataupun
yang belum dilihat. Tidak ada satupun dari yang tetap. Melainkan menurut akal
dia boleh tetap. Maka yang datang dari gerak dan tetap itu adalah baharu karena
datangnya. Dan yang dahulu itu baharu karena tidak adanya. Sebab, kalau dia itu
qidam (qadim), niscaya mustahil dia tidak ada, sebagaimana akan datang
keterangannya dan dalilnya pada menetapkan kekalnya PENCIPTA yang Maha
Tinggi dan Maha Suci.
Dakwaan Ketiga : kata kita bahwa apa yang tidak terlepas daripada sifat-sifat
baharu, adalah baharu. Dalilnya ialah jikalau tidaklah demikian, maka
sesungguhnya telah ada sebelum tiap-tiap yang baharu itu, yang baharu-baharu
(hawadits), yang tak berpermulaan baginya.
Dan
kalau tidaklah berlalu hawadits itu, dengan keseluruhannya niscaya tidak
berkesudahanlah pergantian kepada adanya yang baharu ada sekarang. Dan
berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu, mustahil.
Karena
sesungguhnya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran yang tiada
berkesudahan, maka tidak tersembunyilah bilangannya itu, dari genap atau ganjil
atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap dan tidak ganjil. Dan
mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak genap dan tidak
ganjil. Sebab yang demikian adalah mengumpulkan diantara nafi (tidak) dan
itsbat (ada). Karena pada meitsbatkan yang satu, adalah menafikan yang lain.
Dan mustahil adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan
bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak
berkesudahan? Dan mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan
menjadi genap dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan
kepadanya, sedang dia tidak berkesudahan bilangannya?
Dan mustahil pula bahwa adanya tidak genap dan tidak ganjil,
karena dia berkesudahan.
Maka
kesimpulannya dari itu semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari sifat-sifat
baharu. Maka adalah ia baharu. Dan apabila telah benar baharunya, maka dia
memerlukan kepada yang membaharu-kannya (muhdits), yang dapat diketahui dengan
mudah.
Pokok Kedua :
mengetahui bahwa Allah Ta'ala itu qadim, senantiasa, azali, tak ada bagi
wujudNya permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap sesuatu dan sebelum ada
sesuatu yang mati dan yang hidup.
Dalilnya
: jikalau adalah Dia itu
baharu, tidak qadim, maka Dia memerlukan pula kepada muhdits (yang
membaharukan). Yang muhdits itu memerlukan kepada muhdits lagi, lalu
tali-bertalilah demikian, sampai kepada yang tak berpenghabisan. Dan yang tali
bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits yang qadim,
yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang dicari yang kita namakan :
Pencipta alam, Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya.
Pokok Ketiga :
Mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta adaNya azali abadi, tak adalah bagi
wujudNya berakhir (berkesudahan). Dialah yang awal, yang akhir, yang dhahir dan
yang bathin. Karena manakala telah benar qidamNya, maka mustahillah tiadaNya
(adamNya). Dalilnya : jikalau Allah Ta'ala itu menghadapi ketiadaan, maka
adalah Dia tidak terlepas, adakalanya ketiadaanNya itu dengan sendiriNya atau
dengan sesuatu yang meniadakanNya yang melawani Dia.
Jikalau
boleh akan tiadanya sesuatu dengan sendirinya yang tergambar kekalnya, niscaya
boleh akan didapati sesuatu dengan sendirinya yang tergambar tak adanya. Maka sebagaimana
kedatangan wujud memerlukan kepada sebab, maka demikian pula kedatangan adam
(lawan wujud), memerlukan kepada sebab. Dan batil, bahwa dia menerima adam oleh
yang mengadamkannya, yang melawanani dia. Karena yang mengadamkannya itu,
jikalau ia qadim, maka tidak tergambarlah wujud besertanya.
Dengan
dua pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadimNya. Maka
bagaimanakah ada wujudNya pada qadim dan besertanya ada Iawannya?.
Jikalau
lawan yang mengAdamkannya itu baharu, maka adalah mustahil. Sebab tiadalah yang
baharu dalam perlawanannya kepada yang qadim sampai dapat memutuskan wujudnya
itu, lebih utama daripada yang qadim sendiri, dalam perlawanannya kepada yang
baharu. Sehingga dapatlah ia mempertahankan wujudnya. Bahkan mempertahankan wujud
itu adalah lebih mudah daripada memutus-kannya. Dan yang qadim adalah lebih
kuat dan lebih utama dari yang baharu (haadits).
Pokok Keempat :
mengetahui bahwa tiadalah Allah Ta'ala itu jauhar yang terbatas di suatu
tempat. Tetapi maha-suci dan maha-quduslah Dia daripada kesesuaian tempat itu.
Dalilnya : bahwa tiap-tiap jauhar itu mengambil tempat, maka tertentulah dia
dengan tempat itu. Dan tidak terlepas daripada adanya menetap pada tempat itu
atau bergerak daripadanya. Maka tidak terlepaslah dia dari gerak dan diam, yang
mana keduanya itu adalah baharu. Dan apa yang tidak terlepas dari yang baharu,
adalah baharu.
Jikalau
tergambarlah jauhar yang bertempat itu, qadim, maka dapatlah diterima akal akan
qadimnya jauhar-jauhar alam ini. Jikalau seseorang menamakan sesuatu jauhar dan
tidak bermaksud dengan jauhar itu mengambil tempat, maka adalah ia bersalah
dari segi kata-kata. Tidak dari segi arti.
Pokok Kelima :
mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah bertubuh (berjisim) yang tersusun
daripada jauhar-jauhar. Karena jisim adalah ibarat dari susunan jauhar-jauhar.
Apabila batillah adaNya itu jauhar yang tertentu dengan sesuatu tempat, maka
batil pulalah adaNya itu jisim. Sebab tiap-tiap jisim, tertentu dengan tempat
dan tersusun dari jauhar. Maka jauhar adalah mustahil terlepasnya dari bercerai
dan berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan dan berbatas.
Semuanya
itu, adalah tanda-tanda dari yang baharu. Kalau bolehlah dii'tiqadkan bahwa
pencipta alam itu jisim, maka boleh pulalah dii'tiqadkan ketuhanan matahari,
bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang berjisim. Kalau adalah
orang yang berani menamakan Allah Ta'ala itu jisim, tanpa ada maksud tersusun
dari jauhar-jauhar, maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam
meniadakan pengertian jisim.
Pokok Keenam :
mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah 'aradl (sifat) yang berdiri pada jisim
atau bertempat pada sesuatu tempat. Karena aradl ialah apa yang bertempat pada
jisim. Maka tiap-tiap jisim -tiada jalan lain- adalah baharu, di mana muhditsnya
(yang menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka bagaimanakah adaNya bertempat
pada jisim, sedang Dia sudah maujud pada azali sendiriNya, tak ada sertaNya
yang lain? Kemudian Dialah yang menjadikan jisim-jisim dan aradl-aradl? Dan
karena Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang berkehendak dan yang menjadikan
sebagaimana akan datang keterangannya.
Sifat-sifat tersebut (sifat-sifat tahu, kuasa, berkehendak dan menjadikan)
adalah mustahil pada aradl. Bahkan tak diterima oleh akal, kecuali pada yang
Maujud yang berdiri dengan sendiriNya, yang bebas dengan dzatNya.Dari
pokok-pokok(perkara) yang tersebut di atas, mungkinlah berhasil pemahaman bahwa
Allah itu maujud, berdiri dengan sendiriNya , tidak Dia jauhar, jisim dan
aradl. Dan alam seluruhnya adalah jauhar, ardal dan jisim. Jadi, tidaklah Allah
Ta'ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu menyerupai Allah Ta'ala. Tetapi
adalah Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak sepertiNya sesuatu. Betapakah
kiranya makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya, yang ditaqdir dengan Yang
Mentaqdirkannya dan yang dibentuk dengan Yang Membentukkannya ? Segala jisim
dan 'aradl itu seluruhnya adalah dijadikan dan dicipta-kan oleh Allah Ta'ala.
Maka mustahillah menetapkan persamaan dan penyerupaan dengan Dia.'.
Pokok
Ketujuh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha suci dzatNya dari ketentuan dengan
arah. Arah itu adakalanya di atas atau di bawah, di kanan atau di kiri, di muka
atau di belakang.
Arah-arah
ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan fwasithah) kejadian
manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi. Yang satu berpegang
kepada bumi dan dinamakan kaki. Dan yang satu lagi berhadapan dengan bumi dan
dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah kepala dan
nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki. Sehingga seekor semut yang berjalan
terbalik di bawah loteng, maka terba-liklah arah atas baginya, menjadi arah
bawah. meskipun bagi kita itu arah atas namanya.
Dijadikan
oleh Allah bagi manusia dua tangan, yang satu biasanya lebih kuat dari yang
lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri untuk
Iawannya. Dan dinamakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan dan yang
mengiringi satu lagi kiri.
Dijadikan
oleh Allah bagi manusia dua pinggir, di mana manusia itu melihat dari salah
satu keduanya dan bergerak kepadanya. Maka timbullah nama hadapan (muka) untuk
arah, di mana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang untuk Iawannya.
Segala arah ini adalah baharu, datang dengan datangnya manusia. Jikalau tidaklah
manusia dijadikan dengan bentuk yang ada ini, tetapi dijadikan bundar seperti
bola, maka tak adalah sekali-kali arah-arah itu. Maka bagaimanakah wujud Allah
itu pada azali ditentukan dengan arah, sedang arah itu adalah baharu? Atau
bagaimanakah terjadinya penentuan Tuhan dengan arah sesudah tak ada bagiNya
yang demikian? Apakah caranya dengan : Allah menjadikan alam di atas-Nya? Maha
Sucilah Allah daripada atas bagiNya? Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai
kepala. Dan atas adalah ibarat dari apa yang ada dijurusan kepala. Atau dengan
: Allah menjadikan alam di bawahNya? Maha-sucilah Allah dari ada bawah bagiNya!
Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah adalah ibarat dari apa
yang mengiringi jurusan kaki.
Semuanya
itu termasuk diantara yang mustahil pada akal. Dan karena yang diterima akal
dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia itu ditentukan dengan tempat
ketentuan jauhar atau ditentukan dengan jauhar sebagai ketentuan 'aradl. Dan
telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu jauhar atau 'aradl. Dari itu maka
mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan dengan arah.Kalau dimaksudkan dengan
arah selain dari dua pengertian itu, maka adalah salah pada nama serta menolong
kepada pengertian.
Dan
karena kalau adalah Allah di atas alam, berarti adalah Dia setentang dengan
alam. Dan tiap-tiap yang setentang bagi jisim, maka adakalanya, sama dengan
jisim itu atau lebih kecil atau lebih besar daripadanya.Semua itu adalah
taksiran yang memerlukan tentunya kepada penaksir. Maha-Sucilah dari yang demikian
itu Al-Khaliq Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur.
Mengenai pengangkatan kedua tangan ketika berdo'a kepada
Allah ke arah langit, adalah karena langit itu qiblat do'a. Dan dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat
Allah dengan kebesaran dan keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud ke
arah tinggi di atas sifat kemuliaan dan ketinggian. Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Tinggi
di atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.
Pokok Kedelapan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala ber-istiwa' di atas
'ArasyNya, dengan arti yang dikehendaki oleh Allah dengan istiwa' itu. Yaitu
yang tiada berlawanan dengan sifat keagunganNya. Dan tiada tersentuh kepadaNya
tanda-tanda kebaharuan dan kefanaan (kelenyapan).
Inilah
yang dimaksud dengan istiwa' ke langit, di mana Allah Ta'ala berfirman di dalam
Al-Qur'an :
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
وَهِيَ دُخَانٌ
(Tsummas-tawaa
ilas samaa-i wa hiya dukhaan), Artinya :"Kemudian itu Dia beristiwa' ke
langit, ketika itu berupa asap" (S. Alfushilat, ayat 11).Dan
tidaklah demikian itu, selain dengan jalan menguasai dan memerintah, seperti
kata seorang penyair :
"Telah
beristiwa'lah manusia itu di Irak, tanpa pedang dan darah
tertumpah.............
Ahli
kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada penta'wilan ini, sebagaimana ahli
kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penta'wilan firman Allah : "Wa huwa ma'akum ainamaa
kuntum". (Dia serta kamu di mana saja kamu berada). Karena dengan sepakat
firman tersebut diartikan dengan meliputinya ilmu Allah dan pengetahuanNya.
Begitu
pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
"Hati
mu'min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih
diartikan kepada qudrah dan perkasanya Tuhan.
Dan
sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : :
"Batu
hitam itu (Al-Hajrul-aswad) adalah tangan kanan Allah di bumiNya diartikan
kepada kemuliaan dan keagungan Al-Hajrul-aswad. Karena kalau dibiarkan atas
dhahirnya niscaya mestilah timbul kemustahilan.
Maka demikian pulalah istiwa Kalau dibiarkan artinya kepada menetap
dan bertempat, maka tentulah yang bertempat itu jisim, yang bersentuh dengan
'Arasy. Adakalanya seperti 'Arasy atau lebih besar atau lebih kecil
daripadanya. Yang demikian itu adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa
kepada mustahil adalah mustahil.
Pokok Kesembilan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta keadaan-Nya maha-suci
daripada bentuk dan batas, maha-qudus daripada arah dan penjuru, Ia melihat
dengan mata-kepala dan mata-hati di negeri akhirat negeri ketetapan, karena
firmanNya :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
(Wujuuhun
yauma-idzin naadliratun, ilaa rabbihaa naadhirah).
Artinya
: "Beberapa muka di hari itu
bercahaya. Melihat kepada Tuhannya (S. Al-Qiyamah, ayat 22-23).
Dan IA tidak dilihat di dunia karena membenarkan firmanNya
'Azza wa Jalla :
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ
يُدْرِكُ الأبْصَارَ
(Laa
tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar).Artinya :"Penglihatan tidak
sampai (mencapai) kepadaNya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan (S.
AI-An'am, ayat 103).
Dan
karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa as. :
(Lan
taraanii). = لَنْ تَرَانِي
Artinya
:"Engkau tidak akan dapat melihat Aku". (S. Al-A'raaf, ayat 143).
Wahai,
bagaimanakah orang Mu'tazilah itu mengenal sifat Tuhan seru sekalian alam yang
tidak dapat diketahui oleh Musa as.?Dan
bagaimana Musa as. menanyakan ru'yah (melihat) Tuhan, sedang ru'yah itu
mustahil?
Semoga
kebodohan ahli-ahli bid'ah dan hawa nafsu dari orang-orang yang bodoh dungu
itu, adalah lebih utama daripada kejahilan nabi-nabi as.
Adapun
cara melakukan ayat ru'yah tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah membawa
kepada kemustahilan. Karena ru'yah adalah semacam kasyaf dan ilmu, tetapi lebih
sempurna dan lebih jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh penghubungan ilmu
kepada-Nya dan IA tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah penghubungan
ru'yah kepadaNya dan IA tidak dengan perantaraan arah.
Sebagaimana
jaiz (boleh) Allah melihat makhlukNya dan tidak di dalam keadaan berhadapan
dengan mereka, maka boleh pulalah Dia dilihat oleh makhlukNya tanpa berhadapan.
Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa berkeadaan (berkaifiah) dan berbentuk,
maka boleh pulalah Dia dilihat seperti itu.
Pokok Ke sepuluh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala Maha Esa, tiada sekutu
bagiNya, tunggal, tiada teman bagiNya, sendirian dengan menjadikan dan mencipta
dan maha-kuasa Dia menjadikan dan mengadakan, tiada yang sepertiNya untuk
membagi-bagi dan me-nyamaiNya, tiada lawan bagiNya untuk bertengkar dan
bermusuhan.
Dalilnya firman Allah Ta'ala :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا
اللَّهُ لَفَسَدَتَا
(Lau
kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).Artinya :"Kalau kiranya
di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu ke duanya
menjadi rusak binasa (S. Al-Anbia, ayat 22),
Keterangannya :
jikalau tuhan itu dua dan salah satu daripada ke duanya menghendaki sesuatu,
maka tuhan yang ke dua jika diperlukan kepada pertolongannya, niscaya adalah
tuhan yang ke dua ini menjadi terpaksa, yang tidak berdaya. Dan tidaklah dia
sebagai tuhan yang berkuasa penuh. Jika dia berkuasa membantah dan menolak, maka
adalah tuhan yang ke dua ini kuat lagi gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama
itu lemah tak berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.